fermentasi substrat padat fermentasi kecap_michael gurdamulya_12.70.0020_c5

23
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan praktikum fermentasi kecap yang merupakan fermentasi substrat padat pada kloter C dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi Substrat Padat Fermentasi Kecap Kelompo k Perlakuan Arom a Ras a Warn a Kekenta lan C1 250 gr kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + cengkeh 1 gr ++ + ++ +++ C2 250 gr kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + cengkeh 1 gr - - - - C3 250 gr kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang serai + ++ +++ ++ C4 250 gr kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang serai +++ ++ +++ ++ C5 250 gr kedelai hitam + 1% inokulum tempe + pala 1 biji ++ +++ +++ +++ Keterangan: Aroma Kekentalan + : kurang kuat + : kurang kental ++ : kuat ++ : kental +++ : sangat kuat +++ : sangat kental Rasa Warna + : kurang manis + : kurang hitam ++ : manis ++ : hitam +++ : sangat manis +++ : sangat hitam 1

Upload: james-gomez

Post on 05-Nov-2015

47 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pada praktikum teknologi fermentasi tentang pembuatan kecap ini, membuat produk kecap dengan proses fermentasi substrat padat. Kecap menurut Rahman (1992) yang dibuat dengan proses fermentasi substrat pada biasanya dengan bahan kacang kedelai.

TRANSCRIPT

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum fermentasi kecap yang merupakan fermentasi substrat padat pada kloter C dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi Substrat Padat Fermentasi KecapKelompokPerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan

C1250 gr kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + cengkeh 1 gr++++++++

C2250 gr kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + cengkeh 1 gr----

C3250 gr kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang serai++++++++

C4250 gr kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang serai++++++++++

C5250 gr kedelai hitam + 1% inokulum tempe + pala 1 biji+++++++++++

Keterangan:AromaKekentalan+: kurang kuat+: kurang kental++: kuat++: kental+++: sangat kuat+++: sangat kental

RasaWarna+: kurang manis+: kurang hitam++: manis++: hitam+++: sangat manis+++: sangat hitam

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil pengamatan produk kecap yang diberi perlakuan berbeda-beda antar kelompok, dari bahan C1, C3 dan C5 dengan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4 dengan kedelai putih. Inokulum yang ditambahkan C1 0,5%, C2 & C3 0,75% dan pada C4 & C5 1%. Pada pembuatan produk kelompok C2 mengalami kegagalan karena kontaminasi. Terdapat juga perbedaan bumbu yang ditambahkan. Dari parameter aroma kelompok C4 tertinggi dan kelompok C3 terendah, sedangkan pada patameter rasa dapat dilihat terdapat pola tertentu dimana kelompok C1 terendah dan urut hingga paling tinggi kelompok C5. Parameter warna kelompok C1 berwarna hitam dan hasil kelompok yang lain berwarna sangat hitam. Untuk parameter kekentalan kelompok C3 dan C4 yaitu kental, sedangkan C1 dan C5 sangat kental.

14

2. 1

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum teknologi fermentasi tentang pembuatan kecap ini, membuat produk kecap dengan proses fermentasi substrat padat. Kecap menurut Rahman (1992) yang dibuat dengan proses fermentasi substrat pada biasanya dengan bahan kacang kedelai. Kecap yang dihasilkan juga memiliki ciri-ciri fisik cair, agak kental dan berwarna coklat kehitaman. Kecap juga memiliki pH pada kisaran 4,9 5,0 dan biasa digunakan sebagai campuran pada proses pembuatan suatu makanan untuk memberikan cita rasa dan warna yang menarik pada makanan. Kecap juga merupakan produk makanan yang sangat mudah larut air dan memiliki berat molekul yang rendah, maka hasil produknya mudah dicerna oleh sistem pencernaan manusia.

Dalam praktikum ini kecap dibuat dengan metode fermentasi, menurut teori dari Winarno et al (1980), bahwa kecap dapat dibuat dengan 3 metode, yaitu fermentasi, hidrolisis kimia maupun kombinasi dari kedua metode tersebut. Ditambahkan teori dari Judoamidjojo (1987), bahwa selain jenis kecap manis seperti yang dibuat pada praktikum ini, di Indonesia terdapat pula jenis kecap asin yang cukup digemari oleh masyarakat. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari karakteristik organoleptiknya. Kecap manis memiliki rasa manis yang dominan karena mengandung gula palma dalam jumlah banyak (26-61%) dan garam dalam jumlah sedikit (3-6%), serta memiliki viskositas yang kental. Sementara kecap asin memiliki rasa asin yang dominan karena tinggi kandungan garam (18-21%), encer dan warnanya lebih muda karena mengandung lebih sedikit gula palma (4-19%).

