analisis yuridis pencabutan hak politik terpidana korupsi...
TRANSCRIPT
-
ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Starta Satu (S1)
Dalam Hukum Pidana Islam
Oleh :
ASMARITA
NIM: SHP.162153
PEMBIMBING :
Dr.ROBI’ATUL ADAWIYAH,M.HI
NURAIDA FITRIHABI S.Ag.,M.Ag
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020
-
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : ASMARITA
NIM : SHP 162153
Jurusan Konsentrasi : Hukum Pidana Islam
Fakultas : Syari’ah
Alamat : Dusun Setiti RT.08/RW.04 Desa Simpang Sungai Duren
Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi
Menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi ini yang berjudul Analisis Yuridis
Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia. Merupakan hasil karya pribadi saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) sulthan thaha saifuddin jambi. Semua sumber yang saya gunakan
dalam penulisan ini telah saya camtumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Apabila pernyataan ini tidak benar, maka peneliti siap
mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku dan ketentuan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, termasuk
pencabutan gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.
Jambi, 2020
Penulis
ASMARITA
SHP 162153
-
iii
Pembimbing I : Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI
Pembimbing II : Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag
Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi
Jl. Jambi- Muara Bulian KM. 16 Simp. Sei Duren
Jaluko Kab. Muaro Jambi 31346 Telp. (0741) 582021
Jambi, 2020
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Di-
JAMBI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Assalamualaikum wr wb.
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka skripsi
saudari ASMARITA , SHP. 162153 yang berjudul:
“Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)”.
Telah disetujui dan dapat diajukan untuk dimunaqasahkan guna
melengkapi syarat-syarat memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam jurusan
Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
Demikianlah, kami ucapkan terima kasih semoga bermanfaat bagi
kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.
Wassalamualaikum wr wb.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag
NIP:19820110 20050 1 2004 NIP:19770915 20031 2 2004
-
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana
Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ”. telah diujikan pada Sidang
Munaqasah Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada tanggal
14 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Satu (S.1) dalam Jurusan Hukum Pidana Islam.
Jambi, 2020
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah
Agus Salim, M.A.,M.I.R., Ph.D
NIP: 197808172009011009
Panitia Ujian:
1. Ketua Sidang : Dr.Ayub Mursalin.S.Ag.,M.A (.....................) NIP. 19760607 20031 2 1005
2. Sekretaris Sidang : Zarkani, S.Ag (.....................) NIP. 19760326 20021 2 1001
3. Pembimbing I : Dr.Robi’atul Adawiyah,M.HI (.....................) NIP:19820110 20050 1 2004
4. Pembimbing II : Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag (.....................) NIP:19770915 20031 2 2004
5. Penguji I : Dr.Ruslan Abdul Ghani, M.H (.....................) NIP. 19650929 20050 1 1002
6. Penguji II : Masburiyah, S.Ag.,M.Fil.I (.....................) NIP. 19720116 20000 3 2003
-
v
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, puji syukur saya panjarkan kehadiran Allah
SWT karena sudah menghadirkan orang-orang yang sangat
berati disekeliling saya. Yang selalu memberi semangat dan doa,
sehingga skripsi saya ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan rahmat allah SWT skripsi ini saya persembahkan
kepada orang-orang yang telah memberikan cinta,
kasih,perhatian setra motivasi dalam menuntut ilmu.
Kedua orang tua tercinta Ayahanda Herman Toher dan
ibunda Rusma yang telah mendidikku dengan penuh kegigihan
dan kesabaran, yang tak henti-hentinya menyelipkan namaku
dalam setiap do’anya, berkat do’a dan dorongan motivasi beliau
berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih
untuk semua yang ayah ibu berikan selama ini, harapan besarku
semoga skripsi ini menjadi hadiah terindah bagi ayah dan ibu.
Adik-adikku tersayang, Ahmad Muhammad Aftor dan
Meilinda Purnama, yang selalu ada menberikan semangat dan
mendoakan keberhasilanku. Walaupun tidak tumbuh bersamaan
kami punya tujuan yang sama untuk kebahagiaan orang tua.
Dan tak lupa pula untuk teman-teman hukum pidana yang
telah berjuang bersama selama 3 tahun lebih yang memberikan
semangat dan dorongan untuk menyelesaikan tugas akhir.
Semoga silaturrahmi kita tetap terjaga sampai kapanpun
-
vi
MOTTO
Artinya : “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
-
vii
ABSTRAK
Dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
disebutkan ada sejumlah hak-hak tertentu yang bisa dicabut negara ketika individu
secara kuat telah melanggar hukum, salah satunya adalah hak memilih dan dipilih.
Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHP, pencabutan hak hanya bisa berlaku selama lima
tahun setelah terpidana selesai menjalani masa hukuman. Hak dipilih tidak dapat
dicabut bila individu tersebut mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diangkat,
maka pencabutan hak tersebut tidak berlaku. Maraknya pencabutan hak politik ini
menuai pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra, pencabutan hak politik
dinilai berlebihan karena hal tersebut merupakan hak dasar setiap manusia.
Bahkan tidak sedikit yang menilai hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak
asasi manusia (HAM). Sementara kelompok yang pro, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mendukung upaya tersebut dan berharap
hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera
yang lebih tegas, terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung
menyelewengkan kewenangan yang diembannya.
Permasalahan yang terjadi adalah Bagaimana penerapan pencabutan hak
politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dan Apa permasalahan
yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam
perspektif hak asasi manusia. Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian yuridis normatif, yang mana berdasarkan buku-buku tentang tindak
pidana korupsi, putusan Mahkamah Agung kasus tindak pidana korupsi, isu-isu
yang berkembang dalam dunia politik terkait pencabutan hak politik koruptor, dan
pendapat-pendapat para ahli hukum tentang pencabutan hak politik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencabutan hak politik terpidana
korupsi dalam perspektif hak asasi manusia berdasarkan beberapa kasus yang
digunakan dalam skripsi ini yaitu Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015
An.Akil Mochtar, putusan 537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan
1195 K/Pid.Sus/2014 An. Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015 An.
Anas Urbaningrum, dan 285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut Chosiyah. Bahwa
pencabutan hak politik yang dijatuhkan kepada terpidana korupsi bukanlah suatu
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena mereka yang tertangkap korupsi
rata-rata merupakan orang-orang dengan jabatan di eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif yang mendapatkan amanah untuk mengelola urusan publik dan institusi
publik dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk memperkaya
pribadi atau kelompok.
Kata Kunci: Korupsi Politik, Pencabutan Hak Politik, Dasar Hukum
Pencabutan Hak Politik.
-
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana dalam
penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa pula iringan shalawat
serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini diberi judul “Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik
Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ” merupakan suatu
kajian hukum terhadap pencabutan hak politik yang dikaitkan dengan Hak Asasi
Manusia dengan contoh beberapa kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan
ilmu syariah dalam bagian hukum pidana dan juga memenuhi sebagian
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan
Hukum Pidana Islam pada Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia. Kemudian dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis akui tidak sedikitnya hambatan dan rintangan yang penulis temui baik
dalam pengumpulan data maupun dalam penyusunannya. Dan berkat adanya
bantuan dari berbagai pihak, terutama bantuan bimbingan yang diberikan oleh
dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena
itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada semua
pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
penyelesaian skripsi ini, terutama sekali kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof Dr. H. H Su’aidi Asy’ari, M. A, Ph.D sebagai Rektor Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
-
ix
2. Ibu Dr. Rafiqah Ferawati, SE.,M.EI selaku Wakil Rektor 1, Bapak Dr. As’ad
Isma’ M.Pd selaku Wakil Rektor II, dan Bapak Dr. Bahrul Ulum, MA selaku
Wakil Rektor III Uin Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak Sayuti Una, S.Ag,. M.H sebagai Dekan Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Bapak Agus Salim, M.A.,M.I.R., Ph.D, sebagai Wakil Dekan Bidang
Akademik, Bapak Ruslan Abdul Gani.,S.H., M.Hum, sebagai Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan, Bapak Dr. H. Ishaq,
SH. M.Hum, sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.
