skripsi analisis normatif terhadap pencabutan hak …
TRANSCRIPT
SKRIPSI
ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN
BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH :
ANDI NURUL ASMI
B111 14 106
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
i
HALAMAN JUDUL
ANALISIS NORMATIF TERHADAP PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN
DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK SEBAGAI PIDANA TAMBAHAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
ANDI NURUL ASMI B111 14 106
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian
Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi mahasiwa :
Nama : Andi Nurul Asmi
NIM : B 111 14 106
Bagian : Hukum Pidana
Judul : Analisis Normatif terhadap Pencabutan Hak
Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik Sebagai
Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi.
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan pada ujian skripsi.
Makassar, Januari 2018
iv
v
ABSTRAK
ANDI NURUL ASMI (B111 14 106), Analisis Normatif Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi, dibawah bimbingan Bapak Andi Muhammad Sofyan selaku Pembimbing I dan Bapak Amir Ilyas selaku Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regulasi dan implementasi hukum dari pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Makassar khususnya di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dengan menggunakan referensi-referensi yang terkait dengan rumusan masalah.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik Djoko Susilo dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik Lutfhi Hasan Ishaaq telah terjadi kesewenang – wenangan, karena hakim tidak membatasi pencabutan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu seperti yang telah diatur dalam pasal 38 KUHP. Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik adalah salah satu dari HAM, mencabut, menghilangkan atau meniadakan hak warga negara secara utuh meskipun melalui vonis hakim adalah salah satu pelanggaran HAM. Selain itu, mengingat jenisnya sebagai pidana tambahan, maka penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih bersifat fakultatif artinya, hakim bebas menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana tersebut. Adapun parameter yang digunakan hakim untuk menentukan perlu atau tidaknya penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih adalah melihat porsi atau kedudukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi, sifat kejahatan yang dilakukan, serta besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat. (2) Pasca keluarnya tiga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU/V/2007, Nomor 4/PUU/VII/2009, dan 42/PUU-XI II/2015, hak memilih dan dipilih mantan narapidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih dalam undang – undang terkait yang diujikan , menghasilkan implikasi hukum bahwa seorang mantan narapidana yang sudah menjalani masa hukuman dan membuktikan kelakuan baiknya berdasarkan persyaratan yang ditentukan tidak berhak diberikan hukuman lagi. Akan tetapi apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa seorang itu dihukum dengan pencabutan hak memilih dan dipilihnya, maka dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Maka akibat putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan dengan pemenuhan hak – hak konstitusionalnya warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh Undang – Undang Negara Republik Indonesia 1945 sebagai hukum tertinggi Negara Indonesia.
vi
ABSTRACK
ANDI NURUL ASMI (B111 14 106). Normative Analysis on the Elimination of the Right to Choose and Be Selected in Public Officials as Additional Criminal Procedure for Corruption Actors, under the guidence of Andi Muhammad Sofyan as the first guide and Amir Ilyas as second guide.
This study aims to determine the rules and implementation of the law from the revocation of suffrage and elected in public office as an additional criminal for perpetrators of corruption.
This research was conducted in Makassar, especially in Library of Law Faculty of Hasanuddin University. This study was held by conducting library study that used related references of research problem.
The objective of this study showed that, (1) The imposition of additional criminal of the right to elect and be chosen in public office, Djoko Susilo and the lifting of the right to be chosen in public office Lutfhi Hasan Ishaaq has happened despotism , because the judge does not limit the revocation of the right in a certain period of time as stipulated in article 38 of the Criminal Code. The right elect and be chosen in public office is one of the human rights, lift, eliminate or destroy one of the citizens ' rights as a whole although through sentencing judges is one of the human rights violations. In addition, given its kind for additional criminal, then the imposition of criminal the revocation of the right to elect and be chosen is facultative means, judges are free to drop or didn't drop criminal. As for the parameters used the judge to decide whether or not the imposition of criminal the revocation of the right to elect and be chosen is seen serving or the position of the time of committing criminal acts of corruption, the nature of a crime being committed, as well as the magnitude of the impacts on society. (2) After the release of three the Supreme Constitutional Court No. 14-17/PUU/V/2007, Number 4/PUU/VII/2009, and 42/PUU-XIII/2015, as well as the right to elect and be chosen former inmates threatened of five years or more in invited – invited to be tested, with implications of the law that a former inmates already serving a sentence and doing well based on the requirement is not entitled to be given penalties again, but if the court's decision said that a sentenced by the repeal of the right to pick and choose from, then with the court ruling that was binding. So as a result of the decision of the Constitutional Court is a duty of the law because it relates to the fulfillment of the – the constitutional rights of a country that was guaranteed and protected by Act – the State of the Republic of Indonesia 1945 as the law of State of Indonesia.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmaanir rahiim
Alhamdul lilaahi rabbil ‘aalamiin. Segala puji bagiAllah SWT, Tuhan
semesta alam yang tidak henti-hentinya melimpahkan nikmat dan karunia
yang telah diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Normatif Terhadap Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih
Dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak
Pidana Korupsi”. Tidak lupa pula shalawat dan salam terhaturkan untuk
Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sungguh
merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Penulis. Namun
keberhasilan ini tidak diperoleh Penulis dengan sendirinya, melainkan pula
hasil dari beberapa pihak yang tidak henti-hentinya menyemangati Penulis
dalam menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini.
Oleh karena itu, Dalam kesempatan ini seyogyanya Penulis
menyampaikan terima kasih kepada beberapa sosok yang telah
mendampingi upaya Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Terkhusus kepada kedua orang tua Penulis Andi Khaeruddin,
S.E. dan Hj. Andi Sanno, S.Pd. yang telah membesarkan Penulis dengan
penuh kesabaran dan kasih sayang, yang dengan sabar mengurus,
menasihati, serta mengajarkan arti dari kerja keras dan tidak mengenal
viii
putus asa. Begitu juga saudara Penulis Bripka Andi Dedi Khasram, S.H.
, Brikpol Andi Gusti , Andi Ana Kharisma, S.E. , dan Andi Nur Amalia
yang secara tidak langsung telah memberikan motivasi kepada Penulis
untuk terus bergerak maju menggapai cita-cita.
Pada kesempatan ini, Penulis juga menghaturkan rasa terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga
penulisan skripsi ini :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum. , selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Bapak Prof. Dr.
Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr.
Syamsuddin Mucthar, S.H., M.H. , selaku Wakil Dekan II, serta
Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. , selaku Wakil Dekan
III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., selaku
Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
4. Bapak Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., dan Bapak
Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H., selaku pembimbing Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingannya semoga
suatu saat nanti Penulis dapat membalas jasa yang telah diberikan.
ix
5. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., Bapak Dr.
Abd. Asis, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Hj. Haeranah, S.H., M.H.,
terima kasih atas kehadiran menguji Penulis, dan menerima skripsi
Penulis yang masih sangat jauh dari yang diharapkan.
6. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H., selaku Penasihat
Akademik (PA) Penulis. Terima kasih atas kebaikan serta
kesediaannya setiap kali Penulis berkonsultasi Kartu Rencana
Studi (KRS).
7. Segenap Guru Besar dan Dosen Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, terima kasih untuk segala ilmu dan
bimbingan yang telah diberikan selama proses perkuliahan hingga
Penulis dapat menyelesaikan studi.
8. Pegawai/Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin atas bantuan dan keramahannya dalam membantu
kebutuhan Penulis selama perkuliahan hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir.
9. Pengelola Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, terima kasih telah memberikan waktu dan tempat
selama penelitian skripsi ini berlangsung.
10. “Cousin Squard” Andi Rina Indah Paramita, S.TP. , dr. Andi
Dewi Pratiwi, S.Ked, Andi Anisa Aprianti, S.Pd., Andi Ahmad
Fauzi Rafsanjani, Andi Muh. Ihsan, dan Andi Widya Irawati ,
terima kasih kepada para sepupu yang tidak henti – hentinya
x
memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
11. Keluarga Besar DIPLOMASI 2014 yang selalu kompak, semoga
kita menjadi penegak hukum yang dapat membangun bangsa lebih
baik kedepannya.
12. Teman - Teman Pengurus ALSA LC UNHAS Periode 2015-2016,
terima kasih atas kejasama, kepercayaan, kepedulian dan
kekeluargaannya.
13. Teman - Teman dan Kakanda Pengurus Mahkamah Keluarga
Mahasiswa (MKM) Periode 2016-2017, terima kasih atas ilmu dan
pengalaman berharga dalam setiap moment yang tidak
membutuhkan waktu yang panjang namun sangat berarti.
14. Keluarga Besar National Moot Court Competition (NMCC)
Universitas Hasanuddin khususnya kepada kakanda Muhammad
Fadhil, S.H., Zaldi, S.H., Iustika Puspa Sari, S.H., Nurdiansyah,
S.H., M.H., Jumardi, S.H., M.H., Andi Maulana Arif Nur, S.H.,
Andi Nurhidayar Putra, S.H., Muhammad Taufiq Akbar, S.H.,
Muh. Afdal Yanuar, S.H., Gusti Ngurah Rai, S.H., dan Indah
Wahyuni Dian Ratnasari, S.H. dan para senior yang tidak bisa
Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah memberikan
banyak ilmu kepada Penulis dan tidak henti-hentinya memberikan
nasihat kepada Penulis.
xi
15. Delegasi National Moot Court Competition (NMCC) Piala
Mahkamah Agung Republik Indonesia XVIII, terima kasih kepada
Muhammad Taufiq Akbar, Firman Nasrullah, Kartini, Resti
Gloria Pasomba, Novita Supardjo, Rifqi Ibsam, Arifatin, Gusti
Ngurah Rai, Indah Wahyuni Dian Ratnasari, Nidaul Hasanah,
Ade Apriani, Lisa Nursyahbani, Andi Muhammad Riski, Zul
Kurniawan Akbar, Muhammad Nugroho S, Billy Boby Putra,
Firda Febrianty Savaros, Ibrahim Arifin, dan Andi Srikandi
MPB, terimah kasih telah menjadi rumah teduh dan tempat
bersandar saat Penulis masih pemula menjajaki dunia perkuliahan
dan selalu menghujani Penulis dengan ketulusan dan kepedulian
yang tiada hentinya.
16. Delegasi National Moot Court Competition (NMCC) Piala
Mahkamah Agung Republik Indonesia XIX, terima kasih kembali
kepada Muhammad Taufiq Akbar, Arifatin, Rifqi Ibsam, Indah
Wahyuni Dian Ratnasari, Gusti Ngurah Rai, Ibrahim Arifin, dan
Andi Srikandi MPB, teman seperjuangan dari NMCC MA XVIII
yang kembali berjuang bersama Penulis demi meraih Juara Piala
Mahkamah Agung, juga terima kasih kepada Nelson Sirenden,
Eka Fitrianingsih, Irdayanti Amir, Nurfatimah, Yarni Nikita
Ahmady, Rhila Hasmita Ramadhani Amin, Nurfadly Hamka,
Ashar Asyari Zaenal, Indira Arum Puspitarani, Fadiel
Muhammad dan Sukardi, terima kasih sudah berjuang bersama
xii
Penulis dan mengajarkan Penulis untuk tidak takut bermimpi serta
berjuang meraih mimpi dengan kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja
keras.
17. Teman - Teman “DESA MICIN”, terima kasih kepada Takim,
Fadli, Rahmad, Faad, Bintang, Oji, Farid, Reza Murti, Dilla, Fika,
Izzah, Melly dan Anisa, terima kasih telah menjadi teman
seperjuangan yang selalu mengajarkan Penulis tentang keindahan
dalam memberi dan menerima dalam kehidupan memahami arti
dari kehidupan itu sendiri selama menjalani perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
18. Saudara - Saudara yang mendampingi dan sekaligus Rekan
berjuang sejak masih berstatus MABA hingga sekarang, Andi
Srikandi MPB, Annisa Fadhillah Rosadi, HS. Tita Syamsuddin,
dan Nurfatimah, terima kasih untuk semua moment - moment
yang terekam baik dalam ingatan Penulis yang berukir selama kita
berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
19. Saudara lintas Universitas , sejak di bangku Sekolah Menengah
Atas hingga sekarang , Andi Rafiah S dan Frezka Ayu Wardhani,
S.Ked. terima kasih untuk selalu meluangkan waktu walau kadang
jarak dan waktu selalu menghalangi namun doa kalian selalu terasa
dekat sehingga Penulis selalu bersemangat hingga skripsi ini dapat
selesai.
xiii
20. Rekan - Rekan kerja di Schomed Indonesia, Awal Safar, S.Ked.,
Muhammad Fahim Abqari, Dewi, Maya dan Zulfa , terima kasih
telah mengajarkan Penulis bagaimana rasa bekerja dengan tulus
dan ikhlas demi mewujudan visi mencerdaskan kehidupan bangsa
bersama Schomed.
21. Teman - Teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 96 Universitas
Hasanuddin di Mahkamah Konstitusi (MK). Terima kasih kepada
Andi Srikandi MPB, Anugrah Edys, Kevin Bonaparte, Dirga
Utama Mahardika, Ahmad Nugraha, Jemmi, Dedi Chaidiryanto,
Ahmad Fauzi, Surya Dharma, Fathullah, Reski Amalia Safiin,
Muthia Amalia, Verha, Puteri Dwi Arini, Aulia Mashita, Aulia
Panangari, Amelia Rosa Lestari, Dewi Athira, dan
Muthmainnah, yang telah memberikan pengalaman yang tidak
akan pernah terlupakan dan penuh kesan selama berKKN di
Jakarta.
22. Terakhir, terima kasih kepada Muh. Hasrul Muin yang telah
membantu dan memberikan motivasi dengan sabar dan tulus yang
tiada henti-hentinya kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
Dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati Penulis yang
sangat menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, sebab dalam dunia ilmiah “tidak ada kebenaran absolut”.
xiv
Maka dari itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat Penulis
harapkan demi kelayakan dan kesempurnaan kedepannya agar bisa
diterima secara penuh oleh khalayak umum yang berminat terhadap
skripsi ini.
Makassar, Januari 2018
Andi Nurul Asmi
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .............................................. iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... .... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 15
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................ 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 17
A. Pencabutan Hak ....................................................................................... 17
B. Hak Asasi Manusia ................................................................................... 19
1. Pengertian Hak Asasi Manusia ............................................................ 19
2. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia ............................................................ 20
xvi
3. Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia ......................... 22
C. Jabatan Publik .......................................................................................... 26
D. Pidana dan Pemidanaan .......................................................................... 29
1. Pengertian Pidana ................................................................................ 29
2. Jenis-Jenis Pemidanaan ...................................................................... 31
2.1 Jenis Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) ............................................................................................ 31
2.2 Jenis – Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) ....................... 36
E. Tindak Pidana Korupsi ............................................................................ 40
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 40
2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi...... ........................................... 43
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi .............................................. 46
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 54
A. Lokasi Penelitian ...................................................................................... 54
B. Jenis Dan Sumber Data ........................................................................... 54
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 54
D. Analisis Data............................................................................................. 55
xvii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 56
A. Regulasi Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan Publik
Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi jika
dikaitkan dengan penerapan Hak Asasi Manusia ..................................... 56
1. Regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam Kitab Undang-
Undang Hukum pidana dan 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ............................................... 56
2. Perlindungan Hak memilih dan dipilih dalam UUD 1945 ...................... 60
3. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih
dalam persfektif Hak Asasi Manusia .................................................... 65
B. Implementasi hukum terhadap pencabutan hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak
pidana korupsi .......................................................................................... 74
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 95
A. Kesimpulan ............................................................................................... 95
B. Saran ........................................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum yang secara tegas tertuang
pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum“. Dalam negara, sistem kenegaraan diatur berdasarkan hukum
yang berlaku yang berkeadilan kemudian disusun dalam suatu konstitusi.
