tugas mph normatif s2

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang memiliki aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum. Untuk mengatasi masalah korupsi, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tindak pidana korupsi bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi, tetapi juga dapat merugikan keuangan negara. Korupsi sebagai tindak pidana khusus merupakan masalah yang sangat mengganggu, menghambat dan mengancam 1

Upload: brantatamba

Post on 17-Sep-2015

268 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

metode penelitian hukum normatif

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangKorupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang memiliki aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum. Untuk mengatasi masalah korupsi, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tindak pidana korupsi bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi, tetapi juga dapat merugikan keuangan negara. Korupsi sebagai tindak pidana khusus merupakan masalah yang sangat mengganggu, menghambat dan mengancam pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara atau perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional.[footnoteRef:2]) Apabila melihat sejarahnya ke belakang, sejatinya praktek korupsi di negeri ini jauh terjadi sejak era sebelum kemerdekaan, yaitu adanya pemberian upeti dari pemimpin daerah atau para kepala desa kepada raja-raja yang berkuasa. Upeti-upeti tersebut diserahkan untuk menunjukkan adanya ketaatan antara bawahan kepada pemimpinnya. Juga untuk memberikan perlindungan dari raja kepada pemimpin di daerah, baik secara fisik berupa perlindungan hukum maupun nonfisik dalam bentuk pengakuan kedaulatan. Hal ini kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi dan kebiasaan.[footnoteRef:3]) Menurut Simorangkir dkk, dalam kamus hukum menyebutkan analisis adalah uraian, kupasan mengenai suatu soal.[footnoteRef:4]) [2: ) Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, LNRI Tahun 1999 Nomor 140; TLN 3874; Konsiderans Menimbang Huruf a ] [3: ) M. Iwan Satriawan, Relasi Politik dan Korupsi, Lampungpos.com, 2 Juni 2012 dalam http://www.lampungpost.com/index.php/opini/37362-relasi-politik-dan-korupsi-m-iwan-satriawan-dosen-hukum-tata-negara-universitas-lampung.html, diunduh 11 September 2012.] [4: ) J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.6]

Lambat laun praktek upeti dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar untuk dilaksanakan jika ingin dipermudah masalah birokrasinya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Jika tidak dilakukan, akan dianggap sebagai suatu hal yang aneh. Akhirnya, semua praktek korupsi di negeri ini menjadi sebuah budaya yang sangat sulit untuk dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali karena sudah menjadi sebuah budaya.Akhir-akhir ini banyak politisi yang terjerat kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan kejahatan korupsi, mulai dari para kepala daerah, pengurus partai politik, menteri, hingga anggota legislatif di Senayan. Salah atunya adalah kasus yang menimpa Angelina Sondakh, politisi Partai Demokrat yang diduga telah menerima uang suap dari proyek Wisma Atlet.[footnoteRef:5]) [5: ) Ibid.]

Ketidakberdayaan hukum dihadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.[footnoteRef:6]) [6: ) Amin Rahayu, SS., Sejarah Korupsi di Indonesia, http://mediakpkkudus.blogspot.com/, diunduh 15 Maret 2015.]