5. Ibu Dr.Robi’atul Adawiyah, M.HI, Sebagai Ketua Prodi Hukum Pidana Islam
dan Bapak Devrian Ali Putra MA.Hk , Sekretaris Prodi Hukum Pidana Islam
Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Ibu Dr.Robi’atul Adawiyah, M.HI, sebagai Pembimbing I.
7. Ibu Nuraida Fitrihabi S.Ag.,M.Ag, sebagai Pembimbing II
8. Bapak dan Ibu Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh Karyawan/Karyawati
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
9. Bapak dan Ibuk Karyawan/Karyawati Perpustakan Fakultas Syariah dan
Perpustakan Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifudin Jambi.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung
maupun tidak langsung.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis memohon agar jerih payah
Bapak/Ibu dan teman-teman semua menjadi amal shaleh bagi mereka semua dan
mendapatkan ridha Allah SWT serta mendapatkan balasan yang setimpal di hari
-
x
kemudian nantinya. Di samping itu dengan segala kerendahan hati penulis
menyadari masih banyak terdapat kekurangan, sehingga penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini,
kepada Allah SWT kita memohon ampunan-Nya dan kepada manusia kita
memohon kemanfaatannya, semoga amal kebajikan kita ini dinilai seimbang oleh
Allah SWT.
Jambi, 2020
Penulis
ASMARITA
SHP 162153
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................... iv
MOTTO. .................................................................................................... v
ABSTRAK. ................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ..................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
DAFTAR ISI. ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 8
C. Batasan Masalah .................................................................... 8
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian .......................................... 8
E. Karangka Teori Dan Konseptual ........................................... 10
F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 16
G. Metode Penelitian .................................................................. 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Korupsi ................................................................ 24
B. Faktor Penyebab Korupsi ....................................................... 27
C. Dampak Korupsi .................................................................... 32
BAB III REFORMASI PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Korupsi Di Indonesia .................................. 38
B. Upaya Pemerintah Terhadap Penegakan Hukum Korupsi
Di Indonesia .......................................................................... 41
C. Implementasi Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi
Di Indonesia .......................................................................... 43
BAB IV ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN HAK POLITIK
TERPIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK
ASASI MANUSIA
A. Bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap
pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia ........................... 47
-
xii
B. Apa permasalahan yang timbul dalam penerapan
pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif
hak asasi manusia ................................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 79
B. Saran ...................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 81
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman
VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca
kemerdekaan. Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan
korupsi belum juga ditangani dengan baik. Berbagai peraturan dan reformasi
perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang
memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justru terjadi setelah masa
reformasi.1
Korupsi merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain,
secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain. Secara umum, korupsi dipahami
sebagai suatu tindakan pejabat public yang menyelewengkan kewenangan untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian
Negara. Selain itu, korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan
dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.2 Dalam hukum Islam disyariatkan
Allah SWT demi kemaslahatan manusia yang diwujudkan dalam syariat hukum
adalah harta yang terpelihara. Karena itulah, larangan merampas, mencuri,
mencopet dan lainnya dari kepemilikan harta yang tidak sah. Larangan
1Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam https:// wawasanfadhitya . blogspot .
com. Diakses 21/10/19 20:37 WIB. 2 Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Hlm. 1-5. 3 Korupsi dalam pandangan islam menurut ulama fiqh, https://dalamislam.com/hukum-
-
2
memakainya sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain yang
diyakini akan dipakai untuk perbuatan yang maksiat. Ulama fikih juga sepaham
dan berkata jika perbuatan korupsi merupakan haram dan juga terlarang sebab
menjadi hal yang bertentangan dengan maqasid asy-syariah.3 Berdasarkan firman
Allah didalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 188 yaitu :
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 188).
Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara sehingga memerlukan penanganan
yang luar biasa.4 Di Indonesia kejahatan korupsi sudah di golongkan sebagai
kejahatan serius atau "Serious Crime", dasarnya konsideran adalah UU No. 20
tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang
terjadi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan juga bertentangan dengan
tujuan negara yaitu mensejahterakan kehidupan Bangsa yang terdapat pada
pembukaan UUD NKRI 1945 pada Alinea ke IV, sehingga tindak pidana korupsi
3 Korupsi dalam pandangan islam menurut ulama fiqh, https://dalamislam.com/hukum-
islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html. Diakses 07 Mei 2019 pada 11:09 WIB. 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html.%20Diakses%2007%20Mei%202019https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-korupsi-dalam-islam.html.%20Diakses%2007%20Mei%202019
-
3
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasanya harus dilakukan secara luar
biasa.5
Pidana tambahan yang dijatuhkan pada terpidana korupsi dapat berupa
pencabutan hak. Dalam Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) disebutkan ada sejumlah hak-hak tertentu yang bisa dicabut negara
ketika individu secara kuat telah melanggar hukum, salah satunya adalah hak
memilih dan dipilih. Pencabutan hak politik merupakan tambahan atas hukuman
yang sudah ada, adanya vonis tambahan tersebut karena Hakim memandang
terpidana telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik yang
menimbulkan kesengsaraan yang berdampak di dalam masyarakat.Menurut Pasal
38 ayat (1) KUHP, pencabutan hak hanya bisa berlaku selama lima tahun setelah
terpidana selesai menjalani masa hukuman. Hakim sendiri berhak menentukan
lamanya pencabutan hak tersebut. Hak dipilih tidak dapat dicabut bila individu
tersebut mendapatkan jabatan karena ditunjuk atau diangkat, maka pencabutan
hak tersebut tidak berlaku. 6
Pencabutan hak politik memiliki dasar dari Pasal 10 KUHP menyebutkan
pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu,
dan pengumuman putusan hakim. Sebagai pidana tambahan pencabutan hak
tertentu berarti hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Menurut
Andi Hamzah hukuman ini tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal
5Pencabutan hak politik pada terpidana tindak pidana korupsi
https://www.kompasiana.com diakses pada 4 Mei 2020 21:30 wib. 6 Pencabutan hak politik warga negara bagaimana aturannya https://www.idntimes.com.
diakses pada 21 juli 2019 14:32 WIB.