Semua akan tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang
diperintah, sehingga semua orang akan mendapatkan perlakuan yang
sama. Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan tidak
boleh melanggar hak-hak rakyat yang harus diberikan. Rakyat diberikan
perlakuan sesuai dengan hak-haknya dan diberikan kesempatan untuk
berperan sercara demokratis.
Peranan hukum dalam Negara hukum adalah sebagai berikut; dalam
Negara hukum diperlukan pembatasan terhadap kekuasaan Negara politik
dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Dalam Negara
hukum, hukum memiliki peranan yang sangat penting dan berada di atas
kekuasaan Negara dan politik, kemudian muncul istilah pemerintah di
bawah hukum (government under the law).1
Atribut Negara Hukum yang disandang Negara Republik Indonesia
sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 adalah negara yang
1 Munir Fuady, 2011, Teori Negara Hukum Modern Rechtstaat, (PT.Refika Aditama, Bandung), hlm.1.
2
berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(maachtstaat). Sebagai negara hukum, tindakan pemerintah maupun
rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut
kehendaknya sendiri.2
Salah satu dari bentuk kesewenang-wenangan yang kita ketahui
adalah korupsi. Korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau Negara. Masalah
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bagi negara-negara berkembang
ibarat penyakit AIDS yang sulit dihindarkan dan dicari obatnya. Kendati
menjadi tekad semua bangsa di dunia untuk melenyapkan atau
mengurangi tingkat intensitas, kualitas, dan kuantitasya dalam upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) dan
pemerintahan yang baik (good government), korupsi sulit diberantas.3
Akhir-akhir ini korupsi sering didengar oleh masyarakat terjadi
disektor publik yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasaan publik
atau pejabat pemerintahan sehingga sering disebut sebagai kejahatan
jabatan (occupational crime). Di sektor publik ini bentuk korupsi yang
marak terjadi adalah penyuapan dan penyalahgunaan kewenangan publik.
2 Occupational Crime atau kejahatan jabatan adalah pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat
pemerintah melakukan perbutan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Llihat dalam Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014 hlm.
14. 3 M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum, (Yogyakarta: Gama Press, 2009), hlm. 384.
3
Pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu disebut sebagai pejabat
publik.
Fenomena maraknya para pejabat publik dan tokoh politik yang
terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi, sudah cukup menimbulkan beragam
upaya-upaya aparat penegak hukum untuk menghentikannya. Fenomena
tersebut menunjukkan telah terjadinya penghianatan-penghianatan
terhadap amanat rakyat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan
yang dapat menimbulkan efek jera pada para pelaku tindak pidana
korupsi. Langkah yang dilakukan dengan memperberat hukuman pidana
ternyata belum terlaksana dengan cukup efektif, karena korupsi yang
dilakukan pejabat publik dan tokoh politik juga belum juga menyurut.4
Pasal 10 angka 1 menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat
berupa pencabutan hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu yang dimaksud
disini adalah hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 atau hak memlih dan dipilih
dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum seperti
yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP. Pencabutan hak
tertentu seperti hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sejatinya bisa
menjadi alat penjeraan bagi terpidana Tindak Pidana Korupsi sekaligus
menimbulkan rasa takut bagi para pejabat publik dan tokoh politik agar
tidak menjadi calon pelaku Tindak Pidana Korupsi yang semakin
merajalela diberbagai institusi negara
4 Munir Fuady, log.cit.
4
Berdasarkan data yang diperoleh dari anti corruption clearing house,
Per 30 Juni 2017, di tahun 2017 KPK melakukan penanganan tindak
pidana korupsi dengan rincian : penyidikan 48 perkara, penyidikan 51
perkara, penuntutan 41 perkara, inkracht 40 perkara, dan eksekusi 40
perkara. Dan total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun
2004-2017 adalah penyidikan 896 perkara, penyidikan 618 perkara,
penuntutan 506 perkara, inkracht 428 perkara, dan eksekusi 454 perkara.5
Tindak kejahatan korupsi menjadi permasalahan yang tidak ada
habis-habisnya di negeri ini. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan
keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, Masalah tindak pidana korupsi sangat berkaitan erat
dengan ruang gerak yang cukup luas, dari individu atau kelompok. Akan
tetapi, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi
problem yang saat ini terjadi seperti masalah penegakan hukum tindak
kejahatan korupsi. Menurut Makhrus Munajat, perbuatan dianggap
sebagai tindak kejahatan karena merugian tatanan masyarakat,
kepercayaan-kepercayaan, harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan
lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut norma harus dipelihara,
dihormati dan dilindungi. 6Dengan demikian, suatu sanksi diterapkan
kepada pelanggar norma salah satunya sebagai upaya represif.7
5 http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi diakses pada tanggal 21 Oktober 2017, pukul 19.15 WITA. 6 Moh.Hatta, Kebijakan Politik Kriminal Penegakan Hukum dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.63. 7 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.5.
5
Ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang,
kenyataannya korupsi telah menimbulkan kerugian negara sangat besar
yang berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.8 Memerangi
korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa reformasi.
Sangat sulit mereformasi suatu negara jika korupsi merajalela.9 Tindak
pidana korupsi tidak hanya menjalar ke wilayah birokrasi pemerintah,
tetapi juga dalam sistem peradilan di Indonesia.10
Sudah banyak langkah teoritis dan praktis dilakukan untuk
memberantas korupsi di negeri ini.11 Dengan berbagai inovasi dalam
modus operandinya, korupsi dalam hukum positif Indonesia masuk dalam
daftar extraordinary crime. Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam
tiga tahap. Pada tahap yang pertama yaitu tahap etis, “korupsi masih
menjadi patologi social yang khas dilingkungan para elit/pejabat”. Pada
tahap kedua yaitu endemic, “korupsi mewabah menjangkau lapisan
masyarakat luas”. Kemudian di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi
sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa”.
Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai tahap sistemik.12
Ada beberapa contoh mantan narapidana yang mengikuti pemilihan
calon kepala daerah diantaranya adalah:
8 Anggi Prayurisman, Penerapan Sanksi Pidana di Bawah Ancaman Minimum Khusus dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Tesis , Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Andalas Padang, 2011. hlm. 23. 9 Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika,2011) hlm 175. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, (Jakarta:Sinar Grafika,2010), hlm.11.
6
Pertama (Elly Engebert Lasut), dipenjara 7 Tahun di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Kelas I Sukamiskin, Bandung Dalam kasus korupsi
Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif 2006-2008. Selain itu, juga
terjerat kasus korupsi Gerakan Daerah Orang Tua Asuh (GDOTA)
Kabupaten Kepulauan Talaud pada 2008. Mantan Bupati Talaud ini bebas
pada November 2014 dan mencalonkan diri sebagai calon Gubernur
Sulawesi Utara. Pencalonannya diusung oleh Partai Golkar.
Kedua (Jimmy Rimba Rogi) mantan Walikota Manado ini pernah
tersangkut korupsi Anggran Pendapatan dan Belanja Daeah Manado
2006-2007. Saat itu Badan Pemerikasa Keuangan menemukan
penyimpangan dan APBD sekitar Rp 69 miliar. Ditahan 7 Tahun dan
bebas pada Maret 2015, lalu kembali mencalonkan sebagai Wali Kota
Manado Sulawesi Utara. Pencalonan diusung oleh Partai Golkar, Partai
Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Hanura.
Ketiga (Vonny Panambunan) seorang pengusaha sekaligus mantan
Bupati Minahasa Utara ini pernah ditahan selama 18 bulan karena korupsi
proyek studi kelayakan pembangunan bandara Loa Kulo Kutai
Kartanegara pada tahun 2008. Juga diwajibkan membayar denda Rp 100
juta subside 6 bulan dan denda tambahan Rp 4 miliar, Lalu, kembali
mencalonkan diri sebagai Bupati Minahasa Utara dan diusung oleh Partai
Gerindra.
Keempat (Soemarmo Hadi Saputro) mantan Bupati Semarang ini
kembali mencalonkan diri untuk jabatan yang sama pada pemilihan kepala
7
daerah tahun 2015. Diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai
Kebangkitan Bangsa, Padahal, pernah terjerat kasus suap Rancangan
Peraturan daerah mengenai APBD Kota Semarang pada tahun 2012,
dihukum penjara 1,5 tahun.
Kelima (Abu Bahar Akhmad) mantan Bupati Dompu, Nusa Tenggara
Barat ini kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Dompu , diusung oleh
Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Bulan Bintang.
Setalah dinyatakan bebas bersyarat pada 2010 setelah dijatuhi hukuman
penjara akibat korupsi APBD Dompu 2006. Tindakannya merugikan
negara sebesar Rp 3,5 miliar.
Keenam (Usman Ikhsan) mantan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur,
pernah ditahan 8 tahun penjara akibat korupsi SDM DPRD Sidoarjo.
Tindakannya merugikan negara sebesar Rp 21 miliar. Kini mencalonkan
lagi sebagai Bupati Sidoarjo, diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan
Partai Gerindra.
Ketujuh (Amjad Lawas) mantan sekertaris daerah Sulawesi Tengah
ini mencalonkan diri sebagai Bupati Poso. Diusung Partai Gerindra dan
Partai Amanat Nasional. Padahal pernah terjerat korupsi tukar guling
tanah di Poso pada tahun 2010,
Kedelapan (Azwar Chesputra, mencalonkan diri Bupati Limapuluh
Kota, Sumatera Barat). Pernah tersangkut korupsi alih fungsi hutan
lindung Pantai Air Talang, kabupaten Banyu Asin Sumatera Selatan.
8
Pencalonan diusung Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Demokrat, Partai Hanura dan Partai Bulan Bintang.
Daftar mantan narapidana yang mengikuti pemilihan calon kepala
daerah di atas hanya sebagian saja. Daftar tersebut belum mencapai
seluruh data latar belakang calon kepala daerah yang telah terdaftar di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut informasi, masih banyak mantan
narapidana lain yang diusung oleh partai politik karena mereka unggul
dalam survey politik. Eletabilitas tersebut kebanyakan di sosial
masyarakat, meskipun itu dilakukan karena kekayaan yang berasal dari
praktek ilegal.13
Disamping itu penegakan hukum harus melindungi hak konstitusional
warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang
pasti. Sedangkan dalam bidang hukum pidana dimuat dalam pasal 1 ayat
(1) KUHP yang diterjemahkan sebagai asas legalitas. Dengan demikian,
maka setiap tindakan dalam proses hukum harus mengacu kepada suatu
perbuatan yang tertulis yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh
perundang-undangan.14
Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dimaksudkan
untuk mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
13 Putri Adiyowati, https://nasional.tempo.co/read/.../ini-9-bekas-napi-yang-kini-jadi-calon-kepala-
daerah,diakses pada Tanggal 1 November 2017, pukul 16.45 WITA. 14 Chaeruddin.dkk., Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung:PT Refika
Aditma, 2008), hlm. 5.
9
Adanya perubahan baik hukum materiil maupun hukum formal serta
ditingkatkannya ancaman pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan upaya pemerintah
untuk memusnahkan tindak pidana korupsi yang semakin bertambah.
Akan tetapi, usaha pemerintah memberantas tindak pidana korupsi di
Indonesia yang sudah mengakar ke berbagai lapisan, tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan.15
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan pidana, Pasal 10 KUHP
mengatur tentang jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa
tindak pidana korupsi yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana
pokok dalam Pasal tesebut terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan
pengumuman putusan pengadilan. Selain ketentuan pidana tambahan
yang terdapat dalam KUHP, jenis pidana tambahan juga dirumuskan
dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 antara lain:
1. Perampasan barang bergerak atau tidak bergerak atau berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh dari hasil korupsi.
2. Pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya. 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1 tahun. 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan hak-hak tertentu.16
15 Murtir Jeddawi, Manifestasi Otonomi Daerah Arah Kebijakan Publik dan Relasasi Pelaksanaan Otonomi Sebagai Acuan Bagi Pemerintah Daerah,(Yogyakarta: Total Media, 2011), hlm. 185. 16 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi , (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hlm. 14.
10
Pencabutan hak pilih (hak politik) narapidana korupsi adalah langkah
progresif yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung. Sehingga
putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim dan lembaga
peradilan dibawahnya untuk menjatuhkan hukuman yang sama. Langkah
ini sangat mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun,
harus ditegaskan mengenai limit waktu pencabutan hak pilih dan dipilih
tersebut, agar dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana tujuan
hukum itu sendiri yang mengutamakan keadilan, kepastian hukum dan
juga kemanfaatan hukum itu terhadap masyarakat. Limit waktu sebagai
batas pencabutan hak pilih (hak politik) bagi koruptor diatur dalam Pasal
38 KUHP, ayat (1) menyebutkan :
Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup;
2. Dalam hal pidana penjara dalam waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Limit waktu sebagai batas pencabutan hak pilih bagi koruptor dalam
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.4/PUU/VII/2009, “berlaku terbatas
jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai
menjalankan hukumannya” dengan syarat mantan terpidana jujur
mengakui sebagai mantan narapidana. Kemudian MK mengeluarkan lagi
putusan No. 42/PUU-XIII/2015 atas yudisial review terhadap Pasal 7 huruf
g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor
11
1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, disebutkan
inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur
di depan publik. MK juga menghapus penjelasan Pasal 7 huruf g yang
memuat 4 (empat) syarat bagi mantan narapidana agar bisa mencalonkan
diri sebagai kepala daerah sesuai dengan Putusan MK
No.4/PUU/VII/2009.
Dasar pertimbangan MK, bahwa pasal larangan mantan narapidana
yang diancam hukuman lima tahun atau lebih untuk mencalonkan diri
sebagai kepada daerah itu dinilai sewenang-wenang seolah-olah
pembentuk Undang-Undang menghukum seseorang tanpa batas.
Sehingga jelaslah berdasarkan kedua Putusan MK diatas menjelaskan
adanya batasan mengenai mantan narapidana untuk kembali mengikuti
pemilu sebagai calon legislatife atau kepala daerah.
