stabilitas literatur

4
Minyak Goreng Minyak goreng adalah hasil akhir (refined oils) dari sebuah proses pemurnian minyak nabati (golongan yang bisa dimakan) dan terdiri dari beragam jenis senyawa trigliserida. Dalam penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng (Ketaren, 1986). Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi ± 170-180º C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerasi yang menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bahan penggoreng. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak karena pemanasan suhu tinggi, disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi. Kerusakan ini dapat diuji dengan pengujian bilangan FFA, bilangan peroksida dan uji kejerniahan minyak. Menurut Lawson (1995), pada saat minyak dipanaskan akan terjadi perubahan sifat fisiko kimia dari minyak. Penentuan stabilitas miyak dan lemak dapat ditentukan baik secara fisik dan kimia. Reaksi penting pada minyak dan lemak adalah reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi, dan pembentukan warna (Lawson, 1995). Perubahan sifat kimia yang terjadi menyebabkan kenaikan kandungan asam lemak bebas hasil reaksi hidrolisis, penurunan asam lemak tak jenuh, dan kenaikan bilangan peroksida yang berhubungan dengan kerusakan minyak. Menurut Choe dan Min (2007), selama proses pemanasan reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi akan menyebabkan minyak berasap, berbusa, dan meninggalkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai. Proses Menggoreng Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak. Penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177-201ºC, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno 1999). udara merupakan faktor utama penyebab kerusakan minyak goreng, kontak antara udara dengan minyak sulit dihindarkan. Pada waktu proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada permukaan minyak dalam ketel, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak akibat peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan minyak. Aerasi udara secara berlebihan selama proses penggorengan harus dihindarkan untuk mengurangi proses oksidasi. Zat menguap tersebut harus dicegah agar tidak berkondensasi di atas permukaan minyak dan kembali menetes ke dalam minyak goreng dalam ketel (Ketaren 2005). Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca penggorengan

Upload: lathifah-nurul

Post on 12-Apr-2016

4 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

minyak lemak

TRANSCRIPT

Page 1: Stabilitas Literatur

Minyak GorengMinyak goreng adalah hasil akhir (refined oils)

dari sebuah proses pemurnian minyak nabati (golongan yang bisa dimakan) dan terdiri dari beragam jenis senyawa trigliserida. Dalam penggorengan, minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng (Ketaren, 1986).

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi ± 170-180º C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerasi yang menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bahan penggoreng. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak karena pemanasan suhu tinggi, disebabkan oleh proses oksidasi dan polimerisasi. Kerusakan ini dapat diuji dengan pengujian bilangan FFA, bilangan peroksida dan uji kejerniahan minyak.

Menurut Lawson (1995), pada saat minyak dipanaskan akan terjadi perubahan sifat fisiko kimia dari minyak. Penentuan stabilitas miyak dan lemak dapat ditentukan baik secara fisik dan kimia. Reaksi penting pada minyak dan lemak adalah reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi, dan pembentukan warna (Lawson, 1995). Perubahan sifat kimia yang terjadi menyebabkan kenaikan kandungan asam lemak bebas hasil reaksi hidrolisis, penurunan asam lemak tak jenuh, dan kenaikan bilangan peroksida yang berhubungan dengan kerusakan minyak. Menurut Choe dan Min (2007), selama proses pemanasan reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi akan menyebabkan minyak berasap, berbusa, dan

meninggalkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai.

Proses MenggorengMenggoreng adalah suatu proses untuk memasak

bahan pangan menggunakan lemak atau minyak. Penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177-201ºC, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno 1999). udara merupakan faktor utama penyebab kerusakan minyak goreng, kontak antara udara dengan minyak sulit dihindarkan. Pada waktu proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada permukaan minyak dalam ketel, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak akibat peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan minyak. Aerasi udara secara berlebihan selama proses penggorengan harus dihindarkan untuk mengurangi proses oksidasi. Zat menguap tersebut harus dicegah agar tidak berkondensasi di atas permukaan minyak dan kembali menetes ke dalam minyak goreng dalam ketel (Ketaren 2005). Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca penggorengan

Stabilitas MinyakMutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh

komponen asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Menurut Stier (2003), trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar 94-96% asam lemak. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan.

KRITERIA UJI SATUAN SYARATKeadaan bau, warna dan rasa - Normal

Air % b/b Maks 0.30Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat)

% b/b Maks 0.30

Bahan Makanan Tambahan

Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes No.

722/Menkes/Per/IX/88Cemaran Logam : - Besi (Fe) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg)

Mg/kgMg/kgMg/kg

Maks 1.5Maks 0.1Maks 0.1

Page 2: Stabilitas Literatur

- Timbal (Pb) - Timah (Sn) - Seng (Zn)

