studi penggunaan obat antihipertensi pada wanita …

17
JSTFI Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology Vol.VII , No.1, Januari 2018 1 STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA HAMIL YANG DIDIAGNOSIS HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PMI KOTA BOGOR Lidya Indhayani Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi YPIBCirebon Jl. Perjuangan-Majasem, Cirebon 45315 _____________________________________________________________________________ Abstrak Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kematian pada ibu hamil, disamping penyebab lainnya seperti infeksi dan pendarahan. Metildopa merupakan agen lini pertama yang dianjurkan untuk terapi hipertensi pada masa kehamilan. Dalam penanganan hipertensi pada masa kehamilan saat ini banyak digunakan obat lini kedua dan ketiga. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil sudah sesuai dengan panduan terapi hipertensi pada kehamilan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif yang dilakukan secara konkuren pada pasien rawat jalan dan rawat inap selama bulan April Juli 2015 di Rumah Sakit PMI Kota Bogor. \ Dari 89 pasien, terdapat 43 pasien dengan hipertensi tingkat 1 yang tidak mendapatkan pengobatan farmakologi, hanya pengelolaan gaya hidup. Sejumlah 46 pasien mendapatkan terapi farmakologi. Sebanyak 27 pasien mendapatkan terapi tepat regimen obat dan tepat dosis, sedangkan 19 pasien lainnya menggunakan kombinasi obat yang tidak tercantum dalam pedoman terapi baik dalam standar Depkes RI maupun JNC 7. Dari segi outcome tekanan darah yang dikontrol pada pasien rawat inap ketika akan pulang, semua pasien (32 pasien) berhasil diturunkan tekanan darahnya, dan sesuai dengan target terapi penanganan hipertensi yang tercantum pada pedoman terapi NICE. Pemilihan regimen obat antihipertensi pada kehamilan di RS PMI Kota Bogor belum dapat dikatakan sesuai dengan pedoman terapi hipertensi dalam kehamilan. Kata Kunci: Hipertensi, kehamilan, hipertensi dalam kehamilan, penanganan hipertensi, antihipertensi. Abstract Hypertension is one of the leading causes of death in pregnant women, in addition to other causes such as infection and bleeding. Methyldopa is the recommended first-line agent used for therapeutic treatment of hypertension during pregnancy. However, in the treatment of hypertension during pregnancy are widely used second and third-line drugs.This study aims to evaluation the use of antihypertensive drugs in pregnant women in accordance with guidelines for treatment of hypertension in pregnancy. This study is an descriptive observational that conducted concurrently in outpatient and inpatient during April to july 2015 in PMI Hospital Bogor. From the 89 patients, there were 43 patients with stage 1 hypertension who did not receive pharmacological treatment, only a change in lifestyle management. As many as 46 patients received pharmacological therapy, only 27 patients on the proper selection and proper dosage of the drug regimen, while 19 other patients using a combination of drugs that are not listed in either the standard treatment guidelines for MOH and JNC 7. In terms of the output of blood pressure controlled in hospitalized patients when coming home, all of the patients (32 patients) successfully lowered blood pressure, and in accordance with therapeutic target in the treatment of hypertension listed NICE treatment guidelines. The regimen choice of antihypertensive drug during pregnancy has not been in accordance with the guidelines for the treatment of hypertension during pregnancy. Keywords: Hypertension, pregnancy, hypertension during pregnancy, treatment of hypertension, antihypertensive

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

1

STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA HAMIL YANG

DIDIAGNOSIS HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PMI KOTA BOGOR

Lidya Indhayani

Program Studi S1 Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi YPIBCirebon

Jl. Perjuangan-Majasem, Cirebon 45315

_____________________________________________________________________________

Abstrak

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama kematian pada ibu hamil, disamping penyebab

lainnya seperti infeksi dan pendarahan. Metildopa merupakan agen lini pertama yang dianjurkan

untuk terapi hipertensi pada masa kehamilan. Dalam penanganan hipertensi pada masa

kehamilan saat ini banyak digunakan obat lini kedua dan ketiga. Penelitian ini bertujuan

mengevaluasi penggunaan obat antihipertensi pada ibu hamil sudah sesuai dengan panduan

terapi hipertensi pada kehamilan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional-deskriptif

yang dilakukan secara konkuren pada pasien rawat jalan dan rawat inap selama bulan April –

Juli 2015 di Rumah Sakit PMI Kota Bogor. \ Dari 89 pasien, terdapat 43 pasien dengan

hipertensi tingkat 1 yang tidak mendapatkan pengobatan farmakologi, hanya pengelolaan gaya

hidup. Sejumlah 46 pasien mendapatkan terapi farmakologi. Sebanyak 27 pasien mendapatkan

terapi tepat regimen obat dan tepat dosis, sedangkan 19 pasien lainnya menggunakan kombinasi

obat yang tidak tercantum dalam pedoman terapi baik dalam standar Depkes RI maupun JNC 7.

Dari segi outcome tekanan darah yang dikontrol pada pasien rawat inap ketika akan pulang,

semua pasien (32 pasien) berhasil diturunkan tekanan darahnya, dan sesuai dengan target terapi

penanganan hipertensi yang tercantum pada pedoman terapi NICE. Pemilihan regimen obat

antihipertensi pada kehamilan di RS PMI Kota Bogor belum dapat dikatakan sesuai dengan

pedoman terapi hipertensi dalam kehamilan.

Kata Kunci: Hipertensi, kehamilan, hipertensi dalam kehamilan, penanganan hipertensi,

antihipertensi.

Abstract

Hypertension is one of the leading causes of death in pregnant women, in addition to other

causes such as infection and bleeding. Methyldopa is the recommended first-line agent used for

therapeutic treatment of hypertension during pregnancy. However, in the treatment of

hypertension during pregnancy are widely used second and third-line drugs.This study aims to

evaluation the use of antihypertensive drugs in pregnant women in accordance with guidelines

for treatment of hypertension in pregnancy. This study is an descriptive –observational that

conducted concurrently in outpatient and inpatient during April to july 2015 in PMI Hospital

Bogor. From the 89 patients, there were 43 patients with stage 1 hypertension who did not

receive pharmacological treatment, only a change in lifestyle management. As many as 46

patients received pharmacological therapy, only 27 patients on the proper selection and proper

dosage of the drug regimen, while 19 other patients using a combination of drugs that are not

listed in either the standard treatment guidelines for MOH and JNC 7. In terms of the output of

blood pressure controlled in hospitalized patients when coming home, all of the patients (32

patients) successfully lowered blood pressure, and in accordance with therapeutic target in the

treatment of hypertension listed NICE treatment guidelines. The regimen choice of

antihypertensive drug during pregnancy has not been in accordance with the guidelines for the

treatment of hypertension during pregnancy.

