struktur komunitas makrozoobenthos di …repository.umrah.ac.id/1801/1/jurnal skripsi.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN
ESTUARI SUNGAI SERAI KELURAHAN SEI JANG KOTA
TANJUNGPINANG
Yusima
Program Studi Manajeman Sumberdaya Perairan Universitas Maritim Raja Ali Haji,
Tanjungpiang Kepulauan Riau
Tel.: +6282389143252, Email : [email protected]
ABSTRAK
Estuari Sungai Serai Kelurahan Sei Jang merupakan salah satu sungai pasang surut yang
berada di wilayah Kelurahan Sei Jang. Wilayah ini menyimpan berbagai potensi pesisir salah
satunya makrozoobenthos. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui struktur komunitas
makrozoobenthos dan hubungan kepadatan makrozoobenthos terhadap kualitas perairan
estuari Sungai Serai. Penelitian ini dilakukan di perairan estuari Sungai Serai. Penelitian ini
menggunakan metode Random sampling dengan 30 titik pengamatan dan menggunakan
transek 1x1 m2. Kondisi parameter Fisika-Kimia seperti suhu, salinitas, kekeruhan, oksigen
terlarut dan pH perairan sungai Serai rata-rata masih dalam kategori baik menurut Kepmen
LH No.51 Tahun 2004. Hasil penelitian dijumpai 6 jenis gastropoda yaitu Cerithidea
cingulate, Chicoreus capucinus, Strombus labiatus, Monodonta labio, Terebralia sulcato dan
Telescopium telescopium dan hasil indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominiasi pada
perairan estuari Sungai Serai menunjukan bahwa indeks keseragaman dan keanekaragaman
masih rendah dan dominasi menunjukkan bahwa sudah adanya jenis yang mendominasi
perairan estuari Sungai Serai Analisis PCA menunjukan bahwa kepadatan makrozoobenthos
berhubungan dengan kekeruhan dan bahan organik.
Kata kunci : Estuari, gastropoda, makrozoobenthos, Tanjungpinang
2
PENDAHULUAN
Sungai Serai Kelurahan Sei Jang
merupakan salah satu sungai pasang surut
yang berada di wilayah Kelurahan Sei Jang
yang merupakan salah satu ekosistem
perairan yang memiliki peran penting.
Wilayah ini menyimpan berbagai potensi
pesisir salah satunya makrozoobenthos.
Namun berbagai aktivitas yang terjadi di
kawasan Sungai Serai Kelurahan Sei Jang
menyebabkan terjadinya perubahan
kualitas lingkungan yang dapat merusak
lingkungan kawasan Perairan di Sungai
Serai dan juga akan berdampak terhadap
keberadaan organisme seperti
makrozoobenthos di perairan tersebut.
Benthos adalah organisme yang hidup
di dasar perairan (epifauna) atau di dalam
substrat dasar perairan (infauna) (Odum,
1993). Menurut Nybakken (1988),
organisme infauna dibagi menjadi tiga
golongan, yaitu makrozoobenthos
(berukuran lebih besar dari 1 mm),
meiozoobenthos (berukuran antara 0,1-1
mm), dan mikrozoobenthos (berukuran
lebih kecil dari 0,1 mm). Selanjutnya
Odum (1993) membedakan hewan benthos
berdasarkan cara makannya, yaitu
pemakan penyaring (filter feeder),
contohnya kerang dan pemakan deposit
(deposit feeder), contohnya siput. Di
samping itu, benthos dapat juga dibedakan
berdasarkan pergerakannya, yaitu hewan
bentik yang hidupnya menetap (sesil) dan
hewan bentik yang hidupnya relatif
berpindah (motil).
Makrozoobentos merupakan salah satu
kelompok terpenting dalam ekosistem
perairan sehubungan dengan peranannya
sebagai biota kunci dalam jaring makanan,
dan berfungsi sebagai degradator bahan
organik. Kondisi tersebut menjadikan biota
makrozoobentos memiliki fungsi sebagai
penyeimbang kondisi nutrisi lingkungan
dan dapat digunakan sebagai biota
indikator akan kondisi lingkungan
diwilayah perairan pesisir ( Andri at al.,
2012).
