system pendidikan di indonesia kegamangan normatif

54
System Pendidikan di Indonesia : Kegamangan Normatif Oleh Rum Rosyid Sejarah lahirnya sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukanlah hasil perencanaan komprehensif melainkan langkah demi langkah melalui berbagai bentuk eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda maupun di Hindia-Belanda sendiri (Nasution, 1983). Selain itu, kejadian-kejadian di luar khususnya di Asia, mendorong dipercepatnya pengembagnan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya setidaknya dalam teori; memberi kesempatan kepada setiap anak desa terpencil untuk memasuki pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Realitas membuktikan hanya anak- anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan studi sekalipun hanya terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja. Menurut Brugmans (1938) bahwa politisasi pendidikan bukan hanya suatu bagian dari politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis dan luas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda yang terutama dipengaruhi oleh pertimbangan- pertimbangan ekonomis. Tak mungkin mempelajari masalah- masalah pendidikan di Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi (1983). Taruhlah mengenai motif pendirian sekolah pertama di Jakarta tahun 1603 yang khusus mendidik anak Belanda dan Jawa menjadi pekerja yang kompeten untuk VOC. Motif diseminasi teologi nasrani yang paling dominan seperti yang pernah dilakukan oleh Franciscus Xaverius dibawah “Ordo Jesuit”-nya berhasil mengkatolikkan sebagian besar Indonesia bagian timur melalui berbagai instrument pendidikan. Pada perkembangannya, pendidikan kolonial menjalar dalam berbagai bentuk seperti berdirinya Volksschool (Sekolah Desa), Europese Lagere School (ELS), Hollands Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School

Upload: rumrosyid

Post on 26-Jun-2015

252 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

System Pendidikan di Indonesia : Kegamangan NormatifOleh Rum Rosyid

Sejarah lahirnya sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukanlah hasil perencanaan komprehensif melainkan langkah demi langkah melalui berbagai bentuk eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda maupun di Hindia-Belanda sendiri (Nasution, 1983). Selain itu, kejadian-kejadian di luar khususnya di  Asia, mendorong dipercepatnya pengembagnan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya setidaknya dalam teori; memberi kesempatan kepada setiap anak desa terpencil untuk memasuki pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Realitas membuktikan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan studi sekalipun hanya terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja.

Menurut Brugmans (1938) bahwa politisasi pendidikan bukan hanya suatu bagian dari politik kolonial, akan tetapi merupakan inti politik kolonial. Jenis dan luas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Indonesia banyak ditentukan oleh tujuan-tujuan politik Belanda yang  terutama dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis. Tak mungkin mempelajari masalah-masalah pendidikan di Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi (1983). Taruhlah mengenai motif pendirian sekolah pertama di Jakarta tahun 1603 yang khusus mendidik anak Belanda dan Jawa menjadi pekerja yang kompeten untuk VOC.

Motif diseminasi teologi nasrani yang paling dominan seperti yang pernah dilakukan oleh Franciscus Xaverius dibawah “Ordo Jesuit”-nya berhasil mengkatolikkan sebagian besar Indonesia bagian timur melalui berbagai instrument pendidikan. Pada perkembangannya, pendidikan kolonial menjalar dalam berbagai bentuk seperti berdirinya Volksschool (Sekolah Desa), Europese Lagere School (ELS), Hollands Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS) dan Algemene Middelbare School (AMS) yang notabene aspek kurikulumnya lebih tertata dari pada model pendidikan sebelumnya.

Sketsa sederhana di atas merupakan gambaran awal mengenai pendidikan Indonesia sebelum merdeka yang nilainya banyak dicederai oleh kepentingan politik kolonial. Menjelang maupun pasca kemerdekaan, model pendidikan kita sebenarnya tidak akan lepas dari tafsir kepentingan. Era 1920 timbullah cita-cita baru yang menghendaki perubahan radikal dalam wilayah pendidikan dan pengajaran yang merupakan gabungan kesadaran kultural dengan kebangkitan politik bangsa Indonesia, sehinga dua tahun berikutnya (1922) lahirlah Taman Siswa. Pun juga sebagai bentuk jalaran visinya, maka tepat tanggal 31 Oktober 1926 lahirlah sekolah swasta dengan nama Indonesische Nederlandsche School (INS) di Sumatera Barat.

Pendidikan saat iniKrisis multidimensi mengandaikan  merosotnya kepercayaan terhadap  sistem  budaya, sosial, politik, ekonomi  serta sistem pendidikan yang lama karena sistem-sistem itu  dianggap tidak mampu lagi mencerna masalah-masalah dan mengakomodasi aspirasi dan

Page 2: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

tuntutan kontekstual yang baru. Secara umum sistem yang demokratis (aspiratif) dan kompetitif (mampu menjawab tuntutan kontekstual yang baru)  adalah sistem yang harus dilahirkan melalui upaya pembaharuan.

Upaya pembaharuan sistem pendidikan menghadapi tantangan kebijakan yang mendasar, yaitu  pertama, masalah yang dihadapi sistem makronya yaitu  isu yang lebih bersifat sosial-politik, berupa masalah pluralisme dan demokratisasi, desentralisasi, penguatan civil society dan tuntutan akan hak pendidikan warga negara dan pengembangan  partisipasi masyarakat. Kedua, isu-isu yang boleh dikatakan sebagai masalah ekonomi-demografis yaitu  hutang luar negeri yang besar, ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan tantangan ’lost generation’ akibat krisis,  globalisasi dan pasar bebas.  Kegagalan (dan keberhasilan) kebijakan Orde Baru dengan lebih memprioritaskan (beberapa) masalah yang kedua (ekonomi-demografis), agaknya memberikan pelajaran berharga bahwa kedua masalah baik ekonomi-demografis maupun sosial-politik) itu perlu ditangani secara seimbang dalam kebijakan pendidikan ke depan.

Di samping itu pemerintah juga menghadapi masalah-masalah lama yang masih belum terpecahkan adalah kuantitas cakupan yang relatif rendah pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, sentralisme dan korupsi di jajaran birokrasi pendidikan,  kualitas literacy,  relevansi kinerja pendidikan yang rendah di depan tuntutan pasar dan tuntutan pembelajaran yang cerdas dan demokratis, serta kesenjangan pelayanan pendidikan baik dalam perspektif kelembagaan (negeri vs swasta, sekolah vs madrasah), maupun geografis.   

Pendidikan yang selama ini dilakukan, tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara "utuh" dan "paripurna", tetapi lebih diorientasikan pada nilai-nilai materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Lebih mementingkan penjejalan otak kiri dari pada memahami pemahaman kebutuhan otak kanan. Akibatnya, apresiasi output pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi tidak terlihat. Mereka menjadi "robot-robot" zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.

Pendidikan juga cenderung mengalami simplifikasi, kita lebih biasa mengartikannya dalam konteks proses belajar-mengajar di sekolah, dari pada proses belajar seumur hidup. Sehingga sangat kontraproduktif apa yang terjadi di masyarakat dengan apa yang diperoleh di bangku sekolah. Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan "tong sampah" ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan

Page 3: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

regulasi yang tidak memihak rakyat. Sebagaimana output pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich. Oleh karena itu ikhtiar reformasi pendidikan Indonesia menghadapi tantangan kebijakan yang berdimensi luas dan mendasar,  memerlukan perubahan atau perbaikan orientasi, penataan kembali  sistem dan institusi governance serta tata kelola, bahan ajar/materi didik, model pembelajaran dan ketersediaan sarana-perasarana maupun pendidiknya.    

Eksistensi Manusia dalam SisdiknasPenyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan. Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.Sejak dari awal Indonesia merdeka, pemerintah telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa Pancasila menjadi dasar negara.

Semua lembaga pendidikan pada dasarnya bermuara pada perubahan ide mendasar dan konstruksi pemikiran bahwa bangsa ini harus keluar dari lingkar-lingkar kolonialisme. Itulah politisasi pendidikan meskipun dalam kacamata Indonesiasentris, gerakan dan ide-ide tersebut banyak dan patut mendapat apresiasi yang tak ternilai harganya; mafhum bahwa bangsa ini terlalu banyak berhutang pada ide dan gerakan yang dilakukan para tokoh, penggiat dan penganjur pendidikan semacam Ki Hajar Dewantara,    Dr. Sutomo, Sutopo Adiseputro, dan lain-lain. Bagaimana kemerdekaan pendidikan pasca negeri ini merdeka, apakah berjalan secara linier sesuai dengan kemerdekaan de jure  17 Agustus 1945 atau meminjam istilah Ki Hajar Dewantara bahwa: “pendidikan itu melahirkan kecerdasan pikiran dan ilmu pengetahuan yang akan selalu mempengaruhi dengan kuat atas bertumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme) ”. Apakah paradigma terakhir itu yang tertanam dalam benak pemimpin bangsa dalam meng-create kebijakan di dunia pendidikan.

Berbicara mengenai tanggung jawab pemerintah Indonesia mengenai pendidikan rakyatnya, banyak sekali dasar hukum yang sepertinya memang tidak pernah diindahkan oleh pemerintah. Bahkan tidak banyak rakyat Indonesia yang tahu akan hak mereka atas pendidikan, apalagi berusaha menuntut pemerintah untuk memenuhinya. Sebut saja dalam Universal Declaration of Human Rights, International Convention of Economic, Social, and Cultural Rights, dan International Convention on Children’s Rights, kesemuanya menyepakati tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pendidikan pada rakyatnya, sebagai langkah pemenuhan hak asasi rakyatnya.

Page 4: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Bahkan, beberapa tahun sebelum dikumandangkannya Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, bangsa Indonesia telah lebih dahulu menetapkan tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Meski hingga saat ini, tanggung jawab tersebut telah banyak dilanggar dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas beserta peraturan turunannya yang tidak menghiraukan hierarki konstitusi14. Sadar atau tidak, rakyat Indonesia hari ini telah dijajah oleh pemerintahnya sendiri. Dan mau tidak mau, perubahan harus segera dilakukan, dengan menyadarkan sebanyak mungkin manusia Indonesia melalui pendidikan.

Sistem pendidikan yang berlangsung selama ini memiliki kecenderungan menjauhkan manusia dari fitrahnya, yaitu untuk menjadi merdeka dan sadar akan pilihan-pilihan hidupnya, bahkan sebaliknya malah mengasingkan mereka dari realitas yang ada disekelilingnya. Siswa lebih dianggap sebagai “objek” pendidikan, yang  karenanya harus mau dijejali dengan semua hapalan dan informasi yang diberikan oleh gurunya, tanpa diberikan kesempatan untuk bisa berpendapat sendiri, apalagi melakukan pemaknaan-pemaknaan, bahwa belajar seharusnya merupakan proses yang integral dan maknawi.Artinya, sekolah tidak seharusnya memisahkan siswa dari sejarahnya, lingkungan dimana ia hidup.

