afasia broca

42
11 BAB 2 FONETIS TUTURAN AFASIA BROCA PENDERITA STROKE 2.1 Ihwal Fonetik 2.1.1 Pengertian Fonetik Linguistik terbagi dalam beberapa bidang, bidang itu di antaranya fonetik- fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu (Chaer, 2003;102). Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi tersebut sebagai pembeda makna. Roach (2001: 5) mengatakan “speech is complicated procees, and to study it requires a whole scientific subjectthe science of phonetic.” Dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan suatu proses yang rumit dan untuk mempelajarinya secara ilmiah dibutuhkan ilmu yang disebut fonetik.

Upload: ipar-day

Post on 25-Nov-2015

64 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB 2

    FONETIS TUTURAN AFASIA BROCA PENDERITA STROKE

    2.1 Ihwal Fonetik

    2.1.1 Pengertian Fonetik

    Linguistik terbagi dalam beberapa bidang, bidang itu di antaranya fonetik-

    fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bidang linguistik yang

    mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini

    disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan

    logi yaitu ilmu (Chaer, 2003;102). Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi

    objek studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan

    apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau

    tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi

    bahasa dengan memperhatikan fungsi tersebut sebagai pembeda makna.

    Roach (2001: 5) mengatakan speech is complicated procees, and to study

    it requires a whole scientific subjectthe science of phonetic. Dapat

    disimpulkan bahwa berbicara merupakan suatu proses yang rumit dan untuk

    mempelajarinya secara ilmiah dibutuhkan ilmu yang disebut fonetik.

  • 12

    Fonetik sebagai pengkajian bahasa bunyi-bunyi bahasa. Fonetik ialah

    pengkajian yang lebih menitikberatkan pada ekspresi bahasa, bukan isinya. Yang

    pentingkan adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan penutur, bukan makna

    yang ingin disampaikan (Bertil; Malmberg dalam Masnur, 2009:17).

    Berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji,

    dibedakan adanya tiga macam fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik

    akustik, dan fonetik auditoris (Chaer 2009:11).

    Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis

    meniliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi oleh alat-alat ucap

    manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah alat-alat ucap yang

    digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu; mekanisme arus udara yang

    digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa; bagaimana bunyi bahasa dibuat;

    mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang dihasilkan serta apa kriteria yang

    digunakan; mengenai silabel; dan juga mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri

    suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.

    Fonetik akustik, yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di

    udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan

    kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas bunyi.

    Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, sert pengukuran

  • 13

    akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah pada kajian fisika daripada

    kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki kepentingan.

    Fonetik auditori meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu

    diterima oleh telinga, sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat

    dipahami. Dalam hal ini tentunya pembahasan mengenai struktur dan fungsi

    alat dengar, yang disebut telinga itu bekerja. Bagaimana mekanisme

    penerimaan bunyi bahasa itu, sehingga bisa dipahami. Oleh karena itu,

    kiranya kajian fonetik auditori lebih berkenaan dengan ilmu kedokteran,

    termasuk kajian neurologi.

    2.1.2 Proses Produksi Bahasa

    Terjadinya bunyi bahasa dalam proses produksi bunyi bahasa pada

    umumnya dimulai dari proses pemompaan udara ke luar dari paru-paru

    melalui pangkal tenggorokan (laring) ke tenggorokan yang di dalamnya

    terdapat pita suara. Supaya udara itu bisa ke luar pita, pita suara itu harus

    berada dalam kedaan terbuka. Setelah melalui pita suara, yang merupakan

    jalan satu-satunya untuk bisa ke luar, entah melalui rongga mulut atau

    rongga hidung, arus udara tadi diteruskan ke luar ke udara bebas.

    Kalau arus udara yang ke luar dari paru-paru itu ke luar tanpa

    hambatan apa-apa di dalam rongga mulut, maka kita tidak akan mendengar

    bunyi apa-apa, selain bunyi nafas. Beda dengan kalau arus udara itu

  • 14

    mendapat hambatan pada salah satu tempat alat ucap, akan kita dengar bunyi

    bahasa.

    Proses bunyi bahasa seperti yang telah dijelaskan di atas memerlukan

    alat-alat ucap. Alat-alat ucap tersebut akan dijelaskan pada pembahasan

    berikut.

  • 15

    Gambar Alat-alat Produksi Bunyi Bahasa

    (Cf. Mol, Verhaar; dalam Marsono, 1999:7)

  • 16

    Sesuai dengan nomor pada bagan di atas, nama alat-alat ucap, alat-alat yang terlibat dalam produksi bunyi bahasa adalah sebagai berikut.

    1. paru-paru (lung) 2. batang tenggorok (trachea) 3. pangkal tenggorok (larynx) 4. pita suara (vocal cord) 5. krikoid (cricoid) 6. tiroid (thyroid) atau lekum 7. aritenoid (arythenoid) 8. dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx) 9. epiglotis (epiglottis) 10. akar lidah (root of the tongue) 11. pangkal lidah (back of the tongue, dorsum) 12. tengah lidah (midlle of the tongue, medium) 13. daun lidah (blade of the tongue, laminum) 14. ujung lidah(tip of the tongue, apex) 15. anak tekak (uvula) 16. langit-langit lunak (soft palat, velum) 17. langit-langit keras (hard palate, palatum) 18. gusi, lengkung kaki gigi (alveolum) 19. gigi atas (upper teeth, dentum) 20. gigi bawah (lower teeth, dentum) 21. bibir atas (upper lip, labium) 22. bibir bawah (lower lip, labium) 23. mulut (mouth) 24. rongga mulut (oral cavity) 25. rongga hidung (nasal cavity)

  • 17

    Alat-alat ucap yang berfungsi dan terlibat dalam pembentukan bahasa

    adalah paru-paru, pangkal tenggorok, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi

    dalam, gigi, bibir dan lidah. Berikut uraian terbentuknya suatu bunyi bahasa oleh

    alat-alat ucap.

    1. Paru-paru (lungs) berfungsi untuk pernafasan. Bernafas pada dasarnya adalah

    mengalirkan udara ke dalam paru-paru yang disebut menarik nafas,

    selanjutnya mengeluarkan udara yang telah kotor yang disebut

    menghembuskan nafas. Arus udara yang berasal dari paru-paru inilah yang

    menjadi sumber utama terjadinya bunyi bahasa.

    2. Rongga kerongkongan (pharynx) adalah rongga yang terletak di antara

    pangkal tenggorok dengan rongga mulut dan rongga hidung. Dalam

    pembentukan bunyi bahasa peran utamanya hanyalah sebagai tabung udara

    yang akan ikut bergetar bila pita suara bergetar. Bunyi bahasa yang dihasilkan

    oleh faring disebut faringal.

