spiritual it as dan problem reduksi studi agama 19 hlm

Upload: irfan-noor-mhum

Post on 16-Jul-2015

122 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SPIRITUALITAS DAN PROBLEM REDUKSI STUDI AGAMA (Kajian Pemikiran Seyyed Hossein Nasr) Oleh: Dr. Irfan Noor, M.Hum1

Abstrak: Artikel ini merupakan kajian filosofis atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr mengenai pendekatan filsafat perennial dalam studi agama. Kritik Nasr atas studi agama ini dikarenakan paradigma empiris-positivistik yang dianutnya gagal dalam merumuskan realitas agama, yang meliputi tatanan kemanusiawian dan tatanan keilahian. Dalam kritiknya tersebut, Nasr mengagas pendekatan filsafat perennial sebagai alternatif pendekatan. Satu sisi, kelebihan dari pendekatan filsafat perennial adalah kemampuannya dalam membuka cakrawala spiritual agama-agama sehingga dapat merumuskan struktur ontologi agama-agama. Oleh karenanya, pendekatan ini bisa memberi landasan ontologi agar kecenderungan kajian ilmiah yang reduksionis dapat dihindari dan kajian normatif-teologis tidak terjebak dalam pemahaman keagamaan yang sempit dan sektarian. Di sisi lain, kelemahan pendekatan ini adalah keterjebakannya dalam spiritualisme sehingga dikhawatirkan melupakan aspek historisitas-empiris. Kata Kunci: Perennialisme, Spiritualisme, reduksionisme, dan Asal Yang Ilahi.

A. Pendahuluan Krisis epistemologi studi empiris agama modern, bagi Nasr, sesungguhnya berakar dari landasan ontologis yang menjadi pijakan pandangan-dunia sains modern. Dampaknya, sains modern gagal dalam merumuskan realitas total dari agama. Oleh

Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin. Menyelesai studi program S1 di jurusan Aqidah Filsafat fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan S2 Ilmu Filsafat di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Sedangkan gelar Ph.D diperoleh di Universiti Utara Malaysia.

1

karenanya, persoalan bagaimana agama bisa diteliti ? merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dunia akademik sejak munculnya pendekatan behaviorisme, fenomenologi, dan pendekatan-pendekatan empiris-positivisme lainnya dalam ilmuilmu sosial adalah bagian dari kritik Nasr atas tradisi studi agama ini. Pentingnya melakukan kritik terhadap dasar ontologi sains modern, menurut Nasr, dikarenakan ontologi merupakan bagian paling fundamental dalam bangunan suatu ilmu. Dasar ontologi menjadi penentu pola bangunan epistemologi, yang selanjutnya menentukan ke arah mana ilmu itu bergerak. Dari sinilah muncul beragam faham dalam ilmu pengetahuan.2 Asumsi demikian mengisyaratkan bahwa setiap pengetahuan secara a priori menerima adanya realitas sebagai objek pengetahuan. Oleh karenanya, pandangan tentang realitas merupakan dasar dari seluruh bangunan ilmu. Tidaklah mengherankan, dalam dunia keilmuan, selalu ada upaya ilmiah yang disebut metode, yakni cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Objeklah yang menentukan metode, bukannya sebaliknya. Dengan demikian, ketika seorang peneliti memasuki bidang agama, maka ia akan berhadapan dengan suatu fenomena yang muncul lantaran penerapan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan perasaan-perasaan. Kesemuanya ini melibatkan kedalaman paling inti dari fikiran manusia. Agama, tentu saja, ekspresi-ekspresi yang dapat diamati, pranata-pranata yang dapat diukur atau manifestasi-manifestasi yang terlembagakan, namun makna ekspresi-ekspresi, pranata-pranata, dan manifestasimanifestasi inilah yang menjadi pokok persoalan utama dalam kajian-kajian agama.3 Pada tingkat argumen inilah, Nasr melakukan kritik ontologi terhadap paradigma studi agama dan agama-agama yang selama ini telah mapan di dunia akademik Barat. Menariknya, kritik tersebut dirumuskan Nasr melalui kajianSeyyed Hossein Nasr, Philosophia Perennis and Study of Religion, dalam Frank Whalling, (ed), The Worlds Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T. Clark LTD., 1984), hlm. 186. 3 Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, dalam Richard C. Martin, (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985), hlm. 190.2

ulangnya atas khazanah intelektual Islam yang banyak memuat pemikiran tentang realitas agama dari para ahli ilmu Kalam, filsuf, dan sufi dalam khazanah intelektual Islam, yang dipahaminya memiliki konsepsi tentang realitas agama yang utuh.4