Akan tetapi , Pertama putusan MA tidak mencantumkan limitasi
pencabutan hak pilih (hak politik) atas mantan Korp Lantas Inspektur
Jendarl Djoko Susilo, pencabutan hak pilih aktif dan pasif yang dijatuhkan
Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Mantan
Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo
dalam kasus korupsi simulator SIM. Djoko Susilo juga dijatuhi pidana
pokok 18 tahun penjara, denda 1 miliar rupiah serta pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti sebesar 32 miliar rupiah. Kedua ,
putusan kasasi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif atau
hak untuk dipilih dalam pemilihan umum yang dijatuhkan oleh Mahkamah
12
Agung (MA) terhadap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi
Hasan Ishaaq. Disini Luthfi Hasan Ishaaq masih memiliki hak untuk
memilih. Putusan tersebut dijatuhkan lantaran Luthfi terbukti telah
menerima suap dalam kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian.
Majelis Hakim yang juga memutus pidana kepada Djoko Susilo yang
terdiri atas Artidjo Alkostar, Moh. Askin, dan MS Lumme juga
memperberat hukuman pidana mantan presiden PKS tersebut yang
semula pidana pokok 16 tahun penjara menjadi pidana pokok 18 tahun
penjara serta denda 1 miliar rupiah dengan penjara pengganti (subsidair)
satu tahun penjara jika tidak membayar pidana denda.
Meskipun terpidana adalah orang yang secara hukum dinyatakan
bersalah dan harus menjalankan hukuman yang telah diputuskan
pengadilan, namun memiliki hak yang tetap harus dilindungi oleh negara
sebagai eksekutor pidana. Terutama berkaitan dengan hak asasi manusia
yang melekat dalam diri manusia dan tidak dapat dihapuskan, serta
merupakan hak kodrati karena bermahzab pada hukum kodrati, sehingga
hak asasi bersifat juga hak alami, Untuk membedakan antara hak alami
(natural law right) dan hak hukum (legal right) adalah bahwa hak hukum
lebih menekankan sisi legalitas formal sedangkan hak alami menegakkan
sisi alamiah manusia (natural human being) yang tidak terpisahkan
dengan dimensi kehidupan manusia (inalienable rights). Hak asasi
manusia adalah hak yang melekat pada manusia sebagai manusia. Hak
ini bersifat fundamental, Universal, dan tidak dapat dipisahkan dari
13
manusia. Selain itu bersifat umum, sering berhadapan dengan kedaulatan
negara dan bersifat internasional. Kedudukan negara berkaitan dengan
konstitusi yang didalamnya berisi jaminan HAM. Hal ini sesuai dengan
Deklarasi Hak Asasi Manusia yaitu hak asasi manusia merupakan
prasyarat yang harus ada dalam kehidupan manusia untuk dapat hidup
sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.17
Menurut Undang-Undang International HAM (International Bill Of
Rights). Hak sipil dan politik yang dapat direstriksi/dibatasi adalah hak
mempunyai pendapat, hak kebebasan berserikat. Restriksi didasarkan
pada kepentingan keamanan nasional dan kesesuaian umum atau
perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.18
Pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibatasi berdasarkan
undang-undang, namun dalam pembatasannya tersebut secara tegas
disebutkan secara limitatif waktu pencabutannya agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak asasi manusia pihak terpidana. Jika ini tidak
dilakukan maka dapat berakibat terjadinya faktor kriminogen terhadap
terpidana yang dilakuan oleh negara melalui perlengkapannya. Akibatnya
terjadi pelanggaran HAM oleh negara yaitu terpidana menjadi korban
pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim sebagai pejabat negara melalui
putusannya.19
17 Waih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, diakses pada
jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/37 Tanggal 1 November 2017pukul 16.32 WITA.hlm. 25. 18 Ibid. 19 Ibid. hlm.26.
14
Dalam sistem pemidanaan penjatuhan pidana terhadap terpidana
merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana baik secara
khusus maupun secara umum, serta memiliki efek deterrence baik special
maupun general. Sehingga akibat dari pemidanaan yang dijatuhkan harus
dapat bermanfaat baik bagi terpidana maupun masyarakat. Penerapan
pidana merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, dipengaruhi
oleh profesionalitas penegak hukum. Menurut Soekanto terdapat lima
faktor yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu :
1. Faktor hukum dan Undang-Undang 2. Faktor penegak hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas 4. Faktor masyarakat dan 5. Faktor kebudayaan20
Dengan demikian dapat diprediksikan keefektifannya di masa depan.
Kemudian yang melatar belakangi penulis sebenarnya adalah tumpang
tindih limitasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik
tersebut menimbulkan konflik norma dasar yuridis limitasi pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi pelaku tindak pidana korupsi
dan bagaimana kemudian HAM memandang kedudukan pencabutan Hak
politik ini, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam penulisan
dengan tema “Pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik
sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi”.
20 Ibid. hlm. 28.
15
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam
jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana
korupsi jika dikaitkan dengan penerapaan hak asasi manusia ?
2. Bagaimanakah implementasi hukum terhadap pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan
bagi pelaku tindak pidana korupsi ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami regulasi pencabutan hak memilih
dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi
pelaku tindak pidana korupsi jika dikaitkan dengan penerapan hak
asasi manusia.
2. Untuk mengetahui dan memahami implementasi hukum terhadap
pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai
pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan secara Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk memperluas
pengetahuan dan menambah referensi khususnya tentang hal-hal
yang berkaitan dengan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam
16
jabatan publik sebagai pidana tambahan dalam tindak pidana
korupsi.
2. Kegunaan secara Praktis
Dalam penegakan hukum diharapkan dapat sebagai sumbangan
pemikiran yang dapat dipakai para pengambil kebijakan para
penegak hukum khususnya dalam mengenai masalah pencabutan
hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai tindak pidana
tambahan dalam tindak pidana korupsi.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pencabutan Hak
Dalam konstruksi hukum pidana, pencabutan hak tertentu
merupakan salah satu pidana tambahan. Kata “tertentu dalam pencabutan
hak mengandung makna bahwa pencabutan tidak dapat dilakukan
terhadap semua hak. Hanya hak-hak tertentu saja yang boleh dicabut.
Apabila semua hak dicabut , akan membawa konsekuensi terpidana
kehilangan semua haknya termasuk kesempatan untuk hidup.21
Pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk tindak pidana yang tegas
ditentukan oleh Undang-Undang bahwa tindak pidana tersebut diancam
oleh pidana tambahan. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak
tertentu bukan berarti hak-hak terpidana dapat dicabut semuanya.
Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak hidup, hak sipil
(perdata), dan hak ketatanegaraan. Terdapat dua hal tentang pencabutan
hak-hak tertentu, yaitu :22
1. Tidak bersifat otomatis, harus diterapkan dengan putusan hakim. 2. Tidak berlaku seumur hidup, ada jangka waktu tertentu menurut
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku dengan suatu putusan hakim.
21https://media.neliti.com/media/publications/35620-ID-urgensi-pencabutan-hak-menduduki-jabatan-publik-bagi-pelaku-tindak-pidana-korups.pdf diakses, 2 November 2017.pukul 15.29 WITA. 22 Evi Hartanti, Op.cit., hlm 65.
18
Apabila mengamati kembali dengan seksama pada Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis pidana
tambahan terdiri atas :23
1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.
Pencabutan hak-hak tertentu diatur lebih lanjut sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 35 KUPH, yaitu :24
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak memasuki angkatan bersenjata; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut
hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri;
e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi menyebutkan selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan
adalah :25
a. Perampasan baik yang berwujud maupun tidak terhadap suatu barang dari hasil kejahatan berupa korupsi, termasuk tempat dia melakukan perbuatan korupsi misalnya perusahaan, dan barang yang bisa menggantikan barang dari hasil tindak pidana korupsi;
b. Pelunasan dengan membayar berupa sejumlah uang sebagai penganti dengan yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
23 Lihat pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana , Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 24 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana , Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 25 Lihat pasal 18 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
19
d. Pemberian hukuman lain berupa hak-hak tertentu yang di cabut atau keseluruhan keuntungan atau sebagian atau diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa baik yang sudah ataupun tidak.
B. Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Istialah “hak asasi manusia” merupakan terjemahan dari drois de
I’homme (bahasa Prancis) yang memiliki arti sama. Etimologi kata “hak
asasi manusia” dapat dipecah menjadi tiga kata yaitu “hak”, “asasi”, dan
“manusia”.26
1. Etimologi “hak” berasal dari bahasa Arab Haqq yang merupakan bentuk tunggal dari kata Huqq. Istilah haqq, diambil dari kata Haqqa, Yahiqqu, haqqaan yang berarti “ benar”, “nyata”, “pasti”, “tetap”, dan “wajib”.
2. Etimologi “asasi” berasal dari bahasa Arab asasy yang merupakan bentuk tuggal usus yang berasal dari akar kata assa, yaussu, asasaan yang berarti “membangun”, “mendirikan”, dan “meletakkan”.
3. Etimologi “manusia” berasal dari bahasa Sansekerta manu yang berarti “manusia” dan bahasa Latin sens yang berarti “berpikir” atau “berakal budi”.
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Kuasa. Hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya
didalam kehidupan masyarakat. 27Oleh Karena itu, wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang. Nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung
26 Damang, S.H.,M.H.,http:// http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html, diakses tanggap 2 November 2017.pukul 16.40 WITA. 27 Mariam Budiarjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.2008. hlm 120.
20
dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat yang menjadi ciri
civil society28
Drs. C. S. T. Kansil, SH :
“Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mutlak (absolute) yaitu hak yang memberikan wewenang kepada seseorang atau individu untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan siapapun juga. Dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut. Dengan demikian Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat (inheren) pada individu yang bersifat mutlak.”29
Pengertian Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah :30
“seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 Tentang Peradilan HAM Pasal (1) adalah :31
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
2. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia
D.F Scheltens dalam bukunya Men en Mensenrechten,
membedakan antara Mensenrechten (hak asasi manusia) dengan
28 El Muhtaj Madja. Dimensi-Dimensi HAM Menguraikan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. PT.Grafindo
Persada.2008.hlm.1. 29 Kansil CST, “Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.Lihat Bambang
Heri Supriyanto, Penegakan Hukum Mengenai HAM Menurut Hukum Positif di Indonesia, Vol.2,2014, hlm. 153. 30 Lihat Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 31 Lihat pasal 1 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
21
Groundrechten (hak dasar manusia). Perbedaan keduanya menurut
Aswanto (1999:20) sebagai berikut :32
1. Hak Dasar, diambil dari terjemahan Grondrechten merupakan hak yang diperoleh seseorang, karena menjadi warga negara dari satu negara. Dasar dari hak dasar berasal dari negara, bersifat domestik dan tidak bersifat universal.
2. Hak asasi, berasal dari terjemahan Mensen Rechten ialah hak yang diperoleh seseorang karena dia manusia dan bersifat universal. Sedangkan di Indonesia antara hak dasar dan hak asasi tidak dibedakan dan disebut dengan hak asasi manusia”.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, diatur mengenai hak asasi manusia yang bersifat mutlak (non
derogable), yaitu :33
- Hak untuk hidup; - Hak untuk tidak disiksa; - Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; - Hak beragama; - Hak untuk tidak diperbudak; - Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan
hukum; - Hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan hak yang bersifat dapat ditangguhkan/dikurangi pelaksanaannya (derogable right) yaitu :
- Hak untuk bekerja; - Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik; - Hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; - Hak mendapatkan pendidikan; - Hak berpartisipasi dan berbudaya (hak ekonomi, sosial dan
budaya).
Secara garis besarnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang mengatur Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia (Pasal 9 s/d 66), terdiri dari :34
a) Hak untuk hidup;
32 Aswanto,Hukum dan Kekuasaan,Rangkang Education, Yogyakarta,2012, hlm.105. 33 Walih Anjari, Op.cit., hlm.25. 34 Aswanto, Op.Cit.,106
22
b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; c) Hak mengembangkan diri; d) Hak memperoleh keadilan; e) Hak atas kebebasan pribadi; f) Hak atas rasa aman; g) Hak atas kesejahteraan; h) Hak turut serta dalam pemerintahan; i) Hak wanita j) Hak anak.
Selain pengelompikan HAM seperti tersebut di atas dikenal juga right to
self determination; women’s rights; non discrimination; protection of
children; protection of minorities, yang merupakan kelompok classical
rights, serta generasi baru dari HAM yaitu : hak membangun, hak
informasi serta hak lingkungan hidup.
3. Hak memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia
Sejak lahirnya NRI tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan
UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan-ketentuan tentang
penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek
penyelenggaraan negara, perlindungan, atau penjaminan terhadap HAM
dan hak-hak warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak constitusional
warga negara (the citizen’s constitutional rights) dapat terlaksana. Hak
memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar
(basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin
pemenuhannya oleh negara. Hak politik warga negara yang mencakup
hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih secara tersurat
dalam UUD NKRI Tahun 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28,
23
Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3);. Sementara hak memilih juga
diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat
(1) dan Pasal 22C (1) UUD NRI Tahun 1945. Perumusan pada pasal-
pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminilasi
mengenai ras, kekayaan, agama, dan keturunan. Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama dan implementasi hak dan kewajiban pun
harus bersama-sama. Ketentuan UUD NKRI Tahun 1945 atas
mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi
setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga
negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap
warga negara dalam pemilihan umum di Indonesia .
Dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, Hak
politik warga Negara diatur dalam bab hak turut serta dalam pemerintah,
yakni diatur dalam Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3) serta pasal 44 yang
berbunyi sebagai berikut :35
Pasal 43
(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintah dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perUndang-Undangan.
(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
35 Lihat pasal 43 dan 44 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
24
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efesien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari semua konsepsi perlindungan hak politik sebagaimana yang telah dibahas diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi instrument hukum internasional maupun hukum nasional Republik Indonesia mencakup hak-hak sebagai berikut :
1. Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemelihan umum.
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya.
3. Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
4. Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik dalam pemerintahan.
Hak pertama yakni untuk hak dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat untuk ikut dalam
memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri menjadi calon
pejabat publik dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih
merupakan ranah politik praktis dimana jabatan-jabatan politik tersedia
antara lain : Jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang pemilihannya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 juncto Undang -
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden. Jabatan Gubernur, Bupati, Wali Kota sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Terakhir Jabatan
Anggota DPR, DPD dan DPRD yang pengaturannya diatur dalam
25
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Undang-Undang
mengatur pula tentang pembatasan atas hak-hak tersebut. Berdasarkan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan bahwa :36
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945,
jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian ini
mengacu pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang -
Undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut
maka tidak dimungkinkan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak
dan kebebasaan yang melekat pada setiap orang dan warga negara
Indonesia. Kerangka hukum yang demikian ini perlu untuk dipahami
secara bersama-sama dalam rangka memaknai “hak” yang telah diakui
dan diatur secara hukum di Indonesia. Kondisi demikian tersebut diatas,
apabila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
36 Lihat pasal 28J ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan adanya
bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih dan dipilih yang
melekat pada warga negara Indonesia. Adanya ruang untuk melakukan
pembatasan tersebut sebagaimana yang telah dipaparkan diatas,
melahirkan pengaturan bahwa hak memilih dan dipilih tersebut
dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga negara Indonesia.