BAHAN DAN METODE
PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
November 2017 sampai bulan Januari
2018. Lokasi penelitian bertempat di
perairan estuari Sungai Serai Kota
Tanjungpinang dan Laboratorium Fakultas
Ilmu Kelautan Perikanan UMRAH. Peta
lokasi penelitian dapat di lihat pada
Gambar 2 dan titik koordinat dapat dilihat
pada lampiran 1.
3
Pengambilan sampel makrozoobenthos
Tahapan penelitian sebagai berikut:
a. Lokasi pengamatan ditentukan
berdasarkan metode Random
dengan 30 titik sampling penelitian
dan dengan pertimbangan luas
lokasi pengambilan sampel dan
area yang menjadi habitat
makrozoobenthos di Sungai Serai
kelurahan Sei Jang kota
Tanjungpinang.
b. Masing-masing titik digunakan
sebagai pusat kuadran yang
berukuran 1x1 m2 (Damar, 1992).
Kuadran ini dipakai sebagai tempat
pengambilan sampel epifauna dan
treefauna.
Makrozoobenthos yang terdapat
dalam setiap kuadran yang berukuran
1x1 m2 dihitung masing-masing jenis
yang ditemukan. Pengambilan sampel
dilakukan pada saat surut, sehingga
dapat mempermudah dalam
menghitung dan setiap jenis/individu
disimpan dalam kantong plastik yang
diberi tanda menggunakan kertas label
dan selanjutnya didokumentasikan.
Identifikasi makrozoobenthos
dilakukan di Laboratorium Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Analisis data
Bahan organik substrat
Pengukuran kadar organik substrat
dilakukan dengan metoda gravimetrik.
Substrat-substrat pasir dan lumpur yang
didapatkan pada setiap kuadrat,
dikeringkan terlebih dahulu pada oven
pada suhu 6000C selama 24 jam. Substrat
yang telah kering diambil 15 gram
kemudian ditumbuk sampai halus dengan
mortar dan dimasukkan kedalam cawan
crus lalu ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital. Sampel substrat tersebut
selanjutnya dibakar dalam furnace muffle
selama 4 jam pada suhu 6000C. sampel
substrat yang telah menjadi abu, kemudian
dimasukkan kedalam desikator untuk
mendinginkan dan menstabilkan suhu lalu
ditimbang kembali (Frith 1977 dan Suin
1997). Untuk mengukur kandungan bahan
organik substrat menggunakan rumus
sebagai berikut :
( )
( ) ( )
( )
4
kriteria :
kandungan bahan organik < 3,5 % : sangat
rendah
kandungan bahan organik 3,5 - 7 % :
rendah
kandungan bahan organik 7 – 17 % :
sedang
kandungan bahan organik 17 – 35 % :
tinggi
kandungan bahan organik > 35 % : sangat
tinggi (Siun, 1997)
Kepadatan makrozoobenthos
Kepadatan adalah jumlah
individu/organisme di suatu habitat yang
dinyatakan dalam jumlah per unit area
atau per satuan luas. Kepadatan
makrozoobenthos yang ada di setiap
stasiun penelitian dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut (Odum, 1917) :
D = ni / A
Keterangan :
D = Kepadatan populasi
Ni = Jumlah individu satuan jenis
A = Luas petakan (plot) contoh (m2)
Indeks keanekaragaman
makrozoobenthos
Analisis data dilakukan menggunakan
Untuk mengetahui keanekaragaman
makrobentos digunakan persamaan indeks
Shannon-Wiener sebagai berikut (Odum,
1993dalam Wulandari, 2009) :
H’ = -∑ pi ln pi
Keterangan :
H’= Indeks keanekaragaman
pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke-i
(ind/m2)
N = Jumlah total individu (ind/m2)
Kisaran nilai indeks keanekaragaman
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
H’ < 2,306 = keanekaragam rendah
2,3026 < H’ < 6,9076 = keanekaragaman
sedang
H’ > 6,9078 = keanekaragaman tinggi
Indeks keseragaman makrozoobenthos
Indeks keseragaman digunakan untuk