B. Latar Kehidupan Seyyed Hossein Nasr Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada 17 April 1933 di Teheran Iran dari keluarga yang berpendidikan baik. Ibunya merupakan salah seorang dari keluarga yang berpendidikan yang sangat baik, yakni keluarga seorang ulama, sedangkan ayahnya adalah seorang dokter praktek yang ahli dalam pengobatan,-- baik pengobatan secara tradisional maupun modern -- dan seorang sarjana sastra serta pendidik bangsa Persia yang sangat masyhur.5 Dalam konteks Iran ini, Nasr dibesarkan dalam tradisi dan locus ulama Syiah tradisional yang mencakup nama besar seperti Thabathabai, Hazbini, dan lain-lain. Tidak mengherankan apabila Nasr berkembang menjadi seorang intelektual yang selalu sarat dengan gagasan-gagasan yang nampak diwarnai oleh ciri sufisme Persia. Nasr juga memperoleh pendidikan Barat modern, dimana pendidikan tingginya diperoleh di Massachussets Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat untuk mendalami ilmu fisika dan matematika. Selama belajar di MIT ini, Nasr tertarik dengan sejarah sains dan filsafat yang kebetulan diajarkan oleh dosen tercintanya, Giorgio De Santillana.6 Dari perkenalannya dengan Giorgio De Santillana tersebut, Nasr diantarkan kepada karya-karya besar Dante.7Seyyed Hossein Nasr, Existence (wujud) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic Philosophy, dalam Jurnal International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX, No. 4., Issue No. 116, December 1989, hlm. 418-427. 5 Seyyed Hossein Nasr, In Quest of the Eternal Sophia, (The George Washington University, 1990), hlm. 133. 6 Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1970), hlm. Vii. 7 Nama lengkapnya adalah Aligheri Dante (1265-1321), seorang penyair terbesar dari Italia yang menulis La Divina Comedia. Melalui karya-karya Dante inilah, Nasr makin terbuka pemahamannya tentang tradisi Barat beserta kemegahannya. Sementara tokoh-tokoh lain yang sempat Nasr jumpai saat belajar sejarah sains dan filsafat tersebut, antara lain G. Sarton, Sir Hamilton Gibb, W. Jaeger, dan H. A. Wolfson. Di institut ini pula, Nasr sempat berguru dengan Bertrand Russel4

Pergumulan Nasr di dunia filsafat Barat modern telah membawanya pula untuk mempelajari dunia Timur, terutama metafisika Hindu. Nasr secara serius memperdalam karya-karya Sri Aurobindo, S. Radhakrishnan dan S. Dasgupta sampai pada karya-karya dari A. K. Coomaraswamy. Dari sini, Nasr seakan-akan bertemu dengan dunia Timur yang selama ini terlupakan oleh kebesaran Barat modern.8 Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam mengantar Nasr ke dunia Timur tersebut, antara lain Fritjof Schoun, Louis Massignon, Henry Corbin dan T. Burchardt, yang secara serius mengantarnya pada kedalaman tradisi sufisme Islam.9 Oleh karena itu, Nasr merupakan contoh tipikal cendikiawan muslim yang dibesarkan dalam dua tradisi, yakni Islam tradisional dan Barat modern. Dalam dua tradisi ini, Nasr memasuki dua kutub ketegangan, yakni Timur dan Barat; suatu pandangan dari dunia lain, yakni pemikiran dan kebudayaan Barat modern yang terlihat memikat sekaligus mengancam. Dalam ketegangan dua kutub tradisi inilah, Nasr membangun pondasi intelektualnya yang kokoh.10 Pada tahun 1954, Nasr meraih gelar sarjana muda dengan predikat cum laude dalam bidang fisika. Dari MIT, Nasr kemudian melanjutkan jenjang studinya ke universitas Harvard untuk memperdalam bidang kajian Geologi dan Geofisika. Tidak puas dengan bidang tersebut, Nasr kemudian menekuni bidang history of science and philosophy, dengan memfokuskan kajian pada bidang Islamic Science, hingga berhasil memperoleh gelar MA pada tahun 1956 dan gelar Ph.D dalam usia 25 tahun pada tahun 1958.11