    3. Langit-langit lunak (velum) beserta bagian ujungnya yang disebut anak tekak

    (uvula) dapat turun naik sedemikian rupa. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh

    langit-langit lunak ini disebut bunyi velar. Dalam pembentukkan bunyi, velum

    sebagai artikulator aktifnya ialah pangkal lidah. Bunyi yang dibentuk oleh

    pangkal lidah (dorsal) disebut dorsal. Gabungan antara anak tekak dengan

    pangkal lidah disebut dorso-velar. Untuk bunyi yang dihasilkan dengan

    hambatan uvula disebut bunyi uvular

  • 18

    4. Langit-langit keras (palatum), merupakan susunan bertulang. Dalam

    pembentukan bunyi bahasa langit-langit keras ini sebagai artikulasi pasif,

    sedangkan artikulasi aktifnya adalah ujung lidah atau tengah lidah. Bunyi

    yang dihasilkan oleh palatum disebut palatal. Sedangkan bunyi yang

    dihasilkan oleh ujung lidah (apex) atau apikal dan bunyi-bunyi yang

    dihasilkan dengan hambatan tengah lidah (medium) disebut medial.

    Gabungan bunyi yang dihasilkan palatum dengan tengah lidah disebut medio-

    palatal.

    5. Gusi dalam (alveolum) adalah bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas

    bagian belakang, terletak tepat di atas serta di belakang gigi melengkung ke

    dalam menghadap lidah. Dalam pembentukan bunyi bahasa, gusi ini sebagai

    artikulator pasif, sedangkan artikulator aktifnya adalah ujung lidah. Bunyi

    yang dihasilkan oleh gusi (alveolum) disebut alveolar. Sehingga bunyi yang

    dihasilkan dengan hambatan ujung lidah dengan gusi disebut bunyi apiko-

    alveolar. Selain itu, gusi dapat juga bekerjasama dengan daun lidah (lamina)

    sebagai artikulator aktifnya sehingga terbentuk bunyi lamino-alveolar.

    6. Gigi (dentum) terbagi menjadi dua, yaitu gigi atas dan gigi bawah. Gigi atas

    berfungsi sebagai artikulasi yang bekerjasama dengan bibir bawah atau ujung

    lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh hambatan gigi atas dengan bibir bawah

    disebut labio-dental, dengan bunyi yang dihasilkan oleh hambatan gigi atas

    dengan ujung lidah apiko-dental.

  • 19

    7. Bibir (labium) terbagi menjadi dua, yaitu bibir atas dan bibir bawah. Fungsi

    utama kedua bibir adalah sebagai pintu penjaga rongga mulut. Dalam

    pembentukan bunyi bahasa bibir atas adalah sebagai artikulasi pasif

    bekerjasama dengan bibir bawah sebagi artikulator aktifnya. Dapat pula bibir

    bawah sebagai artikulator aktif bekerjasama dengan gigi atas, yang akan

    menghasilkan bunyi labio-dental.

    8. Lidah dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu akar lidah (root), pangkal lidah

    (dorsum), tengah lidah (medium), daun lidah (lamina), dan ujung lidah (apex).

    Dalam pembentukan bunyi bahasa, lidah sebagai artikulator aktif. Akar lidah

    bekerjasama dengan rongga kerongkongan menghasilkan bunyi radio-

    faringal. Pangkal lidah bekerjasama dengan langit-langit keras menghasilkan

    bunyi medio-palatal. Ujung lidah bekerjasama langit-langit keras meng-

    hasilkan bunyi apiko-palatal. Selain itu ujung lidah dapat pula bekerjasama

    dengan gusi yang menghasilkan bunyi apiko-alveolar. Sedangkan ujung lidah

    bekerjasama dengan gigi atas menghasilkan bunyi apiko-dental.

    2.1.3 Klasifikasi Bunyi Bahasa

    Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dapat

    diklasifikasikan sebagai berikut

    1) Vokal, Konsonan, Semi vokal

  • 20

    a) Vokal

    Bunyi disebut vokal, bila terjadinya tidak adanya hambatan pada alat

    bicara, jadi tidak ada artikulasi. Hambatan untuk bunyi vokal hanya pada

    pita suara saja. Hambatan yang hanya terjadi pada pita suara tidak lazim

    disebut artikulasi (Verhaar dalam Marsono, 1999:16). Secara singkat, vokal

    adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan. Pada

    pembentukan vokal tidak ada artikulasi. Hambatan terjadi hanya pada pita

    suara saja. Parameter penentuan vokal ditentukan oleh keadaan posisi tinggi

    rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur, dan bentuk bibir

    (Depdikbud, 1996:23-26). Dalam bahasa Indonesia terdapat enam buah

    vokal, yaitu [a, i, u, e, o, ].

    Bunyi vokal dapat diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya

    lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur, dan bentuk bibir.

    (1) Tinggi Rendahnya Lidah

    Berdasarkan tinggi rendahnya lidah maka vokal dapat dibagi atas:

    a) Vokal tinggi [i,u].

    b) Vokal madya [e,o].

    c) Vokal rendah atau bawah [a].

    (2) Berdasarkan Bagian Lidah yang Bergerak

    Berdasakan bagian lidah yang bergerak vokal dapat dibedakan menjadi:

    a) Vokal depan [i, e, a].

    b) Vokal tengah [].

  • 21

    c) Vokal belakang [o,u].

    (3) Berdasarkan Strikturnya

    Menurut Strikturnya maka vokal dapat dibedakan atas:

    a) Vokal tertutup [i, u].

    b) Vokal semi-tertutup [e,o].

    c) Vokal semi-terbuka [,].

    d) Vokal terbuka [a, A]. Striktur pada bunyi vokal adalah jarak antara

    lidah dengan langit-langit keras (palatum).

    (4) Bentuk Bibir

    Berdasarkan bentuk bibir ketika vokal diucapkan dapat dibedakan atas:

    a) Vokal bundar [o,u].

    b) Vokal tak bundar [i, e, , a].

    Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak,

    striktur dan bentuk bibir vokal dapat dijelaskan sebagai berikut.

  • 22

    Bagan Pembentukan Vokal

    Bagian lidah

    Depan Tengah Belakang

    Striktur

    Posisi lidah Tak bulat Tak bulat Bulat Netral

    Tinggi i u Tertutup

    Madya e

    o

    Semi-Tertutup

    Semi-Terbuka

    Rendah a Terbuka

    (Marsono, 1999:35)

    Selanjutnya, dalam fonetis dipelajari juga naik turunnya dan cepat

    lambatnya suatu arus ujaran yang diucapkan. Ini merupakan perpaduan dari

    gejala-gejala tekenan, nada, dan sistem ejaan. Selain itu juga terdapat

    perubahan bunyi yang bersifat asimilatif dan desimilatif yang dilihat dari

    sudut perubahan bunyi. Di samping itu, dalam hal kualitas terhadap tipe

    perubahan bunyi, yang semata-mata dilihat dari tempat terjadinya perubahan

    bunyi pada suatu bentuk.