https://www.kompasiana.com/https://www.idntimes.com/news/indonesia/rosa-folia/pencabutan-hak-politik-warga-negara-bagaimana-aturannya
-
4
tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu, pidana tambahan ini bersifat
fakultatif dalam arti dapat dijatuhkan tetapi tidak harus.7
Dalam konteks narapidana yang dicabut hak politiknya oleh hakim dapat
dihidupkan kembali hak politiknya. Hal tersebut diperkuat dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2009. Dalam konteks ini, MK pernah
mengeluarkan putusan No 4/PUUVII/ 2009 yang menetapkan bahwa hukuman
pencabutan hak politik dianggap konstitusional, tetapi dengan batasan-batasan
tertentu. Misalnya, pencabutan hak politik hanya berlaku sampai lima tahun sejak
terpidana selesai menjalankan hukumannya, serta jabatan yang boleh diduduki itu
hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan, bukan jabatan yang
diraih karena pengangkatan atau penunjukan.8
Adapun penerapan pencabutan hak politik terpidana korupsi yang penulis
ambil yakni Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta dengan putusan kasasi MA
terhadap terpidana Irjen Polisi Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM
di Korlantas Polri. Djoko juga dijatuhi pidana 18 tahun penjara dari sebelumnya
10 tahun penjara, denda Rp1 miliar, hukuman tambahan berupa: pembayaran uang
pengganti sebesar Rp 32 miliar serta pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih
dan dipilih dalam jabatan publik. Kedua, putusan kasasi MA terhadap Luthfi
Hasan Ishaaq dengan mencabut hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik
lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dalam kasus impor
daging sapi di Kementerian Pertanian. Majelis Hakim memperberat hukuman
7 Andi Hamzah, " Asas-Asas Hukum Pidana,edisi revisi." (Jakarta: Rineka Cipta,2008).
Hal. 202. 8 https://tirto.id/ketika-pencabutan-hak-politik-tak-mematikan-karier-politisi-cnys, diakses
pada 21 juli 2019 16:13.
https://tirto.id/ketika-pencabutan-hak-politik-tak-mematikan-karier-politisi-cnys
-
5
mantan Presiden PKS itu, yang semula 16 tahun penjara menjadi 18 tahun
penjara, serta denda Rp 1 miliar dengan penjara pengganti (subsidair) 1 tahun
penjara jika tidak membayar pidana denda.
Dalam kasus lainnya yaitu Akil Mochtar yang diputus dengan pidana
penjara seumur hidup terkait kasus penerima suap untuk dua kasus sengketa
pilkada setelah aksi Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (2/10) malam di
beberapa tempat di Jakarta dan Banten. Akil ditetapkan sebagai tersangka terkait
sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,
dan Lebak Banten dalam penangkapan terhadap 13 orang yang kemudian enam
diantaranya menjadi tersangka yakni Akil Mochtar, Chairun Nisa, Hambit Bintih,
Cornelis Nhalau, Susi Tur Handayani, dan Tubagus Cherry Wardana. Sidang
putusan tersebut sampai pada tingkat kasasi yang mana putusan akhir yaitu Akil
dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Dengan ketentuan tersebut, maka hak
politik untuk dipilih yang ada pada Akil Mochtar secara otomatis tercabut dengan
sendirinya.9 Berkaitan dengan kasus sebelumnya Mahkamah Agung (MA)
akhirnya menerbitkan putusan terkait kasus yang menjerat mantan Gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah. Kasasinya ditolak dan Atut diganjar vonis 7 tahun
penjara. Putusan ini jauh lebih berat ketimbang vonis majelis hakim Tipikor. Ratu
Atut juga didenda Rp200 juta dan diharuskan menjalani tambahan kurungan bui 6
bulan jika denda tak bisa dipenuhi. Hak politik Atut untuk kembali dipilih jabatan
publik juga dicabut. Putusan MA ini juga diberatkan dengan alasan Ratu Atut
sebagai kepala daerah, tak memberi contoh mendukung program pemerintah yang
9 Kronlogi penangkapan Akil Mochtar, dalam https://www.republika.co.id/ berita/
nasional/ hukum, diakses pada 21 juli 2019 16:32 WIB.
http://news.okezone.com/read/2014/09/01/339/1032714/ratu-atut-divonis-4-tahun-penjarahttps://www.republika.co.id/%20berita/%20nasional/%20hukumhttps://www.republika.co.id/%20berita/%20nasional/%20hukum
-
6
bersih dari KKN. Korupsi Atut juga mencederai lembaga peradilan Mahkamah
Konstitusi. Ratu Atut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dalam suap Pilkada Lebak, Banten.10
Kemudian putusan kasasi MA Anas Urbaningrum terbukti terlibat dalam
kasus korupsi proyek Hambalang . Dirinya mendapat vonis kurungan 14 tahun
penjara serta denda sebesar Rp 5 miliar. Selain itu, Anas juga diwajibkan
membayar uang pengganti Rp57 miliar yang telah digunakannya.Ternyata,
hukumannya tak sampai disitu, Mahkamah Agung juga mencabut hak politiknya
untuk dipilih dalam jabatan publik11
. Dan yang terjadi di Jambi pada waktu lalu
yaitu Gubernur Jambi periode 2016 s.d. 2021 nonaktif Zumi Zola
Zulkifli menerima divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3
bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Jakarta. Dalam putusannya, Zumi dinilai terbukti menerima gratifikasi dan
memberi suap kepada anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 terkait
pengesahan APBD Tahun Anggaran 2017 dan 2018. Terdakwa Zumi
Zola terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama. Majelis Hakim juga menjatuhkan tambahan pidana
untuk Zumi berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5
tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.12
10
Mahkamah Agung perberat hukuman dan cabut hak politik Ratu Atut Chosiyah pada
sidang kasasi, dalam https://nasional.okezone.com. Diakses pada 23 desember 2019 11:32. 11
Para tokoh yang dicabut hak politiknya, salah satunya yaitu Anas Urbaningrum terkait
kasus proyek Hambalang, dalam https://nasional.okezone.com. Diakses pada 18 desember 2019
11:42 WIB. 12
Zumi Zola terbukti korupsi terkait pengesahan R-APBD JAMBI tahun anggaran 2017-
2018 yang dijatuhi vonis 6 tahun penjara, denda Rp.500 juta dan subsider 3 bulan penjara , dalam
https://www.hukumonline.com. Diakses pada 18 desember 2019 12:45 WIB.
https://nasional.okezone.com/https://nasional.okezone.com/https://www.hukumonline.com/
-
7
Maraknya pencabutan hak politik ini menuai pro dan kontra. Bagi
kelompok yang kontra, pencabutan hak politik dinilai berlebihan karena hal
tersebut merupakan hak dasar setiap manusia. Bahkan tidak sedikit yang menilai
hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Sementara
kelompok yang pro, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru
mendukung upaya tersebut. Komisi antirasuah berharap, hukuman tambahan
berupa pencabutan hak politik dapat menimbulkan efek jera yang lebih tegas,
terutama bagi seorang pejabat publik yang cenderung menyelewengkan
kewenangan yang diembannya13
. Beberapa kalangan yang kontra atau yang tidak
setuju terhadap dijatuhkannya pencabutan hak pilih aktif dan pasif kepada
terpidana korupsi, bagi mereka pencabutan hak politik adalah pelanggaran HAM
yang telah diatur secara konstitusional. Hal itu masih dapat terbantahkan, sebab
setiap hukuman atau pemidanaan pada dasarnya memang adalah pelanggaran
HAM, tetapi pelanggarannya diperbolehkan, sepanjang berdasarkan Undang-
undang.14
Berdasarkan fenomena dan keadaan tersebut membuat penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul: ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN
HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI
MANUSIA.
13
Pencabutan hak politik tidak mematikan karier politisi, dalam https://tirto.id. Diakses
pada 18 desember 2019 10:18 WIB. 14
Pencabutan hak politik bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dalam
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id. Diakses pada 24 oktober 2019 11: 56 WIB.
https://tirto.id/http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/
-
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan di atas, maka penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia ?
2. Apa permasalahan yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik
terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi manusia ?
C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagaimana yang saya uraikan
dalam latar belakang diatas untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan
ini. Penulis membatasinya pada analisis yuridis pencabutan hak politik terpidana
korupsi dalam perspektif hukum hak asasi manusia (HAM) dengan mengambil
contoh Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 An.Akil Mochtar, putusan
537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan 1195 K/Pid.Sus/2014 An.
Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015 An. Anas Urbaningrum, dan
285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut Chosiyah .
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai
oleh peneliti. Tujuan penelitian ini penulis klasifikasikan kedalam dua sifat,
pertama bersifat umum yang terdiri:
-
9
a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pencabutan hak politik terhadap
pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui apa permasalahan yang timbul dalam penerapan
pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi
manusia.
Dan sifat kedua sifat khusus, dari penelitian yang penulis lakukan, ini
merupakan syarat untuk menyelesaikan study srata satu ( S1) pada Jurusan
Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.
b. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Secara akademis dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya dan
kepada pembaca umumnya, dalam hal ini yang berkenaan dengan
pencabutan hak politik terpidana korupsi dalam perspektif hukum hak asasi
manusia (HAM).
b. Bagi penulis, hasil penulisan ini dapat melengkapi salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana stara satu (S1) pada Hukum Pidana Islam
Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi dan tulisan ini diharapkan bisa
menambah perbendaharaan referensi kepustakaan di Fakultas Syari’ah dan
bagi mahasiswa yang mengkaji permasalahan tentang pencabutan terpidana
korupsi dalam perspektif hukum hak asasi manusia (HAM).
Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait topik
penelitian penulis.
-
10
E. Kerangka Teori dan Konseptual
a. Kerangka Teori
a) Efektivitas hukum
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto15
adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Apabila semua faktor itu telah terpenuhi maka keadilan dalam
masyarakat dapat dirasakan sepenuhnya. Karena seperti diketahui bahwa
keadilan adalah tujuan utama dari penerapan hukum. Dengan demikian
keadilan hukum itu bisa diterima oleh masyarakat umum sehingga efektivitas
hukum dapat terwujud.
b) Penegakan Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan
Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses
di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat
15
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), h. 8.
-
11
dengan warganyalah yang dapat menentukan luas daya cakup hukum,
maupun batas kegunaannya.16
Penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.17
Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut
hukum pidana, secara garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana di
masa lalu dan/ atau untuk kepentingan di masa yang akan datang.
Pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi/absolut.
b. Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat.18
Teori absolut menjelaskan sebagai berikut :
a. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si
korban, baik perasaan adil baginya, temannya dan keluarganya serta
masyarakat. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat
dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe ini
disebut dengan vindicative.
b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang
merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara
tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe ini disebut fairness.
16
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cetakan Ke Dua Puluh Dua,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm 143. 17
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan
Kesepuluh (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 5. 18
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 81.
-
12
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara
apa yang disebut dengan the grafity of the offense dengan pidana yang
dijatuhkan. Tipe absolut ini disebut dengan proporsionality. Termasuk ke
dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau
dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang
dilakukan dengan sengaja ataupun dengan lalai.19
Tujuan dari ajaran-ajaran absolut tidaklah semata-mata pembalasan.
Maksud dan tujuannya kadang juga lebih dari ideal, misalnya berkenaan
dengan mendemonstrasikan keberlakuan hukum terhadap mereka yang
melanggarnya atau mengembalikan keseimbangan kekuatan-kekuatan sosial
yang terganggu atau penderitaan korban maupun warga masyarakat
lainnya.20
Teori yang selanjutnya adalah teori relatif. Secara prinsip teori ini
mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya
harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari
kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta
mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari
kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah
dilakukan maupun lainnya.21
Teori terakhir yang sering digunakan adalah teori gabungan. Secara
teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang
19
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung:
Mandar Maju, 1995), hlm. 83-84. 20
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm 601. 21
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm 185.
-
13
terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Di samping mengakui
bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan
pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa
kembali ke masyarakat. Munculnya teori gabungan pada dasarnya
merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori
absolut maupun teori absolut. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang
tidak hanya berioentasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu,
tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu
sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan
masyarakat.22
c) Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.23
Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.24
22
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm 191-192. 23
Jack Donnely, Universal Human Right in Theory and Practise, dikutip Rhona K.M.
Smith et. al., Cetakan Pertama (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm 11. 24
Tim Redaksi Media Center, Pengadilan Hak Asasi Manusia UU RI No. 26 Th 2000 &
Hak Asasi Manusia UU RI No. 39 Th 1999, (Surabaya: Media Center, 2007), hlm 76.
-
14
Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Mereka dikaruniai akal dan budi dan kehendaknya bergaul satu sama lain
dalam persaudaraan.25
Hak-hak yang diatur dan dijamin dalam Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999, antara lain hak hidup, hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh
keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan serta hak
anak. Prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat
fundamental dalam hukum pidana materiil ialah asas legalitas dan asas
culpabilitas.26
b. Konseptual
1. Korupsi
Dilihat dari sudut terminology, istilah korupsi berasal dari kata
“corruption”dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebocoran, dan
dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaaan atau perbuatan yang busuk.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata
dalam bahasa berbagai Negara, termasuk bahasa Indonesia.27
2. Hak politik
Kebebasan dari hak politik dan sipil mencakup hak-hak yang
memungkinkan warga negara ikut berpartisipasi dalam kehidupan politik.
25
Tim Redaksi Media Center, ibid, hlm 181. 26
Barda Nawawi Arief, op-cit, hlm 56. 27
Elwi danil, Korupsi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo persada,2011). Hlm 3.
-
15
Hak politik mencakup hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan
dan memberikan suara dalam pemilihan umum yang berkala dengan hak
suara yang universal dan setara. Hak-hak politik berkembang sejalan dengan
tumbuhnya sistem Negara bangsa yang dilembagakan ke dalam sistem
parlementer. Hak-hak politik yang berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi dengan memberikan
hak pilih pada saat pemilihan berlangsung.
3. Pencabutan hak politik
Hak Asasi manusia yang tercakup dalam Konvenan bersifat dasar dan
luas ruang lingkupnya; pengecualian yang ada hanyalah sebatas hal-hal
yang diizinkan Konvenan itu sendiri. Lebih jauh lagi, hak tertentu tidak
pernah boleh dibekukan atau dibatasi walaupun dalam keadaan darurat.
Tidak satupun negara pihak dapat mengabaikan kewajibannya untuk
melindungi hak untuk hidup, menjamin kebebasan dari penganiayaan,
kebebasan dari perbudakan dan perhambaan, perlindungan dari pemenjaraan
atas hutang piutang, kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut, hak
untuk diakui statusnya sebagai pribadi di depan hukum serta kebebasan
untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama. Pencabutan hak memilih dan
dipilih dalam jabatan publik dapat dijatuhkan pada terpidana yang memiliki
jabatan atau posisi politik yang dimana terpidana tersebut melakukan tindak
pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan yang
ia miliki.
-
16
F. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelusuran peneliti terhadap beberapa literature
terdahulu, maka peneliti menemukan adanya beberapa literature yang memiliki
relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan. Adapun sebagai berikut :
a. Tesis oleh Rangga Alfauzi,” Penghapusan Hak Politik Terpidana Korupsi
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ( Analisis Kasus Putusan Irjen. Djoko
Susilo Dan Luthfi Hasan Ishaaq )”28
. Dalam penulisan ini penulis membuat
dalam bentuk tesis dengan metode penelitian empiris dan normative yang mana
contoh kasus yang diambil yaitu irjen. Djoko susilo dan luthfi hasan ishaaq
dengan riset yang diakukan di mahkamah agung RI pada tahun 2015.