menunjukkan sebaran makrozoobentos
dalam suatu komunitas. Indeks
keseragaman juga dihitung dengan formula
dari Shannom-Wiener (Odum, 1993 dalam
Wulandari,2009), yaitu sebagai berikut :
E =
Keterangan :
E = Indeks keseragaman
H’ = Indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener
Hmaks = Ln S (indeks keanekaragaman
maksimum)
S = Jumlah genus yang ditemukan
5
Nilai indeks keseragaman berkisar
antara 0-1. Semakin kecil nilai E
menunjukkan semakin kecil pula
keseragaman populasi makrozoobenthos,
artinya penyebaran jumlah individu tiap
genus tidak sama dan ada kecenderungan
bahwa suatu genus mendominansi
populasi tersebut. Sebaliknya semakin
besar nilai E, maka populasi menunjukkan
keseragaman, yaitu bahwa jumlah individu
setiap genus dapat dikatakan sama atau
tidak jauh berbeda (Odum, 1993 dalam
Wulandari,2009) adalah:
E ˂ 0,4 : Keseragaman Populasi
Rendah
0,4 ˂ E ˂ 0,6 : Keseragaman Populasi
Sedang
E ˃ 0,6 : Keseragaman Populasi
Tinggi
Indeks dominasi makrozoobenthos
Indeks dominansi digunakan untuk
melihat adanya dominansi oleh jenis
tertentu pada populasi makrozoobentos
dengan menggunakan Indeks Dominansi
Simpson (Odum, 1993dalamWulandari,
2009) dengan rumus sebagai berikut :
C = ∑ (
)
2
Keterangan :
C = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu jenis ke –I (ind/m2)
N = Total individu semua jenis (ind/m2)
Nilai C berkisar antara 0 – 1. Apabila
nilai C mendekati 0 berarti hampir tidak
ada individu yang mendominasi dan
biasanya diikuti dengan nilai E yang besar
(mendekati 1), sedangkan apabila nilai C
mendekati 1 berarti terjadi dominansi jenis
tertentu dan dicirikan dengan nilai E yang
lebih kecil atau mendekati 0 (Odum,
1993dalamWulandari, 2009).
Analisis komponen utama (Principal
Component Analysis, PCA)
Untuk mengetahui hubungan
kepadatan makrozoobenthos dengan
parameter kualitas air dan sedimen di
perairan estuari Sungai Serai dilakukan
dengan menggunakan Analisis Komponen
Utama (Principal Component Analysis,
PCA) dengan menggunakan software
minitab. Struktur komunitas
makrozoobenthos dilihat berdasarkan
kepadatan makrozoobenthos dihubungkan
dengan suhu, kekeruhan, kedalaman,
sedimen, pH dan DO. Bengen (2000)
menyatakan tujuan utama penggunaan
Analisa Komponen Utama antara lain :
1. Mempelajari suatu matriks data
dari sudut pandang kemiripan
antara individu (waktu
pengamatan, stasiun, kedalaman
dan lain-lain) atau hubungan antar
variabel (parameter fisika, kimia,
dan biologi perairan).
6
2. Mengekstraksi informasi esensial
yang terdapat dalam suatu
tabel/matriks data yang benar.
3. Menghasilkan suatu representasi
grafik yang memudahkan
interpretasi.
Bentuk data yang umumnya dianalisa
dengan menggunakan analisa komponen
utama adalah matriks yang terdiri dari n
individu (baris) dan p variabel (kolom).
Proses pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan program Statistika.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum perairan Sungai Serai
1. Suhu ( 0C )
Hasil pengukuran suhu pada perairan
estuari Sungai Serai memiliki nilai rata-
rata yaitu 29,18 0C . Nilai suhu tertinggi
terdapat pada titik sampling ke 12 yaitu
30,6 0C dan nilai suhu terendah terdapat
pada titik sampling ke 22 yaitu 28,3 0C
(Gambar 3). Nilai suhu pada estuari
perairan Sungai Serai dengan rata-rata
pada setiap titik sampling menunjukan
nilai yang masih sesuai dengan baku mutu
yg di tetapkan yaitu 28-32 0C (Kepmen LH
No.51 Tahun 2004).