tentang berbagai aliran filsafat Barat modern, yang inti sarinya, semua aliran filsafat itu menjurus pada paham materialistik. 8 Seyyed Hossein Nasr, In Quest of Op.Cit., hlm. 114-115. 9 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, diterjemahkan oleh Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 256. 10 Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed.), Insan Kamil, (Jakarta: PT. Graffiti Press, 1985), hlm. 184. 11 Karyanya Science and Civilization in Islam adalah sebuah karya yang berasal dari disertasi Ph.D sekaligus merupakan karya pertamanya sebagai intelektual dunia muslim garda depan.

Setelah memperoleh gelar Ph.D, Nasr sempat menjadi associate Profesor di almamaternya antara tahun 1958-1963, dan kemudian pulang ke tanah airnya untuk mengajar di Universitas Teheran. Di Universitas tersebut, Nasr pernah menjadi Dekan fakultas seni dan sastra (1968-1972) dan wakil rektor (1970-1971). Selama berada di tanah airnya, Nasr bersama Murthada Muthahhari pada tahun 1965 mendirikan Lembaga Pengkajian Islam Husyainiyyah Irsyad di Teheran Utara. Lembaga pendidikan ini bertujuan merebut perhatian kaum muda sekuler agar kembali ke Islam. Namun lembaga ini, pada belakangan harinya, menjadi ajang aktivitas politik kaum revolusioner Iran yang di dalamnya masuk seorang tokoh pemikir revolusi Iran, Ali Syariati yang kemudian berhasil mendirikan Negara Islam Iran pada tanggal 12 Januari 1979. Dengan alasan inilah, Nasr dan Muthahhari keluar dari lembaga tersebut.12 Nasr sendiri kembali ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu sambil mempersiapkan buku. Karena merasa hubungannya kurang baik dengan kaum revolusioner, Nasr akhirnya memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Inilah awal dari semua karir intelektual Nasr di luar tanah kelahirannya. Walaupun belakangan ini Nasr sempat beberapa kali mendapat tawaran yang lengkap dengan jaminan keselamatan dari pemerintah Iran untuk kembali ke Teheran, Nasr tetap memutuskan untuk tidak kembali ke tanah airnya. Selama berada di luar Iran, Nasr pernah menjadi dosen tamu pada Universitas Harvard (1958-1963), Profesor studi Islam pada Universitas Amerika di Beirut,Azyumardi Azra, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari Seminar Seyyed Hossein Nasr), dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Quran, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 107. Dengan latar belakang inilah, hubungan Nasr dengan Syariati menjadi kurang harmonis. Nasr memandang Syariati sebagai modernis muslim pertama yang menciptakan semacam liberalition theology dalam Islam karena pengaruh westernisme dan marxisme. Syariati menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian Islam. Dalam penilaian Nasr, gagasan Syariati ini sangat berbahaya. Ketidaksenangan Nasr terhadap Syariati juga disebabkan tindakan Syariati yang selalu melancarkan kritik keras terhadap ulama tradisional. Di sisi lain, meskipun akrab dengan Muthahhari, Nasr bisa disebut orang yang tidak begitu peduli terhadap politik. Sikap ini muncul karena latar belakang pendidikannya di bidang fisika dan filsafat di Barat dan selama 12 tahun berguru kepada sejumlah ulama tradisional Iran, yang antara lain Mohammad Hossein Thabathabai, penulis Tafsir al-Mizan. Sebagai seorang muslim tradisional, Nasr menganggap bidang politik praktis bukan urusannya.12

lebanon (1964-1965), dan visiting professor di Universitas Princeston (1975), serta Profesor studi Islam pada Universitas Temple Philadelphia ((1979-1984). Atas permintaan Charles Strong, Nasr sempat mengajar di Universitas Australia. Terakhir, sejak tahun 1984 hingga kini menjadi Profesor di Universitas George Washington, Washington, DC AS., dalam bidang yang sama.13