    Berdasarkan tempatnya dapat diperoleh beberapa macam perubahan

    bunyi di antaranya, sebagai berikut.

    a. Protesis yaitu suatu proses perubahan kata penambahan sebuah fonem

    pada awal kata.

  • 23

    b. Epentesis yaitu proses perubahan kata berupa penambahan sebuah

    fonem di tengah kata.

    c. Paragog yaitu suatu kata yang mengalami perubahan berupa

    penambahan fonem pada akhir kata.

    d. Aperesis yaitu suatu proses perubahan bunyi antara bahasa kerabat

    berupa penghilangan sebuah fonem pada awal sebuah kata.

    e. Sinkope yaitu yang berwujud menghilangkan sebuah fonem diakhir

    tengah kata.

    f. Apokop yaitu perubahan bunyi berupa menghilangkan sebuah fonem

    pada akhir kata.

    g. Metatesis yaitu proses perubahan bunyi yang berwujud pertukaran

    tempat dua fonem.

    Selain perubahan bunyi ada perubahan-perubahan bunyi lain (Chaer,

    2009:96) yaitu (1) akibat adanya koartikulasi; (2) akibat pengaruh bunyi yang

    mendahului atau membelakangi; (3) akibat distribusi; dan (4) proses

    morfologi; dan (5) akibat dari perkembangan sejarah.

    1. Akibat adanya koartikulasi

    Koartikulasi disebut juga artikulasi sertaan, atau artikulasi kedua,

    adalah proses artikulasi lain yang menyertai terjadinya artikulasi utama,

    artikulasi primer, atau artikulasi pertama. Koartikulasi ini terjadi karena

    sewaktu artikulasi primer memproduksi bunyi pertama berlangsung, alat-alat

    ucap sudah mengambil ancang-ancang untuk membuat atau memproduksi

  • 24

    bunyi berikutnya. Akibatnya, bunyi pertama yang dihasilkan agak berubah

    mengikuti ciri-ciri kedua yang akan dihasilkan.

    Dalam peristiwa ini dikenal adanya proses-proses labialisasi, retrofleksi,

    patalisasi, veralisasi, faringalisasi, dan glotalisasi.

    a. Labialisasi

    Labialisasi adalah proses pelabialan atau pembulatan bentuk bibir

    ketika artikulasi primer berlangsung. Selain bunyi labial bunyi lain dapat

    dilabilisasikan. Misalnya, bunyi [t] atau fonem /t/ adalah bunyi apikoalveolar,

    tetapi pada kata , bunyi [t] itu akibat dari akan diucapkannya bunyi

    [u] yang merupakan vokal bundar, maka bunyi [t] disertai dengan proses

    pembulatan bibir, sehingga bunyi [t] terdengar sebagai bunyi [tw]. Jadi, kata

    dilafalkan menjadi [twujuwan].

    b. Retrofleksi

    Retrofleksi adalah proses penarikan ujung lidah melengkung ke arah

    palatum sewaktu artikulasi primer berlangsung sehingga bunyi [r]. Selain

    bunyi apikal, bunyi lain dapat diretrofleksikan. Misalnya, bunyi [k] adalah

    bunyi dorsopalatal, tetapi bunyi [k] pada dilafalkan sebagai bunyi

    [kr] karena bunyi [k] itu direrofleksikan dulu. Jadi, kata dilafalkan

    menjadi [kretas].

    c. Palatalisasi

    Palatalisasi adalah proses pengangkatan daun lidah ke arah langit-

    langit keras (palatum) sewaktu artikulator primer berlangsung. Selain bunyi

  • 25

    palatal, bunyi lainnya dapat dipalatalisasikan. Misalnya, bunyi [p] adalah

    bunyi apikoalveolar tak bersuara, tetapi pada kata , bunyi [p]

    dipalatalisasikan sehingga terdengar sebagai bunyi [py]. Maka, kata

    dilafalkan menjadi [pyara].

    d. Velarisasi

    Velarisasi adalah proses pengangkatan pangkal lidah (dorsum) ke arah

    langit-langit lunak (velum) ketika artikulasi primer berlangsung. Selain bunyi

    velar, bunyi lain dapat divelarisasikan. Misalnya, bunyi [m] pada kata

    direalisasikan menjadi [mx]. Oleh karena itu, kata

    dilafalkan [mxaxluk].

    e. Faringalisasi

    Faringalisasi adalah proses penyempitan rongga faring ketika

    artikulasi sedang berlangsung dengan cara menaikkan laring, mengangkat

    uvular (ujung langit-langit lunak), serta dengan menarik belakang lidah

    (dorsum) ke arah dinding faring. Semua bunyi dapat difaringalisasikan.

    f. Glotalisasi

    Glotalisasi adalah proses pernyataan bunyi hambat pada glotis (glotis

    tertutup rapat) sewaktu artikulasi primer berlangsung. Misalnya, bunyi [a]

    dan bunyi [o] pada kata dan dilafalkan menjadi [?akan] dan

    [o?bat]. Begitu juga bunyi [a] pertama pada kata dan dilafalkan

    menjadi [ta?at] dan [sa?at].

    2. Akibat Pengaruh Bunyi Lingkungan

  • 26

    Akibat pengaruh bunyi lingkungan (bunyi yang berada sebelum atau

    sesudah bunyi utama) akan terjadi dua peristiwa perubahan yang disebut

    asmilasi dan disimilasi.

    a. Asimilasi

    Yang dimaksud dengan asimilasi adalah perubahan bunyi secara

    fonetis akibat pengaruh yang berada sebelum atau sesudahnya. Kalau arah

    pengaruh itu ke depan disebut asimilasi progresif. Kalau arah pengaruh itu ke

    belakang disebut asimilasi regresif.

    Asimilasi progresif, umpamanya bunyi [t] adalah bunyi apikoalveolar

    atau apikodental; tetapi pada kata bunyi [t] itu dilafalkan sebagai

    bunyi [t] laminoalveolar. Perubahan bunyi hambat apikoalveolar [t] menjadi

    bunyi hambat laminoalveolar adalah karena pengaruh secara progresif dari

    bunyi geseran laminopalatal [s].

    Asimilasi regresif, umpamanya bunyi [p] adalah bunyi hambat

    bilabial; tetapi bunyi [p] pada silabel pertama kata dilafalkan secara

    apikoalveolar. Perubahan bunyi hambat bilabial [p] menjadi bunyi hambat

    apikoalveolar adalah karena pengaruh nasal [n].

    Asimilasi, baik progresif maupun regresif lazim diartikan sebagai

    penyamaan dua buah bunyi yang berbeda menjadi dua buah bunyi yang sama.

    Dalam kasus kedua contoh di atas yang disamakan adalah tempat

    artikulasinya. Bunyi [t] yang sebenarnya vokal apikoalveolar diubah menjadi

    bunyi laminoalveolar disamakan dengan bunyi [s] yang laminopalatal.