2. Salinitas ( 0/00 )
Hasil pengukuran salinitas pada
perairan estuari Sungai Serai memiliki
nilai rata-rata yaitu 23,23 0/00 . Nilai
salinitas tertinggi terdapat pada titik
sampling ke 5, 28 dan 15 yaitu 26 0/00 dan
nilai suhu terendah terdapat pada titik
sampling 7,14,16,21 dan 23 yaitu 20 0/00
(Gambar 4). Nilai suhu pada perairan
estuari Sungai Serai dengan rata-rata pada
setiap titik sampling menunjukan nilai
yang masih sesuai dengan baku mutu yang
ditetapkan yaitu s/d 34 0/00 (Kepmen LH
No.51 Tahun 2004).
3. Kekeruhan (NTU)
Hasil pengukuran kekeruhan pada
perairan estuari Sungai Serai memiliki
nilai rata-rata yaitu 5,04 NTU. Nilai
kekeruhan tertinggi terdapat pada titik
sampling ke 23 yaitu 8,17 NTU dan nilai
kekeruhan terendah terdapat pada titik
sampling ke 8 yaitu 2,28 NTU (Gambar 5).
Nilai kekeruhan pada perairan estuari
Sungai Serai memiliki nilai yang berbeda
cukup signifikan. Pada titik sampling ke
3,5,7,9,10,11,12,14,16,21,23,24 dan 28
memiliki nilai yang melebihi baku mutu
yaitu <5 NTU (Kepmen LH No.51 Tahun
2004). Pada titik sampling yang melebihi
baku mutu diduga karena pada titik lokasi
tersebut hutan mangrove yang di jumpai
sedikit dan berada di dekat kelong tancap (
tetap ) mengakibatkan tingkat sedimentasi
perairan menjadi tinggi, sehingga dengan
tingkat kekeruhan tersebut akan
berdampak pada biota di perairan estuari
Sungai Serai.
7
4. pH (Derajat keasaman)
Hasil pengukuran pH pada perairan
estuari Sungai Serai memiliki nilai rata-
rata yaitu 7,96 . Nilai pH tertinggi terdapat
pada titik sampling ke 15 yaitu 8,20 dan
nilai pH terendah terdapat pada titik
sampling ke 4 yaitu 7,60 (Gambar 6). nilai
pH pada perairan estuari Sungai Serai
dengan rata-rata pada setiap titik sampling
menunjukan nilai yang masih sesuai
dengan baku mutu yg di tetapkan yaitu 7 –
8,5 (Kepmen LH No.51 Tahun 2004).
5. Oksigen terlarut (DO)
Hasil pengukuran oksigen terlarut pada
perairan Sungai Serai memiliki nilai rata-
rata yaitu 6.30 mg/L. Nilai oksigen terlarut
tertinggi terdapat pada titik stasiun ke 8
yaitu 8,7 mg/L dan nilai oksigen terlarut
terendah terdapat pada titik stasiun ke 25
yaitu 3,4 mg/L (Gambar 7). nilai oksigen
terlarut pada perairan estuari Sungai Serai
memiliki nilai yang berbeda cukup
signifikan. Pada titik sampling ke
14,22,23,24,25 dan 26 memiliki nilai yang
tidak sesuai baku mutu yaitu >5
mg/L(Kepmen LH No.51 Tahun 2004).
Bahan organik subsrat
Hasil analisis sampel substrat dari 30
titik sampling menunjukan bahwa rata-rata
kandungan bahan organik pada perairan
estuari Sungai Serai yaitu 6,63 %. Nilai
kandungan bahan organik tertinggi adalah
pada titik sampling ke 4 yaitu 9,55 % dan
kandungan bahan organik terendah adalah
pada titik sampling ke 15 yaitu 3,46 %.
nilai ini menunjukan bahan organik pada
lokasi penelitian termasuk kedalam
keriteria Rendah, berdasarkan keriteria
kandungan bahan organik dalam sedimen
Siun (1977).
No Kandungan
Bahan Organik
(%)
Kriteria
1 >35 Sangat Tinggi
2 17 – 35 Tinggi
3 7 – 17 Sedang
4 3,5 – 7 Rendah
5 < 3,5 Sangat Rendah
Sumber : Siun, 1997
Identifikasi dan analisis
makrozoobenthos
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada perairan Sungai Serai
Kelurahan Sei Jang, Makrozoobentos yang
teridentifikasi sebanyak 6 jenis
makrobenthos. Adapun jenis makrobentos
yang ditemukan di perairan Sungai Serai.
