kajian pustaka dan kerangka teoretik

54
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1 Pengantar Teoretik Kajian pustaka dan kerangka teoretik ini merupakan bagian disertasi yang menjelaskan dasar filosofis penelitian. Bab ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (i) kajian pustaka, (ii) kerangka teoretik, dan, (iii) penelitian terdahulu. Pertama, kajian pustaka berkaitan dengan konsep-konsep dasar penamaan Sastra Hindia Belanda, kedudukan novel dalam penelitian yang menggunakan teori poskolonial, dan kedudukan bahasa dalam masyarakat poskolonial. Masyarakat poskolonial dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berlatar belakang bangsa terjajah dan bangsa penjajah. Kedua, kerangka teoretik berkaitan dengan konsep dan pengembangan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teori tersebut dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (i) teori poskolonial (ii) teori struktur naratif. Teori poskolonial dijelaskan secara terpisah dalam tiga aspek, yaitu (i) keberadaan teori poskolonial, (ii) mimikri dan hibriditas yang masing-masing dipecah menjadi dua bagian: mimikri dan ambivalensi serta hibriditas dan sinkretisme, dan (iii) model kajian poskolonial. Sebaliknya, teori struktur naratif dijelaskan dalam satu aspek yang berkaitan dengan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu, serta struktur transmisi narasi. Struktur naratif ini berfungsi menjelaskan pola hidup masyarakat dalam realitas fiksi dan kontekstualitasnya dengan realitas historis. Konstruksi kehidupan masyarakat dalam realitas fiksi dan realitas historis tersebut menjadi dasar pengembangan identitifikasi mimikri dan hibriditas dalam penelitian 21 Universitas Sumatera Utara

Upload: syahruddin

Post on 01-Jan-2016

208 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

membahas tentang kajian pustaka dan kerangka teori, hal ini biasa digunakan dalam proposal penelitian.

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

2.1 Pengantar Teoretik

Kajian pustaka dan kerangka teoretik ini merupakan bagian disertasi yang

menjelaskan dasar filosofis penelitian. Bab ini terdiri dari tiga aspek, yaitu (i) kajian

pustaka, (ii) kerangka teoretik, dan, (iii) penelitian terdahulu. Pertama, kajian pustaka

berkaitan dengan konsep-konsep dasar penamaan Sastra Hindia Belanda, kedudukan

novel dalam penelitian yang menggunakan teori poskolonial, dan kedudukan bahasa

dalam masyarakat poskolonial. Masyarakat poskolonial dalam penelitian ini adalah

masyarakat yang berlatar belakang bangsa terjajah dan bangsa penjajah.

Kedua, kerangka teoretik berkaitan dengan konsep dan pengembangan teori

yang digunakan dalam penelitian ini. Teori tersebut dikelompokkan dalam dua

bagian, yaitu (i) teori poskolonial (ii) teori struktur naratif. Teori poskolonial

dijelaskan secara terpisah dalam tiga aspek, yaitu (i) keberadaan teori poskolonial, (ii)

mimikri dan hibriditas yang masing-masing dipecah menjadi dua bagian: mimikri dan

ambivalensi serta hibriditas dan sinkretisme, dan (iii) model kajian poskolonial.

Sebaliknya, teori struktur naratif dijelaskan dalam satu aspek yang berkaitan

dengan struktur plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, struktur ruang dan waktu,

serta struktur transmisi narasi. Struktur naratif ini berfungsi menjelaskan pola hidup

masyarakat dalam realitas fiksi dan kontekstualitasnya dengan realitas historis.

Konstruksi kehidupan masyarakat dalam realitas fiksi dan realitas historis tersebut

menjadi dasar pengembangan identitifikasi mimikri dan hibriditas dalam penelitian

21

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

poskolonial. Ketiga, penelitian terdahulu diposisikan sebagai hasil pelacakan jejak

hasil penelitian yang didasarkan pada teori poskolonial dan struktur naratif. Dengan

demikian, bab ini berisi penjelasan filosofis dan aplikatif terhadap teori poskolonial

dan teori struktur naratif yang relevan dengan penelitian mimikri dan ambivalensi

dalam novel Hindia Belanda.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Sastra Hindia Belanda

Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya

sastra Hindia Belanda. Hindia Belanda merupakan penamaan wilayah Indonesia pada

masa penjajajah Belanda. Hindia Belanda yang dikenal sebagai Nederlands(ch)-Indië

ini diakui secara hukum de jure dan de facto. Kepala negara Hindia Belanda adalah

Ratu/Raja Belanda dengan perwakilannya yang berkuasa penuh, yakni seorang

Gubernur Jenderal. Sebagai wilayah jajahan, Hindia Belanda memiliki batas-batas

geografis dengan negara tetangga. Perbatasan Hindia Belanda dengan negara

tetangganya tersebut ditentukan dengan perjanjian-perjanjian legal antara Kerajaan

Belanda dengan Kerajaan Sarawak (protektorat Inggris di bawah dinasti Brooke, "The

White Rajah"), Borneo Utara Britania (Sabah), Kerajaan Portugis (Timor Portugis),

Kekaisaran Jerman (Papua Nugini Utara), dan Kerajaan Inggris (Papua Nugini

Selatan).

Hindia Belanda merupakan wilayah jajahan Belanda yang tertulis dalam UU

Kerajaan Belanda tahun 1814 dan diamandemen pada 1848, 1872, dan 1922 sesuai

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

dengan perkembangan wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda.2

Secara umum, jajahan Belanda ini bermula dari penguasaan

Perkembangan

wilayah ini disesuaikan oleh perluasan wilayah, baik sebagai akibat penaklukan,

peperangan, maupun penyerahan pengawasan dan kedaulatan kerajaan oleh

pemimpin atau raja-raja di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, wilayah geografis

Hindia Belanda sebagai wilayah hukum Kerajaan Belanda mengalami perkembangan

hingga proklamasi kemerdekaan RI.

Vereenigde

Oostindische Compagnie (VOC) yang antara lain memiliki Jawa dan Maluku serta

beberapa daerah lain semenjak abad ke-17. Setelah VOC dibubarkan pada tahun

1798, semua wilayah VOC menjadi milik Kerajaan Belanda. Dengan demikian, VOC

menguasai Hindia Belanda pada 1610-1799 yang kemudian diserahkan pada Kerajaan

Belanda yang justru dalam penguasaan Perancis (1800-1811). Setelah Hindia Belanda

berada dalam kekuasaan Inggris (1811-1816), barulah Hindia Belanda kembali dalam

kekuasaan Belanda (1816-1949). Penguasaan terakhir ini berimplikasi pada

pendudukan Jepang (1942-1945), kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada

tanggal 17 Agustus 1945, dan penyerahan kedaulatan Hindia Belanda kepada

pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.

Penguasaan Belanda terhadap Hindia Belanda ternyata menyimpan karya

sastra yang ditulis oleh sastrawan dari berbagai bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan

2 Di dalam Wikipedia dinyatakan bahwa “Hindia-Belanda juga merupakan wilayah yang tertulis dalam UU Kerajaan Belanda tahun 1814 sebagai wilayah berdaulat Kerajaan Belanda, diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan wilayah Hindia-Belanda.” Dengan demikian, frase “wilayah berdaulat” mengindikasikan bahwa Hindia Belanda berkedudukan setara dengan provinsi atau negara bagian dalam sistem pemerintahan Kerajaan Belanda.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Indonesia. Karya sastra yang muncul pada masa pemerintahan Hindia Belanda ini

pada umumnya berbahasa Belanda dan diterbitkan di Belanda. Karya-karya tersebut

menceritakan keadaan Hindia Belanda dalam hubungannya dengan peradaban Barat

yang dibawa oleh Belanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Sastrowardoyo (1990:11)

berikut ini.

Yang dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangssa Eropah lainnya. Ada juga barang dua-tiga penulis Indonesia yang karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia Belanda, seperti Soewarsih Djojopuspito dan Noto Soeroto, tetapi karya-karya mereka tidak berada di tengah arus pokok perkembangan sastra itu, sehingga bisa diabaikan dalam hubungan karangan ini. Pendapat Sastrowardoyo di atas bertolak belakang dengan pendapat Hellwig

dan Nieuwenhuys. Hal ini dapat dipahami oleh karena Sastrowardojo berfokus pada

analisis karya sastra Hindia Belanda yang ditulis oleh sastrawan berkebangsaan

Belanda. Padahal, realitas historis menunjukkan bahwa, ketertarikan sastrawan

mancanegara untuk menuliskan keadaan Indonesia dalam karya sastra berbahasa

Belanda menjadikan sastra Hindia Belanda sebagai bagian yang menyatu dengan

sastra Belanda. Dengan demikian, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan

berkebangsaan Indonesia harus ditempatkan setara dengan karya sastra yang ditulis

oleh sastrawan berkebangsaan Belanda.

Kondisi di atas sesuai dengan pengakuan resmi Kerajaan Belanda terhadap

legalitas pemerintahan Hindia Belanda sebagai bagian dari pemerintahan Kerajaan

Belanda. Legalitas pemerintahan tersebut memberi konsekuensi atas pengakuan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

seluruh aktivitas dan kreativitas warga negara dalam bersastra sebagai hasil karya

sastra Kerajaan Belanda. Hal ini diakui oleh Hellwig (2007:49) dalam pernyataannya,

bahwa, “Karya sastra Hindia Belanda tak pelak lagi merupakan bagian dari tradisi

sastra Belanda dan dari perkembangannya.” Bahkan, Nieuwenhuys yang menyusun

sejarah sastra Belanda tetap menempatkan sastrawan berkebangsaan Belanda sejajar

dengan sastrawan berkebangsaan Indonesia yang menulis karya sastra dalam bahasa

Belanda sebagai bagian yang menyatu dalam sastra Belanda. Bahkan, Nieuwenhuys

(1978:49) menyatakan bahwa sastra Hindia Belanda memiliki tempat tersendiri yang

tidak terpisahkan dari sastra Belanda meskipun tidak mempunyai tradisi dan iklim

kesusastraan.

Pemunculan karya sastra Hindia Belanda dalam khasanah sastra Belanda tidak

terbatas pada karya sastra berbahasa Belanda. Hal ini disebabkan oleh kehadiran

Balai Pustaka dan penerbit independen yang memberikan ruang pada sastrawan

berkebangsaan Indonesia untuk mempublikasikan karya sastranya. Merari Siregar

dengan novel Azab dan Sengsara dan Marah Rusli dengan novel Sitti Nurbaya

merupakan sastrawan yang menerbitkan novel-novelnya melalui Balai Pustaka.

Bahkan, terdapat karya-karya yang ditulis oleh sastrawan Tionghoa berbahasa

Melayu dan sastrawan Jawa berbahasa Melayu yang diterbitkan oleh penerbit

independen atau yang diistilahkan Belanda sebagai “penerbit liar”.

Secara historis, Lombard (2008a:45-50) membagi perkembangan sastra

Hindia Belanda dalam tiga siklus. Siklus pertama adalah siklus “perompak Melayu”

yang ditulis terutama oleh pengarang bukan Eropa, yaitu Emilio Salgari (Italia) dan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Joseph Conrad (Inggris kelahiran Polandia). Salgari yang ingin menjadi pelaut dan

bertualang mengarungi lautan luas tertarik pada buku The Malay Archipelago karya

Wallace dan buku-buku tentang kehidupan Oceania. Salgari menulis roman dengan

latar Kalimantan Utara, yaitu Le Tigri di Mompracem yang terbit sebagai cerita

bersambung tahun 1883-1884 dan I Pirati della Malesia (1894). Sebaliknya, Conrad

yang berprofesi sebagai perwira kapal dagang berkesempatan mengunjungi Muntok-

Pulau Bangka (1883) dan antara 1887-1888 kembali melakukan perjalanan di

Nusantara antara Jawa dan Sumatera serta Sulawesi dan Kalimantan. Pengalaman dan

pembacaannya terhadap karya Wallace serta penulis yang menggambarkan eksotisme

Nusantara melahirkan roman Almayer’s Folly (1895) dengan latar Pulau Kalimantan

dan Lord Jim (1899) yang diduga berlatar pedalaman Nangroe Aceh Darussalam.