Sisdiknas Pasal 53 ayat 17(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. BHP BAB I (Ayat 11 dan 12). Pemimpin organ pengelola pendidikan adalah pejabat yang memimpin pengelolaan pendidikan dengan sebutan kepala sekolah/ madrasah atau sebutan lain pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, atau rektor untuk universitas/institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk politeknik/akademi pada pendidikan tinggi. Pimpinan organ pengelola pendidikan adalah pemimpin organ pengelola pendidikan dan semua pejabat di bawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Pasal 39 Kekayaan berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang milik badan hukum pendidikan, dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun, kecuali untuk memenuhi kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).

Desentralisasi fiscal : Pendidikan dalam Keterbatasan DanaSejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia melalui babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana Otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hal ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan barang publik dan pembangunan

Page 5: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar1, khususnya pada bidang pendidikan yaang merupakan unsur esensial dalam pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan penduduk. Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas, mengingat peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD daerah kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya menusia (SDM) serta kemampuan manajemen sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas.      Secara umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat. Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya.

Isu ekonomi-demografis antara lain kewajiban untuk mengangsur hutang luar negeri yang besar (hampir spertiga APBN untuk membayar utang),  rendahnya kualitas dan partisipasi pendidikan terutama di tingkat menengah /atas,  ledakan angkatan kerja, kemiskinan, pengangguran dan tantangan’ lost generation’ seperti drop-out akibat krisis,  globalisasi dan pasar bebas.     Di Indonesia desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan sejak tahun 2001. Pelaksanaan otonomi daerah dapat dipandang sebagai reformasi di bidang politik, kelembagaan dan sistem ekonomi. Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal perlu digaris bawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur mengenai penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya bidang kesehatan dan pendidikan). Iklim usaha menggambarkan situasi lingkungan dimana kegiatan bisnis berlangsung. Aspek penting dari unsur sosial yang menentukan iklim usaha adalah “nilai” masyarakat setempat terhadap profesia pengusaha/pedagang dan penghargaan terhadap “kerja”. Faktor tingkat pendidikan masyarakat punya pengaruh besar terhadap “nilai” dimaksud. Aspek ekonomi mencakup akses terhadap keamanan, infrastruktur, periijinan, informasi dan kredit. Hal penting lainnya adalah masalah hambatan dibidang perdagangan dan investasi, yang pada akhirnya akan menggerakan pertumbuhan ekonomi.      Globalisasi mendorong perubahan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi, hal ini perlu dikenali hingga sejauh mana desentralisasi fiskal mengakibatkan perubahan biaya transaksi dalam perekonomian daerah dan kemampuan masyarakat dalam  pembiayaan pendidikan. Regulasi -regulasi di bidang pendidikan adalah untuk membentuk sistem pendidikan nasional yang ’maju’ dan berkeadilan dengan beranjak  menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih otonom di daerah. Berbeda dengan jaman pemerintahan sebelumnya (Orde Baru) yang menempatkan pemerintah sebagai

Page 6: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

perancang dan aktor pembangunan pendidikan (rowing),  maka dengan dana terbatas, tuntutan demokratisasi serta pasar bebas (globalisasi), pemerintah sekarang lebih menekankan perannya sebagai fasilitator & regulator. 

Rencana pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan tercermin dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Pasal 53 (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Privatisasi pendidikan di Indonesia mengindikasikan semakin melemahnya peran negara dalam melaksanakan sektor pelayanan publik. Privatisasi pendidikan di Indonesia tidak lepas dari adanya tekanan utang serta kebijakan dalam pembayaran utang. Hutang luar negeri Indonesia mencapai 35-40 persen dari anggaran APBN setiap tahunnya. Pada akhirnya, membuat dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Sebagai perbandingan, Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89 persen pada tahun 1992, sedangkan Indonesia hanya menyediakan 62,8 persen. Bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Sri Lanka (UNESCO dan Bank Dunia dalam “The World Bank,” 2004).Pada saat era reformasi bergulir, alokasi anggaran pendidikan nasional menjadi 20 persen dari total APBN dan ini diatur UUD 1945 hasil amandemen. Namun dalam rancangan APBN 2006 yang disahkan menjadi UU APBN 2006 pada akhir Oktober 2005, pendidikan nasional hanya mendapatkan alokasi anggaran sebesar 10 persen atau Rp 40,1 triliun, dimana Rp 34,5 triliun untuk Depdiknas dan sisanya Rp 5,6 triliun untuk pendidikan di Departemen Agama.

Manifestasi kebijakannya terlihat pada upaya untuk menjamin (pemerataan) pelayanan pendidikan dasar serta pengembangan pendidikan lanjutannya dan untuk memberikan ruang (otonomi) bagi sekolah, Daerah dan perguruan tinggi bersama masyarakatnya, untuk berkompetisi menyelenggarakan pelayanan plus (di atas standar) dan spesifik sesuai dengan kebutuhan masyarakat/pasar. Secara umum, rasionalitasnya adalah bahwa pertama, di tengah dana yang terbatas (krisis), sasaran harus lebih difokuskan, terutama untuk kelompok yang paling rentan, kedua,   tuntutan demokratisasi mendorong pemerintah memberikan hak-hak pendidikan masyarakat dan memberikan ruang partisipasi (politik pendidikan dan dana) masyarakat, dan ketiga,  pasar bebas yang mengecilkan relevansi perencanaan terpusat mendorong pemerintah untuk memberikan kesempatan Daerah dan sekolah untuk menanggapi ’pasarnya’ yang khas.    Dengan kebijakan tersebut terdapat prioritas program terhadap isu ekonomi-demografis utama yang hendak dibidik adalah: penanganan trade-off antara peningkatan mutu dan pemerataan, terjaminnya mutu (standardized) pelayanan pendidikan (nasional) kepada masyarakat sampai ke daerah-daerah, penggalian dana/inisiatif masyarakat (untuk menambah anggaran dan peningkatan mutu), otonomi (sekolah/PT bersama-sama Daerah) agar lebih kreatif dalam mendekati tuntutan kebutuhan spesifik masyarakat dan dunia usaha (relevansi, flexible). 

Page 7: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

    Program-programnya antara lain penekanan pada Wajar 9 tahun, otonomi sekolah-perguruan tinggi (menjadikan lembaga pendidikan sebagai badan hukum), peranserta  (pembiayaan dan inisiatif) oleh masyarakat melalui DP dan KS dan standardisasi dan akredetisasi (melalui SPM, BSNP, BAN).  Khususnya meningkatkan relevansi dengan tuntutan pengembangan ekonomi adalah dengan penekanan Broad based education untuk menjamin flesibilitas tenaga kerja dan life skill yang berdasarkan inisiatif lembaga pendidikan untuk mengembangkan program sendiri yang relevan dengan (prospek) kebutuhan tenaga kerja spesifik daerah.      Dengan wajar 9 tahun yang ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah, dan  bantuan khusus yang diberikan kepada lembaga pendidikan/daerah yang tertinggal maka  diharapkan terjadi pemerataan akses pelayanan, sesuai kemampuan pemerintah sekarang adalah pendidikan dasar, bagi semua kelompok masyarakat. Sedangkan  dengan standardisasi dan akreditasi diharapkan diperoleh, di samping kualitas pelayanan pendidikan yang kurang lebih sama sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikannya, dan memberikan jaminan peluang mobilitas horisontal ke sekolah/daerah lain (integrasi nasional), juga adanya pembedaan peringkat sekolah-sekolah diharapkan memberikan peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (untuk peningkatan daya saing nasional).     Keperpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang menyangkut anggaran pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan. Perioritas utama sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya  belanja pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru.  Hal ini diperlihatkan pada tabel di bawah.

Alokasi Anggaran  Sektor Pendidikan Sebelum dan Sesudah OtonomiKabupaten Jember(jutaan rupiah_)

1999/2000 Porsi 2001 Porsi

Pendidikan APBD Pendidikan APBD

Belanja Rutin 98,607 177,732 55,5% 161,765 375,315 43,1%

Belanja Pembangunan 3,370 41,877 8,0% 5,811 105,937 5,5%

Sumber : APBD Kebupaten Jember

Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan sebelum dan sesudah OtonomiKota Surakarta (jutaan rupiah_)

1999/2000 Porsi 2001 Porsi

Pendidikan APBD Pendidikan APBD

2.076 91.374 2,2% 1.393 76.159 1,8%

       Sumber : APBD Kota Surakarta TA 1999/2000 dan TA 2001

Dukungan pendanaan APBN (utamanya DAU-Bos, DAK,-block-grant-imbal-swadaya, dan  prioritas APBD (di daerah) serta terakhir, BTL untuk menahan laju penurunan daya

Page 8: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

beli masyarakat. Namun demikian, anggaran pendidikan sekitar 4 persen (13.8 triliun ) masih jauh dari tuntutan Konstitusi (20 %, atau 80 triliun dari) APBN (Kompas, 29-08-2004).    Dengan design kebijakan terkait dengan dunia pendidikan di atas, muncul beberapa kekhawatiran.

Kekhawatiran yang menonjol menyangkut pemerataanPaket kebijakan yang menkombinasikan pemberian dana  BOS dengan tidak lagi membeda-bedakan antara sekolah/madrasah negri dan swasta untuk Wajar 9 tahun, dan peluncuran dana DAK, block-grant, serta dana ”imbal-swadaya” guna memberikan kepada sekolah/madrasah/daerah yang ’lemah’ adalah kebijakan yang sangat maju dibanding sebelumnya. Namun demikian, manfaat paket kebijakan bagi mereka yang tidak mampu bersekolah, pada umumnya kelompok miskin masih belum jelas. Padahal jumlah mereka yanmg tidak bersekolah, jika tingkat APK, dan drop-out terutama di SD dan SMK tidak diredam, akan meningkat (Kompas, 13-05-2005). Peningkatan itu sejalan dengan proporsi penduduk usia 15 – 64 tahun, terutama pada kohort yang lebih muda yang juga akan meningkat pesat. Hal yang menghawatirkan adalah jikaa kelompok yang tidak bersekolah kurang mendapat pelatihan, maka para pencari kerja pemula ini akan memicu peningkatan juvenile deliquency.     Paket kebijakan yang mengkombinasikan beberapa program di atas juga kurang mampu memberdayakan lembaga pendidikan yang lemah. Hal ini karena, di luar dana BOS pada umumnya diraih melalui pengajuan proposal. Sekolah/madrasah yang lemah,  apalagi kebanyakan pesantren (dipadati kelompok miskin, terutama berasal dari  perdesaan /pertanian) pada umumnya lemah pula informasi, proposal,  dana pendamping,  maupun lobi politiknya, sehingga dana-dana di luar BOS itu cenderung tidak dimenangkan oleh sekolah/madrasah/pesantren yang lemah tersebut. Sekolah/madrasah yang lemah biasanya juga tidak mampu melaksanakan subsidi silang. Lebih dari itu, kebijakan daerah, di samping pada umumnya rendah  anggaran pembangunannya untuk pendidikan, juga cenderung mengalokasikan anggaran ke daerah ”aman”, yaitu ke sekolah - sekolah negeri (biasanya siswa berasal dari keluarga yang relatif mapan) dan menghindari tuduhan ”partisan” (membantu sekolah madrasah swasta yang biasanya dikelola lembaga keagamaan tertentu, dan biasanya lebih memberikan kesempatan kepada kelompok miskin. 