Artinya, hak memilih tersebut diberikan pembatasan-pembatasan
sehingga warga negara yang diberikan jaminan memiliki hak dipilih dan
memilih tersebut benar-benar merupakan warga negara yang telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.37
C. Jabatan Publik
Istilah Pejabat Publik akan mengundang berbagai pendapat atau
pandangan mengenai apa itu pengertian Pejabat Publik. Dari berbagai
pandangan tersebut, hanya akan dikemukakan pendapat dan pandangan
menurut prespektif hukum. Prespektif hukum yang dimaksudkan adalah
bagaimana para sarjana hukum, dan ketentutan hukum positif nasional
kita memberi pengertian tentang apa itu Pejabat Publik.
Pejabat Publik terdiri dari dua suku kata, yaitu Pejabat dan Publik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) memberi pengertian Pejabat
dengan pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur
37 https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses Tanggal 2 November 2017pukul 12.46 WITA.
27
pimpinan). Sementara, istilah Publik diartikan dengan orang banyak
(umum). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa Pejabat Publik adalah
pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting sebagai pempinan
yang demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai Pejabat Publik apabila
memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (i) bahwa dia adalah pegawai pemerintah;
(ii) menjabat sebagai pimpinan; dan (iii) bahwa tugasnya adalah
mengurusi kepentingan orang banyak.
Dalam kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi
negara, istilah “Pejabat Publik” memiliki makna yang semilar (sama)
dengan istilah “Pejabat Tata Usaha Negara”. Oleh karenanya, perlu
dikemukakan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan oleh
Jimly Asshiddiqie, bahwa setiap jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi
law creating function and law applying function adalah pejabat tata usaha
negara. Artinya, bahwa setiap jabatan yang melaksanakan fungsi-fungsi
pembuatan dan pelaksanaan norma hukum negara dapat disebut sebagai
pejabat tata usaha negara atau pejabat publik.
Pandangan Hans Kelsen tersebut juga mensyaratkan 3 (tiga) hal,
yaitu : (i) adanya jabatan; (ii) adanya fungsi pembentukan norma hukum
negara yang melekat pada jabatan tersebut; dan (iii) selain fungsi
pembuatan norma hukum negara, juga melekat fungsi pelaksanaan norma
hukum negara pada jabatan tersebut. Pengertian jabatan disini barangkali
dapat dirujuk sebagaimana dikemukakan di atas.
28
Dalam menggali pengertian yang lebih mendalam tentang Pejabat
Publik, dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara, perlu dikemukakan
bagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang -
Undang Nomor 9 Tahun 2004 (UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004) tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 (UU No. 8 Tahun 2008) tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, pada Pasal 1 angka
2 menyatakan : Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Badan yang dimaksudkan
disini adalah institusi atau organ, sementara pejabat adalah orang
perorangan yang menduduki jabatan tertentu. Jika dicermati bunyi
ketentuan tersebut, bahwa Pejabat Tata Usaha Negara itu bukan hanya
pegawai pemerintah saja, akan tetapi siapapun, institusi atau orang per
orang, yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan atas amanat dari
peraturan perUndang-Undangan, dapat disebut sebagai Pejabat Tata
Usaha Negara.
UU No. 8 Tahun 2008 memberi peristilahan yang lebih tegas dan
jelas, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 : Pejabat
Publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki
posisi atau jabatan tertentu pada badan publik. Sementara, yang
dimaksud badan publik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3
29
Undang-Undang yang sama : Badan Publik adalah lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi
nonpemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar
negeri.
Dari berbagai pandangan yang dipaparkan mengenai pengertian
Pejabat Publik, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan
“Pejabat Publik” adalah orang yang menduduki jabatan pada organ
pemerintahan atau nonpemerintahan, yang tugas dan fungsi pokoknya
berkaitan dengan penyelenggara negara, dimana untuk menjalankan
tugas dan fungsi tersebut digunakan dana yang bersumber dari keuangan
negara (APBN dan/atau APBD), apakah sebagian atau seluruhnya.
D. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata straf (bahasa belanda), yang adakalanya
disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah
hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.
30
Menurut Adami Chazawi,38 pidana lebih tepat didefinisikan sebagai :
Suatu perbuatan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara kepada
seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya
atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara
khusus larangan hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana
(strafbaar feit).
Menurut Soedarto,39 pidana adalah nestapa yang diberikan oleh
negara kepada seseorang yang melakukan palanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan
sebagai nestapa.
Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan
kepada seseorang pelanggar ketentuan Undang-Undang tidak lain
dimasukkan agar orang itu menjadi jerah. Sanksi yang tajam dalam
hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum
lain. Ini sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai
sarana terakhir apabila sanksi dan upaya-upaya pada bidang hukum yang
lain tidak memadai.
38 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian1. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2008 hlm.56 39 Nini Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan. Sinar Grafika.
2007:Jakarta. Hlm 11.
31
2. Jenis-Jenis Pemidanaan
2.1. Jenis Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
Hukum Pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni :40
a. Pidana Mati
Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati
semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111
ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal
340 KUHP, Pasal 365 ayat 4 KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan
akan dilaksanakan setelah mendapatkan fiat eksekusi dari Presiden
(Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana
tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian untuk pelaksanaan
pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa
ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No.
3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
b. Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara
merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.” Pidana
40 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, 2012:
Yogyakarta. Hlm. 107.
32
penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam
bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.
Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHP yang berbunyi :41
1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. 2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu
hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. 3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua
puluh tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), penggulangan (residive) atau karena yang telah ditentukan dalam Pasal 52.
4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
c. Kurungan
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan
pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP
yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman
pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama
satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP bahwa:
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali -kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
41 Lihat pasal 12 Kitab Undang –Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.
33
d. Pidana Denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari
pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah
kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh
Hakim/Pegadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia
melakukan perbuatan yang dapat dipidana.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain
selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi,
tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh atas nama
terpidana.
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan Hak – Hak tertentu
Pada dasarnya para penyusun Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana kita telah menolak lembaga pencabutan hak-hak , melainkan
mereka hanya menginginkan agar jenis-jenis hak yang dapat dicabut itu
hanyalah hak-hak, yang menurut sifat dan tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang itu, ternyata telah disalahgunakan oleh orang
tersebut. Menurut pendapat mereka, orang seperti tidak pantas untuk
diberikan hak yang ternyata telah digunakannya secara salah.42
42 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, 2010:Jakarta . hlm. 87.
34
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat
dicabut oleh hakim dengan suatu putusan adalah :43
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; 2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata; 3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum; 4) Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali atas orang yang bukan anaknya sendiri;
5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anaknya sendiri;
6) Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukan pencabutan hak, pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :44
1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
lamanya pencabutan adalah seumur hidup. 2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lama dari pidana pokoknya.
3) Dalam hal pidana denda, lamanya pidana pencabutan sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Pencabutan hak tersebut mulai berlaku pada hari putusan hakim
dapat dijalankan . Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang
pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan
penguasa lain untuk pemecatan itu.
43 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 44 Lihat pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.
35
b. Perampasan barang-barang tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti hanya pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu : 45
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang disengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hak-hak yang telah ditentukan dalam Undang-Undang;
3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya
diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu tidak
diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak
dibayar. Kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama
enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang
yang dirampas diserahkan.
c. Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa:46
“apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab Undang-Undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang -undang”.
45 Lihat pasal 39 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 46 Lihat pasal 43 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946.
36
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan
terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian
busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya
dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal -
pasal tindak pidana tertentu.
2.2. Jenis – Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang PTPK, jenis penjatuhan
pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana
korupsi adalah sebagai berikut :47
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang -
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan dalam
“keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”
adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan bahaya
47 Evi Hartanti, Op.cit. hlm.12.
37
sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada
saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
b. Pidana Penjara
Dalam hukum pidana korupsi terdapat 2 (dua) jenis pidana pokok
yang dijatuhkan bersamaan, yakni pidana penjara dan pidana denda.
Dalam penerapannya sistem penjatuhan pidana pokok tersebut terbagi 2
(dua) macam, yakni penjatuhan 2 (dua) macam, yakni penjatuhan 2 (dua)
jenis pidana pokok yang bersifat imperatif, dimana antara pidana penjara
dan pidana denda wajib dijatuhkan secara serentak. Sistem imperatif -
kumulatif ini diancam pada tindak pidana korupsi yang paling berat.
Adapun yang kedua yaitu penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang
bersifat imperatif dan fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana
denda. Diantara 2 (dua) jenis pokok ini wajib dijatuhkan ialah pidana
penjara (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan
pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana
penjara. Mengenai sifat fakultatif ini, jika dibandingkan dengan KUHP, sifat
penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana
tambahan. Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini
dirumuskan pada Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PTPK.
38
Selanjutnya mengenai ancaman minimum dan maksimum, dalam UU
PTPK, pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan ancaman
minimum dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun
pidana denda. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KUHP
dimana dalam pemidananya hanya diatur ancaman pidana maksimum
umum dan minimum umum.
c. Pidana Tambahan
Pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi :48
1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang -barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak -banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
48 Lihat pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
39
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
3) Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar yang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersubut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
d. Gugatan Perdata kepada Ahli Warisnya
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan
pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian negara, maka penuntut umum segara menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata kepada ahli warisanya.
e. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas
Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan
ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini
melalui prosedural ketentuan Pasal 20 (Ayat 1-6) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
40
E. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni Corruptio
atau Corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin dalam
bahasa Inggris menjadi corrution atau corrupt dalam bahasa Prancis
menjadi istilah corruptie (korrutie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah
lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia.49 Corruptie yang juga disalin
menjadi corruptíën dalam bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan
korup, penyuapan. 50Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam
perbuatan yang tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah sebagai
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.51
Dalam Black’s Law Dictionary,
“korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakter untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.”52
Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas/tindakan
secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi
kepentingan pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat
penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalagunaan kekuasaan
49 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Sinar Grafika , 1991:Jakarta.hlm.7. 50 S. Wojowasito,Kamus Umum Belanda Indonesia, PT Ichtiar baru, 1999 : Jakarta. hlm. 128 51 Ibid. 52 Chaeruddin dkk, Op.cit. hlm.2.
41
(abuse of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi.
Huntington menyebutkan bahwa :
“korupsi adalah perilaku menyimpang dari publik official atau para pengawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.”53
Dalam arti sosial tampaknya masyarakat memang mengasosiasikan
korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau kantor) dan
menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan,
walaupun dari sudut hukum tidak sama persis. Mengingat dari sudut
hukum banyak syarat/unsur yang harus dipenuhi bagi suatu tingkat laku
agar dapat dikualifikasikan sebagai salah satu dari tindak pidana korupsi
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.54
Definisi lain dari korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau
uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok
sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah
laku pribadi.55 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
mendifinisikan :
“korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.”56
53 Ibid 54 Adami Chazawi, Op.cit. hlm.2. 55 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia,2001 : Jakarta. hlm 31. 56 Rohim,Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi,Pena Mukti Media,2008 : Depok.hlm.2.
42
Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan
bahwa dalam arti hukum,:
“korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemeritah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.”57
Vito Tanzi mengumukakan bahwa :
“korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik, keputusan ini dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.”
Dalam hal ini, Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan
menyebutkan benang menyebutkan barang mewah yang menjelujuri
dalam aktivitas korupsi, yaitu subornasi kepentingan umum di bawah
kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,
pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Menurutnya,:
“corruption is the abuse of trust in the inferest of private gain”, penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.58
S.H. Alatas mendefinisikan :
“korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan “apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi.”59
57 I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi”Prespektif Tegaknya Keadilan Melawan
Mafiah Hukum”, Pustaka Pelajar, 2010: Yogyakarta, hlm.16. 58 Chaeruddin et al,. Op.cit, hlm 3. 59 S.H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjajah Dengan Data Kontemporer, LP3ES, 1986 : Jakarta,hlm.11.
43
2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Definisi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggelompokkan 7 (tujuh) jenis
tindak pidana korupsi yaitu :60
1) Korupsi yang merugikan keuangan Negara
Perbuatan yang merugikan negara dalam UU PTPK terbagi atas 2
(dua) bagian yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan
merugikan negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
PTPK yang berbunyi :
“ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan 61memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan yang paling lama 20 (tahun) dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Selanjutnya yang kedua yaitu menyalahgunakan jabatan untuk
mencari keuntungan dan merugikan negara, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 3 UU PTPK, yang berbunyi:62
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau perekonomian negara, di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
60 Surahim da Suhandi Cahaya,Strategi dan Teknik Korupsi,Sinar Grafika, 2011 :Jakarta ,hlm.16-17. 61 Lihat pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 62 Lihap pasal 3 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
44
2) Korupsi yang berhubungan dengan suap menyuap
Perbuatan suap-menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau
menerima uang atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1,
Pasal 5 ayat (1) hurufb, Pasal 5 ayat (2), Pasal 13, Pasal 12 huruf a, Pasal
12 huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6
ayat (2), Pasal 12 huruf c, dan Pasal 12 huruf d UU PTPK.
3) Korupsi yang berhubungan dengan penyalahguaan jabatan
Dalam hal ini yang diaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah
seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya
melakukan penggelapan laporan keuangan, melahilangkan barang bukti
atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan
untuk menguntunkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini
sebagaimana rumusan Pasal 8 UU PTPK.
Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal-
pasal lain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan, yaitu Pasal 9,
Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf c UU PTPK.
45
4) Korupsi yang berhubungan dengan pemerasan
Dalam UU PTPK, pemerasan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian
yaitu pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kepada orang
lain atau kepada masyarakat sebagaimana yang telah tercantum pada
Pasal 12 huruf e UU PTPK, kemudian yang kedua yaitu Pemerasan yang
di lakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. Korupsi
jenis ini di atur dalam Pasal 12 UU PTPK.
5) Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan
Korupsi jenis ini yaitu kecurangan yang dilakukan oleh pemborong,
pegawas proyek, rekanan TNI / Polri, pegawas TNI / Polri, yang
melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap keuangan negara
atau yang dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang.
Selain itu pegawai negeri yang menyerobot tanah negara yang
mendatangkan kerugian bagi orang lain juga termasuk dalam jenis korupsi
ini.
Adapun ketentuan yang mengatur tentang korupsi ini yaitu Pasal 7
ayat 1 huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c dan d ,
Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 huruf h UU PTPK.
46
6) Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan
Korupsi yang berkaitan dengan pengadaan diatur dalam Pasal 12
huruf i UU PTPK sebagai berikut :63
“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau seluruh atau sebagian di tugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.”
7) Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi
Yang dimaksud dengan korupsi jenis ini adalah pemberian hadiah
yang diterima oleh pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dan tidak
dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya
gratifikasi. Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 b dan Pasal 12 c UU
PTPK.
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia
pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti hukum pidana umum.
Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang
dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat
dalam Pasal 20 jo. Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.64
63 Lihat pasal 12 huruf i Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 64 Adami Chazawi, Op.cit, hlm.317.
47
a) Subjek Hukum Orang
Subjek hukum tindak pidana korupsi tidak dapat terlepas pada
sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dianut dalam
hukum pidana umum (KUHP) adalah pribadi orang. Hanya orang yang
dapat menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau korporasi
tidak. Pertanggungjawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani
tanggungjawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si
pembuatnya. Pertanggungjawaban pribadi tidak dapat dibebankan pada
orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).