Siklus kedua, dapat dinamakan sebagai “siklus Jawa” yang berpusat di Batavia

dan perkebunan-perkebunan di pedalaman. Karya sastra Hindia Belanda dalam

“siklus Jawa” tampil dengan sumber inspirasi yang beragam dengan kebanyakan

mencerminkan ketegangan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Pada siklus ini

terdapat roman berbahasa Perancis Le planteur de Java karya Henri Guénot (1860)

dan Felix Batel ou La Hollande à Java karya Jules Bubat (1869) serta roman

berbahasa Belanda MH karya Multatuli (1860), Goena-goena karya P.A. Daum

(1889) dan De Stille Kracht karya Louis Couperus (1900).

Siklus ketiga, bersamaan dengan semakin menguatnya pemerintahan Batavia

di luar Pulau Jawa, sehingga siklus ini dinamakan “siklus pulau-pulau luar”. Pada

siklus ini, M.H. Székely-Lulofs menulis novel Rubber (1931) dan Koeli (1932) yang

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

mengisahkan perkembangan perkebunan karet di Sumatera Timur. Pengarang lain

yang mengenalkan eksotisme Hindia Belanda, antara lain, Maria Dermoût (1888-

1962) menulis cerita pendek berdasarkan kehidupannya di Maluku dan menerbitkan

dalam kumpulan cerita pendek De tieduizen dingen (1955) dan Vicki Baum (1888-

1960) menulis novel Liebe und Tod auf Bali (1937) dengan latar mitos Bali.

Pemunculan karya sastra berbahasa Belanda menimbulkan heboh sastra di

Negeri Belanda, khususnya dengan pemunculan novel MH karya Multatuli.

Pemunculan novel ini disusul oleh novel-novel lain yang kemudian muncul novel-

novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs. Pemunculan novel karya Székely-Lulofs

memberikan gelar “Multatuli Wanita” pada pengarang ini. Hal ini disebabkan

keberaniannya mengungkapkan penderitaan kuli di perkebunan yang justru sebagai

lokasi pengabdiannya sebagai istri pemimpin kebun di Sumatera Utara.

Kekacauan manajemen dan penderitaan rakyat Hindia Belanda yang

diungkapkan oleh para sastrawan Hindia Belanda memberi kekuatan moral para

politisi Kerajaan Belanda. Mereka menuntut perbaikan yang “nyata” dalam sistem

kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Hal ini mendorong Ratu Belanda untuk

menyetujui “politik etis” di Hindia Belanda. Politik etis ini dijelaskan oleh End dan J.

Weitjens (2008:7) sebagai-berikut:

Belanda wajib membayar kembali “hutang” itu. Garis kebijakan itu biasa disebut “Ethische Politiek” (“Ethisch” = moral, susila). Penganut-penganur garis ini menghendaki juga, supaya orang-orang Indonesia “dibimbing” oleh “kakaknya”, orang Belanda, ke tingkat yang lebih tinggi di segala bidang hidup, sehingga pada akhirnya secara politis dan ekonomis golongan Indonesia bisa berdiri di samping golongan Belanda, masing-masing dengan mempertahankan ciri kebudayaan dan wataknya sendiri (politik asosiasi).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Jadi, tujuan kaum pengajar “Ethische Politiek” bukanlah kemerdekaan Indonesia, melainkan kerja sama antara dua golongan yang setaraf dalam rangka suatu Hindia Belanda yang tetap bergabung dengan negara Belanda di Eropa. Hanya sedikit sekali orang Belanda yang berpoikir lebih jauh, yaitu yang mencita-citakan suatu Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka. Berdasarkan penjelasan di atas, sastra Hindia Belanda memiliki peranan

penting dalam melaporkan keadaan yang sebenarnya dari kondisi masyarakat

Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia tersebut dituliskan oleh para sastrawan

dalam bahasa Belanda yang diterbitkan di Kerajaan Belanda dan berbahasa Indonesia

yang diterbitkan di Indonesia. Para sastrawan Hindia Belanda tersebut terdiri atas

beragam bangsa, seperti Belanda, Inggris, dan Indonesia.

2.2.2 Novel dalam Penelitian Poskolonial

Kajian poskolonialisme memiliki hubungan erat dengan novel sebagai karya

sastra, kehidupan masyarakat, dan dampak kultural kolonialisasi. Bahkan, Alfonso

(2001:55) mengatakan, “This is why Said proposes to regard the literary text as

another instance of cultural colonization.” (Inilah sebabnya mengapa Said

mengemukakan agar menganggap teks sastra sebagai contoh lain dari kolonisasi

budaya). Hal ini disebabkan kehidupan dalam sastra dan kehidupan dalam masyarakat

memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi

senantiasa saling pengaruh-memengaruhi sehingga pembaca karya sastra mau tidak

mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra dalam persinggungan dengan

kehidupan dalam masyarakat yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai

institusi sosial yang memakai medium bahasa tidak dapat dilepaskan dari frase De

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Bonald. Menurut Wellek dan Austin Warren (1989:110), frase tersebut menyatakan

bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.”

Sejalan dengan pernyataan De Bonald, karya sastra mendapatkan tempatnya

sebagai dokumen sosial dan pemodelan masyarakat. Genre sastra yang berpotensi

besar sebagai dokumen sosial dan pemodelan itu adalah novel. Menurut Jonathan

Culler sebagaimana dikutip oleh Teeuw (2003:187-188), “...the novel serves as the

model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it

articulates the world....”3 (...novel bertindak sebagai model lewat mana masyarakat

membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan lewat mana disendikannya

dunia.....” Lebih lanjut dijelaskannya, “Our identity depens on the novel, what others

thinks of us, what we think of ourselves .... How do others see us if not as a character

from a novel?”4

3 Prof. A. Teeuw menerjemahkan ‘novel’ dengan ‘roman’. Lihat juga, Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: dari strukturalisme genetik sampai post-modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), p. 47. Faruk menerjemahkan pendapat Culler yang dikutip Teeuw dari kutipan Philippe Sollers dengan kalimat, “...novel berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya. Novel merupakan wacana yang di dalam dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia.”

(Identitas kita tergantung pada novel, apa yang orang lain pikirkan

tentang kita, apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Bagaimana orang lain

memandang kita kalau bukan sebagai tokoh dalam sebuah novel?). Dengan demikian,

novel sebagai ungkapan perasaan masyarakat berfungsi sebagai model kehidupan,

baik sebagai model pemahaman kehidupan maupun model aplikasi kehidupan

masyarakat.

4 Lebih lanjut dijelaskan oleh Faruk, “Di dalam novel kata-kata disusun sedemikian rupa agar melalui pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individuali, model hubungan antara individu dengan masyarakat, dan, lebih penting lagi, model signifikansi dari aspek-aspek dunia tersebut.”

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Di samping fungsi novel sebagai model kehidupan masyarakat, pemilihan

novel untuk kajian poskolonial ini didasarkan pada kelengkapan cerita dalam novel

dibandingkan genre sastra yang lain. Menurut Ratna (2004:336-337), “Novel

menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling

luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas.” Dengan

demikian, novel memenuhi karakteristik sastra yang baik sebagaimana diungkapkan

oleh Richard Hoggart (Teeuw, 2003:195), “Sastra yang baik menciptakan kembali

rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup

yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial dunia yang

sarat objek.”

Secara lebih spesifik, novel memiliki kedudukan penting dalam

mengungkapkan realitas kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Menurut Ratna

(2004:136), “Novel jelas merupakan objek karya sastra terpenting. Pertama,

pertimbangan dari segi medium yang cukup luas dan kaya, apabila dibandingkan

dengan genre lain. Kedua, dalam novel terkandung isi, pesan, dan amanat, bahkan

juga konsep-konsep yang beraneka ragam.” Dengan demikian, novel memiliki

potensi besar untuk mengungkapkan realitas historis sehingga memberi konstruksi

kehidupan sesuai dengan peradaban manusia yang melatarbelakangi pemunculan

novel tersebut.

Bahkan, Edward W. Said menguji teori poskolonialnya dengan menempatkan

novel sebagai sumber data penelitian untuk mengonstruksikan realitas historis Timur

dan Barat. Di dalam penelitiannya, Said menemukan kenyataan bahwa realitas fiksi

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

novel dalam konteks poskolonial berkaitan erat dengan realitas historis imperialisme

sebagai bagian yang menyatu dengan kolonialisme Barat. Hal ini sesuai pernyataan

Said (1994:84) berikut ini.

I am not trying to say that the novel –or the culture in the broad sense- ‘caused’ imperialism, but that the novel, as a cultural artifact of bourgeois society, and imperialism are unthinkable without each other. Of all the major literary forms, the novel is the most recent, its emergence the most datable, its occurrence the most Western, its normative pattern of social authority the most structures; imperialism and the novel fortified each other to such a degree that it is impossible, I would argue, to read one without in some way dealing with the other. (Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa novel –atau budaya dalam arti luas- 'disebabkan' imperialisme, tetapi novel, sebagai artefak budaya masyarakat borjuis, dan imperialisme yang tanpa terpikirkan satu sama lain. Dari semua bentuk tulisan utama, novel adalah yang paling baru, yang datanya yang paling Barat, yang paling normatif pola otoritas struktur sosialnya; imperialisme dan novel mungkin saling memperkaya, saya berpendapat, untuk membaca karya sastra sudah barang tentu berhubungan dengan karya yang lain.) Berdasarkan pendapat di atas, pengarang tidak dapat memisahkan diri secara

totalitas dari persoalan hidup masyarakatnya. Novel dan penulis tidak berada dalam

kekosongan. Menurut Varadarajan (2010:382), Edward Said memperlakukan teks

seperti novel dan karya sastra lainnya sekadar sebagai objek tak berdaya, sastra

sebagai sesuatu yang terpisah dari dunia tempat yang diciptakannya, atau penulis

yang cuma sebagai penulis buku tertentu, berarti melewatkan fakta penting bahwa

produksi teks oleh penulis merupakan sebuah produksi budaya yang berhubungan

dengan kekuasaan dan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peran yang dimainkan

penulis sangat menentukan dalam merepresentasikan realitas historis pada realitas

fiksi.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Realitas historis dalam realitas fiksi sastra poskolonial sarat dengan masalah

mimikri dan hibriditas. Bahkan, masalah mimikri dan hibriditas dalam kajian

poskolonial memunculkan masalah lain yang tidak kalah penting, yakni ambivalensi,

dan sinkretisme. Oleh karena itu, sastra poskolonial menjadi media pengungkapan

relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang signifikan. Menurut Ratna

(2008:134), pemilihan karya sastra sebagai media yang paling tepat untuk melukiskan

masalah tersebut didasarkan atas tiga pertimbangan. Pertama, karya sastra adalah

sistem bahasa, tanda, sehingga sangat tepat untuk melukiskan perasaan. Kedua, karya

sastra bukan objektivitas itu sendiri. Masalah yang diungkapkan dalam karya sastra

bukan kolonialisme melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme. Ketiga, sastra

adalah refleksi sekaligus refraksi, inovasi sekaligus negasi dan afirmasi.

Hubungan karya sastra dengan poskolonialisme menjadikan sebuah novel

tidak otonom. Sebuah novel memiliki struktur naratif tersendiri sekaligus memiliki

sesuatu yang-Lain. Di dalam hal ini, karya sastra yang muncul atau mengisahkan

kehidupan masa kolonial memiliki sisi-sisi ideologis, terutama dalam kaitan untuk

mendukung dan mengembangkan kepentingan imperialisme Barat dan mengabaikan

identitas Timur. Di dalam hal ini, Said (1994:49) menegaskan, “There is no way of

dodging the truth that the present ideological and political moment is a difficult one

for the alternative norms for intellectual work that I propose in this book.” (Tidak ada

cara menghindar dari kebenaran bahwa ideologi sekarang dan gerakan politik

sekarang adalah sesuatu yang sulit untuk norma-norma alternatif bagi kegiatan

intelektual yang saya usulkan dalam buku ini). Edward W. Said memperkuat teori

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

poskolonial dengan memunculkan buku Orientalism (1978) dan Culture and

Imperialism (1993). Di dalam kedua buku tersebut, Said mengungkapkan dikotomi

Barat dan Timur dari berbagai aspek, baik secara politis, budaya, maupun agama.