Jumlah individu spesies yang
ditemukan dalam lokasi penelitian di
perairan Sungai Serai yaitu 129 individu
dari 6 jenis makrozoobenthos dan
kepadatan makrozoobenthos di perairan
Sungai Serai adalah 43.000 ind/ha, Jenis
makrozoobenthos yang paling banyak
adalah jenis Cerithidea cingulate
sebanyak 14.000 ind/ha dan Terebralia
sulcato sebanyak 10.333 ind/ha dan jenis
8
yang paling sedikit jenis Monodonta labio
sebanyak 5 individu. Jenis Cerithidea
cingulata ini memiliki cangkang tebal dan
kuat, sebagaimana dikatakan Dharma
(1988) bahwa Cerithidea cingulata
memiliki cangkang tebal dan kuat,
colimelia biasanya bergelung dan
mempunyai siphon canal yang pendek.
Struktur tubuh seperti ini menyebabkan
organisme tersebut tidak mudah dimangsa
oleh predator, sehingga keberadaanya
selalu melimpah.
Indeks keanekaragaman, keseragaman
dan dominasi makrozoobenthos
Indeks keanekaragaman yaitu 1,605,
nilai ini menunjukan bahwa pada lokasi
perairan Sungai Serai memiliki
keanekaragaman makrozoobenthos yang
masih rendah (jumlah jenis
makrozoobenthos yang ditemukan sedikit)
dan kesetabilan komunitas juga rendah,
sebaliknya keseimbangan suatu ekosistem
akan dapat dipertahankan dengan adanya
keanekaragaman yang tinggi. Menurut
Soegianto (1994), suatu komunitas
dikatakan mempunyai keanakeragaman
jenis tinggi jika komunitas itu disusun
banyak jenis dengan kelimpahan jenis
yang sama atau hampir sama, sebaliknya
jika komunitas itu disusun oleh sangat
sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis
yang mendominasi maka keanekaragaman
jenisnya rendah.
Indeks keseragaman (E) pada lokasi
perairan Sungai Serai yaitu 0,896, nilai ini
menunjukkan bahwa pada perairan Sungai
Serai memiliki keseragaman populasi
makrozoobenthos yang tinggi karena
keseragaman pada lokasi pengamatan
mendekati E > 0,6. Menurut Odum (1993)
Keseragaman makrozoobenthos yang
tinggi maka populasi menunjukkan
keseragaman yaitu bahwa jumlah individu
setiap genus dapat dikatakan sama atau
tidak jauh berbeda.
Nilai indeks domonansi yaitu 0,254,
nilai ini menunjukkan bahwa tidak ada
jenis individu makrozoobenthos yang
mendominansi pada perairan Sungai Serai.
Hal ini sesuai dengan peryataan Odum
(1993) yang menyatakan bahwa nilai
indeks dominansi yang tinggi menyatakan
konsentrasi dominansi yang tinggi (ada
individu yang mendominansi), sebaliknya
nilai indeks dominansi yang rendah
menyatakan konsentrasi yang rendah
(tidak ada yang dominan).
Hubungan kepadatan makrozoobenthos
dengan kualitas perairan
Untuk mengetahui hubungan kepadatan
makrozoobent dengan menggunakan
Analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis, PCA) dengan
menggunakan software minitab. Dapat di
lihat pada gambar hos dengan parameter
9
kualitas air dan bahan organik di Sungai
Serai dilakukan.
Berdasarkan gambar grafik analisis
PCA (Principal Component Analysis)
dapat dilihat bahwa terdapat hubungan
kepadatan makrozoobenthos dan kualitas
perairan seperti suhu, salinitas, kekeruhan,
oksigen terlarut, pH dan bahan organik.