Hukum pidana Indonesia menganut asas concordantie dari hukum
pidana Belanda menganut sistem pertanggungjawaban pribadi. Sangat
jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUHP yang dimulai dengan
frasa “barang siapa” (hij die), 65yang dalam hukum pidana khusus
adakalanya menggunakan frasa “setiap orang” yang maksudnya adalah
orang pribadi. Misalnya Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi atau Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tentang Pencucian Uang.
Sistem pertanggungjawaban pribadi sangat sesuai dengan kodrat
manusia, sebab hanya manusia yang berfikir dan berakal. Dari
kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan
kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan. Apabila wujud
65 Jan Remmelink,Hukum Pidana Komentar atas Paal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka, 2003 : Jakarta, hlm 97.
48
perbuatan itu berupa perbuatan yang bersifat tercela atau bertentangan
dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan bertanggung
jawab atas perbuatannya. Kemampuan pikir dan kemampuan
menggunakan akal dalam menetapkan kehendak untuk berbuat hanya
dimiliki oleh orang dan dijadikan dasar untuk menetapkan orang sebagai
subjek hukum tindak pidana.66
Sedangkan binatang dan badan tidak memiliki kemampuan berfikir
dan kemampuan akal yang dapat digunakan untuk membentuk kehendak
untuk melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu, binatang dan badan
tidak digunakan dan harus dibuang jauh-jauh. Alasan itupun yang dipakai
oleh Pemerintah Netherlands untuk mengesampingkan konsep Von
Savigny dengan teori fiksinya (fiction theory) yang mencoba memasukkan
pertanggungjawaban dalam hukum perdata ke dalam hukum pidana.
Disana dinyatakan bahwa badan atau korporasi dianggap dan
diperlakukan seolah-olah manusia menjadi subjek hak dan kewajiban
hukum. Badan tersebut dapat dipersalahkan seperti mempersalahkan
orang atas perbuatan yang dilakukannya.67
Dalam hukum pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, subjek hukum orang ini ditentukan melalui dua cara, yaitu :
66 Adami Chazawi, Op.cit, hm.318. 67 Ibid.
49
1) Cara pertama disebutkan sebagai subjek hukum orang pada umumnya, artinya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umumnya, yang in casu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” (misalnya Pasal 2, 3, 21, 22), tetapi juga subjek hukum tindak pidana juga diletakkan di tengah rumusan (misalnya Pasal 5, dan 6).
2) Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yang in casu ada banyak kausalitas pembuatnya seperti : pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i,); pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat 1 huruf a); hakim (Pasal 12 huruf c); advokat (Pasal 12 huruf d); saksi (Pasal 24); bahkan tersangka bisa menjadi objek subjek hukum (Pasal 22 jo. Pasal 28).
b) Subjek Hukum Korporasi
Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana di luar KUHP), yang
sifatnya melengkapi hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh
pada prinsip pertanggungjawaban pidana secara pribadi yang dianut dan
dipertahankan sejak dibentuknya Wetbook Van Strafrecht (WvS) Belanda
1881 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-
undangan tampaknya kita telah menganut sistem pertanggungjawaban
strict liability (pembebanan tanggung jawab pidana tanpa melihat
kesalahan) dan vicarious liability (pembebanan tanggung jawab pidana
pada selain si pembuat) dengan menarik badan atau korporasi ke dalam
pertanggungjawaban pidana. Sebagai contoh, terdapat pada peraturan
perundang-undangan yang memuat hukum pidana khusus berikut :
50
1) Pasal 15 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Darurat Nomor
7 Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
2) Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
3) Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan (4) Peraturan Presiden Nomor 11
Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (telah
dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999).
4) Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahaan.
5) Pasal 78 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
6) Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
7) Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
8) Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.
51
9) Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
10) Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro68,bahwa dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana :
1) Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus korporasi yang bertanggungjawab;
2) Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
3) Jika korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab.
Model-model pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro tersebut sama dengan yang dikemukakan oleh Muladi dan Dwidja Priyanto, yaitu :69
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
3) Korporasi sebagai pembuat dan juga yang bertanggung jawab.
Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi juga dapat dibaca pada Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirumuskan sebagai berikut :70
68 Mardjono Reksodiputro,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah
Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, 23-24 November 1989, FH Undip, Semarang hlm.9. 69 Muladi dan Dwidja Prayitno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Kencana Prenada Media Group, 2012 :
Jakarta,hlm.86. 70 Lihat pasal 20 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
52
1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
Walaupun dari ketentuan itu tidak banyak yang dapat diketahui
karena sumirnya rumusan, tetapi Pasal 20 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini memuat beberapa ketentuan.
Setidaknya ada tiga hal yang benar-benar harus dipahami oleh para
praktisi hukum dalam menetapkan subjek hukum korporasi yang
melakukan tindak pidana korupsi, yakni :
1) Indikator kapan telah terjadi tindak pidana korupsi oleh korporasi;
2) Secara sumir mengatur hukum acaranya; dan
3) Mengenai pembebanan tanggung jawab pidananya.
53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penelitian penulis memilih lokasi penelitian di Kota
Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dengan lokasi penelitian di beberapa
perpustakaan terlebih Perpustakaan di Universitas Hasanuddin dan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Sebagai lokasi penelitian untuk
mempermudah memperoleh data dan informasi yang akurat dan relevan
terkait dengan permasalahan yang dibahas.
B. Jenis dan Sumber Data
Oleh karena penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah Penelitian
Normatif, maka jenis data yang paling utama yang digunakan oleh penulis
adalah Data Sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Adapun
data sekunder mencakup :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari
bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung
penelitian, seperti buku-buku hukum, artikel, tulisan-tulisan,
karya ilmiah, internet, dan sebagainya.
54
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder. Contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif dan sebagainya.
Sedangkan sumber data dari penelitian ini adalah penelitian pustaka
(library reserch), yaitu menelaah berbagai buku kepustakaan, korban
karya ilmiah yang memiliki hubungan dengan objek penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam enelitian ini
adalah :
1. Studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan
cara mencatat dokumen-dokumen (arsip) yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dikaji.
2. Wawancara , yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya
jawab baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
Akademisi, Praktisi, dan masyarakat kaitannya dengan judul
yang akan penulis teliti.
55
D. Analisis Data
Data yang diperoleh Penulis, akan diolah dan di analisis berdasarkan
rumusan masalah yang telah diterapkan sehingga diharapkan dapat
diperoleh gambaran yang jelas. Analisis data yang digunakan adalah
analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan
konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan selanjutnya data
tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan dan
menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya
dengan penelitian ini.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Regulasi Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan
Publik Sebagai Pidana Tambahan Bagi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi jika dikaitkan dengan penerapaan Hak Asasi Manusia
1. Regulasi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam Kitab
Undang-Undang Hukum pidana dan 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, seseorang bisa tercabut hak-
hak sipil dan politiknya dalam kondisi – kondisi tertentu salah satunya
ketika ia ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang memiliki
kekuatan hukum tetap. Pencabutan demikian memang dimungkinkan dan
tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Salah satu kondisi
pencabutan itu memang dimungkinkan bagi pelaku tindak kejahatan
politik. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku,
terdapat aturan mengenai pencabutan hak bagi mantan narapidana. Salah
satunya mengenai pencabutan hak memilih dan dipilih serta bisa juga
ditemui dalam hal menduduki jabatan publik.
57
Pencabutan hak-hak tertentu berada di ranah kehormatan yang
membedakannya dari pidana hilang kemerdekaan. Pertama, pencabutan
hak tertentu tidak otomatis karena harus ditetapkan lewat putusan hakim.
Kedua, tidak berlaku seumur hidup tetapi menurut jangka waktu menurut
undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Seperti yang termuat dalam beberapa aturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pencabutan hak pada Pasal 10 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis Pidana
tambahan terdiri atas :71
1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim.
Pencabutan hak – hak tertentu juga di atur sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 35 KUHP, yaitu :72
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu b. Hak memasuki angkatan bersenjata c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut
hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap orang yang bukan anaknya sendiri
e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Di luar ketentuan Buku II KUHP dimungkinkan mencabut hak
memegang jabatan dalam hal ada kejahatan jabatan atau dalam hal orang
dalam melakukan tindak pidana melanggar kewajiban jabatan khusus atau
mempergunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana, yang diberikan
71 Lihat pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 72 Lihat pasal 35 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946
58
kepadanya melalui jabatan itu. 73Hak memilih dan dipilih yang dapat
dicabut adalah hak berdasarkan undang-undang, misalnya untuk menjadi
anggota DPR atau mengisi jabatan publik lainnya.
Andi Hamzah mengingatkan dalam hal pencabutan hak memilih dan
dipilih meliputi hak pilih aktif dan pasif. Ada perbedaan KUHP Indonesia
dengan WvS Belanda. Dalam KUHP Indonesia kata ‘pemilihan’ lebih luas
pengertiannya karena merujuk pada peraturan umum. Tidak dikatakan
pemilihan menurut ketentuan Undang-Undang.74
Wetboek Van Starfrecht (Wvs) Tahun1915 yang kemudian menjadi
KUHP Indonesia menggunakan frasa ‘krachtens algeemene
verordeningen gehouden verkiezingen’, sedangkan Wvs Belanda memuat
kalimat ‘krachtens wettelijk voorschrift uitgeschreven verkiezingen’. di
Indonesia bukan mengenai apakah hak pilih aktif dan hak pilih pasif itu
ditentukan dalam suatu peraturan umum yang dibuat pemerintah
pusat/daerah, residen, atau hukum adat. jika pemilihan itu didasarkan
pada suatu peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah pusat.75
Kemudian kembali dalam aturan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana , pencabutan hak-hak tertentu yang diatur mengenai jenis-jenis
hak apa saja yang dapat dicabut dalam Pasa 35 di atas , aturan lebih
73 Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.Bandung : Eresco,1989, hlm 175. 74 Ibid. 75 E. Utrecht.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.Surabaya: Pustaka Tinta Mas. 1999. Hlm 371.
59
lanjut termuat dalam Pasal 38 KUHP mengenai limitasi waktu pencabutan
hak tersebut , yaitu :76
a. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
b. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lamanya dari pidana pokoknya.
c. Dalam hal pidana denda, lamanya pidana pencabutan sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Kata tertentu dalam pencabutan hak berarti pencabutan itu tidak
dapat dilakukan terhadap semua hak, hanya berlaku untuk hak-hak
tertentu saja yang bisa dicabut. Apabila semua hak dicabut, tentunya akan
membawa implikasi terpidana kehilangan semua haknya termasuk
kesempatan untuk hidup.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Tipikor menyebutkan selain
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :77
a. Perampasan baik yang berwujud maupun tidak terhadap suatu barang dari hasil kejahatan berupa korupsi, termasuk tempat dia melakukan perbuatan korupsi misalnya perusahaan, dan barang yang bisa menggantikan barang dari hasil tindak pidana korupsi.
b. Pelunasan dengan membayar berupa sejumlah uang sebagai penganti dengan yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d. Pemberian hukuman lain berupa hak-hak tertentu yang dicabut atau keseluruhan keuntungan atau sebagian atau diberikan oleh pemerintah kepada terdakwa baik yang sudah ataupun tidak.
76 Lihat pasal 38 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1946. 77 Lihat pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
60
2. Perlindungan Hak memilih dan dipilih dalam UUD 1945.
Hak seorang warga negara merupakan kehadiran kewajiban di pihak
negara yang direpresentasikan oleh penyelenggara negara, maka menjadi
jelas bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak – hak warga
negaranya. Melihat ruang lingkup konsepsi politik yang oleh Mirriam
Budiatdjo 78yang dipahami sebagai segala kegiatan yang menyangkut
kegiatan – kegiatan pokok politik menyangkut :
“(1) negara; (2) kekuasaan (power); (3) pengambilan keputusan (decisionmaking); (4) kebijakan (policy neleid); (5) pembagian distrinution) atau alokasi (allocation).”
Maka berangkat dari konsep itu, dapatlah penulis mengambil garis
pemahaman yang sederhana bahwa hak memilih dan dipilih secara
sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu hal yang menyangkut
politik yang dapat dituntut oleh warga negara kepada negara untuk
memenuhinya. Dengan begitu bisa dipahami bahwa hak (entittlement)
dalam konteks hak memilih dan dipilih, adalah menyangkut segala bidang
politik yang menjadi hak warga negara dimana negara berkewajban
memenuhinya.
Perjuangan hak asasi manusia sebagaimana telah diterangkan di
atas, membuahkan banyak perbaikan. Demi menjaga perjuangan itu agar
tetap berlaku abadi, para pejuang hak asasi manusia saat itu memutuskan
untuk menetapkan komitmen jaminan hak asasi manusia itu dalam
sebuah dokumen perjanjian. Tujuannya adalah sebagai bukti tertulis
78 Mariam Budiardjo, Op.cit. hlm 8.
61
komitmen para pihak (penguasa dan rakyat) waktu itu untuk memastikan
jaminan perlindungan hak asasi manusia itu benar – benar dijalankan.
Sehingga muncullah dokumen – dokumen bersejarah seperti Magna
Charta dan Bill of Rights di Inggris, Declaration of Independence di
Amerika, Declaration of Rights of Man and of the Citizen di Prancis dan
terakhir berpuncak pada peristiwa penandatanganan naskah Universl
Declaration of Human Rights pada tahun 1948.
Secara nasional, perlindungan hak asasi manusia itu muncul dalam
dokumen hukum positif negara bersangkutan, baik tercantum dalam
konstitusi tertulis ataupun dalam undang – undang yang lebih mengatur
khusus.
Jaminan hak memilih dan dipilih warga negara dalam hukum
nasional berpuncak kepada konstitusi tertulis Republik Indonesia yakni
Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sejarah perlindungan hak politik
warga negara Indonesia mengalami pasang surut semenjak orde lama,
orde baru dan kembali bangkit ketika memasuki masa orde reformasi.
Perlindungan hak memilih dan dipilih dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca
Amandeman diatur dalam pasal 27 ayat (1), padal 28, pasal 28D ayat (3),
pasal 28E ayat (3) dan pasal 28J ayat (2) sebagaimana termuat sebagai
berikut :79
79 Lihat pasal 27 ayat (1), 28,28D,28E dan pasal pasal 28J ayat (2), Undang – Undang Dasar 1945.
62
Pertama, pasal 27 ayat (1). Pasal ini menyatakan bahwa :
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Muatan pasal 27 ayat (1) di atas menegaskan bahwa segala warga
negara dijamin kesetaraan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dengan tanpa terkecuali. Rumusan tersebut dengan jelas
menyatakan bahwa konstitusi kita mengakui prinsip equality before the
law atau persamaan kedudukan warga negara dihadapan hukum.
