sua ra pme baur an kamis, 6 juli 2017 ketika rokok ... fileorganisasi kerjasama islam (oki),...

1
U ntuk menaikkan cukai lebih tinggi dari 57%, menu- rut BKF itu tidak dimungkinkan secara legal. Memperhatikan hal itu, saat ini pemerintah sedang melakukan kajian akademis UU Cukai untuk mengimbangi perkembangan kondisi terkini mengingat UU ini sudah ada sejak 2007. “Sebetulnya presentase beban cukai rokok saat ini secara riil lebih dari 43%, mengingat selain menaikkan tarif cukai, pemerintah juga menaikkan batasan HJE rokok sehingga persentase tarif dibanding HJE naik. Secara rata-rata beban perpajakan rokok (cukai, PPN, pajak kokok) mencapai 56,7% per batang,” ujar Kabid Kepabeanan dan Cukai BKF, Nasruddin Djoko Surjono. Dalam pengendalian konsumsi rokok, pemerintah mengacu pada roadmap yang tertuang dalam Permenkes 40/2013, yang intinya penu- runan prevalensi perokok 1% per tahun sampai dengan 2019. Kebijakan pengendalian ini dilakukan secara perlahan tapi pasti. Kebijakan penurunan prev- alensi salah satunya diterjemah- kan melalui kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya, produksi rokok 2016 tercatat mengalami penurunan sejalan dengan Permenkes tersebut, yakni 1,8%. Berbeda dengan masa lampau dimana produksi rokok bisa tumbuh 5% sampai 7% per tahun. Tren penurunan produksi yang terjadi pada beberapa tahun diklaim BKF merupakan sinyal semakin efektifnya pengendalian konsumsi yang dilakukan pemerintah secara bertahap. Kenaikan cukai yang terlampau tinggi menurut BKF akan melanggar UU Cukai dan justru berpotensi mengakibatkan semakin banyak kerentanan tren peredaran rokok ilegal dimana keberadaan rokok ilegal akan bertentangan dengan tujuan kesehatan itu sendiri dan merugikan pendapatan negara. Namun, kenaikkan cukai saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya luar biasa dan pengatu- ran yang lebih komprehensif. Diperlukan regulasi yang lebih komprehensif dan kuat, mulai dari larangan menjual ketengan, menjual kepada anak, kawa- san tanpa rokok, peringatan kesehatan bergambar hingga larangan iklan, promosi dan sponsorship. Harus dipastikan semua larangan ini dipatuhi melalui penegakan hukum yang tegas. Solusinya untuk semua itu, ialah aksesi Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Con- vention on Tobacco Control / FCTC). Ini merupakan suatu perjanjian internasional yang mengatur pengendalian rokok secara komprehensif, yang bersi- fat mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya. Perjanjian ini akan sangat membantu In- donesia dalam mengendalikan konsumsi rokok, dan mencegah bangsa ini menjadi tong sampah bagi industri rokok. FCTC memberikan Indo- nesia kedudukan kuat dalam pengambilan keputusan ber- sama 180 negara anggota lain. Indonesia juga dapat turut aktif dalam solusi jangka panjang epidemi tembakau melalui Konferensi Negara Anggota (COP). Indonesia juga mendapat dukungan internasional dalam upaya pengendalian rokok, yang mengikat secara hukum. FCTC bertujuan melindungi negara-negara anggota dari ser- buan industri rokok. Perjanjian internasional ini mengendali- kan pasokan dan permintaan konsumsi produk tembakau. Pengendalian pasokan meliputi kebijakan larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur dan perdagangan rokok ilegal. Sedangkan pengendalian permintaan meliputi kebijakan kawasan tanpa rokok, larangan iklan, promosi dan sponsorship rokok. Meliputi juga peningka- tan cukai dan harga, pengaturan label, dan kemasan rokok, pengaturan kandungan produk serta edukasi, komunikasi untuk kesadaran masyarakat serta bantuan berhenti merokok. Tapi, hingga hari ini, pemerintah Indonesia masih menunjukkan resistensi terhadap FCTC. Indonesia termasuk dari 7 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan satu-satunya negara di Asia yang menolak aksesi FCTC. Indonesia bergabung dengan negara di Benua Afrika yang belum aksesi, seperti Endora, Eritia, Malawi, Somalia, dan