tetanus dan sepsis belum rapi

Upload: herti-iya-maharani

Post on 19-Jul-2015

98 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II PEMBAHASAN

A. SEPSIS NEONATORUM 1. DEFINISI

Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat sehingga seringkali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48jam.(perawatan bayi beresiko tinggi, penerbit buku kedokteran, 1999,jakarta : EGC).

Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).

2. ETIOLOGI Penyebabnya biasanya adalah infeksi bakteri: a. Ketuban pecah sebelum waktunya b. Perdarahan atau infeksi pada ibu. c. Penyebab yang lain, yaitu karena bakteri, virus, dan jamur. Jenis bakteri bervariasi tergantung tempat dan waktu, jenis-jenis bakteriya sebagai berikut: 1. Streptococus group B (SGB) 2. Bakteri enterik dari saluran kelamin ibu 3. Virus herpes simplek 4. Enterovirus 5. E. Coli 6. Candida 7. Stafilokokus

3. GEJALA Bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala lainnya adalah: gangguan pernafasan, kejang, jaundice (sakit kuning),muntah, diare, perut kembung. Gejalanya tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya: a. Infeksi pada tali pusar (omfalitis). Gejalanya yaitu : demam, keluarnya nanah atau darah dari pusar. b. Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak bisa menyebabkan koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun. Gejalanya antara lain demam, iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak teratur, ubunubun menonjol c. Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena. Gejalanya antara lain adalah demam, gelisah, pergerakan lengan terbatasi. d. Infeksi pada persendian. Gejalanya antara lain adalah pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat e. Infeksi pada selaput perut (peritonitis) bisa menyebabkan pembengkakan perut dan diare berdarah. Gejalanya antara lain adalah distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali.

4. PATOFISIOLOGI Sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik. Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium, perubahan ambilan dan penggunaan oksigen, terhambatnya fungsi mitokondria, dan kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complment cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok,

yang mengakibatkan disseminated intravaskuler coagulation (DIC) dan kematian (Bobak, 2005)

5. FAKTOR PREDISPOSISI Terdapar berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sepsis. Faktor tersebut adalah :

Penyakit infeksi yang diderita ibu selama kehamilan Perawatan antenatal yang tidak memadai Ibu menderita eklampsia, diabetes mellitus Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama. Kelahiran kurang bulan, dan cacat bawaan. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak Ketuban pecah dini,

6. PATHWAY Invasi Bakteri dan kontaminasi sistemik Pelepasan endotoksi oleh bakteri Perubahan fungsi miokaridum hipotalamus Gangguan proses pernapasan pusat termuregulator Gangguan fungsi mitokondria ketidakstabilan suhu

Kekacauan metabolic yang progresif Kerusakan dan kematian sel

Penurunan perfusi jaringan Asidosis metabolik Syok septik insufisiensi Disseminated Intravasculer coagulation Sepsis neonatorum ( Bobak : 2005 )

7. MANIFESTASI KLINIS 1. Umum : panas, malas minum, letargi, sklerema 2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegali 3. Saluran nafas: apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas cuping hidung, merintih, sianosis, tampak tarikan otot pernapasan, dan mengorok 4. Sistem kardiovaskuler: pucat, sianosis, kulit lembab, hipotensi, takikardi, bradikardi 5. Sistem syaraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun menonjol. 6. Hematologi: Ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan. (Arif, 2000) 7. Mengalami hiportemia 8. Aktivitas lemah 9. Berat badan menurun secara tiba-tiba. 8. KOMPLIKASI Dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemia, anemia, hiperbilirubinemia, dan meningitis dan DIC.

