chapter i kajian hukum normatif terhadap kedudukan dewan

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Munculnya negara konstitusional pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah. 1 Suatu proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju ‘negara konstitusional’ 2 yang ‘demokrasi’ 3 Gagasan perubahan UUD NRI 1945, baru menjadi kenyataan setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi terhadap UUD NRI 1945. ialah adanya reformasi dalam sistem pemerintahan atau sistem ketatanegaraan, yang dilaksanakan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). 4 1 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk- Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, , 2008, h. 21 Dimulailah memasuki era baru supremasi hukum dengan melakukan serangkaian reformasi baik dibidang politik maupun reformasi sistem hukum yang dapat menjamin sendi-sendi kehidupan konstitusional yang berbasiskan kepada kedaulatan rakyat, dalam arti bahwa rakyat memiliki kekuasaan yang tertinggi dan mempunyai kewenangan untuk melakukan setiap pengawasan terhadap semua 2 Negara konstitusional di defenisikan sebagai negara yang memiliki kekuasaan-kekuasaan untuk memerintah, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Lihat dalam C.F. Strong, ibid, h. 22 3 Makna atau pengertian demokrasi; adalah sistem politik mengenai pengikut sertaan rakyat atau warga dalam membuat keputusan. Lihat dalam Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di Indonesia, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2010, h. 1, 4 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, h. 102 Universitas Sumatera Utara

Upload: joke-punuhsingon

Post on 02-Jan-2016

91 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya negara konstitusional pada dasarnya merupakan suatu proses

sejarah.1 Suatu proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju ‘negara

konstitusional’2 yang ‘demokrasi’3

Gagasan perubahan UUD NRI 1945, baru menjadi kenyataan setelah

runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya selalu melakukan upaya sakralisasi

terhadap UUD NRI 1945.

ialah adanya reformasi dalam sistem

pemerintahan atau sistem ketatanegaraan, yang dilaksanakan melalui perubahan

konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI 1945).

4

1C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung: Nusa Media, , 2008, h. 21

Dimulailah memasuki era baru supremasi hukum dengan

melakukan serangkaian reformasi baik dibidang politik maupun reformasi sistem

hukum yang dapat menjamin sendi-sendi kehidupan konstitusional yang berbasiskan

kepada kedaulatan rakyat, dalam arti bahwa rakyat memiliki kekuasaan yang tertinggi

dan mempunyai kewenangan untuk melakukan setiap pengawasan terhadap semua

2Negara konstitusional di defenisikan sebagai negara yang memiliki kekuasaan-kekuasaan untuk memerintah, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Lihat dalam C.F. Strong, ibid, h. 22

3Makna atau pengertian demokrasi; adalah sistem politik mengenai pengikut sertaan rakyat atau warga dalam membuat keputusan. Lihat dalam Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi Di Indonesia, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2010, h. 1,

4Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, h. 102

Universitas Sumatera Utara

kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah dalam setiap sektor

kehidupan bangsa.5 Pengertian reformasi menyangkut empat aspek. Pertama,

reformasi mengandung pertalian adanya inovasi dan transformasi. Kedua, kesuksesan

reformasi membutuhkan perubahan yang sistematik dalam kerangka yang luas, dan

perubahan tersebut harus dengan cara hati-hati dan direncanakan. Ketiga, tujuan

reformasi adalah untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Kempat, reformasi haruslah

dapat menanggulangi perubahan-perubahan lingkungan.6

Perubahan ketiga terhadap UUD NRI 1945 menghasilkan suatu lembaga

perwakilan yang baru dalam sistem parlemen Indonesia, yaitu lembaga Perwakilan

Daerah, yang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membentuk lembaga

perwakilan daerah tersebut menjadi Dewan perwakilan dan berkedudukan di pusat.

Dewan perwakilan tersebut adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD

merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara,

berdampingan dengan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dalam parlemen Indonesia

dan menjadi bagian dari MPR, dimana MPR terdiri dari dua dewan perwakilan (DPR

dan DPD), yang mana sebelum perubahan MPR terdiri dari DPR dan Utusan Daerah

dan Utusan Golongan (tiga dewan perwakilan).

Perletakan dasar konstitusional bagi pembentukan DPD sebagai bagian dari

MPR dan berdampingan dengan DPR dalam parlemen Indonesia, melalui

5Faisal Akbar Nasution dalam Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Editor: Budiman Ginting, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002, h. 351-352

6Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Tata Negara Perubahan Undang-Undang Dasar, Jakarta: PT. Tatanusa, 2009, h. 2

Universitas Sumatera Utara

amandemen UUD NRI 1945 merupakan bagian dari pergeseran strategi

konstitusionalisasi kehidupan bernegara dan berpemerintahan, sekaligus merupakan

salah satu dimensi dari konstitusionalisme yang mencuat dalam rangka reformasi

konstitusi di Indonesia, dimana MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD

yang dipilih melalui pemilihan umum.7

Lahirnya DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selalu membawa

pertanyaan mengapa lembaga tersebut perlu ada, apa dasar filosofisnya atau gagasan

apa yang menghendaki dilahirkannya lembaga baru tersebut. Apabila dilihat dalam

tataran kepentingan umum maka pertanyaan yang akan muncul tentunya apa tujuan

dan manfaatnya untuk masyarakat. Hal ini juga relevan jika kita melihatnya dalam

konteks keberadaan DPD yang lahir pada saat proses amandemen terhadap UUD NRI

1945 dilakukan. Kelahiran DPD tentu saja semakin mewarnai ide dan gagasan

ketatanegaraan Indonesia yang memang semakin bergema sejak era reformasi

dimulai. Perdebatannya bukan saja pada fungsi dan peranannya tetapi juga pada

landasan sistem parlemen yang dianut dan pilihannya mucul pada dua sistem yaitu

sistem bikameral atau sistem unikameral.