Zimbabwe. Dari anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Indonesia dan Somalia yang belum. Padahal konvenan yang telah diimplementasikan di 180 negara anggota WHO, yang meliputi 90% penduduk dunia ini telah terbukti menekan jumlah konsumsi rokok. Negara yang telah mengaksesi, seperti Turki, Spanyol, Uruguay, New- zeland, dan Australia, berhasil menurunkan konsumsi rokok. Widyastuti Soerojo dari Komisi Nasional Pengen- dalian Tembakau menyebut keengganan pemerintah ini menjadi batu sandungan bagi upaya pengendalian rokok di Indonesia. Tak heran konsumsi rokok di dalam negeri terus meningkat. Dipengaruhi Mitos Pemerintah masih dipen- garuhi mitos dan tuduhan. Di antaranya, aksesi FCTC akan mengancam kelangsungan hidup para petani tembakau dan buruh industri rokok. Faktanya, tidak terbukti dan tidak ada hubungan FCTC dengan pertanian tembakau. Data menunjukkan, negara anggota FCTC, seperti Tiong- kok, Brasil, India, Zimbabwe, dan Pakistan, tidak mengalami penurunan produksi tembakau maupun rokok. Pemerintah juga berdalih FCTC akan mengancam keberlangsungan hidup buruh rokok. Faktanya, pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh rokok terjadi besar-besaran pada 2013-2015 walaupun produksi rokok tetap naik dan Indonesia belum ratifikasi FCTC. Seban- yak 17.288 buruh di 2013 dan 20.014 buruh pada 2015 di PHK oleh industri. Ini terjadi karena mekanisasi industri dan perubahan selera masyarakat ke rokok buatan mesin. Ada kecenderungan industri menggantikan tenaga manusia dengan mesin karena lebih efisien. Satu mesin bisa menggantikan 900 tenaga manusia. Mitos lainnya bahwa aksesi FCTC akan mengancam petani karena diversifikasi tanaman tembakau dengan tanaman lain untuk mematikan petani lokal dan menggantinya dengan tembakau impor juga tidak be- nar. Faktanya, kata Widyastuti, diversifikasi tembakau adalah opsi bantuan bagi petani yang akan lebih diuntungkan dari komoditas tanaman lain, bukan sebuah keharusan. Lagipula di Indonesia, daun tembakau saja tidak mencukupi kebutuhan industri rokok, dan lebih dari 50% harus diimpor. Impor daun tembakau karena produksi rokok digenjot naik, dan kualitas daun tembakau impor dinilai industri lebih bagus. Apa jadinya bila Indonesia tidak aksesi FCTC ? Indonesia menjadi tujuan pemasaran produsen rokok dengan risiko merusak kesehatan generasi bangsa. Indonesia juga tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan konferensi internasional dalam mem- perjuangkan kepentingannya dan terlibat dalam negosiasi penerapan panduan dan pro- tokol FCTC. “Sebagai warga dunia, pemerintah mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa karena tidak mengaksesi FCTC. Mengingkari komitmennya untuk melindungi hak mas- yarakat atas kesehatan, dan mengingkari ucapannya sendiri di forum-forum internasional,” ujar Widyastuti. Indonesia menyepakati semua deklarasi internasional yang mengandung komitmen terhadap FCTC dan regulasi pengendalian tembakau yang kuat. Lebih parah lagi Indonesia tetap jadi tempat sampah bagi industri rokok dalam negeri dan multinasional. Karena Indonesia sendiri tidak memiliki instrumen hukum yang kuat dan efektif untuk mengendalikannya. [SP/Dina Manafe] Suara Pembaruan Kamis, 6 Juli 2017 17 Kesra Ketika Rokok Merampas Gizi si Miskin (Bagian Terakhir) Dibutuhkan Regulasi yang Lebih Komprehensif Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebutkan dalam menentukan kebijakan kenaikan cukai dan harga rokok setiap tahunnya, pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek. Selain pengendalian konsumsi, pemerintah juga memperhatikan optimalisasi penerimaan perpajakan dari sektor cukai Hasil Tembakau (HT), tenaga kerja, kondisi industri rokok dan dampaknya ke rokok ilegal serta harmonisasi dengan penyesuaian beban perpajakan industri HT lainnya. ISTIMEWA Pemerintah sedang melakukan kajian akademis UU Cukai untuk mengimbangi perkembangan kondisi terkini.