C. Kritik Filsafat Perennial dan Epistemologi Sains Modern Salah satu kritik Nasr terhadap dunia Barat modern adalah kritik Nasr terhadap tradisi studi agama di Barat, yang bisa dikatakan sebagai bentuk keprihatinannya atas krisis sains modern. Krisis ini dimaksudkan sebagai menyempitnya pengetahuan akibat reduksi-reduksi metodologis tertentu yang disertai dengan fragmentasi dan instrumentalisasi pengetahuan.14 Krisis sains modern ini berakar dari proses modernisasi di Barat yang telah meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan melalui renaissance dan aufklarung. Dalam konteks modern, semua makna dunia objektif tradisional dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sebagaimana dalam cogito ergo sumnya. Apa yang ditemukannya pada taraf epistemologis adalah peranan mutlak subjek dalam membentuk realitas. Pergeseran pendulum epistemologis dari objek ke subjek ini berkembang penuh dalam zaman rasionalisme filsafat Perancis dan Jerman dariKarya-karya Nasr yang telah dipubliksikan, antara lain meliputi: An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (Cambridge: Harvard Univ. Press., 1964); Histoire de la Philosophie Islamique, (Paris: Gallimard, 1964); Ideals and Realities of Islam, (London: Allen and Unwin, (1971); Iran, (Paris: Unesco, 1966); Islamic Studies, (Beirut: Librairie du Libban); Science and Civilazation in Islam, (Cambridge: Harvard Univ. Press, 1968); The Encounter of Man and Nature: Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Allen and Unwin, 1968); Sufi Essays, (London: Allen and Unwin, 1968); Jalal al-Din Rumi: Supreme Persian Poet and Sage, (Teheran: High Council of Culture and Art, 1974); Islam and the Flight of Modern Man, (London: Longman, 1975); An Annotated Bibliography of Islamic Science, (Teheran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1975); Islamic Science An Illustrated Study, (London: Thorsos, 1979); Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); Tradisional Islam in the Modern Word, (London: KPI, 1987); Islamic Art and Spirituality, (Ipswich: Golgonooza Press, 1987); A Young Muslims Guide to the Modern World, (Chicago: Kazi Publications, 1993). 14 Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: George Allen and Unwin, 1968), hlm. 51-80. Lihat juga pada Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980), hlm. 1-64.13

Rene Descartes (1596-1650), melewati Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) sampai Immanuel Kant. Di tangan Kant, penekanan Descartes pada subjek tersebut diradikalkan dengan lebih memperlihatkan the conditions of possibility dari pikiran manusia. Penemuan batas-batas pikiran ini mengungkapkan suatu keyakinan baru bahwa meneliti subjek adalah lebih mungkin daripada meneliti objek. Batas-batas pikiran dari Kant inilah yang kemudian dianut oleh para filsuf setelahnya yang lebih menekankan kenyataan inderawi yang terlihat dan terjamah, sebagaimana yang diistilahkan oleh Kant sebagai das ding an sich (kenyataan pada dirinya).15 Kerangka epistemologi ini memuncak pada positivisme Auguste Comte16 (1798-1857), dimana pengetahuan inderawi tidak hanya menjadi norma tetapi justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan.17 Pergeseran ke pihak objek ini sekarang bukanlah sekedar pergeseran tekanan yang masih menerima peran subjek, melainkan justru menghapus subjek, dan pada akhirnya menyudahi epistemologi.18 Dalam dunia sains, kecenderungan yang kemudian dianut secara berlebihan adalah objektivisme. Krisis pengetahuan ini tidak hanya mereduksi manusia ke matra objektifnya, namun juga karena terjadi fragmentasi ilmu maka terjadi juga fragmentasi kenyataan yang pada gilirannya menyebabkan fragmentasi pandangan tentang manusia dan realitasnya.19