Padahal sejak jaman reformasi, dukungan partisipasi masyarakat terhadap sekolah/madrasah swasta melemah. Pada jaman orde baru, partisipasi terhadap lembaga pendidikan swasta itu tinggi, antara lain karena organisasi untuk mewadahi partisipasi (politik)  warga sangat terbatas.  Pada masa asekarang ketika partisipasi publik lebih terbuka, sekolah/madrasah swasta harus bersaing memperebutan partisipasi warga dengan pesaing beratnya yaitu sekolah/madrasah negeri yang dilengkapi komite sekolah yang ”disuruh” pemerintah merebut ”dana/daya” milik masyarakat.      Kesenjangan di daerah akan lebih lengkap manakala Undang-undang guru & dosen yang disyahkan berdampak pada marginalisasi guru ’di bawah standard sertifikasi’,

Page 9: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

kebanyakan guru swasta. Dengan kata  lain, di tengah kebijakan pemerintah ’memeratakan’, kenyataan di daerah adalah ’persaingan tidak seimbang’ untuk memperebutkan kue pemerataan dan  berdampak kesenjangan. Secara umum kenyataan di atas juga mempertanyakan model yang ideal bagi kemitraan antara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.   Kekhawatiran yang menonjol menyangkut peningkatan mutu  Kekhawatiran menonjol yang berkaitan dengan upya peningkatan mutu antara lain menyangkut lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran (yang masih tradisional, khususnya untuk tujuan  demokratisasi), dan lemahnya sistem evaluasi dan orientasi efisiensi eksternal, khususnya relevansinya dengan kebutuhan demokratisasi masyarakat dan pengembangan dunia usaha. Rencana perbaikan kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan dan akreditasi lembaga pendidikan adalah langkah maju. Namun belum diketahui apakah ketiga rencana ini akan lebih membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang lemah, terutama swasta, di samping apakah akan lebih mendesakkan tolok ukur lingkungan sekolah yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan kesetaraan, toleransi dan terutama solidaritas melalui proses belajar. Pertanyaan ini penting, terutama karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bias kelas ekonomi dan kurang pluralistis.     Demikian pula, kendati otonomi Daerah/sekolah telah  memunculkan inisiatif untuk mengembangkan program pendidikan atau ekstra kurikuler (misalnya life skill),   inisiatif itu nampaknya lebih didorong oleh ketersediaan guru/pelatihnya atau bahkan semata-mata keinginan sekolah /daerah untuk mendapatkan in-put tambahan, daripada didasari oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yang matang (efisiensi eksternal). Di pihak lain, khususnya pada sekolah-sekolah kejuruan dan pendidikan luar sekolah, on-the job training dan standardisasi organisasi profesi serta sertifikasi pelatihannya belumlah tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan keyakinan tentang tingkat kualitas lulusannya bagi calon penggunanya.   Di tengah peningkatan angka pengangguran (600 ribu dalam setahun (April 2004-2005), kedua kebijakan seperti itu meningkatkan resiko terhadap nilai balik investasinya yang mahal. Siapa yang harus bertanggungjawab bila harapan masyarakat yang begitu tinggi terhadap nilai balik investasi (return on investment) tidak terujud kelak.    Dengan membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dengan kendala  (kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas menjadi jelas bahwa penanganan trade-off antara keduanya adalah masalah yang krusial.  Kendati dalam design pemerintah keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan meningkat mutunya), namun secara umum terdapat prognosa bahwa mengingat kemampuan pendanaan untuk pemerataan-peningkatan mutu dan manajement oleh pemerintah  yang masih lemah, maka realitas politik Daerah dan persaingan antar (otonomi) sekolah/madrasah memperebutkan akses politik dan  daya masyarakatnya itulah yang  akan lebih menentukan pemerataan vis a vis peningkatan mutu pendidikan kita.  Dinamika yang sekarang terlihat adalah begitu pemerintah sedikit saja melepas bagian tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, maka oleh (otonomi) sekolah  yang lebih kuat

Page 10: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

bagian  itu direbut dan dijadikan komoditi yang syah bagi yang mampu. Kesenjangan agaknya akan melebar, pendidikan ’bermutu’ akan lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali pemerintah meningkat kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk meredam hal tersebut. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen pada saat sekarang adalah dua ’telor’ yang  mendesak untuk dibuat.     Namun  demikian, pertanyaannya saat ini adalah: pertama, Bila  sekarang negara belum mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society (lembaga sosial kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara yang terkesan  kurang menekankan partnership seperti di atas, masih dapat berperan emansipatorik, atau malahan telah ikut menjadi penjual komoditi pendidikan untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah terreduksi menjadi alat legitimasi pemilah klas sosial (sorting mechanism) dan alat reproduksi tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka. Bila jawabnya ’ya’, maka di tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok yang lemah, diperlukan  peran partisipasi /solidaritas publik (dan civil society) melalui lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.  

Proyek Desentralisasi Pendidikan DepdiknasKonsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatur tentang pendidikan di negara kita.Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000), mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.

Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan Indonesia dibawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut, yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal (financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua, masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi pemerintah baik pusat maupun daerah.

Page 11: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

MBS : rekontruksi pendidikan nasionalReformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi di Indonesia. Istilah Manajemen Berbasis Sekolah (School-based Management) diakhir tahun 1990an di Indonesia. Ide ini menjadi sangat populer dikalangan pembuat kebijakan dan masyarakat dikarenakan adanya desakan agen2 proyek pendidikan dari luar negeri ditambah dengan kondisi masyarakat yang memang sudah muak dengan sistem penyelenggaraan pendidikan Orde Baru yang terbukti tidak berhasil (padahal sama2 hasil desain dari luar).

Mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak. Menurut data ICW (2004) begitu besarnya desakan agen2 proyek dari LN (World Bank, ADB, Inggris, Unesco, Unicef, USAID, Selandia Baru, Belanda, dll) itu kepada pemerintah RI dapat dilihat dari banyaknya tawaran loan (utang) dan grant (hibah) yang nilainya dari ratusan ribu hingga US $ 125 juta. Proyek2 yang dilakukan dibuatlah bermacam2 dari yang namanya Basic Education Project di Jawa Barat, Sulawesi dan NTB, Junior Secondary Education Project di Jawa Timur dan NTT hingga Senior Secondary Education Project, Decentralized Basic Education dan PAKEM dan SBM. Dibiayainya proyek2 desentralisasi pendidikan melalui utang LN ini sayangnya kurang mendapat porsi berita yang layak di media massa. Yang ada justru penyataan Dirjen Depdiknas bahwa pemerintah sendiri akan dilakukannya ujicoba SBM berskala nasional di 1000 sekolah di tanah air (Kompas, 2001). Dipermukaan pemerintah berusaha memunculkan kesan bahwa MBS adalah satu2nya ‘obat mujarab’ (panacea) untuk buruknya sistem pendidikan Indonesia. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia IV (KONASPI) di Jakarta tahun 2000 bahkan dipergunakan sebagai media sosialisasi SBM oleh pemerintah. Hasilnya hampir semua peserta konvensi setuju dan percaya SBM akan membawa hasil peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia (Kompas, 2000). Tidak ada suara yang bersuara sebaliknya.

Diadakannya proyek2 desentralisasi pendidikan besar2an ini sebenarnya sangat tergesa-gesa dan patut disayangkan. Ini dikarenakan ada beberapa kelemahan atau bahkan kesalahan desainnya. Pertama informasi tentang indikator pendidikan Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah sebenarnya tidak akurat dikarenakan keterbatasan kapasitas dan tenaga pengumpulan data yang dimiliki (Boediono dan Adams, 1997). Kedua sebagaimana yang diindikasikan oleh staf menengah Depdiknas tahun 2002, kebijakan2 Depdiknas sering mengandalkan penggunaan data analisis kuantitatif dan statistik yang dibuat sebagai laporan ABS (asal bapak senang). Tak heran lembaga LSM dan tokoh independent seperti ICW, Gapsi (2003) dan Baswir (2004) meragukan kesungguhan pemerintah untuk menggunakan proyek2 tersebut sebagai usaha memperbaiki keadaan

Page 12: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

sistem pendidikan. Banyak yang percaya tindakan menerima tawaran proyek2 ini adalah indikasi ‘ketidakberdayaan’ pemerintah melawan tekanan asing.

Pendanaan Menurut Undang-undang BHP Pasal 40 Lahirnya UU BHP merupakan amanat dari bagian pembukaan (menimbang point C) Sisdiknas berbunyi, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Untuk itu pemerintah perlu melakukan perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai tingkat Dasar guna mencapai tujuan di atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki kredibilitas dan akuntabilitas dimata public. Undang-undung Badan Hukum Pendidikan merupakan usaha pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta untuk menghilangkan diskriminasi antara madrasah swasta dan negeri antara dibawah Diknas dan non Diknas serta untuk mendekatkan madrasah kepada masyarakat dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk ikut mengelola, mengawasi dan memberikan sumbangsih pendanaan dari satuan pendidikan.

Pada awal diberlakukannya BHMN tahun 1999 perkiraan kenaikan biaya kuliah mencapai 300% hingga 400%. Di Universitas Indonesia(UI), uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta s/d Rp.25 juta, sedangkan untuk Program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp.25 Juta s/d Rp.75 Juta. Untuk Institut Tekhnologi Bandung(ITB) dikenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik mencapai Rp. 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Begitu juga Universitas Gajah Mada (UGM), memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB.

Selain itu dimunculkannya UU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan sebagai sebagai badan hukum menimbulkan pengelolaan ganda, yaitu oleh yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Dengan munculnya UU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda tersebut.

Untuk maka satuan pendidikan itu perlu berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

Page 13: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: a. beasiswa; b. bantuan biaya pendidikan; c. kredit mahasiswa; dan/atau d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. (4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan.

