bab ii kajian teoretik dan kajian normatif

15
11 BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF I. KAJIAN TEORETIK A. Teori Lembaga Perwakilan Teori lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang menjalankan tugas kenegaraan. 1 George Jellinek menyatakan timbulnya konstruksi lembaga perwakilan dikarenakan adanya 3 hal yaitu: 2 a. Sebagai pengaruh hukum perdata Romawi diabad menengah. b. Adanya sistem feodal diabad menengah. c. Situasi abad menengah itu sendiri. Dalam teorinya ada beberapa macam dari lembaga perwakilan, yaitu: 3 1) Teori Mandat Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat mandate dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di 1 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Op.Cit., h.143. 2 Ibid, h.144. 3 Ibid, h.144-147.

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

11

BAB II

KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

I. KAJIAN TEORETIK

A. Teori Lembaga Perwakilan

Teori lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung menurut

Rousseau tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya

penduduk, luasnya wilayah negara dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan.

Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan

anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang

menjalankan tugas kenegaraan.1

George Jellinek menyatakan timbulnya konstruksi lembaga perwakilan

dikarenakan adanya 3 hal yaitu:2

a. Sebagai pengaruh hukum perdata Romawi diabad menengah.

b. Adanya sistem feodal diabad menengah.

c. Situasi abad menengah itu sendiri.

Dalam teorinya ada beberapa macam dari lembaga perwakilan, yaitu:3

1) Teori Mandat

Si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan karena mendapat

mandate dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di

1Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Op.Cit., h.143.

2Ibid, h.144.

3 Ibid, h.144-147.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

12

Perancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat

oleh Petion. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandat ini

pun menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir teori

mandat ini disebut sebagai:

a. Mandat Imperatif

Menurut ajaran si wakil bertugas dan bertindak di Lembaga

Perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh lembaga

yang diwakilinya. Kalau setiap kali ada masalah baru harus minta

mandat baru, ini berarti menghambat tugas lembaga perwakilan

tersebut maka lahirlah teori mandat baru yang disebut:

b. Mandat Bebas

Ajaran ini dipelopori antara lain oleh Abbe Sieyes di Perancis dan

Black Stone di Inggris. Ajaran ini berpendapat bahwa si wakil dapat

bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut

ajaran ini si wakil adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih

serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya,

sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang

diwakilinya atau atas nama rakyat.

Teori ini kemudian berkembang lagi menjadi:

c. Mandat Representative

Disini si wakil dianggap bergabung dalam suatu Lembaga

Perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat

pada parlemen, sehingga si wakil sebagai individu tidak ada

hubungan dengan pemiliknya apalagi pertanggungjawabannya.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

13

Lembaga perwakilan (parlemen) inilah yang bertanggung jawab

kepada rakyat.

2) Teori Organ

Teori ini dibangun oleh Von Gierke yang berkebangsaan Jerman.

Menurut teori ini negara merupakan suatu organisme yang mempunyai

alat-alat perlengkapannya seperti Eksekutif, Parlemen dan mempunyai

rakyat yang kesemuanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri dan saling

tergantung satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga

Perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri Lembaga tersebut dan

lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang yang diberikan

oleh Undang-Undang Dasar. Teori ini juga didukung oleh George

Jellinek yang menyatakan bahwa rakyat adalah organ yang primer, tetapi

tidak dapat menyatakan kehendaknya maka harus ada organ sekunder

yaitu Parlemen, jadi tidak perlu mempersoalkan hubungan antara si

wakil dengan yang diwakili dari segi hukum.

B. Teori Pengawasan Dalam Lembaga Negara

Lembaga negara merupakan suatu organ yang turut terlibat dalam proses

pemerintahan didalam sebuah negara. Untuk itulah diperlukan suatu mekanisme

pengawasan yang dapat memantau dan mengontrol kinerja dari lembaga negara

tersebut. Pengawasan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu pengawasan internal

dan pengawasan eksternal. Berikut ini akan dijabarkan secara lebih rinci terkait

Konsep dan Teori Pengawasan Internal dan Eksternal.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

14

1. Konsep dan Teori Pengawasan Internal

Konsep Pengawasan Internal

Pengawasan Internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh satu

badan yang terorganisir masih termasuk dalam linkungan pemerintah

sendiri. Atau seluruh proses kegiatan audit ,review, pemantauan,

evaluasi, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan

tugas dan fungsi organisasi, biasanya dilakukan dalam hierarki atau

dari atasan kepada bawahannya. Atau disebut juga pengawasan

melekat.

Dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa

kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah

ditetapkan secara efektif dan efisien. pengawasan internal dilakukan

untuk kepentingan pimpinan dalam rangka mewujudkan tata

kepemerintahan yang baik.

Instruksi presiden No. 15 Tahun 1983 pasal 2 ayat 1 menyebutkan

bahwa pengawasan terdiri atas :

(a) Pengawasan yang dilakukan langsung oleh pemimpin/atasan

langsung, baik di tingkat pusat maupun daerah.

(b) Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat

pengawasan.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

15

Teori pengawasan Internal

Teori pengawasan internal yaitu berdasarkan pada keyakinan dan

perilaku dalam organisasi tersebut, dan pengawasan yang dilakukan

dalam pengawasan internal yaitu melalui motivasi yang dilakukan

atasan kepada bawahan.

Tujuan pengawasan internal:

- Memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan

mandate, visi, misi, tujuan serta target-target organisasi.

- Mengetahui tingkat akuntabilitas kinerja tiap instansi yang

akan dijadikan parameter penilaian dan keberhasilan dan

kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan

dan sasarn yang telah ditetapkan dalam Restra instansi.

- Dua tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar.

2. Konsep dan teori pengawasan Eksternal

Konsep Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan

oleh orang atau badan yang ada di luar unit organisai yang

bersangkutan. Contohnya : BPK dan KPK.

Teori pengawasan ekstern

Teori dari pengawasan ekstern yaitu Kontrol Eksternal.

Banyak kendala yang sekarang merupakan bagian integral dari

Page 6: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

16

sebuah instasnsi lingkungan operasi eksternal dihasilkan pada

dasarnya ada tiga kategori control eksternal :

- Hukum dan peraturan yang diberlakukan oleh

Kongres pada pelaksanaan manajemen publik, yang

menghambat dan mempengaruhi birokrasi perilaku.

- Kongres kontrol pada anggaran instansi yang dapat

mempengaruhi perilaku organisasi dengan baik

menghambat atau menfasilitasi kemampuannya

untuk memenuhi misinya dan

- Dinas sipil sistem kontrol hirarkis yang kaku, yang

memberikan kerangka di mana birokrasi tersebut

kembali cruited, terlatih, dipromosikan dan dikelola.

Pengawasan Internal Dan Eksternal oleh berbagai komponen aktor

(elemen) dalam masyarakat perlu diperkuat.Fungsi dari pengawasan internal dan

eksternal yaitu adanya alat ukur untuk memperkuat system evaluasi dan operasi

yang transparan dari pemerintahan daerah untuk meningktakan efisiensi dan

pelayanan publik serta untuk mengurangi korupsi.

II. KAJIAN NORMATIF

1. Peran DPR Menurut UUD 1945

Perubahan UUD 1945 yang tercakup dalam materi tentang Dewan

Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk memberdayakan DPR dalam menjalankan

Page 7: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

17

fungsinya sebagai lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat untuk

memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya.4

Pergeseran kewenangan membentuk Undang-Undang dari yang sebelumnya

ditangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan langkah konstitusional

untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga negara sesuai dengan

tugasnya masing-masing yakni sebagai lembaga pembentuk Undang-Undang

(kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana Undang-Undang

(kekuasaan eksekutif).5

Perubahan lain mengenai fungsi dan hak lembaga negara DPR serta hak

anggota DPR yang diatur dalam Pasal 20A, berbunyi sebagai berikut:6

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi Legislasi, fungsi anggaran,

dan fungsi pengawasan.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-

pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat

mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini,

setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan pertanyaan,

menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak

anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditur dalam Undang-Undang.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara

optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkokoh pelaksanaan

checks and balances oleh DPR. Akan tetapi sejumlah ahli hukum tata negara

menilai, bahwa perubahan ini justru telah menggeser executive heavy kearah

legislative heavy, sehingga terkesan bukan keseimbangan yang ingin dituju

4 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,

Yogyakarta, 2010, h.107.