Keywords: Hypertension, pregnancy, hypertension during pregnancy, treatment of

hypertension, antihypertensive

Page 2: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

2

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan salah satu

penyebab utama kematian pada ibu hamil,

di samping penyebab lainnya seperti infeksi

dan pendarahan. Hipertensi saat kehamilan

(pre-eklampsia) menyebabkan sekitar 13%

kematian pada ibu hamil, sedangkan infeksi

sekitar 15% dan pendarahan 45%

(R.Haryono Roeshadi, 2006). Menurut

WHO, definisi hipertensi adalah tekanan

darah lebih dari 140 mmHg untuk sistolik

dan lebih dari 90 mmHg untuk diastolik.

Pada kebanyakan kasus, hipertensi

terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena

penyakit tertentu, sehingga sering disebut

sebagai “the silent killer” dan tanpa disadari

penderita mengalami komplikasi pada

organ-organ vital seperti jantung, otak, atau

ginjal. Hipertensi menjadi penyebab

kematian nomor 3 (tiga) setelah stroke dan

tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari

populasi kematian pada semua umur di

Indonesia (Depkes RI, 2006).

Penyebab terjadi hipertensi pada

masa kehamilan sampai saat ini belum

diketahui pasti. Dari teori yang ada,

hipertensi pada masa kehamilan terjadi

diduga karena faktor nullipara yaitu

kehamilan yang terjadi pada usia kurang

dari 20 tahun, adanya riwayat menderita

hipertensi pada kehamilan-kehamilan

terdahulu, adanya riwayat penderita

hipertensi dalam keluarga, kehamilan

ganda, diabetes melitus, hidrop fetalis,

sindrom antibodi antifosfolipid, dan infeksi

saluran kemih; riwayat hipertensi dan

penyakit ginjal, multipara dengan umur

lebih dari 35 tahun (R. Haryono Roeshadi,

2006).

Penggunaan obat-obatan selama

masa kehamilan perlu mempertimbangkan

tidak hanya efek farmakokinetika saja,

tetapi perlu pula memperhatikan faktor

fisiko-kimia obat, terutama dalam

menembus sawar plasenta. Hal tersebut

karena plasenta merupakan organ

penghubung ibu dengan janin. Besarnya

dosis, rute pemberian serta waktu

pemberian juga mempengaruhi keamanan

penggunaan obat selama masa kehamilan.

Sifat teratogenik zat aktif sangat

diperhatikan dalam melakukan pemberian

obat-obatan kepada ibu hamil (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Metildopa merupakan agen lini

pertama yang dianjurkan digunakan untuk

terapi pengobatan hipertensi pada masa

kehamilan. Tetapi dalam penanganan

hipertensi pada masa kehamilan dapat

digunakan obat lini kedua dan ketiga.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu

dilakukan evaluasi penggunaan obat

antihipertensi pada ibu hamil dengan

kondisi hipertensi agar diperoleh data-data

yang akurat tentang efektivitas terapi yang

dilakukan.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian

observasional-deskriptif yang dilakukan

secara konkuren yaitu melakukan

pembuatan kriteria penggunaan obat

Page 3: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

3

antihipertensi pada wanita hamil yang

didiagnosis hipertensi di instalasi rawat

jalan dan rawat inap. Pada penelitian ini

terlebih dahulu dilakukan studi pustaka

tentang rumah sakit, pelayanan Instalasi

Farmasi Rumah Sakit, hal yang berkaitan

dengan obat antihipertensi (memasukkan

nama obat yang digunakan berdasarkan

golongan farmakologi yang sesuai), dan

hipertensi kehamilan (memasukkan standar

penatalaksana hipertensi dalam kehamilan).

Kemudian dilakukan pengorganisasian

data, analisis data dan pengambilan

kesimpulan.

Kriteria inklusi sampel pada

penelitian ini meliputi wanita hamil dengan

tekanan darah 140/90 mmHg atau

proteinuria 300mg/24 jam. Jenis data

yang digunakan meliputi identitas pasien

(no. rekam medik, nama, usia, dan

pekerjan), usia kehamilan, diagnosa,

pengukuran tekanan darah dan riwayat

pengobatan. Penggunaan obat meliputi

golongan dan jenis obat yang digunakan,

dosis, lama/frekuensi penggunaan, rute

pemberian. Sedangkan sumber data

diperoleh dari hasil rekam medik di RS

PMI Bogor dan wawancara langsung

kepada pasien di RS. PMI Bogor secara

random.

Analisis data dikelompokkan

menjadi 2 (dua) jenis, yaitu analisis data

kuantitatif dan data kualitatif. Analisis data

kuantitatif diperoleh dari riwayat

kehamilan, usia kehamilan, pengukuran

tekanan darah awal dan selama monitoring,

pilihan obat antihipertensi yang diresepkan,

dosis, lama/frekuensi penggunaan obat,

sedangkan analisis data kualitatif dilakukan

dengan mengevaluasi efek obat. Penarikan

kesimpulan berdasarkan hasil data yang

diperoleh dari pemilihan jenis obat

antihipertensi yang diresepkan

dibandingkan dengan standar penggunaan

obat antihipertensi pada kehamilan,

terhadap efek terapi yang diharapkan

maupun efek samping yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengumpulan sampel selama

bulan April hingga Juli 2015, diperoleh 67

pasien rawat jalan dan 32 pasien rawat inap

dan sebanyak 10 pasien yang dari rawat

jalan langsung dirujuk ke rawat inap.

Sehingga total sampel yang diperoleh

adalah 89 pasien RS. PMI Bogor. Pasien

tersebut selanjutnya dikelompokkan dan

dievaluasi (Tabel 1).

Tabel 1 menunjukkan hipertensi

kronik hanya diderita oleh seorang pasien,

sedangkan preeklampsia terjadi sebanyak

22,47% dari total pasien, sedangkan

hipertensi gestasional mencapai 75,28%.

Angka kejadian hipertensi kronik ini kecil,

diduga terjadi karena tidak terdeteksinya

sejak awal kehamilan, pasien tidak

memeriksakan kehamilannya, sehingga

baru terdeteksi setelah lewat minggu ke-20

kehamilan. Pasien juga kurang mengerti

akan riwayat kesehatannya, apakah

memiliki riwayat orang tua yang hipertensi

atau tidak. Selain itu, kedatangan pertama

Page 4: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

4

kali pasien ke RS PMI Kota Bogor dengan

riwayat kontrol sebelumnya yang tidak

lengkap juga mempengaruhi

ketidakakuratannya data jumlah pasien

berdasarkan tipe hipertensi dalam

kehamilan. Hal ini dikarenakan pada

umumnya pasien datang pada minggu

terakhir mendekati persalinan, dan

sebelumnya melakukan kontrol ke bidan

atau puskesmas.