Di samping Edward W. Said, terdapat Gayatri Chakravorty Spivak yang

menjadi juru bicara poskolonial. Apabila Edward W. Said berasal dari Yerusalem

Barat (Timur Tengah) maka Gayatri Chakravorty Spivak berasal dari Calcutta (Asia

Selatan). Esai-esai Spivak seperti Three Women’s Txts and a Critique of Imperialism

(1985) dan Can the Subaltern Speak? (1988) telah diantologikan secara luas dan

dikutip sebagai contoh teks teori poskolonial. Akan tetapi, Spivak sebagaimana

dijelaskan oleh Morton (2008:2-3) mengejutkan poskolonialis karena menolak label

‘poskolonial’ dalam tulisan teoretis terbarunya. Bagi Spivak, teori poskolonial terlalu

terfokus pada bentuk masa lalu dominasi kolonial. Oleh karena itu, tidak sesuai untuk

mengkritik pengaruh dominasi ekonomi global dan kebijakan struktural IMF serta

perekonomian dan masyarakat Selatan.

Fokus kajian Spivak yang menjadi ciri khas analisisnya adalah pada sudut

pandang Kaum Subaltern dalam kolonialisasi. Spivak yang mempresentasikan teori

postrukturalis dari Jacques Derrida menekankan pentingnya mendekonstruksi secara

terus-menerus mempersoalkan program politis seperti sosialisme, feminisme,

nasionalisme antikolonial, dan identitas politis kaum ploretar, perempuan, dan

penduduk koloni. Menurut Morton (2008:19), terhadap perempuan subaltern, Spivak

menempatkan perjuangan kebebasan perempuan dan kaum perempuan di dunia

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Selatan secara bertahap mentransformasi ruang nonrelasional keistimewaan etis ke

dalam ruang keputusan dan tanggung jawab politik.

Di samping Edward W. Said dan Gayatri Chakravorty Spivak terdapat Homi

K. Bhabha yang lahir dalam lingkungan masyarakat Parsi Bombay, Asia Selatan.

Kajian poskolonialisme Bhabha dipengaruhi oleh Jacques Derrida, Jacques Lacan,

dan Michel Foucault. Bhabha menggagas teori liminalitas dalam wacana

kolonialisme. Menurut Sutrisno dan Hendar Putranto (2004:140-145), Bhabha

mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan ruang persinggungan antara teori

dan praktik kolonisasi untuk melahirkan hibriditas. Hal ini disebabkan pencarian

identitas itu idealnya tidak pernah berhenti. Di antara penjajah dan terjajah terdapat

ruang ketiga tempat persilangan budaya atau hibriditas memunculkan diri dalam

budaya, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Hal ini terungkap dalam karya sastra

sebagaimana diakui oleh Bhabha (dalam Huddart, 2006:39) berikut ini.

Why does Bhabha refer to the literary? An initial answer emphasizes that literariness is often associated with the non-objective, the non-serious, and the non-real. Literature is like all those other apparently dismissible phenomena like jokes and myths: we know they have effects, but we act as if they are not that important. Often, then, we disavow our knowledge of the importance of these marginal things. (Mengapa Bhabha merujuk pada sastra? Jawaban awal menekankan bahwa sastra sering dikaitkan dengan nonobjektif, tidak serius, dan nonreal. Sastra seperti semua fenomena tampaknya lain seperti lelucon dan mitos: kita tahu mereka memiliki efek, tapi kita beranggapan seolah-olah sastra tidak begitu penting. Sering kali kita mengingkari pengetahuan kita tentang pentingnya hal-hal yang marjinal.) Homi K. Bhabha sebagaimana pernyataan Sikana (2009:456) mengatakan

sastra poskolonial dapat dikaji dalam konteks budaya bangsa yang dijajah harus

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

mengalami pengalaman dan trauma sejarah yang berbeda, seperti penghambaan,

revolusi, peperangan yang mengakibatkan pembunuhan massal, penentangan rejim

tentara, kehilangan identitas bangsa, kemelut budaya, atau pelarian akibat konflik

politik. Di sinilah novel Hindia Belanda memperoleh tempat dalam kajian

poskolonial karena novel-novel tersebut menceritakan penghambaan, peperangan,

dan kemelut budaya Timur dan Barat dalam kehidupan tokoh-tokoh ceritanya, baik

dalam konteks mimikri dan ambivalensi kepribadian maupun hibriditas dan

sinkretisme. Bahkan, novel MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs,

MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse yang dijadikan

fokus penelitian ini ditulis oleh sastrawan yang terlibat dalam kolonialisasi Belanda

di Hindia Belanda, baik sastrawan berkebangsaan Belanda maupun sastrawan

berkebangsaan Indonesia.

2.2.3 Bahasa Masyarakat Poskolonial

Berkaitan dengan linguistik, pada hakikatnya para orientalis memulai karier

sebagai seorang filolog sehingga memunculkan revolusi filologi yang melahirkan

sains perbandingan yang berlandaskan premis bahwa bahasa-bahasa mempunyai

rumpun-rumpun yang berbeda dengan rumpun Indo-Eropa dan Semitis sebagai

rumpun besarnya. Oleh karena itu, menurut Said (1994:129), sejak itu semua

orientalisme membawa dua sifat dalam bidang linguistik, Pertama, kesadaran diri

ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan kepentingan linguistik Timur bagi

Eropa. Kedua, kecenderungan untuk membagi, membagi lagi dan membagi kembali

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

ke pokok permasalahan tanpa pernah mengubah pemikirannya mengenai Timur

sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak berubah-ubah, seragam, dan objek yang

benar-benar khas.

Ernest Renan (dalam Said, 1994:183) berpendapat, “Ada suatu periode, yang

hanya bisa kita duga-duga saja, ketika manusia secara harfiah diangkat dari kebisuan

ke kata-kata. Setelah itu adalah bahasa, dan bagi saintis sejati tugasnya adalah

menguji bagaimana sebenarnya bahasa itu, bukannya bagaimana timbulnya.” Di

dalam proses pengujian bahasa, Renan menciptakan kolonisasi linguistik pada Timur

dengan perangkat laboratoriumnya. Timur dalam konteks ini adalah bahasa Semit

yang dipandang Renan terhambat perkembangannya dibandingkan bahasa dan

budaya Eropa. Meskipun Renan memberi dorongan untuk memandang bahasa Semit

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‘makhluk-makhluk hidup di alam’.

Menurut Said (1994:191-192), hal ini disebabkan Renan lewat laboratoriumnya

membuktikan bahwa, “Bahasa-bahasa Timurnya, bahasa Semit, sifatnya anorganik,

terhambat, sama sekali beku, tidak mampu melakukan regenerasi diri; dengan kata

lain, ia membuktikan bahwa bahasa Semit bukanlah bahasa yang hidup dan oleh

karenanya kaum Semit juga bukan makhluk yang hidup.”

Secara poskolonial, Ashcroft, dkk. (2003:43) setelah meneliti bahasa dalam

koloni Inggris mengelompokkan bahasa dalam wacana poskolonial atas tiga

kelompok, yaitu monoglossic, diglossic, dan polyglossic. Kelompok monoglossic

terdiri dari masyarakat berbahasa tunggal sebagai bahasa ibu mereka. Mereka biasa

tinggal di koloni-koloni hunian dan pengucapan mereka sama sekali tidak sama atau

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

seragam. Sementara itu, masyarakat diglossic adalah mereka yang dengan

bilinguisme telah lama menjadi bagian tidak terpisahkan dari tatanan

kemasyarakatannya sehingga dapat mengadopsi suatu bahasa sebagai bahasa

pemerintahan dan perdagangan. Kemudian, masyarakat polyglossic atau polydialectic

di mana beragam dialek saling terjalin dan secara umum membentuk rangkaian

linguistik.

Bahasa dalam novel bahan penelitian ini adalah bahasa Indonesia. Meskipun

menggunakan bahasa Indonesia tetapi tetap memberikan suatu rangkaian linguistik

yang terdiri dari bahasa Indonesia dan bahasa Belanda, baik dalam deskripsi maupun

dialog antartokoh. Oleh karena itu, di dalam konteks kajian poskolonialisme ini,

penelitian difokuskan untuk mengidentifikasi dan mengkaji rangkaian linguistik

tersebut pada dialog tokoh cerita dan narasi pengarangnya. Dengan demikian,

penggunaan bahasa hasil penerjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia

dalam keseluruhan bahasa novel dapat ditempatkan pada kelompok masyarakat

monoglossic, diglossic, atau polyglossic secara valid dan representatif.

2.3 Kerangka Teoretik

Penelitian ini dilakukan dengan dasar teori poskolonial dan teori struktur

naratif. Kedua teori ini digunakan untuk hal-hal sebagai-berikut:

(1) Teori struktur naratif digunakan sebagai teori untuk menjawab rumusan masalah

pertama, sehingga ditemukan struktur penceritaan realitas fiksi novel Hindia

Belanda. Realitas fiksi yang dideskripsikan adalah struktur plot; struktur fisik, ras,

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

dan relasi gender; struktur ruang dan waktu; serta struktur transmisi narasi. Teori

struktur naratif yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Seymour

Chatman.

(2) Teori poskolonialisme digunakan sebagai teori untuk menjawab rumusan masalah

kedua hingga kelima. Oleh karena itu, teori ini mendasari deskripsi dan analisis

data realitas fiksi dan realitas historis yang relevan dengan bentuk dan substansi

novel Hindia Belanda. Realitas fiksi berkaitan dengan struktur naratif sedangkan

realitas historis berkaitan dengan peristiwa, waktu, tempat, dan pelaku yang

kontekstual dengan realitas fiksi. Berdasarkan realitas tersebut dianalisis mimikri,

ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme dalam relasi bangsa yang terjajah dan

bangsa yang menjajah. Teori poskolonialisme yang digunakan adalah teori yang

dikemukakan oleh Edward W. Said dan Homi K. Babbha.

2.3.1 Teori Struktur Naratif

Teori struktur naratif merupakan teori sastra dalam kelompok teori

postrukturalisme naratologi. Ratna (2004:252-290) mengelompokkan Seymour

Chatman bersama Genette, Prince, Culler, Barthes, Bakhtin, Hayden, Pratt, Lacan,

Foucault, Lyotard, dan Baudrilard sebagai tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi.

Secara konseptual, kelompok teori ini masih berkaitan dengan teori strukturalisme

yang berkembang sejak Aristoteles mengenalkan analisis struktur tragedi sebagai satu

kesatuan yang utuh. Kemudian, mulai memisahkan bentuk dan substansi serta teks

dan wacana. Menurut Ratna (2004:244-245) wacana sebagai cara berkata atau ucapan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial dan berfungsi menyampaikan

berbagai informasi dalam suatu teks. Oleh karena itu, teori struktur naratif tidak

hanya memusatkan perhatian pada struktur bentuk narasi saja, melainkan juga pada

substansi narasi tersebut dalam kehidupan manusia.

Seymour Chatman pada dasarnya membedakan teorinya sebagain teori

postrukturalisme naratologi dengan strukturalisme naratologi pada suara narator

dalam struktur transmisi narasi sebagai model komunikasi pengarang dengan

pembacanya. Di dalam hal ini, Chatman (1986:140) menyatakan bahwa gagasan

tentang pesan narasi mengandaikan konsep pengirim: “‘Sender’ is logically

implicated by ‘message;’ a sender is by definition built-in: inscribed or immanent in

every message.” (Pengirim secara logis terlibat dengan 'pesan'; pengirim tertulis atau

imanen dalam setiap pesan.) Oleh karena itu, Stam, dkk. (2005:115), menegaskan

bahwa pesan narasi, bagaimanapun, tidak perlu "kata", tidak perlu disajikan dalam

bentuk verbal. Tidak ada alasan untuk menolak konsep narator sinematik, dalam

pandangannya, hanya karena tidak ada yang mirip dengan suara atau agen yang

"menyerupai manusia" yang memancarkan kalimat kepada pembaca atau pemirsa dan

penonton.

Di samping itu, di dalam aplikasi teori struktur naratif terdapat konsep hakikat

teknik flashback dalam kajian strukturalisme dengan menghubungkannya pada siklus

kehidupan manusia. Chatman (2009:31) mengutip pendapat Søren Kierkegaard yang

menyatakan bahwa, “Life can only be understood backwards; but must be lived

forwards.” (Hidup hanya dapat dipahami mundur, tetapi harus dijalani forwards.) dan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

pendapat Carlos Fuentes yang menyatakan, “What was yet to come would also be a

memory.” (Apa yang belum datang akan menjadi kenangan.) Dengan demikian, plot

setiap cerita bergerak mundur karena kehidupan manusia yang ditampilkan dalam

realitas fiksi didasarkan pada realitas historis kehidupan manusia yang sebenarnya.