8

Kehadiran DPD semula dimaksudkan membentuk sistem dua kamar

(bikameral). Kenyataan DPR, DPD, dan MPR mempunyai lingkungan kerja sendiri-

sendiri sehingga merupakan lingkungan jabatan yang masing-masing berdiri sendiri.

7M. Soly Lubis, Hukum Tatanegara, Bandung : CV. Mandar Maju, 2008, h. 93 8Dinoroy Marganda Aritonang, Kedudukan Dan Fungsi DPD Dalam Kerangka Kelembagaan

Legislatif Indonesia, Bandung: STIA LAN Jurnal Ilmu Administrasi/Volume VI/No. 3 September 2009, h.267

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, bukannya dua kamar yang terbentuk, melainkan badan perwakilan

tingkat pusat bertambah sehingga menjadi tiga badan perwakilan dibandingkan

dengan sebelumnya perubahan yang hanya terdiri dari dua badan perwakilan (MPR

dan DPR).9

Terbentuknya DPD sebagai majelis kedua dalam legislatif membawa

perubahan dalam sistem parlemen Indonesia, dimana dulunya Utusan Daerah atau

Senat berubah menjadi DPD, karena Utusan Daerah pada saat itu bukan murni dari

daerah atau pilihan rakyat secara langsung, melainkan pilihan para ‘elite-elite

politik’

10

Menurut ketentuan UUD NRI 1945 pasca perubahan, DPD semula didesain

sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Salah satu ciri

bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud

sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika

diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun di bidang ini.

DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan

yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di

samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim.

yang berada dipusat.

9Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Yogyakarta: FH UII PRESS, 2006, h. 11 10Herbert Feith, dalam studinya yang mendalam tentang politik Indonesia sebelum tahun 1957

yang berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ada dua corak pemimpin atau elite Indonesia. Pertama, pemimpin bertipe administrator yang mengutamanakan pendekatan rasionil, keteraturan dan realistis dalam kehidupan bernegara. Kedua, pemimpin bertipe “pengemban solidaritas” (“solidarity maker”) yang mementingkan dinamika hubungan emosionil dengan masyarakat, seperti melalui semangat persatuan dan jiwa revolusioner, sebagai alat buat melakukan perubahan-perubahan drastis. Dalam Alfian, Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1983, h.273

Universitas Sumatera Utara

Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama

kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua

tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Dalam pengaturan UUD NRI

1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat

disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama

kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’

sekalipun.11

Struktur parlemen Indonesia berdasarkan UUD NRI 1945 setelah adanya

perubahan keempat, dapat dikatakan bersifat trikameral atau terdiri atas tiga kamar

atau institusi sekaligus. Hal ini dapat dibenarkan karena keberadaan MPR sebagai

lembaga yang tersendiri disamping DPR dan DPD. UUD NRI 1945 sendiri masih

memberikan wewenang kepada MPR secara terpisah dari kewenangan DPR maupun

DPD.

12

Menurut Ginandjar Kartasasmita, bahwa sistem bikameral adalah wujud

institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas

dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang

berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis

rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya

11Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, dalam Makalah, Seminar Pembagunanan Hukum VIII Penegakan Hukum Dalam Era Pembagunan Berkelanjutan, di selenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 17-18

12Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di masa Depan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, h. 332

Universitas Sumatera Utara

dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai

majelis kedua atau majelis tinggi yang dikenal sebagai Sénat.13

Menurut Bagir Manan, satu hal yang perlu di ketahui, sistem satu kamar atau

dua kamar tidak terkait dengan landasan negara tertentu. Juga tidak terkait dengan

bentuk negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan tertentu. Setiap negara

memiliki pertimbangan sendiri-sendiri. Ada Negara menjalankan sistem dua kamar

karena latar belakang kesejarahan.

14

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pelaksanaan sistem dua kamar

pernah berlangsung pada saat berlakunya Kostitusi Republik Indonesia Serikat Tahun

1949 (Konstitusi RIS 1949). Keluarnya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959, yang

memberlakukan kembali UUD NRI 1945 setelah Undang-Undang Dasar Sementara

Tahun 1950 (UUDS 1950), menjadikan sistem parlemen dua kamar (bikameral)

menjadi satu kamar (unikameral), atau dengan kata lain Senat ditiadakan, dan

kembalinya utusan daerah dan golongan yang pada akhirnya ditiadakan setelah

bergabung dengan fraksi-fraksi dalam DPR. Setelah pasca perubahan UUD NRI

1945, keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mencerminkan sistem

bikameral dimana kedudukan DPD sama dengan DPR dalam MPR, walaupun sistem

parlemen tersebut tidak konsisten dalam pelaksanaannya.