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Disadari memang upaya untuk memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah, bahkan upaya pemberantasan korupsi tersebut telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanyan 2 (dua) ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dihasilkan dalam kurun waktu antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1998, yaitu Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Disamping kedua peraturan perundang-undangan tersebut, untuk memberantas korupsi juga telah dikeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan adanya TAP MPR ini, maka amanat telah diberikan negara kepada penyelenggara negara untuk memberantas tindak pidana korupsi.Sejak dikeluarkannya TAP MPR tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Selain upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang-undangan tersebut di atas upaya lain yang dilakukan adalah dengan penetapan pembayaran uang pengganti. Ketentuan uang pengganti ini muncul pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam Pasal 34 sub c, sebagai pidana tambahan. Pada penjelasannya disebutkan bahwa tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari usaha pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara. Kemudian undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 18 huruf b juga mengatur masalah pidana pengganti yang menyatakan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.Setiap orang yang menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi ini selain mendapat pidana kurungan dan pidana denda juga harus ada uang penggantinya sebagai ganti kerugian negara atas kekayaan negara yang telah habis dipakai oleh terdakwa korupsi. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor ialah adanya kerugian keuangan negara/perekonomian negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara yang menjeratkan, tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Hasi dari pengembalian kerugian negara diharapkan mampu mentupi ketidakmampuan negara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan. Penerapan uang pengganti dalam perkara korupsi sampai saat ini masih mengalami hambatan penerapannya. Hal ini dikarenakan masih kurang mendapat perhatian serius karena masalahnya cukup rumit dan belum sempurnanya perangkat undang-undang yang mengaturnya. Pada UU Tipikor tersebut masih terkendala karena kurang lengkapnya pengaturan tata cara peradilan tindak pidana korupsi dalam hal mengembalikan uang negara yang dikorupsi. UU Tipikor hanya memuat sekelumit ketentuan mengenai hukum acara khusus dalam pemberantasan korupsi, di samping hukum acara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 31 tahun 1999.[footnoteRef:7]) [7: ) Michael Barama, Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi, Makalah, Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hal.2.]

Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Assegaf, persoalan uang pengganti membuat repot, mengingat dalam UU Tipikor memang tidak diatur uang pengganti yang tidak dapat dibayar seluruhnya. Bagi Assegaf tidak adil apabila ahli waris terpidana yang harus bertanggungjawab menanggung untuk uang pengganti. Menurutnya, perhitungan konvensi lamanya pidana penjara dengan uang pengganti terpidana korupsi yang masih tertunggak layak dilakukan. Dengan demikian jika seseorang terpidana korupsi hanya mampu membayar setengah uang pengganti kerugian negara yang menjadi kewajibannya, maka setengah uang pengganti dapat dikonvensikan setengah pidana penjara subsider yang mesti ditanggung.[footnoteRef:8]) [8: ) Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hal.25. ]

Indriyanto Seno Aji[footnoteRef:9]) berpendapat bahwa dalam asas hukum pidana, pembayaran uang pengganti yang tidak maksimal tidak bisa diganti pidana subsider. Pidana subsider untuk uang pengganti hanya diberikan bila terpidana tidak mampu membayar sama sekali. Uang pengganti tersebut dimaksudkan untuk mengganti uang hasil korupsi yang mungkin saja sudah dinikmati, baik semua maupun sebagian. Uang yang bisa diselamatkan selanjutnya akan digunakan untuk kesjahteraan rakyat. [9: ) Indriyanto Seno Aji, Arah Peradilan Terpadu Indonesia Suatu Tinjauan Pengawasan Aplikatif dan Praktek Dengan Mencari Format Pengawasan Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, tanpa tahun), hal. 3.]

Meskipun demikian, hambatan yang ada tidak menyurutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas segala bentuk tindak pidana korupsi. Salah satu upayanya yaitu KPK menerapkan Pasal 18 UU Tipikor yang umumnya dikenakan pada pelaku yang melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yaitu yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara. namun pada kasus Angelina Sondakh, KPK menerapkan Pasal 18 UU Tipikor sebagai terobosan baru untuk memaksimalkan efek jera. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Cara seperti ini merupakan langkah progresif KPK untuk mengatasi kejahatan korupsi yang kategorinya kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).[footnoteRef:10]) [10: ) Anonim, Penggunaan Pasal 18 UU Tipikor Untuk Efek Jera, Sabtu, 8 September 2012, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt504b38e31d30e/penggunaan-pasal-18-uu-tipikor-untuk-efek-jera, diunduh 9 September 2012.]