Gambar 2.1: Diagram Teori Struktur Naratif

Sejalan dengan perkembangan teori struktur naratif, Ratna (2004:251)

menempatkan teori ini sebagai teori postrukturalisme, “Postrukturalisme memandang

betapa pentingnya sejarah dan waktu dalam mempermasalahkan bahasa dalam

Tindakan Kejadian Karakter Latar

Bentuk = dari Isi

Kejadian Keadaan

Cerita

(Isi)

Substansi = dari Isi

Orang, benda, dsb., sebagai praproses oleh kode budaya penulis

Narasi Substansi = dari Ungkapan

Struktur transmisi narasi

Wacana (Ungkapan) Verbal

Sinamatis Balletis Pantomimik dsb.

Subtansi = dari Ungkapan

Manifestasi

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

penggunaannya.” Di sinilah Seymour Chatman, profesor retorika di University of

California, Berkeley merumuskan teori struktur naratif dalam kajian fiksi dan film..

Menurut Ratna (2004:241), teori Chatman memandang karya sastra dengan ciri-ciri

adanya rangkaian peristiwa, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur lain, seperti

tokoh-tokoh, latar, sudut pandang, dan sebagainya. Menurut Chatman (1980:19),

struktur tradisional karya sastra ini diformulasikan secara postruktural dengan sebuah

pertanyaan, “What are the necessary components –and only those- of a narrative?”

Diagram teori struktur naratif Seymour Chatman menempatkan narasi sebagai

cerita (story) dan wacana (discourse). Berdasarkan diagram 2.1 di atas, baik cerita

sebagai isi (content) narasi maupun wacana sebagai ungkapan (expression) narasi

memiliki bentuk (form) dan substansi (substance). Menurut Chatman (1980:24),

hubungan isi dan ungkapan dengan bentuk dari substansi ditampilkan dalam bentuk

kuardipartiti berikut ini.

Expression Content

Media insofar as they can communicate stories. (Some media are semiotic systems in their own right.)

Representations of objects & actions in real & imagined worlds that can be imitated in anarrative medium, as filtered through the codes of the author’s society.

Narrative discourse (the structure of narrative transmission) consisting of elements shared by narratives in any medium whatsoever.

Narrative story components: events, existents, and their connections.

Gambar 2.2: Kuardipartiti Bentuk-Subtansi dengan Ungkapan-Isi dalam Teori

Struktur Naratif

Substansce

Form

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Berdasarkan gambar 2.2, bentuk (form) dari isi (content) narasi adalah

komponen cerita narasi, yakni kejadian, keberadaan, dan hubungannya. Hal ini sesuai

dengan diagram 2.1, dinyatakan bahwa kejadian meliputi tindakan dan kejadian

sedangkan keadaan meliputi karakter dan latar. Unsur-unsur narasi ini memiliki

hubungan satu sama lain dengan faktor penggerak orang, benda, atau masalah sebagai

praproses oleh kode budaya penulis. Faktor penggerak isi cerita inilah yang dalam

teori struktur naratif Chatman disebut substansi dari isi cerita. Hal ini sesuai dengan

gambar 2.2 yang menjelaskan bahwa substansi dari isi cerita merupakan representasi

dari objek dan tindakan yang nyata dan dunia yang dapat dibayangkan yang dapat

ditiru dalam suatu medium narasi setelah disaring melalui tanda dari masyarakat

penulis.

Di dalam konteks kajian poskolonial ini, bentuk dari isi (content) dan

substansi dari isi cerita dalam konteks analisis novel berposisi sebagai unsur intrinsik

dengan tiga unsur pembentuk, yakni plot yang ditentukan oleh tindakan dan kejadian,

karakter yang dapat ditentukan oleh struktur fisik, ras, dan relasi gender, dan latar

yang ditentukan oleh struktur ruang-cerita dan waktu-cerita. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Chatman (1980:24-25) berikut ini.

The question is not “What does any given story mean?” but rather ”What does narrative itself (or narrativizing, a text) mean?” The signifiés or signifieds are exactly three –event, character, and detail of setting; the signifiants or signifiers are those elements in the narrative statement (whatever the medium) that can stand for one of these three, thus any kind of physical or mental action for the first, any person (or, indeed, any entity that can be personalized) for the second, and any evocation of place for the third. (Pertanyaannya bukan “Apa arti dari cerita tersebut?” melainkan “Apa arti dari narasi itu sendiri (atau penarasian suatu teks)?” Penanda atau yang

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

ditandai terdiri dari tiga –kejadian, sifat, dan gambaran pelataran; penanda merupakan elemen-elemen dalam pernyataan narasi (apa pun mediumnya) yang dapat menjadi wakil salah satu dari ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang (atau, tentu saja, suatu entitas yang dapat dipersonalkan), yang kedua, dan setiap pembentukan tempat untuk yang ketiga.) Di samping bentuk dari isi dan substansi dari isi sebagai komponen cerita dari

narasi, teori struktur naratif Chatman menempatkan bentuk dari ungkapan dan

substansi dari ungkapan sebagai komponen wacana narasi. Gambar 2.2 menjelaskan

bahwa bentuk dari ungkapan merupakan wacana narasi berbentuk struktur transmisi

yang terdiri dari elemen-elemen yang dibagi dalam narasi-narasi dalam medium apa

pun. Sebaliknya, substansi dari ungkapan merupakan media yang dapat

mengkomunikasikan cerita. Substansi ini pada gambar 2.1 dimanifestasikan dalam

bentuk verbal atau bentuk lain yang relevan dengan narasinya. Hal ini sesuai dengan

penjelasan Chatman (1980:22) berikut ini.

Narrative discourse, tha “how”, in turn divides into two subcomponents, the narrative form itself –the structure of narrative transmission- and its manifestation- its appearance in a specific materializing medium, verbal, cinematic, balletic, musical, pantomimic, or whatever. Narrative transmission concerns the relation of time of story to recounting of story, the source or authority for the story: narrative voice, “poin of voew,” and the like. Naturally, the medium influences the transmission, but it is important for theory to distinguish the two. (Wacana narasi, “bagaimana” membaginya ke dalam dua subkomponen, bentuk narasi itu sendiri –struktur transmisi narasi- dan manifestasinya –penampilannya dalam suatu medium materialisasi khusus, verbal, sinematis, balletis, musikal, pantomim, atau apa pun itu. Transmisi narasi memperhatikan hubungan waktu cerita dengan waktu penceritaan, sumber atau otoritas dari cerita: suara narasi, “sudut pandang,” dan kemiripannya. Pada hakikatnya, medium mempengaruhi transmisi, tetapi hal ini penting bagi teori untuk membedakan keduanya.)

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Berdasarkan penjelasan di atas, struktur naratif novel yang akan

dideskripsikan dan dianalisis dalam kajian poskolonial ini terdiri dari empat

komponen.5

(1) Struktur plot, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada tindakan dan

kejadian yang muncul dari orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita.

Struktur plot sebagai sebuah penceritaan pada hakikatnya terbagi atas tiga bagian,

yaitu bagian permulaan, pertengahan, dan bagian akhir suatu cerita. Struktur plot

ini akan menentukan apakah cerita beralur maju atau beralur mundur. Oleh karena

itu, sinopsis yang menggambarkan pergerakan tokoh harus dideskripsikan dengan

cermat, sehingga dapat diidentifikasi perubahan arah berkaitan dengan karakter

protagonis dalam menjalani kehidupannya. Menurut Chatman (1980:85),

”Aristotle distinguished between fortunate and fatal plots, according to whether

the protagonist’s situation improved or declined.” (Aristoteles membedakan

antara alur yang fatal dan keberuntungan menurut apakah situasi protagonis

meningkat atau menurun). Dengan demikian, pendeskripsian struktur plot tersebut

dapat memperlihatkan protagonis yang sangat baik, tidak begitu jahat, atau luar

biasa baiknya.

Keempat komponen tersebut adalah:

(2) Struktur fisik, ras, dan relasi gender, yakni struktur narasi novel yang

mengungkapkan karakter pelaku cerita. Struktur relasi gender merupakan istilah

5 Komponen teori struktur naratif ini telah diaplikasikan pada Rosliani, “Novel Karya Bokor Hutasuhut: Pendekatan Hermeneutika Historis,” Tesis pada Program Studi Linguistik Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009, p. 21 dan pp. 37-100. Lihat juga, Faruk, Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 222-249 dan 276-360.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

yang mengacu kepada analisis penokohan dan karakteristik. Analisis ini lebih

menekankan kepada hubungan antartokoh laki-laki dengan perempuan. Hubungan

tersebut ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita, baik dalam pemunculan

maupun peniruannya. Menurut Chatman (1980:108), “In the Greek, the emphasis

is on action, not on the men performing the action […] Action comes first; it is

the object of imitation.” (Dalam bahasa Yunani, penekanan terdapat pada

tindakan […] Tindakan muncul dahulu; yang merupakan objek peniruan). Dengan

demikian, relasi gender itu ditentukan oleh tindakan nyata tokoh cerita dalam

menghadapi persoalan kehidupan, baik bersifat individual maupun kolektif.

(3) Struktur ruang dan waktu, yakni struktur narasi novel yang didasarkan pada latar

tempat dan waktu tindakan serta kejadian berlangsung. Struktur ruang dan waktu

pada analisis setting ditempatkan pada latar tempat dan latar waktu. Chatman

(1980:152) memberi perbedaan ruang dan waktu sebagai berikut, “As the

dimension of story-evens is time, that of story-existence is space.” (Seperti

dimensi kejadian-cerita adalah waktu, maka dimensi eksistensi-cerita adalah

ruang). Dengan kata lain, struktur ruang ditentukan oleh tempat berpijak cerita

sedangkan struktur waktu ditentukan oleh pemunculan kejadian dalam cerita yang

bersangkutan.

(4) Struktur transmisi narasi, yakni struktur pengiriman narasi yang akan

mengungkapkan sudut pandang narator dalam menyampaikan isi cerita. Di dalam

struktur transmisi narasi, penanda atau yang ditandai terdiri dari tiga hal, pertama,

kejadian, sifat, dan gambaran pelataran. Kedudukan penanda atau yang ditandai

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

diungkapkan Chatman (1980:25) Penanda merupakan elemen-elemen dalam

pernyataan narasi (apa pun mediumnya) yang dapat menjadi wakil salah satu dari

ketiganya, meskipun itu jenis tindakan fisik atau mental, orang (atau, tentu saja,

suatu entitas yang dapat dipersonalisasikan), yang kedua, dan setiap pembentukan

tempat untuk yang ketiga). Ketiga, penanda atau yang ditandai ini diungkapkan

dalam bentuk sudut pandang orang pertama atau sudut pandang orang ketiga.

Struktur naratif ini menjadi medium pengarang untuk menampakkan kekuasaan

diri atau menyamarkan kehadiran dirinya.

Keempat komponen bentuk struktur narasi di atas pada hakikatnya terdiri dari

dua komponen utama, yaitu komponen cerita dan komponen wacana. Ratna

(2004:257) menyimpulkan cara paling mudah mengenali dan membedakan cerita

dengan wacana adalah dengan pertanyaan ‘apa’ untuk memahami cerita dan

‘bagaimana’ untuk memahami wacana. Komponen cerita tersebut terdiri dari struktur

plot, struktur fisik, ras, dan relasi gender, serta struktur ruang dan waktu digerakkan

oleh orang, benda, dan berbagai substansi isi cerita. Sebaliknya, komponen wacana

terdiri dari struktur transmisi narasi dan manifestasinya, penampilannya dalam suatu

medium materialisasi khusus, verbal, sibematis, balletis, musikal, pantomim, atau apa

pun itu yang mampu memanifestasikan sesuatu. Dengan demikian, struktur narasi

sebagai bagian integral teori postrukturalisme naratologi berfungsi menyediakan data

cerita dan wacana bagi teori poskolonial.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

2.3.2 Teori Poskolonialisme

2.3.2.1 Keberadaan Teori Poskolonialisme

Teori poskolonialisme merupakan kelompok teori postrukturalisme yang

menolak oposisi biner. Menurut Ratna (2007:233), “Oposisi biner yang ditolak dalam

poskolonialisme adalah perbedaan secara diametral antara Barat dan Timur, penjajah

dan terjajah, nonpribumi dan pribumi, kolonialis dan koloni.” Oleh karena itu,

poskolonialisme merupakan akibat, sebuah era sesudah kolonialisme sehingga

berbagai bentuk kolonial dengan berbagai variannya, bahkan dengan berbagai akibat

yang ditinggalkan harus dihilangkan. Di sinilah teori poskolonial menempatkan diri

sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang

ditimbulkan oleh kolonialisme. Menurut Ratna (2007:235), “Akibat-akibat yang

dimaksudkan lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas dibandingkan dengan

kerusakan material.”