13Ginandjar Kartasasmita, Pembahasan dalam Seminar sehari tentang, “Bikameralisme Di Indonesia”, Jakarta 2 Maret 2006, h. 2-3

14Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, penerbit: Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2001, h. 37

Universitas Sumatera Utara

Sebelum perubahan UUD NRI 1945 bahwa yang berwenang membentuk UU

adalah DPR dan Presiden (dua lembaga negara yang memiliki kewenangan yang

sama dalam legislatif), seiring dengan perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia,

dengan kehadiran DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, maka setelah perubahan

UUD NRI 1945 bahwa yang berwenang membentuk UU adalah DPR dan lembaga

negara yang berwenang mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah

DPR, DPD, dan Presiden. Perubahan kewenangan tersebut mengisyarakat bahwa

sistem parlemen yang dianut Indonesia adalah unikameral (satu lembaga negara

dalam badan legislatif). Jika dilihat dari konteks legislasi (kewenangan mengajukan

RUU) maka akan terlihat ada tiga lembaga negara yang memiliki kewenangan yang

sama (DPR, DPD, dan Presiden).

Dalam konteks kelembagaan dalam parlemen Indonesia terdapat tiga lembaga

negara yaitu: MPR yang terdiri dari DPR dan DPD dengan kewenangan yang

berbeda, jika dilihat dalam konteks ketatanegaraan ada tiga lembaga negara yang

memiliki kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yakni: MPR, DPR, dan

Presiden. Sedangkan yang dkatakan legislatif adalah kekuasaan membuat,

membentuk undang-undang. Sedangkan yang dikatakan lembaga perwakilan rakyat

ialah dipilih melalui pemilihan umum, DPR adalah perwakilan secara poltik (political

representation) dan DPD adalah perwakilan secara daerah/wilayah (territorial

representation).

Sistem perwakilan rakyat hanya dapat dikategorikan sebagai bikameral bila

RUU dalam sebagian atau seluruh bidang pemerintahan harus mendapat persetujuan

Universitas Sumatera Utara

dari dua lembaga legislatif. Selebihnya tidak dapat disebut bikameral, karena untuk

dapat diterapkan sebagai undang-undang hanya memerlukan pembahasan dan

persetujuan satu lembaga legislatif sehingga hanya dapat disebut sistem unikameral

saja.15 Lebih lanjut H Subardjo berpendapat, sebenarnya sistem perwakilan rakyat

atau sistem parlemen hanya dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu pertama

unikameral (suatu RUU hanya memerlukan pembahasan dan persetujuan satu

lembaga legislatif), kedua bikameral (suatu RUU memerlukan pembahasan dan

persetujuan dua lembaga legislatif.16

Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut

mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran

daerah dalam penyelenggaraan negara. DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan

daerah dalam menentukan politik negara dan dalam pengelolaan anggaran negara,

sesuai ruang lingkup tugas dan fungsi DPD sebagai lembaga legislatif, yakni

membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, serta mengambil

putusan besar dan penggunaan anggara negara (terutama untuk kebutuhan daerah-

daerah). Kehadiran DPD dalam sistem parlemen Indonesia menimbulkan tanda tanya

seputar urgensinya. Kedudukan DPD dalam sistem parlemen dalam negara kesatuan

republik Indonesia, dapat dilihat dalam pelaksanaan sistem perwakilan dalam sejarah

pemerintahan Indonesia apakah menganut unikameral atau bikamreal. Peranann DPD

15Jimly Asshiddiqie, op.cit 16H Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu 2012, h. 52

Universitas Sumatera Utara

dalam pelaksanaan check and balances pada sistem pemerintahan Indonesia, menjadi

alat ukur seberapa besar kewenangan yang dimiliki dan apa yang sebenanya fungsi

lembaga perwakilan tersebut dalam parlemen Indonesia.

Keberadaan DPD sebagai lembaga negara diatur dalam pasal 2 ayat (1)17

UUD NRI 1945 dan keberadaan tersebut diperjelas dalam pasal 22218 UU No. 27

Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD. Pembentukan DPD sebagai

lembaga negara juga memiliki tugas, fungsi dan kewenangan yang diatur dalam pasal

22D 19

Melihat banyaknya pandangan yang menyatakan bahwa tidak konsisten

penerapkan sistem parlemen dalam negara kesatuan Indonesia, yang menjadikan

ketidak efektif fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat dalam parlemen

Indonesia. Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, penulis

UUD NRI 1945.

17Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

18Pasal 222 menyatakan bahwa: kedudukan DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara.

19Pasal 22D ayat (1): Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 22D ayat (2): Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

Pasal 22D ayat (3): Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti

Universitas Sumatera Utara

tertarik untuk membahas dan meneliti dengan mengambil judul Sistem Kameralisme

Dalam Parlemen Indonesia (Kajian Hukum Normatif Terhadap Kedudukan Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan diatas,

maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi latarbelakang lahirnya kameralisme dalam Parlemen suatu

negara?

2. Bagaimana pelaksanaan sistem bikameral dalam sejarah ketatanegaraan

Republik Indonesia?

3. Bagaimana kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan Check and

Balances ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas yang menjadi fokus penelitian, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi latarbelakang lahirnya kameralisme

dalam parlemen suatu negara.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem bikameral dalam sejarah

ketatanegaraan Republik Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

3. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan Check

and Balances.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara

lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah

yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan Dewan

Perwakilan daerah.

2. Secara Praktis: Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum,

Institusi Pemerintahan dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas. Dan

sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan

dalam bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tatatnegara.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran yang dilakukan terhadap hasil-

hasil penelitian/tesis di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), dan di

perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil

penelusuran tidak menemukan judul penelitian/tesis pada topik dan permasalahan

yang sama. Penelitian terhadap kemiripan judul tersebut telah banyak diangkat di luar

Universitas Sumatera Utara

USU, namun peneliti mencoba menampilkan berbeda dari judul dan permasalahan.

Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang asli dan jauh dari

unsur plagiat, dan ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Berkaitan dengan sejumlah permasalahan yang dijadikan obyek kajian

penelitian ini, maka penting untuk dilakukan eksplorasi berbagai teori ataupun

doktrin dibidang hukum ketatanegaraan dan sistem demokrasi yang relevan bagi

upaya menilai valid tidaknya Pelaksanaan Sistem Bikameral Di Indonesia jika

melihat kedudukan dan peranan DPD dalam parlemen Indonesia.

Berikut ini disajikan teori atau doktrin yang digunakan sebagai pisau analisis

dalam penelitian ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Sistem Kameralisme

Dalam Parlemen Indonesia (Kajian Hukum Normatif Terhadap Kedudukan Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia), dengan mengunakan pendekatan teori

pemisahan kekuasaan (Separation of Power) sebagai grand theory, yang didukung

oleh teori kedaulatan rakyat (demokrasi).

Salah satu persoalan pokok suatu negara demokrasi adalah persoalan

kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang.20

20S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2003, h. 1.

Oleh karena

terjadinya penyimpangan kekuasaan dalam kekuasaan pemerintahan suatu negara, di

Universitas Sumatera Utara

perlukan ada pemisahan kekuasaan atau pembagian yang dapat membatasi

kekuasaan tersebut. Oleh Jhon Locke dan Monstesquieu memunculkan teori trias

politica.

Teori pemisahaan kekuasaan ini pada awalnya dikemukakan oleh “Jhon

Locke” melalui Second Treaties of Civil Government (1690) berpendapat bahwa

kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka

yang melaksanakannya.21

Menurut Jhon Locke dalam karyanya Two Treaties of Government, kekuasaan

negara dibedakan atas tiga macam: legislatif power (kekuasaan membuat undang-

undang); executive power (kekuasaan melaksanakan undang-undang); dan federative

power (kekuasaan untuk melakukan hubungan diplomatic dengan negara asing).

22

Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu

badan yaitu pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai

dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak menganti pemerintah itu.23

Menurut Montesquieu Dalam buku yang berjudul The Sprit of The Laws,

perwujudan dari konsep Trias Politica,

24

21Charles Simabura, Parlemen Indonesia Lintas Sejarah dan Sistemnya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011, h. 22

adalah adanya pemisahan kekuasaan atau

pembagian kekuasaan negara kedalam atau badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

22Lihat Deliar Noer dalam Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, cetakan kedua, 2003, h. 9

23 Solly lubis, Ilmu Negara, Bandung: CV. Mandar Maju, 2007 24Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat de la Brede et de

Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era Aufklarung di prancis. Dalam karya monumentalnya L’Esprit des Lois (Roh Hukum). Lihat dalam Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi), Yokyakarta: Genta Publishing, 2010, h. 81

Universitas Sumatera Utara

Monstesquieu berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga,

kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan

(eksekutif), dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu

dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan

kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa.

Pengertian dasar Trias Politica adalah pengawasan (check and balances) dari

suatu cabang pada cabang yang lain. Bagi Montesquieu, Trias politica merupakan

mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya kehendak rakyat dalam sebuah

masyarakat yang mempunyai pemerintahan.25 Pendeknya, Trias Politica

mempersempit kemungkinan lahirnya pemerintahan yang absolutistis. Monstesquieu

menganggap pemisahaan kekuasaan yang ketat diantara tiga kekuasan itu, merupakan

prasyarat kebebasan politik bagi warga negara.26

Maksud dan tujuan Monstequieu dengan ajaran trias politikanya itu

tercapaikah, yaitu meniadakan sistem absolutisme? Jawabnya tegas, tidak! Mengapa?

Karena ajaran trias politika Mostesquieu itu hanya “mengalihkan absolutisme dari

suatu badan yaitu raja kepada tiga badan. Yaitu badan legislatif, badan eksekutif,

dan badan yudikatif”. Mengapa demikian? Karena “masing-masing badan mandiri,

tidak dapat saling mempengaruhi, dan tidak dapat saling meminta

pertanggungjawaban”.

27

25Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Yokyakarta: Genta Publishing, 2010, h. 85

Dengan kata lain “mencegah dan menghindari jangan

26Ibid, h. 86 27 H. Soehino,op.cit, h. 23

Universitas Sumatera Utara

sampai terjadi bahwa badan yang telah memegang satu kekuasaan Negara itu,

memegang pula kekuasaan negara yang lain”.28

Pemikiran mengenai perlunya mekanisme saling mengwasi dan kerja sama

telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahaan kekuasaan yaitu teori

pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian

fungsi-fungsi pemerintahan.

29 Menurut teori distribution of power pemisahan

kekuasaan tetap dijalankan namun dibarengi dengan mekanisme yang menekankan

saling mengawasi antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang

lain.30

Menurut C.F. Strong, suatu negara harus memiliki kekuasaan legislatif untuk

membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang,

dan kekuasaan yudikatif untuk kekuasaan peradilan bagi yang melanggar undang-

undang. Dengan kata lain, bahwa suatu negara dikatakan negara demokrasi

konstitusional (modern) terletak ditangan lembaga legislatif sebagai kekuasaan yang

terdiri dari salah satu atau dua majelis dalam parlemen suatu negara yang merupakan

hasil pilihan rakyat(demokrasi).