Pada pembuatan kecap dengan metode proses fermentasi pada praktikum ini, pada prinsipnya menurut Hardjo (1964) adalah proses pemecahan makromolekul kompleks yang terkandung pada kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selama proses fermentasi, akan terjadi pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino; lemak menjadi asam lemak; dan karbohidrat menjadi monosakarida. Proses pemecahan ini yang menyebabkan kecap memiliki aroma, rasa, flavoryang khas. Dalam proses pembuatan kecap dengan metode fermentasi menurut Judoamidjojo (1987), bahwa terdapat 2 tahapan proses yaitu fermentasi dengan kapang (koji) dan dilanjutkan dengan fermentasi dengan larutan garam (moromi). Selama proses fermentasi menurut Rahman (1992) akan terjadi kenaikan total nitrogen terlarut, padatan terlarut dan gula pereduksi, serta pembentukan pH kecap pada angka 4,9-5,0.

Pada proses fermentasi koji (fermentasi dengan kapang) pertama praktikan merendam kedelai mentah dalam air selama 1 malam hingga mekar. Hari selanjutnya kedelai dicuci, dan dibiarkan di udara terbuka hingga kering. Proses perendaman ini menurut Kasmidjo (1990) bertujuan untuk mempermudah proses pelepasan kulit ari dari biji kedelai dan sekaligus untuk melunakkan biji kedelai. Dan ditambahkan menurut Tortora et al (1995) bahwa proses perendaman kedelai dapat memperlunak kedelai karena terjadi hidrasi air ke dalam biji kedelai, sehingga proses pemasakan biji kedelai dapat berjalan lebih singkat karena biji kedelai menjadi lebih lunak. Proses perendaman yang dilakukan oleh praktikan menggunakan air dalam jumlah banyak, hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kasmidjo (1990) bahwa perendaman harus dilakukan dengan jumlah air yang melimpah agar kedelai dapat menyerap air dan beratnya meningkat hingga 2-3 kali lipat.

Kedelai mentah selanjutnya direbus hingga matang. Proses perebusan kedelai dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses Perebusan Kedelai

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Tortora et al (1995) bahwa pada pembuatan kecap proses perebusan biji kedelai memiliki fungsi penting yaitu: Membantu pelunakkan biji kedelai sehingga mempermudah proses pemasakan Menghilangkan aroma langu pada kedelai dengan menginaktivasi enzim lipoksigenase Mengurangi mikroorganisme Merusak protein inhibitor Menginaktifkan zat-zat antinutrisi Mempermudah enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi berlangsung.

Setelah proses perebusan selesai, kedelai ditiriskan dan dibiarkan terpapar dengan udara terbuka hingga dingin sebelum dilakukan penambahan inokulum. Hal ini dilakukan menurut Santoso (1994) bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat pada kedelai dan untuk mendinginkan kedelai sehingga ketika ditambahkan inokulum, inokulum tidak mati akibat suhu yang terlalu panas. Pengeringan hanya sampai kedelai menjadi setengah kering atau masih agak lembab. Kondisi diperlakukan setengah lembab ini menurut Atlas (1984) untuk mempermudah pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai, serta dapat mengakumulasi enzim proteinase (memcah protein menjadi asam amino) dan amilase (memecah karbohidrat menjadi gula sederhana (gula pereduksi) yang membuat fermentasi menjadi lebih mudah dilakukan). Gambar proses penirisan dan didiamkan hingga kering dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Penirisan & Pendiaman

Kedelai yang masih lembab tersebut, kemudian diletakkan dalam besek yang berasalkan daun pisang. Tetapi daun pisang terlebih dahulu disemprotkan alkohol agar steril dan tidak mengkontaminasi produk. Fermentasi menggunakan wadah ini karena memungkinkan sedikit oksigen dapat masuk sehingga fermentasi dapat berjalan lancar. Selanjutnya masing-masing kelompok menambahkan inokulum dengan konsentrasi yang berbeda. Pada kelompok C1 menambahkan 0,5 % inokulum komersial untuk tempe, kelompok C2 dan C3 menambahkan 0,75% inokulum komersial tempe, dan kelompok C4 dan C5 menambahkan 1 % inokulum tempe. Setelah diikonulasi, kedelai diaduk supaya inokulum rata, kemudian besek ditutup dan diinkubasi di suhu ruang selama 3 hari. Kedelai yang siap diinkubasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kedelai yang Sudah Diinokulasi & Siap Diinkubasi

