tb rapi

Upload: vmajestica

Post on 30-Oct-2015

114 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah mendekati target Millenium Development Goals (MDGs). Pada tahun 2008, prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk. Sementara itu, angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk. Hal itu disebabkan implementasi strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short) di Indonesia telah dilakukan secara meluas dengan hasil cukup baik.1 Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 % dan angka keberhasilan pengobatan mencapai 90 %. Keberhasilan ini perlu ditingkatkan agar dapat menurunkan prevalensi, insiden dan kematian akibat TB. Puskesmas sebagai tombak pengembangan kesehatan Nasional Indonesia, merupakan salah satu pemegang kunci dalam keberhasilan pengelolaan TB. Sehingga, keberhasilan pengendalian TB nasional sangat bergantung pada upaya kolektif Puskesmas yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.1,2Pemahaman mengenai program pengendalian TB di Puskesmas merupakan kunci untuk memahami upaya pengendalian TB secara nasional. Dalam rangka mengevaluasi dan mengusulkan solusi untuk program TB, dibutuhkan suatu pendekatan yang komprehensif dan sistematis. Pendekatan ini disebut "pendekatan sistem", yang mengintegrasikan beberapa konsep pemecahan masalah seperti problem solving cycle dan pemecahan masalah dengan menggunakan matriks, yang secara sistematis terdiri dari tahap mengidentifikasi masalah, memprioritaskan masalah, merumuskan alternatif jalan keluar, dan memprioritaskan alternatif jalan keluar. Pendekatan ini telah digunakan untuk mengevaluasi dan menghasilkan solusi untuk ratusan program kesehatan masyarakat.2,3

Tugas akhir ini berisikan jurnal yang bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan program pengendalian TB di dua Puskesmas yang berlokasi di Jakarta Timur dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan harapan tidak hanya mengetahui dan mendapatkan program pengendalian TB di Puskesmas secara individual, tetapi juga memberi gambaran program pengendalian TB yang dilakukan di Indonesia secara keseluruhan. Interpretasi hasil akan memberikan umpan balik untuk perbaikan program di massa yang akan datang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Sistem

2.2.1 Pengertian Pendekatan Sistem4,5Menurut Prof. Wagiono Ismagil (1982), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisasi yang mempergunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pendekatan sistem merupakan aplikasi dari sistem ilmiah dan manajemen. Pendekatan sistem dalam manajemen dirancang untuk memanfaatkan analisis ilmiah dalam suatu organisasi yang kompleks. Pendekatan dilihat dari pendidikan dan pelatihan adalah cara yang sistematis mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi sekumpulan bahan dan strategi bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan yang khusus. Jadi, pendekatan sistem adalah cara pandang atau cara berpikir menggunakan konsep-konsep sistem dalam memecahkan suatu masalah.

2.1.2 Langkah-langkah dalam pendekatan sistem5Secara garis besar ada enam langkah dalam pendekatan sistem, diantaranya:a. Mendefinisikan masalah yang bertujuan memberikan gambaran masalah apa yang harus diselesaikan.

b. Mengumpulkan data

c. Identifikasi alternatif solusi

d. Pemilihan alternatif terbaik

e. Implementasikan solusi dan tindak lanjut

f. Evaluasi

Gambar 1. Bagan elemen pemecahan masalah2.1.3 Tujuan Pendekatan Sistem

Tujuan pendekatan sistem dalam pendidikan dan pelatihan sistem adalah mengembangkan mengelola operasi dan merancang bangun sistem dalam proses pengambilan keputusan.6 Dengan dipergunakannya metode ilmiah diharapkan dapat diketahui fakta-fakta yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu sistem. Secara terperinci pendekatan sistem bertujuan untuk:

a. Menyediakan lingkungan fisik dan lingkungan emosional yang mendukung proses pendidikan dan pelatihan berjalan secara kondusif.

b. Mengetahui sejauh mana keberhasilan program dan proses pendidikan dan pelatihan.

c. Menjamin pencapaian tujuan program secara efektif dan efisien.d. Penerapan pendekatan sistem dalam kebutuhan nyata dilapangan.

e. Menyiapkan secara cermat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program 2.1.4 Manfaat Pendekatan sistem

Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami multi sebab dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan sistem berupaya mengungkapkan perlunya pemahaman tentang perilaku sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Pendekatan sistem menetapkan sistem dalam lingkungan relevan dalam anlisis perilaku sistem. Pendekatan sistem memberikan gambaran menyeluruh yang lebih memungkinkan sistem mencapai sinergi hasil yang lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya.6,7

2.2 Tuberkulosis (TB) Paru82.2.1 TB dan Riwayat AlamiahnyaTuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan TB adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

2.2.2 Besaran Masalah Tuberkulosis

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia terjadi di negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency)

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang.

b. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis).

Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

Dampak pandemi HIV.2.2.3 Pengendalian TB di Indonesia

a. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia

Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB partnership. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program pengendalian TB. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB). Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya terhadap TB. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.b.oStrategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya.

3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan Public-Private Mix dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care.

4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB.

6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis

c. Organisasi PelaksanaAspek Manajemen Program1. Tingkat PusatUpaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sector di bawah koordinasi MenKoKesra. Menteri Kesehatan RI sebagai penanggungjawab teknis upaya pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.

2. Tingkat Propinsi

Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan Propinsi.

3. Tingkat Kabupaten/Kota

Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten / kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten / Kota dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Aspek Tatalaksana Pasien TB

Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/Klinik dan Dokter Praktek Swasta.

a. Puskesmas

Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS).

Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.b. Rumah Sakit

Rumah Sakit Umum, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), dan klinik lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.c. Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.

Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai Pengobatan (klinik).d. Penemuan Kasus Tuberkulosis

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.

Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut.

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan

Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan.

Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

a. kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),

b. kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.

c. pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan.

d. Kontak dengan pasien TB resistan obat

Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis menuju kesehatan paru (PAL = practical approach to lung health), manajemen terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS) akan membantu meningkatkan penemuan kasus TB di layanan kesehatan, mengurangi terjadinya mis opportunity kasus TB dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, as ma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:

1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)

2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.

6. Pasien TB kambuh.

7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.

8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR ODHA dengan gejala TB-HIV.e. Public Private Mix (PPM) DOTS dalam Pengendalian TuberkulosisPola pencarian pengobatan pasien TB di masyarakat menunjukkan bahwa banyak pasien TB memanfaatkan layanan kesehatan seperti rumah sakit, B/BKPM dan dokter praktik swasta. Hasil studi prevalensi nasional TB tahun 2004 memperkirakan bahwa sekitar 47-78% responden dengan riwayat TB mengawali pengobatan di rumah sakit, B/BKPM dan dokter praktik swasta (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Survei nasional tahun 2010 menunjukkan bahwa lebih banyak penderita TB yang menggunakan RS, B/BKPM dan dokter praktik swasta (63,89%) dibanding Puskesmas (3 6,2%) untuk diagnosis TB. Dalam hal pengobatan, lebih banyak pasien TB yang memanfaatkan RS, B/BKPM dan dokter praktik swasta (45,1%) dibanding Puskesmas (39,5%). Selain itu, pasien TB dengan sosio-ekonomi rendah cenderung memanfaatkan RS untuk diagnosis (Balitbangkes Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Dari laporan program TB 2010, fasilitas layanan kesehatan yang terlibat dalam strategi DOTS sebagai berikut : Puskesmas sekitar 98%, rumah sakit dan BP4 sekitar 30% dan dokter praktek swasta masih belum ada laporan.PPM di Indonesia dimulai dengan pelibatan rumah sakit dan B/BKPM. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa fasilitas layanan tersebut memiliki potensi yang besar dalam program pengendalian TB. Berbagai penyedia pelayanan kesehatan lainnya (sektor swasta, LSM, masyarakat, organisasi keagamaan, tempat kerja, praktisi swasta, lapas/rutan) telah mulai dilibatkan meskipun masih terbatas.

Joint External Monitoring Mission (JEMM) tahun 2011 memberikan rekomendasi perlunya akeselerasi ekspansi pelibatan RS dengan memastikan bahwa akreditasi rumah sakit mengakomodasi standar layanan TB dan peraturan tersebut diterapkan secara nasional dan hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap perijinan praktek dokter mengakomodasi standar pelayanan TB internasional.

Batasan Public Private Mix (PPM)

Public Private Mix (bauran layanan pemerintah - swasta), merupakan pendekatan komprehensif pelibatan semua fasilitas layanan kesehatan dalam melakukan layanan pasien TB dan program pengendalian TB. PPM meliputi semua bentuk kolaborasi pemerintah - swasta, (seperti kerjasama dengan perusahaan), kolaborasi pemerintah - pemerintah (seperti program TB dengan RS pemerintah, fasyankes lapas) dan kolaborasi swasta - swasta (seperti LSM, RS swasta dengan DPS) dengan tujuan menjamin akses layanan TB yang bermutu dan berkesinambungan bagi masyarakat. PPM juga diterapkan pada kolaborasi pemeriksaan laboratorium, apotik, kolaborasi TB-HIV maupun manajemen TB resisten obat.

Langkah-langkah Implementasi PPM Ekspansi layanan TB dengan strategi DOTS harus dikembangkan secara selektif dan bertahap agar memperoleh hasil yang efektif, efisien dan bermutu. Sebaiknya ekspansi tersebut dilakukan bersamaan dengan peningkatan mutu program penanggulangan tuberkulosis di Kabupaten/Kota dengan terus berusaha meningkatkan atau minimal mempertahankan:

Angka konversi lebih dari 80%.

