the body and social theory

3
Aprilia Rejeki Saraswati 11/313712/SA/15818 Fenomena Kutural yang Termarginalkan Review atas The Body and Social Theory, Chriss Shilling. Akal pikiran dan jiwa adalah faktor utama mengapa manusia dapat, dan harus berinteraksi guna membangun relasi sosialnya. Kedua aspek tersebut merupakan “organ” abstrak dalam tubuh manusia, tidak dapat dilihat dan disentuh, namun nyata adanya. Pola interaksi yang membentuk jaringan pengelompokan manusia hingga kekerabatannyalah yang menjadi fokus ilmu sosiologi. Sosiologi mulanya diterapkan oleh masyarakat Eropa untuk mempelajari dan mengerti ragam masyarakatnya sendiri. Namun penting untuk diingat bahwa jiwa tanpa “wadah” tak akan mampu untuk membentuk pola interaksi sosial. Tubuh yang seharusnya turut menjadi bagian penting dalam kajian ilmu sosial, termarginalkan oleh konsep bahwa pada dasarnya tubuh adalah fakta alam, ia harus ada tanpa prasyarat apapun. Sehingga tubuh lebih banyak dipelajari secara biologis, dan bukan historis. Chris Shilling, lewat bukunya The Body and Social Theory menegaskan pandangannya mengenai pentingnya kajian tubuh yang sering di nomor duakan, atau bahkan tidak memiliki eksistensi dalam ilmu sosial. Melalui tulisannya, Shilling ingin mengkonseptualisasikan hubungan antara tubuh, identitas diri, dan

Upload: bagus-wirayuda

Post on 20-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: The Body and Social Theory

Aprilia Rejeki Saraswati

11/313712/SA/15818

Fenomena Kutural yang Termarginalkan

Review atas The Body and Social Theory, Chriss Shilling.

Akal pikiran dan jiwa adalah faktor utama mengapa manusia dapat, dan harus

berinteraksi guna membangun relasi sosialnya. Kedua aspek tersebut merupakan “organ” abstrak

dalam tubuh manusia, tidak dapat dilihat dan disentuh, namun nyata adanya. Pola interaksi yang

membentuk jaringan pengelompokan manusia hingga kekerabatannyalah yang menjadi fokus

ilmu sosiologi. Sosiologi mulanya diterapkan oleh masyarakat Eropa untuk mempelajari dan

mengerti ragam masyarakatnya sendiri. Namun penting untuk diingat bahwa jiwa tanpa “wadah”

tak akan mampu untuk membentuk pola interaksi sosial. Tubuh yang seharusnya turut menjadi

bagian penting dalam kajian ilmu sosial, termarginalkan oleh konsep bahwa pada dasarnya tubuh

adalah fakta alam, ia harus ada tanpa prasyarat apapun. Sehingga tubuh lebih banyak dipelajari

secara biologis, dan bukan historis.

Chris Shilling, lewat bukunya The Body and Social Theory menegaskan pandangannya

mengenai pentingnya kajian tubuh yang sering di nomor duakan, atau bahkan tidak memiliki

eksistensi dalam ilmu sosial. Melalui tulisannya, Shilling ingin mengkonseptualisasikan

hubungan antara tubuh, identitas diri, dan kematian pada era kontemporer yang oleh Anthony

Giddens disebut sebagai modernitas tinggi. Tidak hanya itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa

tubuh pun bersifat dinamis terhadap perubahan lingkungan seperti halnya kebudayaan.

Tubuh sebagai “wadah” tidak hanya merupakan media interaksi, namun juga peranti

dasar dalam menjalankan kegiatan politik dan kebudayaan (Bryan Turner, via Chris Shilling,

1993: 01). Pada abad pertengahan pun manusia mulai menyadari pentingnya estetika dan

perawatan kesehatan untuk tubuh guna kepentingan interaksi. Sehingga secara sadar masyarakat

mulai mengenal konsep kecantikan tubuh, tidak hanya pribadi. Fenomena kecantikan pun pada

akhirnya semakin mewabah dan akhirnya memuncak pada era industrialisasi dimana manusia

menginginkan alat – alat atau obat kecantikan tanpa toleansi. Di era modern ini, konsep

Page 2: The Body and Social Theory

kecantikan dieksploitasi secara berlebihan seiring dengan sekularitas masyarakat yang juga

semakin meningkat.

Ilmu pengetahuan semakin lama semakin mendominasi cara berkehidupan manusia,

namun pada penerapannya manusia ternyata tetap membutuhkan unsur spiritual dan religi.

Sehingga Shilling menyimpulkan bahwa pada dasarnya untuk memaknai kehidupan tidak lagi

menjadi kewajiban kolektif, namun hak dari individual.

Pemikiran itulah yang pada akhirnya membentuk reaksi maupun pandangan kita pada

tubuh, sebagai “wadah” menjalankan ritual kehidupan. Namun, pada kenyataannya ilmu sosial

masih “membutakan” dirinya terhadap tubuh sebagai fenomena kultur. Bahkan banyak ahli

sosial menganggap bahwa tubuh hanya merupakan fokus ilmu alam, prasyarat aksi manusia, dan

target kontrol sosial. Sehingga tubuh hanya menjadi spare part, bukan kesatuan sosial yang utuh.

Shilling pun berpendapat bahwa terdapat dualisme dalam ilmu sosiologi memandang tubuh

sebagai obyek material, yaitu bahasan marginal dan alat atau wadah sosial.

Fakta tersebut membuat Shilling merasa perlu untuk menjelaskan konsep tubuh sebagai

subjek dan objek utama disamping akal pikiran dalam ilmu sosial. The Body and Social Theory

menjelaskan berbagai fungsi dan peran, bahkan kewajiban “organisme” tubuh dalam tiap situasi

sosial seperti sekolah, kantor, bahkan rumah. Shilling berharap melalui buku ini, ia dapat

membuka wawasan kita akan tubuh sebagai fenomena kultur, tidak hanya sebagai ketentuan

alam. Eksistensi yang memang harus ada.

Dapatkah anda bayangkan jika dalam kurun waktu yang cukup lama, manusia akhirnya

memahami dualisme fungsi tubuh? Akankah kesadaran kolektif ini dapat membawa perubahan

yang signifikan bagi kehidupan manusia?