Dalam suatu negara yang menerapkan Separation of Power pada parlemen,

tidak terlepas pada model kamar yang ada dalam parlemen, yang menjadi acuan

dalam pembentukan suatu undang-undang dalam penyelenggaraan pemerintahan.

31

28Ibid, h. 24

29Sumali, ibid, h. 10 30Ibid 31C.F.Strong, ibid, h. 10-11

Universitas Sumatera Utara

Beberapa macam pembagian model kamar di parlemen yang di anut oleh

negara-negara di dunia, yaitu: sistem satu kamar (unicameral), dua kamar

(bikameral), tiga kamar (trikameral), dan empat kamar (tetrakameral). Dan sebagian

besar negara di dunia mengunakan sistem unikameral dan bikameral dalam parlemen

suatu negara. Dalam one cameral sistem atau unikameral, parlemen hanya terdiri

dari satu kamar atau satu badan atau lembaga perwakilan, namun demikian sistem

satu kamar mengunakan sistem komisi.32

Dalam struktur parlemen tipe satu kamar ini, tidak dikenal adanya dua kamar

atau dua majelis yang terpisah seperti adanya the House of Representatives dan

Senate di kongres Amerika Serikat, ataupun Majelis Rendah (DPR) dan Majelis

Tinggi (DPD) seperti di parlemen Indonesia. Tetapi justru sistem unikameral inilah

yang sesungguhnya lebih popular karena sebagian besar negara dunia sekarang ini

menganut sistem ini.

33 Sedangkan sistem bikameral lebih banyak dianut di negara-

negara yang berbentuk federasi, seperti Amerika Serikat. Dengan sistem ini negara

bagian dalam federasi terwakili dalam parlemen melalui senate, sedangkan rakyat

secara keseluruhan terwakili dalam parlemen melalui house of representatives.34

Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya

dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral (satu kamar) dan sitem

Sistem bikameral juga banyak dianut dalam sistem perwakilan suatu negara

berbentuk kesatuan sepeti dalam parlemen negara Filipina.

32H Subardjo, ibid, h. 47 33Charles Simabura, ibid, h. 34 34H Subardjo, ibid, h. 48

Universitas Sumatera Utara

bikameral (dua kamar) yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Selama berabad-abad,

kedua tipe struktur pengorganisasian demikian inilah yang biasa dikembangkan

dimana-mana. Oleh karena itu, dalam berbagai literature politik, kedua sistem inilah

yang dikenal.35

Parlemen sebagai wujud dari perwakilan rakyat mengharuskan bahwa

anggotanya mewakili seluruh rakyat. Pada mulanya Jean Jacques Rosseau sebagai

pelopor gagasan kedaulatan rakyat tidak menginginkan adanya badan perwakilan

rakyat. Ia mencita-citakan suatu bentuk “demokrasi langsung” (seperti terdapat di

Jenewa dalam masa hidup Rosseau), dimana rakyat secara lansung merundingkan

serta memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik.

36

Menurut Aristoteles sebagaimana dikutip oleh I Gede Pantja Astawa bahwa

“negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang dibedakan berdasarkan

sifatnya, yaitu: Pertama, negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang

dan sifatnya baik, karena pemerintahan ditunjukan untuk kepentingan umum maka

negara tersebut disebut Aristrokrasi. Kedua, negara yang pemerintahannya dipegang

Teori tersebut memandang

bahwa kekuasaan tertinggi di suatu negara ada pada rakyat, bukan raja ataupun

negara. Rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Penguasa negara atau

penyelenggara negara hanyalah pelaksana dari pada apa yang diputuskan atau

dikehendaki rakyat. Munculnya teori kedaulatan rakyat (demokrasi) ini merupakan

reaksi atas kedaulatan raja dan negara.

35Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996, h. 33

36Charles Simabura, Ibid, h. 27

Universitas Sumatera Utara

oleh beberapa orang, tetapi sifatnya jelek, karena pemerintahannya ditujukan untuk

kepentingan yang memegang pemerintahan maka negara tersebut disebut Oligarki.37

Aristokrasi adalah suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh beberapa

orang atau sekelompok kecil orang (kalangan bangsawan) yang membentuk satu

organ atau badan dalam suatu negara dengan tujuan yang baik untuk kepentingan

umum. Demokrasi suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat tetapi

sifat pemerintahannya jelek, karena pemerintahan hanya ditunjukan untuk

kepentingan si pemegang kekuasaan saja yang notabene berasal dari rakyat.38 Jadi

dapat disimpulkan bahwa Bikameralisme merupakan suatu paham pengembangan

sistem aristokrasi dan sistem demokrasi’39

Dalam melaksanakan kedaulatan rakyat, Menurut Miriam Budiharjo,

parlemen/legislatif sebagai perwakilan rakyat, harus memilki tiga fungsi penting

yaitu:

.

40

1. Menentukan policy (kebijakan) dan membuat undang-undang. Untuk itu

lembaga perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan

amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh

pemerintah dan hak budget.

37I Gde Pantja Astawa dan Sprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori Negara, Bandung: PT Refika Aditama, 2009, h. 95

38 Ibid 39Ibid 40Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h.

182

Universitas Sumatera Utara

2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan

eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk itu

parlemen diberi hak control khusus.