Penggunaan ragi tempe pada praktikum ini sesuai dengan pernyataan dari Santoso (1994) bahwa proses penjamuran tempe pada tahap koji biasanya menggunakan kapang jenis Rhizopus sp. Setelah diberi inokulum lalu dilakukan pengadukan supaya inokulum dengan kedelai tercampur merata. Besek yang digunakan disini sesuai dengan teori Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa fermentasi koji biasanya dilakukan dengan menghamparkan bahan yang akan diinokulasi pada wadah seperti besek. Kedelai kemudian diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang, untuk memberi waktu bagi kapang untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1994) bahwa kedelai yang telah diberi penambahan inokulum disimpan pada suhu ruang (25-30C) selama 3 hari hingga terlihat pertumbuhan kapang. Astawan & Astawan (1991), juga menambahkan bahwa proses fermentasi harus dalam jangka waktu yang sesuai. Apabila terlalu cepat, enzim yang dihasilkan oleh kapang tidak akan memproduksi komponen-komponen penting yang akan digunakan selama proses fermentasi tahap berikutnya. Sedangkan apabila terlalu lama, maka enzim yang dihasilkan akan berlebih dan cita rasa kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik dan kurang disukai konsumen.

Selanjutnya pada tahap fermentasi moromi (fermentasi pada larutan garam), pertama-tama kedelai yang sudah berjamur diaduk dan dikeringkan di dalam dehumidifier selama 2-4 jam. Gambar 4 menunjukkan kedelai yang sudah berjamur dari tahap fermentasi koji.

C1C2C3C4C5

Gambar 4. Kedelai yang Sudah Siap Masuk Tahap Fermentai Moromi

Hasil dari kelompok C2 tidak dapat dilanjutkan karena produk terkontaminasi. Proses pengeringan dengan dehumidifier menurut teori dari Peppler & Perlman (1979) akan dihambat pertumbuhannya akibat sedikitnya kandungan air pada kedelai. Setelah itu kedelai yang sudah kering dimasukkan ke dalam toples plastik lalu ditambahkan larutan garam 20% dan direndam selama 7 hari, setiap harinya dijemur selama 1 jam dibawah sinar matahari dengan dilakukan pengadukan berkala juga. Untuk proses perendaman kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kedelai Direndam Dalam Larutan Garam 20 %

Menurut Tortora et al (1995) bahwa perendaman dengan garam bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang. Pembentukan flavor khas kecap juga ditentukan pada saat perendaman garam ini karena pada saat perendaman berlangsung inilah bakteri halofilik akan tumbuh secara spontan dan akan mempengaruhi flavor. Sedangkan untuk konsentrasi larutan garam yang digunakan oleh praktikan adalah 20% dimana menurut pernyataan dari Astawan & Astawan (1991) penggunaan garam dengan tingkat konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan tekanan osmotik yang menarik air keluar dari bahan pangan, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat. Konsentrasi larutan garam yang ideal pada proses pembuatan kecap adalah 15-20%, karena apabila kadar garam yang digunakan dibawah 15%, maka mikroorganisme masih dapat tumbuh pada kecap. Sementara proses penjemuran dan pengadukan berkala menurut Tortora et al (1995) dimaksudkan untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan. Proses pengadukan meningkatkan kontak garam dengan substrat sehingga pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat. Wu et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Temperature on Moromo Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration juga menambahkan bahwa temperatur saat penjemuran akan mempengaruhi hasil akhir dari cita rasa kecap. Setelah 1 minggu, kedelai dipress, dan disaring dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kedelai Disaring Dengan Kain Saring

Proses penyaringan ini bertujuan agar kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan (Santoso, 1994). Selanjutnya diambil 250 ml dan ditambahkan dengan 750 ml air putih, lalu dimasak bersama bumbu (Gambar 7, 8 dan 9).