Upload: dangdien

Post on 15-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sua ra Pme baur an Kamis, 6 Juli 2017 Ketika Rokok ... fileOrganisasi Kerjasama Islam (OKI), Indonesia dan Somalia yang belum. Padahal konvenan yang telah diimplementasikan di

Untuk menaikkan cukai lebih tinggi dari 57%, menu-rut BKF itu tidak dimungkinkan

secara legal. Memperhatikan hal itu, saat ini pemerintah sedang melakukan kajian akademis UU Cukai untuk mengimbangi perkembangan kondisi terkini mengingat UU ini sudah ada sejak 2007.

“Sebetulnya presentase beban cukai rokok saat ini secara riil lebih dari 43%, mengingat selain menaikkan tarif cukai, pemerintah juga menaikkan batasan HJE rokok sehingga persentase tarif dibanding HJE naik. Secara rata-rata beban perpajakan rokok (cukai, PPN, pajak kokok) mencapai 56,7% per batang,” ujar Kabid Kepabeanan dan Cukai BKF, Nasruddin Djoko Surjono.

Dalam pengendalian konsumsi rokok, pemerintah mengacu pada roadmap yang tertuang dalam Permenkes 40/2013, yang intinya penu-runan prevalensi perokok 1% per tahun sampai dengan 2019. Kebijakan pengendalian ini dilakukan secara perlahan tapi pasti.

Kebijakan penurunan prev-alensi salah satunya diterjemah-kan melalui kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya, produksi rokok 2016 tercatat mengalami penurunan sejalan dengan Permenkes tersebut, yakni 1,8%. Berbeda dengan masa lampau dimana produksi rokok bisa tumbuh 5% sampai 7% per tahun.

Tren penurunan produksi yang terjadi pada beberapa tahun diklaim BKF merupakan sinyal semakin efektifnya pengendalian konsumsi yang dilakukan pemerintah secara bertahap. Kenaikan cukai yang terlampau tinggi menurut BKF akan melanggar UU Cukai dan justru berpotensi mengakibatkan semakin banyak kerentanan tren peredaran rokok ilegal dimana keberadaan rokok ilegal akan bertentangan dengan tujuan kesehatan itu sendiri dan merugikan pendapatan negara.

Namun, kenaikkan cukai saja tidak cukup. Dibutuhkan upaya luar biasa dan pengatu-ran yang lebih komprehensif. Diperlukan regulasi yang lebih komprehensif dan kuat, mulai dari larangan menjual ketengan, menjual kepada anak, kawa-san tanpa rokok, peringatan kesehatan bergambar hingga larangan iklan, promosi dan

sponsorship. Harus dipastikan semua larangan ini dipatuhi melalui penegakan hukum yang tegas.

Solusinya untuk semua itu, ialah aksesi Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Con-vention on Tobacco Control / FCTC). Ini merupakan suatu perjanjian internasional yang mengatur pengendalian rokok secara komprehensif, yang bersi-fat mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya. Perjanjian ini akan sangat membantu In-donesia dalam mengendalikan konsumsi rokok, dan mencegah bangsa ini menjadi tong sampah bagi industri rokok.

FCTC memberikan Indo-nesia kedudukan kuat dalam pengambilan keputusan ber-sama 180 negara anggota lain. Indonesia juga dapat turut aktif dalam solusi jangka panjang epidemi tembakau melalui Konferensi Negara Anggota (COP). Indonesia juga mendapat dukungan internasional dalam upaya pengendalian rokok, yang

mengikat secara hukum.FCTC bertujuan melindungi

negara-negara anggota dari ser-buan industri rokok. Perjanjian internasional ini mengendali-kan pasokan dan permintaan konsumsi produk tembakau. Pengendalian pasokan meliputi kebijakan larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur dan perdagangan rokok ilegal.

Sedangkan pengendalian permintaan meliputi kebijakan kawasan tanpa rokok, larangan iklan, promosi dan sponsorship rokok. Meliputi juga peningka-tan cukai dan harga, pengaturan label, dan kemasan rokok, pengaturan kandungan produk serta edukasi, komunikasi untuk kesadaran masyarakat serta bantuan berhenti merokok.

Tapi, hingga hari ini, pemerintah Indonesia masih menunjukkan resistensi terhadap FCTC. Indonesia termasuk dari 7 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan satu-satunya negara di Asia yang menolak aksesi FCTC.

Indonesia bergabung dengan negara di Benua Afrika yang belum aksesi, seperti Endora, Eritia, Malawi, Somalia, dan Zimbabwe. Dari anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Indonesia dan Somalia yang belum.