Kepadatan makrozoobenthos saling
berhubungan erat dengan suhu (0C) dan
salinitas (0/00), ini ditandai oleh pada titik
sampling 14 dan 10 di perairan Sungai
Serai. Kualitas perairan seperti kekeruhan
(NTU) dipengaruhi oleh bahan organik, ini
ditandai oleh pada titik sampling 1. pH
(Drajat keasaman) dipengaruhi oleh
oksigen terlarut (DO), ini ditandai oleh
pada titik sampling 23, 24, 27, 28, 29 dan
30 di perairan Sungai Serai Kota
Tanjungpinang.
Suhu (0C) dan salinitas (
0/00) memiliki
hubungan terhadap makrozoobentos di
suatu perairan. Suhu merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dalam
mengontrol kehidupan dan penyebaran
organisme dalam suatu perairan. Suhu
akan mempengaruhi aktivitas metabolisme
dan perkembangbiakan dari organisme
tersebut (Nybakken, 1988).
Makrozoobenthos yang bersifat mobile
mempunyai kemampuan untuk bergerak
guna menghindari salinitas yang terlalu
rendah, namun bivalvia yang bersifat
sessile akan mengalami kematian jika
pengaruh air tawar berlangsung lama
(Effendi, 2003).
Kekeruhan (NTU) memiliki hubungan
terhadap bahan organik di suatu perairan.
Odum (1971) mengatakan bahwa
kekeruhan dapat berperan sebagai faktor
pembatas perairan oleh partikel-partikel
tanah, sebaliknya kekeruhan dapat
berperan sebagi indikator bagi
produktifitas hayati perairan jika
kekeruhan itu disebabkan oleh bahan-
bahan organik dan organisme hidup.
pH (Drajat keasaman) memiliki
hubungan terhadap oksigen terlarut (DO)
di suatu perairan. Menurut Anonymous
(2010), laju peningkatan pH akan
dilakukan oleh nilai pH awal. Sebagai
contoh : kebutuhan jumlah ion karbonat
perlu di tambahkan untuk meningkatkan
satu satuan pH akan jauh lebih banyak
apabila awal nya 6,3 dibandingkan hal
10
yang sama di lakukan pada pH 7,5.
Kenaikan pH yang terjadi diimbangi oleh
kadar CO2 terlarut dalam air. Sehingga
CO2 akan menurunkan pH, sebaliknya
pada pada kadar O2.
Pengelolaan perairan Sungai Serai
Pada perairan dinamis diantaranya
Sungai Serai, polutan-polutan yang pada
umumnya berasal dari limbah domestik
terakumulasi karena rendahnya kecepatan
pergantian air. Untuk mencegah bertambah
buruknya kualitas perairan Sungai Serai
yang sudah mulai terganggu ini, upaya
pengelolaan lingkungan perairan sangat
penting untuk dilaksanakan, berdasarkan
hasil penelitian beberapa langkah
pengelolaan yang perlu diperhatikan di
perairan sungai serai antara lain :
1. Kondisi kualiatas perairan sungai
serai berdasarkan hasil di ketahui
bahwa nilai kekeruhan (NTU) dan
oksigen terlarut (DO) melebihi
baku mutu yang ditetapkan.
Buruknya kondisi perairan tersebut
diduga karena limbah domestik.
untuk penanganan limbah
domestik, pemerintah lokal harus
lebih memikirkan pembuangan
limbah domestik yang masuk ke
perairan Sungai. Upaya ini dapat
dilakukan dengan cara menampung
limbah dalam suatu tempat
tertentu, berupa kolam permanen
terbuat dari semen sehingga
perembesan cairan limbah ke
dalam air tanah dapat dieliminasi.
2. Partisipasi masyarakat dalam
melakukan pengelolaan lingkungan
perairan Sungai Serai sangat
diharapkan dalam menanggulangi
masalah limbah rumah tangga
dengan cara meningkatkan fasilitas
drainasi rumah tangganya. Selain
itu, dipastikan masyarakat tidak
membuang limbah makanan,
minyak untuk memasak, dan
limbah-limbah domestik lainnya
seperti deterjen ke perairan situ. Di
samping itu, kerja sama yang baik
juga perlu dijalin oleh pemerintah
lokal dan pusat dalam hal
pemantauan, finansial, maupun
menyebarluaskan pengetahuan
tentang lingkungan.