5Ibid.

6Ibid, h.108.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

18

melalui perubahan UUD 1945 tetapi DPR ingin memusatkan kekuasaan

ditangannya.7

Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, kekuasaan legislatif ada di DPR,

(Pasal 20 ayat (1)) bukan MPR atau DPD. Kekuasaan pada DPR diperbesar

dengan diantaranya: DPR diberikan kekuasaan memberikan pertimbangan kepada

Presiden dalam mengangkat Duta Besar dan menerima penempatan duta negara

lain (Pasal 13 ayat (2) dan (3)); memberikan amnesti dan abolisi (Pasal 14 ayat

(2)), DPR juga diberikan kekuasaan dalam bentuk memberikan persetujuan bila

Presiden hendak membuat perjanjian dengan negara lain, menyangkut bidang

perekonomian, perjanjian damai, menyatakan perang serta perjanjian internasional

lainnya yang berpengaruh terhadap integritas wilayah (Pasal 11 ayat (2) dan (3)).

DPR juga diberikan hak budget (Pasal 23 ayat (3)), memilih anggota BPK, dengan

memperhatikan saran DPD (Pasal 23F ayat (1)), memberikan persetujuan dalam

hal Presiden mengangkat atau memberhentikan anggota Komisi Yudisial (Pasal

24B ayat (3)), menominasikan 3 orang hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C

ayat (3)).8

2. Tugas dan Wewenang DPR Menurut UU MD3

Pengaturan mengenai tugas dan wewenang DPR selaku lembaga legislatif

yang merepresentasikan dan mewakili aspirasi rakyat telah termuat dalam

Konstitusi. Namun pengaturan lebih mendalam diatur dalam peraturan perundang-

undangan tersendiri.

7Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika

Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.

8 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Op.Cit., h.101.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

19

Tugas dan kewenangannya diatur secara lebih spesifik dalam Pasal 71-75

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa kewenangan DPR

meliputi:9

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama;

b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap

peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh

Presiden untuk menjadi undang-undang;

c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau

DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum

diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang

tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

pajak, pendidikan, dan agama;

e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD

dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang

APBN yang diajukan oleh Presiden;

f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh

DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan

membuat perdamaian dengan negara lain;

h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

9 Pasal 71 UU MD3.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

20

terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan

atau pembentukan undang-undang;

i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti

dan abolisi;

j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta

besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;

k. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan

pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi

Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan

n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada

Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.

Sementara dalam Pasal 72 dinyatakan bahwa tugas DPR meliputi:10

a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program

legislasi nasional;

b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-

undang;

c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,

APBN, dan kebijakan pemerintah;

e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;

f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara

yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara;

g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat ; dan

h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 73 sampai Pasal 75 yang merupakan satu bagian dari tugas dan

wewenang DPR merupakan ketentuan pendukung yang mempertegas pelaksanaan

tugas dan wewenang DPR yang terdapat di dalam Pasal 71 sampai Pasal 72.

10 Pasal 72 UU MD3

Page 11: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

21

3. Peran BK sebagai alat kelengkapan DPR Menurut UU Nomor 27

Tahun 2009

Mengingat pengalaman dimasa lalu, dimana Dewan Kehormatan tidak

berjalan dengan efektif, Badan Kehormatan (BK) selanjutnya dijadikan sebagai

alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. Perubahan terminologi dari Dewan

Kehormatan menjadi Badan Kehormatan disesuaikan dengan Pasal 123 - Pasal

129 UU Susduk (UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan

MPR, DPR, DPD, dan DPRD), yang mencantumkan Badan Kehormatan sebagai

salah satu alat kelengkapan DPR.11

Dalam Pasal 123 UU Susduk dinyatakan bahwa:

“Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat

kelengkapan DPR yang bersifat tetap.”

Lebih lanjut dalam Pasal 124 ayat (1) UU Susduk dinyatakan bahwa

susunan keanggotaan BK ditetapkan oleh DPR sendiri dengan memperhatikan

perimbangan dan pemerataan tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR

dan permulaan tahun sidang.

