refarat tetanus

26
TETANUS I. PENDAHULUAN Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”. Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama PerangDunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II. [1] Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi target program imunisasi World Health 1

Upload: zainal-takke-enal-takke

Post on 04-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Refarat Tetanus

TRANSCRIPT

Page 1: Refarat Tetanus

TETANUS

I. PENDAHULUAN

Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”. Penyakit ini telah

dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian

mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”. Pada tahun

1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi

nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama,

Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada

tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan

membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada

hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi

spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif

antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan

untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama PerangDunia I. Descombey kemudian

mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas

selama Perang Dunia II.[1]

Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang

dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,Vietnam,

Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang

menjadi target program imunisasi World Health Organization. Di negara berkembang,

tetanus masih umum penyakit, terutama pada bayi baru lahir, yang dapat terinfeksi spora

tetanus melalui tali pusat (tetanus neonatorum). Di Amerika Serikat, tingkat kejadian

tetanus adalah sekitar satu dari satu juta kasus per tahun. Injeksi heroin yang

terkontaminasi merupakan penyebab signifikan. Sekitar dua-pertiga dari semua cedera

yang menyebabkan tetanus terjadi dari dalam goresan dan luka tusukan di rumah dan

sekitar 20 persen di kebun dan peternakan. Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C.

tetani dan angka mortalitas yang tinggi menuntut dokter umum untuk menguasai

pencegahan dan penanganan tetanus. [2]

 

1

Page 2: Refarat Tetanus

II. DEFINISI

Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani,

yang masuk melalui luka bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti

kekakuan otot seluruh badan (spasme).[3] Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot

masseter dan otot- otot rangka.[9]

III. EPIDEMIOLOGY

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu mengenai orang yang tidak imun, orang yang

memiliki imunitas parsial dan individu yang imun secara penuh yang gagal mempertahankan imunitas

adekuat dengan dosis vaksin ulangan juga bisa terkontaminasi. Meskipun tetanus secara

keseluruhan bisa dicegah dengan imunisasi, beban penyakit di dunia cukup besar. Tetanus merupakan

sebuah penyakit yang penting di banyak negara, tetapi pelaporan diketahui tidak akurat

dan tidak lengkap, terutama pada negara-negara berkembang. Sebagai hasilnya, WHO

mempertimbangkan jumlah kasus yang dilaporkan masih dibawah angka yang

sesungguhnya dan secara periodis melakukan perkiraan kasus/kematian untuk menilai

beban penyakit. Pada tahun 2002 (tahun terakhir yang tersedia datanya), jumlah perkiraan

kematian yang berhubungan dengan tetanus pada semua kelompok

adalah 213.000, dimana 180.000 (85%) adalah tetanus neonatal. Sebaliknya, hanya18.781

total kasus dan 11.762 kasus neonatal yang benar-benar dilaporkan pada tahun itu. Tetanus sering terjadi

dalam wilayah tanah pertanian, dalam iklim yang hangat, selama bulan-bulan musim panas, dan pada

laki-laki. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama terjadi

pada neonatus dan anak kecil yang lain. Penting diperhatikan bahwa program internasional untuk

menghilangkan tetanus neonatus telah dilakukan selama beberapa kali. [6]

Di AS dan Negara-negara lain dengan program imuninasi yang sukses, tetanus neonatus jarang

(hanya tiga kasus yang dilaporkan di AS selama 1990-2004), dan penyakit ini mengenai kelompok usia

yang lain dan kelompok yang tidak secara sempurna tertutup oleh imunisasi (seperti kelompok selain

kulit putih). Sejak 1976, hanya kurang dari 100 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Di AS, sebagian

2

Page 3: Refarat Tetanus

besar kasus tetanus mengikuti cedera akut (luka tusuk, laserasi, abrasi atau trauma lain). Tetanus bisa

didapatkan di dalam ruangan atau selama aktivitas di luar ruangan (misalnya bertani dan

berkebun). Luka yang terinfeksi mungkin saja besar atau bisa juga terlihat biasa sehingga terabaikan saat

pemeriksaan medis. Dalam beberapa kasus, tidak ada cedera atau pintu masuk yang bisa dicurigai.