Perbandingan dengan penelitian yang akan penulis buat yaitu “ Analisis
Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum
Hak Asasi Manusia (HAM)”. Dengan mengambil contoh kasus yaitu kasus
mantan ketua mahkamah konstitusi Akil Mochtar yang dijatuhi pidana penjara
seumur hidup, irjen. Djoko susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, Anas Urbaningrum
dan Ratu atut.
b. Jurnal Ilmiah oleh Yosy Dewi Mahayanthi ” Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Putusan Pencabutan Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap
Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 29
.
Dalam penulisan jurnal ini penulis memaparkan pertimbangan hakim dalam
28
Rangga Alfauzi,” Penghapusan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia ( Analisis Kasus Putusan Irjen. Djoko Susilo Dan Luthfi Hasan Ishaaq ), 2015. 29
Yosy Dewi Mahayanthi ” Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Pencabutan Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia”. 2015.
-
17
menetapkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih aktif dan hak pilih
pasif terhadap terpidana korupsi yang disetujui pada April 2015 dengan
mengambil contoh kasus yaitu Luthfi Hasan Ishaaq dan irjen. Djoko Susilo
yang tertuang dalam Putusan 14/PID/TPK/2014/PT.DKI. Perbandingan dengan
penelitian yang akan penulis buat yaitu “ Analisis Yuridis Pencabutan Hak
Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
(HAM)”. Yang mana dalam hal ini penulis mengambil kasus yaitu kasus Akil
Mochtar mantan Ketua Mahkamah, irjen. Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq,
Anas Urbaningrum dan Ratu Atut.
c. Skripsi oleh Haliva Muharosa “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak
Politik bagi Terpidana Korupsi di Indonesia”30
. Dalam skripsi ini penulis
meneliti tentang urgensi terhadap pencabutan hak politik bagi terpidana
korupsi dan praktek penjatuhan pidana tambahan berupa penjatuhan hak politik
bagi terpidana korupsi dalam putusan pengadilan di Indonesia dengan
mengambil contoh kasus yaitu Ir.Djoko Susilo kasus pengadaan Driving
Simulator Uji Klinik SIM. Perbandingan dengan penelitian yang akan penulis
buat yaitu “ Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam
Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)”. Berbeda dengan skripsi oleh
Haliva, dalam penulisan ini penulis tidak mengkaji tentang praktek pencabutan
hak politik yang terjadi di Indonesia bagi terpidana koruptor namun lebih
kepada bagaimana pencabutan hak politik tersebut jika dipandang dari segi
hukum hak asasi manusia.
30
Haliva Muharosa “Tinjauan Yuridis terhadap Pencabutan Hak Politik bagi Terpidana
Korupsi di Indonesia”. 2016.
-
18
d. Skripsi oleh Mucharom Tunggal Jati “Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”31
. Dalam
penulisan skripsi ini penulis mengkaji bagaimana ketentuan dari hukum positif
dan hukum islam terhadap pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana
korupsi dan apa aspek persamaan dan perbedaan dari segi keduanya.
Perbandingan dari penelitian yang akan dibuat yaitu “ Analisis Yuridis
Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hukum Hak
Asasi Manusia (HAM)”. Dalam penelitian ini penulis bukan hanya melihat dari
segi hukum postif namun lebih kepada segi hukum hak asasi manusia terkait
tentang pencabutan hak politik untuk dipilih terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang terjadi di Indonesia.
G. Metode Penelitian
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.32
Metode penelitian atau
metode ilmiah adalah serangkaian prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh
dalam rangka untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.33
Berdasarkan
hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu,
31
Mucharom Tunggal Jati “Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam”. 2018. 32
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuatitatif. Kualitatif, dan R dan D
(Bandung : Alpabeta, 2011), hlm. 3 33
Suryana, Metode Penelitian, Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bahan
Ajar Perkuliahan, (Jakarta : Universitas Pendidikan Indinesia, 2010), hlm. 17
-
19
penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten.34
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
penelitian yuridis normatif, dengan melakukan identifikasi terhadap isu-isu
hukum yang berkembang dalam masyarakat, mengkaji penerapan-penerapan
hukum (normatif) dalam masyarakat,mengkaji pendapat para ahli-ahli hukum
terkait dan analisa kasus dalam dokumen-dokumen untuk memperjelas hasil
penulisan kemudian ditinjau aspek praktis dan aspek akademis keilmuan
hukumnya dalam penulisan hukumnya.
2. Jenis penelitian
Yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisa data sekunder
yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai
perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan yang mengatur mengenai permasalahan penelitian ini. Jadi penelitian
ini dipahami sebagai penelitian keperpustakaan, yaitu penelitian terhadap data
sekunder.
3. Jenis dan sumber data
Dalam upaya merumuskan skripsi ini, penulis melakukan penelitian
keperpustakaan (library research), maka sumber data atau informasi yang
menjadi data baku penulis, untuk diolah merupakan data yang berbentuk data
primer, data sekunder, dan data tersier.
34
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 17.
-
20
a. Data primer
Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian,
yang diperoleh langsung dari sumbernya atau keseluruhan data hasil
penelitian yang diperoleh dilapangan.35
Sumber utama adalah al-Quran dan
Undang-undang atau hukum pidana yang berkaitan dengan judul penelitian.
Bahan hukum primer di dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme;
4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
6) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2011 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi;
7) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan
lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini.
8) Putusan Mahkamah Nomor 336 K/Pid.Sus/2015 An.Akil Mochtar,
putusan 537 K/Pid.Sus/2014 An. Irjen Djoko Susilo, putusan 1195
35
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skrifsi Edisi Revisi (Jambi: Syariah Press, 2012),
hlm.45
-
21
K/Pid.Sus/2014 An. Luthfi Hasan Ishaaq, putusan 1261 K/Pid.Sus/2015
An. Anas Urbaningrum, dan 285 K/Pid.Sus/2015 An. Ratu Atut
Chosiyah.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung
yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.36
Data
penunjangnya ialah data-data yang diambil dari sumber-sumber yang ada
relevansinya dengan pembahasannya yang berupa buku-buku, majalah,
jurnal, makalah, internet dan lainnya.
c. Data tertier
Data tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih
lanjut terhadap bahan-bahan primer dan sekunder yaitu berupa kamus
hukum, kamus bahasa indoesia, kamus bahasa inggris, dan kamus-kamus
yang lain.
4. Metode pengumpulan data
Metode dokumentasi ialah metode yang digunakan penulis untuk
menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, wawancara dan sebagainya.
Metode dokumentasi ini digunakan oleh penulis untuk memperoleh data-data
dan informasi serta pengetahuan keperpustakaan yang berkaitan dengan materi
penelitian ini yaitu tentang pencabutan hak politik terhadap narapidana korupsi
dalam perspektif hak asasi manusia (HAM).
36
Ibid, hlm.46
-
22
5. Metode analisi data
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data-data tersebut dianalisis.
Untuk mengadakan penarikan kesimpulan dari suatu penelitian, harus
berdasarkan pada hasil pengolahan dan harus selaras dengan jenis data-data
yang ada. Dalam metode analis data ini penulis menggunakan cara yaitu analis
data kualitatif, oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penulisan
kualitatif.37
6. Sistematika penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, antara babnya ada yang
terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab mambahas permasalahan
tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dangan bab yang
berikutnya. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan
jelas mengenai pembahasan skripsi ini menyusun menggunakan sistematika
dengan membagi pembahasan sebangai berikut:
BAB I Merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan peneitian,
kerangka teori, tinjauan pustaka.metode penelitian, pendekatan
penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,
metode analisis data, sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan umum tentang korupsi.