Angka keberhasilan pengobatan lebih dari 85%.

Angka kesalahan laboratorium di bawah 5%.

Secara umum langkah langkah implementasi PPM dilakukan sebagai berikut:1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan gambaran kesiapan fasyankes yang akan dilibatkan dan Dinas Kesehatan setempat.

2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pihak manajemen fasyankes (seperti pimpinan rumah sakit) dan tenaga medis (seperti dokter umum dan spesialis, paramedis, dan seluruh petugas terkait).

3. Menyusun nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) diantara fasyankes, Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dan mitra terkait.4. Membentuk tim DOTS di fasyankes yang meliputi unit-unit terkait dalam penerapan strategi DOTS di fasyankes tersebut.5. Menyediakan tempat untuk unit DOTS di fasyankes sebagai tempat koordinasi dan pelayanan pasien TB secara komprehensif dan terpadu (seperti melibatkan semua unit di rumah sakit yang menangani pasien TB).6. Menyiapkan atau memiliki akses dengan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai standar.7. Menyiapkan tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, petugas administrasi, farmasi (apotek) dan PKMRS sebagai petugas DOTS.

8. Melatih petugas/tim DOTS (tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, petugas administrasi, farmasi)

9. Menyediakan biaya operasional.

10. Menggunakan format pencatatan dan pelaporan sesuai dengan program TB nasional untuk surveilans program dan pasien TB.

11. Supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaanPembentukan Jejaring PPM

Secara umum fasyankes seperti rumah sakit, DPS, klinik memiliki potensi yang besar dalam penemuan pasien TB (case finding), namun memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan pengobatan pasien sampai selesai (case holding) jika dibandingkan dengan Puskesmas. Kelemahan ini dapat diatasi dengan melakukan bauran (mix) layanan diantara fasyankes. Untuk itu perlu dikembangkan jejaring diantara fasyankes maupun dengan Dinas Kesehatan. Jejaring ini meliputi jejaring internal dan eksternal.

a. Jejaring Internal

Jejaring internal adalah jejaring yang dijalankan didalam fasyankes dengan melibatkan seluruh unit yang menangani pasien TB. Koordinasi kegiatan dilaksanakan oleh Tim DOTS. Tidak semua fasyankes harus memiliki tim DOTS tergantung dari kompleksitas layanan dan manajemen yang dimilki oleh fasyankes. Tim ini mempunyai tugas, antara lain merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi kegiatan DOTS di fasyankes.b. Jejaring Eksternal

Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara instansi/unit Dinas Kesehatan, rumah sakit, puskesmas dan fasyankes lainnya dalam layanan pasien TB dengan strategi DOTS dan dalam program pengendalian TB. Tujuan jejaring eksternal:

Memastikan semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan DOTS yang bermutu, mulai dari diagnosis, pengobatan, pemantauan sampai akhir pengobatan.

Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.

Jejaring PPM dapat berfungsi sebagai :

Jalur rujukan pasien TB untuk diagnosis, pengobatan maupun pemantauan diantara fasyankes

Jalur pencatatan dan pelaporan program antara fasyankes dengan Dinas Kesehatan atau Puskesmas

Supervisi, monitoring dan evaluasi oleh Dinas Kesehatan

Pelacakan pasien TB mangkir

Alur distribusi logistik (OAT dan non OAT)

Dalam jejaring PPM, Dinas Kesehatan memiliki fungsi dan tugas sebagai berikut:a. Melakukan koordinasi dan fasilitasi antar fasyankes.

b. Bersama fasyankes menyusun protap jejaring layanan pasien TB, dan memastikan protap dijalankan.c. Pembinaan, monitoring dan evaluasi penerapan DOTS dan kegiatan program TB lainnya di fasyankes.

d. Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan) berjalan.

Agar jejaring dapat berjalan baik diperlukan :

1) Seorang koordinator jejaring DOTS di tingkat propinsi atau kabupaten/ kota.

2) Peran aktif Supervisor Propinsi/Kabupaten/kota

3) Mekanisme jejaring antar institusi yang jelas

4) Tersedianya alat bantu kelancaran proses rujukan antara lain berupa

Formulir rujukan

Daftar nama dan alamat lengkap pasien yang dirujuk

Daftar nama dan nomor telepon petugas penanggung jawab di Fasyankes

5) Dukungan dan kerjasama antara fasyankes dalam kegiatan rujukan pasien TB

6) Pertemuan koordinasi secara berkala minimal setiap 3 bulan diantara fasyankes yang dikoordinasi oleh Dinkes Kabupaten/kota setempat dengan melibatkan semua pihak lain yang terkait.