Mahkamah Agung (MA) telah memperberat hukuman terpidana kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Angelina Sondakh, dari empat tahun enam bulan penjara menjadi 12 tahun penjara.Dalam putusan kasasi yang dikeluarkan MA baru-baru ini juga menyatakan bahwa Mantan Anggota DPR dari Fraksi Demokrat diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp12,58 milliar dan 2,35 dolar Amerika atau sekitar Rp27,4 milliar.Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad menilai putusan hakim MA tersebut telah memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Putusan seperti itu diharapkan lanjut Abraham dapat memberikan efek jera terhadap koruptor yang kerap mendapatkan hukuman yang tidak setimpal.Dia menyatakan putusan MA terhadap Angelina Sondakh sudah sangat tepat di tengah pusaran pemikiran hukum para penegak hukum yang masih jauh dari keadilan dan tidak mampu menangkap kekhawatiran masyarakat terkait upaya pemberantasan korupsi.Abraham mengungkapkan putusan hakim MA terhadap Angelina Sondakh harus menjadi tolok ukur bagi hakim-hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap koruptor[footnoteRef:11]. [11: ) http://www.voaindonesia.com/content/putusa-ma-angelina-sondakh-harus-jadi-tolaj-ukur-haki-lain-/1796048.html, diunduh tanggal 15 maret 2015.]

Kita ingin setiap terdakwa kasus korupsi putusannya bisa memberikan efek jera sehingga orang berfikir seribu kali untuk melakukan korupsi . Kita mengapresiasi putusan dari Mahkamah Agung. Kita mengapresiasi telah memberikan keadilan di dalam masyarakat, kata Abraham Samad.Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Sahuri mengungkapkan bahwa putusan kasasi MA terhadap Angelina Sondakh (Angie), sebagai obat kekecewaan publik terhadap putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang sebelumnya hanya menjatuhkan pidana empat setengah tahun penjara.Putusan itu telah mengobati kekecewaan masyarakat pada saat putusan di pengadilan negeri yang menghukum empat tahun. Dan ini saya rasa putusan yang terberat yang dikeluarkan Mahkamah Agung terhadap koruptor pasca putusan terhadap Abdullah Puteh 10 tahun. Setelah itu putusan terhadap koruptor turun-turun empat tahun, dua tahun, tiga tahun seperti itu, nah ini barulah 12 tahun, kata Taufiqurrahman Sahuri.Sementara itu Kuasa Hukum Angelina Sondakh, Teuku Nasrullah mengatakan Angelina Sondakh sangat terpukul dan sedih atas putusan Mahkamah Agung tersebut.Nasrullah menilai putusan MA tidak berperikemanusiaan karena tidak melihat Angelina Sondakh yang merupakan seorang ibu yang harus meninggalkan 3 orang anak tanpa ayah.Putusan hakim itu lanjutnya juga tidak melihat fakta-fakta hukum di persidangan dimana Angelina Sondakh hanyalah perantara untuk membagikan uang kepada anggota DPR lainnya sebesar Rp12,58 milliar dan menerima imbalan sebesar 2,3 juta dolar AmerikaDalam putusan kasasi MA, Angelina dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.Berdasarkan uraian di atas tadi, maka penulis tertarik ingin mengetahui dan mendalami lebih jauh mengenai pemidanaan tambahan uang pengganti dalam bentuk penulisan tesis ini dengan judul: ANALISIS PENERAPAN HUKUMAN UANG PENGGANTI YANG TERBUKTI MELAKUKAN SUAP PADA KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI ANGELINA SONDAKH (STUDI KASUS PUTUSAN NO.1616 K/PID.SUS/2013).

B. Rumusan MasalahPada penulisan tesis ini, Rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Apakah penerapan hukuman uang pengganti terhadap pelaku suap telah sesuai dalam kasus Angelina Sondakh?2. Apakah uang pengganti dapat dijadikan sebagai pidana tambahan pada perkara tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Kegunaan PenelitianTujuan penelitian tentunya tidak terlepas dari rumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga tujuan penelitian ini adalah :1. Untuk mengetahui apakah hukuman pembayaran uang pengganti dapat diterapkan atau tidak dalam kasus Angelina Sondakh.2. Untuk mengetahui apakah uang pengganti dapat dijadikan sebagai pidana tambahan pada perkara tindak pidana korupsi.Adanya suatu penelitian ini diharapkan memberikan nilai guna bagi bidang ilmu yang diteliti. Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Kegunaan Teoretisa. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana, khususnya mengenai pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan referensi di bidang karya ilmiah lainnya.b. Memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai sistem pemidanaan khususnya pidana tambahan uang pengganti terhadap tindak pidana korupsi pada kasus Putusan Kasasi NO.1616 K/PID.SUS/2013). dengan terdakwa Angelina Sondakh.2. Kegunaan Praktisa. Bagi penulis selaku mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum pidana, khususnya pidana tambahan uang pengganti pada tindak pidana korupsi. b. Bagi lembaga kehakiman, karena dijatuhkan tidaknya pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah merupakan kewenangan hakim/diskresi hakim, maka setidaknya hakim dapat mengambil terobosan agar uang dari hasil kejahatan korupsi dapat dikembalikan ke negara untuk kepentingan rakyat.