Implikasi yurudis dari pasal 27 ini tidak hanya menempatkan kedudukan
warga negara dalam hak yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan,
tetapi juga mengemban kewajiban yang setara untuk menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan sebaik-baiknya.
Kedua, pasal 28 UUD Tahun 1945. Pasal 28 menyatakan bahwa :
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, diterapkan dengan undang-undang.”
Muatan pasal 28 UUD Tahun 1945 ini sepintas terlihat bahwa
kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin secara eksplisit dalam
undang-undang. Akan tetapi pendapat Jimly Asshiddiqie adalah pasal 28
ini sama sekali bukanlah jaminan hak asasi manusia seperti yang
seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi.
Akhir muatan pasal 28 menyatakan bahwa hak berserikat itu
diterapkan dengan undang-undang. Berarti dengan demikian, bisa
63
diartikan bahwa jaminan itu baru akan ada setelah ditetapkan dengan
undang-undang. Karena itu, sebenarnya ketentuan asli pasal 28 UUD
Tahun 1945 itu bukanlah rumusan hak asasi manusia seperti umumnya
dipahami.
Ketiga, pasal 28D ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Muatan pasal ini menyatakan dengan tegas bahwa akses publik
kepada pemerintah adalah hak setiap warga negara Indonesia. Dengan
ketentuan pasal 28D ayat (3) ini setiap hak untuk menduduki jabatan
publik dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-
undang.
Keempat, pasal 28E ayat (3) yang menyataka bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Sepintas kalimat pasal ini sama dengan rumusan pasal 28 yang
menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,
ditetapkan dengan undang-undang. Muatan pasal 28 ini sebagaimana
dijelaskan Jimly Asshiddiqie bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam
konstitusi, karena perlindungannya ditentukan lebih lanjut dalam undang-
undang. Sedangkan muatan pasal 28E ayat (3) dengan tegas menjamin
hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat itu.
64
Dengan demikian, menurut Jimly Asshiddiqie perlindungan hak
berserikat dan berkumpul telah ditetapkan menjadi hak asasi yang
dilindungi oleh pasal 28E ayat (3). Semestiya pasal 28 diharuskan karena
bertentangan dengan pasal 28E ayat (3). Dengan demikian konsepsi hak
berserikat warga negara yang diatur dalam Bab X UUD NRI Tahun 1945
amandemen, haruslah dipahami dalam kerangka pasal 28E ayat (3) dan
bukan dalam kerangka 28. Hal ini karena kemerdekaan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan dan tulisan,
memang telah dijamin oleh UUD 1945, meskipun ketentuan
pelaksanaannya memang diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Terakhir, pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 memuat :
“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang – Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalan suatu masyarakat demokratis”
Berdasarkan ketentuan pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,
jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebaannya,
dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian mengacu
pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang – Undang,
artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka
tidak dimungkinkan adanya pembataan terhadap pelaksanaan hak dan
kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia.
65
Adanya ruang untuk melakukan pembatasan tersebut sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas, melahirkan pengaturan bahwa hak memilih
dan dipilih tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga
negara Indonesia. Artinya, hak memilih dan dipilih tersebut diberikan
pembatasan – pembatasan sehingga warga negara yang diberikan
jaminan memiliki hak memilih dan dipilih tersebut benar – benar
merupakan warga negara yang telah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan.80
3. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan
dipilih dalam persfektif Hak Asasi Manusia.
Sebagai Negara Hukum maka Indonesia selalu menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Selalu menjamin segala hak warga bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dengan tidak ada
kecualinya81. Dalam perkara korupsi terutama yang dituntut KPK hak
terdakwa untuk diperlakukan secara fair untuk memperoleh keadilan
sangat tidak penting.
Meninjau ciri negara hukum yang dikemukakan Julius Stahl, bahwa
negara hukum itu memiliki ciri-ciri antara lain :
(1) Perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) Pemisahan kekuasaan, (3) Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
undang-undang,
80 https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-saranapelaksanaan- kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses pada 11 Januari2018 pukul 10.05 WITA. 81 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. Cet Ke-2. Jakarta:Sinar Grafika 2004. Hlm. 33.
66
(4) Adanya perasilan Administrasi yang berdiri sendiri. 82
Sedangkan di sisi lain sarjana hukum Anglo Amerika A.V Dicey yang
mempopulerkan istilah negara hukum dengan sebutan the of law
menyatakan bahwa negara hukum meliputi tiga unsur yakni : 83
(1) Supremasi dari hukum (supremacy of law), (2) Persamaan dalam kedudukan hukum (equality before the law), (3) Due Process of law.
Pencabutan hak mengingatkan kembali adanya hukuman-hukuman
yang merendahkan martabat manusia (onterende straffen). Kesepakatan-
kesepakatan internasional sudah menegaskan penghapusan terhadap
hukuman yang merendahkan martabat manusia. Meniadakan atau
mengurangi hak asasi terpidana kasus korupsi merupakan tindakan
diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip
keadilan manusia.84
Menurut Saldi Isra salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi
“Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan Konvensi Internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”85
82 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,Jakarta :Konstitusi Press.hlm 122. 83 Ibid.hlm 122. 84 Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturab Hak Asasi Manusia di Indonesua,Bandung: Penerbit
PT.ALUMNI.hlm. 5. 85 Saldi Isra, sebagai saksi ahli dalam persidangan sengketa pemilu presiden tahun 2014, di Mahkamah Konstitusi 19 Agustus 2014.
67
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D
ayat (3) memuat :
“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah”86
Dengan jaminan hak memperoleh kesempatan dalam pemerintahan,
maka menurut penulis penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik pada kasus Djoko Susilo dan
Lutfhi Hasan Ishaaq bertentangan dengan konstitusi yang mengatur
mengenai jaminan hak asasi manusia yang di atur dalam pasal 28D ayat
(3) UUD 1945 seperti yang telah diuraikan di atas.
Hal tersebut di atas menjadi sebuah pelanggaran hak asasi manusia
apabila penerapan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik tersebut pada kasus Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan
Ishaaq yang merupakan terpidana korupsi yang lamanya pencabutan hak
memilih dan dipilih tersebut tidak dicantumkan batas waktunya, hal
tersebut berarti telah menghapus atau meniadakan hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik tersebut menjadi bertolak belakang dengan HAM.
Penerapan pidana tambahan tersebut juga melanggar HAM,
dianggap melanggar HAM sebab dalam vonis tersebut tidak dicantumkan
mengenai sampai kapan batas waktu pencabutan hak tersebut. Ini berarti
hakim telah mencabut salah satu hak warga negara secara utuh yang
seharusnya hanya bisa dibatasi. Karena hak untuk turut serta dalam
86 Lihat pasal 28D ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945.
68
pemerintahan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43 :87
1). Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemungutan suara yang langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang– undangan.
2). Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan.
3). Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Selain dalam UUD 1945 dan UU HAM, Undang – Undang Nomor 12
Tahun 2005 Tentang Pegesahan Konvensi hak – hak sipil dan politik juga
menjamin hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik warga negara
dalam Pasal 25 :88
Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk :
1) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
2) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;
3) Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.
Hak – hak yang bisa dicabut hanya hak dalam bidang tertentu saja,
berlakunya juga dibatasi termasuk pencabutan hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik. Artinya jika perkara pidana putusan telah berakhir
dan kemudian haknya dicabut artinya hak-haknya tidak penuh. Maka
87 Lihat paal 43 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 88 Lihat pasal 25 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
69
terhadap Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan yang dihukum dengan
pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik seumur hidup
bertentangan dengan konstitusi, terutama HAM yang dimuat dengan
konstitusi. Karenanya hak tidak boleh dirampas untuk seumur hidup hanya
boleh dibatasi waktunya maksimum 5 (lima) tahun.
Dalam vonis Djoko Susilo ini adalah majelis hakim tidak
mencantumkan berapa lama hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik
tersebut dicabut, ini berarti hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik
Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq dicabut selamanya yang
seharusnya mendapatkan batasan seperti yang diatur dalam pasal 38
KUHP, dan UU HAM yang hanya mengenai pembatasan. Jadi bukan
dicabut seutuhnya, dihilangkan atau ditiadakan, melainkan hanya
mengurangi atau membatasinya. Akibatnya terjadilah pelanggaran HAM
dalam vonis pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik
tersebut.
Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
pasal 73 :
“hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”
Yang menjadi fokus dalam pasal ini adalah pembatasan berdasarkan
undang-undang, yang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang
70
lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Bukan
dicabut dengan tujuan untuk memberi efek jera terhadap para koruptor.
Selanjutya dalam pasal 74 UU HAM :
“tidak satu ketentuan pun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapus hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.”89
Dengan berdasarkan pasal tersebut menurut penulis pencabutan hak
yang diterapkan pada Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq yang tidak
mencantumkan lama hak tersebut dicabut tidak dapat dibenarkan. Karena
telah mencabut salah satu bagian dari hak asasi manusia yang diatur
dalam UU HAM, meskipun pencabutan tersebut melalui vonis hakim.
Seharusnya dalam vonis penjatuhan pidana tambahan pencabutan
hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik jangan sampai mengurangi
atau merampas harkat dan martabat seseorang sebagai manusia seperti
yang termuat dalam TAP MPR No.XVII Tahun 1998 Tentang HAM yang
memuat :
“setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh.”90
89 Lihat pasal 73 dan 74 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 90 Lihat bagian pemahaman Hak Asasi Manusia bagi bangsa Indonesia pada TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM.
71
Jadi seharusnya tidak ada perbedaan dari status orang sebagai
narapidana koruptor atau bukan dalam menjalankan hak konstitusionalnya
untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Perlu diketahui bahwa pencabutan segala hak yang dimiliki atau
diperoleh seseorang sebagai warga negara yang dapat menyebabkan
kematian perdata (burgelijke daat) tidak diperkenankan oleh undang-
undang. Hal ini diatur dalam pasal 3 BW dan pasal 15 ayat (2) Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS) yang berbunyi “
“Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewarganegaraan.”
Hak sipil megakui dan melindungi hak-hak yang paling fundamental
dari seorang manusia berkaitan dengan martabatnya sebagai makhluk
pribadi, sedangkan hak politik berkaitan dengan kehidupan publik.91
Beberapa kalangan yang kontra atau tidak setuju terhadap
dijatuhkannya pencabutan hak memilih dan dipilih kepada terpidana
korupsi, bagi mereka pencabutan hak memilih dan dipilih adalah
pelanggaran HAM yang telah diatur secara konstitusional. Hal itu masih
dapat terbantahkan, sebab setiap hukuman atau pemidanaan pada
dasarnya memang adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggarannya
diperbolehkan, sepanjang berdasarkan undang-undang. Sebagai contoh
pada Penyelidik dan Penyidik yang melakukan penangkapan, penahanan,
91 Bagir Manan.Op.cit.hlm 101.
72
dan perampasan harta benda yang berhubungan dengan perbuatan
pidana yang digunakan sebagai bukti untuk mengungkap suatu kasus
adalah pelanggaran HAM, namun karena alasan tertentu yang dibenarkan
berdasarkan KUHAP, maka hal itu bukan lagi terklasifikasi dalam
pengurangan atau pelanggaran HAM.
Pencabutan hak memilih dan dipilih bagi pelaku tindak pidana
korupsi tidak melangar hak asasi manusia karena termasuk dalam
kategori derogable rights atau hak yang bisa dilanggar penegak hukum,
dalam hal ini hakim yang memutuskan, dalam rangka penegakan hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Pada masa lalu, hukuman tambahan
tersebut bisa berupa kematian perdata (mort civiel) bagi pelaku kejahatan
berat, namun sekarang umumnya tidak diberlakukan. Hukuman pidana
tambahan lebih dimaksudkan untuk mencegah terpidana
menyalahgunakan hak tersebut agar kejahatan serupa tidak terulang
kembali.
Menurut pengertian di atas, status pejabat publik yang melakukan
tindak pidana korupsi, tidak serta merta di cabut haknya sebelum ada
putusan hakim. Putusan hakim tersebut dalam amar putusannya harus
mencantumkan dengan jelas bahwa selain pidana pokok, juga diberikan
pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dengan
menyebutkan batas waktu lamanya pencabutan hak. Disini diperlukan
peran aktif hakim, untuk segera memberikan pidana tambahan dalam
73
setiap putusannya terutama kepada para pelaku tindak pidana korupsi,
mengingat korupsi itu sangat berbahaya dan dapat mengancam
kehidupan bangsa dan negara.
Pada dasarnya penulis setuju bila pelaku tindak pidana korupsi harus
dihukum berat namun jangan sampai berlebihan apalagi sampai
melanggar hak asasi manusia. Pencegahan tindak pidana korupsi harus
lebih diutamakan pada orang yang belum pernah terjerat dengan kasus
korupsi, sedangkan yang sudah pernah terjerat kasus korupsi mereka
harus diberi bekal mental dan pembangunan karakter kembali karena
setiap orang berhak untuk menjadi lebih baik. Dalam hal ini bukan dengan
cara pencegahan melalui pencabutan hak memilih dan dipilih dalam
jabatan publik agar pelaku tindak pidana korupsi tidak memiliki cela atau
akan berpikir kembali untuk mengulangi kejahatannya.
74
B. Implementasi hukum terhadap pencabutan hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan bagi
pelaku tindak pidana korupsi
Undang – Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat). Idealnya
sebagai negara hukum, atau supremasi hukum yaitu hukum mempunyai
kekuasaan yang tertinggi di dalam negara. 92Dalam hal ini, putusan
pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan,
termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan
pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul
begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. 93
Seperti yang dikutip oleh Bambang Waluyo, G.P. Hoefnageles :
“Sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang – undang dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh hakim.”94
Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cerminan
peradilan kita. Apabila proses peradilan yang misalnya berakhir dengan
penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan
kita dinilai baik. Akan tetapi apabila sebaliknya, tentu dinilai sebaliknya
pula. Bahkan dapat dicap sebagai suatu kemerosotan hukum. Jika Hakim
92 Bambang Waluyo.Op.Cit.hlm.33. 93 Ibid. hlm 33-34. 94 Teguh Prasetyo.Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusa Media:Bandung.2010.hlm 79.
75
menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jika bukan hanya balas
dendam ataupun bersifat formalitas akan hukum.95
Dasar hukum yang digunakan KPK menuntut pencabutan hak
memilih dan dipilih kepada Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq adalah
pasal 18 ayat (1) huruf d sebagaimana tersebut di atas dan hakim pun
mengabulkannya. Hal ini merupakan sebuah terobosan hukum dalam
pembaharuan hukum pidana Indonesia. Mengingat kejahatan korupsi
adalah extra ordinari crime.
Ketentuan pasal 18 ayat (1) UU Tipikor, ditambahkan ketentuan
pidana tambahan 96yakni jika terpidana tidak membayar uang pengganti
paling lama dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya itu dapat
disita dan dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang cukup
untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara yang lamanya
tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
dengan ketentuan UU Tipikor dan lamanya pidana telah ditetapkan dalam
putusan pengadilan.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu bukan berarti
hak-hak terpidana dapat dicabut semuanya. Pencabutan tersebut tidak
meliputi pencabutan hak hidup, hak sipil (perdata), dan hak
95 Ibid.hlm.34 96 Evi Hartanti.Op.cit. hlm.65.
76
ketatanegaraan. Terdapat dua hal tentang pencabutan hak – hak tertentu,
yaitu :97
1. Tidak bersifat otomatis, harus ditetapkan dengan putusan hakim
2. Tidak berlaku seumur hidup, ada jangka waktu tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan suatu putusan hakim.