F. Budi Hardiman, Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek, dalam Majalah Basis, (Maret 1991), hlm. 84. 16 Nama lengkapnya, Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte. 17 Ibid., hlm. 127-131. 18 Ibid., hlm. 127. 19 F. Budi Hardiman, Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan PascaModernisme (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Quran, No. 4, Vol. V, Tahun 1994, hlm. 4. Paradigma inilah yang oleh Tom Sorell sebut sebagai saintisme, yakni suatu kepercayaan bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, otoritatif, dan seriusnya. Saintisme macam ini sesungguhnya merupakan bentuk matang dari positivisme modern yang dirintis oleh Comte pada abad lalu. Basis epistemologisnya adalah doktrin fenomenalisme, yakni sebuah fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman inderawi

15

Sejalan dengan perkembangan paradigmatik inilah muncul minat untuk memahami agama. Latar belakang positivisme yang sedang marak telah menyebabkan orientasi studi agama cenderung melecehkan agama. Dalam konteks ilmu-ilmu sosial, minat kajian terhadap agama, -- sebagaimana antropologi, etnologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi -- tercermin dari kajian mereka terhadap agama dalam konteks masyarakat suku-suku primitif.20 Agama sering dilecehkan sebagai warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginan-keinginan manusia yang tak kesampaian, dan sebagainya. Sarjana yang pertama kali menjadikan studi agama sebagai bagian studi ilmiah adalah Friedrich Max Muller (1823-1900 M) dengan istilah religionswissenschaft.21 Perkembangan awal religionswissenschaft di Barat ini sangat diwarnai oleh semangat Aufklarung dan kemajuan sains pada abad ke-19, yakni sikap rasionalistik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Max Muller menganggap mitos sebagai penyakit bahasa, Tylor memandang animisme sebagai mistaken logical inference dan berbagai teori pra-animisme yang didasarkan pada pendekatan yang sangat sempit dan rasionalistik. Baru pada dasawarsa awal abad ke-20, atas pengaruh fenomenologi, telah muncul kesadaran baru akan kesejarahan di ranah studi agama, dimana manusia selalu merupakan mahluk historis dan orang harus mempertimbangkan hakikat historis dari data religius.22 Kesadaran baru ini bisa ditemukan dalam kajian Rodolf Louis Karl Otto dalam bukunya The Ide of the Holy. Otto meletakkan agama sebagai gejala yang normal dan otonom dalam fenomena manusiawi, sehingga agama merupakan sebuah kategori sui generis, khusus dan tersendiri karena berkaitan dengan Yang Maha Suci. Yang Maha Suci ini diistilahkan Otto sebagai Numinous, yang berarti Yang Suci dan Yang Supranatural. Essensi Yang Numinous ini tidak20 21

Ibid., hlm. 6. A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), cet. IV. Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978), hlm. 69.

hlm. 13.22

dapat dimengerti rasio manusiawi, tetapi hanya dapat diketahui hakikatnya oleh sensus numinis, yakni perasaan mengenai Yang Numinous itu.23 Di sini, Otto tampak berusaha menolak reduksi dan menekankan kualitas pengalaman akan Yang Sakral; menghindari bias yang intelektualistik dan rasionalistik atau mereduksi fenomena religius dalam skema-skema sempit, termasuk pendekatan yang historisistik.24 Usaha-usaha yang telah dilakukan di atas sesungguhnya tidak lain dalam rangka bagaimana mempertahankan transcendental focus sebagai ciri khas ilmu-ilmu agama di hadapan kajian-kajian para ilmuwan sosial yang mereduksi agama hanya sebagai gejala-gejala sosial semata. Namun sayangnya, ketegangan ini masih berpihak pada acuan objektivitas saitisme yang merupakan tolak ukur ilmiah.25