BAB III Reformasi penegakan hukum korupsi di Indonesia.
37
Soejarno, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997), hlm.23.
-
23
BAB IV Menguraikan pembahasan mengenai penerapan pencabutan hak
politik terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia dan
permasalahan yang timbul dalam penerapan pencabutan hak politik
terpidana korupsi dalam perspektif hak asasi manusia.
BAB V Penutup, pada bab ini akan diuraikan kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya dari kesimpulan yang diperoleh tersebut penulis
memberikan saran sebagai refleksi bagi semua pihak baik yang
terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung.
-
24
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KORUPSI
A. PENGERTIAN KORUPSI
Dalam ensiklopedia indonesai disebut “ korupsi” (dari bahasa latin:
corruption= penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-
badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Korupsi merupakan suatu perbuatan atau perilaku menyimpang manusia
dan interaksi sosial yang dapat mengancam dan membahayakan masyarakat dan
negara. Korupsi itu merupakan sebuah suatu kejahatan yang berat yang harus
diberantassampai ke akar – akarnya demi tegaknya tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptio atau corruptus.
Corruptio berasal dari kata asal corrumpere, kemudian dari bahasa Latin itu turun
ke banyak bahasa seperti di Inggris corruption,corrupt, Prancis Corruption,
BelandaCorruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia
yaitu korupsi38
.
Treisman39
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan sumber daya
publik untuk kepentingan pribadi. Jain40
menganggap korupsi sebagai tindakan
menggunakan kekuatan jabatan publik untuk keuntungan pribadi melalui cara
38
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Hlm. 4. 39
Treisman, D. (2000). “The Causes of Corruption: a cross-national study”, Journal of
Public Economics 76: 399. 40
Jain, Anil Kumar. (2001). “Corruption: A Review”, Journal of Economic Surveys 15:
71.
-
25
yang bertentangan dengan rules of the game. Jadi secara umum definisi korupsi
menurut para ahli adalah penyalahgunaan sumber daya dan jabatan publik untuk
kepentingan pribadi.
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang
dimaksud dengan corruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang
merugikan Negara. Baharudin lopa mengutip pendapat dari david m. chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan
yang menyangkut bidang kepentingan umum.41
Secara harfiah korupsi merupakan
sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi
memang akan menemukan kenyataan semacam korupsi menyangkut segi-segi
moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, factor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dalam kedinasan dibawah
kekuatan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan ( uang Negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai uang atau barang yang diberikan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
41
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua) (Jakarta, Sinar Grafika ,2007)
hlm.8-9.
-
26
Baharudin Lopa dalam bukunya kejahatan korupsi dan penegakan hukum
membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 bentuk, yaitu sebagai berikut42
:
a. Korupsi yang bermotif terselebung
Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara
tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh:
seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi
suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam
kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan janjinya
kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapatkan
uang tersebut.
b. Korupsi yang bermotif ganda
Yaitu seorang yang melakuka korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya
bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni
kepentingan politik. Contoh: seorang yang membujuk dan menyogok seorang
pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya, pejabat itu dalam
mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu,
meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah
fasilitas itu akan memberikan hasil padanya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud tindak pidana
korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional. Namun karena korupsi yang terjadi telah
42
Ibid, Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), hlm.10.
-
27
meluas dampaknya, maka menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud tindak pidana korupsi tidak
hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu
menurut UU Anti Korupsi, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dari sekian
banyak definisi korupsi yang ada, definisi yang sering digunakan sebagai acuan
dalam studi korupsi lintas negara adalah definisi korupsi menurut Transparency
International. Menurut Transparency International, korupsi merupakan
penyalahgunaan wewenang yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi (the
abuse of entrusted power for private gain)43
.
B. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi 44
:
1. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
2. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
3. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
4. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman
lama".
5. Lemahnya ketertiban hukum.
6. Lemahnya profesi hukum.
43
https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-
Korupsi.pdf. Accessed 23 Nov. 18. Hlm. 5-6 44
https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi Diakses 28 Desember 2019 15:23 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Transparansi_(politik)https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Ketertiban_hukum&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Profesi_hukum&action=edit&redlink=1https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
-
28
7. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
8. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
disebabkan karena faktor-faktor, yaitu45
:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini adalah faktor yang
paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah berlakunya
KUHP di Indonesia, menyalahgunakan kekuasaan oleh pejabat untuk
menguntungkan diri sendiri memang telah diperhitungkan secara khusus oleh
Pemerintah Belanda sewaktu disusun WvS untuk Indonesia. Hal ini nyata
dengan disisipkan Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang
efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti
bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi.
Sering dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin besar pula
kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;
4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa perubahan nilai yang
dasar dalam masyarakat , membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan
baru, membawa perubahan-perubahan yang akibatnya dalam bidang kegiatan
politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipat-gandakan kegiatan-
kegiatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
45
Andi Hamzah dan Djoko Prakoso dkk, Kejahatan-Kejahatan yang membahayakan dan
Merugikan Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1987). Hlm. 392.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_berpendapathttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kebebasan_media_massa&action=edit&redlink=1
-
29
Menurut Evi Hartanti dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana
Korupsi bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai
berikut46
:
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan
kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di
Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual
yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan
kurang tepat.
d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya
bukan didasari kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah
dari kalangan tidak mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g. Struktur pemerintahan.
h. Perubahan radikal. Pada saat system nilai mengalami perubahan radikal,
korupsi muncul sebagai penyakit transisional
i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan
keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Svensson47
berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab korupsi antara lain
adalah: faktor sejarah, ekonomi, budaya, dan kelembagaan.
46
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua),.. Op cit, hlm.11.
-
30
1) Faktor Sejarah
Sejarah yang berhubungan dengan penjajahan kolonial suatu negara
merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat korupsi.
Kolonialisme dalam sebuah negara memberikan efek pembentukan sistem
kelembagaan di negara tersebut. Sebagai contoh misalnya, negara yang pernah
dijajah oleh kolonial Inggris biasanya memiliki tingkat korupsi yang rendah
dan ditandai dengan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) tinggi.
2) Faktor Ekonomi
Menurut Svensson, negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki
karakteristik sebagai negara berkembang dan negara transisi, negara dengan
tingkat pendapatan yang rendah, dan negara yang memiliki sistem
perekonomian tertutup. Sistem perekonomian tertutup menyebabkan tingkat
entry pasar yang semakin rendah sehingga kompetisi sangat sulit terjadi.
Akibatnya muncul penyuapan dan pungli untuk dapat masuk dalam sebuah
pasar. Oleh karena itu perekonomian tertutup cenderung untuk memiliki
tingkat korupsi yang tinggi. Negara maju biasanya memiliki sistem pengaturan
entry pasar yang baik dan stabil sehingga tingkat korupsinya juga rendah.
Tingkat pendapatan dapat mempengaruhi masyarakat dalam melakukan korupsi.
Dalam sebuah sistem pemerintahan, banyaknya proporsi birokrat korup dan gaji
pegawai pemerintah yang rendah dapat meningkatkan tingkat korupsi suatu
pemerintahan atau negara. Menurut Andvig dan Moene 48
, suap yang ditawarkan
47
Svensson, J. (2005). “Eight Questions about Corruption”, The Journal of Economic
Perspectives. Hlm 19-42. 48
Andvig J. C. & K. W. Moene. (1990). “How Corruption May Corrupt”. Journal of
Economic Behavior and Organization: hlm 63.