Salah satu Kasus Penulis Mengangkat kasus pengadaan Driving
Simulator Uji Klinik SIM Djoko Susilo putusan pengadilan tingkat pertama
yang tidak menjatuhkan hukuman pidana tambahan pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik dan kemudian pada pengadilan
tingkat banding membatalkan putusan tersebut dan memperberat
hukuman Djoko Susilo menjadi sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian diperkuat oleh
putusan kasasi amar putusan dengan Nomor 537K/Pid.Sus/2014 sebagai
berikut :98
1. Menyatakan Terdakwa Inspektur Jendral Polisi Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si. telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan gabungan beberapa kejahatan sebagaimana diatur dan diancam dalam Dakwaan Kedua Pertama dan Dakwaan Ketiga;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan tersebut tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 (satu) tahun;
97 Ibid.hlm.58-59. 98 Lihat amar putusan perkara nomor 53/K/Pid.Sus/2014.
77
3. Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 32.000.000.000,00 (tiga puluh dua miliar rupiah), dan apabila Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun;
4. Menghukm Terdakwa degan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
5. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalankan, dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Memerintahkan agar Terdakwa Inspektur Djoko Susilo, S.H., M.Si. tetap berada dalam tahanan;
7. Menetapkan agar seluruh barang bukti berupa...;
8. Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat Kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Selain Djoko Susilo juga ada kasus Lutfhi Hasan Ishaaq yang mana
orang tersebut dijatuhkan vonis pencabutan hak politik namun sedikit
berbeda dalam Kasus Lutfhi Hasan pencabutan hak yang dikenakan
adalah hak dipilih saja.
Lutfhi Hasan Ishaaq yang melakukan tindak pidana korupsi suap
pada proyek impor daging sapi. Ketertiban Lutfhi Hasan Ishaaq diketahui
melalui keterangan pada Ahmad Fathanah yang telah ditangkap terlebih
dahulu yang diketahui sebagai kurir dalam kasus suap ini. Saat tertangkap
tangan, KPK menduga uang sebesar Rp. 1 miliar yang ditemukan di
dalam mobil Ahmad Fathanah itu untuk diserahkan kepada Lutfhi Hasan
Ishaaq. Lutfhi Hasan Ishaaq telah melanggar pasal 12 huruf a dan b dan
78
atau pasal 5 ayat (2) dan pasal 11 UU Tipikor. Majelis Kasasi yang
menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif
terhadap Lutfhi Hasan Ishaaq yang tertuang dalam Putusan
1195K/Pid.Sus/2014.
Dalam kasus Lutfhi Hasan Ishaaq , pada tingkat pertama tidak
diputus dengan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih,
kemudian pada tingkat banding memperkuat putusan tingkat pertama,
nanti pada tingkat kasasi barulah hukuman Lutfhi Hasan Ishaaq diperberat
dan dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih
atau hak pilih pasif. Berikut adalah amar putusan dengan Nomor
1195K/Pid.Sus/2014 :99
1. Menyatakan terdakwa Lutfhi Hasan Ishaaq terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama – sama;
2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti degan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan mencabut hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik;
4. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;
6. Menetapkan barang bukti dalam perkara korupsi ini...;
7. Membebankan terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
99 Lihat amar putusan perkara nomor 1195/K/Pid.Sus/2014.
79
Berdasarkan amar putusan di atas, tidak mencantumkan batas waktu
sampai kapan pidana pencabutan hak tertentu yaitu hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
korupsi. Kondisi ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 38 KUHP ke-2 ,
dimana dalam pasal tersebut mengaharuskan adanya batas waktu
pencabutan hak tertentu selama dua tahun atau maksimum lima tahun
lebih lama dari pidana penjara yang dijatuhkan.
Putusan Pengadilan Tinggi untuk terpidana Djoko Susilo tercantum
dalam Putusan Nomor 36/PID/TPK/2013/PT.DKI yang diputus pada
tanggal 16 Desember 2013. Putusan Pengadilan Negeri untuk terpidana
Djoko Susilo diterapkan dalam Putusan Nomor
20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST yang diputus pada tanggal 27
Agustus 2013, yang menyebutkan :100
1. Menyatakan terdakwa Djoko Susilo telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama – sama dan gabungan beberapa kejahatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan kesatu primer Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Dakwaan kedua pertama Pasal 3 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Dakwaan ketifa Pasal 3 ayat (1) hurud c Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) subsideir 6 (enam) bulan kurungan;
100 Lihat amar putusan perkara nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.
80
3. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalankan dikurangkan seluruhnya dengan pidana penjara yang dijatuhkan;
4. Memerintah agar terdakwa tetap dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti dalam perkara kurupsi ini berupa...;
6. Membebankan terdakwa agar membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Putusan Pengadilan Tinggi untuk terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq ditetapkan dalam putusan Nomor 14/PID/TPR/2014/PT.DKI yang diputuskan pada tanggal 15 April 2014. Putusan Pengadilan Negeri untuk terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq tercantum dalam Putusan Nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST yang diputus pada tanggal 5 Desember 2013, yang menyebutkan :101
1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama-sama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana pernjara selama 16 (enam belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan agar masa tahanan yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari penjara yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Memerintahkan tentang barang bukti dalam perkara korupsi ini berupa...;
6. Memerintahkan terdakwa memebayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah);
101 Lihat amar putusan perkara nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.
81
Putusan di atas tidak dijatuhkan pidana tambahan pencabutan hak
memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan
Ishaaq. Pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan hak memilih dan dipilih bagi kedua terpidana (terdakwa saat
putusan dijatuhkan) karena pidana pencabutan hak memilih dan dipilih
dianggap berlebihan, mengingat terpidana yang telah dijatuhi pidana
dengan jenis pidana penjara yang relatif cukup lama maka dengan
sendirinya akan terseleksi oleh syarat-syarat yang ada di dalam organisasi
yang bersangkutan apabila terpidana akan menggunakan hak
konstitusinya. Hal ini tercantum dalam pertimbangan putusan baik Djoko
Susilo maupun Lutfhi Hasan Ishaaq.
Terhadap Lutfhi Hasan Ishaaq, ditegaskan bahwa perbuatan pidana
yang dilakukan selaku anggota DPR-RI telah meruntuhkan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga perwakilan rakyat; selaku Presiden PKS
memberikan citra buruk terhadap pilar demokrasi melalui lembaga parpol;
sebagai penyelenggara negara dan petinggi partai politik seharusnya
menjadi tauladan bagi masyarakat untuk berprilaku jujur dalam
melaporkan harta kekayaannya kepada LHKPN (Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara), akan tetapi itu tidak dilakukan sehingga
bertentangan dengan cita – cita mewujudkan penyelenggara negara yang
bersih dan bebas dari kolusi,korupsi dan nepotisme.
82
Penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam
jabatan publik terhadap terpidana korupsi dimaksudkan masyarakat agar
terhindar korupsi dimaksudkan masyarakat agar terhindar dari pemimpin
yang korupsi. Hal ini mengingat terpidana adalah pemegang jabatan
publik dan aktif di politik.Di samping itu tindak pidana korupsi merupakan
jenis tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, sehingga
penegakannya juga harus bersifat luar biasa extra ordinary enforcement).
Penegakan terhadap tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana
tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan
implementasi penerapan pidana yang bersifat extra ordinary enforcement,
namun karena jenis pidana tambahan ini merupakan bagian dari HAM,
maka penerapannya harus tetap mengedepankan prinsip – prinsip HAM
dan tidak bertentangan dengan hukum pidana positif.
Dalam perkembangannya HAM merupakan bagian dari hukum alam
(natural rights). Hak ini menekankan pada kebebasan individu yang
mencakup antara lain hak menyatakan pendapat, hak secara bebas
mendirikan atau memasuki organisasi yang diinginkan. Hak ini merupakan
bagian utama dari penegakan demokrasi. Hak memilih dan dipilih pada
hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi individu dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak penguasa. 102Berdasarkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 terdapat sepuluh klasifikasi HAM, yaitu hak untuk hidup,
hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,
102 Budiardjo.M.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2009.hlm 78.
83
hak memperoleh rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta
dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Hak bebas memilih atas
dasar keyakinan politiknya merupakan hak atas kebebasan pribadi (pasal
23 UU HAM), dan hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari hak turut
serta dalam pemerintahan (pasal 43 UU HAM). Hal ini diperkuat dengan
diintrodusirnya hak politik ke dalam turut serta dalam pemerintahan,
sebagai contoh hak politik seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan
pribadi, dan hak untuk memilih. 103
Menurut Jhon Locke ,104
Hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).
Dengan demikian hak politik yang di dalamnya tercakup hak untuk
memilih dan dipilih dalam jabatan publik merupakan bagian dari HAM, dan
merupakan bagian dari demokrasi yang harus ditegakkan. Oleh karena itu
pencabutan hak memilih dan dipilih merupakan pelanggaran dari
demokrasi jika straf soot (tujuan pidana) tidak dipertimbangkan dan straf
maart (cara pemjatuhan pidana ) tidak dibatasi.
Prinsip hukum progresif merupakan pertimbangan hakim dalam
menetapkan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam
jabatan publik terhadap Djoko Susilo dan Lutfhi Hasan Ishaaq. Hukum
103 Merdenis.Kontemplasi dan analisis terhadap klasifikasi dan politik hukum penegak ham di Indonesia.Jurnal
Rechtsvinding,2(3),437-451.2013.hlm446. 104 Bidiardjo.Op.cit. 80.
84
progresif memandang hukum adalah institusi yang secara terus menerus
membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan
yang lebih baik, di mana kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasi ke
dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian terhadap rakyat,
dan lainnya. Sehingga hukum selalu dalam proses menjadi (law as
process, law in the making), hukum tidak untuk meghukum sendiri tetapi
untuk manusia. Putusan penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan
dipilih,Tujuannya untuk kepentingan konstituen terpidana yang merupakan
wakil rakyat, agar di masa mendatang terhindar dari pimpinan yang
korupsi.
Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pidana tambahan
berupa pencabutan hak pilih pasif pada terpidana Lutfhi Hasan Ishaaq
dalam putusan, dalam wawancara yang dilakukan oleh salah satu surat
kabar yaitu majalah Forum, dengan hakim yang memutus perkara
tersebut yaitu Artidjo Alkostar, menyatakan bahwa hakim menilai dalam
aspek sosiologis bahwa perbuatan terpidana menjadi ironi demokrasi,
karena tidak melindungi nasib para petani peternak sapi nasional.
Hubungan transaksional antara Lutfhi Hasan Ishaaq dengan Maria
Elizabeth Liman merupakan korupsi politik sehingga merupakan kejahatan
yang serius (serious crime). Pecabutan hak memilih dan dipilih merupakan
konsekuensi logis dari seorang yang memiliki jabatan politik atau
kekuasaan politik.
85
Untuk kasus Djoko Susilo,tercantum dalam Putusan Nomor
20/Pid.Sus/2013/PN.JKT.PST.jo.PutusanNomor 30/Pid/TPK/2013/PT.DKI.
jo. Putusan Nomor 537/K/Pid.Sus/2014. Putusan kasasi terhadap
terdakwa Djoko Susilo memperkuat putusan tingkat pengadilan tinggi, di
mana pada pengadilan tersebut terdakwa dijatuhi pidana berupa
pencabutan hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Pertimbangan pengadilan tinggi adalah perbuatan terdakwa
dianggap merusak sendi-sendi kehidupan, berbangsa, dan bernegara.
Negara akan hancur dan tidak berwibawa bila aparaturnya tidak amanah,
kerusakan serta perekonomian rakyat akan terganggu, dan keuangan
negara sangat terkuras oleh para pelaku tindak pidana korupsi sehingga
menggangu kelangsungan dan pembangunan negara ini.
Pertimbangan sebagai landasan untuk menjatuhkan pidana
pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap terpidana Djoko Susilo
menerapkan konsep hukum progresif. Konsep ini nampak pada terjadinya
penerapan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih yang
sebelumnya tidak pernah dijatuhkan oleh hakim khususnya untuk
memidana pelaku kejahatan korupsi sebagai penyelenggara negara.
Penerapan pidana tambahan ini kepada pelaku tindak pidana korupsi
sebagai penyelenggara negara untuk melindungi kepentingan masyarakat
agar tidak mendapatkan pemimpin yang korupsi maupun pemimpin yang
didukung oleh konstituen yang korupsi.
86
Dimana mendatang diharapkan pemimpin yang melakukan tindak
pidana korupsi tidak akan dipilih dan tidak berhak memilih. Sehingga
penjatuhan pidana ini mengembalikan situasi yang rusak akibat dari tindak
pidana yang dilakukan tetap menitikberatkan terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban, serta masyarakat.
Namun sejalan dengan penerapan pidana tambahan pencabutan
pidana tambahan berupa hak memilih dan dipilih, Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan 3 (tiga) Putusan terkait hak memilih dan dipilih dalam
jabatan publik dimana kita ketahui bahwa kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi itu sendiri salah satunya adalah untuk menguji formiil maupun
materi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dimana hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik ini termaksud dalam
kategori hak hukum (legal rights) serta di lindungi dan dijamin oleh
Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator mempunyai
kewenangan untuk membatalkan atau menghapus suatu aturan, sehingga
setiap putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum yang
mempengaruhi aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang
dikenai perkara tetapi juga berlaku untuk seluruh warga negara yang
tunduk dalam konstitusi. Hal ini karena sifat norma undang-undang yang
diujikan bersifat umum (erga omnes), sehingga sejak putusan tersebut
87
dikeluarkan maka putusan tersebut bersifat mengikat kepada seluruh
warga negara Indonesia.105
Ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang –
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut
diantaranya :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, pada
perkara Pengujian Undang-Undang yang di ujikan pada perkara nomor
14-17/PUU-V/2007, perkara ini pada awalnya berasal dari dua pemohon
yang berbeda yang masing-masing memiliki nomor perkara 14/PUU-
V/2007 dan nomor 17/PUU-V/2007. Lantaran objek yang diperkarakan
adalah sama, maka putusan dua pemohon itu disatukan dalam satu
putusan bernomor 14-17/PUU-V/2007
Adapun peraturan perundang-undangan yang diujikan antara lain :
oleh pemohon pertama undang-undang uang diujikan adalah undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah . Sedangkan
oleh pemohon dua, undang-undang yang diujikan adalah undang-undang
nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan presiden dan Wakil Presiden,
undang-undang 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, undang-
undang nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan undang-
undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemerika Keuangan.