Menurut data yang didapatkan

bahwa ada beberapa faktor resiko yang

diduga menjadi penyebab terjadinya

hipertensi dalam kehamilan yaitu umur

pasien, status kehamilan, BMI (Body Mass

Index), dan kehamilan kembar. Berdasarkan

kategori umur pasien, sebanyak 3,37% dari

jumlah pasien merupakan ibu hamil dengan

umur dibawah usia ideal kehamilan yaitu

20-35 tahun. Dan sebanyak 29,21% hamil

di atas usia 35 tahun. Untuk pasien dibawah

usia ideal kehamilan faktor penyebab

hipertensi diduga diakibatkan oleh stres,

sedangkan untuk usia ibu hamil di atas 35

tahun diduga karena faktor hipertensi yang

sudah terjadi sebelum kehamilan tetapi

tidak terdeteksi sebelumnya.

Untuk status kehamilan hidup,

faktor nullipara (kehamilan pertama) terjadi

pada 34,83% pasien. Hal ini juga diduga

akibat stress yang dialami oleh ibu yang

baru pertama kali mengalami kehamilan,

sehingga terjadi invasi trofoblast yang

abnormal atau mengalami invasi yang

inkomplit. Selain itu faktor multipara juga

mempengaruhi terutama bila ibu hamil

Tabel 1. Data Jumlah Pasien Berdasarkan Tipe Hipertensi Kehamilan yang Diderita

Tipe Hipertensi Kehamilan Kriteria N %

Hipertensi Kronik

- TD 140/90 mmHg

- sudah ada sejak 20 minggu

kehamilan

- tidak disertai protein urea

1 1,12

Preeklampsia

- TD 140/90 mmHg

- terjadi setelah 20 minggu

kehamilan

- disertai proteinuria 300 mg/24

jam, atau 30mg untuk sekali

pengkuran

20 22,47

Hipertensi Kronik dengan

superimposed preeclampsia

- TD 140/90 mmHg

- sudah ada sejak 20 minggu

kehamilan

- disertai kemunculan proteinuria

300 mg setelah 20 minggu

kehamilan

1 1,12

Hipertensi Gestasional

- TD 140/90 mmHg

- setelah 20 minggu kehamilan

- tanpa disertai proteinuria

67 75,28

N Total= 89 Keterangan : N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah pasien per kategori dibandingkan

dengan jumlah total pasien yang menderita hipertensi dalam kehamilan.

Page 5: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

5

multipara pada usia lebih dari 35 tahun.

Untuk status kehamilan hidup, faktor

nullipara lebih tinggi mempengaruhi

hipertensi (pre-eklampsia) bila

dibandingkan dengan kehamilan multipara.

Persalinan yang berulang-ulang akan

mempunyai banyak resiko terhadap

kehamilan. Pada The New England Journal

of Medicine tercatat bahwa persalinan

kedua dan ketiga adalah persalinan yang

paling aman (Rozhikan, 2007).

Nilai BMI juga menjadi faktor

resiko penyebab hipertensi dalam

kehamilan. Depkes RI menyebutkan bahwa

BMI ibu hamil di atas 30kg/m2, beresiko

tinggi mengalami hipertensi dalam

kehamilan, dan dari data yang diperoleh,

semua pasien dengan nilai BMI lebih dari

30 kg/m2

adalah sebanyak 11 pasien

(12,36%). Sedangkan faktor resiko untuk

kehamilan ganda diperoleh data sebanyak 2

pasien yang mengalami hipertensi dalam

kehamilan dan 87 pasien yang mengalami

hipertensi pada janin tunggal. Menurut

Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan

bahwa kasus preeklampsia berat terjadi

pada janin lebih dari satu. Hal ini

dikarenakan pada kehamilan ganda terjadi

perubahan fisiologis uterus lebih besar

daripada kehamilan tunggal, maka distensi

rahim akan berlebihan sehingga

menyebabkan tekanan darah naik (Maria

Magdalena dan Dyah Historyati, 2013).

Hasil penelitian tersebut berbanding

terbalik dengan hasil penelitian yang

didapatkan. Hal ini dimungkinkan terjadi

karena ada faktor lain seperti usia, riwayat

preeklampsia pada keluarga, riwayat

hipertensi, ataupun status gizi pasien.

Adapun komplikasi yang menyertai

hipertensi yang paling tinggi pada ibu hamil

yaitu leukositosis dan anemia. Hal ini

sangat beresiko terhadap terhambatnya

perkembangan janin, sehingga menginduksi

IUGR (Intrauterine Growth Restriction)

atau berat badan janin yang rendah.

Leukositosis terjadi biasanya disebabkan

oleh infeksi bakteri pada ibu hamil dan

menggambarkan proses inflamasi yang

terjadi pada pre-elampsia/eklampsia

(Sumarni, 2016). Penggunaan antibiotik

diharapkan membantu mengatasi infeksi

dan akan menstabilkan kembali angka

leukosit tubuh. Komplikasi anemia terjadi

akibat kurangnya asupan suplemen zat besi

selama kehamilan sehingga pembentukkan

hemoglobin kurang tercapai.

Oligohidramnion dijumpai pada

salah satu pasien sampel, hal ini dapat

dihubungkan dengan hipertensi.

Oligohidramnion adalah keadaan dimana

air ketuban kurang dari normal yaitu < 500

mL. Penggunaan obat yang tidak tepat

selama kehamilan seperti angiotensin-

converting enxyme inhibitor (ACEI), dapat

merusak ginjal janin dan menyebabkan

oligohidramnion parah dan kematian janin.

Oleh karena itu penderita hipertensi

sebaiknya mengkonsultasikan dulu

pengobatannya bila menginginkan

kehamilan. Penurunan perfusi ginjal diduga

juga dapat menyebabkan produksi urin

Page 6: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

6

berkurang, dalam keadaan normal, ginjal

membentuk cairan ketuban (sebagai urin).

Berdasarkan Tabel 2, data yang

rujukan yang paling banyak ditemukan

pada pasien adalah proteinuria yaitu sebesar

45,71%, hal ini menunjukkan klasifikasi

hipertensi kehamilan preeklampsia. Ada

beberapa indikator tes urine yang dapat

menggambarkan resiko hipertensi yang

dapat memicu kerusakan organ lain, di

antaranya nilai serum kreatinin yang tinggi

dan albuminuria yang mengindikasikan

hipertensi yang diderita telah menyebabkan

induksi disfungsi renal. Salain itu nilai

SGOT dan SGPT juga dapat

menggambarkan kerusakan fungsi hati.