  • 27

    b. Disimilasi

    Disimilasi merupakan proses kebalikan dari asimilasi. Kalau dalam

    asimilasi dua buah bunyi yang tidak sama diubah menjadi sama, maka dalam

    kasus disimilasi dua buah bunyi yang sama diubah menjadi dua buah bunyi

    yang berbeda atau tidak sama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada kata

    belajar, yang berasal dari pembentukan ber + ajar, yang seharusnya menjadi

    belajar. Namun, di sini bunyi [r] pertama didisimilasikan dengan bunyi [l],

    sehingga menjadi belajar. Contoh lain bunyi [r] dan [r] pada kata terantar

    diubah menjadi bunyi [l] dan [r] sehingga telantar.

    3. Akibat Distribusi

    Yang dimaksud distribusi dengan distribusi adalah letak atau tempat

    suatu bunyi dalam satu suatu ujaran. Akibat distribusi ini akan terjadi

    perubahan bunyi yang disebut aspirasi, pelesapan (release), pemanduan dan

    netralisasi.

    a. Aspirasi

    Aspirasi adalah pengucapan suatu bunyi yang disertai dengan

    hembusan keluarnya udara dengan keras, sehingga terdengar bunyi [h].

    Misalnya, bunyi [p] dalam bahasa Inggris bila berposisi pada awal kata akan

    diucapkan dengan aspirasi, sehingga terdengar sebagai bunyi [ph]. Jadi, kata

    dan akan diucapkan menjadi [pheis] dan [phit]. Namun, bila

    kosonan [p] itu berada pada posisi akhir kata atau berada sesudah bunyi

  • 28

    laminoalveolar, maka aspirasi itu tidak ada, seperti pada kata yang

    diucapkan dan kata yang diucapkan . Bunyi yang

    beraspirasi disebut bunyi aspirat.

    b. Pelesapan (release)

    Pelesapan (release) adalah pengucapan bunyi hambat letup tanpa

    hambatan atau letupan, lalu dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Jadi,

    hambatan atau letupan itu dilepaskan atau dibebaskan. Misalnya bunyi [p]

    adalah bunyi hambat letup bersuara; tetapi bunyi [p] pada kata

    dilafalkan tanpa hambat letup. Begitu juga bunyi [t] yang sebenarnya berupa

    bunyi hambat letup, pada kata dilafalkan tanpa hambat letup.

    c. Pemaduan (Pengafrikatan)

    Pemaduan atau pengakfrikatan adalah penghilangan letupan pada

    bunyi hambat letup. Dalam hal ini, setelah hambat letup dilesapkan, lalu bunyi

    digeserkan secara perlahan-lahan. Jadi, artikulasi bukan hambat letup

    melainkan menjadi hambat geser. Misalnya, bunyi [t] pada kata dan

    dilafalkan menjadi [hbats] dan [tmpats].

    d. Harmonisasi Vokal

    Harmonisasi vokal adalah proses penyamaan vokal pada silabe

    pertama terbuka dengan vokal pada silabe kedua yang tertutup. Umpamanya

    pada kata-kata , , dan vokal [e] dilafalkan sebagai

    bunyi [e]; tetapi pada kata , , dan diucapkan sebagai

    bunyi []. Namun, pada kata , , dan tarik dilafalkan

  • 29

    sebagai [bbk], [ktk], dan [srt]. Jadi, meskipun pada silabe terbuka bunyi

    [e] itu dilafalkan sebagai [] juga. Hal ini terjadi karena pengaruh atau dari

    distribusi [e] yang terdapat pada silabel kedua yang tertutup. Peristiwa inilah

    yang disebut dengan istilah harmonisasi vokal.

    e. Netralisasi

    Netralisasi ialah hilangnya kontras antara dua buah fonem yang

    berbeda. Misalnya, bunyi [b] pada kata bisa dilafalkan sebagai bunyi

    [p] dan juga sebagai [b], sehingga kata itu bisa dilafalkan sebagai

    [jawab] dan [jawap]. Hal seperti ini di dalam kajian fonemik disebut

    arkifonem, yakni dua buah fonem yang kehilangan kontrasnya. Sebagai

    arkifonem kedua fonem itu dilambangkan sebagai fonem /B/ (ditulis huruf

    kapital). Kenapa fonem /B/ bukan /p?/ karena apabila diberi proses afikasasi

    dengan sufiks {-an}, fonem /b/nya itu akan muncul kembalu jadi {jawab}+{-

    an}[ja.wa.ban].

    4. Akibat Proses Morfologi

    Perubahan bunyi akibat adanya proses morfologi lazim disebut dengan

    istilah morfofonemik atau morfofonologi. Dalam proses ini dapat terjadi

    peristiwa (a) pemunculan fonem, (b) pelesapan fonem, (c) peluluhan fonem,

    (d) pergeseran fonem, dan (e) perubahan fonem.

  • 30

    a. Pemunculan Fonem

    Yang dimaksud dengan pemunculan fonem adalah hadirnya sebuah

    fonem yang sebelumnya tidak ada akibat dari terjadinya proses morfologi.

    Misalnya, dalam prefiksasi me- atau pe- akan muncul bunyi nasal yang

    homorgan dengan fonem pertama dari dasar yang diberi periksa itu. Contoh:

    {me-} + {bina} membina

    {pem-} + {bina} Pembina

    Juga akan muncul bunyi pelancar [y] apabila sebuah kata yang berakhir

    dengan bunyi [i] diberi sufiks {-an}; dan akan muncul bunyi pelancar [w]

    apabila sebuah kata yang berakhir dengan bunyi [u] diberi sufiks {-an}.

    Contoh:

    {hari} + {-an} [hariyan]

    {satu} + {-an} [satuwan]

    b. Pelesapan Fonem

    Pelesapan fonem adalah peristiwa hilangnya fonem akibat proses

    morfologis. Misalnya, hilangnya bunyi [r] yang ada pada prefiks {ber-} dalam

    proses prefiksasi pada kata ; hilangnya bunyi [h] pada proses

    pengimbuhan dengan akhiran {wan} pada kata ; dan hilangnya

    bunyi [k] pada proses pengimbuhan dengan akhiran {nda}. Contoh:

    {ber} + {renang} [berenang]

    {sejarah} + {wan} [sejarahwan]

  • 31

    {anak} + {nda} [ananda] Dalam perkembangan bahasa Indonesia terakhir ada juga proses pelesapan

    bunyi yang sama dalam proses komposisi.

    Contoh:

    {pasar} + {raya} [pasaraya]

    {kereta} + {api} [keretapi]

    {ko} + {operasi} [koperasi]

    c. Peluluhan Fonem

    Peluluhan fonem adalah proses luluhnya sebuah fonem, lalu menyatu

    pada fonem berikutnya. Hal ini terjadi dalam prefiksasi {me-} atau {pe} pada

    kata yang dimulai dengan konsonan tak bersuara, yaitu [s, k, p, dan t].

    Contoh:

    {me} + {sikat} [mikat]

    {pe} + {sikat} [pikat]

    {me} + {kirim} [mKirim]

    {pe} + {kirim} [pKirim]

    {me} + {pilih} [mmilih]

    {pe} + {pilih} [pmilih]

    {me} + {tulis} [mnulis]

    {pe} + {tulis} [pnulis]

  • 32

    d. Pergeseran Fonem

    Pergeseran fonem adalah berubahnya posisi sebuah fonem dari satu

    silabel ke dalam silabel berikutnya. Umpamanya fonem /t/, fonem /n/, fonem

    /m/ pada kata , , dan akan pindah ke silabel

    berikutnya bila diberi sufiks {-an}. Contoh:

    {lom.pat} + {an} [lm.pa.tan]

    {ma.kan} + {an} [ma.ka.nan]

    {mi.num} + {an} [mi.nu.man]

    e. Perubahan Fonem

    Perubahan fonem adalah proses berubahnya sebuah fonem yang lain

    karena menghindari adanya dua bunyi sama. Umpamanya, dalam proses

    prefiksasi {ber} pada kata dan prefiksasi {ter} pada kata ,

    bunyi [r] pada prefiks {ber} berubah menjadi bunyi [l].

    {ber} + {ajar} [blajar]

    {ter} + {anjur} [tlanjur]

    Perubahan bunyi yang sama menjadi dua bunyi yang berbeda dalam konsep

    lain disebut disimilasi.

    5. Akibat dari Perkembangan Sejarah

    Perubahan bunyi akibat dari perkembangan sejarah ini tidak berkaitan

    dengan kajian fonologi, melainkan berkenaan dengan pemakaian sejumlah

    unsure leksikal di dalam masyarakat dan budaya. Perubahan yang berkenaan

  • 33

    dengan perkembangan sejarah pemakaian bahasa ini, antara lain, adalah

    proses kontraksi (penyingkatan), metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan

    anaptiksisi.

    a. Kontraksi (penyingkatan)

    Kontraksi atau penyingkatan adalah proses menghilangkan sebuah

    bunyi atau lebih pada sebuah unsure leksikal. Dilihat dari bagian mana dari

    unsure leksikal itu yang dihilangkan dapat dibedakan atas aferesis, apokop,

    dan sinkop.

    Aferesis adalah proses penghilangan satu fonem atau lebih pada awal

    kata. Misalnya:

    tetapi tapi

    pepermin permen

    upawasa puasa

    hembus embus

    hutang utang

    satu atu

    Apokop adalah proses penghilangan satu fonem atau lebih pada akhir

    kata. Misalnya:

    pelangit pelangi

    mpulau pulau

    president presiden

  • 34

    Sinkop adalah proses penghilangan sebuah fonem atau lebih pada

    tengah kata. Misalnya:

    barahu baru

    sahaya saya

    utpatti upeti

    b. Metatesis

    Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata.

    Dalam bahasa Indonesia kata-kata yang mengalami proses metatesis ini tidak

    banyak. Di antaranya yang ada adalah

    jalur lajur

    royal loyar

    brantas bantras

    ulur urul

    kelikir kerikil

    sapu apus

    c. Diftongisasi

    Diftongisasi adalah proses perubahan vokal tunggal menjadi vokal

    rangkap secara berurutan. Perubahan vokal tunggal ke vokal rangkap ini

    masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan. Jadi, masih dalam satu

    silabel. Misalnya:

    anggota anggauta, bunyi [o] [au]

  • 35

    sentosa sentausa, bunyi [o] [au]

    teladan tauladan, bunyi [e] [au]

    topan taupan, bunyi [o] [au]

    d. Monoftongisasi

    Monoftongisasi adalah proses perubahan dua buah vokal atau gugus

    vokal menjadi sebuah vokal. Proses ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia

    akibat dari ingin memudahkan ucapan. Misalnya:

    [ramay] diucapkan [rame]

    [kalaw] diucapkan [kalo]

    [satay] diucapkan [sate]

    e. Anaftiksis

    Anaftiksis adalah proses penambahan bunyi vokal di antara dua

    konsosnan dalam sebuah kata; atau penambahan sebuah kosonan pada sebuah

    kata tertentu. Kita mengenal adanya tiga macam anaftaksis, yaitu protesis,

    epentesis, dan paragog.

    Protesis adalah proses penambahan bunyi pada awal kata. Misalnya:

    mas emas

    mpu empu

    tik ketik

    lang elang

    Epentesis adalah proses penambahan bunyi pada tengah kata. Misanya:

  • 36

    kapak kampak

    sajak sanjak

    upama umpama

    beteng benteng

    Paragog adalah prose penambahan bunyi pada posisi akhir kata.

    Misalnya:

    hulubala hulubalang

    ina inang

    adi adik

    b) Kosonan

    Kosonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan cara, setelah

    arus ujar keluar dari glotis, lalu mendapat hambatan pada alat-alat ucap

    tertentu di dalam rongga mulut dan rongga hidung (Chaer, 2009:48). Bunyi

    bahasa ini dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat ucap.

    Proses hambatan atau artikulasi ini dapat disertai dengan bergetar pita suara,

    sehingga terbentuk bunyi konsonan bersuara. Jika artikulasi itu tidak disertai

    dengn bergetarnya pita suara, glotis dalam keadaan terbuka akan

    menghasilkan konsonan takbersuara. Dalam bahasa Indonesia terdapat dua

    puluh tiga konsonan, yakni [b, c, d, f, g, h, j, k, l, ?, m, n, , , p, r, s, f, t, w, x,

    y, z] (Chaer, 2009:15).

  • 37

    Chaer (2009:48) menjelaskan ihwal pembentukan kosonan didasarkan

    pada empat faktor, tempat artikulasi, cara artikulasi, bergetar tidaknya pita

    suara, dan striktur. Berdasarkan tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya

    bunyi konsonan atau tempat bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif

    dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas:

    a) Konsonan bilabial, yaitu konsonan yang dihasilkan dalam

    pembentukannya dihasilkan oleh bibir atas sebagai artikulator pasif dan

    bibir bawah sebagai artikulator aktif . Bunyi yang dihasilkan [p, b, m, w].

    b) Konsonan labiodental, yaitu konsonan yang dihasilkan pertemuan antara

    gigi atas sebagai artikulator pasif dan bibir bawah sebagai artikulator aktif.

    Bunyi yang dihasilkan [f, v].

    c) Konsonan apikoalveolar, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan

    mempertemukan ujung lidah sebagai artikulator aktif dan ceruk gigi

    sebagai artikulator pasif. Bunyi yang dihasilkan [t, d, n].

    d) Konsonan laminoalveolar, yaitu konsonan yang dihasilkan pertemuan

    antara daun lidah dan ujung lidah sebagai artikulator aktif dan gusi sebagai

    artikulator pasif. Bunyi yang dihasilkan [s, z, r, ].

    e) Konsonan laminopalatal, yaitu konsonan yang dihasilkan pertemuan

    antara daun lidah sebagai artikulator aktif dan langit-langit keras sebagai

    artikulator pasif. Bunyi yang dihasilkan [c, j, y, , ].

  • 38

    f) Konsonan dorsovelar, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh pangkal lidah

    sebagai artikulator aktif dan langit-langit lunak sebagai artikulator pasif .

    Bunyi yang dihasilkan [k, g, x, ].

    g) Konsonan glotal atau hamzah, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan

    posisi pita suara sama sekali merapat maka glotis dalam keadaan tertutup.

    Bunyi yang dihasilkan [?].

    h) Konsonan laringal, yaitu konsonan yang dihasilkan terjadi apabila

    artikulatornya sepasang pita suara. Udara yang dihembuskan dari paru-

    paru pada waktu melewati glotis digeserkan. Glotis dalam posisi terbuka.

    Posisi terbuka ini lebih sempit daripada posisi glotis terbuka lebar dalan

    bernafas normal [h].

    Berdasarkan cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap

    arus udara yang baru ke luar dari glottis dalam menghasilkan bunyi konsonan

    itu, konsonan dapat dibedakan atas:

    a) Konsonan hambat (stop), yaitu konsonan yang terjadi dengan hambatan

    penuh arus udara kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba,

    seperti bunyi [b, p, d, t, g, k, ?].

    b) Konsonan paduan atau afrikatif, yaitu kosonan yang terjadi dengan

    menghambat penuh arus udara dari paru-paru, kemudian hambatan itu

    dilepaskan secara bergeser pela-pelan, seperti bunyi [c, j].

  • 39

    c) Konsonan geser atau frikatif, yaitu konsonan yang dibentuk dengan

    menyempitkan jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru,

    sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser, seperti

    bunyi [f, v, s, h, , x, z]

    d) Konsonan lateral atau sampingan, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan

    menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar melalui

    kedua samping atau sebelah samping, seperti bunyi [l].

    e) Konsonan getar atau tril, yaitu konsonan yang dibentuk dengan

    menghambat jalannya arus udara yang dihembuskan dari paru-paru secara

    berulang-ulang dan cepat, seperti bunyi [r].

    f) Semi-vokal, yaitu konsonan yang pada waktu dihasilkan belum

    membentuk konsonan murni, seperti bunyi [w] dan [y].

    Pada konsonan hambat, fonem yang disudahi dengan letupan disebut

    konsonan eksplosif, seperti [p] pada lapar, pukul, dan lipat (posisi awal dan

    tengah suku kata), sedangkan konsonan yang diakhiri oleh letupan disebut

    konsonan implosif, seperti [p] pada gelap, kalap, dan tetap (akhir suku kata).

  • 40

    Bedasarkan posisi serta bergetar tidaknya pita suara, konsonan dapat

    dibedakan atas:

    a) Konsonan bersuara, yaitu konsonan yang terjadi jika udara yang keluar

    dari rongga ujaran turut menggetarkan pita suara, seperti bunyi [b, d, g, ?,

    j, v, z, , x, h].

    b) Konsonan tak bersuara, yaitu konsonan yang terjadi jika udara yang keluar

    dari rongga ujaran tidak menggetarkan pita suara, seperti bunyi [p, t, k, c,

    f, s].

    Berdasarkan jalan keluarnya udara dari rongga ujaran, konsonan dapat

    dibedakan atas:

    a) Konsonan oral (konsonan yang terjadi jika udara keluar melalui rongga

    mulut)

    b) Konsonan nasal (konsonan yang terjadi jika udara keluar melalui rongga

    hidung). Semua jenis konsonan merupakan bunyi konsonan oral, kecuali

    bunyi [m, n, , dan ]

    Berbeda dengan pembentukan vokal yang didasarkan pada posisi

    lidah, tinggi-rendahnya lidah, maju mundurnya lidah serta strikturnya,

    konsonan dibentuk berdasarkan daerah artikulasi, cara artikulasi, posisi pita

    suara, dan jalan keluarnya udara. Berdasarkan poin-poin yang disebutkan di

    atas konsonan dapat dijelaskan sebagai berikut.

  • 41

    Bagan Pembentukan Konsonan

    Tempat

    Artikulasi

    Cara

    Artikulasi

    Hambat BS

    (letup) TBS b

    p

    d

    t

    g

    k

    ?

    Nasal m n

    Paduan BS

    (Afrikatif) TBS j

    c

    Sampingan

    (lateral)

    llll

    Geseran BS

    (frikatif) TBS v

    f

    z

    s

    x h

    Getar (tril) r

    Semivokal w y

    (Chaer, 2009:72)

    Ket: BS = bersuara

    TBS= tidak bersuara

    Bila

    bia

    l

    Labi

    ode

    nta

    l

    Api

    koa

    lveo

    lar

    Lam

    inoa

    lveo

    lar

    Lam

    ino

    pala

    tal

    Do

    rso

    vel

    ar

    Uv

    ula

    r

    Lari

    nga

    l

    Glo

    tal

  • 42

    2) Bunyi Nasal dan Oral

    Bunyi nasal atau sengau dibedakan dari bunyi oral berdasakan jalan keluar

    arus udara. Bunyi nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga

    mulut, tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan

    arus udara keluar melalui rongga mulut dapat terjadi pada: (1) antara kedua bibir,

    hasilnya bunyi [m], (2) antar ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi [n], (3) antara

    pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi [], dan antara ujung lidah

    dengan langit-langit keras, hasilnya bunyi [].

    Bunyi oral dihasilkan dengan jalan mengangkat rongga hidung, sehingga arus

    udara dari paru-paru keluar melalui mulut, selain bunyi nasal, semua bunyi vokal dan

    konsonan bahasa Indonesia termasuk bunyi oral.

    3) Bunyi Keras dan Lunak

    Bunyi keras (fortis) dibedakan dari bunyi lunak (lenis) berdasarka ada

    tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan. Bunyi bahasa

    disebut keras apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus

    udara. Sebaliknya, apabila pada waktu diartikulasikan tidak disertai ketegangan

    kekuatan arus udara, bunyi itu disebut lunak.

    Dalam bahasa Indonesia terdapat kedua jenis bunyi tersebut. Wujud bunyi

    keras maupun bunyi lunak dapat berupa vokal dan konsonan. Bunyi keras mencakupi

    beberapa jenis bunyi, seperti: (1) bunyi letup tak bersuara [p, t, c, k], (2) bunyi gesek

    tak bersuara [s], dan (3) bunyi vokal [a, i, u, e, o]. Sedangkan bunyi lunak mencakupi:

  • 43

    (1) bunyi letup bersuara [b, d, j, g], (2) bunyi geseran bersuara [z], dan (3) bunyi nasal

    [m, n, , ], (4) bunyi likuida [r, l], (5) bunyi semi-vokal [w, y], dan (6) bunyi vokal

    [i, e, o, u].

    4) Bunyi Panjang dan Pendek

    Bunyi panjang dibedakan dari bunyi pendek berdasarkan lamanya bunyi

    tersebut diucapkan atau diartikulasikan. Vokal dan konsonan dapat dibedakan atas

    bunyi panjang dan bunyi pendek. Dari segi transkrip fonetis, tanda bunyi panjang

    lazimnya ditandai dengan tanda garis pendek di atasnya [..] atau dengan tanda titik

    dua di akhir bunyi [..:]. Misalnya, [a] panjang akan ditulis [] atau [a:].

    1) Bunyi Nyaring dan tidak Nyaring

    Bunyi nyaring dibedakan dengan bunyi tidak nyaring berdasarkan derajat

    kenyaringan bunyi pada waktu terdengar oleh telinga. Derajat kenyaringan itu sendiri

    ditentukan oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diucapkan.

    Makin luas ruang resonansi saluran bicara yang dipakai pada waktu membentuk

    bunyi bahasa, makin tinggi derajat kenyaringannya. Sebaliknya, makin sempit ruang

    resonansinya, maka akan makin rendah derajat kenyaringannya.

  • 44

    2) Bunyi Tunggal dan Rangkap

    Bunyi tunggal adalah sebuah bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata,

    sedangkan bunyi rangkap adalah dua bunyi atau lebih yang bergabung dalam satu

    suku kata. Semua bunyi vokal dan konsonan adalah bunyi tunggal.

    Bunyi rangkap dapat berupa diftong maupun klaster. Diftong yang lazim

    disebut vokal rangkap, dibentuk apabila keadaan posisi lidah sewaktu mengucapkan

    bunyi vokal yang satu dengan yang lainnya saling berbeda. Misalnya, dalam bahasa

    Indonesia terdapat diftong [oi], [ai], dan [aU].

    Klaster, yang lazim disebut gugus konsonan, dibentuk apabila cara artikulasi

    atau tempat artikulasi dari kedua konsonan yang diucapkan saling berbeda. Misalnya,

    dalam bahasa Indonesia terdapat gugus [pr], [kr], [tr], dan [bl].

    3) Bunyi Egresif dan Ingresif

    Bunyi egresif dan ingresif dibedakan berdasarkan arus udara. Bunyi egresif

    dibentuk dengan cara mengeluarkan arus ke udara dari dalam paru-paru, sedangkan

    bunyi ingresif dibentuk dengan cara menghisap udara ke dalam paru-paru.

    Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.

    Bunyi egresif dibedakan atas bunyi egresif pulmonik dan egresif glotik. Bunyi

    egresif pulmolik dibentuk dengan cara mengecilkan ruangan paru-paru oleh otot

    paru-paru, otot perut dan rongga dada. Sedangkan bunyi egresif glotalik (bunyi

    ejektif) terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis dalam kedaan

  • 45

    tertutup sama sekali. Dalam kenyataannya, hamper semua bunyi bahasa Indonesia

    dibentuk melalui agresif pulnomik.

    Bunyi ingresif dibedakan atas bunyi ingresif glotalik dan bunyi ingresif

    velarik. Bunyi ingresif glotalik memiliki kemiripan dengan cara pembentukan bunyi

    egresif glotalik, hanya arus udaranyalah yang membedakannya. Bunyi ingresif velarik

    dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah dan menempatkannya pada langit-langit

    lunak.

    Dalam hal ini, pengkajian fonologi terhadap tuturan penderita afasia broca

    yang mengalami gangguan stroke merupakan bagian dari pengkajian linguistik

    (struktur bahasa), serta untuk membuktikan bahwa proses bahasa tuturan penderita

    afasia broca yang mengalami gangguan stroke dalam proses pelafalannya berbeda

    disebabkan karena alat ucap yang terganggu akibat kerusakan yang terjadi pada

    daerah broca.

    2.4 Ihwal Afasia

    Menurut kamus kedokteran Dorlan dalam (Hamdani, 2007:14), penyakit

    afasia adalah hilangnya kemampuan ekspresi bicara dan menulis atau untuk

    memahami bahasa dengan lisan atau tulisan yang disebabkan oleh trauma atau

    penyakit di pusat otak besar. Selain itu Garman dalam (Hamdani, 2007:14)

    menjelaskan bahwa secara tradisional afasia didefinisikan sebagai kerusakan

  • 46

    kemampuan berbahasa pada saat berbicara disebabkan adanya kerusakan pada bagian

    otak.

    Gangguan bahasa karena kelainan hemisfir kiri disebut afasia. Penyebab

    afasia pada semua penderita adalah penyakit CVA (cerebral vascular accident) atau

    stroke. Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena

    terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami dan

    mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah

    lobus frontalis di sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan

    pada bagian mana pun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala dan

    infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.

    2.4.1 Macam-macam gangguan wicara afasia

    Ada berbagai macam gangguan wicara afasia, tergantung pada daerah mana

    di hemisfir yang terkena stroke. Berikut adalah beberapa macam yang umum

    ditemukan (Kaplan, dalam Darjowidjojo, 2005:214).

    1) Afasia Broca: kerusakan (yang pada umumnya disebut lesion) terjadi pada

    daerah Broca. Karena daerah ini berdekatan dengan jalur korteks motor maka

    yang sering terjadi adalah bahwa alat-alat ujaran, termasuk bentuk mulut,

    menjadi terganggu; kadang-kadang mulut bisa mencong (Kaplan, dalam

    Dardjowidjojo, 2005:214). Afasia broca menyebabkan gangguan pada

    perencanaan dan pengungkapan ujaran. Kalimat-kalimat yang diproduksi

  • 47

    terpatah-patah. Karena alat penyuara juga terganggu maka seringkali lafalnya

    juga tidak jelas. Kata-kata kategori sintaksis utama seperti nomina, verba, dan

    adjektiva tidak terganggu, tetapi pasien kesukaran dengan kat-kata fungsi.

    2) Afasia Anomik: kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari lobe parietal

    atau pada batas antara lobe parietal dengan lobe temporal. Gangguan

    wicaranya tampak pada ketidak-mampuan penderita untuk mengaitkan konsep

    dan bunyi atau kata yang mewakilinya. Jadi, kalau kepada pasien ini diminta

    untuk mengambil benda yang bernama gunting, dia akan bisa melakukannya.

    Akan tetapi, kalau kepadanya ditunjukkan gunting, dia tidak akan dapat

    mengatakan nama benda itu.

    3) Afasia Global: pada afasia ini kerusakan terjadi tidak pada satu atau dua

    daerah saja tetapi di beberapa daerah yang lain; kerusakan bisa menyebar dari

    daerha Broca, melewati korteks motor, menuju ke lobe parietal, dan sampai ke

    daerah Wernicke. Luka yang sangat luas ini tentunya mengakibatkan

    gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik, penderita bisa

    lumpuh di sebelah kanan, mulut bisa mencong, dan lidah bisa tidak cukup

    fleksibel. Dari segi verbal, dia bisa kesukaran memahami ujaran orang, ujaran

    dia tidak mudah dimengerti orang, kata-kata dia tidak diucapkan dengan

    cukup jelas.