Penyakit ini bisa memberikan komplikasi pada kondisi-kondisi kronik seperti ulkus kulit, abses,

dan gangren. Tetanus juga dikaitkan dengan luka bakar, frostbite, infeksi telinga

tengah,pembedahan, aborsi, kelahiran anak, tindik badan, dan penyalahgunaan obat.[5]

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis

(spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik

atau biologik. Port d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang,

bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada

puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Menurut survei di lima rumah sakit pusat/provinsi di kota Jakarta , Bandung ,

Makassar dan Palembang selama tahun 1991-1996, terdapat rata-rata 10-25 kasus per

tahun per rumah sakit dengan angka kematian 7-23%. Golongan umur yang paling sering

penyakit ini adalah bayi (26%), disusul anak 5-9 tahun (19%), anak balita 1-4 tahun

(15%) dan usia lebih > 10 tahun (12%). [6]

IV. ETIOLOGI

Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 X 0.4 –

0.5 millimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya

anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung,

penabuh gendering (drum stick).[4] Bakteri tetanus bersifat obligat anaerob yaitu berbentuk

vegetative pada lingkungan tanpa oksigen dan rentan terhadap panas serta disinfektan.

Pada bentuk vegatif dapat bergerak aktif dengan flagella serta menghasilkan eksotoksin.[6]

Eksotoksin menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin tidak penting

dalam pathogenesis tetanus. Tetanospasmin sangat penting dalam pathogenesis tetanus,

tetanospasmin menyebar ke sistem saraf pusat menyebabkan kejang otot yang berlanjut

dan bisa mengakibatkan tetanus yang kronik dengan menghalangi inhibitor

3

Page 4: Refarat Tetanus

neurotransmission.[7] Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65oc akan hancur dalam

5 menit. [9]

Pada lingkungan yang tidak kondusif bakteri akan membentuk spora yang tahan

terhadap panas termasuk perebusan ( tetapi hancur pada pemanasan dengan otoklaf),

kekeringan dan berbagai disinfektan. Spora dapat bertahan hidup bertahun-tahun dan

berada di mana saja seperti tanah, debu, serbuk antiseptik , bahkan pada peralatan

operasi.

Bakteri hidup dalam habitat utamanya yaitu tanah yang mengandung kotoran

ternak , kuda dan hewan lainnya sehingga daerah perternakan atau pertanian berisiko

tinggi terhadap penyebaran penyakit ini. [6]

Perwarnaan gram C.Tetani

V. PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi. Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai

pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin &

tetanolisin. Tetanolisin secara local mampu merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi

sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin

menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat

150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da)

dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang

menghasilkan jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dan rantai berat

terikat pada membrane saraf dan ujung amino yang memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel.

Sedangkan rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari

neuron yang dipengaruhi. [9]

Penyebaran Toksin

4

Page 5: Refarat Tetanus

Toksin dan kuman tetanus kini telah dapat diisolasi dengan cara sekuensi DNA. Bentuk toksin ini

serupa dengan bentuk toksin Botullinum, terdiri atas rantai berat dan rantai ringan yang terhubung oleh

jembatan disulfide. Rantai berat bermanfaat untuk neuronal uptake dan transport toksin pada motor

neuron, sedangkan rantai ringan merupakan zinc-dependend endopeptidase yang bertanggung jawab

terhadap aksi patologis toksin. Terminal N dari rantai berat diduga terlibat pada pemilihan dan perjalanan

interneuronal, sementara terminal C bertanggung jawab pada aksi neuronal uptake spesifik dari toksin.

Area ini diketahui memiliki 4 tempat ikatan dengan karbohidrat dan terlihat berinteraksi dengan

polisialogangliosida dan glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored glycoproteins. Kedua komponen

ini diyakini merupakan 2 komponen membrane sel yang memediasi ikatan spesifik dengan toksin. [9]

Toksin yang dihasilkan oleh spora yang terbentuk di dalam luka, terutama luka terbuka akan

menyebar dengan cara:

Masuk kedalam otot

Toksin masuk melalui otot yang terkena luka, terutama luka pada ekstremitas, luka terinfeksi paska

operasi, luka yang kurang vaskularisasi atau luka bakar. Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak

memiliki riwayat luka yang jelas sebagai tempat masuk kuman. Dari otot akan menyebar ke otot yang

berdekatan. Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat disekitarnya

sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan meningkat dan terjadi peningkatan

jumah saraf yang terlibat dalam transport toksin ke susunan saraf pusa. Para ahli menduga mekanisme ini

terutama dijalankan oleh tetanolisin yang memfasilitasi kerusakan jaringan sekitar luka sehingga menjadi

lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Clostridium tetani selanjutnya. [9]