Edward W. Said, Homi K. Babbha, dan Gayatri Spivak sebagai tokoh penting

dalam ranah kajian poskolonialisme bertitik tolak dari pemunculan buku Black Skin,

White Masks karya Frantz Fanon (edisi de Seuil, Perancis [1952] dan edisi Grove

Press Inc., Inggris [1967]). Menurut Ratna (2008:84), “Fanon menyimpulkan bahwa

melalui dikotomi kolonial, yaitu kelompok penjajah dan terjajah, wacana orientalisme

telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat.” Ratna

(2007:242) mendeskripsikan pendapat Frantz Fanon dengan cara berikut ini.

Fanon berangkat dari disiplin psikologi dengan cara menganalisis dampak sosiopsikologis masyarakat terjajah. Kesimpulannya, melalui dikotomi wacana Barat dan Timur, orientalisme telah melahirkan alienasi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat, Barat dan Timur tidak akan bersatu, sebaliknya di antara keduanya akan melahirkan jurang pemisah yang semakin lebar. Secara poskolonial, Frantz Fanon sendiri melihat bangsa terjajah yang terkena

dampak sosiopsikologis ternyata menikmati status mereka sebagai bangsa terjajah.

Hal ini memunculkan ambivalensi kepribadian bangsa terjajah, antara keinginan

untuk mempertahankan identitas kultural bangsa sendiri dengan mengadopsi identitas

kultural bangsa penjajah. Kenyataan ini terungkap dalam pendapat Fanon (2008:2-3)

berikut ini.

All colonized people –in other words, people in whom an inferiority complex has taken root, whose local cultural originality has been committed to the grave- position themselves in relation to the civilizing language: i.e., the metropolitan culture. The more the colonized has assimilated the cultural value of the metropolis, the more he will have escaped the bush. The more he rejects his blackness and the bush, the whiter he will become. (Semua orang-orang terjajah –dengan kata lain, orang-orang yang berada pada tarap rendah diri yang telah berakar, yang budaya setempatnya orisinil telah berkomitmen untuk menempatkan diri mereka dalam kaitannya dengan bahasa peradaban, yaitu budaya metropolitan. Semakin yang terjajah telah berasimilasi dengan nilai budaya metropolis, semakin ia akan lolos dari ketidakberaturan. Semakin ia menolak kegelapan dan ketidakberaturan, ia akan menjadi lebih Barat.) Sejalan dengan pendapat di atas, yang menjadi masalah, khususnya

sebagaimana ditunjukkan oleh teori poskolonialisme adalah implikasi yang

ditimbulkan oleh narasi besar para penjajah. Menurut Ratna (2007:238) setidaknya

terdapat dua narasi besar poskolonialisme Indonesia. Kedua narasi besar tersebut

berkaitan dengan karakter Barat dan Timur. Barat, misalnya, telah berhasil untuk

menanamkan pemahaman bahwa bangsa Timur, kita ‘memang’ lemah, inferior, lebih

menaruh perhatian pada masalah-masalah spritual, percaya pada takhyul, lebih

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

mengutamakan perasaan, dan sebagainya, dengan konsekuensi logis mengakui

superioritas Barat. Sebaliknya, Timur dengan sifat malas dan berbagai implikasinya,

seperti: korup, kurang kreatif, tidak tanggap, apatis, lebih mementingkan diri sendiri

dan golongan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan

sebagainya, sebagian atau seluruhnya merupakan sifat-sifat yang diterima melalui

sikap menyerah, pasrah.

Poskolonialisme mendapat perhatian lebih luas sejak Vintage Books (New

York) menerbitkan buku Orientalism yang ditulis oleh Edward W. Said (1978). Said

menganalisis masalah pokok ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur,

terutama dalam peradaban kolonial. Di dalam hal ini, Said memberi bukti bahwa

budaya Eropa menyandarkan dirinya kepada dunia Timur sehingga Timur tidak dapat

dipandang “sebelah mata” oleh Barat sebagaimana dinyatakan oleh Said (1994:7)

berikut ini.

Ide-ide, budaya-budaya dan sejarah-sejarah tak dapat dipahami atau dipelajari dengan serius tanpa mempelajari juga kekuatan, atau lebih tepatnya, konfigurasi-konfigurasi kekuatannya. Meyakini bahwa “Timur” adalah dicitakan –atau istilah saya “ditimurkan”- dan meyakini bahwa hal-hal seperti itu terjadi semata-mata karena kebutuhan imajinasi, adalah sikap yang tidak jujur. Hubungan antara Barat dan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks. Pada dasarnya, orientalisme yang dikembangkan oleh Edward W. Said sejak

1978 menganalisis masalah pokok ketidakseimbangan Barat dalam melihat Timur.

Orientalis yang semula mengenal Timur di mana Islam dianggap sebagai Timur yang

esensial yang kemudian dikenal sebagai Timur Dekat mengalami perubahan,

terutama dalam pemahaman non-Eropa dan non-Kristen-Yahudi. Di dalam hal ini,

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Said (1994:154-157), setelah mengkaji novel Bouvard et Pecuchet karya Gustave

Flaubert menyoroti pemunculan orientalis modern dengan mendasarkan diri pada

empat unsur yang menjadi tempat bergantungnya struktur-struktur kepranataan dan

intelektual orientalis modern. Keempat unsur itu adalah (i) dunia Timur disibak

hingga jauh keluar dari batas-batas tanah Islam; (ii) suatu sikap yang lebih cerdas

terhadap hal-hal yang asing dan eksotik telah ditunjang tidak hanya oleh para

pelancong dan penjelajah saja melainkan juga oleh para sejarawan bagi siapa saja

pengalaman Eropa dapat dibandingkan secara bermanfaat dengan peradaban-

peradaban yang lebih tua; (iii) ada kecenderungan di kalangan sebagian pemikir

untuk melampaui batas kajian perbandingan dan survai-survai bijaksananya terhadap

umat manusia dari “Cina hingga Peru” dengan identifikasi yang simpatik; dan, (iv)

dorongan untuk menggolongkan alam dan manusia ke dalam jenis-jenis yang

berbeda.

Perkembangan orientalis dari Timur Dekat ke Timur Jauh memberi

kebanggaan orientalis sebagai penyelamat Timur dari kesuraman, alineasi, dan

keterasingan sebagai ciri khas Timur. Orientalis tetap menempatkan Barat sebagai

superioritas dan Timur sebagai inferioritas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Said

(1994:161) berikut ini.

Tesis saya adalah bahwa aspek-aspek esensial dari teori dan praksis Orientalis modern (dari mana Orientalis masa kini berasal) dapat dipahami, bukan sebagai suatu jangkauan yang tiba-tiba dari pengetahuan objektif mengenai Timur, melainkan sebagai seperangkat struktur yang diwarisi dari masa lalu, yang disekulerisasikan, diatur kembali dan dibentuk kembali oleh disiplin-disiplin seperti filologi, yang pada gilirannya merupakan pengganti-pengganti (atau versi) yang telah dinaturalisasikan, dimodernisasikan dan

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

disederhanakan bagi supernaturalisme Kristen. Timur diakomodasikan ke dalam struktur ini dalam bentuk teks dan gagasan-gagasan baru. Tesis Said tentang orientalis modern memperkuat pandangan bahwa Timur

diciptakan untuk Barat. Persepsi ini memiliki dasar sejarah peradaban Islam dan

Kristen yang menguasai dunia, terutama Eropa. Oleh karena itu, Said (1994:266)

mengingatkan Barat dan para orientalis bahwa, “Selama kejayaan politik dan

militernya sejak abad kedelapan hingga abad keenam belas, Islam mendominasi baik

Timur maupun Barat. Kemudian proses kekuasaan bergeser ke Barat, dan kini di

akhir abad kedua puluh ini tampaknya poros kekuasaan ini tengah mengarah kembali

ke Timur.”

Peringatan Said terhadap pergeseran peradaban mendapat antisipasi dari Barat

melalui kekuatan militer dan politik Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kekuatan

publisitas negara adidaya ini telah menciptakan opini terorisme dengan semangat

perang melawan teroris dan negara yang (diduga) melindunginya. Opini terorisme ini

merugikan Timur yang dalam doktrin orientalis mengenal bangsa Semit dan Islam

sebagai Timur yang pernah menguasai Barat karena terorisme mengarah pada

kekuatan dan potensi kekuatan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam. Konflik

yang menimbulkan peperangan di Bosnia, Irak, Iran, Palestina, Afganistan, dan

secara terbatas di Indonesia merupakan perwujudan perang melawan terorisme yang

menjadi komoditas Barat dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya

perdamaian Timur. Fenemona ini sejalan dengan pandangan Said terhadap

orientalisme. Bagi Said (1994:332), “Orientalisme merupakan doktrin politis yang

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

ditetapkan terhadap Timur, karena Timur lebih lemah daripada Barat, yang

menyatukan perbedaan Timur dengan kelemahannya.” Bahkan, Said (1994:265)

membuat pernyataan kontroversial, “Orientalisme modern telah membawa kesan

ketakutan besar Eropa terhadap Islam, dan hal ini lebih diperparah lagi oleh

tantangan-tantangan politis antara dua Perang Dunia.”

Pandangan Said tentang orang bukan-Eropa terdapat dalam esai Freud,

Zionisme, dan Wina. Menurut Said (2005:8), karya besar Frued yang menakjubkan

dengan teori psikoanalisa menyimpan dikotomi Barat dan Timur. Hal ini bermula dari

kesadaran akan apa yang ada di luar batas-batas nalar sebagai sang-Lain dalam karya

klasik Yunani-Romawi dan Ibrani. Frued mengakui ada budaya-budaya lain selain

Eropa tetapi budaya-budaya itu –Pasifik, Australia, dan Afrika- dianggap begitu jauh

tertinggal atau terlupa dalam arak-arakan peradaban. Budaya-budaya itu, kecuali

budaya Mesir, dalam kesadaran Frued, diubah dan dibentuk oleh pendidikan dalam

tradisi Yudea-Kristen, terutama asumsi humanis dan saintifik yang memberinya

stempel khas “Barat”.

Kesadaran superioritas Barat dengan tradisi Yudea-Kristen memberi Frued

pandangan bahwa Musa merupakan orang dalam sekaligus orang luar dalam konteks

kebudayaan Eurosentris. Akibatnya, sesuatu yang dikatakan “bukan-Eropa” adalah

kebudayaan yang tumbuh secara historis pada periode pasca-Perang Dunia II.

Artinya, sesudah runtuhnya imperium klasik dan bangkitnya banyak masyarakat serta

negara baru-merdeka di Afrika, Asia, dan Amerika. Bahkan, Said (2005:13)

sependapat dengan Frantz Fanon yang menyatakan bahwa, “Bagi orang Eropa, jagat

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

non-Eropa hanya berisi penduduk pribumi serta ‘wanita-wanita berkerudung, pohon-

pohon palem, dan unta-unta yang mengisi lanskap, latar belakang alamiah bagi

kehadiran manusiawi orang Perancis.”

Gugatan terhadap tradisi ilmiah Orientalis dan sikap politik Barat mengakar

kuat dalam diri Frantz Fanon. Frued dan pencapaian ilmiah sains Eropa berkaitan erat

dengan praktik kolonialisme Barat terhadap Timur. Karena itu, Frantz Fanon

sebagaimana terungkap dalam pernyataan Said (2005:15) memproklamirkan:

Tinggalkan Eropa ini yang tak pernah rampung membicarakan Manusia, namun membunuhi manusia di mana pun mereka menemukannya, di pojok setiap jalannya sendiri, di seluruh pelosok muka bumi. [...] Eropa mengemban kepemiminan dunia dengan penuh hasrat, sinisme, dan kekerasan. Lihatlah betapa bayang-bayang istananya membentang makin menjauh! Setiap gerak-geriknya mendobrak batas-batas ruang dan pemikiran. Eropa telah menampik segala kesahajaan dan kesederhanaan; namun ia juga telah memacak muka menentang segala kecemasan dan kelembutan. [...] Ketika saya mencari Manusia dalam teknik dan gaya Eropa, saya cuma melihat negasi silih-berganti atas manusia, serta bertubi-tubinya para pembunuh. Berdasarkan penjelasan di atas, Ratna (2004:206) menyatakan bahwa teori

postkolonialisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala

kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan sebagainya, yang terjadi di

negara-negara bekas koloni Eropa modern. Gejala kultural tersebut terkandung dalam

berbagai teks tentang dunia Timur yang ditulis oleh para orientalis dan intelektual

pribumi yang terkonstruksi oleh pemikiran Barat. Teks dunia Timur dapat ditulis dan

ditafsirkan oleh siapa saja. Bahkan, Said (1994:424) memberikan ilustrasi, “Secara

pasti, saya tidak mempercayai proposisi yang terbatas bahwa hanya orang kulit

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

hitamlah yang dapat menulis tentang orang-orang hitam, hanya orang-orang Islamlah

yang bisa menulis tentang kaum muslimin, dan seterusnya.”