Koordinator Jejaring DOTS dapat mempunyai tugas sebagai berikut:

1) Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut diatas berjalan dengan baik.

2) Memfasilitasi rujukan antar Fasyankes dan antar prop/kab/kota

3) Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke Fasyankes yang dituju dan menyelesaikan pengobatannya.

4) Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindak lanjuti

5) Supervisi pelaksanaan kegiatan di Unit DOTS

6) Validasi data pasien di fasyankes

7) Monitoring dan evaluasi kemajuan ekspansi strategi DOTS di fasyankes.Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka default < 5 % pada setiap Fasyankes.

BAB III

FORMULIR TELAAH JURNAL

Judul

Evaluation of Tuberculosis control Programs in Indonesian Community Health Centers Using Systemic ApproachEvaluasi Program Penanggulangan Tuberkulosis di Puskesmas Indonesia Menggunakan Pendekatan Sistem

Penulis

Jowy Tani, Herqutanto, Tommy Dharmawan

Publikasi

Majalah Kedokteran Indonesia Volume 58 Nomor IV, 4 April 2008

Penelaah

Evi Fitriana, S.Ked

Tanggal telaah 31 Maret 2013

I. DESKRIPSI JURNALKomponen Deskripsi Jurnal1. Tujuan utama penelitian: Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah pendekatan sistem dapat membantu mengevaluasi masalah dan menentukan cara pemecahan masalah terbaik untuk program kesehatan di Indonesia khususnya dalam upaya penanggulangan TB.2. Tujuan tambahan penelitian: Tujuan tambahan pada penelitian ini dapat kita identifikasi dari paragraf pada bagian pendahuluan. Selain itu terdapat juga tujuan tambahan penelitian yang tidak dinyatakan dalam bagian pendahuluan akan tetapi dapat kita temukan pada bagian hasil. Berikut ini adalah identifikasi tujuan tambahan baik yang tertulis secara eksplisit pada bagian pendahuluan maupun yang ditemukan pada bagian hasil. Untuk mengetahui total populasi di area Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui tingkat pendidikan penduduk di area Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui proporsi penderita TB dengan BTA positif di antara tersangka TB di area Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui proporsi penderita TB dengan BTA positif di antara seluruh penderita TB paru tercatat di area Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui angka konversi di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui angka kesembuhan pasien TB di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui Case Detection Rate pasien TB di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui dan menentukan faktor penyebab masalah utama di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Untuk mengetahui dan memilih alternatif pemecahan masalah yang menjadi prioritas utama di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur.3. Hasil utama penelitian: Pendekatan sistem yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dan memilih solusi untuk program kesehatan masyarakat secara sistematis.4. Hasil tambahan penelitian: pada penelitian ini ada beberapa hasil tambahan, yaitu: 1. Total populasi Jatinegara Kaum 23.035 penduduk dan total populasi Pisangan Timur 21.736 penduduk.2. Tingkat pendidikan masyarakat Pisangan Timur lebih tinggi daripada masyarakat Jatinegara Kaum (lulusan sarjana 3.430>263)3. Proporsi penderita TB dengan BTA positif di antara tersangka TB 7,8% adalah 60,87% di Puskesmas Jatinegara Kaum. Sementara di Puskesmas Pisangan Timur, proporsi tersangka TB 10,26% dan proporsi penderita dengan BTA positif di antara tersangka 58,62%.4. Proporsi penderita TB dengan BTA positif di antara seluruh penderita TB paru tercatat adalah 60,87% di Puskesmas Jatinegara Kaum dan 58,62% di Puskesmas Pisangan Timur.5. Angka konversi Puskesmas Jatinegara Kaum sebesar 92,86% sementara di Puskesmas Pisangan Timur sebesar 82,35%.6. Angka kesembuhan pasien TB di Puskesmas Jatinegara Kaum adalah 91,60% sedangkan di Puskesmas Pisangan Timur sebesar 100%. 7. Case Detection Rate pasien TB di Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pisangan Timur di bawah 70% (Puskesmas Jatinegara Kaum 46,74%; Puskesmas Pisangan Timur 60,16%).8. a. Faktor penyebab masalah utama di Puskesmas Jatinegara Kaum adalah komponen masukan (kurangnya SDM, dana dari pemerintah yang tidak memadai, minimnya media pendidikan kesehatan masyarakat, minimnya fasilitas pemeriksaan mikroskopik untuk pemeriksaan penunjang TB), komponen proses (pencatatan tersangka dan pasien TB yang tidak sesuai, pendidikan kesehatan masyarakat diselenggarakan kurang dari 4 kali dalam setahun, tidak ada kegiatan penemuan kasus TB secara aktif).b. Faktor penyebab masalah utama di Puskesmas Pisangan Timur adalah komponen masukan (kurangnya SDM, Dana dari pemerintah yang tidak memadai, minimnya media pendidikan kesehatan masyarakat, minimnya fasilitas pemeriksaan mikroskopik untuk pemeriksaan penunjang TB), komponen proses (pencatatan tersangka dan pasien TB yang tidak sesuai, pendidikan kesehatan masyarakat diselenggarakan kurang dari 4 kali dalam setahun, tidak ada kegiatan penemuan kasus TB secara aktif)9. a. Alternatif pemecahan masalah yang menjadi prioritas utama di Puskesmas Jatinegara Kaum adalah dengan mengadakan pelatihan kader untuk menemukan kasus baru TB secara aktif.b. Alternatif pemecahan masalah yang menjadi prioritas utama di Puskesmas Pisangan Timur adalah dengan menyelenggarakan acara pendidikan kesehatan tentang TB secara berkala.5. Kesimpulan penelitian

