tinjauan pustaka pkb afasia snh
TRANSCRIPT
AFASIA
Pendahuluan
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif.
Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga
merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Setiap kerusakan otak yang disebabkan
oleh stroke, tumor, trauma, demensia dan infeksi dapat menyebabkan gangguan bahasa.1
Definisi
Afasia merupakan gangguan bahasa perolehan yang disebabkan oleh cedera atau
adanya lesi di otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman serta gangguan pengutaraan
bahasa lisan maupun tertulis. Istilah perolehan menandakan bahwa gangguan itu timbul
dalam masa perkembangan bahasa atau sesudahnya.
Klasifikasi
Beberapa jenis dari afasia, diantaranya :
1. Afasia Broca/ Afasia motorik/ Afasia ekspresif.
Dalam banyak kasus disebabkan oleh GPDO, karena emboli di daerah arteri
serebri media superior kiri. Tempat kerusakan di daerah fronto-parietal hemisfer kiri
(daerah suprasylvi, baik operkulum maupun insula). Ditandai dengan bicara spontan
yang tidak lancar, gangguan dalam gramatika yg memperlihatkan pengurangan dan
penyederhanaan bentuk gramatika/ gangguan morfosintaksis. Meniru ucapan
terganggu, mengulangi satu dua kata masih bisa, tetapi mengulangi perkataan lebih
sukar atau sangat lengkap sangat terganggu.
2. Afasia Wernicke/ afasia sensorik/ afasia akustik.
Tempat kerusakan daerah posterior girus temporal atas di hemisfer kiri. Jika oleh
karena GPDO tepatnya daerah arteri serebri media inferior kiri. Bicaranya lancar,
dengan parafasia verbal (kata isi sedikit dan sering salah pakai) atau literal. Lagu
1
kalimat normal, sering banjir kata (logorhoea). Jika bicaranya lancar dan disertai
parafasia, hingga sama sekali tak dapat dipahami lagi disebut Jargon. Pemahaman
auditif sangat terganggu dan sepadan dengan gangguan yang terdapat pada berbicara
spontan. Meniru ucapan buruk, walau hanya sekata demi sekata.
3. Afasia konduksi/afasia sentral
Kerusakan pada bagian posterior fasikulus arkuatus di hemisfer kiri. Bicara
spontan lancar, hampir normal, tetapi tersendat-sendat karena mencari kata yg tepat
dan berusaha memperbaiki parafasia literal dan verbalnya. Yang menonjol dibanding
sindrom afasia lain ialah meniru perkataan yang sangat terganggu.
4. Afasia global/afasia total.
Semua aspek berbahasa dan bicara sangat terganggu. Kerusakan pada bagian-
bagian besar daerah fronto-temporo-parietal perisylvis di hemisfer kiri. Penyebab
tersering ialah sumbatan/ GPDO bagian terdepan arteri serebri media kiri. Bicara
spontan sangat tak lancar, pasien praktis tak bisa bicara, paling-paling memiliki
beberapa kata atau ucapan streotip. Oleh karena kerusakan besar dan luas, maka
banyak gangguan lain yang menyertainya, seperti hemiplegi kanan, hemianopsia,
hemianestesi, juga fungsi lain seperti kalkuli, praksis, agnosis hilang.Beberapa
penelitian menunjukan bilamana afasia global dalam beberapa minggu tak membaik,
maka dalam perhitungan jangka panjang harapan akan perbaikan yang penting juga
tipis.
5. Afasia transkortikal motorik/afasia dinamik/sindrom isolasi anterior.
Kerusakan daerah hemisfer kiri atau daerah yang berbatasan langsung dengan
Broca (didepan atau dibelakangnya) atau daerah premotorik medial atau superior.
Bahasa spontan terjadi pengurangan yang mencolok baik banyak maupun
kompleksitasnya. Perbedaan bicara spontan dan meniru ucapan tak menonjol, pasien
dapat mengulang satu kata atau kalimat pendek. Penemuan dan penamaan kata
terganggu, pemahaman bahasa lisan dan tertulis biasanya baik atau cukup baik.
6. Afasia transkortikal sensorik.
2
Kerusakan pada temporo-parieto-occipital di hemisfer kiri. Bicara spontannya
lancar, masih bisa meniru ucapan kata dan kalimat yang panjang tetapi tak dapat
memahaminya. Biasanya pemahaman auditif tak begitu terganggu dibanding dengan
afasia Wernicke.
7. Afasia transkortikal campuran/isolasi daerah bicara.
Kerusakan pada daerah-daerah besar kortek asosiasi anterior dan posterior, tetapi
daerah perisylvis tidak terkena. Bicara spontan tak ada atau hampir tak ada kecuali
ucapan singkat, diulang-ulang, tanpa arti, stereotip, tugas dan pertanyaan diulang
secara ekolalis, pemahaman sangat terganggu dan kemampuan membaca dan menulis.