11 T.A Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat diIndonesia, Penerbit FORMAPPI, Jakarta,

2005, h.103-104.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

22

Lebih lanjut dinyatakan dalam ayat selanjutnya (Pasal 124 ayat (2)) bahwa

anggota BK berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna

dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada

permulaan tahun sidang.

Dalam Pasal 127 dinyatakan bahwa:

(1) Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi

pengaduan terhadap anggota karena:

a. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79;

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa

keterangan apapun;

c. Tidak menghadiri rapat parpurna dan / atau rapat alat kelengkapan DPR

yang menjadi tugas dan kewajibannyasebanyak 6 (enam) kali berturut-

turut tanpa alasan yang sah;

d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum

anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan / atau

e. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang ini.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan

melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik

DPR.

(3) Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan

kerja sama dengan lembaga lain.

(4) Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.

Tugas BK lainnya diatur dalam Pasal 128 yang menyatakan bahwa:

“Badan Kehormatan menyusun rancangan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya

sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan

Rumah Tangga (BURT).”

Namun, dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diperbarui menjadi UU Nomor 42

Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Page 13: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

23

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 saat ini) telah mengganti BK

sebagai alat kelengkapan DPR menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

4. Tujuan Hadirnya MKD Sebagai Alat Kelengkapan DPR yang Baru

Menurut UU MD3

Sebagai alat kelengkapan yang baru dibentuk oleh DPR, MKD berperan

mengambil alih tugas yang semula dipegang oleh BK. Tentunya bukan tanpa

pertimbangan DPR mengganti alat kelengkapannya. Kinerja BK selama ini dinilai

belum maksimal sebagai lembaga etik DPR menjadi salah satu alasan pergantian

alat kelengkapan DPR ini.

MKD merupakan lembaga pengawas yang kedudukannya setara dengan

anggota DPR lainnya. Hal ini dapat dilihat dari susunan keanggotaan MKD yang

berasal dari anggota DPR itu sendiri, bukan berasal dari kalangan profesional

diluar keanggotaan DPR.

DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan

Dewan yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan

dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa

Page 14: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

24

keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.12 Anggota Mahkamah

Kehormatan Dewan berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam

rapat paripurna.13 Tujuan utama dibentuknya MKD yaitu adalah untuk menjaga

serta menegakkan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.14

Dengan kata lain, MKD merupakan lembaga pengawas dan lembaga etik yang

mengawasi perilaku dari DPR yang kedudukannya setara sehingga banyak

menimbulkan perdebatan seiring kehadiran MKD ini.

5. Tugas dan Wewenang MKD Menurut UU MD3

Kehadiran MKD memang merupakan alat kelengkapan baru yang berperan

sebagai lembaga etik yang mengawasi perilaku dan kinerja DPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Namun, seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa MKD

merupakan pengganti BK yang juga merupakan lembaga etik pengawas DPR.

Hal ini tentunya yang menyebabkan tugas dan wewenang keduanya tidak

jauh berbeda. Dalam Pasal 122 UU MD3 dinyatakan bahwa:

(1) Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan

dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:

a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 81;

b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan

atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3

(tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;

c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR

sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota

12 Pasal 120 ayat (1) UU MD3.

13 Pasal 120 ayat (2) UU MD3.

14Pasal 119 UU MD3.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORETIK DAN KAJIAN NORMATIF

25

DPR yang diatur dalam undang–undang mengenai

pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau

d. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan

penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR.

(3) Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang memanggil

pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan

lembaga lain.

Selain tugas dan wewenang yang telah disebutkan diatas, terdapat tugas

lainnya yang dimiliki oleh MKD selaku alat kelengkapan DPR yang baru. Dalam

Pasal 123 UU MD3 dinyatakan bahwa tugas tambahan bagi MKD adalah:

“Mahkamah Kehormatan Dewan menyusun rencana kerja dan anggaran

setiap tahun sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada

Badan Urusan Rumah Tangga.”

Ketentuan Pasal diatas secara implisit menyatakan bahwa dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya, MKD memiliki hubungan koordinasi

dengan lembaga lainnya seperti Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).