D. Tinjauan PustakaSoerjono Soekanto mendefinisikan kerangka konseptual atau tinjauan pustaka adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.[footnoteRef:12]) Pengertian lain menyebutkan bahwa kerangka konseptual merupakan kerangka yang memberikan gambaran mengenai hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.[footnoteRef:13]) Atas dasar pemahaman pengertian tersebut di atas, maka kerangka konseptual yang dapat penulis kemukakan pada penulisan tesis adalah sebagai berikut: [12: ) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), hal .132.] [13: ) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Tesis Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 43A-D/FH-UNTAR/VIII/2012, ),.]

Pengertian analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya (sebab-musabab, duduk perkara, dan sebagainya); penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.[footnoteRef:14]) [14: ) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.43.]

Pengertian kemungkinan yaitu keadaan yang mungkin; keadaan yang memungkinkan sesuatu terjadi atau sesuatu yang mungkin terjadi.[footnoteRef:15]) Pengertian lain dari kemungkinan yaitu dapat kejadian, tidak mustahil atau juga berarti dapat, boleh jadi.[footnoteRef:16]) [15: ) Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.kbbi.web.id/ , diunduh 11 November 2012.] [16: ) Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Batavia Press, 2008), hal. 364.]

Menurut Adami Chazawi, pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan-perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.[footnoteRef:17]) AZ. Abidin dan Andi Hamzah mengemukakan bahwa pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik.[footnoteRef:18]) [17: ) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 24.] [18: ) AZ. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Yasrif Wantampone, 2012), hal.41.]

Berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Rusli Efendy[footnoteRef:19]) mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana menjelaskan perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan serta diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah dipisahkan satu sama lainnya. Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini dapat mempunyai arti yang lain yang umpamanya peristiwa alamiah. [19: ) Rusli Effendi, Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung, Alumni, 1983), hal.1.]

Menurut J. Bauman sebagaimana dikutip Sudarto, yang mengemukakan bahwa perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. [footnoteRef:20]) Selanjutnya menurut Wiryono Prodjodikoro sebagaimana dikutip Tongat, menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.[footnoteRef:21]) Aliran monistis menerjemahkan strafbaarfeit ke dalam tindak pidana dengan menyatakan bahwa, suatu perbuatan yang pada pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelaku tersebut termasuk subyek tindak pidana. Kemudian Van Hammel sebagaimana dikutip oleh Andi Zainal Abidin[footnoteRef:22]) yang berpandangan monistis merumuskan strafbaarfeit bahwa, perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten). [20: ) Soedarto. Hukum Pidana Jilid I A-B. (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1975), hal. 31-32.] [21: ) Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. (Malang : UMM Press, 2008), hal. 106.] [22: ) Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I. (Ujung Pandang: Lephas, 1987), hal.250.]

Menurut M.W. Patti Peilohyberbicara mengenai pengertian uang pengganti dalam tindak pidana korupsi sangatlah sulit merumuskannya, karena sangat kurang para ahli hukum yang memberi pengertian tentang uang pengganti, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memberikan peristilahan uang pengganti tidak memberikan defenisi yang jelas tentang apa itu uang pengganti. Dalam Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Pasal 18 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya mengelompokkan uang pengganti ke dalam salah satu pidana tambahan selain yang dimaksud dalam Pasal 10 sub b KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Hubungannya dengan pengertian uang pengganti. Menurutnya pada prinsipnya pembayaran uang pengganti berbeda pengertiannya dengan yang dimaksud ganti rugi menurut hukum perdata. Pembayaran uang pengganti merupakan salah satu jenis pidana tambahan yang dikenakan pada terpidana tindak pidana korupsi menyangkut perbuatan korupsi yang telah dilakukannya. Sedangkan pengertian ganti rugi yang dimaksud dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dihubungkan dengan perbuatan korupsi, dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku korupsi dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah uang pengganti. [footnoteRef:23]) [23: ) M.W. Patti, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai Pembayaran Uang PenggantiBagian I, (Ujung Pandang: Dipajaya, 1994), hal.45.]