8. Afasia anomis/afasia nominal/afasia amnestik.
Afasia jenis ini tak punya lokasi yang tepat, bisanya berkembang dari salah satu
afasia posterior, dan oleh karenanya lesi berlokasi pada daerah temporal, temporo-
parietal, temporo-occipital di hemisfer kiri. Yang terganggu ialah penemuan dan
penamaan kata, terutama isi yang jarang dipakai, baik kalau untuk berbicara maupun
yang menulis, sedangkan meniru ucapan normal.
BOSTON APHASIA TYPES
Jenis Afasia Kelancaran Meniru Ucapan Pemahaman
Afasia Global Tidak lancar Terganggu Terganggu
Afasia Broca Tidak lancar Terganggu Normal
Afasia Transkortikal
motorik
Tidak lancar Normal Normal
Afasia Transkortikal
campuran
Tidak lancar Normal Terganggu
Afasia wernick Lancar Terganggu Terganggu
Afasia Sensorik Lancar Normal Terganggu
Afasia Konduksi Lancar Terganggu Normal
Afasia Anomik Lancar Normal Normal
3
Diagnosis dan Pemeriksaan Afasia
Untuk afasia yang berat dan sedang dapat ditetapkan secara klinik non formal, sedangkan
afasia yang ringan dan meragukan perlu ditetapkan secara formal dengan tes afasia. Yang
mana penetapan jenis afasia (Broca, Wernicke, dan sebagainya) diperlukan untuk
menentukan letak lesi di otak (diagnostik) dan program rehabilitasinya (bina wicara = speech
therapy)
Langkah – langkah penetapan afasia :
1. Menentukan bahasa yang dikuasai pasien.
2. Menentukan kecekatan tangan (handedness).
3. Menetapkan golongan afasia fluent dan non fluent.
4. Menetapkan jenis afasia.
5. Menetapkan fungsi – fungsi luhur lainnya (persepsi, memori, emosi, dan kognitif).
6. Menetapkan dengan tes formal (Token Test, Peabody Vocabulary Test, Boston
Diagnostic Aphasia Test).
Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat digunakan dalam menegakan adanya gangguan
berbahasa atau afasia, diantaranya :
a. Token Test (DeRenzi, Vignolo, 1962).
Pemeriksaan ini pada tahun 1976 diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Tes ini
bertujuan menentukan diagnosis diferensial afasia ya atau tidak. Hanya memeriksa
pemahaman auditif tanpa menegendalikan daya ingat atau intelegensi. Lama tes 20-30 menit,
peka untuk melacak afasia yang ringan.
b. MTTDA (Minnesota Test For Differential Diagnosis Of Aphasia.)
Dikembangkan oleh Schuell thn 1965. Tujuannya untuk diagnosis differensial afasia
ya/tidak, diagnosis differensial afasia dengan/ tanpa apraksia, disartria, gangguan persepsi.
Lamanya tes rata-rata 3 jam. Cara ini tak membedakan afasia mana, tetapi mendasarkan atas
komplikasi afasia seperti komplikasi apraksia, perceptual, atau motoris. Keuntungannya dapat
mengetahui komplikasi seperti : afasia sederhana, afasia dengan gangguan visual, afasia
dengan gangguan sensorik-motorik, sindrom afasia yang irreversible, afasia dengan hasil
pemeriksaan menunjukkan adanya cedera otak umum., sedangkan kelemahan oleh karena skor
hanya +/-, maka bila tes diulang kemajuan seringkali tak nampak..
4
c. PICA (Porch Index Of Communicative Ability)
Disamping BDAE, cara ini paling sering digunakan di Amerika Serikat. Tujuannya
melakukan pemeriksaan afasia yang peka terhadap perubahan minimal dalam prestasi ,
membantu peramalan pemulihan, pemeriksaan komunikasi andal dan objektif yang tidak
tergantung dari penjelasan teori khusus mengenai gangguan-gangguan afasia. tes dilakukan
rata-rata selama 1 jam. PICA memeriksa fungsi bahasa diluar konteks komunikatif, maka
PICA merupakan pemeriksaan bahasa dan bukannya pemeriksaan komunikasi. Cara ini baik
bila ingin dipakai penelitian. Menggunakan alat pena, kunci, sikat gigi dll.
d. BDAE (Boston Diagnostik Aphasia Examination)
Bertujuan mendiagnosis afasia dan sindroma-sindroma afasia, serta memberikan
kesimpulan tentang lokalisasi serebral, mengukur tingkat prestasi seorang pasien dlm
melakukan berbagai tugas (dari awal afasia hingga tahap berikutnya untuk melihat kemajuan),
Melakukan penelitian yang luas mengenai kemungkinan dan gangguan segala modaliatas
bahasa, sebagai subyek pemandu terapi. Pemeriksaan ini menggunakan 27 subtes yang
dikelompokkan dalam 5 bagian, yaitu : bicara spontan, pemahaman auditif, ekspresi lisan,
membaca dengan pemahaman, menulis.