Pasal 41 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.

(4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan 19 menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (5) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (6) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.

(7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya. (8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP

Page 14: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (10) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 42 (1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (6) huruf d. (3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) dan investasi tambahan setiap tahunnya tidak melampaui 10% (sepuluh persen) dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang ditanggung badan hukum pendidikan. (5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan, terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4). (6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6). (7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana peserta didik.

Pengalaman UNAIR Dari BHMN Sampai Menerapkan BHPMulai tahun 2002 PTN UNAIR(Perguruan Tinggih Negeri Universitas Airlangga)  memiliki agenda perubahan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang sifatnya semi otonom diselenggarakan oleh pemerintah. Salah satu proses perubahan status setiap PTN di indonesia khususnya UNAIR menjadi kesempatan besar bagi pemerintah melepaskan tanggung jawabnya demi mempercepat bayar hutang ke luar negeri (komentar mahasiswa dalam aliansi studi kasus Unair). Sementara UNAIR mencari dana untuk memenuhi kebutuhan perangkat kampus cara yang mudah dapat dilakukan adalah menaikkan biaya pendidikan mahasiswa dan mencari hubungan pinjaman dengan investasi asing WTO (World Trade Organisation), yang sudah dikasik kesempatan mendapat ruangan khusus lantai 2 rektorat UNAIR untuk mengakomodir semua kebutuhannya lebih cepat.Perubahan status UNAIR BHMN diresmikan pada tanggal 14 september 2006, sesuai dengan KSK yang syah di keluarkan rektorat sudah mendapatkan tanda tangan wakil presiden republik indonesia Jusuf Kalla secara langsung karena presiden dalam keadaan halangan berada  diluar negeri, terang Ketua SAU, Prof. dr. Sam Soeharto, Sp. MK., pada selasa (15/9). Kebijakan yang dilaksanakan pemerintah upaya meliberalisasi pendidikan, pihak unair mensetujui tanpa ada daya tawar yang lebih populis. Hal ini akan lebih jelas permasalahan sistem pendidikan yang diterapkan di indonesia terutama universitas airlangga, seperti yang diungkapkan oleh pengajar jurusan ilmu sosial unair surabaya Novri Susan, S.Sos, yang ingin coba dipakai dalam dunia pendidikan saat ini adalah logika dan metode kapitalistik untuk tumbuh berkembang, pada kamis (8/10).

Menurut Prof. Sam Soeharto, ada tiga hal pokok yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah baru tersebut. Pertama, ada pemisahan aset, dimana aset yang menjadi milik

Page 15: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Unair diserahkannya. Kedua, ada perubahan struktural. Misalnya, jabatan Pembantu Rektor berubah menjadi Wakil Rektor. Dan yang ketiga, menegaskan bahwa struktur yang ada, akan berjalan sesuai dengan masa jabatannya. Implemintasi pernyataan yang di uraikan bahwa dalam proses pengembangan pendidikan tidak sejalan dengan penegasan hukum yang terterah dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 menyebutkan, ”pemerintah Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pemisahan aset yang sifatnya semi otonom dijalankan UNAIR-BHMN berniat melakukan perubahan, ada empat hal regulasi yang dapat dimainkan, yakni perubahan orentasi, organisasi dan pengelolaan, pola rekrutmen, dan kultural, Tukas Prof. Sam Soeharto. Hal ini merupakan salah satu cara yang tepat diterapkan universitas lebih mudah mendapat keuntungan dari mahasiswa dengan menaikkan biaya pendidikan mencapai 80% seluruh fakultas, kecuali fakultas ilmu budaya dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik yang hanya 20%. Perubahan status UNAR BHMN tidak cukup kemungkinan bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomis membiayai pendidikannya setiap semester.

Ledakan perubahan buruk yang mengeksploitatif mahasiswa, seperti ditegaskan oleh Novri Susan, S.Sos dalam pernyataannya; jelas sekali dengan adanya MWA (Majelis Wali Amanat) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam stuktur kebijakan di PT BHMN. MWA adalah salah satu paradoks yang ditawarkan Pemerintah. Pada satu sisi menetapkan kampus telah otonom tetapi pada sisi lain menggunakan MWA untuk tetap mengukuhkan kontrolnya terhadap Perguruan Tinggi. Ini terbukti dengan 35% suara yang dimiliki wakil pemerintah yang duduk dalam MWA. Karena Pemerintah pada prinsipnya ingin tetap melakukan kontrol dan pengawasan terhadap prosedur-prosedur yang telah mereka buat dalam PT BHMN.

Sedangkan pernyataan drs. Abdul Latief Burhan, MS, anggota Tim Implementasi Otonomi (TIO) Unair tentang beberapa persoalan hanya berupa pengakuan demi terlaksananya. Seperti, “Itu keunggulan PP Unair. Aset Unair bisa dikelola sendiri, untuk kepentingan pendidikan ke Departemen Keuangan. Dan yang akan mengaudit, adalah Dewan Audit yang dipilih oleh Majelis Wali Amanat. Ini sudah menyesuaikan dengan UU Perbendaharaan Negara,” Rasionalitas instrumental ini semakin sempurna eksistensinya dengan usaha diciptakannya Quality Assurance /QA (Jaminan Mutu). QA adalah blue print masyarakat universitas yang harus dicapai melalui berbagai prosedur, dari masalah cara meminjam megaphone atau peralatan universitas sampai prosedur mengembalikan pinjaman tersebut. Akan tetapi di dalam QA tidak ditemukan prosedur membiayai pendidikan semurah mungkin atau bahkan gratis! Prosedur di dalam QA adalah prosedur mentaati kekuasaan sehingga proses BHMNisasi berjalan aman dan terkendali.

Selanjutnya modes of production dalam lembaga kapitalis akan berusaha mencari modal sebanyak yang ia mampu untuk kepentingan perluasan usaha dan jangkauan pasar. PT BHMN dalam mengumpulkan modal dilakukan melalui beberapa cara; menaikkan SPP

Page 16: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

mahasiswa setinggi-tingginya, menarik investor sebanyak mungkin, menjual hasil produksinya, dan terakhir mencari dana pinjaman dari lembaga-lembaga ekonomis lainnya. Langkah-langkah ini sangat serupa dengan langkah-langkah suatu perusahan profit untuk mempertahankan eksistensi bisnisnya atau mengembangkan usahanya.Sudah tidak diragukan lagi sumber dana yang terdekat adalah mahasiswa sehingga kenaikkan SPP menjadi lahan paling mudah diakses karena tidak perlu melalui kesepakatan, tender, atau resiko-resiko lainnya. Mahasiswa dianggap sebagai konsumen yang memanfaatkan fasilitas pendidikan PT BHMN, dan bukan sebagai generasi bangsa yang bertanggung jawab terhadap bangsa ini dan harus dibiayai pendidikannya. Akibatnya menimbulkan jarak yang akan memunculkan macetnya dinamika intelektual. Mahasiswa sibuk dengan biaya yang mahal dan pada gilirannya merubah dirinya menjadi sangat pragmatis, tidak berorientasi kelimuan melainkan cepat selesai dan kerja. Bekerja setelah lulus merupakan cita-cita yang normal akan tetapi ketika proses akademik direduksi menjadi alat untuk mencari kerja semata maka universitas tidak akan menghasilkan lulusan yang mempunyai kreativitas dan kemandirian. Mereka hanya akan mengharap mendapatkan pekerjaan dari dunia industrialisasi.

Dampak BHMNisasi terhadap berbagai dimensi kemanusiaan dan sistem pendidikan ternyata mempunyai dampak buruk yang harus diwaspadai. Sebuah sistem besar dan tampak megah, sebenarnya terdapat banyak penyimpangan dan kekejian. Upaya pengawalan terhadap BHMNisasi di beberapa universitas sudah dilakukan oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa dan civitas akademik. Dalam pandangan gerakan mahasiswa BHMN merupakan konsep kapitalis, eksploitatif, anti kerakyatan, dan menjadi budak industrialisme. Pandangan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pelaksana kebijakan, yaitu rektoriat dan pemerintah. Pihak pelaksana Unair yang saat ini tengah memulai langkah, selain berusaha melaksanakan rumusan-rumusan yang telah diciptakan perlu melakukan telaah kritis terhadap sistem BHMN yang akan dilaksanakan. Usaha mengkritisi ini tentu saja tidak bertujuan mengahalang-halangi proses BHMNisasi melainkan upaya mengidentifikasi masalah-masalah besar yang bisa muncul dan berdampak negatif bagi banyak pihak, baik mahasiswa, universitas, dan rakyat secara umum yang ingin mengakses pendidikan.

Pembatalan BHP : mengembalikan beban pendidikan pada NegaraKetua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, Undang-undang Badan Hukum Pendidikan tidak relevan untuk diterapkan saat ini. “Kita telah batalkan UU BHP,” tegas Mahfud ketika berada di Surabaya, Senin (5/4/010). Secara prinsip ada dua hal yang dilanggar oleh undang-undang yaitu : Pertama adalah penyeragaman. Setelah dikaji hanya 20 Universitas yang layak untuk diseragamkan dan hanya tujuh universitas yang sudah siap diseragamkan. Padahal di Indonesia terdapat 6.600 perguruan tinggi. “Yang tidak siap jangan dipaksa, seperti yayasan di pesantren, ya biarkan saja jangan dipaksa menjadi BHP,” ungkap guru besar UII Yogyakarta ini. Prinsip kedua yang dilanggar undang-undang ini menurut Mahfud adalah adanya pengalihan peran dari pemerintah ke masyarakat. “Ini kan pengalihan beban, kasihan masyarakat, karenanya MK membatalkan itu,” pungkasnya.

Page 17: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Fraksi PDI Perjuangan DPR RI menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah langkah tepat agar pelayanan pendidikan dapat diakses seluruh warga negara Indonesia."Dengan dibatalkannya UU BHP maka pendidikan di perguruan tinggi negeri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang hanya dapat diakses oleh masyarakat mampu, bisa kembali diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia," kata anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Tubagus Dedi Gumelar, di Jakarta, Jumat (Kompas.com, 2/4/2010). Dikatakannya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berstatus hukum BHMN yang mengelola anggaran secara otonom memberlakukan biaya pendidikan dengan mahal sehingga hanya masyarakat mampu yang dapat mengaksesnya. Kondisi ini, katanya, tidak sejalan dengan UUD 1945 yang mengamanahkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. "Maksudnya, meskipun anak dari keluarga tidak mampu tapi memiliki kemampuan intelektual dia juga berhak mendapat pendidikan di seluruh perguruan tinggi negara yang ada," katanya. Namun dengan diterapkannya status hukum BHMN kepada empat PTN yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gajahmada (UGM), maka secara tidak langsung pemerintah telah membuat dikotomi perguruan tinggi elite dan perguruan tinggi reguler.

Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Sudijono Sastroatmodjo menilai, pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengakibatkan persiapan sejumlah perguruan tinggi negeri untuk menjadi badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) terhambat. "Pihak kami telah mempersiapkan dokumen sesuai himbauan pemerintah untuk mengubah status Unnes dari badan layanan umum (BLU) menjadi badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) sesuai amanat UU BHP. Namun seiring proses yang berjalan UU BHP justru dibatalkan MK, sehingga akhirnya kami harus menghentikan persiapan tersebut," ungkapnya. Jika UU BHP masih diberlakukan hingga saat ini Unnes menargetkan akan menjadi BHPP pada 2011 mendatang, sebab pada Agustus 2010 perguruan tinggi negeri di Semarang ini akan merencanakan untuk menyampaikan usulan itu pada Kementerian Pendidikan Nasional.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung, Jawa Barat tidak dirugikan dengan pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab universitas justru tidak dibatasi dalam memungut biaya pendidikan dari mahasiswa. Padahal di UU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) hanya diwajibkan memungut uang pendidikan dari mahasiswa maksimal 30 persen dari total kebutuhan operasional. Selain itu, PTN tidak harus menyediakan beasiswa bagi 20 persen mahasiswa. "Jika BHP diberlakukan, sebenarnya akan menguntungkan mahasiswa dan memusingkan universitas. Karena pemerintah hanya menanggung biaya operasional sebesar 50 persen. Kekurangan biaya dicari sendiri oleh PTN," ujar Rektor UPI Sunaryo Kartadinata, Rabu (7/4/010).

Lebih lanjut ia mengungkapkan, pembatalan UU BHP membuat UPI tetap leluasa menyelenggarakan pendidikan. Ia mencontohkan penerimaan mahasiswa lewat jalur khusus masih diberlakukan tahun ini. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari pola subsidi silang antara mahasiswa mampu dan tidak mampu. "Subsidi silang adalah salah satu cara

Page 18: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

memeratakan akses pendidikan bagi masyarakat di seluruh lapisan. Selama belum ada peraturan baru, cara ini akan tetap diberlakukan," katanya. Meski demikian, UPI tetap akan menunggu kebijakan baru Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) pascakeputusan MK. Dalam waktu dekat para rektor PTN dan Kemendiknas akan bertemu lagi untuk membahas dampak keputusan MK terutama mengenai masa depan status hukum PTN.

Fraksi PDI Perjuangan(Kompas.com, Jumat 2 April 2010) juga menilai, dalam UUD 1945 mengamanahkan pemerintah bertanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. "Dengan diberlakukannya empat PTN BHMN maka tidak semua masyarakat dapat mengakses empat PTN tersebut dan pemerintah terkesan melepaskan tanggung jawab dengan membebankan seluruh biaya pendidikan kepada mahasiswa," katanya. Karena itu, Fraksi PDI Perjuangan mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah pembenahan terhadap status hukum empat perguruan tinggi negeri (PTN) menyusul pembatalan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi. Agar persoalan status hukum empat BHMN ini lebih jelas, katanya, Fraksi PDI Perjuangan meminta pimpinan DPR RI segera melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh pemahaman yang benar atas putusan pembatalan UU BHP serta implikasinya.

Tiga perguruan tingi negeri (PTN) di Malang tidak terpengaruh dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Mereka tetap akan konsisten membikin dan menjalankan unit usaha yang dimiliki, dengan alasan karena sudah menyandang status Badan Layanan Umum (BLU). Di antara tiga PTN yang mengaku tidak terpengaruh dengan keputusan MK tersebut adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang, Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Negeri Malang. Ketiga PTN ini mengaku sudah menjadi BLU.  Sehingga, UU BHP dibatalkan atau tidak, dianggap tidak ada pengaruhnya terhadap unit-unit usaha yang sudah dirintis. Hal itu diakui Rektor UIN Maliki Malang, Prof Dr Imam Suprayogo. Menurut dia, UIN  sudah berstatus BLU. ‘’Itu  berarti sudah ada kelongggaran mengembangkan unit-unit usaha untuk membantu operasional pengelolaan pendidikan yang kami kelola agar berkualitas," kata dia, Kamis (31/4/010).

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU BHP telah menyerahkan persoalan pendidikan kepada mekanisme badan usaha, sebuah konsep yang justru menciptakan ketimpangan dalam pembiayaan pendidikan. Kementrian Pendidikan memang bisa saja berkilah bahwa dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak akan cukup untuk mendanai seluruh PTN karena sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru dan dana operasional pendidikan berupa dana BOS. Tetapi hal itu hendaknya tidak mementahkan keputusan MK. Keputusan MK tersebut kembali menjadi sebuah keprihatinan kita terhadap persoalan kualitas produk UU yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembatalan sebuah UU yang penyusunannya telah menghabiskan biaya begitu besar, plus kontroversi yang terjadi akibat persoalan tersebut, memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR telah bekerja secara serampangan dalam menghasilkan sebuah UU yang justru bertentangan dengan konstitusi.

Page 19: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Konsep pendidikan kita memang banyak bergeser kini. Satu kata saja untuk biaya pendidikan: mahal! Mahalnya biaya pendidikan kalau itu terjadi di PTS barangkali bisa dimengerti karena semua komponen pendanaan dikelola secara mandiri oleh PTS yang bersangkutan. Namun ketika kemudian PTN diberikan kewenangan mengelola kelembagaan dan operasional pendidikannya secara penuh melalui pembentukan PTN berbentuk badan hukum, kerancuan kemudian terjadi. Pada praktiknya di lapangan, hampir semua pendanaan operasional diserahkan kepada orangtua mahasiswa. Akibatnya, PTN berbentuk badan hukum tidak jauh berbeda dengan PTS. Maka wajar saja kemudian masyarakat mengeluhkan model pendanaan pendidikan versi PTN berbadan hukum yang kini berjumlah 7 PTN termasuk salah satu diantaranya Universitas Sumatera Utara.Bagaimanapun, di dalam konstitusi kita, adalah kewajiban negara memberikan pendidikan yang sama dan merata kepada semua warga negara tanpa membeda-bedakan. Hal ini tidak mungkin bisa dipenuhi dengan cara melakukan subsidi silang sekalipun, atau mekanisme beasiswa yang jumlahnya sangat terbatas. Karena itu memang tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghindari diri dari tanggung-jawab memberikan pendanaan yang lebih besar kepada PTN.

Pengkajian Keputusan Pembatalan: BHP mencegah komersialisasiDilain pihak, Kementerian Pendidikan Nasional akan meninjau ulang Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang dibuat dengan mengacu pada UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dibatalkan pada pada Rabu (31/3/2010) oleh Mahkamah Konstitusi. "Dalam satu dua hari ini kita akan lihat konsekuensi pembatalan undang-undang BHP," ujar Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Jakarta, Rabu (Kompas.com, 31/3/2010) malam. Nuh menambahkan, semua aturan yang ditetapkan, baik berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri, yang konsiderasinya menggunakan undang-undang BHP. Dia mencontohkan, peraturan perundangan yang dibuat dengan konsiderasi undang-undang BHP antara lain peraturan pemerintah tentang universitas pertahanan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan pendidikan.

Mendiknas juga mengatakan, pemerintah menghargai dan menghormati keputusan MK yang mengabulkan permohonan sebagian masyarakat untuk membatalkan undang-undang BHP dan beberapa pasal dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. "Kami menghargai dan menghormati keputusan lembaga negara seperti MA, MK dan KPK sesuai dengan portofolionya. Tidak ada istilah pemerintah menolak atau melawan keputusan lembaga negara itu," katanya.Selain itu, katanya, Poksi X Fraksi PDI Perjuangan juga mengusulkan kepada pimpinan Komisi X DPR RI untuk segera mengundang Menteri Pendidikan Nasional guna memberikan penjelasan langkah yang dilakukan pemerintah setelah dibatalkannya UU BHP.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP pada Rabu (30/3), karena dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945 dan memberikan dampak negatif lainnya.Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Prof Sudijono Sastroatmodjo menilai, "UU BHP sebenarnya justru mencegah terjadinya komersialisasi pendidikan, karena

Page 20: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

penghimpunan dana dari masyarakat oleh PTN dibatasi. PTN hanya diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat sebesar 30%, 50% pemerintah, dan sisanya PTN boleh mencari sendiri tapi tidak boleh menarik dari masyarakat, karena jika sampai ketahuan memungut biaya melampaui ketentuan akan dikenakan sanksi administrasi," terangnya. Oleh karena itu, kata dia, pembatalan UU BHP dikhawatirkan justru akan menimbulkan upaya komersialisasi pendidikan, mengingat tidak adanya pembatasan penghimpunan pendanaan dari PTN kepada masyarakat. "Namun, Unnes tetap taat asas sehingga akan menaati apapun yang telah diputuskan sesuai peraturan perundang-undangan, apalagi pembatalan UU BHP itu dilakukan oleh lembaga yang berwenang," kata Sudijono.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Arief Hidayat mengatakan, bahwa anggapan UU BHP yang berlawanan dengan UUD 1945 tersebut dimaknai berbeda oleh MK. Padahal tidak seluruh isi dari UU BHP itu berdampak buruk terhadap penyelenggaraan pendidikan. "MK menilai bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945, padahal yang berlawanan dengan UUD 1945 adalah Pasal 53 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencetus penyusunan UU BHP tersebut. Sehingga tidak seluruhnya isi UU BHP merugikan penyelenggara pendidikan," terangnya.

Dekan Fakultas Ekonomi USU, Jhon Tafbu Ritonga, menyesalkan perihal pembatalan UU BPH tersebut. "Saya menyesalkan hal itu, dan saya jadi orang heran saja. Sebab, yang buat UU itu kan sudah melibatkan kalangan pendidikan dalam masa bertahun-tahun dan pembuatan UU itu untuk memenuhi UU Sisdiknas tahun 2003. Inilah bukti sulitnya membenahi pendidikan nasional kita," ujarnya. Jhon Tafbu mengatakan, semua orang bilang Sisdiknas kita gagal secara mutu dan jumlah sehingga perlu perubahan yang holistik dan terukur, maka BHP dianggap jalan keluar. "Setelah ada UU baru yang memberi tanggungjawab penuh bagi penyelenggara pendidikan, sudah dibatalkan. Mana bisa kita buat perubahan. Tanpa perubahan maka hasil yang ada tidak bisa diubah, apalagi menjadi lebih baik," tuturnya.