D. Filsafat Perennial dan Alternatif Studi Agama Dalam konteks inilah, Seyyed Hossein Nasr tampil sebagai seorang intelektual muslim yang ikut prihatin terhadap situasi studi agama di dunia akademis Barat modern. Bagi Nasr, dalam konteks studi agama Barat modern, agama lebih dipahami pada batasnya yang eksoterik, yakni dimensi historisitas kehadiran agama dalam realitas sosial-kemanusiaan. Oleh karenanya Nasr mengajukan filsafat perennial sebagai landasan metodologi studi agama. Walaupun Nasr tidak begitu orisinil dalam menggagas pendekatan filsafat perennial sebagai pendekatan alternatif dalam studi agama, namun cara Nasr merumuskan filsafat perennial dari kerangka tasawuf Islam menjadikan pemikirannya menjadi unik dan khas, sebagaimana yang dirumuskannya dalam Knowledge and theHerman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan Metodologi Penelitian Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 5. 24 Titik tolak yang terdapat dalam karya-karya Rudolf Otto itu sangat mewarnai kebanyakan karya para ahli fenomenologi agama. Hal ini tampak pada Gerardus van der Leeuw dan W. Brede Kristensen yang merumuskan fenomenologi agama sebagai pendekatan sistematis dan komperatif yang berusaha mendeskripsikan apa yang umum dalam berbagai fenomena religius. 25 M. Amin Abdullah, Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991), hlm. 9.23

Sacred.26 Dalam konteks buku tersebut, Nasr secara gamblang mengaitkan filsafat perennial dengan tradisi Timur, dimana pengetahuan selalu terkait dengan aspekaspek sakral (suci) dan spiritual. Proses mengetahui dalam tradisi Timur, dengan demikian, bukanlah proses yang semata-mata tertumpu pada pencernaan otak melalui prosedur dan kerja kolektif panca-indera yang tersedia. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, kualitas pengetahuan dalam tradisi Timur juga tidak hanya meliputi aspekaspek fisik dan empirik. Proses mengetahui dan kualitas pengetahuan dalam tradisi Timur selalu melibatkan dimensi metafisis dan berkaitan erat dengan aspek metakosmos untuk menunjukkan wilayah mikrokosmos dan makrokosmos yang utuh dan terpadu.27 Nasr mengakui konsep pengetahuan seperti itu bukanlah monopoli tradisi Timur, tetapi juga tradisi-tradisi lain termasuk tradisi Barat pra-modern. Keterpisahan antara pengetahuan transenden dan pengetahuan profan secara serius terjadi setelah periode renaisance yang menandai era modernisme, khususnya di Barat dengan sistem filsafatnya yang rasional dan sarat dengan semangat naturalistik, empirik, dan hedonistik-materialistik. Namun demikian, Nasr tetap percaya bahwa pada karakternya yang asli (genuine), tradisi Barat pun sebagaimana tradisi-tradisi lain mengandung watak spiritual di samping rasional. Itulah sebabnya, ketika hendak melakukan kritiknya terhadap Barat, Nasr mengatakan bahwa kita juga harus mengangkat kembali the millennial tradition of the west itself. Tradisi tersebut adalah tradisi yang sudah beratus-ratus tahun membentuk peradaban Barat sendiri yang tidak lain adalah tradisi universal dan permanen (abadi), yang dikenal dengan istilah kebijakan abadi (the perennial wisdom) atau sophia perennis, sanatana dharma,Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980). Penulisan buku ini berasal dari pidato Nasr dalam Gifford Lectures, sebuah forum yang sangat bergengsi bagi kalangan teolog, filsuf, dan saintis Amerika dan Eropa sejak tahun 1889. Pidatonya sekitar tahun 1985 ini menjadikan dirinya sebagai sarjana muslim pertama, bahkan sarjana Timur pertama yang tampil dalam forum itu sejak pertama kalinya digelar hampir satu abad yang lalu di Universitas Edinburgh. Nasr memanfaatkan kesempatan itu untuk menyajikan beberapa aspek kebenaran yang terletak di jantung tradisi-tradisi Timur bahkan jantung semua tradisi, baik di Barat dan Timur. 27 Ibid., hlm. vii.26