Mg/kgMg/kgMg/kg

Maks 40.0Maks0.005

Maks 40.0/250.0)*

Arsen (As) % b/b Maks 0.1Angka Peroksida % mg

02/gr Maks 1

Catatan * Dalam kemasan kaleng

HidrolisisReaksi hidrolisis dapat terjadi pada proses

penggorengan suhu tinggi. Bahan pangan yang digoreng akan menghasilkan air dan uap air. Air dan uap air akan menghidrolisis trigliserida pada suhu tinggi sehingga menghasilkan monogliserida, digliserida, gliserol, dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak tersebut. Gliserida akan terevaporasi sebagian pada suhu 150C. Peningkatan asam lemak bebas dan produk asam lemak yang memiliki bobot molekul rendah hasil oksidasi lemak dapat memicu reaksi hidrolisis dengan adanya uap selama proses penggorengan (Warner, 2002). Jumlah asam lemak bebas semakin meningkat dengan lama waktu proses penggorengan. Asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng digunakan sebagai salah satu indikasi kualitas minyak goreng. Reaksi hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak yang mengandung komponen asam lemak rantai pendek dan tak jenuh dari pada asam lemak rantai panjang dan jenuh karena asam lemak rantai pendek dan tak jenuh bersifat lebih larut dalam air. Penambahan minyak baru pada proses penggorengan akan memperlambat terjadinya reaksi hidrolisis (Choe dan Min, 2007). Menurut Lawson (1995), laju hidrolisis trigliserida meningkat oleh beberapa faktor: jumlah air yang dibebaskan pada minyak selama proses pemanasan, suhu minyak saat pemanasan, regenerasi minyak yang digunakan dengan fresh oil, perlakuan pemanasan dan pendinginan minyak goreng selama digunakan.

OksidasiProses oksidasi disebabkan keberadaan oksigen

yang bereaksi dengan minyak atau lemak. Reaksi oksidasi minyak dan lemak berjalan relatif lambat pada suhu ruang, namun pada suhu tinggi (suhu goreng) reaksi

oksidasi berjalan sangat cepat (Choe dan Min, 2007). Menurut Lawson (1995), beberapa faktor yang mempengaruhi jalannya kecepatan laju oksidasi selain suhu yaitu: laju minyak atau lemak terserap dalam bahan pangan dan penambahan fresh oil, luas permukaan minyak yang terpapar oleh oksigen, keberadaan logam seperti tembaga yang bersifat prooksidan, dan kualitas minyak untuk menggoreng. Pemanasan berlebih pada minyak selama proses penggorengan akan menghasilkan komponen volatil dan nonvolatil. Komponen volatil yang terbentuk diantaranya peroksida, mono, dan digliserida tidak terlalu bertanggung jawab atas terbentuknya polimer selama proses pemanasan (Lawson, 1995).

PolimerisasiReaksi polimerisasi yang terjadi pada minyak

dalam proses penggorengan menghasilkan komponen polar nonvolatil dimer dan polimer. Dimer dan polimer hasil reaksi polimerisasi memiliki berat molekul tinggi antara 692-1600. Polimer dapat terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida. Penggorengan berulang dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer (Akoh dan Min, 2002). Minyak yang telah mengalami polimerisasi ditandai dengan peningkatan viskositas dan penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi akan mempengaruhi kulitas minyak goreng menghasilkan warna coklat pada minyak dan terbentuk bahan berupa gum yang mengendap dan bau serta rasa yang tidak enak. Minyak goreng dengan viskositas tinggi akan menghasilkan produk akhir yang berminyak karena minyak goreng tertahan di dalam produk (Blumenthal, 1996).

FFAKadar FFA yang menurun pada minyak bekas

penggorengan tahu dibandingkan dengan kadar FFA sebelum minyak tersebut digunakan. Secara teori, kadar FFA pada minyak sawit bekas penggorengan tahu meningkat karena tahu merupakan bahan yang banyak mengandung air. Air akan bereaksi dengan minyak dan memutus ikatan pada ester trigliserida menjadi asam lemak bebas dengan gliserol. asam lemak bebas tersebut bereaksi dengan zat lain sehingga ketika dilakukan analisis menunjukkan kadar FFA yang lebih kecil. Sedangkan pada minyak sawit bekas penggorengan

kerupuk meningkat dibandingkan FFA minyak awal tapi lebih besar dibandingkan dengan minyak bekas penggorengan tahu.

PeroksidaPeroksida ini terbentuk karena pada saat

penggorengan dengan keadaan tanpa tutup, oksigen yang berada pada lingkungan mengikat ikatan rangkap asam lemak penyusun minyak tersebut baik pada saat minyak yang dipanaskan ataupun dibiarkan terbuka. Pada minyak sawit oksigen memecah rantai ikatan rangkap pada asam lemak seperti asam palmitat dan asam oleat yang terkandung pada minyak jagung yang mengakibatkan terbentuknya peroksida pada rantai molekul asam lemak. Jumlah bilangan peroksida ini tidak mengalami peningkatan pada minyak bekas penggorengan tahu sedangkan pada minyak bekas penggorengan krupuk meningkat. Oksidasi pada suatu minyak dipengaruhi oleh suhu, ketidakjenuhan minyak dan lamanya minyak terpapar dengan oksigen. Minyak dapat dioksidasi secara alami oleh oksigen tanpa adanya panas. Peroksida merupakan kondisi yang labil dan mudah terpisah. Minyak yang mengalami oksidasi membentuk peroksida kemudian terpecah menjadi aldehid dan ester aldehid sehingga untuk mendeteksi oksidasi pada minyak dapat dilakukan dengan memcium baunya. Minyak yang teroksidasi memiliki bau tengik. Jadi, peroksida pada minyak sawit yang nilainya 0 bisa terjadi kerena bentuk peroksidanya sudah terurai menjadi bentuk lain.

Bilangan IodBilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan

asam lemak penyusun minyak. Asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan membentuk persenyawaan yang jenuh. Banyaknya iodine yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dimana asam lemak tidak jenuh mampu mengikat iodium dan membentuk persenyawaan yang jenuh.