9. PENCEGAHAN Tindakan pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara : 1. Pada masa antenatal Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, pengobatan terhadap infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang memadai, penangan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan. 2. Pada Saat Persalinan Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti persalinan diperlukan sebagai tindakan operasi, tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan. Mengawasi keaadan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir. 3. Pada Masa Sesudah Persalinan Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan agar tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri. Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Sebelum dan sesudah memegang bayi harus mencuci tangan terlebih dahulu. Dan bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi, dan pemberian antibotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. 10. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik : Organsisme penyebab terjadinya infeksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis maupun pembiakan terhadap contoh darah, air kemih maupun cairan dari telinga dan lambung. Jika diduga suatu meningitis, maka dilakukan fungsi lumbal.

11. PENATALAKSANAAN 1. Terapi Suportif Segera berikan cairan secara parentral untuk memperbaiki gangguan sirkulasi, mengatasi dehidrasi dan kelainan metabolik. Berikan oksigen bila terdapat gangguan respirasi/sodroma gawat napas. Bila ditemukan hiperbiliribinemia lakukan foto terapi/tranfusi tukar. Bila sudah makan per oral beri ASI atau susu formula. 2. Terapi Spesifik Segera berikan anti biotika polifragmasi : 1. Ampisilin, dosis 100 mg/kg BB/ hari.dibagi 2 dosis 2. Gentamisin, dosis 21/2 mg/ kgBB/ 18jam. Im sekali pemberian untuk bayi cukup bulan. 3. Gentasimin, dosis 21/2 kgBB/24 jam, sekali pemberian, untuk bayi kurang bulan. 4. lama pemberian 3-5 hari dinilai apakah menjadi sepsis. Kalau tidak antibiotika,dapat dihentikan.

Sepsis Neonatorum

1. Pilihan pertama : Ceftazidim 50 mg/kgBB/hari, iv, dibagi 2 dosis. 2. Bila tidak ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotik lain yang lebih paten, misalnya : 20 mg/kg/BB iv, tiap 8jam, atau sesuai dengan hasil resistensi test. Lama pemberian 7-10 hari.

Sepsis Neonatorum Dengan Meningitis Dosis ceftazidim 100 mg/kgBB/hari, dosis menjadi 40 mg/kgBB/hari, dengan lama pemberian 14-21 hari.

12. DATA LABORATORIUM Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram dan rontgen dada. Biarkan darah, sputum, urin

dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan gram stain ditempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set biakan darah harus diperoleh dalam periode 24jam. Volume sample sering terdapat kurang dari 2-3 bakterium/ml. ambil 1-5ml per sampling dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sample untuk spike demam intermiten, bakteremia dominant 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotika sudah dimulai, beberapa macam antibiotika dapat dideaktivasi di laboratorium klinis. Pemeriksaan Bilirubin hasil : 7,9 mg/ dl Glukosa Haemoglobin Erytrocit : 69 mg/dl : 13,5g/dL : 3,72 normal 12.0-16.0g/dL

13. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ( ilmu penyakit dalam, jilid III edisi IV, 2000) 1. PENGKAJIAN 1. Identitas Klien Nama ayah / ibu / wali Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Suku Alamat Bahasa yg digunakan

2. Riwayat Penyakit 1. Keluhan utama

Bibir membiru Menangis kurang Reflek hisap lemah Demam

2. Riwayat penyakit sekarang Klien dengan sepsis neonatorum biasanya mengalami sianosis sentral, Apnoe, Reflek hisap kurang / lemah kejang 3. Riwayat penyakit dahulu. 4. Riwayat penyakit keluarga 3. Riwayat Tumbuh Kembang a. Riwayat prenatal Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya, kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pd ibu selama hamil / persalinan, persalinan dgntindakan / komplikasi. b. Riwayat neonatal Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebeb ikterus itu sendiri. Bayi menderita sindrom gawat nafas, sindrom crigler-najjar, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hiperparatiroidisme, infeksi pasca natal dan lain-lain. 4. Riwayat Imunisasi 5. Pemeriksaan Fisik 1. Bentuk Sutura Konjungtiva Sklera Telinga Kepala : Simetris : Cekung : Tampak Anemis : Ikterik : Simetris