Kata korupsi berasal dari bahasa latin, corrupti atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah sebagaimana dibacah dalam The Lexion Webster Dictionary.[footnoteRef:24]) Dari bahasa latin itu, turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruptio, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie (koruptie). Dari Bahasa Belanda inilah turun ke Bahasa Indonesia menjadi korupsi.[footnoteRef:25]) [24: ) Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984), hal.7. ] [25: ) Ibid.]

Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemrosotan dari yang semula baik, sehat, dan benar menjadi penyelewengan dan perbuatan buruk. Kemudian, arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh W.J.S. Perwadarminta bahwa kata korupsi untuk perbuatan yang busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.[footnoteRef:26]) [26: ) W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hal. 871. ]

Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor menyebutkan bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Aturan tersebut merupakan konsekuensi dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian keuangan tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.E. Landasan TeoriPembayaran Uang Pengganti dalam kasus Tindak Pidana KorupsiDalam rangka melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah telah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang pidana uang pengganti bagi terdakwa kasus korupsi. Pengaturan pidana uang pengganti dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan uang yang dikorupsi. Namun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut tidak secara tegas menentukan kapan uang pengganti itu harus dibayarkan, dan apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Hanya dalam bagian penjelasan Undang-Undang tersebut disebutkan, apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah ketentuan-ketentuan tentang pembayaran denda. Pada saat itu masalah inilah yang coba diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1985. Surat Edaran itu mendorong jaksa untuk melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang pengganti tidak bisa dilaksanakan karena berbagai hal. Kelemahan hukum ini telah dikoreksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua Undang-Undang tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam penjara. Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya.[footnoteRef:27]) [27: ) Anonim. Uang Pengganti (2): Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng, http://hukumonline.com/detail.asp?id=14214&cl=Fokus, diunduh 9 Maret 2013.]

Pasal 17 jo 18 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa:Pasal 17Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 18(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Ketentuan mengenai pembayaran uang pengganti tidak dikenal dalam ketentuan mengenai pidana tambahan dalam KUHP. Umumnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku yang melakukan tindak pidana di bidang harta benda adalah pidana penjara atau pidana denda. Pidana denda ini dianggap sebagai pidana pengganti atas kerugian harta benda korban yang disebabkan oleh tindak pidana yang dilakukan terdakwa.[footnoteRef:28]) Dalam undang-undang korupsi selain dapat dijatuhi pidana penjara dan atau pidana denda, terdakwa juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketika seseorang terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 5.000.000.000, orang tersebut dapat dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 5.000.000.000 di samping dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000. [28: ) Mahrus Ali, Op.Cit., hal.64. ]