Pendekatan sistem ini dirancang agar sesuai dengan hampir semua program kesehatan masyarakat, sehingga dapat diterapkan dalam mengevaluasi program kesehatan masyarakat selain program pengendalian TB.

Uraian Deskripsi Jurnal Puskesmas berperan penting dalam menentukan keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis (TB) nasional Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan sistem, dilakukan evaluasi program penanggulangan TB di dua puskesmas di Jakarta Timur dengan identifikasi masalah secara sistematis, penentuan prioritas masalah, perumusan alternatif solusi, dan penentuan prioritas alternatif solusi. Di Puskesmas Jatinegara Kaum, didapatkan 7,8%, proporsi penderita BTA positif di antara tersangka 60,87%, proporsi penderita TB paru BTA positif di antara seluruh penderita TB paru tercatat 60,87%, angka konversi 92,86%, angka kesembuhan 91,60%, dan angka deteksi kasus 46,74%. Di Puskesmas Pisangan Timur, proporsi tersangka 10,26%, proporsi penderita BTA positif di antara tersangka 58,62%, proporsi penderita TB paru BTA positif di antara seluruh penderita TB paru tercatat 58,62%, angka konversi 82,35%, angka kesembuhan 100,00% dan angka deteksi kasus 60,16%. Data error rate tidak tersedia di kedua puskesmas. Angka deteksi kasus yang rendah adalah masalah prioritas untuk kedua puskesmas. Solusi utama untuk Jatinegara Kaum adalah pelatihan kader untuk menemukan kasus baru, sedangkan untuk Pisangan Timur diperlukan pendidikan kesehatan masyarakat secara berkala. Pendekatan sistem berhasil dijalankan dengan baik.

II. TELAAH JURNALA. Validitas SeleksiKomponen Validitas Seleksi 1. Kriteria seleksi : populasi penelitian ini adalah Puskesmas Jatinegara Kaum dan Pus Penduduk kota dengan status sosioekonomi rendah dan tinggal di lingkungan dengan pemukiman padat akan berisiko tinggi terinfeksi TB. Sehingga hasil dan kesimpulan yang didapat diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan umum. 2. Metode alokasi subjek: Evaluasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistemik3. Concealment: Pada penelitian ini tidak dilakukan Concealment karena bukan merupakan uji klinik.4. Angka drop out: Pada penelitian ini tidak ada angka drop out5. Jenis analisis: Intention to treat atau perprotocol analysis

Kesimpulan Validitas SeleksiPenelitian ini mempunyai validitas seleksi yang baik dari aspek alokasi subjek dan drop out.

B. Validitas Pengontrolan Perancu

Komponen Validitas Pengontrolan Perancu 1. Pengontrolan perancu pada tahap desain dengan cara restriksi

2. Pengontrolan perancu pada tahap desain dengan cara randomisasi

3. Analisis terhadap komparabilitas baseline data

4. Pengontrolan perancu pada saat analisis (bila diperlukan)

Uraian Validitas Pengontrolan Perancu1. Pengontrolan perancu pada tahap desain: restriksi

Pada penelitian ini, terdapat perancu yang dikontrol dengan cara restriksi. Variabel tersebut misalnya ISPA biasa (gejala klinis yang tidak khas).