Waktu yang digunakan 1-3 jam, pemeriksaan BDAE adalah pemeriksaan bahasa yang
luas, dan mengetahui sindrom afasia yang mana dengan bantuan skor aspek kelancaran,
pemahaman auditif dan meniru ucapan.. Sehingga dengan cara ini dapat dibedakan Afasia
global, afasia motorik, afasia sensorik, transkortikal, afasia anomis, afasia konduksi.
e. TADIR (Tes Afasia Untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi).
Tes ini dilakukan dengan maksud :
- Membuat diagnosis afasia atau bukan afasia.
- Membuat diagnosis sindrom afasia
- Memberi informasi kepada pasien, lingkungan dan orang disekitarnya
- Menjadi titik tolak penanganan logopedi (rehabilitasi).
Yang perlu perhatian ialah pengambilan tes dilakukan dengan memperhatikan fungsi
kesadaran pasien, dimana kesadaran pasien harus baik. Juga harus dipertimbangkan fungsi
penglihatan dan pendengaran yang dapat mempengaruhi hasil penilaian (hemianopsi dan
apraksi tangan) bisa mempengaruhi hasil tes. Jangan lupa penglihatan dan pendengaran cukup
baik dan apakah pakai alat bantu. Waktu yang digunakan kurang lebih 1 jam.
5
Tes dengan menggunakan bahan kartu stimulus, formulir registrasi, alat perekam dan
kaset kosong. Yang mana hasil tes tersebut berupa skor kasar (nilai dengan poin-poin), yang
harus dikonversikan atau dirubah dulu dengan skor normal.
Jadi tes ini menggunakan metode :
- Berbicara
- Pemahaman bahasa lisan.
- Pemahaman bahasa tertulis.
- Menulis
Yang kesemuanya menghasilkan skor kasar yang kemudian dikonversikan dengan skor
norma, yaitu : nilai 1 = tidak mungkin, nilai 2 = sangat terganggu, nilai 3 = terganggu, nilai 4
= sedikit terganggu, nilai 5 = normal.
Aspek yang perlu diperhatikan oleh pemeriksa, selain itu berupa : konsentrasi,
kewaspadaan, rasa percaya diri, kesadaran mengenai penyakitnya, sikap mendengar, jika
kurang mengerti pasien tak segan untuk meminta pengulangan.
Langkah pertama dalam menentukan afasia atau bukan afasia, yaitu memakai subtes
Menyebut dan Menamai tingkat kata, dikatakan afasia bila 2 subtes tersebut terganggu (skor
norma 1-4). Jika salah satu bagian menghasilkan nilai 5, berarti seorang pasien tak bisa
dikatakan mengalami afasia. Misal seorang pasien mampu menamai secara tulisan tetapi
menamai lisan tak baik/ terganggu maka pasien tersebut hanya menderita apraksia verbal.(22)
Baru langkah berikutnya untuk menentukan seorang pasien menderita afasia jenis apa dengan
skor kelancaran, skor normal pemahaman bahasa lisan tingkat kata dan kalimat, skor normal
bicara berupa meniru ucapan.
1. Penatalaksanaan
Kebanyakan gangguan afasia berkaitan dengan penyakit vaskular dan trauma, dan
gangguan ini hampir selalu disertai dengan perbaikan spontan dengan tingkatan yang
bervariasi baik perbaikan itu dalam hitungan beberapa hari, minggu dan bulan setelah
terjadinya serangan stroke atau terjadinya kecelakaan.
Metode rehabilitasi penting dan sangat disarankan sebagai penanganan terhadap
seseorang dengan gangguan afasia.
6
3 pendekatan dalam rehabilitasi afasia :
Membantu pasien afasia dengan cara merubah gaya hidupnya melalui pengelolaan fungsi
komunikasi.
Mengurangi gangguan faktor lingkungan dgn menyingkirkan kebisingan pada peralatan
(TV, radio) dan optimalkan tanda, lambang, gambar pada buku komunikasi.
Memberikan alat bantu dan metode alternatif, melatih penderita afasia mengunakan alat
komunikasi alternatif.
Terapi wicara pada penderita afasia :
- Dilakukan seawal mungkin, segera dilakukan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
- Hindarkan pemakaian komunikasi non linguistik (isyarat).