Dari hasil tes leukosit yang tinggi

juga ditemukan pada 74,29% pasien, namun

data leukosit yang tinggi dirasa kurang

menggambarkan resiko preeklampsia,

karena hasil yang tinggi dapat terjadi akibat

penyakit infeksi yang diderita oleh pasien

(Magee dkk, 2008). Hasil tes urine ini

sangat berperan dalam menentukan terapi

hipertensi bagi yang telah mengalami

kerusakan fungsi organ. Tetapi dari tabel di

atas, banyak pasien yang tidak melakukan

tes urine lengkap, padahal hal ini sangat

Tabel 2. Pengelompokan Data Hasil Tes Urine Sebagai Monitor Resiko Preeklampsia

Jenis Pemeriksaan Deskripsi resiko

preeklampsia

Terindikasi Tidak

terindikasi

Tidak ada

data*

N % N % N %

Hemoglobin ** > 12-14 rb g/dl - - 35 100,00 - -

Leukosit > 4-10rb /µl 26 74,29 9 25,72 - -

Trombosit / platelet < 150-450rb µl 1 2,86 34 97,14 - -

Blood film positif 9

25,72 18 51,43 8 22,8

6

Kreatinin serum > 1,1mg/dl -

- 21 60,00 14 40,0

0

Glukosa Negatif -

- 25 71,43 10 28,5

7

AST atau SGOT** > 9-40 µ/L 2

5,71 17 48,57 16 45,7

1

ALT atau SGPT** > 13-48 µ/L 2

5,71 17 48,57 16 45,7

1

Albumin < 3,5-5g/dl 2

5,71 - - 33 94,2

9

Bilirubin Positif 2

5,71 25 71,43 8 22,8

6

Proteinuria

1x pengukuran atau

24 jam pengukuran

30mg/dl

≥300 mg/dl

16

45,71

13

37,14

6

17,1

4

N Total= 35 Keterangan : N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah hasil per kategori dibandingkan

dengan jumlah total hasil tes urine yang terdata; *) = tidak ada data karena pasien tidak melakukan tes

urine untuk keseluruhan indikator. **) = dari hasil data yang diperoleh beberapa kadar hemoglobin ibu

hamil justru rendah.

Page 7: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

7

mempengaruhi ketepatan terapi yang akan

dilakukan dengan mempertimbangkan

penyakit lainnya.

Metildopa merupakan golongan

agonis α2 sentral menurunkan tekanan

darah terutama dengan merangsang reseptor

α2 adrenergik di otak. Perangsangan ini

menurunkan aliran simpatetik dari pusat

vasomotor di otak dan meningkatkan tonus

vagal. Penurunan aktivitas simpatetik,

bersamaan dengan meningkatnya aktivitas

parasimpatetik, dapat menurunkan denyut

jantung, curah jantung, total peripheral

resistance, aktivitas plasma renin, dan

refleksbaroreseptor (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).

Metildopa adalah obat lini pertama

untuk hipertensi pada kehamilan karena

bukti keamanannya selama ini. Namun

paling menonjol dari penggunaan metildopa

secara kronis adalah akan menyebabkan

retensi natrium dan air, sehingga sebaiknya

diberikan bersama diuretik untuk mencegah

tumpulnya efek antihipertensi yang terjadi

dengan penggunaan jangka panjang, kecuali

pada kehamilan. Seperti dengan

penggunaan obat antihipertensi yang

bekerja sentral lainnya, metildopa dapat

menginduksi terjadinya depresi. Kejadian

hipotensi ortostatik dan pusing lebih tinggi

daripada dengan obat antihipertensi lainnya,

sehingga harus digunakan dengan hati-hati

pada lansia (Pionas BPOM RI, 2015).

Metildopa dapat menyebabkan

hepatitis atau anemia hemolitik, walaupun

jarang terjadi. Kenaikan sementara serum

transaminase liver kadang-kadang terlihat

dengan terapi metildopa tetapi secara klinis

irrelevant kecuali bila nilainya diatas tiga

kali batas normal. Metildopa harus

diberhentikan segera apabila kenaikan

serum transaminase atau alkalin fosfatase

liver menetap karena ini menunjukkan

onset dari hepatitis fulminan, yang dapat

menimbulkan kematian (Chobanian dkk,

2004).

Antagonis kalsium atau Calcium

channel blockers (CCB) bukan agen lini

pertama terapi antihipertensi tetapi obat ini

merupakan antihipertensi yang efektif

sebagai obat tambahan atau pengganti.

CCB bekerja dengan menghambat influx

kalsium sepanjang membran sel. Ada dua

tipe voltage gated calcium channel: kanal

tegangan tinggi (tipe L) dan kanal tegangan

rendah (tipe T). Nifedipin yang bekerja

cepat (immediate-release) telah dikaitkan

dengan meningkatnya insiden efek samping

kardiovaskular dan tidak disetujui untuk

pengobatan hipertensi. Efek samping yang

lain adalah pusing, flushing, sakit kepala,

gingival hyperplasia, edema perifer, mood

changes, dan gangguan gastrointestinal

(Priyanto, 2008).

Penyekat Beta (β- blocker)

menunjukkan berkurangnya resiko

kardiovaskular apabila digunakan pasca

infark miokard, pada sindroma koroner

akut, atau pada angina stabil kronis.

Atenolol merupakan penyekat beta dengan

farmakodinamik yang bersifat

kardioselektif yang mempunyai afinitas

Page 8: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

8

yang lebih besar terhadap reseptor beta-1

dari pada reseptor beta-2. Beta-1 reseptor

lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan

beta-2 reseptor lebih banyak ditemukan

pada paru paru, liver, pankreas, dan otot

halus arteri. Perangsangan reseptor beta-1

menaikkan denyut jantung, kontraktilitas,

dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor

beta-2 menghasilkan bronchodilatatasi dan

vasodilatasi. Penyekat beta yang

kardioselektif kecil kemungkinannya untuk

mencetuskan spasme bronkus dan

vasokonstriksi. Sekresi insulin dan

glikogenolisis secara adrenergik dimediasi

oleh reseptor beta-2 (Pionas BPOM RI,

2015).

Pemberian penyekat beta tiba-tiba

dapat menyebabkan angina tidak stabil,

infark miokard, dan bahkan kematian pada

pasien dengan resiko tinggi penyakit

koroner. Pemberhentian tiba-tiba juga dapat

menyebabkan rebound hypertension

(naiknya tekanan darah melebihi tekanan

darah sebelum pengobatan). Untuk

mencegah ini, penyekat beta harus

diturunkan dosis dan diberhentikan secara

perlahan-lahan selama 1 -2 minggu. Seperti

diuretic, penyekat beta menaikkan serum

kolesterol dan glukosa, tetapi efek ini

transien dan secara klinis bermakna sedikit.

Penyekat beta dapat menaikkan serum

trigliserida dan menurunkan kolesterol

HDL (Tan Han Tjay dan Kirana Rahardja,

2007).