Di dalam kaitannya dengan poskolonialisme, Said menolak sejarah yang

linear, sebaliknya, intelektual Orien harus membangun kesadaran sejarah pinggiran,

model sejarah baru bagi kelompok tertindas. Di dalam hubungan ini, Said

mendasarkan teorinya atas paradigma Gramscian dan Foucauldian mengenai strategi

kekuasaan. Di dalam hal strategi kekuasaan tersebut, menurut Ratna (2007:179)

terdapat perbedaan antara Foucault dan Gramsci sebagaimana kutipan berikut ini.

Pusat perhatian Foucault adalah pemerintahan birokrasi, sedangkan pusat perhatian Gramsci adalah ideologi. Bagi Foucault kekuasaan tidak memiliki asal-usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan bagi Gramsci kekuasaan (hegemoni) mengalir ke bawah mengarah pada perjuangan kaum tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal. Berdasarkan pandangan Gramscian di atas, Said mengadopsi teori hegemoni

yang didominasi oleh praktik otoritatif. Keotoriteran ini menempatkan ideologi harus

dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Sebaliknya, dari Foulcauldian, Said mengadopsi pandangan bahwa pengetahuan

ternyata difungsikan sebagai alat kolonialisme untuk mempertahankan kekuasaan

yang dipenuhi kepentingan politik ideologis serta prinsip pemahaman sejarah yang

bergerak mundur untuk kembali ke masa kini dalam rangka mempertahankan

kontinuitas.

Teori poskolonialisme yang dikembangkan oleh Edward W. Said memiliki

objek kajian yang relevan dengan karya sastra Hindia Belanda. Hal ini disebabkan

sastra Hindia Belanda menyediakan peristiwa kehidupan yang membenturkan

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

peradaban Barat dan Timur dalam wacana poskolonial: mimikri, ambivalensi,

hibriditas, dan sinkresitas. Hal lain yang representatif adalah novel-novel tersebut

ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda sebagai perwujudan Barat di Nusantara

yang pernah bertempat tinggal dan bekerja di Indonesia, serta sastrawan

berkebangsaan Indonesia yang berpendidikan Barat dan fasih berbahasa Belanda

sebagai produk pendidikan kolonial Belanda. Mereka memiliki kesamaan dalam

mengungkapkan dampak sosiopsikologis bangsa Indonesia pada masa penjajahan

Belanda. Karya sastra Hindia Belanda yang menjadi bahan kajian poskolonial ini

ditulis oleh pengarangnya dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh penerjemah

berkebangsaan Indonesia dalam bahasa Indonesia. Novel yang telah diterjemahkan

dalam bahasa Indonesia inilah yang menjadi fokus penelitian poskolonial ini.

2.3.2.2 Mimikri dan Hibriditas

2.3.2.2.1 Mimikri

Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Frantz Fanon (1952) dengan

pengertian bahwa orang-orang yang dijajah pada awalnya dipaksa untuk

meninggalkan anggapan tradisional jatidiri etnik dan identitas nasionalnya. Mereka

kemudian mulai belajar mengadaptasi identitas mereka dengan identitas bangsa asing

yang berposisi sebagai tuan mereka (kaum penjajah). Pandangan ini mendapat

orientasi kritis dari Homi K. Bhabha yang menyatakan bahwa peniruan dapat

memunculkan ambivalensi dan ironi identitas kebangsaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Mimikri merupakan istilah poskolonial untuk mendekonstruksi peniruan etika

dan kategori ideal di mana si terjajah menulis kembali wacana kolonial pada saat si

terjajah mengubah wacana tersebut sehingga dapat memunculkan suatu ejekan, ironi.

Hal ini diingatkan oleh Bhabha (dalam Huddart, 2006:39) berikut ini.

Importantly, this mimicry is not slavish imitation, and the colonized is not being assimilated into the supposedly dominant or even superior culture. In fact, mimicry as Bhabha understands it is an exaggerated copying of language, culture, manners, and ideas. This exaggeration means that mimicry is repetition with difference, and so it is not evidence of the colonized’s servitude. In fact, this mimicry is also a form of mockery [...] because it mocks and undermines the on going pretensions of colonialism and empire. (Yang penting, mimikri bukan budak imitasi, dan yang dijajah tidak sedang berasimilasi, sehingga seharusnya mendominasi atau bahkan lebih unggul budayanya. Mimikri dalam pemahaman Bhabha adalah peniruan bahasa, budaya, perilaku, dan ide yang berlebihan. Ini berarti, mimikri adalah pengulangan dengan perbedaan, sehingga tidak terdapat penghambaan bagi bangsa terjajah. Bahkan, mimikri juga merupakan bentuk ejekan [...] karena mengolok-olok dan melemahkan pretensi kolonialisme dan kerajaan yang sedang berlangsung.) Mimikri tidak hanya memunculkan kesan ejekan dalam peniruannya. Bahkan,

mimikri dapat memunculkan sikap ambivalensi dalam kepribadian suatu bangsa. Hal

ini disebabkan oleh pemunculan keinginan yang tidak terbendung untuk bersikap

sebanyak sikap yang berterima pada semua orang. Robert C. Young sebagaimana

dikutip oleh Ashcroft, dkk. (2007:10) mengatakan bahwa, “A term first developed in

psychoanalysis to describe a continual fluctuation between wanting one thing and

wanting its opposite. It also refers to a simultaneous attraction toward and repulsion

from an object, person or action” (Sebuah istilah yang pertama kali dikembangkan

dalam psikoanalisis untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara ingin

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

satu hal dan ingin kebalikannya. Hal itu mengacu pada daya tarik simultan menuju

dan menolak dari benda, orang atau tindakan).

Gejala psikoanalisis mimikri diadopsi Homi K. Bhabha dalam teori

poskolonial sebagaimana diungkapkan oleh Ashcroft, dkk. (2007:10), “Adapted into

colonial discourse theory by Homi Bhabha, it describes the complex mix of attraction

and repulsion that characterizes the relationship between colonizer and colonized.”

(Diadaptasi ke teori wacana kolonial oleh Homi K. Bhabha, teori itu menggambarkan

campuran kompleksitas dari tarikan dan tolakan yang mencirikan hubungan antara

penjajah dan terjajah). Tarikan dan tolakan dalam teori Bhabha melahirkan aplikasi

teoretik mimikri yang mengarah pada dua masalah, yaitu masalah mimikri dan

masalah ambivalensi.

Baik mimikri yang hadir sebagai mimikri maupun mimikri yang

memunculkan ambivalensi menjadi bagian penting dalam sistem kolonial Barat di

Timur. Bhabha (1984:126) memberi penjelasan keterkaitan mimikri dan ambivalensi

di mana ambivalensi akan muncul apabila proses mimikri dilanda oleh ketidakpastian

pilihan identitas. Oleh karena itu, di dalam proses penyesuai etika dan kategori ideal

bangsa-bangsa di Timur, Quaritch Wales sebagaimana diungkapkan Poespowardojo

(1986:31) melihat adanya kekuatan local genius untuk mengantisipasi extreme

acculturation, yakni proses akulturasi yang semata-mata memperlihatkan bentuk-

bentuk tiruan tanpa adanya evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-

bentuk budaya tradisional. Padahal, proses mimikri tersebut pada hakikatnya menjadi

praproses pemunculan hibriditas sebagaimana dikatakan Bhabha (1984) berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Which is to say, that the discourse of mimicry is constructed around an ambivalence; in order to be effective, mimicry must continually produce its slippage, its excess, its difference. The authority of that mode of colonial discourse that I have called mimicry is therefore stricken by an indeterminacy: mimicry emerges as the representation of a difference that is itself a process of disavowal. Mimicry is, thus, the sign of a double articulation; a complex strategy of reform, regulation, and discipline, which "appropriates" the Other as it visualizes power. (Yang mengatakan, bahwa wacana mimikri dibangun di sekitar sebuah ambivalensi, agar efektif, mimikri harus terus memproduksi kemungkinan peniruannya, kelebihannya, dan perbedaannya. Kewenangan dalam modus wacana kolonial ini saya sebut mimikri. Oleh karena itu, apabila dilanda ketidakpastian suatu mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan itu sendiri merupakan proses pengingkaran. Dengan demikian, mimikri adalah tanda dari artikulasi ganda, strategi yang kompleks dalam reformasi, peraturan disiplin, dan, yang "merampas" sesuatu yang lain, seperti visualisasi kekuasaan.) Berdasarkan konsep teori poskolonial yang dikemukakan oleh Bhabha maka

masalah ambivalensi menjadi persoalan tersendiri dalam kajian poskolonial. Posisi

ambivalensi dalam relasi terjajah dan menjajah dikemukakan oleh Ashcroft, dkk.

(2007:10) sebagai, “The relationship is ambivalent because the colonized subject is

never simply and completely opposed to the colonizer (Hubungan itu ambivalen

karena subjek tidak pernah dijajah secara sederhana dan benar-benar bertentangan

dengan penjajah). Oleh karena itu, hubungan bangsa terjajah dan bangsa menjajah

bersifat ambivalen dan berfluktuasi terus-menerus karena bangsa terjajah memiliki

local genius dalam pelibatan dan perlawanannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, persoalan mimikri berkaitan erat dengan

ambivalensi yang menemukan status quonya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, kajian

poskolonial novel Hindia Belanda ini menempatkan mimikri dan ambivalensi dalam

satu terma yang terpisah satu sama lain. Misalnya, elite birokrasi perkebunan secara

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

sporadis mengucapkan “besok” dan “syukurlah” sebagai cara ungkap pribumi dalam

proses mimikri bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah. Gaya hidup seperti ini

menjadi bagian kajian mimikri. Sebaliknya, pandangan elite birokrasi perkebunan

terhadap ‘koeli kontrak’ sebagai orang yang malas, lamban, bahkan menjadikan sifat

tersebut sebagai ciri Timur. Akan tetapi, pada saat yang sama, ‘koeli kontrak’

menampilkan sikap yang cekatan, cermat, bahkan berlomba mengikuti kecepatan dan

ketepatan tuan-tuan kebun yang memberi kepercayaan bekerja pada mereka. Gaya

hidup seperti ini menjadi bagian kajian ambivalensi.

2.3.2.2.2 Hibriditas

Istilah hibriditas dipopulerkan Homi K. Bhabha dalam kajian poskolonial.

Menurut Bhabha sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno dan Hendar Putranto

(2004), hibriditas merupakan produk konstruksi kultural kolonial yang mau tetap

membagi identitas murni asli penjajah kepada bangsa terjajah dengan ketinggian

kulturnya sebagai identitas budaya yang baru. Dengan demikian, pertemuan

peradaban Barat dan Timur menghasilkan superioritas dan imperioritas di mana

peradaban yang mendapat dukungan politik dan kultural menjadi peradaban yang

mampu bertahan dalam arus globalisasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Homi K. Bhabha pun menjelaskan bahwa

hibriditas bukan hanya masalah identitas budaya saja melainkan masalah representasi

kolonial dan individu yang kompleks. Hal ini diungkapkan oleh Huddart (2006:84)

dalam kutipan berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Kolonial hybridity is not a problem of genealogy or identity between two different cultures which can then be resolved as an issue of cultural relativism. Hybridity is a problematic of colonial representation and individuation that reverses the effects of the colonialist disavowal, so that other ‘denied’ knowledges enter upon the dominant discourse and estrange the basis of its authority—its rules of recognition. (Hibriditas kolonial bukan masalah silsilah atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian dapat diselesaikan sebagai masalah relativitas budaya. Hibriditas adalah masalah representasi kolonial dan individuasi yang membalikkan efek dari penyangkalan kolonial, sehingga pengetahuan yang lain 'ditolak' masuk pada wacana dominan dan menjauhkan aturan pengakuan basis otoritasnya.) Secara ideal, hibriditas memunculkan budaya baru yang berterima sehingga

memberi kenyamanan bangsa penjajah dan bangsa terjajah. Menurut Sardar dan

Borin Van Loon (2001:120), “Proses hibtiditas budaya memunculkan sesuatu yang

berbeda, sesuatu yang baru dan tak dapat dikenali, suatu wilayah baru negosiasi

makna dan representasi.” Di dalam relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah,

hibriditas merupakan suatu situs perlawanan atau pembalikan strategi dari proses

dominasi yang mengembalikan yang terdiskriminasi –terjajah- menjadi mata

kekuasaan yang selama ini didominasi oleh bangsa penjajah.