3. Untuk masalah kelong tancap yang
berada di perairan estuari Sungai
Serai, diperlukan kebijakan
pengelola dalam perizinan, tidak
sembarangan mengizinkan
masyarakat melakukan kegiatan
tersebut, perlu pertimbangkan atas
asas daya dukung lingkungan
perairan estuari Sungai Serai.
11
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian hubungan
indeks biologi makrozoobenthos dan
kualitas perairan estuari Sungai Serai
Kelurahan Sei Jang Kecamatan Bukit
Bestari Kota Tanjungpinang dapat
disimpulkan bahwa :
1. Skruktur komunitas
makrozoobenthos di perairan
estuari Sungai Serai didapatkan 6
jenis dari kelas gastropoda yaitu
Cerithidea cingulate, Chicoreus
capucinus, Strombus labiatus,
Monodonta labio, Terebralia
sulcato dan Telescopium
telescopium dan hasil indeks
keanekaragaman, keseragaman dan
dominiasi pada perairan estuari
Sungai Serai menunjukan bahwa
indeks keseragaman yang rendah,
indeks keseragaman yang tinggi
dan indeks dominasi menunjukkan
bahwa tidak adanya jenis
makrozoobenthos yang
mendominasi perairan estuari
Sungai Serai.
2. Hubungan kepadatan
makrozoobenthos dan kualitas
perairan estuari Sungai Serai
menunjukan kepadatan
makrozoobenthos memiliki
hubungan kedekatan dengan suhu
(0C) dan salinitas (
0/00) ini ditandai
oleh titik sampling 14 ( 29,4 0C, 25
0/00 ) dan 10 (29,3
0C, 22
0/00) di
perairan sungai. Kualitas perairan
seperti kekeruhan (NTU) saling
berhubungan dengan bahan
organik, ini ditandai oleh titik
sampling 1 (5,88 NTU) dan pH
(Derajat keasaman) dipengaruhi
oleh oksigen terlarut (DO) ini
ditandai oleh titik sampling 23, 24,
27, 28, 29 dan 30 di perairan
estuari Sungai Serai Kota
Tanjungpinang.
Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Perlu adanya penelitian selanjutnya
lebih detail tentang biologi,
parameter fisika dan kimia di
perairan Sungai Serai dan
hubungan beberapa parameter
lengkap dengan kondisi parameter
lainnya yang belum ada guna untuk
memberi informasi lebih baik dan
terperinci.
2. Perlunya perhatian lebih terhadap
ekosistem pesisir perairan baik dari
masyarakat, mahasiswa/i dan
pemerintah karena sungai telah di
jadikan tempat pembangunan,
penyempitan lahan dan
12
pembuangan sampah domistik
maupun industri.
DAFTAR PUSTAKA
Andri, Y.S., Hadi, E., Muhammad, Z.
2012. Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Perairan Morosari,
Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.
Journal of Marine Research1 (2): 235-
242.
Afif, J. Ngabekti, S., Pribadi, T.A. 2014.
Keanekaragaman Makrozoobentos
sebagai Indikator Kualitas Perairan di
Ekosistem Mangrove Wilayah Tapak
Kelurahan Tugurejo Kota Semarang.
Unnes Journal of Life Sciense 3(1): 47-
52.
Darma, B. 1992. Siput dan Kerang
Indonesia : Indonesian Shells. Penerbit
PT. Sarana Graha, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air
Bagi Pengelolaan Sumber Daya
Dan Lingkungan Perairan. Penerbit
Kanisius : Jakarta
Ernawati, SK., Niartiningsih, A,
Nessa,MN., Omar, SBA. 2013.
Suksesi Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Alami dan Rehabilitasi, di
Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.
Jurnal Bionature. 14 (1): 49-60.
Frith, D.W. 1977. A premiliary list of
macrofauna from a mangrove forest
and adjacent biotipes at Surin Island,
Western Peninsular Thailand. Pukhet
Marine Biology Centre Research
Bulletin. (17): 14.
Handayani, S.T., B. Suharto, Marsoedi.
2001. Penentuan Status Kualitas
Perairan Sungai Brantas Hulu
dengan Biomonitoring
Makrozoobenthos: Tinjauan dari
Pencemaran Bahan Organik. Jurnal
Biosain 1 (1): 30-38.