- Program terapi yang dibuat tergantung individual pasien dengan pertimbangan latar
belakang pendidikan, status sosial, kebiasaan pasien.
- Ciptakan motivasi penderita untuk mau belajar, bisa melalui stimuli verbal, tulisan atau
taktil. Dan diulang-ulang (repetisi) materi yg telah dikuasai penderita afasia.
- Terapi pribadi yang diselingi terapi kelompok.
- Mengikut sertakan keluarga sangat mutlak.
Terapi wicara sedini mungkin setelah pasien stabil secara medik dan neurologik, fase
awal 3-5 kali/ seminggu selama 2-3 bulan, yang kemudian dievaluasi bila ada kemajuan dan
mulai mendatar bisa dilanjutkan dengan 1-2 kali/ seminggu tetap evaluasi rutin.
Macam terapi wicara pada berbagai kondisi afasia :
1. Afasia global, lebih banyak menekankan peningkatan keluarga berkomunikasi dengan
penderita dibanding meningkatkan kemampuan bahasa penderita :
a. Gunakan suara, ekspresi wajah.
b. Gunakan gerak isyarat sederhana.
c. Menunjuk benda sekitar untuk masukan visual.
2.Afasia Broca, meningkatkan kemampuan mengeluarkan suara sesukanya, sebagai alat
ekspresikan maksudnya, bisa dengan bantuan cermin, gambar atau dengan foto-foto.
3. Afasia Wernicke/ sensorik, ditekankan pada peningkatan komprehensi pendengaran dan
umpan balik, mengembangkan kesadaran adanya gangguan komunikasi.
7
4. Afasia konduksi, gangguan repetisi kata yg berat :
a. Mengurangi kecepatan bicara.
b. Belajar mengawali bicara dengan yg mudah.
Biasanya pasien afasia konduksi sadar akan kekurangannya dan berusaha memperbaikinya.
1. Afasia anomis, mengindividualkan kata-kata target, melatih mencari sinonim dan definisi
kata-kata target, latihan visual kata target.
7. Prognosis
Prognosis afasia bergantung banyak faktor, seperti parahnya afasia di satu pihak dan
adanya gangguan tambahan, wawasan terhadap penyakitnya, usia dan faktor pribadi dilain
pihak. Selain itu hal penyebab afasia ikut mempengaruhi. Luasnya cedera, semakin terbatas
kerusakan, semakin besar pula kemungkinan pemulihan
Sindroma afasia, hampir semua penelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan afasia
Global dan afasia Wernicke mempunyai kemungkinan paling kecil untuk pulih sempurna (21).
Yang mana tingkat pemahaman auditif sesuai dengan kemungkinan untuk pulih. Pasien afasia
Broca, afasia konduksi, atau afasia anomis ternyata mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk pulih
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Kolegium Neurologi Indonesia Perdossi, Modul Neurobehaviour, Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, Jakarta, 2008
2. Adam RD, Victor M. Principle of neurologi, 7th ed, new york : Mc Graw Hill, 2001; 921-875
3. World Health Orgaization : Stroke, 1989, Recommendation on stroke prevention, diagnosis and therapu. Stroke, 20 ; 1407-31
4. Brown MM. Cerebro vaskuler disease; Epidemiology, History, Examination and Differential Diagnosis. Hasrt Y, Kennedy A eds. Medicine International Neurology. Medicine Group (journals) Ltd. Abingdon, 1996; 35-41.
5. Thorvaldsen et al. Strokeincidence, case fatality and mortality in thr WHO Monica Projecy. Stroke. 1995; 26: 402-408.
6. Mahar Mardjono, Pedoman dalam manajemen stroke mutakhir, Berita kedokteran masyarakat, BP UGM 1988: 1-8.
7. Noerjanto M. Stroke non hemoragik. Dalam Hadinoto S.(ed) stroke pengelolaan mutakhir. BP UNDIP Semarang 1992; 29-46.
8. American Heart Association, 2009. Heart Disease and Stroke Statistic 2009 Update: A Report From the American Hearth Association Statistic Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Circulation, 119: 21-181.
9. Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Stroke Facts and Statistics. : Division for Heart Disease and Stroke Prevention. Available from: http://www.cdc.gov/stroke/statistical_reports.htm [accessed 17 March 2009].
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2007. Guideline Stroke 2007. Jakarta: PERDOSSI.
11. Yayasan Stroke Indonesia. Tahun 2020, Penderita Stroke Meningkat 2 Kali. Jakarta: Yayasan Stroke Indonesia. Available from: http://www.yastroki.or.id/berita.php?id=4[accessed 10 March 2009].
9