2. Komparabilitas baseline data

Baseline data disajikan peneliti pada tabel 1. Penelaah sependapat dengan peneliti bahwa terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara penduduk di kawasan Puskesmas jatinegara Kaum dan Pisangan Timur. Penduduk Jatinegara Kaum memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada penduduk di kawasan Pisangan Timur.Tabel 1. Tingkat Pendidikan penduduk di area Jatinegara Kaum dan area Pisangan Timur

Tingkat Pendidikan Jatinegara Kaum Pisangan Timur

L P L P

Elementary school302 324 4,782 1,375

Junior high school1,995 1,9801,9041,662

Senior high school2,601 2,3973,6481,829

Higher education /146 117 1,6141,816

Total number 5,0764,81811,9486,682

3. Pengontrolan perancu pada saat analisis Pada penelitian ini, pengontrolan variabel perancu pada tahap analisis tidak diperlukan. Hal ini karena baseline data antara kedua kelompok sudah setara.Kesimpulan Validitas Pengontrolan Perancu

Penelitian ini memiliki validitas pengontrolan perancu yang baik

C. Validitas Informasi

Komponen Validitas Informasi 1. Blinding (penyamaran)

2. Komponen pengukuran variabel penelitian (kualifikasi pengukur, kualifikasi alat ukur, kualifikasi cara pengukuran, kualifikasi tempat pengukuran)

Uraian Validitas Informasi1. Blinding

Pada penelitian ini tidak dilakukan blinding.2. Komponen pengukuran variabel penelitian

3. Pada penelitian ini, prosedur penelitian dan komponen pengukuran untuk semua variabel uatama penelitian sudah dijelaskan secara rinci.

Kesimpulan Validitas InformasiPenelitian ini mempunyai validitas informasi yang baik

D. Validitas AnalisisKomponen Validitas Analisis1. Analisis terhadap baseline data

2. Analisis dan interpretasi terhadap hasil utama dan hasil tambahan

3. Bila dilakukan analisis interim, jelas stopping rule-nya

4. Dilakukan analisis lanjutan bila baseline data tidak sama

Uraian Validitas AnalisisPada penelitian ini, peneliti melaporkan baseline data pada tabel 1. Peneliti membandingkan baseline data statistik (berdasarkan data demografi). Peneliti menyimpulkan bahwa penduduk di Jatinegara Kaum memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada penduduk Pisangan Timur.

Kesimpulan Validitas AnalisisPenelitian ini mempunyai validitas analisis yang cukup baik

III. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan Penelitian ini mempunyai validitas interna non-kausal (validitas seleksi, informasi, pengontrolan perancu, dan analisis) yang baik sementara validitas interna kausal, validitas eksternal dan faktor importancy belum dapat dinilai karena bukan merupakan uji klinik. Penelitian ini memenuhi kriteria applicability. Aspek applicability sangat bergantung pada judgement kita mengenai transportability dari hasil penelitian kepada populasi yang sedang kita hadapi.

Saran Saran untuk pembuat kebijakan

Pengambil keputusan kesehatan masyarakat dapat menjadikan pendekatan sistemik sebagai salah satu pendekatan alternatif untuk evaluasi program kesehatan masyarakat.Saran untuk penelitian

Penelitian sejenis perlu dilakukan di wilayah lain Indonesia untuk mengonfirmasi apakah hasil penelitian di Jakarta Timur tersebut sesuai dengan keadaan lain di Indonesia.

BAB IV

PROGRAM PENANGGULANGAN TB DI PUSKESMAS I ULU PALEMBANG

Gambar 2. Puskesmas I Ulu Palembang

Puskesmas I Ulu terletak di Jl. Faqih Usman No 2329 Kelurahan I Ulu Kecamatan Seberang Ulu I. Letak Puskesmas ini kurang lebih 100 meter dari jalan raya. Wilayah kerja Puskesmas ini meliputi 2 kelurahan, yaitu Kelurahan I Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang dengan luas wilayah kerjanya sekitar 87,75 Ha. Wilayah kerja Puskesmas I Ulu berbatasan dengan:9 Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan 2 Ulu.

Sebelah Selatan berbatasan dengan ogan Kertapati.

Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Musi.

Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan 15 Ulu Palembang.

Kondisi geografi wilayah kerjanya terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas I Ulu adalah 24.453 jiwa. Berdasarkan keadaan sosial ekonominya, mata pencaharian penduduk Kelurahan I Ulu dan Kelurahan Tuan Kentang hampir sama, yaitu buruh kasar, pegawai negeri, pedagang, pensiunan, pengrajin. Pada umumnya didominasi oleh tenaga kerja lepas pada sektor informal.

Dalam menanggulangi masalah TB, ada beberapa langkah yang dilakukan di Puskesmas I Ulu, diantaranya:101. Identifikasi MasalahTabel 1. Identifikasi masalah

ProgramTargetPencapaianMasalah

Upaya P2M

1. Pengobatan TB paru BTA +

2. Pengobatan TB paru BTA -, Rontgen +

70%

80%66,70%

66,70%-Kurang aktif petugas

-Pemeriksaan kontak kurang jalan

2. Menetapkan Urutan Prioritas Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut, diketahui bahwa program pengobatan TB tidak memenuhi target. Mengingat keterbatasan kemampuan secara sekaligus maka akan dipilih prioritas dengan menggunakan kriteria matriks. Masing-masing kriteria ditetapkan dengan nilai 1-5. Nilai semakin besar jika tingkat urgensi (U), tingkat keseriusan (S), tingkat perkembangan (G) mendesak atau serius bila tidak segera ditangani. Kemudian UxSxG untuk tiap masalah. Prioritas masalah diurutkan berdasarkan hasil perkalian terbesar.