Penghambat enzim konversi

angiotensin (ACEI), menghambat

perubahan angiotensin I menjadi

angiotensin II, dimana angiotensin II adalah

vasokonstriktor poten yang juga

merangsang sekresi aldosteron. ACEI juga

memblok degradasi bradikinin dan

merangsang sintesa zat-zat yang

menyebabkan vasodilatasi, termasuk

prostaglandin E2 dan prostasiklin.

Peningkatan bradikinin meningkatkan efek

penurunan tekanan darah dari ACEI, tetapi

juga bertanggung jawab terhadap efek

samping batuk kering yang sering dijumpai

pada penggunaan ACEI. ACEI secara

efektif mencegah dan meregresi hipertrofi

ventrikel kiri dengan mengurangi

perangsangan langsung oleh angiotensin II

pada sel miokardial. JNC 7 mencantumkan

6 indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan

banyak kegunaan yang berdasarkan bukti

(evidence-based) dari kelas obat ini.

Beberapa studi menunjukkan kalau ACEI

mungkin lebih efektif dalam menurunkan

resiko kardiovaskular dari pada obat

antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua

studi menunjukkan kalau ACEI lebih baik

daripada CCB. ACEI menurunkan

morbiditas dan mortalitas pada pasien

dengan gagal jantung dan memperlambat

progres penyakit ginjal kronis. Golongan

ACEI harus digunakan sebagai pengobatan

lini pertama dalam terapi pada pasien-

pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi

absolut. ACEI lebih baik dalam

menurunkan resiko kardiovaskular pada

angina stabil kronis pada pasien pasca

infark miokard, berkurangnya resiko stroke

Page 9: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

9

yang kedua kali juga ditunjukan dengan

kombiasi ACEI dan diuretik tiazid. ACEI

memiliki efek samping mengurangi

aldosteron dan dapat menaikkan kosentrasi

kalium serum. Angiodema adalah

komplikasi yang serius dari terapi dengan

ACEI. ACEI merupakan kontraindikasi

absolut untuk perempuan hamil dan pasien

dengan riwayat angioedema (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).

Diuretik dapat menurunkan tekanan

darah terutama dengan mekanisme

extrarenal. Diuretik sangat efektif

menurunkan tekanan darah bila

dikombinasi dengan kebanyakan obat

antihipertensif lain. Kebanyakan obat

antihipertensi menimbulkan retensi natrium

dan air; masalah ini diatasi dengan

pemberian diuretik bersamaan. Efek

samping diuretik tiazid termasuk

hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia,

hiperurisemia, hiperglisemia,

hiperlipidemia, dan disfungsi seksual.

Diuretik loop dapat menyebabkan efek

samping yang sama, walau efek pada lemak

serum dan glukosa tidak begitu bermakna,

dan kadang-kadang dapat terjadi

hipokalsemia. Sedangkan diuretik penahan

kalium dapat menyebabkan hiperkalemia

(Priyanto, 2008).

Dari uraian efek samping dan

mekanisme kerja masing-masing obat

hipertensi di atas, maka terlihat pada Tabel

3. bahwa penanganan hipertensi kehamilan

di RS PMI Kota Bogor hanya 22,47% dari

total pasien yang mendapatkan metildopa

sebagai obat lini pertama dalam

penatalaksana hipertensi dalam kehamilan,

sedangkan obat antihipertensi golongan

antagonis kalsium atau CCB digunakan

pada 43,82% pasien hipertensi kehamilan.

Hal ini kemungkinan besar disebabkan

faktor ekonomis karena hampir sebagian

besar pasien yang pada penelitian ini

merupakan pasien dengan Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN). Di samping itu,

faktor efek samping metildopa yang lebih

berat juga merupakan alasan mengapa

penggunaan nifedipin lebih dipilih. Dari

tabel 3 juga terlihat 48,31% pasien tidak

mendapatkan penanganan secara

farmakologi, hal ini dimungkinkan untuk

pasien dengan TD < 150/100 karena

diharapkan kontrol tekanan darah dapat

dilakukan dengan perubahan gaya hidup

saja, seperti istirahat yang cukup, olah raga

ringan, diet rendah garam dan diet makanan

tertentu (Chobanian dkk, 2004).

Data penanganan hipertensi pada

ibu hamil berdasarkan tingkat TD yang

terukur yaitu sebanyak 77 pasien atau

86,52% pasien merupakan hipertensi stage

1, yang sebagian besar hanya dikontrol

tekanan darahnya melalui perubahan gaya

hidup, hal ini sesuai dengan acuan

intenasional (NICE) yang hanya

memberikan perlakuan modifikasi gaya

hidup bagi ibu hamil dengan TD ≤ 149/99

mmHg. Kemudian sebanyak 17 pasien atau

19,1% diterapi menggunakan nifedipin dan

hanya 4 pasien atau 4,49% yang diterapi

menggunakan metildopa sebagai agen lini

Page 10: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

10

pertama, yang diduga karena faktor

ekonomis dan efek samping yang kurang

menguntungkan dari metildopa.

Hipertensi stage 1 ini juga

menggunakan terapi kombinasi obat

sebanyak 14,6%, di mana kombinasi antara

Tabel 3. Data Penggunaan Regimen Obat Antihipertensi Dalam Penanganan Hipertensi

Kehamilan

Obat antihipertensi Efek samping N* %

Agonis α2

Sentral

Metildopa

(lini pertama)

- retensi natrium dan air

- menginduksi terjadi nya depresi

- hipotensi ortostatik dan pusing

- hepatitis atau anemia hemolitik

- kenaikan sementara serum transaminase liver

20 22,47

Antagonis Kalsium

(CCB)

Nifedipin oral

- pusing

- flushing

- sakit kepala

- gingival hyperplasia

- edema perifer

- mood changes

- gangguan gastrointestinal.

36

40,45

Amlodipin 3 3,37

Penyekat Beta

(β- blocker)

Atenolol

- bronkospasma

- hiperglikemi

- angina tidak stabil

- infark miokard

- pemberhentian tiba menyebabkan rebound

hypertension

- menaikkan serum kolesterol dan glukosa

- gangguan sirkulasi perifer

- insomnia, letih,

- bradikardi

- trigliserida meningkat

3

3,37

Inhibitor ACE

Captopril

- Batuk kering

- angioedema

- hiperkalemia

- rash

- disfungsi renal

- kontraindikasi absolut pada kehamilan

2

2,25

Diuretik

Furosemide

- hypokalemia

- hipomagnesia

- hiperkalsemia

- hiperurisemia

- hiperglisemia

- hiperlipidemia

- disfungsi seksual

3

3,37

Tidak menerima

terapi obat

antihipertensi

43 48,31

Total Pasien = 89* Keterangan: N = jumlah pasien setiap kategori ; % = persentase jumlah pasien per kategori

dibandingkan dengan jumlah total pasien yang menderita hipertensi dalam kehamilan; *) terdapat

kombinasi pengobatan 19 pasien dan pengobatan terputus diganti dengan obat lainnya sebanyak 2

pasien, sehingga nilai N total lebih besar dari pada total pasien; ACE = Angiotensin converting enzyme;

CCB = Calcium channel blocker.