Menurut Jhon Tafbu, pembatalan itu disebabkan paradigma berpikir penuntut dan hakim MK yang sama-sama pro status quo. "Jika kita pro perubahan maka jalan satu-satunya sekarang ialah dengan meneruskan yang sudah jadi Badan Hukum Milik Negara. Misalnya USU, tak perlu lagi berubah ke BHPP," katanya. Sehingga lanjutnya, kepada Rektor USU yang baru tugasnya menjadi lebih lancar. USU sudah bisa jalan terus tanpa harus transformasi ke BHPP sebagaimana diminta Majelis Wali Amanat dalam pelantikan beberapa waktu lalu. "Saya yakin USU dan PT BHMN lainnya bisa dievaluasi nanti setelah lima tahun, ini pilot projek, kalau nanti hasilnya positif maka BHMN menajdi pola umum perguruan tinggi, bagi yang mau. Kalau terbukti tidak lebih bagus, barulah itu bisa dibatalkan," pungkasnya.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof Dr Sri Darma menilai, pembatalan UU Nomor 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi hanya akan menimbulkan masalah baru. "Itu hanya akan menimbulkan masalah baru bagi perguruan tinggi dan satuan pendidikan yang selama ini belum menerapkan tata kelola keuangan dengan baik," katanya di Denpasar, Jumat. Ia mengakui

Page 21: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

perguruan tinggi yang telah menerapkan tata kelola keuangan dengan baik, memang tidak menghadapi masalah menghadapi pembatalan BHP itu. Dia menduga pembatalan BHP didasari oleh banyaknya perguruan tinggi yang menyalah artikan persepsi tata kelola keuangan, dengan memungut dana besar dari mahasiswa dan  masyarakat dengan alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Padahal untuk meningkatkan mutu pendidikan, perguruan tinggi bisa mencari sumber-sumber dana lain, bukan memungut begitu saja dari masyarakat.

Rektor UIN Maliki Malang menjelaskan bahwa dengan adanya unit usaha itu, PTN bisa mendapatkan penghasilan dari sumber non-pemerintah. Namun, terang dia, bila UU BHP diberlakukan, diakui dia, justru pemerintah yang  terbebani. Alasannya pemerintah wajib menanggung 20 persen mahasiswa yang kurang mampu. Kendati demikian, kata dia, pembatalan UU BHP ini bukan berarti UIN tidak mengurus mahasiswa miskin. Mereka tetap diberi hak melanjutkan proses pendidikan melalui banyak cara. Yang penting, tandas dia, selama ada semangat khidmat demi pendidikan, UIN akan berupaya untuk mencarikan dana. ‘’Banyak pintu untuk menggali dana. Di antaranya melalui subsidi silang atau unit-unit usaha yang kami bikin," kata  Imam. Karena itu, UIN Maliki Malang ini sudah menjajaki unit usaha pengolahan batu bara di Kalimantan. Selain itu, pengelolaan maskapai penerbangan Seulawah Airways yang beroperasi di negara Timur Tengah.

Begitu juga dengan Universitas Brawijaya Malang. PTN ini sudah merancang usaha berupa pom bensin, rumah sakit, maupun hotel. Sedangkan Universitas Negeri Malang  tak mau ketinggalan dengan memproduksi air mineral Citrairum, rencana pendirian Hotel Tumapel, dan bergerak pada usaha pom bensin. Menurut rektor Universitas Negeri Malang, Prof Dr Soeparno memang  mengaku sedikit lega dengan pembatalan itu. Alasannya, jika BHP diberlakukan, banyak pembatasan yang merepotkan manajemen PTN. Padahal, kata dia, sudah membuat rancangan usaha penggalian dana. Namun, lanjut dia, pembatalan BHP itu tidak ada masalah. Sebab, PTN yang dipimpinnya sudah berstatus BLU. Karena itu, dia kini mengaku fokus pada peningkatan mutu terlebih dahulu. Rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Yogi Sugito mengaku kaget dengan keputusan MK yang membatalkan UU BHP itu. Alasannya, PTN yang dikelolanya sudah siap. ‘’Selain itu, UU BHP ini sebenarnya tidak akan merugikan siapa pun. Kami sudah siap menuju BHP itu. Ya, tidak ada masalah soal itu sebenarnya. Kami memprediksi hanya pelaksanaannya  saja yang tertunda. Jika semua sudah siap, bisa saja diberlakukan kapan saja,’’ pungkasnya.

Sementara itu, Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi justru menyambut baik pembatalan UU BHP oleh MK, mengingat PGRI merupakan salah satu pihak yang keberatan terhadap adanya UU BHP. Menurut dia, UU BHP sebenarnya memiliki poin positif yang menguntungkan para peserta didik, terutama masyarakat miskin, sebab UU BHP membatasi besar pungutan yang boleh ditarik kepada peserta didik. Namun, kata dia, UU BHP juga memiliki poin negatif, karena sisa pendanaan biaya operasional pendidikan itu ditanggung oleh siapa, apakah pemerintah sudah menyiapkan dana cukup untuk menutupi kekurangan itu.

Page 22: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

"Selain itu, UU BHP juga dipandang merugikan kalangan perguruan tinggi swasta, terutama PTS yang dimiliki oleh perseorangan. UU BHP mengharuskan adanya pihak eksternal yang mendampingi," katanya. Dengan adanya pihak eksternal, kata Muhdi, otoritas pemilik perguruan tinggi tentu berkurang, belum lagi permasalahan lain yang ditimbulkan dengan diharuskannya perubahan status badan hukum sesuai BHP. "Pembatasan penghimpunan dana dari masyarakat seperti diamanatkan UU BHP tentunya memberatkan PTS, mengingat selama ini PTS mengandalkan pendanaan dari masyarakat. Namun, setiap perubahan pasti ada risikonya," kata Muhdi.

Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar Prof Dr Sri Darma menyarankan pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur tata kelola perguruan tinggi dan satuan pendidikan yang baik sehingga pengelolaan perguruan tinggi dilakukan transparan guna meningkatnya mutu pendidikan. "Pengelolaan lembaga pendidikan tinggi dan satuan pendidikan diserahkan kepada masyarakat untuk menilainya," ujar Sri Darma. Undiknas, klaim Sri Darma, adalah salah satu lembaga pendidikan tinggi di Bali yang sudah menerapkan tata kelola dengan baik, sehingga tidak memasalahkan  pembatalan UU BHP itu. Dia menjelaskan, dalam tata kelola itu, Udiknas sudah mengatur dengan baik keuanganya, yaitu 70 persen pemasukan keuangan dikelola oleh perguruan tinggi dan 30 persen oleh yayasan untuk pengembangan.

Rector Universitas Negeri Medan, Syawal Gultom, kepada Waspada mengakui harus mematuhi apa yang diputuskan MK tentang pembatalan UU BHP tersebut, namun tidak harus menghilangkan indikator-indikator dalam menciptakan lembaga pendidikan atau perguruan tinggi yang berkualitas. Syawal Gultom menyebutkan, rohnya BHP sebenarnya terdapat efisiensi, akuntabilitas, transparansi, responsibilitas. Jadi mesti UU BHP batal, lanjutnya, tapi indikator-indikator yang dipasang pada saat UU tersebut tetap saja bisa digunakan, sebab misalnya, ada lima hal yang harus ditata sesuai dengan UU BHP, pertama, tata kelola struktur organisasi sehingga lebih efisien; kedua, manajemen informasi sehingga mudah diakses semua orang dan bisa menerapkan integritas; ketiga, manajemen sistem atau database manajemen sistem; keempat, manajemen keuangan, manajemen aset; dan kelima, manajemen SDM. "Kalau manajemen informasi, keuangan, aset, SDM-nya bagus dan dikelola dengan tata kelola yang bagus, maka akan bagus pula perguruan tinggi. Tetapi kita juga harus mematuhi putusan MK tersebut," ujarnya.

Azas Peningkatan Mutu BerkelanjutanRektor Universitas Gadjah Mada, Prof Sudjarwadi, menegaskan UGM bersama sejumlah universitas negeri lainnya dan Kementerian Pendidikan Nasional siap merumuskan berbagai penyesuaian pasca pembatalan UU No 9/2009 tentang BHP oleh MK. "Pasca pembatalan UU BHP (oleh MK), maka UGM bersama tujuh perguruan tinggi BHMN, Dikti, dan Kemdiknas akan mencari penyesuaian yang optimal untuk memenuhi azas peningkatan mutu berkelanjutan," ujarnya pada Sabtu (3/4).

Sudjarwadi mengatakan Keputusan Mahkamah Konstitusi adalah acuan formal yang berlaku sehingga kalangan perguruan tinggi harus menaatinya. Sebelumnya MK dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Rabu (31/3), menyatakan bahwa UU ini inkonstitusional karena

Page 23: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, UU BHP juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

MK berpendapat, ketentuan-ketentuan yang diatur UU BHP pada umumnya merupakan penyeragaman bentuk tata kelola sehingga mengandung banyak kontroversi. Terbukti dengan banyaknya perkara permohonan pengujian UU BHP yang diajukan. Penyeragaman itu terjadi karena UU BHP membuat penyelenggara pendidikan harus berbentuk BHP. Ini berarti yayasan, perkumpulan, dan badan hukum sejenis harus menyesuaikan diri dengan tata kelola melalui perubahan akta dalam waktu enam tahun.

Menurut MK, ketentuan penyelenggaraan pendidikan dalam satu bentuk sebagaimana ditentukan dalam UU BHP dapat diartikan melarang sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat di luar BHP, sehingga sama saja dengan melarang kegiatan berserikat dan berkumpul yang dijamin UUD 1945. Uji materi UU BHP ini antara lain diajukan sejumlah yayasan yang bergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) dan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI).

Dewan Pendidikan Kota Medan Dr Mitsuhito Solin mengaku menyambut baik putusan MK tersebut karena memberikan kesempatan kepada calon mahasiswa kurang mampu untuk meraih ilmu di PT. Menurut Solin, penerapan UU BHP ini dinilainya masih belum dipahami banyak pihak. Selain itu UU tersebut sejatinya diberlakukan bagi negara yang sudah maju dan kaya pemerintahan maupun institusinya. Jika UU ini diberlakukan, kata Solin akan memunculkan permasalahan, terutama untuk perguruan tinggi di daerah. Sebab, banyak perguruan tinggi di daerah akan kesulitan mendapatkan sumber dana dengan sistim yang berlaku dalam UU ini, yakni diatur antara lain, setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jadi tidak heran mahasiswa menuntut dibatalkannya UU tersebut karena dinilai mengkomersilkan pendidikan.

”Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu. Ini tentu bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara,” sebut Solin. Pemerintahan mahasiswa dari Fakultas Hukum USU Al Amin mengaku senang dengan putusan MK itu, sebab memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk bisa mendapatkan ilmu di perguruan tinggi negeri khususnya dan tidak harus turut dibebankan membayar biaya operasional pendidikan. ”Kami, para mahasiswa berharap agar pihak pimpinan di universitas ini menerima keputusan MK dan tidak mencari-cari lagi adanya penambahan biaya lain untuk proses pendidikan, sebab pemerintah   masih memberikan subsidinya kepada PTN maupun PTS,” ujar Amin.  

MK dalam keputusannya menyatakan, Undang-undang No 9 Tahun 2009 mengenai BHP penerapan  pada UU tersebut tidak lagi berlaku. Sebab antara lain menyebutkan, dalam undang-undang ini menjadikan warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk membiayai pendidikan dengan membebankan setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan peserta didik

Page 24: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

terutama yang berasal dari kalangan kurang mampu. Ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara.

Rektor UGM mengatakan bahwa UGM yang dipimpinnya selalu membawa nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai UGM itu adalah Pancasila dan Keilmuan. "Dari sejak didirikan dan masa-masa selanjutnya, UGM selalu melakukan penyesuaian tatakelola dengan peraturan yang berlaku, agar nilai-nilai UGM dapat diaktualisasikan seoptimal mungkin baiknya dalam berbagai keterbatasan yang ada," ujar Prof Sudjarwadi. Selain itu, ia menambahkan, UGM juga selalu berorientasi pada heterogenitas perguruan tinggi Indonesia yang semuanya dimaksudkan agar dapat bersinergi untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Pasca Pembatalan BHPSetelah MK dalam salah satu amar putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 menyatakan bahwa UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan karenanya UU a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi, perjuangan mematikan jiwa liberalisasi pendidikan di Indonesia belum selesai. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengisi kekosongan hukumnya. Terdapat 7 (tujuh) PTN yang sebelum berstatus BHP adalah sebagai BHMN. Salah satu contoh PTN yang berada di persimpangan status adalah UGM dengan PP Nomor 153 Tahun 2000 tentang Penetapan UGM sebagai BHMN. Penolakan kuat atas penggantian status UGM dari PTN menjadi BHMN dikarenakan dampaknya di kemudian hari akan melunturkan, bahkan meniadakan roh UGM sebagai Kampus Kerakyatan.

Kontroversi UU BHP telah berlangsung lama. Mahasiswa dan pemangku kepentingan pendidikan yang tidak setuju terhadap UU BHP juga telah melakukan penolakannya sejak sebelum diundangkan. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh merancang Peraturan Pemerintah (RPP) yang baru pasca-pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010. "Prinsipnya, putusan MK itu mengikat, karena itu kami wajib menghormati, tapi akan tetap berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, apakah dengan UU BHP atau yang lain," katanya di Surabaya, Sabtu.

Dengan segala persepsinya, banyak kekhawatiran yang muncul di kalangan internal pendidikan maupun kalayak umum, pemahaman yang menyeluruh terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) juga belum seluruhnya terjadi. Kekhawatiran terhadap mahalnya komersialisasi pendidikan, peran yayasan sebagai penyelenggara pendidikan, tanggung jawab pemerintah serta isu krusial lainnya masih selalu diperdebatkan. Terkait dengan PP BHMN, terdapat 5 ketentuan Mengingat yang dicantumkan, yaitu pasal 5 ayat (2) dan pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, KUH Perdata (Staatsblad 1847 : 23), UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (digantikan dengan UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 123, PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan PTN sebagai Badan Hukum. Dengan batalnya pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sekaligus mematikan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, lalu ditambah

Page 25: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

dengan lahirnya PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Maka jelaslah bahwa PP terkait penetapan PTN sebagai BHMN, misalnya UGM dengan PP 153/ 2000, otomatis tidak berlaku lagi dan yang berlaku saat ini adalah PP 17/ 2010.

Hal itu pula yang dijadikan dasar gugatan dan menjadi amar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya membatalkan seluruh UU BHP yang telah diundangkan, tetapi belum sempat diberlakukan secara seksama. Pemerintah memang memiliki tugas melaksanakan UU, termasuk UU Sisdiknas Tahun 2003 dan UU BHP Tahun 2009. Terkait dengan PP 17/ 2010, seperti dilansir dari Antaranews.com, bahwa Mendiknas sendiri menyatakan PP tersebut merupakan PP terkait UU BHP yang ‘hidup’. Padahal, UU BHP sendiri sudah mati tertanggal 31 Maret 2010 lalu. Walaupun konsideran PP a quo adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bukan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Jangan sampai PP baru yang akan dibentuk Mendiknas adalah PP yang masih terselip jiwa liberalisasi pendidikan didalamnya. Walaupun disampaikan secara jelas oleh Wakil Mendiknas dalam acara Jendela Konstitusi, bahwa dalam PP yang baru nanti akan ada klausa tidak akan ada komersialisasi pendidikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh mahasiswa adalah menekan Pemerintah untuk mempercepat pembentukan PP baru yang mengatur tentang kekosongan status hukum PTN pasca pembatalan UU BHP oleh MK. Tetapi tentunya, PP yang baru harus bersih dari liberalisasi pendidikan.

"Kalau pun ada pihak yang melakukan judicial review terhadap UU itu, maka kami akan menghargai keputusan yang ditetapkan lembaga negara seperti MK, MA, dan sejenisnya. Jadi, masalahnya bukan kalah atau menang, kawan atau lawan," katanya. Menurut dia, pemerintah akan selalu melaksanakan UU tanpa memperhatikan siapapun yang membuatnya, karena itu pihaknya akan tetap mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski tanpa UU BHP. "Kami sudah melapor kepada Presiden dan Wapres tentang sikap terkait pembatalan UU BHP oleh MK. Insya-Allah, Senin (12/4/010) akan ada rapat kabinet terbatas untuk menyikapi hal itu dan kami akan mengusulkan PP yang baru," katanya. Mantan Menkominfo itu mengatakan UU Sisdiknas Tahun 1998 telah melahirkan PP 60/1999 dan PP 61/1999. PP 60/1999 itulah yang menjadi "cantolan" (sumber hukum) PTN dalam mengatur dirinya, sedangkan PP 61/1999 yang melahirkan PT BHMN.

"UU Sisdiknas akhirnya diubah menjadi UU 20/2003, kemudian UU Sisdiknas 20/2003 itu melahirkan PP 17/2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan. PP 17/2010 itu sendiri menganulir PP 60/1999 dan PP 61/1999, tapi PP 17/2010 tidak menjadi `cantolan` (sumber hukum) dari UU BHP, sehingga PP 17/2010 adalah PP terkait UU BHP yang `hidup`," katanya. Namun, katanya, Kemdiknas tidak akan menggunakan PP 17/2010 sebagai `cantolan` yang masih hidup, melainkan pihaknya akan menempuh langkah yang paling aman dengan merancang PP baru yang tetap mengarah kepada komitmen kepada kualitas pendidikan. "Bahkan, kami akan mengambil hikmah dari pembatalan MK itu dengan melakukan penataan ulang untuk sistem pendidikan nasional. Kalau selama ini sistem yang ada lebih menonjol pada otonomi, maka PP yang baru akan

Page 26: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

melengkapi dengan pilar lain," katanya.

Ketakutan masyarakat muncul karena draf awal UU BHP telah memunculkan ketentuan tentang adanya modal asing yang bisa masuk dalam bisnis pendidikan meski sebenarnya sudah tidak muncul lagi dalam UU yang diundangkan. Citra masyarakat yang telah melekat erat bahwa biaya pendidikan semakin tinggi terutama di PT BHMN karena boleh membuat skema khusus pada ujian seleksi masuk calon mahasiswa dengan keharusan membayar biaya tinggi, telah dijadikan bahan penolakan. Meskipun skema khusus ini hanya sekitar 10 persen dari jumlah mahasiswa baru, tetapi karena pemahaman yang belum menyeluruh sepenuhnya dan peran media yang kuat, isu komersialisasi pendidikan menjadi momok yang masih tetap ditakuti. Padahal, biaya pendidikan di pendidikan anak usia dini (PAUD) semacam play group, TK terpadu dan sebagainya yang kadang bisa lebih besar dibanding biaya pendidikan di perguruan tinggi kadang malah kurang menjadi perhatian. Biaya pendidikan di PTN pun juga ikut naik.

Mantan rektor ITS Surabaya itu menyebutkan PP yang baru nantinya memiliki empat pilar yakni otonomi, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. "Itu terkait dengan akan adanya pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP)," katanya. Misalnya, aturan tentang kursi di sebuah perguruan tinggi untuk calon mahasiswa yang miskin sebanyak minimal 20 persen sebagaimana diatur dalam UU BHP akan tetap dipertahankan dalam PP yang baru. "Tapi, persyaratan minimal 20 persen itu akan dilengkapi dengan sistem pelaporan secara online yang akuntabel, sehingga persyaratan 20 persen itu akan memiliki jaminan dalam pelaksanaannya," katanya. PT BHMN juga dituntut harus berkualitas dunia dan menyandang peran penting sebagai agent of change (agen perubahan) bagi pembangunan nasional UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 2 yang menyatakan bahwa "setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan" telah dimaknai oleh MK hanya ikut bertanggung jawab.

Pasal 41 Ayat 9 UU BHP sebenarnya hanya mensyaratkan bahwa seluruh kontribusi peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. Selama ini, tampaknya penyelenggaraan pendidikan di banyak perguruan swasta sebagian besar masih disokong peserta didik. Pembatasan kontribusi biaya bagi peserta didik yang hanya sepertiga dan definisi biaya operasional tampaknya bagian yang belum mendapatkan kata sepakat bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan sehingga masih menjadi tarik ulur. Tanpa pengaturan kontribusi peserta didik, pemerintah atau swasta bisa jadi harus sepenuhnya menanggung biaya secara keseluruhan, atau justru menggantungkan sepenuhnya kepada kontribusi peserta didik.

BHP juga diwajibkan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik WNI yang tidak mampu membiayai pendidikannya dalam bentuk beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa, dan/atau pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Dengan adanya amar keputusan MK tentang Pembatalan UU BHP, berarti Pasal 12 Ayat (1) huruf c UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal, Pasal 46 Ayat 1 UU BHP sebenarnya telah mewajibkan BHP menjaring dan menerima WNI yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Dengan demikian, dalam

Page 27: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

menetapkan kebijakan pemberian beasiswa, pemerintah hanya boleh mendasarkan pada prestasi peserta didik, tetapi tidak boleh membedakan latar belakang ekonomi orangtua peserta didik. Akibatnya, bisa jadi tidak ada jaminan peserta didik yang kurang mampu (miskin) dapat menerima beasiswa. Barangkali, anggaran yang harus disediakan untuk memberi beasiswa bagi 20 persen peserta didiknya juga sebenarnya merupakan salah satu bagian terberat dari para penyelenggara pendidikan untuk memenuhinya.