3. Fungsi lainnya, meliputi fungsi ratifikasi (ratify), yaitu mensahkan perjanjian

Internasional yang dibuat oleh eksekutif. Di Amerika, lembaga legislatif

bahkan memiliki wewenang untuk meng-“impeach” dan menuntut pejabat

tinggi termasuk Presiden.

Menurut Moh. Mahmud MD, ada dua alasan dipilihnya kedaulatan rakyat

(demokrasi) sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua

negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental.

Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah

bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi

tertingginya.41

Organisasi tertinggi dalam suatu negara yang demokratis, tidak berada dan

dijalankan oleh satu badan, tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga

seperti yang dikemukakan ajaran trias polita. Negara yang menganut teori kedaulatan

rakyat, bahwa kekuasaan dipegang dan dijalankan oleh beberapa lembaga yang

terbentuk dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat (demokrasi), karena rakyatlah yang

pada dasarnya memiliki kekuasaan maka pelaksanaan tugas harus

41Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarata: Gamma Media, 1999, h.4

Universitas Sumatera Utara

dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui mekanisme dan tata cara menurut

konstitusi.

Jadi negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

kehendak dan kemauan rakyat, jadi jalannya pemerintahan suatu negara dilakukan

oleh rakyat itu sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan

rakyat. Dalam kaitan tersebut Hendry B. Mayo memberi pengertian sebagai

berikut.42

“A democratic political sistem is one in which public policies are made on a

majority basis, by representatives subject to effective popular control at

periodic election which are conducted on the principle of political equality

and under conditions of political freedom.”

(Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukan bahwa kebijakan

umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara

efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas

prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dlam suasana terjaminannya

kebebasan politik).

Dalam prinsip negara berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi), kekuasaan

negara perlu dibatasi agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh penguasa

negara. Dengan mengacu pada Trias Politika yang dipelopori oleh Monstesquieu

dan teori kedaulatan rakyat (demokrasi) oleh

42Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000, h.19

J.J.Rosseau dalam ketatanegaraan

Universitas Sumatera Utara

Indonesia, maka dapat tarik kesimpulan bahwa tiga kekuasaan negara dalam

pemerintahan Indonesia membagi kekuasaan negara dalam tiga badan yaitu :

1. Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat,

menetapkan undang-undang dalam arti formil, dan mengatur dalam arti

material yaitu setiap undang-undang yang dibuat oleh pemerintah mempunyai

daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah (provinsi) dari

suatu negara, serta mengawasi pelaksanaan undang-undang itu.

2. Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan

undang-undang.

3. Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan mengeksekusi atau

menghukum bagi yang melanggar undang-undang, dan mengadili perselisihan

antara lembaga-lembaga dan lainnya yang diatur dalam konstitusi dan

menyelesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.

Berdasarkan pandangan teoritis yang dikemukan diatas, bahwa pada dasarnya

sistem parlemen/pewakilan dalam sistem pemerintahan suatu negara harus memiliki

prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi), pemisahan kekuasaan dan pelaksanaan

check and balances antara lembaga-lembaga negara dalam penyelenggaraan

pemerintahan suatu negara berdasarkan konstitusi, pemilihan umum (perwakilan)

yang demokrasi, adanya pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal. Pemisahan

kekuasahan tersebut terdiri dari badan pembuat undang-undang (legislatif), badan

pelaksana undang-undang (Eksekutif) , dan kekuasaan mengadili bagi pelanggaran

Universitas Sumatera Utara

undang-undang (yudikatif),

yang diatur dalam konstitusi dalam suatu negara. Adanya

landasan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, dan

sistem parlemen atau sistem perwakilan harus disesuaikan dengan keinginan suatu

negara dengan melihat sejarah pemerintahan atau sejarah ketatanegaraan negara.

2. Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual, peneliti menggabungkan teori dan konsep dalam

penelitian hukum, dimana teori dan konsep (pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin) yang digunakan menjadi referensi bagi peneliti dalam menyusun konsep

penelitian.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu

hukum, peneliti akan menemukan ide konsep hukum, dan asas-asas hukum yang

relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan

doktri-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumuntasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.43

Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang dipergunakan

dalam penelitian ini, berikut ini adalah konsepsi dan defenisi operasional dari istilah

tersebut yang akan dijelaskan dalam permasalahan yang diangkat.

43Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 95

Universitas Sumatera Utara

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini,

maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep

dibawah ini:

a. Sistem

Menurut Wayne Sandholts, Sistem dalam hal in diartikan secara sempit

sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara tata aturan dengan

kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena kelembagaan dapat

didefenisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasi dalam seperangkat

produk hukum.44

b. Kameralisme

Kameralisme merupakan wujud dari model-model majelis atau kamar pada

lembaga perwakilan rakyat dalam parlemen. Penerapan paham kameralisme dalam

parlemen di umpamakan, apakah dalam parlemen suatu negara mengunakan satu

kamar (unikameral), dua kamar (bikameral), tiga kamar (trikameral), atau empat

kamar (tentrakameral).

Pilihan suatu negara dalam menerapkan paham kameralisme dalam parlemen,

merupakan kehendak suatu negara karena dilatar belakangi sejarah ketatanegaraan,

bukan karena landasan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, bentuk sistem

pemerintahan negara. Seperti yang dikemukakan oleh Bagir manan sebelumnya,

44Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Kostitusi Press, 2005, h. 105

Universitas Sumatera Utara

bahwa sejarah pemerintahan atau sejarah ketatanegaraan negara yang dapat

menentukan apakah mengunakan sistem parlemen satu kamar, dua kamar atau lebih.