-
31
menjadi semakin tinggi ketika gaji pegawai publik rendah. Namun, selanjutnya
pendapat ini menjadi tidak relevan karena terdapat pula pegawai pemerintah dengan
gaji tinggi juga masih melakukan korupsi. Maka faktor yang muncul bukan hanya
pendapatan yang rendah tetapi juga sifat tamak (greedy).
3) Faktor Budaya
Perspektif budaya maskulin suatu negara dapat mempengaruhi tingkat
korupsi suatu Negara. Banyaknya praktek korupsi yang terjadi dalam suatu
Negara dan tidak adanya penanggulangan dalam kehidupan bermasyarakat
mengakibatkan tidak adanya sikap peduli dari masyarakat terhadap pelaku
korupsi.
4) Faktor Kelembagaan
Negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tinggi cenderung memiliki
tingkat korupsi yang rendah. Sebaliknya, negara yang memiliki tingkat
kebebasan pers rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Hal ini
dikarenakan free press dapat memberikan informasi lebih banyak tentang
orang atau oknum pemerintah yang melakukan korupsi. Selain itu dengan
adanya kebebasan pers, tingkat deteksi menjadi lebih tinggi sehingga tingkat
korupsi menjadi lebih rendah.
Suatu kondisi yang dapat menyebabkan korupsi antara lain adalah adanya
kekuasaan dan kewenangan strategis oleh pejabat publik dan adanya sistem
kelembagaan yang lemah. Dalam upaya mengurangi korupsi yang paling
efektif adalah dengan meningkatkan hukuman bagi koruptor dan kontrol
kelembagaan. Namun kenyataannya di Indonesia, hukuman bagi koruptor
hanya mampu menutupi 7% dari biaya sosial eksplisit yang ditimbulkan oleh
-
32
korupsi. Dengan demikian, tidak ada efek jera dari upaya hukum terhadap
koruptor.
Factor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral
dan intelektual para pemimpin masyarakat. Beberapa factor yang dapat
menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:
1) Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spritiual serta tugas
kemajuan nasional dan public maupun birokrasi;
2) Administrasi yang efisien serta penyesuaian structural yang layak dari mesin
dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber
korupsi;
3) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
4) Berfungsinya suatu system yang antikorupsi;
5) Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan
intelektual yang tinggi.
C. DAMPAK KORUPSI
Pola perilaku korupsi sepertinya telah merajalela di Indonesia. Tidak heran
jika dalam kehidupan birokrasi, masyarakat seringkali dihadapkan oleh suap dan
pungli dalam pelayanan publik yang telah menjadi rahasia umum di masyarakat.
Hampir setiap hari penyajian berita pada media massa juga berkaitan dengan
gratifikasi, penggelapan anggaran belanja pemerintah, penyidikan, dan pengenaan
hukuman bagi para koruptor49
. Dengan adanya praktek korupsi yang semakin
49
https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-
Korupsi.pdf. Accessed 23 Nov. 18. Hlm. 16.
https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018https://acch.kpk.go.id/images/tema/litbang/modul-integritas/Modul-3-Dampak-Sosial-Korupsi.pdf.%20Accessed%2023%20Nov.%2018
-
33
marak dilakukan sangat berdampak bagi kehidupan bermasyarakat khususnya
perekonomian, sosial dan budaya.
a. Dampak Korupsi Terhadap Perekonomian
korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian bangsa dan Negara.
Adapun dampak-dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Korupsi Berdampak Negatif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
korupsi berdampak buruk bagi perekonomian. Hal ini terbukti dengan
banyaknya propaganda dan pendirian lembaga anti korupsi di berbagai
negara termasuk di Indonesia. Dengan demikian, dampak korupsi
khususnya di Indonesia adalah menghambat pertumbuhan ekonomi dan
merugikan perekonomian nasional.
2) Korupsi Menurunkan Tingkat Investasi
Fakta bahwa korupsi mampu menurunkan tingkat investasi suatu
negara. Investasi yang rendah akan memberikan multiplier effect investasi
terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah. Investasi merupakan variabel
yang robust (sehat dan kuat) dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Maka dari itu rendahnya investasi akibat korupsi mampu menurunkan
tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dari titik optimalnya.
Ketika masyarakat di suatu negara menciptakan dan mempertahankan
budaya korup di negerinya maka secara tidak langsung masyarakat di negara
tersebut mengundang investor asing yang juga korup, yaitu terbiasa
melakukan suap untuk mendapatkan perizinan usaha. Selain itu budaya
korup juga dapat mengundang investor asing yang tidak berkualitas.
-
34
Meskipun tidak berkualitas, investor asing tersebut dapat memperoleh izin
usaha di negara korup dengan cara suap. Budaya korup mengundang
investor asing yang tidak berkualitas dan terbiasa melakukan praktik korupsi
seperti suap, gratifikasi dan penggelapan. Masuknya investor tidak
berkualitas memperburuk perekonomian dalam negeri.50
3) Korupsi Menambah Beban dalam Transaksi Ekonomi dan Menciptakan
Sistem Kelembagaan yang Buruk
Adanya suap, pungli dalam sebuah perekonomian menyebabkan biaya
transaksi ekonomi menjadi semakin tinggi. Tingginya biaya transaksi
menyebabkan inefisiensi dalam perekonomian. Yang dimaksud biaya
transaksi adalah biaya yang diperlukan dalam penggunaan sumber daya
untuk penciptaan, pemeliharaan, penggunaan, perubahan dan sebagainya
pada suatu institusi dan organisasi. Suatu kelembagaan akan semakin efektif
jika biaya transaksi yang diperlukan semakin rendah. Biaya transaksi
berfokus pada efisiensi. Rendahnya biaya transaksi merupakan suatu ciri
kelembagaan yang baik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia
terdapat suap dan pungli dalam upaya mendapatkan pelayanan publik
seperti pembuatan akta kelahiran, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan
lainnya. Kondisi ini menyebabkan tingginya biaya transaksi ekonomi dan
sistem kelembagaan yang buruk.
50
Cuervo-Cazurra, Alvaro. (2006). ”Who Cares about Corruption?”, Journal of
International Business Studies. Hlm 807.
-
35
4) Korupsi Menyebabkan Sarana dan Prasarana Berkualitas Rendah
Shleifer dan Vishny51
menyatakan bahwa Korupsi berupa
penggelapan, suap, dan pungli dapat menyebabkan sarana-prasarana di
negara korup berkualitas rendah. Suap dan pungli dalam implementasi
anggaran pembangunan infrastruktur menyebabkan pengurangan anggaran
pembangunan sarana dan prasarana. Demikian pula penggelapan atas
anggaran pembangunan infrastruktur, menyebabkan anggaran pembangunan
infrastruktur berkurang, mengakibatkan infrastruktur yang dibangun
berkualitas rendah. Rendahnya kualitas infrastruktur dapat mengganggu
akses masyarakat kepada pusat perekonomian dan pusat pertumbuhan.
Maka, kualitas infrastruktur yang rendah dapat berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
5) Korupsi Menciptakan Ketimpangan Pendapatan
Tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh pada perilaku korupsi.
Orang kaya lebih memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan
suap dibandingkan orang miskin. Secara umum, aktivitas korupsi terdiri dari
tiga jenis yaitu suap, pungli dan penggelapan. Tindakan korupsi tersebut
mampu memindahkan sumber daya publik ke tangan para koruptor.