Dijatuhkan tidaknya pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah merupakan kewenangan hakim/diskresi hakim, bukan merupakan suatu keharusan dan tidak bersifat imperartif sebagaimana dapat disimpulkan dari kata dapat dalam Pasal 17 UU Tipikor yang menentukan selain dapat dijatuhkan pidana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Dengan kata lain hal tersebut bersifat fakultatif (boleh dikenakan atau tidak).Meskipun bersifat fakultatif, namun dalam pelaksanannya masih ada keragu-raguan baik di pihak penuntut umum maupun hakim. Sering terjadi uang pengganti masih dapat digantikan dengan pidana penjara (Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor), padahal uang pengganti tidak sama dengan denda.Hakekat uang pengganti adalah hutang yang harus dilunasi terpidana kepada negara. Utang tersebut sewaktu-waktu dapat ditagih melalui gugatan perdata yaitu seandainya dalam pelaksanaan kali ini jumlah uang barang-barang yang dimiliki terpidana sudah tidak mencukupi lagi. Kewenangan ini dilakukan oleh pihak kejaksaan sebagai pengacara negara.Konsep pidana pembayaran uang pengganti dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi yang seberat-beratnya agar memiliki efek jera. Mencerna dari undang-undang yang lama maupun yang baru setiap orang sepatutnya takut untuk melakukan korups. Bagaimana tidak, begitu seseorang yang masuk dakwaan korupsi, baik yang melakukan korupsi secara aktif maupun percobaan melakukan korupsi maka mau tidak mau ia harus berhadapan dengan sanksi pidana yang berlapis-lapis. Misalnya selain pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, juga diancam dengan pidana tambahan yang salah satunya berupa hukuman pembayaran uang pengganti.Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana pembayaran uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu tindak pidana korupsi. Menurut UU Tipikor salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Maka dengan adanya unsur ini setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.[footnoteRef:29]) [29: )Anonim, Uang Pengganti (1): Devisa Negara Tanpa Aturan Yang Jelas, http://hukumonline.com/detail.asp?id=14213&cl=Fokus, diunduh 11 September 2012.]

F. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.[footnoteRef:30]) Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.[footnoteRef:31]) [30: ) Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 35.] [31: ) Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 24.]

Pada penulisan ini, jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif.[footnoteRef:32]) Metode penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang didasarkan pada literatur atau studi dokumen yang diambil dari bahan-bahan pustaka atau yang dikenal dengan library research. Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua) yaitu bahan hukum dan bahan non hukum. [32: ) Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 141.]

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 (tiga) macam bahan pustaka yang dipergunakan oleh penulis yakni:1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini, bahan hukum perimer yang penulis gunakan yaitu bahan yang merupakan ketentuan utama seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2. Bahan Hukum Sekunder, diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku, surat kabar, jurnal-jurnal hukum, data dari internet yang berhubungan dengan penulisan ini.3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.Bahan-bahan tersebut di atas disebut juga sebagai bahan hukum, sedangkan bahan non hukum meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan hasil wawancara untuk mendukung penelitian hukum normatif. Adapun wawancara ditujukan kepada praktisi hukum pidana, jaksa dan hakim pengadilan tindak pidana korupsi.Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah:[footnoteRef:33]) [33: ) Ibid., hal. 93.]

2. Pendekatan undang-undang (statute approach)3. Pendekatan kasus (case approach)4. Pendekatan historis (historical approach)5. Pendekatan komparatif (comparative approach)6. Pendekatan konseptual (conceptual approach)Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah undang-undang yang berkaitan dengan penulisan tesis ini dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.[footnoteRef:34]) Pendekatan konseptual (conceptual approach) berarti memahami, menerima, menangkap. Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang particular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan objek tertentu. Penggabungan itu memungkinkan ditentukannya art kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.[footnoteRef:35]) Pendekatan konseptual ini merujuk pada tindak pidana kasus korupsi berupa penerimaan suap Angelina Sondakh yang dijunctokan dengan pembayaran uang pengganti. [34: ) Ibid, hal. 93] [35: ) Jhoni Ibrohim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. III, (Malang: Banyumedia Publishing, 2007), hal.306. ]

G. Sistematika PenulisanSistematika penulisan ini diperlukan agar penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan terarah. Sistematika yang dipergunakan dimaksud untuk memberikan jabaran singkat mengenai isi dari seluruh penulisan tesis ini. Penelitian ini disusun secara sistematika dan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yakni sebagai berikut:

BAB IPENDAHULUANPada bab pertama ini menguraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.BAB IIKERANGKA TEORITISPada bab kedua menguraikan beberapa teori yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Teori-teori tersebut diantaranya yaitu tentang penuntutan dalam perkara pidana, tindak pidana, pelaku tindak pidana, penyertaan, hubungan antara tindak pidana korupsi dan suap, hukum acara pidana korupsi, serta pembayaran uang penggantiBAB III HASIL PENELITIAN Pada bab ketiga menguraikan tentang data hasil penelitian yaitu berupa kronologi kasus suap Angelina Sondakh, Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap Angelina Sondakh, dan pendapat narasumber terhadap penerapan Pasal 18 UU tipikor terdapat Angelina Sondakh.BAB IVANALISIS Pada bab ini merupakan analisis yang merupakan inti dari penulisan tesis. Uraian analisis ini untuk menjawab permasalahan apakah hukuman uang pengganti telah sesuai atau tidak dalam kasus Angelina Sondakh dan kedudukan uang pengganti sebagai pidana tambahan pada kasus suap dalam tindak pidana korupsi.BAB VPENUTUPDalam bab terakhir ini akan ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan berdasarkan hasil penelitian, analisis dan saran yang berkaitan dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Abidin. Andi Zainal. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I. (Ujung Pandang: Lephas, 1987).

_______. dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Pertama. (Jakarta: PT. Yasrif Wantampone, 2012).

Aji, Indriyanto Seno. Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis, dan Korupsi Perbankan. (Bandung: Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Unpad, 2004).

Ali, Mahrus. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. (Yogyakarta: UII Press, 2011).

Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

Arif, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet. I. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cetakan Pertama. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002).

Ersisa, Harahap. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Cet. I. (Bandung: PT. Grafiti 2006).

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Tesis Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 43A-D/FH-UNTAR/VIII/2012).

Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984).

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasaalahan dan penerapan KUHAP, Jilid I. (Jakarta: Sinar Grafika, 1997).

Ibrohim, Jhoni. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. III. (Malang: Banyumedia Publishing, 2007).

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006).

Kholis, Efi Laila. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010).

Kholiq, Abdul. Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2002).

Lamintang. P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).

Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007).

Moeljatno. Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan. (Jakarta: Bina Aksara, 1983).

Patti, M.W. Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai Pembayaran Uang PenggantiBagian I. (Ujung Pandang: Dipajaya, 1994).

Saleh, Wantjik. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971).

Sakijdjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990).

Simanjuntak, Osman. Teknik Penerapan Surat Dakwaan, Cetakan Pertama. (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 1999).

Soedarto. Hukum Pidana Jilid I A-B. (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1975).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986).

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politea, 1995).

Supramono, Gatot. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum. (Jakarta Djambatan, 1991).

Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. (Malang : UMM Press, 2008).

Utrecht. Hukum Pidana II, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).

Wantjik, K. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia, 1983).

Yamin, Muhammad. Tindak Pidana Khusus, Cetakan Pertama. (Bandung: Pustaka Setia, 2012).

B. Peraturan Perundang-UndanganIndonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

________. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

_______. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874).

C. Artikel/Makalah/Jurnal/Berita IntenetAnonim. Kronologis Kasus Korupsi Angelina Sondakh, Jum'at, 29 Juni 2012. http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/kronologis-kasus-korupsi-angelina-sondakh-1e4b11. html, diunduh 11 September 2012.

________.http://www.voaindonesia.com/content/putusa-ma-angelinasondakh-harus-jadi-tolaj-ukur-haki-lain-/1796048.html,diunduh tangal 15 maret 2015 _______. Uang Pengganti (1): Devisa Negara Tanpa Aturan Yang Jelas, http://hukumonline.com/detail.asp?id=14213&cl=Fokus, diunduh 15 maret 2015.

Barama, Michael. Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi. Makalah, Universitas Sam Ratulaangi, Manado, 2011.

Rahayu, SS., Amin. Sejarah Korupsi di Indonesia, http://mediakpkkudus. blogspot.com/, diunduh 8 September 2012.

Satriawan, M. Iwan. Relasi Politik dan Korupsi, Lampungpos.com, 2 Juni 2012 dalam http://www.lampungpost.com/index.php/opini/37362-relasi-politik-dan-korupsi-m-iwan-satriawan-dosen-hukum-tata-negara-universitas-lampung.html, diunduh 11 September 2012.

D. KamusAnonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.kbbi.web.id/ , diunduh 11 November 2012.

Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan, Cetakan Ke-1. (Jakarta: Batavia Press, 2008).

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).

Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

E. PutusanSalinan Putusan Mahkamah Agung NO.1616 K/PID.SUS/2013

25