Dalam kaitannya dengan keberadaan DPD sebagai kamar kedua dalam

parlemen Indonesia, maka terarah untuk memfokuskan pada pelaksanaan sistem

bikameral dalam dalam parlemen negara kesatuan, namun dapat dilihat parlemen

pada negara serikat sebagai bahan tambahan untuk memperkuat paham

bikameralisme yang diterapkan pada negara kesatuan.

Bikameralisme adalah komponen yang esensial pada separation of power atau

pemisahan kekuasaan dalam kerangka pandangan tersebut, seperti yang dituliskan

oleh James Madison dalam Federalist No. 51, “Dalam pemerintahan Republik,

kekuasaan legislatif perlu menonjol. Memperbaiki kesulitan ini adalah dengan

membagi legislatif ke dalam cabang-cabang yang berbeda; dan membuat mereka,

dengan perbedaan cara pemilihan dan perbedaan prinsip-prinsip dalam bertindak,

seperti mempunyai sedikit hubungan dengan yang lainnya sebagai sifat dasar dari

fungsi-fungsi mereka yang lazim dan ketergantungan mereka yang biasa pada

masyarakat yang akan mengakui”.45

Sistem bikameral adalah sistem dua kamar dalam parlemen suatu negara

dimana terdapat dua lembaga dalam badan legislatif yang memiliki kekuasaan untuk

membentuk undang-undang, mengawasi pelaksanaan dari undang-undang yang

45Barbara Sinclair dalam Tim Peneliti; Satya Arinanto, Reni Dwi Purnomowati, LuluMariana, Bani Arofah, Struktur Organisasi dan Kerangka Prosedural bagi Penyempurnaan Rancangan Kelembagaan DPD RI: Parliamentary Reform Initiatives and DPD Empowerment Sekretariat Jenderal DPD RI bekerja sama dengan United Nations Development Programme 2006, h. 38

Universitas Sumatera Utara

dibentuk dan saling mempengaruhi dalam suatu ‘kebijakan politik’46

c. Kedudukan

, dalam rangka

untuk menciptakan check and balances dalam parlemen suatu negara.

Menurut Philipus M. hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu

posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Kedua,

kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi

utamanya.47

Secara teoritik, keberadaan lembaga negara sebagai lembaga

parlemen/legislatif serta peranannya dapat ditarik ke beberapa hal. Salah satunya

adalah semangat demokrasi. Semangat demokrasi menjadi alasan bagi keberadaan

Peranan dapat diartikan, bahwa setiap lembaga negara memiliki peranan

dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara, peran lembaga negara

tidak terlepas dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi (UUD NRI 1945)

sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

46Menurut Carl J. Fredrich, Kebijakan adalah konsep serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seorang atau sekelompok orang atau pemerintahn dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan.

Politics, Polity, dan Policy adalah kehidupan politik ”political life” yangmengambarkan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan bagaimana perhubungannya serta bagaimana pengaruh mereka di dalam perumusan dokumen-dokumen kebijakansanaan politik.

Dengan demikian , bahwa kebijakan politik adalah kebijakan negara, kebijakan pemerintah, atau kebijakan publik (public policy) adalah serangkaian tidakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintahn dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Lihat dalam Solly Lubis, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju, 2007, h. 3, 5, 7, 9

47Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD NRI 1945, Surabaya: Bina Ilmu, 1992, h.x

Universitas Sumatera Utara

lembaga parlemen/legislatif karena salah satu prasyarat mutlak demokrasi adalah

kebutuhan akan partisipasi yang baik dalam menjalankan prinsip kedaulatan rakyat.48

Kedudukan dan peranan suatu lembaga negara yang diatur dalam konstitusi,

memiliki hubungan dengan lembaga-lemabaga negara lainya dengan kewenangan

yang diberikan konstitusi untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara

dalam kaitanya untuk menjalankan kekuasaan negara.

d. DPD

DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga

negara yang berdampingan dengan DPR di MPR. Anggota DPD dipilih melalui

pemilihan umum dengan calon perseorangan, yang sebagaimana diatur dalam pasal

22C UUD NRI 1945. Memiliki kewenangan yang diatur dalam pasal 22D UUD NRI

1945. Untuk selanjutnya mengenai Tugas dan Kewenangan DPD lebih jauh

dijelaskan dalam Undang-Undang.

Keberadaan Kedudukan DPD dalam lembaga perwakilan rakyat tercermin

dalam pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: MPR terdiri atas anggota DPR

dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut

dengan undang-undang.

Kedudukan DPD diatur dalam BAB IV tentang Susunan dan Kedudukan

DPD dalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam

48Saldi Isra dan Zainal Arifin Mochtar, ibid, h. 118

Universitas Sumatera Utara

pasal 222 yang berbunyi: DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang

berkedudukan sebagai lembaga Negara.

e. Parlemen Indonesia

Parlemen adalah sebuah badan legislatif, yang terdiri atas beberapa kamar

atau majelis, dan biasanya berbentuk unikameral atau bikameral meskipun terdapat

beberapa model yang lebih rumit.

Istilah parlemen dan legislatif memiliki makna yang berbeda tergantung pada

sistem yang digunakan. Dalam sistem presidensial seperti Amerika, Kongres

(parlemen) dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan.