Padahal konvenan yang telah diimplementasikan di 180 negara anggota WHO, yang meliputi 90% penduduk dunia ini telah terbukti menekan jumlah konsumsi rokok. Negara yang telah mengaksesi, seperti Turki, Spanyol, Uruguay, New-zeland, dan Australia, berhasil menurunkan konsumsi rokok.

Widyastuti Soerojo dari Komisi Nasional Pengen-dalian Tembakau menyebut keengganan pemerintah ini menjadi batu sandungan bagi upaya pengendalian rokok di Indonesia. Tak heran konsumsi rokok di dalam negeri terus meningkat.

Dipengaruhi MitosPemerintah masih dipen-

garuhi mitos dan tuduhan. Di antaranya, aksesi FCTC akan mengancam kelangsungan hidup para petani tembakau dan buruh industri rokok. Faktanya, tidak terbukti dan tidak ada hubungan FCTC dengan pertanian tembakau. Data menunjukkan, negara anggota FCTC, seperti Tiong-kok, Brasil, India, Zimbabwe,

dan Pakistan, tidak mengalami penurunan produksi tembakau maupun rokok.

Pemerintah juga berdalih FCTC akan mengancam keberlangsungan hidup buruh rokok. Faktanya, pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh rokok terjadi besar-besaran pada 2013-2015 walaupun produksi rokok tetap naik dan Indonesia belum ratifikasi FCTC. Seban-yak 17.288 buruh di 2013 dan 20.014 buruh pada 2015 di PHK oleh industri.

Ini terjadi karena mekanisasi industri dan perubahan selera masyarakat ke rokok buatan mesin. Ada kecenderungan industri menggantikan tenaga manusia dengan mesin karena lebih efisien. Satu mesin bisa menggantikan 900 tenaga manusia.

Mitos lainnya bahwa aksesi FCTC akan mengancam petani karena diversifikasi tanaman tembakau dengan tanaman lain untuk mematikan petani lokal dan menggantinya dengan tembakau impor juga tidak be-nar. Faktanya, kata Widyastuti, diversifikasi tembakau adalah opsi bantuan bagi petani yang akan lebih diuntungkan dari komoditas tanaman lain, bukan sebuah keharusan.

Lagipula di Indonesia, daun tembakau saja tidak mencukupi kebutuhan industri rokok, dan lebih dari 50% harus diimpor.

Impor daun tembakau karena produksi rokok digenjot naik, dan kualitas daun tembakau impor dinilai industri lebih bagus.

Apa jadinya bila Indonesia tidak aksesi FCTC ? Indonesia menjadi tujuan pemasaran produsen rokok dengan risiko merusak kesehatan generasi bangsa. Indonesia juga tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan konferensi internasional dalam mem-perjuangkan kepentingannya dan terlibat dalam negosiasi penerapan panduan dan pro-tokol FCTC.

“Sebagai warga dunia, pemerintah mempertaruhkan harkat dan martabat bangsa karena tidak mengaksesi FCTC. Mengingkari komitmennya untuk melindungi hak mas-yarakat atas kesehatan, dan mengingkari ucapannya sendiri di forum-forum internasional,” ujar Widyastuti.

Indonesia menyepakati semua deklarasi internasional yang mengandung komitmen terhadap FCTC dan regulasi pengendalian tembakau yang kuat. Lebih parah lagi Indonesia tetap jadi tempat sampah bagi industri rokok dalam negeri dan multinasional. Karena Indonesia sendiri tidak memiliki instrumen hukum yang kuat dan efektif untuk mengendalikannya. [SP/Dina Manafe]

Sua ra Pem ba ru an Kamis, 6 Juli 2017 17Kesra

Ketika Rokok Merampas Gizi si Miskin(Bagian Terakhir) Dibutuhkan Regulasi yang Lebih KomprehensifBadan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebutkan dalam menentukan kebijakan kenaikan cukai dan harga rokok setiap tahunnya, pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek. Selain pengendalian konsumsi, pemerintah juga memperhatikan optimalisasi penerimaan perpajakan dari sektor cukai Hasil Tembakau (HT), tenaga kerja, kondisi industri rokok dan dampaknya ke rokok ilegal serta harmonisasi dengan penyesuaian beban perpajakan industri HT lainnya.

istimewa

Pemerintah sedang melakukan kajian akademis UU Cukai untuk mengimbangi perkembangan kondisi terkini.