pengaruh fenomena enso terhadap asosiasi makrozoobenthos di selat lombok
DESCRIPTION
Fenomea enso, Makrozoobenthos, Arlndo, Terumbu KarangTRANSCRIPT
Nama : Puji Apriliantimaya
NPM : 230210130086
Keanekaragaman Makrozoobenthos pada Ekosistem Terumbu Karang di
Perairan Lombok Timur, Selat Lombok
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah perairan kepulauan di Indonesia memiliki keanekaragaman
sumberdaya. Sumberdaya alam yang terjaga dapat menjadi pendukung suatu
ekosistem di perairan tetap baik, sehingga dapat sebagai penyeimbang lingkungan
laut di Indonesia.
Ekosistem Terumbu Karang merupakan kekayaan alam terbesar yang ada di
Indonesia. Peranan terumbu karang bagi biota laut adalah sebagai tempat mencari
makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground), tempat pemijahan dan
sebagai tempat persembunyian. Dari segi ekologi terumbu karang berperan sebagai
pelindung pantai dan hempasan ombak.
Hewan bentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya
berada di dasar perairan baik sesil, merayap maupun menggali lubang. Hewan bentos
mempunyai peranan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik di
dalam perairan, serta menduduki beberapa tingkatan tropik dalam rantai makanan
(Odum, 1993; Lind, 1985).
Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup melata, menempel,
memendam dan meliang baik didasar perairan maupun di permukaan dasar perairan.
Makrozoobenthos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup pada
substrat keras sampai lumpur (Arief, 2003).
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di perairan Lombok
Timur, Selat Lombok
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Selat Lombok, Kabupaten Lombok Timur
Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu kabupaten diantara sembilan
Kabupaten/Kota di Propinsi Nusa Tenggara Barat, berada di sebelah timur Pulau
Lombok, dengan letak geografis antara 116° – 117° Bujur Timur dan 8° – 9° Lintang
Selatan. Luas wilayahnya tercatat 2.679,88 km2 , terdiri atas daratan seluas 1.605,55
km2 atau (59,91%) dan lautan seluas 1.074,33 km2 (40,09 %).
Secara administratif Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 Kecamatan, 13
kelurahan, 106 Desa, 772 lingkungan/dusun dengan batas administrasi sebagai
berikut:
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Tengah
Sebelah Timur : Selat Alas
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur (Sakernas
2009), persentase penduduk untuk 15 th ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha
seperti bidang pertanian (48,80%), di bidang industri pengolahan (13,46%), untuk
usaha perdagangan sebesar 17,15%, untuk bidang jasa-jasa (8,71%), bidang kontruksi
(2,80%), angkutan dan komunikasi (6,05%) dan lain-lainnya sebesar 3,03%.
Sebagian besar penduduk bermata pencaharian dibidang pertanian, perdagangan dan
jasa kerajinan. Dengan demikian dapat dikatakan masyarakat cendrung melakukan
kegiatan bertani atau berusaha membuka suatu usaha kecil seperti pengrajin
patung,anyaman bambu, tenun timbul dan upaya keahlian alami masyarakat; terutama
di wilayah terisolasi/terpencil meskipun demikian dapat memberikan keuntungan
bagi wilayah Lombok Timur.
Potensi pariwisata di Kabupaten Lombok Timur sangat menarik. Ternyata
banyak pesona keindahan alam yang masih terpendam di daerah ini seperti keindahan
terumbu karang yang terdapat pada beberapa gili dan beberapa pantai dengan
pemandangan yang alami dan eksotis. Berikut beberapa daerah yang kaya dengan
potensi alam dengan pemandangan yang indah seperti dibagian selatan Kabupaten
Lombok Timur yaitu Teluk Ekas, Teluk Serewe, kawasan Kaliantan, kawasan
Sungkun, kawasan Sunut, Pantai Surga, dan Pantai Cemara, Pantai Tanjung Ringgit
dan sekitarnya, yang berada di wilayah Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok
Timur. Objek-objek wisata tersebut memiliki panorama alam yang mengagumkan,
pemandangan taman laut yang mempesona dan keanekaragaman flora dan faunanya
serta beberapa objek berupa peninggalan sejarah.
2.2 Makrozoobenthos
Organisme bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau
tinggal didalam sedimen dasar. Organisme bentos meliputi organism nabati yang
disebut fitobentos dan organisme hewani disebut zoobentos (Odum, 1971).
Berdasarkan ukurannya maka organisme bentos dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yaitu makrozoobentos dan mikrozoobentos. Makrozoobentos adalah organism
yang tersaring oleh saringan bertingkat dengan ukuran 0,5 mm (Lind,1979 dalam
Ihlas, 2001), sedangkan Hutabarat dan Evans (1985) mengklasifikasikan zoobentos
menjadi tiga kelompok yaitu mikrofauna yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm,
meiofauna yang berukuran antara 0,1 mm dan makrofauna yang ukurannya lebih
besar dari 1,0 mm. Knox (1986 dalam ihlas 2001), mengklasifikasikan
makrozoobenthos berdasarkan cara makannya kedalam lima kelompok yaitu : Hewan
pemangsa, hewan penggali, hewan pemakan detritus yang mengendap dipermukaan,
hewan yang menelam makanan pada dasar, hewan yang sumber bahan makannya dari
atas permukaan. Kelompok pertama dan kedua sangat khusus ( tidak umum) dan
jumlahnya hanya sebahagian kecil dari makrozoobentos yang ada. Jenis yang
jumlahnya banyak pada daerah estuaria/mangrove adalah hewan yang makanannya
dari atas permukaan. Organisme penyaring makanan menyaring partikel kedalam air
yang adadipermukaan tanah contohnya bivalvia, polychaeta, sponge dan ascidians
yang terdiri dari organisme epifauna seperti amphioda, isopoda dan gastropoda yang
bergerak bebas dipermukaan memakan bahan organic yang kaya dengan partikel
detritalnya pada permukaan tanah. Jenis lain dari organisme seperti diatas adalah
organisme yang hidup didalam tanah tetapi makanannya berasal dari permukaan
tanah yang diantarannya beberapa jenis bivalvia (telinida) amphipoda, kepiting dan
beberapa jenis polychaeta.
Detritus menjadi kaya akan nitrogen dan fosfor karena jamur, bakteri dan
ganggang yang hidup diatas dan didalamnya. Oleh sebab itu , detritus merupakan
sumber pakan penting bagi banyak hewan pemakan detritus ( sperti udang, ketam dan
ikan ) yang ada gilirannya pemakan detritus itu akan dimakan oleh pemakan daging
sampai derajat yang berbeda-beda tergantung pada organism itu. Hewan pemakan
daging yang bergantung pada pemakan detritus secara langsung ataupun tidak
langsung akan bergantung pada pemakan detritus secara langsung maupun tak
langsung akan bergantung pada ganggang yang hidup sebagai plankton atau bentos.
Sangat boleh jadi mikro dan makro fauna dalam hutan bakau dan daerah pantai di
sekitarnya bergantung pada produks serasah dari hutan bakau (Ong et al.,1980 dalam
Whitten et al., 1987).
Sejalan dengan kebiasaan makannya, Odum (1971) membagi pula hewan
bentos atas : (a) Filter-feeder yaitu hewan yang menyaring partikel-partikel detritus
yang masi melayang-layang dalam perairan misallnya Balanus (Crustacea),
Chaetopterus (polychaeta) dan Crepudila (Gastropoda). (b) depositfeeder yaitu hewan
bentos yang memakan partikel-partikel detritus yang telah mengendap pada dasar
perairan misalnyaTerebella dan Amphitrile (Polychaeta), tellina dan Arba.
Distribusi hewan makrozoobenthos sangat ditentukan oleh sifat fisika, kimia
dan biologi perairan. Sifat fisika yang berpengaruh langsung terhadap hewan
makrozoobentos adalah kedalaman, kecepatan arus, kekeruhan, substrat dasar dan
suhu perairan. Sedangkan sifat kimia yang berpengaruh langsung adalah derajat
keasaman dan kandungan oksigen terlarut (Odum, 1971). Ditambahkan oleh krebs
(1978) dalam Ashari (1998) bahwa factor biologi perairan yang mempengaruhi
komunitas hewan bentos adalah kompetisi (persaingan ruang hidup dan makanan),
predator (pemangsa) dan tingkat produktivitas primer. Masing-masing factor biologi
tersebut dapat berdiri sendiri akan tetap ada kalanya factor tersebut saling berinteraksi
dan bersama-sama mempengaruhi kominitas pada suatu perairan.
Pengaruh fluktuasi factor-faktor fisis dan adaptasi yang demiliki secara
evolusioner ditentukan lebih lanjut oleh substrat dari pantai tersebut. Beberapa
organisme memilki organ pemegang untuk mempertahankan posisi mereka dari
hempasan gelombang disepanjang pantai berbatu. Banyak hewan pemangsa berada
disana dibandingkan hewan-hewan lainnya. Sepanjang pantai berpasir, organisme
sering mempunyai kemanpuan lebih untuk membuat lubang atau pembenaman diri
dalam pasir. Organisme yang menyesuaikan diri pada pantai-pantai berbatu harus
mampu melawan benturan fisis sedangkan organisme yang beradaptasi pada pantai
berpasirharus mempertahankan kehidupannya dalam kelompok matrik fisis
(perubahan lingkungan). Distribusi organisme dikedua habitat tersebut seringkali
menunjukkan suatu pengelompokan tertentu, yang menggambarkan sebahagian dari
kemanpuan mereka untuk melawan lingkungan fisis yang ekstim (Mc.Naughton,
1992 dalam Ihlas, 2001).
Makrozoobenthos yang mendiami zona intertidal cukup banyak jumlahhnya,
mereka hidup dan menyusuaikan diri dengan cara perubahan fisik maupun tingkah
laku. Beberapa contoh terlihat pada phylum Molusca. Organisme tersebut mampu
melakukan adaptasi dengan cara menggali lubang atau membenamkan diri pada pasir
sehingga ombak dan perubahan suhu akibat terjadinya surut tidak menjadi persoalan
bagi mereka (Nybakken).
2.3 Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang dapat ditemui di perairan jernih. Terumbu
karang terbentuk sebagai hasil dari kegiatan berbagai hewan laut
seperti kerang, siput, cacing,Coelenterata dan alga kapur (Halimeda). Hewan karang
sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena
mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut
Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan
simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam
jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa
organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang
menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk
keperluan hidup zooxanthellae. Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa
adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium
karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia
sebagai berikut:
Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu
menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira kira 10 kali
lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak
bersimbiose dengan zooxanthellae. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan
bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di
perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama
suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami
(pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan
global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan
karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%.
Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu
permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999)
bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland
run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan
terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara
(nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui
peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies
yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan
dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang
mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan
maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar
25 o C sampai 29 oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak
dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga
tipe umum yaitu :
Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di
perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga
tipe terumbu karang sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau
kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus.
Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai
pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami
kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan
dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam
untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai
dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang
yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet
disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang
penghalang.
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
Karang hermatipik
Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang
yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah
tropis. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat
hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik
positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal
dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.
Karang ahermatipik.
Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan
kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia.
Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya
simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis
algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang
terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis.
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang
struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
menentukan jenis atau spesies binatang karang. Disamping itu untuk hidup binatang
karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Nybakken,
1982). Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit)
padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari
alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang
mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu
karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting
atau hewan karang pembangun terumbu (reef building corals). Karang batu termasuk
ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai
stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia
(atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul,
morfologi dan fisiologi.
Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi
ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses
ekosistem sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang
terkait dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan
tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang
dibedakan :
1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi
masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan ekosistem
pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai
jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Menurut Munro dan William
dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada
kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton.
Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas
primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salam
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia
berasal dari daerah karang.
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan
mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun
dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi
sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung
sering merusak terumbu karang. Menurut Suprihayono (2000) beberapa aktivitas
pemanfaatan terumbu karang yaitu :
1) Perikanan terumbu karang
Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman
karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis
terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di
ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada
pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk
saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga
meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini
memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang.
Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang
efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik
penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung
lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti
pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak
karang.
2) Aktivitas Pariwisata Bahari
Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata
bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan
kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari
dari para investor lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat Badan
kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali dan Manado. Adapun tugas
badan ini diantaranya adalah
• Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembangan pariwisata .
• Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah
• Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.
• Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui agen-
agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau arganisasi tersebut lebih
mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam
laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal hal yang tidak
diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau carrying capacity
lingkungan laut.
3) Aktivitas Pembangunan Daratan
Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya
kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan
baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan,
intensifikasi pertanian, bersama-saa dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah
terumbu karang.
4) Aktivitas Pembangunan di Laut
Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan,
pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan pasir dan pengambilan
karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan
memebahayakan kehidupan terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur
pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi
minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu
karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Kegiatan
Kegiatan Monitoring keanekaragaman Makrozobenthos dan Tutupan
Terumbu Karang di Taman Nasional Taka Bonerate, pulau Tinabo Besar ini
dilaksanakan pada tanggal yang belum ditentukan dan dilaksanakan di perairan
Tinabo Besar
3.2 Alat dan Bahan
Alat:
1. GPS
2. Kamera Underwater
3. Perangkat survey fisika-kimia oseanografi : thermometer, DO Meter,
kompas, secchi disk, alat tulis menulis underwater.
4. Perangkat survey bio-ekologi oseanografi : alat selam/scuba set
(Regulator, mouth piece, BCD/ bouyancy compensator device, scuba tank,
console, pisau selam, sarung tangan, wetsuit dan senter) alat selam dasar
(masker, snorkel, fins), kompressor selam, kamera underwater, meteran,
kantung sampel, buku identifikasi makrozoobenthos dan karang, serta alat
tulis menulis underwater.
5. Perangkat analisis data dan pelaporan : komputer desktop, software
analisis data, dan alat tulis menulis
Bahan:
1. Buku/Literatur Pendukung
2. Peta Kerja
3.3. Prosedur Pengumpulan Data
3.3.1 Tahapan Kegiatan
1. Tahap Persiapan
Persiapan teknis materi penelitian meliputi :
1. Studi literatur menyangkut parameter yang akan diamati/diukur, metodologi
pelaksanaan survey, lokasi amatan, alat dan bahan survey, serta hal-hal terkait
lainnya.
2. Diskusi petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan kegiatan.
3. Pengumpulan data sekunder menyangkut kondisi fisika-kimia oseanografis
dan bio-ekologi oseanografis Kawasan Taka Bonerate.
4. Persiapan peta dasar yang menjadi pedoman di lapangan dalam menentukan
titik-titik pengamatan untuk pengukuran parameter lokasi penyelaman.
5. Persiapan peralatan dan bahan survei yang diperlukan di lapangan.
2. Tahap Survey/ Monitoring dan Pengambilan data
a. Survey Kondisi Fisika-Kimia Oseanografi.
Parameter yang diukur adalah kecepatan dan arah arus, visibility/kecerahan,
suhu perairan, kadar garam dan kandungan DO yang dilaksanakan secara insitu.
Pengukuran suhu dilakukan dengan mencelupkan thermometer ke permukaan
perairan. Suhu air merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap lingkungan
laut. Suhu air permukaan di perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 – 31 oC. Suhu air permukaan di perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28 –
31oC, dan suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada di lepas
pantai (Nontji, 1987).
Pengukuran salinitas dilaksanakan dengan menggunakan hand-refractometer
Salinitas adalah persentase dari bagian padat di dalam air laut. Biasanya besarnya
sekitar 30o/oo sampai 45 o/oo. Di perairan dangkal besarnya salinitas mudah sekali
berubah-ubah karena hujan atau masuknya air dari aliran sungai. (Nontji, 1987).
Visibility atau kecerahan diukur dengan menggunakan secchi disk/pinggan
secchi. Kecerahan diukur untuk mengetahui seberapa besar kekeruhan yang terdapat
di perairan
Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan DO meter portable
digital. Dissolved Oxygen (DO) adalah salah satu unsur yang paling penting dalam
suatu perairan alami. Ikan dan spesies hewan akuatik lainnya membutuhkan oksigen
dan suatu perairan harus memiliki minimal sekitar 2 mg/l oksigen terlarut untuk
menyokong kehidupan organisme tingkat tinggi, bahkan untuk ikan dan spesies
tertentu membutuhkan lebih dari 4 mg/l (Lung, 1993).
b. Survey Kondisi Bio-Ekologi Oseanografi.
Survey kondisi bio-ekologi dilaksanakan dengan melakukan pengambilan data
terhadap kondisi umum lokasi, kondisi ekosistem terumbu karang, ikan dan
avertebrata yang berasosiasi.
Metodologi yang dipergunakan terdiri atas dua tingkatan yaitu : metode manta
towing (English, S.C.; Wilkinson and Baker, V., 1997), lalu dilanjutkan dengan
metode reef check (Hodgson, G. 2000). Metode manta towing dilakukan untuk
mendapatkan gambaran umum tentang lokasi amatan serta untuk menentukan lokasi
yang akan diamati secara detail. Dan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu
karang, ikan dan avertebrata yang berasosiasi serta indikator kesehatan karang
lainnya. Metode ini diadopsi dari metodologi yang dikembangkan oleh Global Coral
Reef Monitoring Network, yang selanjutnya di modifikasi untuk disesuaikan dengan
kondisi dan peruntukan penelitian
3. Metode Reef Check
1. Penempatan Transek
Seluruh data Reef Check diambil dengan menggunakan metode transek garis
dengan teknik pencatatan point transek. Transek dipasang pada lokasi yang sudah
dipilih sebagai berikut
a. Pada Kedalaman 3 meter dan 10 meter dibentangkan roll meter 100 m di dasar
laut (diukur saat surut terendah) mengikuti garis kontur kedalaman dasar laut 3 m
& 10 m.
b. Masing-masing bentangan roll meter dibagi menjadi empat buah transek (transek
A, B, C dan D) yang panjangnya masing-masing 20 m.
c. Jarak antara ujung akhir transek dan ujung awal transek berikutnya adalah 5 m.
Sehingga, keempat transek tersebut panjangnya 95 m. (transek A mulai di meter 0
s/d meter ke 20, transek B mulai di meter ke 25 s/d meter ke 45, transek C mulai
dari meter ke 50 s/d 70 dan transek D mulai di meter ke 75 s/d meter ke 95).
d. Titik awal transek A dan titik akhir transek D harus ditandai dengan pelampung
dan dicatat koordinatnya dengan GPS. Setelah itu titik-titik tersebut diplotkan
kedalam peta navigasi daerah tersebut.
Gambar 1. Ilustrasi Pelaksanaan Metode Reef Check
2. Transek Pengamatan Makrozoobenthos
Teknik pengamatan Makrozoobentos dilakukan dengan metodologi sebagai
berikut :
a. Dilakukan dengan mencatat semua jenis Makrozoobentos dan hal-hal lain
yang dimasukkan dalam kriteria indikator.
b. Diperkirakan pengamatan dapat diselesaikan dalam 1 jam. Metode yang
digunakan adalah transek sabuk (belt transek).
c. Mencatat semua jenis bentos dan indikator yang terdalam dimensi transek
sabuk (2,5 m ke kanan dan kiri tali transek).
d. Makrozoobentos dan indikator Reef Check mesti dicari di setiap celah dan
lubang yang terdapat dalam dimensi transek, karena umumnya pada siang hari
mereka berada di persembunyiannya.
e. Pencatatan dilakukan dengan mencantumkan jumlah dari masing-masing jenis
makrozoobentos dan indikator yang ditemukan pada setiap transek dengan
tanda (I).
f. Beberapa makrozoobentos dan indikator juga perlu dicatat ukuran (cm),
spesies, dan jenisnya.
Semua jenis Makrozoobentos dan indikator Reef Check tercantum dalam daftar
berikut:
a. Udang pembersih/Banded Coral Shrimp (Stenopus hispidus)
b. Bulu babi/ Long-spined black sea urchins and pencil urchin - Diadema spp
and Heterocentrotus mammilatus.
c. Udang karang/ lobster (semua jenis yang dikonsumsi manusia)
d. Sampah/ trash (catat jenis dan ukuran)
e. Karang yang baru patah/ recently broken corals (catat penyebab : jangkar,
bahan peledak, penyakit dll dan luas kerusakan)
f. Kima/ giant clams (catat spesies dan ukuran)
g. Tripang/ sea cucumber
h. Bulu seribu/ crown-of-thorn starfish-Acanthaster planci
i. Triton terompet/ triton shell- Charonia tritonis
j. Penyu/ sea turtle (semua jenis)
c). Substrat Dasar Laut
Teknik pengamatan susbtrat dasar laut dilakukan dengan metodologi sebagai berikut :
a. Penyelam mencatat jenis substrat dengan metode sampling pada setiap
interval 0,5 m. Dengan kata lain, pencatatan substrat dilakukan pada meter ke
0 m, 0,5 m; 1,0 m; 1,5 m; 2,0 m; 2,5 m dan seterusnya pada roll meter hingga
transek A, B, C dan D terselesaikan.
b. Untuk mengurangi bias pengamatan dapat digunakan sebuah paku yang
digantungkan pada seutas tali. Paku ini digantungkan tepat diatas setiap titik
sampling. Penyelam tinggal mencatat jenis substrat yang ditunjukkan oleh
ujung paku.
c. Penyelam harus mencatat jenis substrat pada lembar pengambilan data di
dalam kolom 1. Substrate Point Sampling berdasar pada kriteria yang
dicantumkan dibawah ini dan cukup mencantumkan singkatan dari masing-
masing kriteria tersebut.
Kriteria dan singkatan Substrat :
a. Karang keras/ hard corals (HC)
Mencakup semua karang batu termasuk Millepora, Heliopora dan Tubiphora
b. Karang lunak/ soft coral (SC)
Termasuk Zoanthids tetapi tidak untuk Gorgonia dan Anemon (yang terakhir
termasuk dalam kriteria OT)
c. Karang mati/ Recently killed coral (RKC)
Karang mati dapat berupa karang yang masih utuh maupun yang sudah
menjadi puing-puing, tetapi masih kelihatan baru, lubang koralit masih jelas,
berwarna putih atau belum sepenuhnya ditumbuhi oleh lumut.
d. Nutrient indicator algae (NIA)
Penetapan kriteria ini untuk mencatat adanya pertumbuhan ganggang yang
berlebihan (blooming) akibat adanya pengkayaan zat hara (eutrofikasi).
Ganggang berkapur (coralline algae) tidak termasuk dalam kategori ini. Bila
bertemu ganggang yang memang merupakan bagian umum dari ekosistem
terumbu karang seperti sargasum harap dicatat spesiesnya dalam kotak
General remark
e. Spons/ Sponge (SP)
Termasuk semua jenis spons kecuali tunicata. Tetapi yang menjadi sasaran
utama adalah pertumbuhan spons yang mencakup kawasan yang luas
(blooming)
f. Batu/ rock (RC)
Substrat keras baik yang terlihat jelas maupun yang tertutup oleh lumut, teritip
atau organisme lain. Bongkahan yang berdiameter lebih dari 15 cm masih
masuk dalam kriteria ini.
g. Pecahan karang/ rubble (RB)
Bagian karang yang terfragmentasi menjadi potongan kecil-kecil.
h. Pasir/ sand (SD)
i. Lumpur/ silt (ST)
Substrat halus yang tetap menjadi suspensi bila teraduk.
j. Lain-lain/ others (OT)
Semua jenis organisme yang sesil termasuk Anemon, Tunicata, Gorgonia atau
jenis substrat yang lain termasuk dalam kriteria ini
Setiap data diisikan pada Lembar Transek Garis. Masukkan singkatan jenis
substrat pada kolom yang tepat di lembar data. Setiap segmen harus mempunyai 40
data.
Gambar 4 . Transek Garis pada Metodologi Reef Check
Gambar 5. Sampel dari Lembar Transek Garis pada Metodologi Reef Check
Pencatatan substrat di bawah
Pencatatan substrat di bawah
Pencatatan substrat di bawah
100 0 mjarak 5 m data tidak
100 meter
Pencatatan substrat di bawah
94.5jarak 5 m data tidak
jarak 5 m data tidak
75 m69.5 50 44.5 25 19.5 jarak 5 m data tidak
d). Lain – lain
Dokumentasi
3.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data
Tahapan Analisis data dilakukan dengan :
1. Analisis data kondisi data susbtrat dasar perairan
Data substrat, dianalisis dengan menghitung rata-rata kemunculan dan
frekuensi kemunculan setiap kategori substrat dasar perairan pada tiap
transek, yang selanjutnya di presentasikan dalam bentuk grafik batang .
Analisis dilakukan untuk mengetahui tingkat “baik buruknya” suatu ekosistem
terumbu karang ditentukan oleh tinggi-rendahnya nilai persentase tutupan
karang.
Data yang diambil diolah dengan program life form (Exel) dengan analisis
sebagai berikut:
Luas tutupan suatu jenis
Persen Tutupan : x 100 %
Luas tutupan semua jenis
SEGMEN 1 SEGMEN 2
0 - 19.5 m 25 - 44.5 m
0 RC 10 HC 25 RKC35 SI
0.5 SC 10.5 RC 25.5 NIA 35.5 RC
1 SC 11 SP 26 RC 36 OT
1.5 RC 11.5 NIA 26.5 RC 36.5 RB
Kriteria kerusakan terumbu karang yang digunakan adalah sebagai berikut:
% Tutupan Karang
HidupKriteria
0 – 24.9 Rusak Berat
25 – 49,9 Rusak Sedang
50 – 74,9 Baik
75 - 100 Baik Sekali
Sumber : Sukarno (1993) dan Keputusan Mentri Lingkungan Hidup No.04 (2001)
2. Analisis data kondisi data makrozoobentos
a. Komposisi Jenis (KJ)
Penghitungan komposisi jenis ikan karang untuk masing-masing kelompok
makrozoobentos diperoleh dengan menggunakan rumus Odum (1971) yang
dimodifikasi, sebagai berikut:
dimana: KJ = komposisi jenis (spesies)
si = jumlah spesies yang muncul dalam satu stasiun
S = total jumlah spesies yang diperoleh pada seluruh stasiun
Untuk penghitungan indeks keragaman meliputi indeks keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi diperoleh melalui rumus dalam Magguran
(1988)
b. Indeks Keanekaragaman (H’)
KJ=si
Sx100 %
H '=−∑ p i ln p i
dimana : H’ = indeks keanekaragaman
pi = proporsi jumlah individu dari total individu dalam suatu spesies
(ni/N)
c. Indeks Keseragaman (E)
dimana : E = indeks keseragaman
H’ = indeks keanekaragaman
S = jumlah spesies
d. Indeks Dominansi (D)
dimana : D = indeks dominansi
n = jumlah individu dalam suatu spesies
N = total jumlah seluruh individu dalam suatu kelompok ikan
Setelah analisis persentase pada setiap lokasi, dilakukan perbandingan data
pada setiap lokasi, sehingga menghasilkan informasi mengenai perbedaan lokasi
peningkatan dan penurunan kualitas kesehatan karang dan kuantitas kelimpahan
makrozoobentos. Untuk mengetahui segala perbedaan terhadap kondisi ekosistem
terumbu karang
3. penyajian data perbandingan dalam bentuk grafik gambar.
E= H 'ln S
D=∑ n(n−1)N ( N −1)