Tabel 2. Penentuan Prioritas Masalah

Masalah/KriteriaTingkat Urgensi

(U)Tingkat Keseriusan (S)Tingkat Perkembangan (G)UxSxG

Pengobatan TB paru BTA +555125

Pengobatan TB paru BTA -, Rontgen +545100

3. Merumuskan Masalah Setelah ditemukan urutan masalah langkah berikutnya adalah merumuskan masalahnya yang mencakup apa masalahnya, siapa yang terkena masalahnya, berapa besar masalahnya, dimana masalah itu terjadi, dan bilamana masalah itu terjadi (what, who, when, where, dan how). Karena keterbatasan tenaga, dana, dan waktu maka diambil masalah teratas yang akan dilakukan pemecahan masalahnya.

Tabel 3. Perumusan Masalah

Rumusan masalahWhatWhoWhenWhereHow

Cakupan pengobatan pasien TB paruTarget jumlah pasienPasien TBSetiap hariDi Puskesmas, Posyandu, PoskesdesAkan meningkatkan resistensi dan jumlah kasus

4. Mencari Akar Penyebab Masalah

Untuk mencari akar penyebab masalah, dibuat menggunakan diagram fish bone

Gambar 3. Fish Bone

5. Menetapkan Cara-cara Pemecahan Masalah Untuk menetapkan cara pemecahan masalah, dilakukan atas kesepakatan di antara anggota tim. Tapi bila tidak terjadi kesepakatan, dilakukan dengan menggunakan tabel pemecahan masalah, sehingga didapatkan pemecahan masalah yang terpilih.Tabel 4. Alternatif Pemecahan Masalah di Puskesmas I Ulu PalembangPrioritas MasalahPenyebab MasalahAlternatif Pemecahan MasalahPemecahan Masalah Terpilih

Cakupan pengobatan penderita TB kurang-tambahan petugas

-tingkatkan peran serta kader untuk menjaring kasus

-tingkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan

-tingkatkan kerjasama lintas sektoral

-POA harus dioaksanakan sesuai jadwal.

-Perbaiki sistim R/R

-Tingkatkan Frekuensi Penyuluhan tentang P2TB

-lengkapi sarana penyuluhan

-pengadaan reagensia

-penyuluhan tentang PHBS

-penyuluhan tentang P2TB

Manusia-petugas kurang (tugas rangkap)

-peran kader masih kurang

-pengetahuan masyarakat masih rendah

-kerjasama lintas sektoral masih rendah

-POA tidak jalan-tambahan petugas

-tingkatkan peran serta kader untuk menjaring kasus

-tingkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan

-tingkatkan kerjasama lintas sektoral

-POA harus dioaksanakan sesuai jadwal.

Metode-R/R belum akurat

-Penyuluhan/promkes belum optimal-Perbaiki sistim R/R

-Tingkatkan Frekuensi Penyuluhan tentang P2TB

Sarana-sarana penyuluhan masih kurang

-reagensia sering kurang

-kesadaran masyarakat tentang PHBS masih kurang

-sosioekonomi rendah

-lengkapi sarana penyuluhan

-pengadaan reagensia

-penyuluhan tentang PHBS

LingkunganBudaya malu dan malas-penyuluhan tentang P2TB

Bila dibandingkan dengan program penanggulangan TB di dalam jurnal, program penanggulangan TB di Puskesmas I Ulu memiliki beberapa kesamaan, diantaranya terdapat langkah-langkah berupa identifikasi masalah, penentuan prioritas masalah, merumuskan masalah, mencari akar penyebab masalah menggunakan fish bone, dan menetapkan cara-cara pemecahan masalah.Dalam menentukan masalah yang menjadi prioritas, Puskesmas I Ulu maupun Puskesmas di dalam jurnal, sama-sama menggunakan metode matriks. Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan metode matriks ynag digunakan. Puskesmas I ulu menggunakan matriks berupa USG sedangkan Puskesmas di dalam jurnal menggunakan Metode Reinke. Nilai skor berkisar 1-5 atas serangkaian kriteria:

M = Magnitude of the problem yaitu besarnya masalah yang dapat dilihat dari % atau jumlah/kelompok yang terkena masalah, keterlibatan masyarakat serta kepentingan instansi terkait.

I = Importancy atau kegawatan masalah yaitu tingginya angka morbiditas dan mortalitas serta kecenderungan dari waktu ke waktu.