Hutabarat, S. dan S.M Evans. 1985.
Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Indrawan, G.S., Yusup, D.S., Ulinuha, D.
2016. Asosiasi Makrozoobentos pada
Padang Lamun di Pantai Merta Segara
Sanur, Bali. Jurnal Biologi 20 (1): 11-
16.
Indrayanti, DM., Fahrudin,
A.,Setiobudiandi, I. 2015. Penilaian
Jasa Ekosistem Mangrove di Teluk
Blanakan Kabupaten Subam, Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia
(JIPI), ISSN 0853-4217, EISSN
2443- 3462, 20 (2): 91-96.
Izmiarti. 2010. Komunitas
Makrozoobentos di Banda Bakali Kota
Padang. Jurnal Biospectrum 6 (1): 34-
40.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004.
Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 201 tahun 2004 Tentang
Kriteria Baku dan Pedoman
Penentuan Kerusakan Mangrove.
Lampiran I: Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut ;
Suatu Pendekatan Ekologis.
Diterjemahkanoleh M. Ediman, D.G.
Bengen M. Hutomo dan S. Sukarjo.
Gramedia. Jakarta. 402 hal.
Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar
Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 687
hlm.
13
Pratiwi, R. 2010. Asosiasi Krustacea di
Ekosistem Padang Lamun Perairan
Teluk Lampung. Jurnal 15 (2): 66-76.
Purnami, A.T., Sunarto., Setyono, P. 2010.
Study of Bentos Community Based on
Diversity and Similarity Index in
Cengklik DAM Boyolali. Ekosains 2
(2): 50-65.
Putri, A.M.S dan Widyorini, N. 2016
Hubungan Sekstur Sedimen dengan
Kandungan bahan organik dan
Kelimpahan Makrozoobenthos di
Muara Sungai banjir Kanal Timur
Semarang. Saintek Perikanan 12 (1):
75-79.
Rahmawati, S., Fahmi., Yusuf, D.S. 2012.
Komunitas Padang Lamun dan Ikan
Pantai di Perairan Kendari. Sulawesi
Tanggara. Jurnal Ilmu Kelautan 17 (4):
109-198.
Riniatsih. I dan Widianingsih. 2007.
Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-
Kerang (bivalve) di Ekosistem padang
Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Ilmu
Kelautan. 12 (1): 53-58.
Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas
Makrozoobentos yang Berasosiasi
dengan Lamun Pada Pantai Berpasir
di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan,
3 (2 ): 33-36.
Sharma, R., Kumar, A., Vyas, V. 2013.
Diversity of Macrozoobenthos in
Morand River-A Tributary of Ganjal
River in Narmada Basin. Intl J Adv
Fish Aquatic Sciens 1 (1): 57-65.
Sinaga, E.L.R., Muhtadi, A., Bakti, D.
2016. Profil Suhu, Oksigen Terlarut dan
pH Secara Vertikal Selama 24 Jam di
Danau Kelapa Gading Kabupaten
Asahan Sumatra Urata. Omni-Akuatika
12 (2): 114-124.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&B.
Bandung: Alfabeta.
Patty, S.I. 2013. Distribusi Suhu, Salinitas
dan Oksigen Terlarut di Perairan Kema.
Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax 1
(3): 148-157.
Usman, K.O 2014. Analisis Sedimen pada
Muara Sungai Komering Koya
Palembang. Jurnal Teknik Sipil dan
Lingkungan 2 (2): 210.
Wardhana, W. A., (1994), Dampak
Pencemaran Lingkungan,
Yogyakarta.
Wulandari. 2009. Substrat Dasar dan
Parameter Oseanografi Sebagai
Penentu Keberadaan Gastropoda dan
Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten
Rembang. [Jurnal]. Jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Semarang.
Yusima, 2018. Kondisi Umum Perairan
Sungai Serai Kota Tanjungpinang,
Praktik Lapang, UMRAH,
Kepulauan Riau.
Zulkifli, H dan Setiawan, D. 2011.
Struktur dan Fungsi Komunitas
Makrozoobentos di perairan Sungai
Musi Kawasan Pulokerto sebagai
Instrumen Biomonitoring. Jurnal
Natur Indonesia. 14 (1): 95-99.