Sejalan dengan pemikiran di atas, hibriditas dapat terjadi melalui pendirian

berbagai organisasi dan pertemuan antarperadaban. Menurut Pieterse (dalam Barker,

2011:212), hibriditas dapat dibedakan atas dua tipe hibridisasi, yaitu hibridisasi

struktural dan kultural. Hibridisasi struktural mengacu kepada berbagai arena sosial

dan institusional hibriditas. Hibridisasi ini memperluas cakupan pilihan

organisasional bagi masyarakat. Sebaliknya, hibridisasi kultural membedakan

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

berbagai respon kultural, yang merentang mulai dari asimilasi sampai dengan hibrida

yang mendestabilkan dan mengaburkan sekat-sekat kultural.

Hibridisasi kultural meliputi pembukaan ‘komunitas terbayang’ sebagai tanda-

tanda semakin meningkatnya persilangan sekat tetapi tidak menunjukkan terhapusnya

sekat, sehingga memerlukan kepekaan terhadap perbedaan kultural. Menurut

Anderson (dalam Barker, 2011:208-209), bangsa adalah suatu komunitas terbayang

dengan dasar, “Ia terbayang karena bahkan anggota dari suatu bangsa terkecil

sekalipun tidak akan pernah mengenal sebagian besar anggota yang lain, bertemu

dengan mereka, atau bahkan mendengar kabar mereka, sehingga pikiran masing-

masing menghidupkan berbagai citra tentang komuni mereka.”

Persoalan hibriditas tidak hanya melihat keunggulan persilangan budaya

melainkan juga kehadiran sinkretisme. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini

memisahkan hibriditas dengan sinkretisme. Hibriditas berurusan dengan

pembentukan organisasi atau lembaga sehingga memunculkan identitas kultur dan

kebangsaan, sedangkan sinkretisme berurusan dengan penggabungan beberapa paham

dalam usaha menciptakan keseimbangan hidup. Pemisahan ini sesuai dengan apa

diungkapkan oleh Aschroft, dkk. (2007:109) berikut ini, “The idea of hybridity also

underlies other attempts to stress the mutuality of cultures in the colonial and post-

colonial process in expressions of syncreticity, cultural synergy and

transculturation.” (Ide hibriditas juga mendasari upaya lain untuk menekankan

mutualitas budaya dalam proses kolonial dan poskolonial dalam ekspresi dari

sinkretisitas, sinergi budaya dan transkulturasi).

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Penekanan proses hibridisasi pada mutualitas budaya telah menempatkan

local genius sebagai kekuatan identitas kultur dalam relasi bangsa penjajah dan

bangsa terjajah. Local genius merupakan istilah yang berasal dari H.G. Quaritch

Wales (1951) sebagaimana diungkapkan oleh Atmodjo (1986:46), “the sum of the

cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a

result of their experience in early life.” (keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang

dimiliki bersama oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman di masa

lampau). Istilah ini dikembangkan dari konsep basic personality yang dikemukakan

oleh antropolog Ralph Linton dan psikolog Abraham Kardiner pada 1930-an.

Berdasarkan gagasan mereka, menurut Friedl sebagaimana diungkapkan oleh

Haryono (1986:208), yang dimaksud dengan basic personality dalam model cultural

studies seperti ini adalah: “konfigurasi kepribadian yang secara bersama-sama

dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat sebagai hasil pengalamannya sejak kecil.”

Berdasarkan pendapat di atas, Quaritch Wales menempatkan local genius

sebagai a less extreme acculturation. Menurut Poespowardojo (1986:31), “A less

extreme acculturation merupakan proses akulturasi yang masih memperlihatkan local

genius, yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan

bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar

serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli.” Oleh karena itu, local genius

memiliki posisi strategis membertahankan identitas kultural suatu bangsa. Sejalan

dengan hal itu, Poespowardojo (1986:33) mengatakan sebagai-berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilang atau musnahnya local genius berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian nasyarakat itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, hibriditas dalam kajian poskolonial ini tidak

hanya mendeskripsikan dan menganalisis keunggulan persilangan budaya, melainkan

juga peranan sinkretisme dalam keunggulan persilangan budaya. Misalnya, elite

birokrasi pendidikan dalam novel MB karya Suwarsih Djojopuspito memperjuangkan

identitas kultural dengan prinsip-prinsip modernisme yang tidak menempatkan tradisi

sinkretisme masyarakat Hindia Belanda. Di sini terjadi pertarungan terus-menerus

untuk mengadopsi atau menolak tradisi sinkretisme budaya Jawa dengan budaya

Barat. Penolakan tradisi sinkretisme terbukti tidak menjadikan perjuangan Sulastri

dan Sudarmo berterima dalam elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan

masyarakatnya sendiri. Sebaliknya, pengadopsian tradisi sinkretisme yang dilakukan

oleh keluarga mereka terbukti menjadikan hidup sederhana tetapi menemukan

kedamaian dalam hidupnya. Tegangan Timur dan Barat dalam menciptakan hibriditas

dengan mempertimbangkan sinkretisme inilah yang muncul dalam novel Hindia

Belanda.

2.3.2.3 Model Kajian Poskolonialisme

Penelitian ini akan menggunakan model keempat penelitian poskolonial yang

dikemukakan oleh Bill Aschroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin dalam The

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Empire Writes Back: Theory and Practical in Post-Colonial Literature (1989).

Aschroff, dkk. (2003:1) merumuskan empat model kajian untuk menjelaskan karya-

karya poskolonial berikut ini. Pertama, model ‘nasional’ atau regional yang

menekankan pada pelbagai gambaran yang berbeda tentang kebudayaan nasional atau

regional. Kedua, model berbasis ras yang mengidentifikasi karakteristik tertentu yang

secara bersama-sama terdapat pada pelbagai kesusastraan nasional. Ketiga, model

perbandingan yang berusaha menjelaskan karakteristik linguistik, historis, dan

kebudayaan tertentu yang melintasi dua atau lebih kesusastraan poskolonial dengan

cara membandingkan beragam kompleksitas yang ada. Keempat, model perbandingan

yang lebih luas yang menonjolkan hal-hal semacam hibriditas dan sinkresitas sebagai

elemen pembentuk utama kesusastraan poskolonial.

Model keempat yang menjadi dasar penelitian ini adalah model perbandingan

yang lebih luas, dengan menonjolkan hibriditas dan sinkresitas. Menurut Ratna

(2008:118), “Model keempat berkaitan dengan hibriditas dan sinkresitas, yaitu

persenyawaan kategori linguistik dan kebudayaan yang berbeda untuk menciptakan

identitas dan makna baru.” Hal itu didasarkan oleh pengalaman bersama bangsa

terjajah dalam menyerap sikap hidup bangsa terjajah. Penyerapan sikap hidup ini

memunculkan potensi local genius dalam membentuk hibriditas dan sinkretisme.

Oleh karena itu, Sikana (2009:466) berpendapat, ”Model ini berpegang pada

pandangan bahawa negara-negara yang pernah dijajah tidak terlepas dari dipengaruhi

oleh unsur-unsur yang hadir sama dengan penjajahan itu. Pengalaman dijajah dibawa

bersama di dalam proses melakukan dekolonisasi.” Bahkan, pengalaman bersama

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

tersebut memunculkan sikap patriotik untuk memerdekakan diri dari penjajahan

bangsa asing.

Model perbandingan yang diperkenalkan oleh Ashcroft, dkk. (2003:14-32)

terdapat lima unsur yang memerlukan kajian perbandingan. Kelima unsur berikut ini

akan menjadi model identifikasi dan kajian terhadap novel bahan penelitian ini.

(1) Pencarian nama. Model pencarian nama yang tepat secara geografis dan politis

merupakan masalah dalam kajian poskolonialisme. Keterbatasan geografi dan

politik telah mengakibatkan penolakan terhadap istilah “Kesusastraan

Persemakmuran”, “Kesusastraan Inggris Baru”, “Kesusastraan Kolonial”, dan

bahkan “Kesusastraan Dunia Ketiga”. Kontroversi batasan nama kesastraan

novel-novel yang terbit masa penjajahan Belanda di Indonesia menjadi inti kajian

model pencarian nama.

(2) Bahasa dan ruang. Model yang dikembangkan oleh D.E.S. Maxwell (1965) ini

memusatkan perhatian pada disfungsi tempat dan bahasa. Dengan kata lain,

mempertanyakan ‘ketepatan’ bahasa impor dalam melukiskan pengalaman

tempat pada masyarakat poskolonial karena adanya kesamaan tertentu dalam

penggunaan bahasa non-pribumi pada masyarakat tersebut. Di dalam konteks ini,

masyarakat dibagi dua kelompok, yaitu koloni-koloni hunian dan koloni-koloni

taklukan. Menurut Ashcroft, dkk. (2003:17-18), dalam kasus koloni-koloni

hunian, tanah yang dikuasai oleh penjajah dari Eropa yang datang merampas hak

milik penduduk pribumi sekaligus membanjiri populasi mereka. Di tanah tersebut

mereka membangun peradaban cangkokan yang akhirnya mendapat kemerdekaan

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

politiknya dengan tetap menguasai bahasa non-pribumi. Konflik bahasa dan

ruang dalam novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam

struktur naratif pada konteks poskolonialisme di Indonesia.

(3) Kesejajaran tema. Tema dalam kajian poskolonialisme merupakan manifestasi

dari kesamaan kondisi psikis dan historis yang mengatasi perbedaan-perbedaan

antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Kesejajaran tema

novel bahan penelitian ini akan diidentifikasi dan dikaji dalam struktur naratif

pada konteks poskolonialisme di Indonesia.

(4) Penjajah dan yang dijajah. Model ini didasarkan pada teks-teks ataupun dalam

daerah-daerah poskolonial selalu mempersoalkan kontrol politik, imajinatif, dan

sosial yang ada dalam hubungan antara pihak penjajah dan yang dijajah. Di

dalam konteks penjajah dan yang dijajah muncul dekolonisasi kebudayaan,

dampak psikososio kolonisasi, dan strategi feminis dalam masyarakat kolonial.

Kondisi penjajah dan yang dijajah ini merupakan aspek kajian yang dapat

memunculkan ambivalensi, mimikri, hibriditas, dan sinkresitas dalam realitas

fiksi novel yang menjadi bahan penelitian postkolonial ini.

(5) Yang didominasi dan yang mendominasi. Model ini mengedepankan hegemoni

kecenderungan ke arah subversi. Akibatnya, muncul polarisasi antara pusat dan

pinggiran, dan bahkan penegasan nasionalis yang memproklamirkan dirinya

sebagai pusat dan berhak menentukan nasib sendiri. Realitas fiksi hegemoni ini

menjadi kajian strktur naratif terhadap novel bahan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

Model perbandingan yang lebih luas dalam penjelasan Ashcroft, dkk.

(2003:32-38) dinamakan model-model hibriditas dan sinkretisitas. Model ini

menitikberatkan pada relasi penjajah dan terjajah dalam realitas fiksi dan realitas

historis. Realitas fiksi mengacu kehidupan yang terjadi dalam novel sedangkan

realitas historis mengacu pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang terjadi dalam

sejarah peradaban manusia. Oleh karena itu, kajian poskolonial ini akan

menggunakan metode hermeneutik dengan teknik analisis dokumen untuk menguji

kesejajaran realitas fiksi dengan realitas historis.

Di dalam konteks kajian ini, model perbandingan yang lebih luas akan

mengidentifikasi dan menganalisis persoalan mimikri dan hibriditas secara konstrual.

Artinya, mimikri dan hibriditas tidak dapat berdiri sendiri sehingga antara satu

dengan yang lain memiliki keterkaitan, baik secara politik, kultural, maupun agama.