Akibatnya ketimpangan pendapatan akan terjadi antara elit koruptor dengan
publik karena berpindahnya sumber daya publik kepada koruptor.
6) Korupsi Meningkatkan Kemiskinan
Kemiskinan diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu:
51
Shleifer, A. & Vishny, R. W. (1993). “Corruption”, The Quarterly Journal of
Economics. Hlm 599.
-
36
a. Kemiskinan absolut
Merupakan kondisi seseorang yang memiliki pendapatan di
bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang
dibutuhkan untuk dapat hidup dan bekerja dengan layak. Standar
kemiskinan absolut merupakan standar kehidupan minimum yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik
kebutuhan makanan dan non-makanan.
b. Kemiskinan relatif
Merupakan kemiskinan yang dikarenakan pengaruh kebijakan
yang dapat menyebabkan ketimpangan pendapatan. Standar kemiskinan
relatif ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat.
c. Kemiskinan kultural
Merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor adat atau
budaya yang membelenggu sehingga tetap berada dalam kondisi miskin.
d. Kemiskinan struktural
Merupakan kemiskinan yang terjadi akibat ketidakberdayaan
seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem yang
tidak adil sehingga mereka tetap terjebak dalam kemiskinan.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di
Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomihttps://id.wikipedia.org/wiki/Afrikahttps://id.wikipedia.org/wiki/Asiahttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Penagihan_sewa&action=edit&redlink=1
-
37
perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya
diinvestasikan ke dalam negeri.52
b. Dampak Korupsi Terhadap Budaya
Korupsi memiliki dampak negatif terhadap budaya dan norma yang
berlaku di masyarakat. Ketika korupsi sudah sering terjadi di dalam masyarakat
dan masyarakat menganggap korupsi sebagai hal yang biasa, maka korupsi
akan mengakar dalam masyarakat sehingga menjadi norma dan budaya.
Adapun pengertian norma sosial merupakan sebuah nilai kehidupan yang
berlaku dan disepakati bersama. Masyarakat Indonesia cenderung masih
permisif dengan korupsi dan bahkan tidak memberikan sanksi sosial kepada
para koruptor. Ketika masyarakat permisif terhadap korupsi, maka semakin
banyak individu yang melanggar norma anti-korupsi atau melakukan korupsi
dan semakin rendah rasa bersalah. Oleh karena itu korupsi masih dianggap
sebagai kejahatan tidak berbahaya dan dinilai sebagai hal yang biasa dalam
masyarakat, dengan cara pandang ini menyebabkan tingkat korupsi di
Indonesia tergolong masih tinggi.
c. Dampak Sosial Korupsi Di Indonesia
Korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian khususnya di
Indonesia. Korupsi juga dapat memberikan pengaruh yang buruk dalam
berperilaku. Masyarakat negara korup cenderung tidak disiplin dan tidak patuh
terhadap peraturan yang berlaku juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan
masyarakat.
52
Pengertian korupsi, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi. Diakses 28 Desember
2019 15:23 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Penanaman_modalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
-
38
BAB III
REFORMASI PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI INDONESIA
A. SEJARAH HUKUM KORUPSI DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara yang berdasar atas Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 yang terimplementasi dalam peraturan perundang-
undangannya dimana segala hal yang berhubungan dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah berdasarkan atas aturan yang konkret, Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini
berarti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan
pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintah serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya53
Sejak bergulirnya reformasi, isu pemberantasan korupsi selalu menjadi
tema sentral dalam penegakan hukum di Indonesia. Pendapat beberapa ahli
mengenai pengertian tindak pidana korupsi berbeda-beda. Diantaranya
berpendapat bahwa korupsi adalah penyimpangan dari tugas formal dalam
kedudukan resmi pemerintah, bukan jabatan eksekutif tetapi juga legeslatif, partai
politik, auditif, BUMN/BUMD hingga dilingkungan penjabat sektor swasta.54
53
Evi Hartanti, Tindak Pidana korupsi …, Op. cit., hlm 1. 54
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Srategi dan Teknik Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika,
2011). Hlm 10.
-
39
Peraturan perundang di Indonesia tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Pasal-pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana korupsi adalah
Pasal 209, 210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 223, 225, dan 435. Penyalahgunaan
jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.26 Pasal-pasal tersebut masih
kurang jelas berbicara mengenai tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu ada
peraturan-peraturan lain mendukung atau melengkapi KUHP tersebut.55
Pada periode penguasa perang militer tanggal 9 April 1957 keluar
peraturan KSAD Nomor PRT/PM-06/1957 Tentang Korupsi yang ada di
lingkungan militer, tetapi peraturan tersebut dirasa juga belum efektif, kemudian
dilengkapi dengan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-06/1957, tanggal
27 Mei 1957 tentang Pemilikan Harta Benda., kemudian keluar lagi Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM-001/1957, tanggal 1 Juni 1957 tentang
Penyitaan dan Perampasan Barang-barang Hasil Korupsi. Ketiga peraturan
tersebut sebagai dasar kewenangan kepada penguasa militer untuk dapat menyita
dan merampas barang-barang hasil korupsi. Tiga peraturan dilingkungan militer
tersebut kemudian dilengkapi lagi dengan keluarnya Peraturan Penguasa Perang
Pusat Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, tanggal 16 April
Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Korupsi Pidana dan Pemilikan
Harta Benda. Kemudian tanggal 1 Januari 1960 pemerintah memberlakukan
Undang- Undang Nomor 14/PRP/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
55
Siti Nurkholisah, dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap
Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Sebagai Pidana Tambahan Dalam
Tindak Pidana Korupsi”.2016. Hlm. 37.
-
40
Kemudia keluar Kepres No 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967
Tentang Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Undang- Undang
yang lebih jelas tentang tindak pidana Korupsi adalah setelah keluarnya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi. Pada periode reformasi,
pemerintah, dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang- Undang Nomor 3
Tahun1971 dan sejak saat itu Undang- Undang No 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak
berlaku lagi.56
Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang
korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai 20. Kemudian
pada Bab IV mulai Pasal 25 sampai Pasal 40 memuat tentang ketentuan formil
bagaimana menjalankan ketentuan materilnya. Pemerintah kemudian melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 malakukan perubahan pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yakni penjelasan Pasal 2 ayat (2) sedang
substansinya tetap, kemudian ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal-
Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal yang diacu.
56
Siti Nurkholisah, ibid…,hlm. 38-39.
-
41
Dari sudut sanksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan
sanksi yang jauh lebih ringan dari yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999. Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi, pemerintah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucican Uang yang kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, terakhir dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang57
.
B. UPAYA PEMERINTAH TERHADAP PENEGAKAN HUKUM KORUPSI DI
INDONESIA
Penegakan hukum harus melindungi hak konstitusional warga negara
untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang pasti. Sedangkan
dalam hukum pidana dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang di terjemahkan
sebagai asas legalitas. Dengan demikian, maka setiap tindakan dalam proses
hukum harus mengacu pada suatu peraturan yang tertulis yang telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh perundang-undangan.58
Di Indonesia korupsi di golongkan sebagai kejahatan serius atau "Serious
Crime", UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No.31 tahun 1999 Tentang
57
Ibid, …. Hlm. 40. 58
Siswanto Sunarso, Filsafat Hukum Pidana Konsep, Dimensi, dan Aplikasi, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2015. Hlm. 110.
-
42
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa tindak pidana
korupsi yang terjadi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dan juga
bertentangan dengan tujuan negara yaitu mensejahterak