tinea corporis et cruris

5
TINEA CORPORIS et CRURIS TINEA CORPORIS 1.1. DEFINISI Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). 1 Tinea corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut, wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas dan bawah, dan batang tubuh. 2 1.2. EPIDEMIOLOGI T. rubrum adalah agen menular yang paling umum di dunia dan merupakan sumber dari 47% dari kasus tinea corporis.Trichophyton tonsurans adalah yang paling umum dermatofit menyebabkan tinea capitis, dan orang-orang dengan infeksi tinea capitis anthropophilic lebih mungkin untuk mengembangkan terkait tinea corporis. Oleh karena itu, prevalensi tinea corporis yang disebabkan oleh T. tonsuransmeningkat. Microsporum canis adalah organisme kausatif ketiga yang paling umum dan terkait dengan 14% dari infeksi tinea corporis. Sebuah studi 5 tahun dari Kuwait yang mencakup 2.730 pasien melaporkan bahwa infeksi jamur kulit tetap lazim di negara itu, khususnya daerah Modal. Dalam pasien dengan dermatofit, 6 spesies yang terisolasi. Mereka termasuk Trichophyton mentagrophytes (39%), M canis (16%), T rubrum (10%), Epidermophyton floccosum (6,2%), Trichophyton violaceum (2,4%), dan Trichophyton verrucosum (0,4%) Tinea corporis terjadi baik pada pria maupun wanita. Wanita usia subur lebih mungkin untuk mengembangkan tinea corporis sebagai hasil dari mereka yang lebih besar frekuensi kontak dengan anak yang terinfeksi. Tinea corporis mempengaruhi orang dari semua kelompok umur, tetapi prevalensi tertinggi di preadolescents. Tinea corporis yang diperoleh dari hewan lebih umum pada anak-anak. Tinea corporis yang merupakan penyakit sekunder dari tinea capitis biasanya terjadi pada anak-anak karena tinea capitis lebih umum pada populasi ini. 3 1.3. ETIOLOGI Berbagai macam organisme dapat menyebabkan infeksi jamur tipe ini. Microsporum canis, T.rubrum, T.mentagrophytes adalah organisme penyebab yang paling sering. T. Tonsurans juga merupakan penyebab meningkatnya tinea corporis. 2 1.4. PATOGENESIS Dermatofit terutama hidup pada daerah yang mati, lapisan korneum kulit, rambut, dan kuku, yang menarik untuk lingkungan yang hangat, lembab kondusif untuk proliferasi jamur. Jamur dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya tidak menyerang secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat termasuk aktivasi serum faktor inhibitor, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear. Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit menginvasi perifer dalam pola sentrifugal. Sebagai tanggapan terhadap infeksi, perbatasan aktif memiliki peningkatan proliferasi sel epidermis dengan skala yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme defensi secara parsial sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan kulit yang sehat di bagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi dermatofit dicapai oleh sel imunitas. Trichophyton rubrum adalah dermatofit umum dan, karena dinding selnya, yang tahan terhadap eradikasi. Pelindung ini berisi mannan, yang dapat menghambat sel imunitas, menghambat proliferasi keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme untuk pertahanan alami kulit. 3 1.5. GEJALA KLINIS (GAMBARAN LESI) Kecil hingga besar, scaling, plak yang berbatas tegas dengan atau tanpa pustula atau vesikula, biasanya pada bagian tepi. Gambaran tepi yang lebih aktif disertai bagian tengah yang lebih tenang menghasilkan konfigurasi cincin konsentris atau lesi arkuata; fusi menghasilkan pola lesi berputar. Tunggal dan kadang-kadang beberapa tersebar lesi.

Upload: thallita-rahma-ziharviardy

Post on 26-Sep-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hndbxhgfb

TRANSCRIPT

TINEA CORPORIS et CRURISTINEA CORPORIS1.1.DEFINISITinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).1Tinea corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut, wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas dan bawah, dan batang tubuh.2

1.2.EPIDEMIOLOGIT. rubrumadalah agen menular yang paling umum di dunia dan merupakan sumber dari 47% dari kasus tinea corporis.Trichophyton tonsuransadalah yang paling umum dermatofit menyebabkan tinea capitis, dan orang-orang dengan infeksi tinea capitis anthropophilic lebih mungkin untuk mengembangkan terkait tinea corporis. Oleh karena itu, prevalensi tinea corporis yang disebabkan olehT. tonsuransmeningkat.Microsporum canisadalah organisme kausatif ketiga yang paling umum dan terkait dengan 14% dari infeksi tinea corporis.

Sebuah studi 5 tahun dari Kuwait yang mencakup 2.730 pasien melaporkan bahwa infeksi jamur kulit tetap lazim di negara itu, khususnya daerah Modal. Dalam pasien dengan dermatofit, 6 spesies yang terisolasi. Mereka termasuk Trichophyton mentagrophytes(39%), M canis (16%), T rubrum (10%), Epidermophyton floccosum (6,2%), Trichophyton violaceum (2,4%), dan Trichophyton verrucosum (0,4%)Tinea corporis terjadi baik pada pria maupun wanita. Wanita usia subur lebih mungkin untuk mengembangkan tinea corporis sebagai hasil dari mereka yang lebih besar frekuensi kontak dengan anak yang terinfeksi.

Tinea corporis mempengaruhi orang dari semua kelompok umur, tetapi prevalensi tertinggi di preadolescents. Tinea corporis yang diperoleh dari hewan lebih umum pada anak-anak. Tinea corporis yang merupakan penyakit sekunder dari tinea capitis biasanya terjadi pada anak-anak karena tinea capitis lebih umum pada populasi ini.3

1.3.ETIOLOGIBerbagai macam organisme dapat menyebabkan infeksi jamur tipe ini.Microsporum canis, T.rubrum, T.mentagrophytesadalah organisme penyebab yang paling sering.T. Tonsuransjuga merupakan penyebab meningkatnya tinea corporis.2

1.4.PATOGENESISDermatofit terutama hidup pada daerah yang mati, lapisan korneumkulit, rambut, dan kuku,yang menarik untuk lingkungan yang hangat, lembab kondusif untuk proliferasi jamur. Jamur dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya tidak menyerang secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat termasuk aktivasi serum faktor inhibitor, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear.

Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit menginvasi periferdalam pola sentrifugal. Sebagai tanggapan terhadap infeksi, perbatasan aktif memiliki peningkatan proliferasi sel epidermis dengan skala yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme defensi secara parsial sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan kulit yang sehat di bagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi dermatofit dicapai oleh sel imunitas.

Trichophyton rubrumadalah dermatofit umum dan, karena dinding selnya, yang tahan terhadap eradikasi. Pelindung ini berisi mannan, yang dapat menghambat sel imunitas, menghambat proliferasi keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme untuk pertahanan alami kulit.31.5.GEJALA KLINIS (GAMBARAN LESI)Kecil hingga besar,scaling,plak yang berbatas tegas dengan atau tanpa pustula atau vesikula, biasanya pada bagian tepi. Gambaran tepi yang lebih aktif disertai bagian tengah yang lebih tenang menghasilkan konfigurasi cincin konsentris atau lesi arkuata; fusi menghasilkan pola lesi berputar. Tunggal dan kadang-kadang beberapa tersebar lesi. Bullae. Lesi granulomatosa (granuloma Majocchi's). Psoriasiform plak. Lesi verukosa. Lesi infeksi zoophilic (dikontrak dari hewan) lebih inflamasi, dengan vesikulasi ditandai dan krusta pada tepi, bullae.4

1.6.DIAGNOSISDitemukannya lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1

1.7.PEMBANTU DIAGNOSISDiagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop pada kerokan kulit. Kerokan kulit dapat dikultur dengan menggunakan medium yang cocok. Pertumbuhan dari jamur pada media kultur paling sering muncul dalam waktu 1 atau 2 minggu.21.7.1.PEMERIKSAAN MIKROSKOPISSampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping)dan usapan lesi kulit. Bagian yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada temperatur kamar selama 2-5 meni, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.5

1.7.2.KULTUR BAKTERIBila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasilscrapping) dilanjutkan dengan kultur bakteri. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar, diinkubasi 370C, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Jenis bakteri diidentifikasikan dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji katalase. Bakteri Gram dan bentuk batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar. Dari hasil kultur bakteri dijumpai pada setiap tineaStaphylococcis aureus, Enterobacter aerogenesdanStaphylococcus faecalis.Staphylococcus aureuspaling banyak dijumpai pada tinea corporis, tinea pedis, dan tinea kruris.5

1.7.3.PCRApabila evaluasi klinik tidak dapat disimpulkan, metode molekuler PCR untuk identifikasi DNA jamur dapat dilakukan.3

1.7.4.HISTOLOGIBiopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea corporis menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam stratum korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa percabangan hifa terkadang dapat terlihat dalam stratum korneum dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin, tetapi pewarnaan jamur khusus misalnya asam-Schiff, Gomori perak methenamine mungkin diperlukan.3

1.8.DIAGNOSIS BANDING1.8.1.DERMATITIS SEBOROIKATempat predileksinya di kulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.1.8.2.PSORIASISLesilebih merah, skuama, lebih banyak dan lamelar. Kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis.1.8.3.PITIRIASIS ROSEADistribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea corporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea corporis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat memastikan diagnosisnya.1

1.9.TERAPIPengobatan ini dipilih berdasarkan lokasi infeksi, etiologi dan kemampuan penetrasi obat.Kemampuan penetrasi dan retensi di lokasi infeksi menentukan keefektifan danberapa frekuensi yang diperlukan.6Tujuan utama dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi.Untuk lesi lokal dari tinea corporis, pengobatan topikal dapat digunakan, untuk lesi yang menyeluruh atau inflamasi (kerion), termasuk pasien dengan immunocompromise indikasi untuk terapi oral.3

1.9.1.TOPIKALTerapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit jarang menginvasi ke jaringan yang hidup. Terapi topikal sebaiknya dioleskan hingga 2 cm diluar dari lesi sebanyak 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, tergantung agen yang digunakan.Golongan azole dan allylamine topikal menunjukkan efisiensi yang tinggi. Agen ini menginhibisi sintesis dari ergosterol, sel membran sterol mayor dari jamur.Topikal azole (contoh : econazole, ketoconazole, clotrimazole, miconazole, oxiconazole, sulconazole, sertaconazole) menghambat enzim lanosterol 14-alfa-demethylase, sitokrom P450 yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Inhibisi dari enzim ini menghasilkan membran sel jamur menjadi tidak stabil dan menyebabkan membran sel menjadi lisis. Dermatofit yang lemah tidak dapat bereproduksi dan dapt terbunuh perlahan dengan fungistatik. Sertaconazole nitrat merupakan topikal azole yang terbaru. Kemampuannya dapat sebagai fungisidal dan anti inflamasi dan bersifat broadspektrum.Allylamine (contoh : naftifine, terbinafine) dan berhubungan dengan benzylamine butenafine yang menghambat squalene epoxidase, dimana mengubah squalene menjadi ergosterol.Inhibisi dari enzim ini menyebabkan squalene (substansi toksik bagi sel jamur) terakumulasi intraseluler dan menyebabkan kematian sel yang cepat. Allylamine mengikat efektif pada stratum korneum karena bersifat lipofilik. Selain itu dapat juga penetrasi hingga ke folikel rambut.Ciclopirox olamine adalah agen topikal fungisidal. Ini menyebabkan membran menjadi tidak stabil dengan berakumulasi di dalam sel jamur dan mengganggu transport asam amino yang melewati membran sel jamur.

Topikal kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat ditambahkan ke dalam regimen antifungal topikal untuk menghilangkan gejala. Steroid dapat menghilangkan komponen inflamasi dari infeksi dengan cepat, tetapi steroid sebaiknya hanya diberikan untuk terapi awal. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menimbulkan infeksi yang menetap dan berulang, dapat juga menyebabkan atrofi kulit, striae, dan teleangiektasis.Bagan 2. Skematik representasi lokasi kerja dari azole, allylamine dan benzyl amine.6

1.9.2.SISTEMIKTerapi sistemik diindikasikan untuk tinea corporis yang infeksinya meluas, imunosupresi, resisten terhadap terapi topikal antijamur, dan komorbid dengan tinea kapitis dan tinea unguium.Mekanisme kerja dari oral micronized griseofulvin melawan dermatofit yaitu dengan mengganggu mikrotubulus spindle mitosis pada metafase, menyebabkan mitosis sel jamur menjadi terhambat. Dosisnya adalah 10 mg/kg/hari selama 4 minggu.Sistemik azole (contoh :fluconazole, itraconazole, ketoconazole) fungsinya sama dengan agen topikal, yang menyebabkan destruksi dari membran sel.oKetoconazole oral 3-4 mg/kg/hari. Jarang digunakan untuk infeksi dermatofit karena dapat meningkatkan resiko hepatitis.oFluconazole 50-100 mg/hari atau 150 mg 1 x seminggu untuk 2-4 minggu.oItraconazole oral 100 mg/hari untuk 2 minggu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Dengan meningkatkan dosis menjadi 200 mg/hari, lamanya terapi dapat dikurangi hingga 1 minggu.Terbinafine oral 250 mg/hari selama 2 minggu.3

1.10.PROGNOSISUntuk tinea corporis yang sifatnya lokal prognosisnya sangat baik.3

2.TINEA CRURIS2.1.DEFINISIDermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.1

2.2.EPIDEMIOLOGIDermatofitosis rata-rata 10-20% (USA). Pada penyebaran dunia ditemukan pada cuaca yang lembab dan panas. Tinea cruris 3 kali lebih sering pada pria daripada wanita dan lebih sering pada orang dewasa daripada anak-anak.3

2.3.ETIOLOGIT. rubrum,T. mentagrophytes4

2.4.FAKTOR PREDISPOSISIPanas, lembab, celana yang ketat, obesitas, dan pemakaian glukokortikoid topikal jangka panjang.4

2.5.GAMBARAN LESI

Tinea cruris konfluen, eritem, scaling plak di paha medial, lipatan inguinalis, dan daerah kemaluan. Margin sedikit mengangkat dan berbatas tegas.42.6.DIAGNOSISKelainan kulit terdapat pada sela paha yang merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada tengahnya. Ditemukan efloresensi primer dan sekunder (polimorf). Jika menahun disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan disebabkan karena garukan. Untuk membedakan dengan eritrasma dilakukan pemeriksaan dengan lampu Wood.1

2.7.DIAGNOSIS BANDING2.7.1.PSORIASISPsoriasis pada sela paha menyerupai tinea cruris. Lesi-lesi pada psoriasis biasanya lebi merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis di tempat lain dapat membantu menentukan diagnosis.2.7.2.KANDIDOSISKandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasihen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya fluor albus dapat menentukan diagnosis. Sering juga dijumpai pada penderita diabetes melitus.2.7.3.ERITRASMAMerupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha. Efloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya fluresensi merah (coral red).1

2.8.TERAPISesuai dengan tinea corporis.

3.TINEA CORPORIS ET CRURIS

Pada tinea corporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi, Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebuttinea corporis et cruris.1

Mendiagnosis tinea corporis et cruris tidaklah sulit, dengan mengetahui gambaran khas dari tinea dan lokasinya diagnosis dapat ditegakkan. Apalagi didukung dengan adanya pemeriksaan penunjang sehingga diagnosis yang dibuat dapat lebih pasti. Dengan demikian pengobatan yang diberikan dapat sesuai dengan penyakit yang diderita dan angka kejadian rekurensi dan resistensi terhadap obat dapat dikurangi.

Prognosis untuk tinea ini pada dasarnya baik apabila pengobatan yang diberikan dosisnya tepat dan juga disertai partisipasi dari penderita untuk teratur menggunakan obat maka komplikasi seperti resistensi terhadap obat dan terjadinya penyakit yang berkelanjutan atau menetap dapat dihindari.