Menurut amar keputusan MK, Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas adalah konstitusional sepanjang frasa "badan hukum pendidikan" dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Dengan demikian, UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang BHP menjadi tidak berlaku sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut versi Kementerian Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi oleh masyarakat melalui yayasan berdasarkan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang semula akan disesuaikan tata kelolanya sebagai BHP Masyarakat (BHPM) berdasarkan UU BHP, menjadi tidak jelas bentuk badan hukum yang harus digunakan untuk menyelenggarakan pendidikannya. Ketidakjelasan bentuk badan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat ini disebabkan yayasan tidak boleh secara langsung menyelenggarakan pendidikan, melainkan harus dilakukan dengan membentuk badan usaha.

Padahal, penyelenggara pendidikan melalui badan usaha bertujuan mencari laba, bertentangan dengan prinsip nirlaba dalam pendidikan. Hingga saat ini diperkirakan ribuan yayasan penyelenggara pendidikan belum menyesuaikan pada UU Yayasan sehingga harus bubar dan dilikuidasi kekayaannya. Proses pembelajaran dan ijazah yang diterbitkan sekolah atau perguruan tinggi yang tidak berbadan hukum menjadi ilegal. Semula penyelesaian masalah ini akan dilakukan dengan mengakui yayasan tersebut sebagai BHP Penyelenggara berdasarkan UU BHP tanpa mengubah bentuk badan hukum yayasan atau tetap berbentuk yayasan.

Pemerintah harus segera menyelesaikan masalah yayasan dan tujuh PT BHMN serta pendidikan kedinasan agar tidak terdapat kekosongan hukum tentang pengaturan tata kelola perguruan tinggi. Bagaimanapun, ada atau tidak ada UU BHP, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan harus tetap berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Selain itu, katanya, pihaknya akan mengkaji "missing link" yang menyebabkan pendidikan tinggi saat ini menjadi mahal dan sulit terjangkau masyarakat, apakah faktor efisiensi, mis-manajemen, akuntabilitas, atau apa penyebabnya. "Kami akan merumuskan komponen biaya pendidikan tinggi, apakah yang menjadi komponen pemerintah dan apa yang menjadi komponen masyarakat, sehingga akan diketahui rumusan yang membuat pendidikan tinggi menjadi terjangkau, sebab calon mahasiswa masyarakat berkemampuan sedang relatif banyak," katanya.

Ditanya tentang tujuh perguruan tinggi yang sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), ia mengatakan PT BHMN tetap harus mengacu pada PP yang baru, namun hal itu tidak akan dipaksakan. "PT BHMN akan tetap berjalan, tapi ada masa transisi untuk

Page 28: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

memenuhi PP yang baru. Misalnya, UI sekarang `kan memiliki karyawan yang PNS dan karyawan yang merupakan pegawai BHMN, tentu perlu waktu untuk berubah ke arah PP yang baru," katanya.

Hikmah bagi PTS : kembalinya hakRektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid di Jakarta, Kamis, mendukung pembatalan UU BHP karena UU itu menciptakan pasar bebas dalam dunia pendidikan. “Walaupun ada beasiswa, itu hanya untuk anak miskin yang pintar. Lantas bagaimana dengan anak yang miskin dan tidak pintar?” cetus Edy. UU BHP, imbuh Edy, juga akan membuat penyeragaman pendidikan, terutama  penyeragaman status perguruan tinggi. Seharusnya, tidak boleh ada penyeragaman status perguruan tinggi karena masing-masing perguruan tinggi memiliki ciri khas. Menurut Edy, yang harus jadi perhatian adalah bagaimana pendidikan bisa menjangkau semua orang, termasuk masyarakat miskin. UU BHP justru menciptakan kesulitan bagi anak miskin yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi.

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Jawa Tengah Prof Brodjo Sudjono yang juga mantan Rektor Universitas Surakarta, di Semarang, Jumat (2/4), menilai, pembatalan UU BHP sangat tepat karena UU itu bertentangan dengan UUD 1945 terkait kebebasan berkumpul dan berserikat yang dimiliki warga negara. UU BHP mensyaratkan penyeragaman bentuk badan hukum. Ia mengemukakan, bentuk badan hukum (yayasan) yang menaungi perguruan tinggi swasta (PTS) selama ini sangat beragam, namun melalui UU BHP itu, berbagai bentuk yayasan ingin diseragamkan menjadi BHP masyarakat. Ia mengatakan, yayasan yang menaungi PTS telah banyak berjasa dan memberikan kontribusi bagi masyarakat melalui berbagai program pendidikan mulai dari tingkat TK hingga PT. “Kami khawatir adanya penyeragaman bentuk badan hukum yang menaungi PTS itu akan membuat proses demokratisasi menjadi terkebiri karena lebih mudah untuk diatur dan dikontrol oleh pemerintah,” katanya. Ia mengatakan, UU BHP juga memungkinkan komersialisasi pendidikan, terutama oleh kalangan PTN.

Konsekuensi pembatalan UU BHP jelas amat besar dan bakalan tidak mudah. Ke-7 PTN yang sudah berbadan hukum tersebut harus menyesuaikan diri manakala berbagai aturan dan mekanisme sudah dilakukan sejak lama. Pemerintah pun harus menyesuaikan seluruh peraturan yang telah disusun yang berlandaskan kepada UU BHP tersebut. Tetapi harus diakui bahwa dengan adanya pembatalan tersebut, maka masyarakat akan lebih leluasa menempuh pendidikan. Pendanaan akan lebih banyak diberikan oleh pemerintah sehingga masyarakat akan menikmati pengurangan biaya pendidikan. Selain sebagian besar masyarakat menyambut gembira dengan pembatalan UU BHP ini, para pengelola PTS yang selama ini juga ikut getol melakukan Yudicial Review, tentu juga menyambutnya dengan gembira.

Melalui pembatalan tersebut, diharapkan PTN hanya akan menerima kelas reguler bahkan  menekankan pada program pascasarjana serta Doktoral, sehingga PTS mampu memperoleh kembali haknya yang selama ini terkesan direbut PTN. Dengan adanya UU BHP, PTN berbadan hukum tidak akan lagi leluasa mencari pasar pangsa yang sebesar-

Page 29: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

besarnya dengan membuka berbagai model penerimaan dan jalur memasuki PTN. Pangsa yang begitu besar itu, kini dikembalikan kepada PTS, yang keberadaannya sudah sejak lama memberikan kontribusi kepada negeri ini. Namun, sangatlah tidak adil bila kalangan yang pro UU BHP lalu memvonis bahwa PTS akan seenaknya mencari untung tanpa memperhatikan kualitas lulusannya. Di era Pola Tunggal Pengelolaan PT seperti sekarang ini, hal demikian tidak mungkin bisa terjadi. Setidaknya model Evaluasi Belajar dan Studi Berdasar Evaluasi Diri (EBSBED) yang langsung dipantau oleh Dikti serta akreditasi oleh BAN PT, tidak memungkinkan lagi PT bermain-main seperti berbagai kasus masa lampau.

Sebagai bukti kongkret, PTN yang dahulu membuka program ekstensi pun kemudian dihentikan, karena tidak mungkin bisa terakreditasi BAN PT, serta sulit melaporkannya dengan model EBSBED. Meski program ekstensi ditutup, namun selanjutnya berganti baju dengan Program Mandiri, Reguler II, dsb, yang diharapkan akan benar-benar dihilangkan setelah keputusan pembatalan UU BHP oleh MK. Bagi PTS, meski penghapusan UU BHP oleh MK merupakan kabar yang menggembirakan, namun para pengelolanya tidak boleh terlena oleh bayangan akan segera diperolehnya kenikmatan, melalui perolehan mahasiswa baru yang meningkat drastis. Selain kurang pada tempatnya, karena mengelola PTS itu nawaitunya adalah pengabdian, ibadah, serta pelaksanaan amanah yang sangat berat konsekwensinya, terutama di akhirat kelak, masih ada berbagai faktor perlu diperhitungkan.

Faktor mengelola PTS sesuai dengan UU serta ketentuan lain yang berlaku seperti akreditasi BAN BT serta EBSBED, tentu memerlukan pemikiran, perencanaan, serta aplikasi yang prima, sehingga tujuan baik jangka pendek hingga jangka panjang akan tercapai. Demikian pula makin ketatnya persaingan antar-PT, tentu harus merupakan daya pacu untuk mencapai kualitas prima lulusannya, sehingga diperhitungkan para calon penggunanya, serta masyarakat luas. Melalui cara itulah maka branding (citra positif) PTS-nya akan melekat. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat sulit, tentu akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk memasukkan anaknya ke PT. Data empirik yang menunjukkan masih belum signifikannya peningkatan kemampuan orang tua untuk menguliahkan anak-anaknya perlu diperihitungkan.

Demikian pula dengan pengalaman kekeraskepalaan pemerintah yang belum tentu secara serta merta menuruti perintah MK, meski seharusnya pemerintah melakukannya, dengan berbagai alasan pembenar. Pengalaman tentang keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang peniadaan Ujian Nasional (UN), yang terkesan diabaikan pemerintah, yang tahun ini tetap menyelenggarakannya, meski akhirnya berbagai masalah seperti tahun-tahun sebelumnya terus terjadi. Karena itu, kita tentu berharap untuk keputusan MK terkait pembatalan UU BHP kali ini, pemerintah melaksanakannya.

Selain memenuhi keputusan MK, sejatinya bila dilaksanakan hal ini sebenarnya adalah pelaksanaan program pendidikan yang pro rakyat, yang setiap saat hampir selalu diucapkan oleh Presiden. Bagi pengelola PTS, meski perlu disyukuri, namun tidak boleh hal ini berubah menjadi eforia berburu calon mahasiswa, namun mengabaikan kemampuannya dalam mengelola. Perjuangan, ketekunan, ketelatenan serta upaya

Page 30: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

maksimal yang selama ini telah mereka lakukan harus tetap terjaga. Dengan demikian, kelak lulusannya akan mampu memberikan sumangsihnya secara maksimal kepada masyarakat, bangsa dan negara, sekaligus mampu mengharumkan nama almamaternya.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980

Page 31: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Page 32: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur

Page 33: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com

Page 34: System Pendidikan Di Indonesia Kegamangan Normatif

Koran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education