Gambar 7. Penambahan Air Sebanyak 750 ml

Gambar 8. Bumbu bumbu yang ditgunakan pada pembuatan kecap

Gambar 9. Pemasakan Kecap Dengan Bumbu

Bumbu-bumbu yang digunakan yakni 1 kg gula jawa, 20 gram kayu manis, 3 gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga pekak. Setiap kelompok ditambahkan bumbu-bumbu tambahan yang berbeda-beda setiap kelompok, yaitu cengkeh 1 gr (Kelompok C1 & C2); 1 batang serai (Kelompok C3 & C4), 1 biji pala (Kelompok C5). Penggunaan bumbu-bumbu ini menurut Fachruddin (1997) bertujuan untuk meningkatkan flavor dari kecap yang dihasilkan, dimana bumbu-bumbu yang biasa ditambahkan dalam proses pembuatan kecap adalah lengkuas, daun salam, kayu manis, daun jeruk, ketumbar, laos, jinten, bunga pekak, dan kemiri. Gula jawa pada proses pembuatan kecap manis ini menurut Kasmidjo (1990) berguna untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan viskositas kecap, juga berfungsi untuk membentuk warna kecap menjadi coklat karamel. Dan ditambahkan oleh Judoamidjojo (1987) bahwa gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi dimana reaksi tersebut akan membentuk flavor dan karakteristik kecap manis.

Setelah masak, larutan disaring, ditempatkan dalam wadah steril dan siap dikonsumsi. Berdasarkan hasil pengamatan produk kecap yang diberi perlakuan berbeda-beda antar kelompok, dari bahan C1, C3 dan C5 dengan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4 dengan kedelai putih. Inokulum yang ditambahkan C1 0,5%, C2 & C3 0,75% dan pada C4 & C5 1%. Pada pembuatan produk kelompok C2 mengalami kegagalan karena kontaminasi maka tidak ada hasil yang didapatkan. Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek aroma, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki aroma yang berbeda-beda, yaitu dari parameter aroma kelompok C4 tertinggi dan kelompok C3 terendah, jika dilihat justru terendah pada penambahan inokulum 0,75% dan tertinggi pada 1%. Menurut Astawan & Astawan (1991) dan Rahayu et al (1993) yang menyatakan bahwa jumlah inokulum mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan karbohidrat pada kedelai, dimana semakin banyak jumlah kapang yang ditambahkan, maka proses degradasi protein dan karbohidrat ini akan berjalan semakin cepat. Namun di sisi lain, apabila jumlah kapang yang ditambahkan terlalu banyak, maka flavor kecap yang dihasilkan menjadi kurang baik. Jadi hasil yang didapatkan pada kelompok C3 mengalami perbedaan dengan teori yang ada, kemungkinan besar hal ini disebabkan karena proses fermentasi yang kurang baik.

Selain itu ditambahkan menurut Kasmidjo (1990) bahwa aroma dari kecap juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bumbu yang digunakan. Lebih lanjut menururt Feng et al (2013) dalam jurnalnya yang berjudul New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce beberapa komponen flavor organic yang terkandung dalam kecap kedelai yaitu seperti alkohol, ester, fenol, asam dan heterocyclics yang membentuk flavor khas dari kecap. Dan teori dari Muangthai et al(2007) dalam jurnal yang berjudul Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagon Pea and Soy bean juga menyatakan bahwa aroma kecap juga dipengaruhi jenis dan jumlah asam amino yang ada pada kecap. Asam amino terbanyak yang umum terdapat pada kecap adalah asam amino glutamat. Kadar asam amino yang berbanding lurus dengan kadar protein, dapat diketahui menurut Sarasvati T (2008) kadar protein dari kacang kedelai putih lebih tinggi yaitu 41% sedangkan untuk kacang kedelai hitam 40,40%. Maka dapat disimpulkan hasil yang didapatkan sesuai karena aroma tertinggi terdapat pada kacang kedelai putih (jika dibandingkan pada perlakuan yang sama yaitu penambahan inoculum 1% antara C4 dan C5).

Sedangkan pada patameter rasa dapat dilihat terdapat pola tertentu dimana kelompok C1 terendah dan urut hingga paling tinggi kelompok C5. Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek rasa, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda. Teori menurut Masashi (2006) mengatakan bahwa jumlah/konsentrasi ragi yang ditambahkan akan dapat mempengaruhi komponen-komponen yang terdapat dalam kecap, seperti asam laktat dan etanol dimana semakin banyak konsentrasi inokulum yang ditambahkan, maka proses fermentasi dapat berjalan semakin cepat sehingga produksi etanol dan asam laktat akan semakin banyak pula. Maka dapat diketahui jumlah penambahan inokulum berbanding lurus dengan rasa, tetapi terdapat batas maksimal inokulum yang ditambahkan. Sedangkan menurut Amalia (2008) jumlah gula jawa yang ditambahkan merupakan penyusun terbesar diantara bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kecap sehingga jumlah penambahannya sangat mempengaruhi rasa spesifik dari kecap. Tetapi gula jawa yang ditambahkan semua kelompok sama, maka rasa yang berbeda ini dipengaruhi oleh jumlah inokulum. Maka hasil yang didapatkan sesuai dengan teori yang ada.