Penyebaran ke sistem limfatik

Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar ke nodulimfatikus regional. Injeksi

dan blocking nodus limfatikus regional dengan antitoksin akan mencegah perkembangan tetanus. Dari

nodus limfatikus toksin segera mengalir melalui system limfatik ke dalam aliran darah. [9]

Penyebaran dalam aliran darah

Toksin kemudian akan diserap melalui aliran darah terutama melalui system limfatik, namun

mungkin juga terjadi secara langsung melalui kapiler-kapiler di dekat depot toksin. Semakin banyak

jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak toksin yang dapat dinetralisasi, karena antitoksin

dapat diberikan melalui intravena. Namun jika deposit di dalam otot lebih banyak tetanus asendens yang

bersifat letal akan terus berkembang karena transpor toksin ke susunan saraf sepanjang jaras saraf.

Penyebaran toksin tidak langsung melalui aliran darah ke susunan saraf pusat karena adanya hambatan

melewati sawar darah otak. Kepentingan fase ini dalam penyebaran toksin adalah perannya yang penting

dalam menyebarkan toksin ke otot-otot sehingga jumlah jalur asenden ke system saraf bertambah pula. [9]

5

Page 6: Refarat Tetanus

Masuknya toksin ke susunan saraf pusat

Toksin tetanus mencapai susunan saraf pusat melalui transport retrograde sepanjang jalur aksonal.

Toksin yang terbentuk dalam luka atau toksin yang disuntikkan secara subkutan setelah menyebar ke otot

yang terinfeksi dan otot-otot terdekat disekitarnya pertama akan berikatan dengan reseptor membrane

terminal presinaps di dalam otot. Reseptor ini merupakan suatu gangliosid. Selanjutnya toksin akan

berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen

spinalis yang menginervasi otot yang terinfeksi. Toksin di dalam luka juga akan mencapai dan

bersirkulasi dalam aliran darah. Toksin ini akan merembes melalui membrane permeable pembuluh

darah intramuskuler. Pada jalur ini toksin berdifusi untuk mencapai saraf dan kepala. Setelah toksin

berikatan dengan reseptor di saraf terminal seluruh otot tubuh ia akan naik sepanjang akson sel saraf di

seluruh tubuh untuk mencapai badan sel alfa motor neuron di medulla spinalis dan batang otak.[9]

Toksin tetanus dialirkan baik melalui saraf sensoris, otonom, maupun motorik. Toksin berjalan

secara retrograde di susunan saraf perifer. Selanjutnya toksin berhenti dan berakumulasi di ganglion radiks

dorsalis juga melalui saraf adrenergic menuju inti intermediolateral di medulla spinalis yang mengurus

saraf simpatis. [9]

Di dalam medulla spinalis dan batang otak toksin meninggalkan sel kornu anterior dan nucleus

motorik di batang otak untuk menyebrangi celah sinaptik dan mencapai bagian terminal neuron inhibitor.

Di bagian in toksin akan berikatan dengan reseptor di membrane presinaps. Inhibisi ini terutama terjadi

pada saraf motorik dan otonom. Toksin tetanus bekerja dengan cara menghambat pelepasan

neurotransmiter inhibisi. Patomekanisme toksin di dalam tubuh manusia adalah melalui ikatan dengan

permukaan luar membrane presinaps diperantarai oleh adanya fragmen C yang berikatan dengan reseptor

polisialogangliosid GD1b dan Gγ1, internalisasi molekul toksin, dan mempengaruhi afinitas kalsium

yang menyebabkan gagalnya pelepasan neurotransmiter inhibisi. [9]

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak

berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk

vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis

sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani

menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis

tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.

Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2)

medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis

letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu

milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.

6

Page 7: Refarat Tetanus

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis

silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih

banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf

motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin

tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah

sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang

menyebabkan kolinesterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps

yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot,

sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan

menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. [9]

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps

jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan

otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga

menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat

yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. [8]

VI. GAMBARAN KLINIS

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-

10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan

spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset lebih pendek berkaitan

dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan

rigiditas dan spasme otot yang makin semakin parah. Gangguan otonomik biasanya

dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme

berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan

terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin.

Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. [8]

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi,

mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa

inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.

7

Page 8: Refarat Tetanus

Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa

trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme

pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali

ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi

iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan

spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal,

mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali

dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4

minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. [8]

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta

memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan

memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum

akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum

tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan

kematian. [8]

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi

telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada

saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus

ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. [8]

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara

yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.

Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk

memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10

hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme

berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. [8]

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis utama mutlak didasarkan pada gejala klinis. Penyakit ini ditandai oleh

suatu serangan hipertonia akut, nyeri otot saat berkontraksi (biasanya terjadi pada otot

rahang dan otot leher) dan spasme otot secara umum tanpa penyebab medis yang

nyata. Diagnosis dapat ditegakkan dari gejala klinik & riwayat terjadinya luka.

8

Page 9: Refarat Tetanus

Riwayat ini kadang dianggap sepele & terlupakan oleh pasien. Oleh karena itu

dibutuhkan anamnesis yang lebih teliti.

o Kultur : Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus.

Kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism tersebut

menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.

o Lab Darah : Leukosit mungkin meningkat.

o Pemeriksaan cairan cerebrospinalis menunjukkan hasil yang normal.

o Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai

setelah potensial aksi.

o Elektrokardiogram : perubahan non-spesifik.

o Enzim : enzim otot meningkat

o Kadar antitoksin serum ≥0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini

tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada bberapa kasus yang terjadi pada

kadar antitoksin yang protekti[8].

VIII. PENATALAKSANAAN

Menurut Thwaites (2002), penatalaksanaan tetanus sebagai berikut:

1. Eradikasi Bakteri Kausatif [10]

Metronidazol

Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorbsi ke dalam sel dan

senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan

terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai

antibiotika pada terapi tetanus karena penissilin G juga merupakan agonis GABA

yang dapat memperkuat efek toksin.

Dosis Dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam selama 7-10 hari atau 1 g i.v tiap 12

jam, tidak lebih dari 4g/hari.

Dosis Pediatrik : 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2

g/hari

Kontraindikasi : Hipersensitifitas, trimester pertama kehamilan.[9]

9

Page 10: Refarat Tetanus

Penisilin

Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000

U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat

diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).

Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian

penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap

6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah

penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap

tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).[8]

2. Manajemen Luka [10]

Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.

- Irigasi luka.

- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang

operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat

dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses

penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri.

Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara

pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat

digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti

hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement

adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh

sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab.

Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan

nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan

sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat

mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak.

Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah

sebagai berikut:

Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan

cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat

luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik

pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut.

10

Page 11: Refarat Tetanus

Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan

terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah

resiko perdarahan pada jaringan yang rapuh.

Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah

dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.

Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak

terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).

- Membuang benda asing dalam luka.

- Kompres dengan H2O2.

- Luka dibiarkan terbuka. [8]

3. Netralisasi antitoksin yang belum terikat

Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak

terikat sajalah yang dapat dinetralisasi. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immune

Globuline (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan angka

keselamatan. Dosis yang dianjurkan oleh El Haddad adalah 500 unit HTIG diberikan secara

intramuskuler segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Dosis HTIG untuk profilaksis dewasa

adalah 250-500 U IM pada ekstremitas dan dosis profilaksis anak adalah 250 U IM pada

ekstremitas (kontralateral dengan lokasi penyuntikan TT). [10]

4. Terapi suportif selama fase akut

Diazepam

Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi

napas yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan barbiturat.[10] Dosis

diazepam yang direkomendasikan adalah 0,5-10 mg/kgBB. Untuk spasme ringan,

5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu. Untuk spasme sedang, 5-10 mg/kgBB IV bila

perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip.

Spasme berat, 50-100 mg dalam 500 mL dekstrose 5% dan diinfuskan dengan

kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam. [10] Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan

klinis pasien.[9]

Kontraindikasi : Hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.

11

Page 12: Refarat Tetanus

Interaksi: Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan

bersamaan dengan alkohol. Fenothiazin, barbiturat, dan MAOI ; cisapride dapat

meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.[9]

Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada

pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi

yang diinginkan

Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari.

Dosis pediatrik 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari

Kontraindikasi: Hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien

nefritis.

Interaksi: Dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin,

teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang telah mendapatkan

antikoagulan harus ada penyesuaiandosis; pemberian bersamaan dengan alkohol

dapat menyebabkan efek aditif ke sistem saraf pusat dan kematian; kloramfenikol,

asam valproat, dan MAO dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital

: rifampisin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim, mikrosomal dapat

menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita.

IX. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah

sebagai berikut :

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus,

risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor

serebrospinal.

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.

3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).

4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat

riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.