    4) Afasia konduksi (conduction aphasia): bagian otak yang rusak pada afasia

    macam ini adalah fiber-fiber yang ada pada fasikulus arkurat yang

    menghubungkan lobe frontal dengan lobe temporal. Karena hubungan daerah

  • 48

    Broca di lobe frontal yang menangani produksi dengan daerah Wernicke di

    lobe temporal yang menangani komperhensi terputus maka pasien afasia

    konduksi tidak dapat mengulang kata yang baru saja diberikan kepadanya. Dia

    dapat memahami apa yang dikatakan orang.

    2.4.2 Ihwal Afasia Broca

    Kerusakan (yang umumnya disebut lesion) terjadi pada daerah Broca. Karena

    dearah daerah ini berdekatan dengan jalur korteks motor maka yang sering terjadi

    adalah bahwa alat-alat ujaran, termasuk bentuk mulut, menjadi terganggu; kadang-

    kadang mulut bisa mencong. Afasia broca menyebabkan gangguan pada

    perencanaan yang pengunngkapan ujaran. Kalimat-kalimat yang diproduksi

    Karena alat penyuara juga terganggu maka seringkali lafalnya juga tidak jelas.

    Kata-kata dari kategori sintaktik utama seperti nomina, verba, dan aadjektiva tidak

    terganggu, tetapi pasien kesukaran dengan kata-kata fungsi. Pasien bisa mengingat

    dan mengucapkan nomina bee atau witch, tetapi dia kesukaran mengingat dan

    mengatakan be atau which. Kalimat-kalimat di juga banyak yang tanpa infleksi

    atau afiks (Soejono, 2005:214).

    Pengertian lain mengenai Afasia broca yaitu kerusakan daerah bahasa atau

    pusat bahasa yang mengendalikan baik artikulasi maupun peran yang unik dalam

    pembentukan kata dan kalimat, karena daerah broca berhubungan dengan unsur

    struktur dan organisasi bahasa. Oleh karena itu, area broca pada otak bertanggung

    jawab untuk kaidah artikulasi yang menciptakan pola bunyi, untuk kaidah

    morfologi dan sintaksis, antara lain dalam membentuk kata dan frasa.

  • 49

    2.5 Ihwal Stroke

    Ukuran otak pada manusia maksimal 2% dari seluruh ukuran badan manusia,

    ia menyedot banyak sekali energi kurang dari 15% dari seluruh aliran darah dan

    20% dari sumberdaya metabolic tubuh. Apabila aliran darah pada otak tidak

    cukup, atau ada penyempitan pembuluh darah atau gangguan lain yang

    menyebabkan jumlah oksigen yang diperlukan berkurang, maka akan terjadi

    kerusakan pada otak. Penyakit yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah,

    tersumbatnya pembuluh darah, atau kurangnya oksigen pada otak dinamakan

    stroke.

    Stroke mempunyai berbagai akibat. Karena adanya kontrol silang dari

    hemisfir kiri dan hemisfir kanan maka stroke yang terdapat pada hemisfir kiri

    (kalau menyebabkan gangguan fisik) akan menyebabkan gangguan pada belahan

    badan sebelah kanan. Sebaliknya, kalau stroke itu terjadi pada hemisfir kanan,

    maka bagian kiri tubuhlah yang akan terganggu.

    Akibat penyakit stroke juga ditentukan oleh letak kerusakan pada hemisfir

    yang bersangkutan. Pada umumnya, kerusakan pada hemifris kiri mengakibatkan

    munculnya gangguan wicara. Gangguan macam apa yang timbul ditentukan oleh

    persisnya di mana kerusakan itu terjadi. Gangguan wicara yang disebabkan oleh

    stroke dinamakan afasia (aphasia).

    Orang yang mengalami stroke memiliki kecenderungan untuk sembuh apabila

    mempunyai tekad yang kuat karena tekad itu harus didasarkan oleh niat yang

  • 50

    berasal dari dirinya sendiri dan dukungan dari orang-orang di sekitar seperti

    keluarga, itu sangat penting untuk proses penyembuhan. Proses penyembuhan bisa

    dilakukan dengan mengikuti terapi yang diperuntukan bagi penderita stroke.

    Terapi berguna untuk mempercepat proses penyembuhan dengan tahapan-tahapan

    tertentu.

    2.6 Ihwal Kosakata

    Menurut KBBI (2008: 736) kosakata adalah perbendaharaan kata. Selain

    itu kosakata adalah kata atau frasa dari kosakata dasar yang dulu konteks teknis

    dengan makna khusus.

    Definisi kosakata menurut Kridalaksana (1993:127) adalah:

    a) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan

    pemakaian kata dalam bahasa;

    b) Kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa;

    c) Daftar kata yang disusun seperti kamus dengan penjelasan yang singkat dan

    praktis.

    Menurut Tarigan (2008: 28) kosakata adalah kata-kata yang tidak mudah

    berubah atau sedikit sekali kemungkinannya dipungut dari bahasa lain, yang

    termasuk kedalam kosakata dasar tersebut adalah sebagai berikut ini.

    1) Istilah kekerabatan : ayah, ibu, kakak, kakek, nenek dan lain-lain.

    2) Nama bagian tubuh: kepala, rambut, mata, telinga, hidung, mulut, bibir,

    gigi dan lain-lain.

  • 51

    3) Kata ganti (petunjuk diri): saya, mereka, kita, itu dan lain-lain.

    4) Kata bilangan pokok: satu, dua,tiga, empat, seratus, seribu, dan

    seterusnya.

    5) Kata kerja pokok: makan, minum, bangun, bicara, lari

    Apa yang diungkapkan oleh Tarigan sejalan dengan yang diungkapkan

    oleh Syamsudin (1991:25) dalam Milasari (2008) yang mengungkapkan

    bahwa kosakata dasar adalah pengertian istilah berasal dari pinjaman dan

    kata-kata itu menggambarkan keadaan yang original dari kehidupan dan

    kebudayaannya, seperti menyangkut anggota tubuh, nama tumbuhan,

    makanan, iklim dan lain-lain.

    Selain itu, terdapat pandangan Dale dalam Tarigan (1985:3) yang

    menganggap betapa pentingnya memahami kosakata, di antaranya sebagai

    berikut.

    1) Kuantitas dan kualitas penguasaan kosakata seseorang merupakan indeks

    pribadi yang terbaik bagi perkembangan mentalnya.

    2) Perkembangan kosakata merupakan perkembangan konseptual.

    3) Sistematis pengembangan kosakata dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,

    kemampuan, dan status sosia.

    4) Faktor geografis mempengaruhi perkembangan kosakata.

  • 52

    5) Penelaah kosakata yang efektif hendaknya beranjak dari kata-kata yang

    sudah diketahui menuju kata-kata yang sudah diketahui menuju kata-kata

    yang belum atau tidak diketahui.