Lembaga legislatif dimaknai sebagai kekuasaan pemerintah yang mengurusi

pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan undang-undang

(statutory force). Sedangkan dalam tradisi sistem parlementer terdapat perbedaan

antara lembaga pemerintah dan parlemen. pemerintah dalam arti sempit memiliki

fungsi eksekutif dan pengertiannya tidak mencakup fungsi lembaga legislatif yang

disebut parlemen.49

Parlemen adalah badan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan badan

perwakilan. Parlemen suatu negara adalah suatu badan kekuasaan dalam sistem

pemerintahan, yang menjelma sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan

merumuskan dan membentuk undang-undang serta mengawasi jalannya undang-

49Charles Simabura, Ibid. h. 26

Universitas Sumatera Utara

undang. Sebagai badan parlemen, selain hal tersebut juga sebagai lembaga mewakili

rakyat dalam memenuh tugas dan kewajiban dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Parlemen Indonesia adalah Lembaga Perwakilan Rakyat (di pusat) yang

terdiri dari MPR, DPR dan DPD, dalam hal ini lembaga legislatif adalah DPR, dan

DPD sebagai lembaga pendamping DPR, serta DPRD sebagai lembaga perwakilan

rakyat (di daerah) dalam pelaksanaan tugasnya dimuat dalam UUD NRI 1945 dan

undang-undang tertentu.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam pokok permasalahan ini adalah

penelitian normatif, hal ini dimaksudkan agar peneliti sejauh mungkin dapat

mengetahui apa yang menjadi alat ukur dalam membahas penelitian ini, sehingga

dapat mencari setitik kebenaran tujuan dalam penelitian ini.

Menurut Bagir manan, penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah

dan asas hukum yang ada.50 Menurut Haryono, suatu penelitian normatif tentu harus

mengunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah

berbagai aturan hukum yang menjadi focus sekaligus tema sentral suatu penelitian.51

50Bagir manan dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 13

Menurut Kusumadi Pudjosewojo, penelitian normatif yang mengunakan pendekatan

51Haryono dalam Johnny Ibrahim, Teori Dan MetodologiPenelitan Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publisshing, 2010, h. 302

Universitas Sumatera Utara

sejarah memungkinkan seseorang peneliti untuk memahami hukum secara lebih

mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau suatu pengaturan hukum tertentu

sehingga dapat memperkecil kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan

suatu lmbaga atau ketentuan hukum tertentu.52

Jenis penelitian dalam pokok permasalahan ini adalah penelitian normatif,

dimana dengan melakukan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut

diatas, yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah pada taraf sinkronisasi dari

peraturan perundang-undangan, yakni taraf sinkronisasi secara vertical dan secara

horizontal.

53

Sejauh mana pengaturan lembaga perwakilan rakyat yang konsisten dan

sinkron, baik secara vertical maupun secara horizontal, antara yang satu dengan yang

lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini

juga bersifat deskriptif kualitatif, dikatakan demikian karena penulis lebih awal untuk

mengetahui dan memaparkan informasi secara teoritis dan sistematis mengenai

kedudukan dan peranan DPD dalam pelaksanaan sistem bikameral di parlemen

Indonesia.

2. Sumber Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dari

perpusatakaan dan dokumen-dokumen resmi. Jenis sumber data yang diperoleh dalam

52Kusumadi Pudjosewojo dalam Johnny Ibrahim, ibid, h. 318 53Penelitian taraf sinkronisasi secara vertikaldilakukan dengan menguji asas-asas atau norma-

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian taraf sinkronisasi secara horizontal dilakukan dengan menguji sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional adalah konsisten. Lihat dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, h. 256

Universitas Sumatera Utara

penelitian ini, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Kedua

data tersebut diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus

penelitian ini, antara lain berupa:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri

dari UUD NRI 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD NRI 1945

Pasca Amandemen serta peraturan organik lainya (organieke wetordening)

seperti: UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD,

UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan

DPRD, UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian terdahulu (karya

ilmiah) berupa buku-buku teks, jurnal ilmiah dan laporan hasil penelitian

yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum

sekunder seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan media internet sebagai

bahan penunjang informasi dalam melengkapi data dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir

Universitas Sumatera Utara

berbagai bahan hukum yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier melalui penelusuran kepustakaan (library research), yakni

dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisis

literature-literatur, baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen

maupun buku-buku teks, serta karya ilmiah lainya dengan cara menfotocopy,

menyalin atau memindahkan data yang relevan dengan kebutuhan dalam

penelitian ini.

4. Analisis Data

Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dan mengelolah

secara sistematis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan

hukum tersebut dengan mengunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif

dimaksudkan dengan menganalisis data berdasarkan pandangan teori dan bahan

hukum yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat dikemukakan

yang perlu dalam penelitan ini.

Kemudian dianalisis dengan mengunakan pendekatan perundang-

undangan (Statute Aprroach) yakni untuk memahami hierarki, dan asas-asas

dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu yang diteliti.

Dan pendekatan historis (Historical Approach) yakni usaha mengambil

kesimpulan berdasarkan interpretasi sejarah ketatanegaraan, tujuan dibentuknya

Universitas Sumatera Utara

suatu lembaga negara dan juga memprediksi hal-hal yang akan terjadi di masa

akan datang.54

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yakni:

Memilih pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi

tertentu dan mempermudah dalam penelitian. Mengkaitkan bahan-bahan hukum

yang ada dengan kaedah-kaedah hukum tersebut.

54Lihat dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 96, 126

Universitas Sumatera Utara