5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis

(OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.[8]

12

Page 13: Refarat Tetanus

X. KOMPLIKASI

Sistem Komplikasi

Jalan Nafas

Respirasi

Kardiovasukeler

Ginjal

Aspirasi

Laringospasme/obstruksi

Obstruksi berkaitan dengan sedatif

Apnea

Hipoksia

Gagal nafas tipe 1* (atelektasis,

aspirasi, pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme

laringeal, spasme trunkal

bekepanjangan, sedasi

berlebihan)

ARDS

Komplikasi bantuan ventilasi

berkepanjangan (seperti

pneumonia)

Komplikasi trakeostomi (seperti

stenosis trachea)

Takikardia

Hipertensi

Iskemik

Hipotensi

Bradikardi

Takiaritmia

Bradiaritmia

Asistol

Gagal jantung

Gagal ginjal curah tinggi

Gagal ginjal oligouria

Stasis urin dan infeksi

13

Page 14: Refarat Tetanus

Gastrointestinal

Lain-lain

Stasis gaster

Ileus

Diare

Perdarahan

Penurunan berat badan

Tromboembolus

Sepsis dengan gagal organ multipel

Fraktur vertebra selama spasme

Ruptur tendon akibat spasme

XI. PROGNOSIS

Derajat Keparahan penyakit tetanus dapat ditentukan melalui sistem klasifikasi

Menurut Albett:

Derajat I ( Ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa

gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

Derajat II ( Sedang ) : Trismus sedang, rigiditas Nampak jelas, spasme ringan-

sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan >30, disfagia

ringan.

Derajat III ( Berat ) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex

berkepanjangan, frekuensi pernafasan >40, apnea, disfagia berat & takikardi >120.

Derajat IV ( Sangat Berat ) : Derajat II dengan gangguan otonomik yang

melibatkan system kardiovaskuler. Hipertensi berat & takikardi berselingan

dengan hipotensi dan bradikardia. [8]

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat

diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang

berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka,

dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin

buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan

jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi

prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena

14

Page 15: Refarat Tetanus

mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian

antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.[8]

Philip’s Score

Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor

Masa Inkubasi

> 14 hari

> 10 hari

5 – 10 hari

2 – 5 hari

< 48 jam

1

2

3

4

5

Spasme

Hanya trismus

Kaku seluruh badan

Kejang terbatas

Kejang seluruh badan

Optistotonus

1

2

3

4

5

Imunisasi

Lengkap

< 10 tahun

> 10 tahun

Ibu diimunisasi

Tidak diimunisasi

0

2

4

8

10

Frekuensi Spasme

6 x dalam 12 jam

Dengan rangsangan

Terkadang spontan

Spontan < 3x per 15 menit

Spontan > 3x per 15 menit

1

2

3

4

5

Luka Infeksi Suhu

Tidak diketahui

Distal/perifer

Proksimal

Kepala

Badan

1

2

3

4

5

Suhu

36.7 - 37 C

37.1 – 37.7 C

37.8 – 38.2 C

38.3 – 38.8 C

> 38.8 C

1

2

4

8

10

Komplikasi

Tidak ada

Ringan

Tidak membahayakan

Mengancam Nyawa (tidak langsung)

Mengancam nyawa

1

2

4

8

10

Pernafasan

Sedikit berubah

Apnea saat kejang

Kadang apnea setelah kejang

Selalu apnea setelah kejang

Perlu trakeostomi

0

2

4

8

10

Interpretasi

< 9 : Ringan ( Prognosis Baik )

9 – 18 : Sedang ( Ragu-ragu )

> 18 : Berat ( Prognosis Buruk )

DAFTAR PUSTAKA

15

Page 16: Refarat Tetanus

1. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, etc. "Tetanus". Journal of Neurology, Neurosurgery, and

Psychiatry : p 292–301.

2. Allan HR, M.D. Raymond Delacy Adams,dkk. Adams and Victor’s Principle of

Neurology, Ninth Edition. McGraw Hill Profesional. 2009

3. Dorland’s Pocket Medical Dictionary 28th Edition; Elsevier Saunders: 2009 : p 840

4. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,Edisi III: p 474-476

5. AAnthony S, Dennis L, Dan L, Eugene, etc : Harrison’s Principle of Internal

Medicine, 17th Edition ; Mc Graw Hill: 2008 : Chapter 133

6. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan

pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33

7. Spicer WJ. Clinical Microbiology And Infectious Diseases An illustrated Colour

Text: 2nd Edition; Churchill Livingstone Elsevier : 2008 : p 105

8. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Penatalaksanaan tetanus pada anak.2008

9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-

1784

10. Sudewi R, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University

Press.2011.

16