Page 11: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

11

nifedipin dan metildopa merupakan yang

paling banyak digunakan. Hal ini mungkin

dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan penurunan tekanan darah dari

obat antihipertensi karena efek yang

sinergis, pada kasus hipertensi yang

resisten. Terapi kombinasi antara nifedipin

dan metildopa dirasa kurang tepat karena

bukan merupakan terapi kombinasi yang

direkomendasikan dalam guideline therapy

hipertensi. Kombinasi nifedipin dan

atenolol pun demikian. Atenolol juga bukan

merupakan pilihan utama dalam hipertensi

kehamilan karena efek samping bradikardia

yang menyebabkan keamanannya yang

belum terbukti pada janin. Bradikardia

dapat menyebabkan turunnya curah jantung

yang dapat berakibat kurangnya oksigen

dan nutrisi kepada janin (Chobanian dkk,

2004). Kombinasi metildopa dan nifedipin

dengan diuretik furosemid pada 2 atau

2,25% pasien digunakan pada pasien

dengan edema untuk menurunkan retensi

air dan natrium, tetapi penggunaannya perlu

pertimbangan karena akan mengganggu

keseimbangan elektrolit tubuh ibu yang

akan mempengaruhi janin, sehingga

diuretik tidak menjadi obat pilihan

penatalaksana hipertensi dalam kehamilan.

Penanganan hipertensi stage 2 (TD

> 160/110 mmHg) pada hipertensi

kehamilan (biasa disebut dengan hipertensi

berat yang mengiinduksi preeklampsia)

agen lini pertama menurut JNC 7 adalah

injeksi hidralazin atau injeksi labetalol (lini

kedua), tetapi jika dilihat dari data yang

didapatkan, nifedipin oral masih menjadi

pilihan utama penanganannya. Kaptopril

yang merupakan kontraindikasi untuk

penanganan hipertensi dalam kehamilan

juga terdeteksi penggunaannya. Hal ini

ternyata dilakukan pada kasus terapi

kombinasi nifedipin dan metildopa yang

dihentikan kemudian diganti dengan

kaptopril tunggal atau kombinasi bersama

nifedipin tetapi setelah ibu melahirkan.

Kaptopril menjadi kontraindikasi pada

wanita hamil, karena dapat menimbulkan

gangguan pada janin bahkan kematian.

Nifedipin oral termasuk obat lini

ketiga dalam penanganan hipertensi berat

dalam kehamilan yang keamanannya masih

belum terbukti. Dari data yang diperoleh

sebanyak 12 pasien yang menderita

hipertensi berat, semuanya diberikan

pengobatan CCB, 11 pasien diterapi dengan

nifedipin oral baik tunggal maupun

kombinasi, dan 1 pasien lagi diberikan

terapi amlodipin. Pengunaan nifedipin oral

masih memungkinkan, tetapi bila obat lini

pertama tidak tersedia. Penggunaan

amlodipine untuk wanita hamil kurang

tepat, hal ini dikarenakan mekanisme kerja

amlodipin untuk merelaksasi dinding

pembuluh darah sehingga darah yang

kembali ke jantung akan berkurang,

keadaan ini mengakibatkan hipoksia pada

janin. Selain itu juga obat tersebut dapat

mencapai air susu ibu (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2009).

Selain itu, jika dilihat dari data

terdapat 3 pasien atau 3,37% yang TD nya

Page 12: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

12

baik saat pengukuran, tetapi mendapatkan

terapi pengobatan farmakologi. Hal ini

diduga pasien sebelumnya mengalami

hipertensi stage 1 atau 2, sehingga terus

diberikan obat antihipertensi untuk menjaga

tekanan darahnya tetap dikisaran 130-155

mmHg sistolik atau 80-105 mmHg

diastolik.

Berdasarkan data penurunan

tekanan darah rata-rata pada hipertensi

kehamilan stage 1 pasien rawat inap,

penggunaan metildopa tunggal adalah yang

tertinggi yaitu sebesar 4,07 ± 2,79 mmHg,

sedangkan untuk nifedipin tunggal sebesar

2,75 ± 2,30 mmHg dan kombinasi nifedipin

dan metildopa adalah -1,21 ± 3,15 mmHg.

Dari hasil tersebut, metildopa memiliki

kemampuan menurunkan tekanan darah

yang lebih baik dibandingkan dengan

nifedipin pada hipertensi stage 1 dalam

kehamilan. Kombinasi metildopa dan

nifedipin memberikan hasil negatif hal ini

menunjukkan bahwa tidak terjadi

penurunan tekanan darah oleh kombinasi

keduanya.

Untuk hipertensi kehamilan stage 2

pasien rawat inap, penurunan tekanan darah

rata-rata tertinggi didapatkan pada terapi

kaptopril tunggal yakni 20 mmHg, tetapi

dari data yang diperoleh penggunaan

kaptopril hanya pada 1 (satu) pasien dan

digunakan setelah melahirkan yang berarti

penurunan tekanan darah dapat didukung

oleh faktor pascapersalinan. Penggunaan

nifedipin tunggal menghasilkan penurunan

tekanan darah rata-rata diastolik yang

cukup baik yaitu 7,14 ± 5,23 mmHg,

dibandingkan dengan kombinasinya dengan

metildopa sebesar 3,71 ± 1,83mmHg,

maupun kombinasi Nifedipin + metildopa +

atenolol sebesar 5,51 ± 3,08 mmHg. Hal

ini menunjukkan penggunaan nifedipin

tunggal mempunyai penurunan tekanan

darah yang lebih baik dibandingkan

kombinasinya, pada terapi hipertensi stage

2 pada kehamilan.

Dari kedua kelompok data yang

didapatkan (penurunan tekanan darah rata-

rata pada hipertensi stage 1 dan 2

kehamilan) diperoleh data bahwa

penggunaan tunggal nifedipin mempunyai

efek penurunan tekanan darah yang lebih

baik dibandingkan penggunaan bentuk

kombinasinya. Banyaknya penggunaan

regimen obat lain dalam penanganan pasien

disebabkan oleh kondisi kehamilan,

sehingga obat-obat yang digunakan bukan

hanya untuk terapi hipertensi kehamilan

saja tetapi juga untuk membantu proses

persalinan ataupun terapi penyakit lain

selama kehamilan, misalnya anemia.