Menurut Rahayu et al (2005) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae menambahkan aktivitas bakteri asam laktat, yaitu Lactobacillus delbrueckii memproduksi asam-asam organik seperti asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat dimana asam tersebut akan menyebabkan penurunan pH kecap. Menurunnya pH kecap ini berhubungan erat dengan pertumbuhan kapang yang penting dalam pembentukan rasa dari kecap. Parameter warna kelompok C1 berwarna hitam dan hasil kelompok yang lain berwarna sangat hitam. Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek warna, dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang berbeda-beda, namun tetap berwarna hitam hingga sangat hitam. Hal ini sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) bahwa warna hitam pada kecap disebabkan reaksi browning antara gula pereduksi dengan asam amino. Gula jawa juga memiliki peran membentuk warna dalam pembuatan kecap karena reaksi Maillard dan karamelisasi. Dan ditambahkan menurut Kasmidjo (1990) warna coklat pada kecap akan semakin pekat bila kecap dimasak dengan suhu tinggi. Maka dapat diketahui perbedaan warna ini terdapat dari suhu pemanasan yang berbeda antar kelompok.

Untuk parameter kekentalan kelompok C3 dan C4 yaitu kental, sedangkan C1 dan C5 sangat kental. Menurut teori dari Kasmidjo (1990) bahwa seharusnya penambahan gula jawa akan meningkatkan nilai viskositas atau kekentalan dari kecap. Semakin banyak gula jawa yang dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap yang dihasilkan juga semakin meningkat. Karena pada praktikum ini penambahan gula jawa yang sama banyak maka dari factor gula jawa seharusnya tidak terlalu mempengaruhi perbedaan hasil. Lim et al(2009) dalam jurnalnya yang berjudul Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans juga menyatakan bahwa jumlah inokulum juga mempengaruhi kekentalan kecap. Dimana semakin banyak inokulum yang digunakan, maka kecap akan semakin kental. Hasil yang didapatkan kurang sesuai hal ini disebabkan karena perbedaan suhu dan lamanya pemanasan antar kelompok saat pemanasan terakhir, karena semakin tinggi dan lama pemanasan akan membuat kecap lebih kental juga.

4. 5. KESIMPULAN

Kecap adalah produk fermentasi dengan substrat padat yaitu kedelai Kecap memiliki ciri fisik cair , kental, berwarna coklat ekhitaman dan memiliki cita rasa yang khas Proses pengeringan dengan dehumidifier bertujuan untuk menurunkan kadar air pada kedelai sehingga kapang yang masih hidup akan dihambat pertumbuhannya akibat sedikitnya kandungan air pada kedelai Perendaman dengan garam bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang. Proses penjemuran dan pengadukan dimaksudkan untuk memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan larutan. Proses penyaringan bertujuan agar kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan. Gula jawa berguna untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan viskositas kecap, juga berfungsi untuk membentuk warna kecap menjadi coklat karamel melalui reaksi maillard dan karamelisasi. Lamanya waktu memasak dan jumlah gula jawa yang ditambahkan mempengaruhi citarasa kecap yang terbentuk Warna coklat pada kecap akan semakin pekat bila kecap dimasak dengan suhu tinggi dan penggunaan gula jawa dalam jumlah banya Semakin banyak gula jawa yang dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap yang dihasilkan juga semakin meningkat Semakin banyak inokulum yang digunakan, maka kecap akan semakin kental.

Semarang, 20 Juni 2015Asisten Dosen: Abigail Sharon Frisca Melia

Michael Gurdamulya12.70.0020

6. DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta. Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min, Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292305.

Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan.

Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee, I. and Imm, J.Y. 2009. Physicochemical Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food Chemistry.

Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2

Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Sarasvati, Tim. (2008). Rainbow Diet: 60 Resep Sajian Warna-Warni Lezat & Sarat Khasiat. Gramedia Pustaka Utama.

Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. 2007. Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract (BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.

Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wu, Ta Yeong; M.S. Kan; L.F. Siow; dan Lithnes Kalaivani P. 2010. Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce. African Journal of Biotechnoloy Vol. 8(4), pp. 673 681.

7. LAMPIRAN

7.1. Laporan Sementara7.2. Abstrak Jurnal