V = Vulnerability yaitu sensitif atau tidaknya pemecahan masalah dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sensitifitas dapat diketahui dari perkiraan hasil (output) yang diperoleh dibandingkan dengan pengorbanan (input) yang dipergunakan.

C = Cost yaitu biaya atau dana yang dipergunakan untuk melaksanakan pemecahan masalah. Semakin besar biaya semakin kecil skornya.

P = Prioritas atau pemecahan masalah.

Sama seperti metode yang lain dengan menggunakan skor, maka untuk mempermudah pengerjaan diperlukan adanya tabel. Hasil skor masing-masing masalah kemudian dihitung dengan rumus:

P = (M x V x I) : C

`Prioritas masalah atau pemecahan masalah diperoleh dengan mengurutkan jumlah nilai P dari yang tertinggi sampai terendah. Contoh penggunaan metode Reinke adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Metode Reinke

Selain itu, pada program penanggulangan TB di Puskesmas I ulu tidak ada langkah menentukan prioritas alternatif jalan keluar. Sehingga pada program penanggulangan di puskesmas I ulu, semua cara pemecahan masalah dijadikan prioritas. Hal ini akan menjadi tidak efektif karena dengan beragamnya prioritas pemecahan masalah, pemecahan masalah menjadi tidak terfokus, tidak terintegrasi, dan tidak hemat biaya. Sedangkan pada jurnal ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem yang mengintegrasikan beberapa konsep pemecahan masalah seperti problem solving cycle dan pemecahan masalah dengan menggunakan matriks, yang secara sistematis terdiri dari tahap mengidentifikasi masalah, memprioritaskan masalah, merumuskan alternatif jalan keluar, dan memprioritaskan alternatif jalan keluar.

Gambar 4. skema problem solving cycle

Pada jurnal ini, dibuat matriks untuk penentuan prioritas pemecahan masalah. Sehingga, di akhir langkah program penanggulangan TB akan didapatkan 1 cara pemecahan masalah yang menjadi prioritas untuk dikerjakan terlebih dahulu. Sehingga diharapkan pemecahan prioritas masalah dapat dilakukan dengan efektif dan efisien.BAB V

PENUTUP

Program pengendalian TB di Puskesmas merupakan kunci dalam upaya pengendalian TB secara nasional. Mengingat angka kejadian TB secara nasional masih tinggi, maka diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif, efektif, dan efisien dalam menjalankan program tersebut. Hal ini dikenal dengan sebutan pendekatan sistem.Pendekatan sistem yang digunakan ini memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dan memilih solusi untuk program kesehatan masyarakat secara sistematis. Karena pendekatan ini dirancang agar sesuai dengan hampir semua program kesehatan masyarakat, tentu bisa diterapkan dalam mengevaluasi program kesehatan masyarakat selain program pengendalian TB. Pengambil keputusan kesehatan masyarakat dapat menjadikan pendekatan sistem sebagai salah satu pendekatan alternatif untuk evaluasi program kesehatan masyarakat.DAFTAR PUSTAKA

1. Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah mendekati target Millenium Development Goals (MDGs), diunduh dari http://www.smecda.com/e-book/SIM/Simbab7.pdf, diakses tanggal 1 April 2013.2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia tahun 2010-2014. 3. Tani, Jowy., dkk. 2008. Evaluation of Tuberculosis control Programs in Indonesian Community Health Centers Using Systemic Approach. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 58 Nomor IV. 4. Anonimous. 2009. Modul bagi Pengelola Diklat, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta.

5. Moh. Entang, dkk. 2009. Analisis Kebutuhan Pelatihan, Bahan Ajar MOT, Pusdiklat Administrasi Kementerian Agama RI, Jakarta.6. Hasibuan, M.S.P. 2000. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara.7. Mangkuprawira. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia.8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional TB 2011, diunduh dari www.tbindonesia.or.id/2012/04/09/buku-pedoman-nasional-tb/ , diakses tanggal 1 April 2013.9. Profil Puskesmas I Ulu Palembang tahun 2012.10. PTP (Perencanaan Tingkat Puskesmas) Tahun 2013 Puskesmas I Ulu Palembang.Sarana

Dana

Lingkungan

Sarana penyuluhan kurang (pamflet dan brosur)

Reagensia sering kurang

-Sosioekonomi rendah

-Budaya malu dan malas

Kesadaran masyarakat tentang PHBS kurang

Cakupan Pengobatan penderita TB masih kurang

Petugas kurang (tugas rangkap)

Pengetahuan masyarakat rendah

Kerjasama lintas sektor kurang

Peran kader masih kurang

-Penyuluhan /Promkes kurang

Pencatatan dan pelaporan belum akurat

Rujukan balik

Manusia

Metode

34