105 Jimly Assiddiqie,Pengantar Ilmu HukumTata Negara,Bandung: Rajawali Press.2012 hlm.364.
88
Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 ini pada intinya
menguji ketentuan norma undang – undang yang menyatakan :106
“tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”
Ketentuan norma tersebut dirasakan berpotensi merugikan hak
konstitusional warga negara sehingga perlu diujikan konstitusionalnya di
Mahkamah Konstitusi. Atas permohonan kedua pemohon di atas,
Mahkamah kemudian memutuskan dengan menyatakan permohonan
pemohon I dan pemohon II ditolak.
Namun dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa
ketentuan pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK,
pasal 7 ayat (2) huruf d UU MA, pasal 58 huruf f UU Pemda dan pasal 13
huruf g UU BPK adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally
constitutional). Adapun syarat yang dimaksud antara lain dijelaskan dalam
pertimbangan poin 3 huruf a dan b. Pertimbangan huruf a menyatakan
bahwa keenam pasal di atas tidak mencakup tindak pidana yang timbul
karena kealpaan ringan (culpa levis) meskipun ancaman pidananya 5
tahun atau lebih.
Dengam demikian putusan bernomor 14-17/PUU-V/2007 ini memang
menolak permohonan pemohon pada keseluruhannya. Akan tetapi,
106 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14-17/PUU-V/2007.
89
putusan ini juga membawa akibat bahwa ketentuan persyaratan yang
melarang mantan narapidana menduduki publik sebagaimana disebutkan
dalam 6 (enam) undang – undang tersebut di atas adalah konstitusional
sepanjang memenuhi dua persyaratan yang telah disebutkan di atas.
Secara spesifik dalam pertimbangannya , dua syarat konstitusional
itu antara lain :
1. Syarat pertama , tidak mencakup tindak pidana yang timbul
karena kealpaan ringan (culpa levis) meskipun ancaman
pidananya 5 tahun atau lebih.
2. Syarat kedua , tidak mencakup kejahatan politik dalam pengertian
sebagaimana dijelaskan dalam pertimbangan poin ke dua.
Pertimbangan poin kedua yang dinyatakan dalam putusan
tersebut yakni : ... yang dimaksud kejahatan karena alasan politik
dalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya
merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke
overtuiging) seorang yang dijamin dalam sebuah negara hukum
yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada
saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata – mata karena
berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang
sedang berkuasa.”
Dengan keluarnya putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 di atas,
ketentuan pasal – pasal dalam ke-6 (enam) undang – undang yang
90
diujikan tetap berlaku namun harus memenuhi dua syarat konstitusional
yang disebutkan Mahkamah dalam pertimbangan. Jadi putusan ini
membawa implikasi bahwa bagi setiap mantan narapidana yang pernah
dihukum karena kealpaan ringan (culpa levis) dan karena kejahatan
pemikiran politik tetap bisa mengikuti bursa pemilihan dalam jabatan
publik, sepanjang yang bersangkutan bisa membuktikan bahwa tindak
pidananya termasuk ke dalam dua tindak pidana yang dikecualikan oleh
Mahkamah melalui putusan nomor 14-17/PUU-V/2007 di atas.
2. 4/PUU/VII/2009 merupakan pengujian undang – undang nomor 10
tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
undang – undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas
undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Adapun norma pasal dalam undang – undang tersebut yang diujikan
pemohon dalam putusan ini adalah pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1)
UU Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda yang mengatur salah satu
persyaratan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang pada intinya
mensyaratkan :107
“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
107 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 4/PUU-VII/2009.
91
Atas permohonan yang diajukan oleh pemohon Robertus di atas,
Mahkamah lalu menjatuhkan amar putusan yang antara lain :
Pertama, menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk
sebagian.
Kedua, menyatakan pasal 12 huruf g, pasal 50ayat (1) huruf g UU
Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda adalah bertentangan dengan
undang – undang dasar secara bersyarat (coditionally unconstitutional).
Ketiga, menyatakan pasal 12 huruf g, pasal 50 ayat (1) huruf g UU
Pemilu dan pasal 58 huruf f UU Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat – syarat :
(1) Tidak berlaku untuk jabatan publik yang pilih (elected officials).
(2) Berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (ima) tahun
sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.
(3) Dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan
adalah mantan terpindana.
(4) Bukan sebagai pelaku kejahatan berulang – ulang.
Mahkamah juga menolak permohonan selebihnya dan
memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik
Indonesia.
92
3. 42 /PUU-XIII/2015 merupakan pengujian undang – undang nomor 1
tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang –
undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Guberbur, Bupati, dan
Walikota.
Adapun pasal yang diujikan dalam undang – undang nomor 1 tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagaimana
termuat dalam pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k 108
Pasal 7 huruf g :
“tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”
Pasal 45 ayat (2) huruf k :
“surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf g.”
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XIII/2015
mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g dan pasal 45 ayat (2)
huruf k tidak memiliki kekuatan hukum memikat dan bertentangan dengan
Undang – Undang Dasar 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
“dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuta dan jujur
108 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XIII/2015.
93
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan
terpidana”.
Namun di dalam implementasinya putusan Mahkaman Konstitusi ini
terdapat perbedaan penafsiran terhadap istilah mantan terpidana dan
mantan narapidana dikarenakan dalam pertimbangan keputusan oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut banyak meninjau putusan Mahkamah
Konstitusi terdahulu nomor 4/PUU-VII/2009, yang dimana memberi ruang
kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat
sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa
hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai
pembuktian dari mantan terpidana tersebut telah berkelakuan baik dan
tidak mengulang perbuatan pidana sebagaimana tujuan dari
permasyarakatan yang diatur dalam UU Pemasyarakatan.
Seorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau
lembaga permasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah
menyesali perbuatannya, telah bertaubat, dan berjanji untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Dengan demikian, seorang mantan
narapidana yang sudah bertaubat tersebut tidak tepat jika diberikan
hukuman lagi oleh undang-undang seperti yang ditentukan dala pasal 7
huruf g undang-undang nomor 1 tahun 2015. Akan tetapi apabila putusan
pengadilan menyatakan bahwa seseorang itu dihukum dengan
pencabutan hak memilih dan dipilih, maka dengan putusan pengadilan
94
yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam perspektif Negara hukum
demokratis, maka akibat hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan dengan pemenuhan
hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh UU
NRI 1945 sebagai hukum tertinggi Negara Indonesia.
Achmad Sodiki berpendapat dalam Putusan Mahkamah nomor
57/PHPU.DVI/2008 Hakim Konstitusi :109
“alangkah bijaksananya jika suatu putusan dapat penjangkau masa depan (futuristic) serta mencerminkan kearifan (wisdom). A person of justice must be a person of wisdom. Sekalipun pengetahuan (knowledge) penting, tetapi itu belum cukum, the judge must have wisdom/prudence yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan semua sumber daya (resources) menuju tujuan universal manusia ialah kebahagiaan atau happiness.” Putusan yang melihat masa depan berarti putusan yang memfasilitasi kehidupan manusia untuk memungkinkan menjadi manusia yang lebih baik bukan sebaliknya menjerat dalam pasal yang tidak memberikan harapan bagi kemanusiaan. Ia harus tetap menyuburkan hidupnya hukum yang adil, tetapi juga sekaligus beradab, sebagai cerminan Sila Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Inilah pesan moralitas yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun;
Seorang pembunuh saja yang tidak tertangkap, oleh sebab itu, ia tidak
pernah merasakan dipenjara, ia tidak bisa dituntut ke uka pengadilan
setelah melampaui waktu tertentu 18 (delapan belas) tahun, mengapa
seseorang yang telah selesai atau telah bebas menjalani hukuman
penjara dan lebih dari 15 (lima belas) tahun bermasyarakat dengan baik
masih diungkit kesalahannya ? sungguh sesuatu yang ironis.
109 Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki dalam Putusan perkara nomor 4/PUU-V/2009.hlm 14.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penjatuhan pidana tambahan pencabutan hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik Djoko Susilo dan pencabutan hak
dipilih dalam jabatan publik Lutfhi Hasan Ishaaq telah terjadi
kesewenang-wenangan, karena hakim tidak membatasi
pencabutan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu seperti
yang telah diatur dalam pasal 38 KUHP. Hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik adalah salah satu dari HAM,
mencabut, menghilangkan atau meniadakan hak warga negara
secara utuh meskipun melalui vonis hakim adalah salah satu
pelanggaran HAM. Selain itu, mengingat jenisnya sebagai
pidana tambahan, maka penjatuhan pidana pencabutan hak
memilih dan dipilih bersifat fakultatif artinya, hakim bebas
menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana tersebut. Adapun
parameter yang digunakan hakim untuk menentukan perlu atau
tidaknya penjatuhan pidana pencabutan hak memilih dan dipilih
adalah melihat porsi atau kedudukan terdakwa saat melakukan
tindak pidana korupsi, sifat kejahatan yang dilakukan, serta
besarnya dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat.
96
2. Pasca keluarnya tiga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-
17/PUU/V/2007, Nomor 4/PUU/VII/2009, dan 42/PUU-
XIII/2015, hak memilih dan dipilih mantan narapidana yang
diancam pidana lima tahun atau lebih dalam undang-undang
terkait yang diujikan , menghasilkan implikasi hukum bahwa
seorang mantan narapidana yang sudah menjalani masa
hukuman dan membuktikan kelakuan baiknya berdasarkan
persyaratan yang ditentukan tidak berhak diberikan hukuman
lagi. Akan tetapi apabila putusan pengadilan menyatakan
bahwa seorang itu dihukum dengan pencabutan hak memilih
dan dipilihnya, maka dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Maka akibat putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu kewajiban hukum karena berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya warga negara
yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Negara
Republik Indonesia 1945 sebagai hukum tertinggi Negara
Indonesia.
97
B. Saran
1. Sebagai pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik agar tidak dipandang sebagai penjatuhan
pidana yang tidak sia – sia dan berlebihan, serta memberikan
efek jera khususnya bagi mereka yang dijatuhi pidana yang
diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, maka perlu
dilakukan revisi terhadap jangka waktu pencabutan hak
sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 ayat (1) KUHP.
Terutama jangka waktu pencabutan hak bagi terpidana yang
dijatuhi pidana penjara waktu tertentu dan pidana denda,
kemudian para penegak hukum juga harus memiliki parameter
yang jelas dalam menerapkan pidana pencabutan hak memilih
dan dipilih terhadap terdakwa agar terjadi kepastian hukum di
masyarakat. Selain itu, penerapan pidana pencabutan hak
memilih dan dipilih dalam jabatan publik harus selalu berada
dalam koridor hukum terutama terkait pencantuman jangka
waktu pencabutan hak.
2. Mahkamah Konstitusi diharapkan melakukan penemuan hukum
yang lebih baik dengan mengkontruksi berdasarkan asas
keadilan dan asas kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Selain itu ada harmonisasi hukum atau keselarasan
hukum dengan peraturan hukum lainnya agar tidak
98
menimbulkan multi tafsir yang menimbulkan persoalan hukum
baru tapi idealnya putusan Mahkamah Konstitusi dapat
menghasilkan norma hukum baru yang lebih menegakkan dan
menjamin hak konstitusi warga negara.
99
DAFTAR PUSTAKA
Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika,2011.
Anggi Prayurisman, Penerapan Sanksi Pidana di Bawah Ancaman Minimum Khusus dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tesis , Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Andalas Padang, 2011.
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian1. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada. 2008.
Aswanto,Hukum dan Kekuasaan,Rangkang Education,
Yogyakarta,2012.
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education
Yogyakarta & PuKAP-Indonesia,Yogyakarta,2012.
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Sinar Grafika , Jakarta ,1991.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan. Cet Ke-2. Jakarta:Sinar Grafika 2004.
Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturab Hak Asasi Manusia di Indonesua,Bandung: Penerbit PT.ALUMNI.
Budiardjo.M.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2009.
Chaeruddin et al., Strategi Pencegahan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung,2008.
Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-
IV/2006,Jakarta:Sinar Grafika,2010.
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi , Jakarta: Sinar Grafika,2010.
100
El Muhtaj Madja. Dimensi-Dimensi HAM Menguraikan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. PT.Grafindo Persada.2008.
E. Utrecht.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II.Surabaya:
Pustaka Tinta Mas. 1999.
I.G.M. Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten
Korupsi”Prespektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafiah Hukum”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Jan Remmelink,Hukum Pidana Komentar atas Paal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,Jakarta
:Konstitusi Press.
Jimly Assiddiqie,Pengantar Ilmu HukumTata Negara,Bandung:
Rajawali Press.2012
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern Rechtstaat,PT.Refika
Aditama, Bandung,2011.
M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum,Yogyakarta: Gama Press,
2009.
Moh.Hatta, Kebijakan Politik Kriminal Penegakan Hukum dalam
Rangka Penanggulangan Kejahatan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Murtir Jeddawi, Manifestasi Otonomi Daerah Arah Kebijakan Publik dan Relasasi Pelaksanaan Otonomi Sebagai Acuan Bagi Pemerintah Daerah,Yogyakarta: Total Media, 2011.
Mariam Budiarjo.Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.2008.
Nini Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta, 2007.
101
Mardjono Reksodiputro,Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
dalam Tindak Pidana Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan
Korporasi, 23-24 November 1989, FH Undip, Semarang.
Muladi dan Dwidja Prayitno, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Merdenis.Kontemplasi dan analisis terhadap klasifikasi dan politik
hukum penegak ham di Indonesia.Jurnal Rechtsvinding,2(3),437-
451.2013.
Occupational Crime atau kejahatan jabatan adalah pihak-pihak pemegang kekuasaan publik atau pejabat pemerintah melakukan perbutan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan. Lihat dalam Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,Hukum Penitensier
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2010 .
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta ,2001.
Rohim,Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi,Pena Mukti Media, Depok ,2008.
S. Wojowasito,Kamus Umum Belanda Indonesia, PT Ichtiar baru, Jakarta ,1999 .
S.H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjajah Dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta ,1986.
Surahim da Suhandi Cahaya,Strategi dan Teknik Korupsi,Sinar
Grafika, Jakarta 2011.
Teguh Prasetyo.Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusa
Media:Bandung.2010.
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia.Bandung : Eresco,1989.
102
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak
Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 juncto Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 (UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004) tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU No. 8 Tahun 2008)
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Putusan MK No. 14-17/PUU-V/2007
Putusan MK No.4/PUU/VII/2009.
Putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015
103
Lain-Lain
http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi
Putri Adiyowati, https://nasional.tempo.co/read/.../ini-9-bekas-napi-yang-kini-jadi-calon-kepala-daerah.
Waih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia,
jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/article/view/37
Kansil CST, “Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia”, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.Lihat Bambang Heri Supriyanto, Penegakan Hukum Mengenai HAM Menurut Hukum Positif di Indonesia, Vol.2,2014,
https://media.neliti.com/media/publications/35620-ID-urgensi-pencabutan-hak-menduduki-jabatan-publik-bagi-pelaku-tindak-pidana-korups.pdf
Damang, S.H.,M.H.,http://www.negarahukum.com/hukum/defenisi-hak-asasi-manusia.html,
https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-
warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-
dalam-pemilu
https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-saranapelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu