stemi
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
STEMISanti Prima Nathasya
102011143
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna No. 6, Jakarta Barat.
Syndrom Koroner Akut adalah suatu kegawat daruratan jantung akibat fase akut dari
iskemia miokard yang disertai dengan berbagai derajat obstruksi pada perfusi miokardial.
Kejadiannya mencapai 1,1juta kasus / tahun dan sekitar 40% penderita mengalami kematian
(US). Di Indonesia, penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian utama.
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya keadaan ini adalah merokok, tekanan darah
tinggi, peninggian nilai kolesterol didarah, kegemukan stress, diabetes mellitus dan riwayat
keluarga yang kuat untuk Penyakit Jantung Koroner (6,8). Dengan bertambahnya umur
penyakit ini akan lebih sering ada. pria mempunyai resiko lebih tinggi dari pada wanita, tetapi
perbedaan ini dengan meningkatnya umur akan makin lama makin kecil
Syndrom Koroner Akut terbagi atas 3 jenis, yakni STEMI (ST Elevasi Miokardial
Infark), NSTEMI (Non ST Elevasi Miokardial Infark), dan UAP (Unstable Angina Pectoris).
Skenario 4
Seorang perempuan berusia 50 tahun datang diantar anaknya ke IGD RS dengan keluhan nyeri dada kiri yang muncul tiba-tiba dan menjalar ke lengan kiri sejak 3 jam yang lalu. Nyeri dirasakan sedikit berkurang saat beristirahat namun akan terus-menerus muncul kembali dan semakin memberat. Keluhan tidak disertai demam atupun batuk. Sebelumnya pasien njuga merasakan nyeri dada kiri, namun tiak terlaluy sakit dan hanya berlangsung sekitar 5 menit saja.
PF:
Hasil EKG :
A. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
dahulu, rowayat obstetric dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga,
anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya,
kebiasaan, obat-obatan, lingkungan). Pada pasien usia lanjut perlu pula dievaluasi status
fungsionalnya. Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang surut kesehatannya,
termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya.1
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jnatung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri
dada yang berasal dari jnatung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari coroner
ataubuka. Pperlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor risiko anatar lain hipertensi, DM, dslipdemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebleum terjadi STEMi, seperti
aktivitas fisik berta, stress, emosi, atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.
b. Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi neri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien ifark anterior
mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia atau hipotensi) dan
hampr setengah pasien infark nferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis
(bradikardia dan hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungso ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan inensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi
apartus katup mitral dan pericrdial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38oC dapat
dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
c. Penunjang
1. EKG (Electrocardiogram)
Saat ini pemeriksaan jantung tanpa EKG dianggap tidak cukup. Beberapa kelainan
jantung sering hanya diketahui melalui pemeriksaan EKG saja. Tetapi sebaliknya juga jangan
memberikan penilaian yang berlebihan pada hasil pemeriksaan EKG dan mengabaikan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keadaan pasien harus diperhatikan secara keseluruhan,
misalnya umur, jenis kelamin, berat badan, tekanan darah, obat-obatan yang diminum, dan
sebagai nya. EKG adalah pencatatan grafis potensial listrik yang ditimbulkan oleh jantung
pada waktu berkontraksi.6
EKG adalah rekaman potensial listrik yang timbul sebagai akibat aktivitas jantung.
Yang dapat direkam adalah aktivitas listrik yang timbul pada waktu otot-otot jantung
berkontraksi. Sedangkan potensial aksi pada sistem induksi jantung tak terukur dari luar
karena terlalu kecil. Aktivitas listrik tersebut didapat dengan menggunakan elektroda di kulit
yang dihubungkan dengan kabel ke mesin EKG.6,7
Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan baku
25mm/detik dan defleksi 10mm sesuai dengan potensial 1 mV.
2. Cor Angiografy
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung
dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan
pada arteri koroner. Dokter memasukan kateter melalui arteri pada lengan atau paha menujua
jantung. Prosedur ini dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi
koroner.
Zat kontras yang terlihat melalui sinar x diinjeksikan melalui ujung kateter pada aliran
darah. Zat kontras itu memingkinkan dokter dapat mempelajari aliran darah yang melewati
pembuluh darah dan jantung.
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dapat dilakukan
untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent
(pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.
3. Test Darah
Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-protein tertentu
keluar masuk aliran darah.
Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai setelah 6-8
jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah
24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat dideteksi sampai dengan 2
minggu.
Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan
klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T.
Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain
ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal. Troponin T & I
merupakan protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung, terutama Troponin
T (TnT).
Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama; peningkatan
bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.
B. Diagnosis
a. Working Diagnosis
STEMI merupakan syndroma klinis yang terjadi karena oklusi akut arteri koroner
akibat thrombosis intrakoroner yang berkepanjang3an sebagai akibat rupture plak
arterosklerosis pada dinding koroner epikardial. Kerusakan miokard tergatung pada :7
Letak dan lama sumbatan aliran darah
Ada atau tidak kolateral
Luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.
Diagnosis STEMI ditegakkan dengan dengan ditemukan 2 dari criteria diagnostic
berupa adanya nyeri dada yang khas, gambaran EKG (adanya elevasi ST minimal dalam 2
sadapan prekordial), atau adanya kenaikan enzim yang bermakna.8
Riwayat nyeri dada / perasaan tidak nyaman yang bersifat substernal, lamanya lebih
dari 20 menit, tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat, disertai penjalaran, mual,
muntah, dan keringat dingin. Elevasi segmen ST >1mm pada 2 sadapan prekordial atau
sektremitas yang berhubungan. Peningkatan enzim jantung (CKMB, Troponin), namun hasil
pemeriksaan enzim tersebut tidak perlu ditunggu untuk memulai terapi reperfusi.7
b. Differential Diagnosis
Perikarditis adalah peradangan pericardium parietal, pericardium visceral, atau kedua-
duanya. Disebabkan oleh adanya infeksi virus, infeksi bakteri spesifik atau nonspesifik,
uremia, trauma, sindrom pascainfark miokard, sindrom pasca perikardiotomi, neoplasma, dan
idiopatik.9 Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam, retrosternal atau sebelah
kiri. Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan. Keluhan lainnya rasa sulit bernapas
karena nyeri pleuritik di atas atau arena eusi perikard.,
Pemeriksaan jasmani didapatkan friction rub presistolik, sistolik atau diastolik. Bila
efusi banyak atau cepat terjadi, akan didapatkan tada tamponad. Elektrokardiografi
menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T umumnya ke atas, tetapi bila ada miokarditis
akan ke bawah (inversi).
Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi erikard). Foto paru dapat normal
atau menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC, dll.)
Pemeriksaan laboraturium yang dianjurkan : Leukosit, ureum, kreatinin, enzim
jantung, mikrobiologis parasitologis, serologis, virologis, patologis dan imunologis untuk
mencari penyebab peradangan dari sediaan darah, cairan perikard atau jaringan biopsi
perikard.
Elektrokardiografi diharapkan untuk :
1. Menunjukkan efusi perikard, perkiraan jumlah dan lokasinya.
2. Menilai kontrktilitas ventrikel kiri (akan teranggu bila ada miokarditis)
3. Membedakan perikarditis dengan infark jantung
Pada pemeriksaan EKG ditemukan elevasi segmen ST, depresi segmen PR, dan sinus
takikardi. Setelah beberapa waktu dapat ditemukan inverse gelombang T. sebagai komplikasi
dapat ditemukan aritmia supraventikular, termasuk fibrilasi atrium. Foto thorax tampak
normal bila efusi perikard hanya sedikit, tapi bila banyak dapat terlihat bayangan jantung
membesar seperti botol air. Adanya inflamasi dapat diketahui dari peningkatan LED dan
leukositosis. Pemeriksaan lain dilakukan atas dasar indikasi bila terdapat kecurigaan
mengenai etiologinya. 9
Terapi bergantung dari penyebabnya. Misalnya diberikan salisilat atau obat
antiinflamasi nonsteroid apabila penyebabnya virus atau idiopatik. Bila gejala tidak membaik,
dapat diberikan kortikosteroid. Sebagian besar kasus sembuh sendiri dalam beberapa minggu.
Sebagian kambuh kembali, hanya sedikit yang menjadi kronik, dan jarang yang menjadi
perikarditis konstriktif bila berasal dari virus. 9
Penatalaksanaan
Semua penderitas perikarditis akut harus dirawat untuk menilai/observasi timbulnya
tamponad (1 dalam 10 perikarditis akut) dan membedakannya dengan infark jantung akut.
Ekokardiografi diperlukan untuk mengira banyaknya efusi perikard.
OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dipakai sebagai dasar pengobatan
medikamentosa (mengurangi rasa sakit dan anti-inflamasi). Kortikosteroid (prednisolon oral
60mg/hari) diperlukan bila sakitnya tidak teratasi dengan OAINS. Pungsi perikard dilakukan
untuk tindakan diagnostik. Bila timbul tamponad, maka pungsi perikard dilakukan sebagai
tindakan terapi. Perikarditis rekurens (non-bakterial/virus yang dibuktikan dengan PCR)
dapat diobati dengan kolkisin 1mg-2mg/hari.
Patogenesis
Salah satu reaksi radang pada perikarditis akut adalah penumpukan cairan (eksudasi)
di dalam rongga perikard yang disebut sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik efusi
perikard ditentukan oleh jumlah dan kecepatan pembentuka cairan perikard. Efusi yang
banyak atau timbul cepat akan menghambat engisian ventrikel, penurunan volume akhir
diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenint berkurang, kompensasinya adlaah
takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis akan menyebabkan gangguan sirkulasi dengan
penurunan tekanan darah serta gangguan perfusi organ dengan segala akibatnya yang disebut
sebagai tamponad jantung. Bila reaksi radang ini berlanjut terus, perikard mengalami fibrosis,
jaringan parut luas, penebalan, kalsifikasi dan juga terisi eksudat, yang akan menghambat
proses diastolik ventrikel, mengurangi isi sekuncup dan semenit serta mengakibatkan
kongesti sistemik (perikarditis konstriktifa).
Angina Pektoris tak stabil
Yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu :
1. Pasien dnegan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat
dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
2. Pasien dengan angina yang makn bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu
serangan angina timbul lebih seirng, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan
faktor presipitasi makin ringan.
3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan America Heart Association
(AHA) perbedaan angna tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI=non ST
elevaton myocardial infartion) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan miokardium, sehinga adanya petanda kerusakan pada miokardium
dapat diperiksa.
Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sdangkan tak aa
kenaikan troponihn maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia,
seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T
yang negatif. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal
serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.
EKG
Pemeriksaan EKG sangat penting bak untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya
iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perunahan
gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5 mm dan
gelombang T negatif kurang dari b2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada angina tak stabil 4 % mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6
% EKG juga normal.
Uji latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi
perl pemeriksaan exercise test dengan alat treadmll. Bila hasilnya negatif maka prognosis
baik. Sednagkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang
dalam, dianjurkan untuk dilakuakn pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan
pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi kardiovaskular dalam waktu
mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara
langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral
dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Ekokardiografi stress juga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium.
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan troponin T dan I dan pemeiksaan CK-MB telah diterima sebagai petanda
penting dalam diagnosis SKA. Meurut European Society of Cardiology (ESC) dan ACC
dianggap ada mionekrosis bila troponin T dan positf dalam 24 jam. Troponin tetap positif
sampai 2 minggu. Risiko kematian bertamabh dengan tingkat kenaikan tropinin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal tapi
berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali
normal dalam 48 jam.
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain
seperti amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.
Penatalaksanaan
Tindakan umum
Pasien perlu perawatan di RS, sebaiknya di unti ntensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen; pemberian mrfin atau petidin perlu
pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin
Terapi medikamentosa
1. Obat anti iskemia : nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium, obat antiagregasi
trombosit, aspirin, tiklopidin, klopidogrei, inhibitor likoprotein Iib/IIIa
2. Obat antitrombin
NSTEMI
Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(non ST elevation myocardal infraction = NSTEMI) diketahui merupakan suatu
kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dangambaran klinis sehingga pada prinsinya
penatlaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI dtegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan
biomarker jantung.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri dada.
Patfis
Evaluasi klinis
Ekg
Biomarker kerusakan miokard
Serum kreatinin
penatalaksanaan
C. Etiologi
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima bermula berupa
bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi, pendarahan, kalsifikasi dan
trombosis. Perjalanan dalam kejadian aterosklerosis tidak hanya disebabkan oleh faktor
tunggal, akan tetapi diberati juga banyak faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok,
kadar gula darah yang abnormal.10
D. Patofisiologi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadaksetelah oklusi thrombus pada plak aterosklerosis
yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak menimbulkan STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang
waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh factor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid.11
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture, atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Penelitian histologist menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. 11
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan meproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setalah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuan asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti factor von Willebrand (cWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agrerasi. 11
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel emdotel yang rusak.
Factor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. 11
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai
penyakit inflamasi. 11
E. Manifestasi Klinik
Pada STEMI ditemukan gejala klinis berupa pasien tampak pucat, berkeringat, dan
gelisah akibat aktivitas simpatis berlebihan. Pasien juga tampak sesak. Demam derajat sedang
(< 38 C) bisa timbul setelah 12-24 jam pasca infark.
Sinus takikardi (100-120 x/mnt) terjadi pada sepertiga pasien, biasanya akan
melambat dengan pemberian analgesic yang adekuat. Denyut jantung yang rendah
mengindikasikan adanya sinus bradikardi atau blok jantung sebagai komplikasi dari infark.
Peningkatan TD mmoderat merupakan akibat dari pelepasan kotekolamin. Sedangkan jika
terjadi hipotensi maka hal tersebut merupakan akibat dari aktivitas vagus berlebih, dehidrasi,
infark ventrikel kanan, atau tanda dari syok kardiogenik.
Pada pemeriksaan jantung, terdangar bunyi jantung S4 dan S3 , atau mur-mur. Bunyi
gesekan perikard jarang terdengar hingga hari ke dua atau ketiga atau lebih lama lagi (hingga
6 minggu) sebagai gambaran dari sindrom Dressler.
Pada pemeriksaan, ronkhi akhir pernafasan bisa terdengar, walaupun mungkin tidak
terdapat gambaran edema paru pada radiografi. Jika terdapat edema paru, maka hal itu
merupakan komplikasi infark luas, biasanya anterior.
Gambaran EKG terlihat elevasi egmen ST > 0,1 mv pada 2 atau lebih sadapan
ekstremitas. Biasa ditemukan inverse dari gelombang T.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal (depresi ST) V1 – V6,
I, aVLLateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II,
III, aVF, terutama gelombang R pada V1 – V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior
Enzim jantung meningkat 2x dari nilai batas atas normal.
F. Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian
dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan
terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.
a. Tatalaksana awal di ruang emergency (10 menit pertama saat kedatangan) 7
1. Tirah baring (bed rest total)
2. Oksigenisasi
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri kurang
dari 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jam pertama.
3. Aspirin 160 – 325mg (dikunyah)
4. Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri
5. Clopidogrel 300mg peroral (jika sebelumnya belum pernah diberi)
6. Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat
7. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan reperfusi
miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi < 12jam
b. Tatalaksana di ruang perawatan intensif (24jam pertama saat datang) 7
1. Monitor kontinu 24jam
2. Nitrogliserin
Nitrat oral short acting SL tiap 5 menit untuk mrngatasi nyeri dada. Pemberian
intravena kotinu pada keadaan gagal jantung, hipertensi, atau tanda-tanda iskemi
menetap.
3. Aspirin
Aspirin kunyah 162 – 325 mg diberi jika belum pernah diberikan, selanjutnya 75 –
162 mg sehari.
4. Clopidogrel
Loading clopidogrel 300mg per oral dilanjutkan 75mg sehari. Pasien pasca PCI,
clopidogrel diberi berdasarkan jenis stent ; bare metal stent diberi minimum 1 bulan,
dan drug eluting stent diberi minimum 12 bulan.
5. Beta Bloker
Diberi bila tidak ada kontraindikasi dan dilanjutkan hingga dosis optimal. Kontra
indikasi pemberian beta bloker berupa terdapatnya tanda-tanda gagal jantung akut,
hipotensi, meningkatnya resiko syok kardiogenik, serta kontra indikasi relatif lainnya
(PR interval > 0,24 detik, blok AV dua atau tiga, ataua asma bronkial aktif atau
kelainan saluran nafas reaktif)
6. ACE inhibitor
Diberi pada pasien dengan infark anterior, kongesti paru, atau EF < 40% jika tidak
terdapat tanda-tanda hipotensi (TD sistolik < 100 mmHg atau < 30mg dari baseline)
atau terdapat kontraindikasi.
7. Angiotensin Receptor Bloker (ARB)
ARB diberikan apabila pasien intoleran ACE inhibitor.
8. Heparinisasi
Diberi pada keadan infark anterior luas, resiko tinggi trombosis, fungsi LV buruk,
fibrilasi atrial, dugaan trombus intrakardiak, onset STEMI > 12jam tanpa
revaskularisasi.
9. Pengobatan nyeri
Morfin sulfat IV dapat diberikan dengan dosis 2 sampai 4mg dengan interval 5 – 15
menit. Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) harus dihentikan dan
dihindari.
10. Anti anxietas
Diberikan sesuai penilaian di ruang perawatan.
11. Pencahar
12. Laboratorium
Pemeriksaan biomaker kardiak, darah lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin.
c. Invasif8
1. PCI (Percutaneus Coronary Intervention). Intervensi koroner perkutan, biasanya
angioplasty dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini
efektif dalam mengenmbalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa
jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer
lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), resiko
perdarahan menigkat , atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 – 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun
demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersediannya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. 7
2. CABG (Coronary Artery Bypass Graft)
Selama bertahun-tahun vena safena merupakan donor tandur alih, tetapi angka
patensi media arterial yang lebih baik (misalnya arteri torakalis interna) menyebabkan
banyak pasien menerima paling tidak satu tandur alih arterial. Mortalitas perioperatif
dini untuk CABG elektif sekitar 1-3%.12
Setelah pembedahan yg sukses, 75 – 90% pasien bebas angina. Tandur alih vena
mengalami oklusi dengan laju 2- 5% per tahun, sementara patensi tandur alih arteri
torakalis interna kiri untuk LAD (Left Anterior Descending) > 95% dalam 10tahun. 12
Pada kelompok pasien dengan anatomi koroner resiko tinggi, CABG memperbaiki
prognosis.
3. Angioplasti / Stent Koroner
Awalnya PTCA digunakan untuk terapi lesi tunggal, proximal, pendek, jelas, tidak
terklasifikasi pada arteri besar (diameter > 3 mm). PTCA dilakukan di RS dengan
fasilitas bedah di tempat karena adanya resiko penutupan pembuluh darah mendadak
setelah dilatasi yang berhasil pada 5% pasien.12
PTCA efektif dalam mengurangi atau menghilangkan serangan angina pada
pasien tertentu dengan lesi yang cocok untuk dilatasi balon.
G. Preventif
Beberapa tindakan yang harus dilakukan adalah :7
♥ Berhenti merokok
♥ Kontrok Tekanan Darah
Target : <140/90 mmHg atau 130/80 mmHg (penderita DM aau gagal ginjal kronik).
♥ Manajemen Lipid
Target : LDL < 100 md/dl, TG , 150 mg/dl, HDL > 40 mg/dl.
♥ Aktifitas fisik
Target : Minimal 30menit per hari, 3-4x per minggu.
♥ Manajemen Berat Badan
Target : IMT 18,5 – 24,9 kg/m2. Lingkar pinggang < 35 inci (wanita) dan < 40 inci
(laki-laki).
♥ Manajemen Diabetes
Target : HbA1C < 7%.
♥ Antiplatelet / Antikoagulan
- Aspirin 75 – 162 mg / hari seumur hidup.
- Clopidogrel 75 mg/ hari selama 9 – 12 bulan terutama setelah pemasangan drug
eluting stent, serta sebagai alternative bila kontraindikasi aspirin.
- Warfarin (INR 2,5 – 3,5) bila terdapat indikasi atau kontraindikasi terhadap
aspirin maupun clopidogrel.
♥ Penghambat Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
- Ace Inhibitor diberi seumur hidup pada pasien infark enterior, riwayat infark
sebelumnya, killip klas 2, EF < 40%.
- ARB : pasien dengan gagal jantung yang intoleran terhadap ACE inhibitor.
- Penghambat Aldosteron : pasien tanpa gangguan fungsi ginjal yang signifikan dan
hiperkalemia yang sudah mendapat ACE inhibitor dengan dosis optimal, EF <
40%, dengan DM atau gagal jantung.
♥ Beta Bloker
- Diberi pada semua pasien, bila tidak terdapat kontarindikasi.
- Pada pasien dengan gagal jantung pilihannya carveilol, metoprolol, dan
bisoprolol.
♥ Nitrat
Nitrat kerja jangka pendek diberi pada tiap pasien untuk digunakan bila terdapat nyeri
dada. Obat anti iskemi yang diberi selama perawatan di RS hendaknya tetap diberikan
setelah pasien dipulangkan pada pasien-pasien :
- Tanpa tindakan revaskularisasi koroner
- Dengan tindakan revaskularisasi koroner yang tidak berhasil
- Dengan keluhan berulang meskipun telah menjalani revaskularisasi
♥ Pemsangan ICD (Implantable Cardiac Defibrilators)
Dipertimbangkan dipasang pada pasien yang meskipun dengan terapi medika mentosa
yang optimal, memiliki fungsi ventrikel kiri yang buruk (EF < 30%)
H. Prognosis
Terdapat beberapa system untuk menentukan prognosis pasca IMA:11
a. Klasifikasi KILLIP : berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana ; S3 gallop,
kongesti paru, dan syok kardiogenik.
b. Klasifikasi FORRESTER : berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan
pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).
c. TIMI risk score : adalah sistem prognostic paling akhir yang menggabungkan anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.
Risk Score untuk IMA dengan elevasi ST (STEMI)
Faktor Resiko (Bobot) Skor Resiko / Mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 th (2 poin) 0 (0,8)
Usia > 75 th (3 poin) 1 (1,8)
Diabetes mellitus / hipertensi atau angina (1poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100mmHg (3 poin) 3 (4,4)
Frekuensi Jantung > 100mmHg (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat < 67kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu k reperfusi > 4 jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor risiko = total poin (0 – 14) >8 (35,9)
I. Epidemiologi
Ketika terapi hanya untuk angina adalah nitrogliserin dan keterbatasan aktivitas,
pasien dengan angina yang baru didiagnosa mengalami kejadian 40% dari MI dan tingkat
kematian 17% dalam waktu 3 bulan. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa tingkat
kematian 30 hari dari ACS telah menurun sebagai pengobatan telah meningkat, yang
signifikan secara statistik 47% penurunan angka kematian relatif dalam 30-hari antara
ACS yang baru didiagnosa 1.987-2.000.Penurunan tingkat kematian dikaitkan dengan
aspirin, glikoprotein (GP) IIb / IIIA blocker, dan revaskularisasi koroner melalui
intervensi medis atau prosedur.
Insiden dari IMA tidak diketahui, namun sekitar 150.000 kematia akibat PJK terjadi
di Inggris tahun 1995. Insiden dan mortalitas IMA membaik seiring waktu sebagai hasil
dari usaha-usaha yang ditargetkan pada pencegahan primer dan pengurangan factor
risiko, kesadaran pasien, tenaga paramedic ambulans, unit perawatan koroner, terapi obat,
trombolisis, rehabiltasi, stratifikasi pasca infark dan revaskularisasi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pasien dengan keterangan sesuai kasus menderita STEMI berdasarkan adanya 2 dari 3
kriteria diagnostic pasti berupa nyeri dada yang khas serta adanya elevasi segmen ST pada
pemeriksaan EKG..
Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran darah (membawa 02 dan
makanan) yang dibutuhkan miokard agar dapat berfusi dengan baik. Penyakit Jantung
Koroner adalah salah satu akibat utama arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah nadi)
yang dikenal sebagai atherosklerosis. Pada keadaan ini pembuluh darah nadi menyempit
karena terjadi endapan-endapan lemak (atheroma dan plaques) pada dindingnya.
Faktor-faktor resiko untuk terjadinya keadaan ini adalah merokok, tekanan darah
tinggi, peninggian nilai kolesterol didarah, kegemukan stress, diabetes mellitus dan riwayat
keluarga yang kuat untuk Penyakit Jantung Koroner. Dengan bertambahnya umur penyakit
ini akan lebih sering ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
2. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Pengambilan Anamnesis Kardiovaskuler.
Lectures Notes Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan Erlangga ; 2003. H. 1 – 2.
3. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 29.
4. Pemeriksaan umum dalam buku diagnosis fisis pada anak ; Editor, Iskandar Wahidayat,
Corry S. Matondang, Sudigdo Sastrasmaro; Jakarta: Balai penerbit FKUI , 1991.
5. Makmun L, Abdurachman N. Pemeriksaan Fisis Jantung. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 65-8.
6. Pratanu S, Yamin M, Harun S. Elektrokardiography. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 1523-43.
7. Dr. Dharma S. Sistem Intepretasi EKG. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2010.
h. 7-9, 78-85.
8. Kurniadhi D. Sindrome Koroner Akut. Jakarta : Modul Blok 19 Cardiovaskular System 2
FK UKRIDA ; 2010. h. 1-5.
9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1.
Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1999. h. 457.
10. Djohan B. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Jurnal. Sumatera
Utara. 2008
11. Alwi I. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 1741-54.
12. Gray.H, Dawkins.K, Morgan.J, Simpson.I. Penyakit Jantung Koroner. Lectures Notes
Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Penerbitan Erlangga ; 2003. H. 132-4.