Dari data penggunaan regimen obat

paling tinggi adalah dari golongan

analgesik, hal ini biasanya digunakan untuk

penangganan nyeri pasca persalinan baik

operasi maupun spontan. Antibiotik juga

banyak diresepkan, yang bertujuan untuk

penanganan infeksi baik selama kehamilan

maupun setelah persalinan. MgSO4 juga

banyak diresepkan sebagai profilaksis

terhadap eklampsia pada pasien

preeklampsia berat. Kortikosteroid

Page 13: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

13

antenatal biasanya digunakan untuk

mempercepat pematangan paru janin bagi

pasien yang mengalami preeklampsia berat

tetapi kehamilan belum mencapai 38

minggu. Hal ini agar supaya bila

diperlukan, proses persalinan bisa segera

dilaksanakan, karena persalinan merupakan

penatalaksana terakhir dari hipertensi dalam

kehamilan.

Mekanisme pematangan paru janin

oleh kortikosteroid antenatal menurut

“Management of Preteem Premature

Ruptured” oleh Peebles (2005), bahwa

kortikosteroid yang diberikan pada ibu

dengan resiko persalinan preteem secara

signifikan menurunkan insiden respiratory

distress syndrome (RDS) pada bayi baru

lahir, utamanya jika persalinan terjadi

dalam waktu 7 hari setelah pemberian

steroid. Hasil yang signifikan pada luaran

bayi diperoleh apabila persalinan terjadi

setidaknya 48 jam setelah pemberian

kortikosteroid dan pada usia kehamilan di

atas 24 minggu (Rayne BD-Kamath et al,

2012). Pemberian kortikosteroid pada

kehamilan > 34 minggu, tidak akan

memberikan manfaat dan dapat

menyebabkan komplikasi pada janin

(Peebles, 2005).

Pemberian kortikosteroid sebelum

paru matang akan memberikan efek berupa

peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan

pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki

tingkat maturitas paru/ kortokosteroid

bekerja dengan menginduksi enzim

lipogenik yang dibutuhkan oleh fosfolipid

surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak

tersaturasi menjadi fosfatidilkolin

tersaturasi, serta menstimulasi produksi

antioksidan dan protein surfaktan (SP-A

hingga SP-D). Efek fisiologis

glukokortikoid pada paru meliputi

peningkatan komplians dan volume

maksimal paru, maturasi struktur parenkim,

memperbaiki fungsi respirasi, serta

memperbaiki respon paru terhadap

pemberian terapi surfaktan post natal

(Rembulan Ayu NP dan Ratna Dewi PS,

2017). Suplemen yang mengandung zat

besi juga banyak diresepkan untuk

mencegah anemia pada kehamilan. Hal ini

dimaksudkan pula untuk pencegahan IUGR

pada janin.

Dari data interaksi obat

antihipertensi dengan obat lain yang

digunakan selama penanganan hipertensi

kehamilan (furosemide+CCB,

furosemide+digoksin, kaptopril+aspirin,

CCB+Antagonis reseptor H2, CCB+aspirin,

dan CCB+MgSO4), interaksi obat yang

terjadi diharapkan bersifat meningkatkan

efek hipotensi sehingga mampu

memberikan efek terapi yang lebih baik

untuk kasus yang telah terjadi resistensi

hipertensi. Perlu diingat bahwa penggunaan

nifedipin bersama agen hipertensi lainnya

(golongan beta blocker) dapat

menyebabkan penurunan TD drastis yang

dapat mengakibatkan hipotensi parah dan

gagal jantung, sehingga pemantauan TD

yang lebih teliti perlu dilakukan dalam

penggunaan kombinasi nifedipine bersama

Page 14: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

14

dengan antihipertensi lain (dr Andrie

Gunawan, 2014). Penggunaan diuretik pada

treatment bersama dengan antihipertensi

lain bertujuan untuk mengeluarkan cairan

tubuh pada pasien yang edema. Namun

bukan pilihan dalam penanganan hipertensi

kehamilan karena dapat mengganggu

keseimbangan elektrolit tubuh. Selain itu

juga penggunaan diuretik kemungkinan

terkandung pada susu ibu sehingga dapat

menghambat laktasi (Churchill, 2010).

Dari data di atas, penggunaan

nifedipin bersama dengan MgSO4

ditemukan dalam 18 kasus. Penggunaan

MgSO4 dalam penanganan hipertensi

kehamilan ditujukan untuk terapi

preeklampsia berat (PEB) dengan tujuan

sebagai tindakan profilaksis kejadian

eklampsia/kejang. Dari penelurusan pustaka

MgSO4 dapat digunakan untuk penanganan

kejang yang sudah terjadi pada kasus

eklampsia, dan dapat digunakan sebagai

terapi profilaksis untuk PEB. Namun

interaksi penggunaan nifedipin dengan

MgSO4 adalah peningkatan efek hipotensi

dari nifedipin, sehingga harus sangat hati-

hati dan perlu kontrol TD yang lebih teliti

untuk menghindari efek hipotensi berat

(Yossi D. Kusumaningtyas, 2014).

Dari pengamatan data yang

mengambarkan analisis ketepatan dosis

pengobatan hipertensi kehamilan sebanyak

48,31% pasien dengan hipertensi stage 1

tidak perlu mendapatkan terapi obat

antihipertensi, hal ini sudah sesuai dengan

pedoman terapi yang ada. Pada terapi

menggunakan obat tunggal yaitu metildopa

4 pasien (4,49%) dan nifedipin 22 pasien

(24,72%) mendapatkan dosis yang tepat

sesuai dengan pedoman yang ada. Namun

penggunaan nifedipin yang bukan

merupakan obat lini pertama penanganan

hipertensi kehamilan dirasa kurang tepat

bila masih tersedianya obat lini pertama, hal

ini dikarenakan keamanan nifedipin yang

masih kontroversial (Chobanian, 2004).

Penggunaan kaptopril untuk

menajemen hipertensi pasca persalinan

(pada kasus putus terapi

nifedipin+metildopa), berdasarkan

pedoman JOCC (Journal Obstetrics and

Gynaecology Canada) masih dapat

digunakan, karena akumulasinya pada ASI

(air susu ibu) dibawah 10% dan belum ada

laporan efek ketidakamanan dari kaptopril

pada wanita menyusui. Untuk efek

kombinasi captopril (ACEI) bersama

dengan amlodipin (CCB) pada wanita

menyusui, belum dapat dianalisa, karena

JNC 7 tidak menyebutkan secara jelas

kombinsi kedua obat tersebut, hanya bila

dilihat dari golongan obat hipertensinya

masih diperbolehkan yaitu ACEI+CCB.

Penggunaan kombinasi dengan

CCB bersama dengan diuretik masih

direkomendasikan oleh JNC 7, hal ini

bertujuan untuk meningkatkan eksresi air

dan natrium agar retensi air menurun

sehingga menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah, tetapi dalam pemilihan

diuretik sebagai obat antihipertensi pada

kehamilan tidak dianjurkan bila tidak

Page 15: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

15

benar-benar dibutuhkan, hal ini karena

dapat mengganggu keseimbangan ion

tubuh, terutama Na, Cl dan Ca, yang dapat

mengakibatkan pertumbuhan janin

terganggu, bila digunakan dalam waktu

lama (Ghanem, 2008).

SIMPULAN

Dari 89 pasien, terdapat 43 pasien yang

tidak mendapatkan pengobatan

farmakologi, hanya manajemen perubahan

gaya hidup. Sejumlah 46 pasien lagi

mendapatkan terapi farmakologi. Sebanyak

27 pasien mendapatkan terapi tepat regimen

obat dan tepat dosis, sedangkan 19 pasien

lainnya menggunakan kombinasi obat yang

tidak tercantum dalam kombinasi obat

antihipertensi yang direkomendasikan oleh

pedoman terapi baik dalam standar Depkes

RI maupun JNC 7. Berdasarkan data

tersebut, penanganan pasien hipertensi

dalam kehamilan di RS PMI Kota Bogor

belum sesuai dengan pedoman terapi yang

ada.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu NP, Rembulan dan Ratna Dewi PS.

2017. Peran Kortikosteroid Dalam

Pematangan Paru Intrauterin.

Majority Vol 6 No 3, Juli 2017.

Lampung. http:

juke.kedokteran.unila.ac.id.

[Diakses pada tanggal 2 November

2017 pukul 21.00 WIB].

Chobanian, Aram V., George L. Bakris.,

Henry R. Black, William C.

Cushman., Lee A. Green., Joseph

L. Izzo., Jr, Daniel W. Jones., Barry

J. Materson., Suzanne Oparil.,

Jackson T. Wright, Jr., dan Edward

J. Roccella. 2004. The Seventh

Report of the Joint National

Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure.

U.S. Departement of Heealth and

Human Services. US. p 1206-1252.

Churchill,D., Beevers. G.D.G., Maher, S.

Rhodes, C. 2007. Diuretic for

Preventing Pre-eclampsia.

Cochrane Database Syst Rev,

(1):CD004451.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI. 2009. Farmakologi dan

Terapi. Edisi 5. Balai Penerbit

FKUI. Jakarta. hal: 348, 354-358.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik Ditjen Bina kefarmasian dan

Alat Kesehatan. 2006.

Pharmaceutical Care untuk

Penyakit Hipertensi. PIO Depkes.

Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

hal: 3-11.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik Ditjen Bina kefarmasian dan

Alat Kesehatan. 2006. Pedoman

Pelayanan Farmasi Untuk Ibu

Hamil dan Menyusui. Departemen

Kesehatan RI. Jakarta

D. Kusumaningtyas, Yossi. 2014. Evaluasi

Penggunaan Antihupertensi Pada

Ibu Hamil Di Instalasi Rawat Inap

Page 16: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

16

Rumah Sakit X. Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Surakarta. hal: 9-12

Ghanem, F.A., Movahed, A. 2008. Use

Antyhipertension Drugs During

Pregnancy and Lactation. Section

of Cardiology Departement of

Medicine The Broady School of

Medicine East Carolina University

Greenville. North Carolina USA. p

40.

Gunawan, dr. Andrie. 2014.

Penatalaksanaan Krisis Hipertensi.

http://dokterandrie.blogspot.co.id.

[Diakses pada tanggal 2 November

2017 pukul 21.00 WIB].

Hoan Tjay, Tan dan Kirana, Rahardja.

2007. Obat-Obat Penting Khasiat,

Penggunaan, dan Efek-Efek

Sampingnya. Edisi ke 6. Cetakan

pertama. PT. Gramedia. Jakarta.

Kamath-Rayne BD, De Franco EA,

Marcotte HP. 2012. Antenatal

Steroids for Treatment of Fetal

Lung Immaturity at the 34 weeks of

Gestation : an evaluation of

neonatal outcomes. Obstet

Gynecol. 119(5) : 909-16.

Magdalena, Maria dan Historyati, Dyah.

2013. Gambaran Faktor Penyebab

Preeklampsia Pada Kehamilan Di

Wilayah Kerja Puskesmas

Tembelang. Jombang.

http://jurnalbidanstikespemkabjom

bang.ac.id. [Diakses pada tanggal 2

November 2017 pukul 21.00 WIB].

Magee, A. Laura, Helewa Michael,

Moutquin Jean-Marie. 2008.

Diagnosis, Evaluation, and

Management of the Hypertensive

Disorders of Pregnancy. Journal of

Obstetrics and Gynaecology

Canada. The Society of Obstetrics

and Gynaecology of Canada.

Canada. p 1-37.

Peebles D. 2005. Management of Preterm

Premature Ruptured Membranes.

Dalam Norman J,Brees I. Editor.

Preterm I-bour : Managing Risk In

Clinical Practice. Cambridge

University Press. English. p 171-

91.

Pionas BPOM RI. 2015. Metildopa.

http://pionas.pom.go.id. [Diakses

pada tanggal 2 November 2017

pukul 21.00 WIB].

Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan

Terminologi Medis. LESKONFI.

Jakarta. hal: 180-190.

Queeensland Health. 2013. Hypertensive

Disorders of Pregnancy.

Queensland Government.

Qeensland.

Roeshadi, R. Haryono. 2006. Upaya

Menurunkan Angka Kesakitan dan

Angka Kematian Ibu Pada

Penderita Preeklampsia dan

Eklampsia. Respsitory USU.

Medan. hal : 1-33.

Rozikhan. 2008. Faktor-Faktor Resiko

Terjadinya Preeklampsia Berat Di

Rumah Sakit Dr. H. Soewondo

Page 17: STUDI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA WANITA …

JSTFI

Indonesian Journal of Pharmaceutical Science and Technology

Vol.VII , No.1, Januari 2018

17

Kendal. Tesis. Program Magister

Epidemiologi UNDIP. Semarang

Http://eprints.undip.ac.id/18342/1/

ROZIKHAN.pdf. [Diakses pada

tanggal 03 November 2017 pukul

20.00 WIB].

Safoewan, Sulchan. 2003. Preeklampsia-

Eklampsia di Beberapa RS Di

Indonesia, Patogenesis dan

Kemungkinan. Ikapindo. Semarang.

Sumarni. 2016. Profil Hematologi Pada Ibu

Hamil dengan Preeklampsia dan

Eklampsia di RSUD Margono

Soekardjo Purwokerto.Jurnal

Involusi Kebidanan Vol 7, No. 12,

Juni 2016. ejournal.

Stikesmukla.ac.id. [Diakses pada

tanggal 2 November 2017 pukul

21.00 WIB.