Oleh karena itu, kajian ini akan mengklasifikasi aspek yang membedakan kedua

unsur dalam perbandingan yang lebih luas ini dengan mengidentifikasi persoalan

ambivalensi dalam pola mimikri dan persoalan sinkretisme dalam pola hibriditas

bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

2.4 Penelitian Terdahulu

Teori poskolonialisme pada hakikatnya dapat diterapkan pada berbagai bidang

keilmuan. Meskipun teori poskolonialisme digunakan oleh Edward W. Said dalam

bidang kesusastraan tetapi tetap relevan untuk diterapkan pada bidang lain. Penelitian

poskolonial yang dilakukan oleh para ahli sastra pada umumnya mempertentangkan

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

bangsa penjajah dan bangsa terjajah, baik secara tekstual maupun kontekstual. Di

dalam hal ini, hasil penelitian karya Rob Nieuwenhuys berjudul Oost-Indische

spiegel. Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven

vanaf de eerste jaren der Compagnie tot op heden (1978) memaparkan relasi bangsa

penjajah dan bangsa terjajah dalam karya sastra yang terbit pada masa pemerintahan

Hindia Belanda.

Penelitian poskolonial terhadap novel Hindia Belanda tidak berhenti hanya

karena telah muncul penelitian yang sama pada masa lalu. Penelitian tersebut tetap

dilakukan dari berbagai sudut pandang teori. Penelitian yang didasarkan pada teori

poskolonial dan teori struktur naratif telah dilakukan oleh Faruk (2003), Murwani

(2007), Sudibyo (2008), Watson (2009), dan Helsloot (2007). Penelitian tersebut

difokuskan pada relevansi novel Hindia Belanda –seperti novel MH karya Multatuli,

BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya

Hella S. Haasse.

Pertama, Faruk yang memperoleh sumber finansial dari The Toyota

Foundation (2003) melakukan penelitian terhadap bahasa dan struktur naratif novel

yang terbit pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Faruk yang semula

menggagas model nasional atau regional dengan peneliti Filipina mengalami

kegagalan akibat penyakit yang tiba-tiba menyerang peneliti Filipina. Faruk meneliti

novel terjemahan Pangeran Monte Cristo karya Alexander Dumas, Gembala Domba

karya J.F. Oltmans, Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, dan MH karya Multatuli

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

serta novel asli Indonesia Melawat ke Barat karya Adinegoro, Hikayat Kadiron karya

Semaoen, dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli.

Hasil kajian poskolonial yang dilakukan oleh Faruk terhadap tujuh novel

Hindia Belanda tersebut memperlihatkan kekuatan pengaruh yang sama antara

penjajahan Belanda di Indonesia dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa lainnya di

seluruh dunia. Penjajahan tidak hanya didominasi oleh politik melainkan juga suatu

hegemoni yang bersifat kultural. Karya-karya sastra Hindia Belanda tersebut,

meskipun dalam batas-batas tertentu mengalami perubahan sesuai konstelasi

kekuatan diskursif, ekonomi, dan militer yang ada, sastra tersebut terus-menerus

memproduksi dan mereproduksi citra mengenai superioritas orang-orang Belanda

sebagai perwujudan Barat yang dihadapkan dengan citra imperioritas masyarakat

setempat yang kemudian digeneralisasikan menjadi Timur.

Novel MH sebagai novel Hindia Belanda yang ditulis oleh Multatuli, nama

samaran EDD, telah diteliti oleh berbagai ahli sastra, di antaranya Charistina Dewi

Tri Murwani dengan judul, “Max Havelaar dan Citra Antikolonial: Sebuah Tinjauan

Poskolonial.” Menurut Murwani (2007), novel yang menggunakan tiga pencerita ini

disebut-sebut sebagai novel dengan citra antikolonial. Pada sisi lain novel ini tidak

pernah menyarankan penghentian kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Penelitian

bertujuan mengungkapkan hubungan antara pandangan-pandangan MH tentang

kolonialisme dengan inovasinya di dalam teknik naratif.

Penelitian Murwani (2007) menerapkan analisis fokalisasi dari novel MH

dengan teori struktur naratif . Cara ini dipilih karena MH menampilkan debat tentang

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

kolonialisme di Hindia Belanda melalui opini dan pandangan fokalisatornya. MH

menggunakan tiga fokalisator secara unik. Keunikan novel ini diperlihatkan oleh

munculnya tokoh cerita (Stern) yang menduduki peran narrator-fokalizer dalam

episode (peristiwa) Lebak meski ia adalah tokoh cerita. Cara ini seolah-olah

menempatkan Stern dalam posisi netral, posisi di tengah antara character-fokalizer

yang satu dengan character-fokalizer yang lain, antara kepentingan Droogstoppel dan

Multatuli. Namun karena Stern adalah juga tokoh cerita dalam novel ini, fokalisasi

Stern menjadi tidak netral. Dengan kondisi ini efek berat sebelah yang muncul

mendorong pembaca untuk mengikuti narasi Stern yang condong ke arah sikap tokoh

Multatuli. Pembaca akhirnya dihadapkan pada perang kepentingan: kolonial dan

antikolonial, bahkan secara pribadi, mendukung Droogstoppel atau Multatuli.

Novel MH menggunakan tokoh Multatuli dan Stern sebagai pihak yang

menentang tanam paksa dan kerja rodi serta tokoh Droogstoppel yang mendukung

tanam paksa dan dagang kopi. Sifat antikolonial MH ditunjukkan dengan menolak

penindasan, perampasan, penganiayaan, antidiskriminasi meskipun berimbas pada

kerugian dagang kopi. Meskipun demikian, MH juga tergolong novel prokolonial

karena juga ikut mendukung kekuasaan pemerintah Belanda atas wilayah Indonesia.

Novel ini terpengaruh oleh hegemoni kolonial atas kompetisi produk-produk industri

dari negara jajahan Eropa pada abad ke -19. Karenanya, pembebasaan dalam novel

ini terbatas pada pembebasan kelas pekerja (buruh tanam paksa) dan kelas bawah

(rakyat) atas pengusaha dan penguasa. Novel ini belum berbicara pada pembebasan

secara politis. Terlepas dari sifat mendua tersebut, MH adalah novel yang

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

menunjukkan bahwa karya sastra dapat menyatakan pandangan ideologi dengan cara

khas, implisit dan imajinatif. Menurut Helsloot (2007:69), novel ini mendapat suara

bulat sebagai novel Belanda nomor satu paling berpengaruh pilihan sarjana sastra

Belanda hasil survei Digitale Bibliotheek der Nederlandse Letteren (2002).

Kedua, novel BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs diteliti oleh Sudibyo

sebagaimana dipublikasikannya dalam artikel, “Mereka yang Dilumpuhkan: Citra

Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya

Madelon Székely-Lulofs.” Sudibyo (2008) menyoroti gaya hidup asisten perkebunan

di Sumatera Timur. Gaya hidup itu berkaitan dengan motif penguasaan dan

eksploitasi yang menjadikan para tuan kebun dan asisten-asisten mereka

mengabaikan ikatan emosional yang mungkin ada antara mereka dengan negeri baru

tempat perusahaan perkebunan mereka berada. Akibatnya, mereka hanya

mengeluhkan ketidakbahagiaan mereka karena negeri ini berbeda dengan apa yang

menjadi obsesinya.

Berbagai keluhan, seperti sress karena ketiadaan aktivitas, emosi yang mudah

dipicu oleh iklim tropis, cuaca panas yang mematikan saraf, kesunyian yang

menjenuhkan, kuman yang mematikan, dan kemurungan tropis yang menyesakkan

merupakan keluhan yang sering terlontar dari perbicaran elite birokrasi perkebunan

tersebut. Akan tetapi, keluhan tentang negeri tropis yang tidak bersahabat bagi bangsa

kulit putih di Deli dinafikan dengan segala kemewahan yang direguknya: mobil

mewah termahal, makanan lezat termahal, busana mutakhir termahal, berbagai pesta

mewah, kenyamanan hidup ditopang beberapa orang pembantu, dan tantieme yang

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

terus menumpuk. Hal itu sebagai berkah negeri tropis yang mereka nikmati melalui

kucuran keringat dan penderitaan para kuli kontrak.

Berdasarkan uraian-uraian di atas tampak bahwa novel karya Székely-Lulofs

merepresentasikan kecenderungan praktik eksploitasi Kerajaan Belanda pada awal

abad ke-20 di perkebunan-perkebunan karet di Deli. Melalui analisis fokalisasi,

fokalisator (narator) dapat dianggap memiliki kecenderungan terhadap apa yang

disampaikan melalui narasinya. Narator (pengarang) dapat dianggap tidak keberatan

terhadap praktik-praktik pemarjinalan, pembinatangan, dan rasialisme yang menjadi

dasar dari ideologi penguasaan dan eksploitasi.

Ketiga, novel MB karya Suwarsih Djojopuspito mendapat perhatian dari C.W.

Watson. Watson (2009) menulis hasil penelitiannya, “Feminism and the Indonesian

Nationalist Movement: A Reading of Soewarsih Djojopoespito’s Novel Buiten het

Gareel.” Hasil penelitian ini menyatakan bahwa novel MB yang bersifat autobiografi

dalam bahasa Belanda ini mendeskripsikan kesukaran yang dihadapi orang Indonesia

yang terdidik dalam bahasa Belanda dan yang terlibat dalam gerakan nasionalis

menentang Belanda pada akhir tahun 1930-an. Ia menceritakan peranan yang

dimainkan wanita dalam gerakan itu dan bagaimana teman lelaki mereka mengambil

sikap ambivalen terhadap mereka.

Dari segi isi, novel MB mencerminkan perasaan krisis generasi pertama

bangsa Indonesia yang termimikri budaya Belanda/Eropah yang mereka kenali tetapi

mereka tolak pada waktu yang sama. Peristiwa kehidupan dalam novel ini

menunjukkan bagaimana Soewarsih dengan sengaja menggunakan novel untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 53: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

menyuarakan rasa kecewa dirinya sebagai wanita dan juga mempersembahkan

testimoni dirinya tentang suasana dan peristiwa pada masa itu. Ia juga mengingatkan

bahwa dalam semua pembacaan poskolonial kita mesti berhati-hati ketika

menggunakan sumber yang bersifat autobiografi dan juga novel semasa untuk

membina semula persepsi kita tentang masa lampau. Bahkan, perlu memastikan

bahwa, bila membaca teks seumpama itu, digunakan kebolehan penguasaan

antardisiplin ilmu seperti kritik sastra, antropologi, dan sejarah.

Keempat, novel Oe karya Hella S. Haasse diteliti oleh Alina Helsloot.

Helsloot (2007) menulis tesis berjudul “Reflection in a Postcolonial Mirror: A

Comparative Analysis of Hella Haasse’s Oeroeg (1948) and Sleuteloog (2002).”

Kedua novel ini menginformasikan memori kolektif Belanda terhadap “sejarah yang

dilupakan” dalam kehidupan masa lalu kolonial di Hindia Belanda. Dua karya Haasse

yang dianalisis dalam tesis ini adalah produk dari fase yang berbeda dalam sejarah

Belanda: satu diterbitkan pada 1948, ketika perjuangan untuk Bahasa Indonesia

kemerdekaan mencapai puncaknya, yang lain diterbitkan setengah dekade kemudian

pada 2002. Akan tetapi, novel-novel tersebut menempatkan diri dari lebih sekadar

potret sebuah era. Mereka adalah kesaksian fiksi, pengalaman traumatis dari seorang

penulis yang sebagian besar hidupnya tinggal dalam di antara ruang antara dua

budaya: Barat dan Timur dalam posisi bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

Novel ini hanya mewakili suara narator: satu suara yang terus-menerus

berbicara tentang Oeroeg. Sudut pandang tidak pernah bergeser ke salah satu

karakter yang lain. Oe hanya menggambarkan satu suara tunggal yang menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

Page 54: Kajian Pustaka Dan Kerangka Teoretik

banyak kesamaan dengan "pandangan kolonial" sebagai salah satu fitur sastra

kolonial. Meskipun demikian, gagasan tentang hibriditas sebagai wacana poskolonial

hadir dalam Oe sebagai sesuatu yang sangat terbelakang. Hibriditas dalam Oe tetap

terbatas pada pengalaman narator. Hal ini tidak diperpanjang oleh salah satu karakter

lain, termasuk Oeroeg. Dengan demikian, pandangan poskolonial Oe hanya bertumpu

pada perspektif tokoh “aku” sebagai representasi pengarang yang berkebangsaan

Belanda.

Universitas Sumatera Utara