Hidung Mulut Palatum Reflek hisap Reflek telan Leher

: Simetris : Simetris : Utuh : Lemah : Lemah : Tidak ada pembengkakan kelenjar tyroid

2. Dada Bentuk dada 3. Perut Tali Pusat : Sudah lepas : Simetris

4. Ekstremitas Atas dan bawah Kelembaban : Jari-jari tangan dan kaki lengkap. : Dingin

1. Sistem pernafasan Tipe nafas Inspeksi Auskultasi : Pernafasan dada : Terlihat adanya tarikan iga : Ronchi

2. Sistem cardiovaskuler Nadi Suhu : 148 X/ menit : 38,5o C

Akral Capilari refill 3. Sistem Neurologi Kesadaran Pupil Reflek

: Dingin : > 2 detik

: Composmentis : Ada reflek

Moro menggenggam : Ada menggenggam Roting Pergerakan kaki Pergerakan tangan Kejang 4. : Lemah : Lemah : Lemah : Berulang-ulang, lama kejang 3-5 detik

Sistem Gastroinstestinal Buang Air Besar Pola Konsistensi Warna : 1 X / 2 hari : Lembek : Kuning

5.

Sistem Perkemihan Pola Konsistensi Warna : Ganti Pampers 3 X Sehari : Cair : Kekuningan.

6. Nutrisi Status Gizi BBL : Kurang : 2400 Gram

Intake Enteral / Oral : 140 cc / 24 Jam ASI : 50 cc / 24 Jam

OGT 7. Sistem Integumen Warna Turgor 8. Psikososial Status anak Respon Orang Tua

: 15 cc / 3 jam

: Kuning ( ikterik ) : Kering / Keriput

: Anak kandung : Cemas : Baik

Hub orang tua dgn anak

Studi Diagnosis Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect, golongan darah ibu dan bayi, Ht, jumlah retikulosit, fungsi hati dan tes thyroid sesuai indikasi. 5. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah : a) Hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism b) resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia c) resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan kebocoran cairan kedalam intersisial d) resiko tinggi kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan, e) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi f) resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun g) kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi (Doenges, 2000)

6. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. hipertermi b/d efek endotoksin, perubahan regulasi temperatur, dihidrasi, peningkatan metabolism Tujuan Intervensi : a. pantau suhu pasien Rasional : suhu 38,9 -41,1 derajad celcius menunjukkkan proses penyakit infeksius akut b. pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen sesuai indikasi Rasional : suhu ruangan harus di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal c. berikan kompres hangat, hindari penggunaan alcohol Rasional : membantu mengurangi demam d. kolaborasi dalam pemberian antipiretik, misalnya aspirin, asetaminofen Rasional : mengurangi demem dengan aksi sentral pada hipotalamus : Suhu tubuh dalam keadaan normal ( 36,5-37 )

2. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia Tujuan / Kriteria hasil Intervensi : a. Pertahankan tirah baring Rasional : menurunkan beban kerja mikard dan konsumsi oksigen b. Pantau perubahan pada tekanan darah R: hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah c. Pantau frekuensi dan irama jantung, perhatikan disritmia R: disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia d. Kaji ferkuensi nafas, kedalaman, dan kualitas R: peningkatan pernapasan terjadi sebagai respon terhadap efek-efek langsung endotoksin pada pusat pernapasan didalam otak

e. Catat haluaran urine setiap jam dan berat jenisnya R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal f. kaji perubahan warna kulit,suhu, kelembapan R: mengetahui status syok yang berlanjut Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral R: mempertahankan perfusi jaringan g. Kolaborasi dalam pemberian obat R: mempercepat proses penyembuhan

3. resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kebocoran cairan kedalam intersisial Tujuan / Kriteria hasil Intervensi : a. Catat pengeluaran urine setiap jam dan berat jenisnya R: penurunan urine mengindikasikan penurunan perfungsi ginjal serta menyebabkan hipovolemia b. Pantau tekanan darah dan denyut jantung R: pengurangan dalam sirkulasi volum cairan dapat mengurangi tekanan darah c. Kaji membrane mukosa R: hipovolemia akan memperkuat tanda-tanda dehidrasi d. Kolaborasi dalam pemberian cairan IV misalnya kristaloid R: cairan dapat mengatasi hipovolemia

7. resiko tinggi kerusakan pertukaran gas b/d terganggunya pengiriman oksigen kedalam jaringan Tujuan /Kriteria hasil : Intervensi

a. pertahankan jalan nafas dengan posisi yang nyaman atau semi fowler R: meningkatkan ekspansi paru-paru b. Pantau frekuensi dan kedalaman jalan nafas R: pernapasan cepat dan dangkal terjadi karena hipoksemia, stress dan sirkulasi endotoksin c. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan krekels, mengi R: kesulitan bernafas dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator dari kongesti pulmona/ edema intersisial d. Catat adanya sianosis sirkumoral R: menunjukkna oksigen sistemik tidak adequate e. Selidiki perubahan pada sensorium R: fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenisasi f. Sering ubah posisi R: mengurangi ketidakseimbangan ventilasi

B. TETANUS

A. PENGERTIAN Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan. Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejangkejang (WHO, 1989). Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997). B. ETIOLOGI Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah,

saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. C. PATOFISIOLOGI Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan. Efek Toxin pada : 1. Ganglion pra sumsum tulang belakang : Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik. 2. Otak : Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun. 3. Saraf otonom : Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.

D. MANIFESTASI Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai penyakit hari kedelapan (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak. Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah. Gambaran Umum pada Tetanus 1. Trismus (lock-jaw, clench teeth) Trismus adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut mecucu seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek. 2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)

Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam. 3. Opisthotonus Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya vertebra. 4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia. 5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun masa istirahat kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus. 6. Pada tetanus yang berat akan terjadi : Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis). Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retentionurinae. tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut. Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang

E. DIAGNOSIS, DIAGNOSA BANDING DAN KOMPLIKASI

1. Diagnosa Pemeriksaan laboratorium : diuraikan Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan. Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.

2. Diagnosa Banding Meningitis Meningoenchepalitis Enchepalitis Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia Trismus karena process lokal

3. Komplikasi Bronkhopneumonia Asfiksia Sepsis Neonatorum

F. FAKTOR RESIKO 1. Faktor resiko Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berkembangbiak menjadi kuman vegetatif. Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu :o

Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat

pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.o

Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada kelahiran plasenta dan perdarahan ibu. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika puntung tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja. Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum. Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar. Faktor Kekebalan Ibu Hamil Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000

o

o

o

kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982). 2. Pencegahan Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh. Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.bils luka tusuk paku,karies gigi ? G. PENATALAKSANAAN

Medikl Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin

diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium. 2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahanlahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diturunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena. 3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.u/pengobatan ? 4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis. 5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%. 6. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap. Keperawatan Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksigenasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM

1. Pengkajian 1. Identitas 2. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal. 3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang Kepala : Posisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah. Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan. Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung. Abdomen : Dinding perut seperti papan. Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan. Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.

4. Pemeriksaan Persistem

Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk. Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia. Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan. Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi Perkemihan : Produksi urine Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul 1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi 2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat. 3. Intervensi Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi Intervensi :o o

Kaji frekuensi dan pola nafas Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit. Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara kontinue.

o

o o o o o

Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan. Beri rangsang taktil segera setelah apnea. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. Beri O2 sesuai indikasi. Beri obat-obatan sesuai indikasi.

Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat. Intervensi :o

Kaji maturitas refleks berkenaan dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk. Auskultasi bising usus. Kaji tanda-tanda hipoglikemia. Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi. Beri nutrisi parenteral. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi. Lakukan pemberian minum sesuai toleransi

o o o o o o