atau al-hikmah al-khalidah.28 Dalam konteks inilah, Nasr ingin agar nilai permanen pengetahuan yang sudah teruji dari masa ke masa ditawarkan sebagai alternatif. Argumentasinya, karena filsafat perennial memandang segala yang ada ini sebagai turunan dari Yang Absolut, maka ia selalu menegaskan bahwa dalam segala sesuatu terdapat hakikat.29 Oleh karena itu, apabila filsafat perennial ini dijadikan alternatif dalam mendekati agama, filsafat perennial selalu menghubungkan dengan substansinya, yakni inti ajaran agama yang keberadaannya ada di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden tetapi sekaligus juga immanen. Ia transenden karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui prediketnya. Namun begitu, agama juga immanen karena sesungguhnya hubungan antara prediket dan substansi tidak mungkin terpisahkan.30 Demikian juga, melalui pembedaan antara Yang Hakiki dengan yang manifestasi, filsafat perennial perlu memberikan perhatian pada agama dalam kenyataan trans-historis. Perhatian ini, tidak lain, merupakan usaha untuk mendapatkan kunci memahami agama-agama yang sangat kompleks dan penuh tekateki yang tidak pernah bisa diduga maknanya jika hanya dilihat secara historis danIbid., hlm. viii. Perlu dicatat bahwa istilah philosophia perennis yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan perennial philosophy pertama kali dipakai oleh Agostino Steuco (1497-1548), seorang filsuf yang sekaligus teolog Renaissance, yang beraliran Augustinus. Dalam karyanya de perennial philosophia, Steuco -- yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Ficino, Pico, dan Nicolas menggunakan istilah itu dalam konteks filsafat dan teologi yang tidak terbatas pada salah satu aliran pemikiran saja. Seperti para pendahulunya, ia memegang ide tentang kehadiran suatu kebijakan kuno (an ancient wisdom) yang sudah ada sejak munculnya sejarah kehidupan manusia. Dalam bagian lain, ditegaskan bahwa kebijakan (hikmah, wisdom) pada awalnya merupakan asal yang bersifat Ilahiyah, pengetahuan suci yang diberikan Tuhan kepada Adam. Oleh kebanyakan manusia, pengetahuan itu setahap demi setahap diabaikan dan dianggap sebagai sebuah mimpi. Bagi Steuco, agama dan filsafat yang benar adalah yang memiliki tujuan theosis. Artinya, sudah ada sejak awal sejarah kehidupan manusia dan dapat diperoleh, baik melalui ekspresi kebenaran itu secara historik dalam aneka tradisi ataupun melalui intuisi intelektual dan kontemplasi filosofis. Oleh Nasr, perennial wisdom atau filsafat perennial tersebut sering diistilahkan dengan tradisi yang kadangkadang ditulisnya dengan T atau dengan tambahan predikat seperti tradisi permanen dan tradisi universal. Dalam konteks agama-agama, tradisi ini dapat disepadankan dengan istilah-istilah dalam agama, seperti Hindu dan Budha dengan Dharma, Islam dengan al-Din, dan Taoisme dengan Tao. 29 Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 4. 30 Ibid., hlm. 53.28

eksoteris. Konsep agama yang dihadirkan melalui pendekatan ini menjadi cukup luas mencakup tipe agama yang asli dan yang historis, yang Semit dan yang India, yang mistik dan yang abstrak, sehingga wilayah agama yang dikaji menjadi sangat luas dan mendalam karena terkait dengan yang essensial agama.31 Menurut Nasr, pendekatan ini sama sekali tidak meniadakan adanya aspekaspek sosial dan psikologis dari agama. Hanya saja pendekatan ini menolak adanya reduksi agama ke dalam manifestasi-manifestasi yang bersifat sosial ataupun psikologis.. Hal ini karena agama datang dari perkawinan antara Norma Ilahiah dan kolektivitas manusia yang ditakdirkan untuk menerima jejak dari norma itu. Dari perkawinan itu, lahir agama seperti terlihat di dunia ini, di antara budaya dan bangsa yang berbeda-beda.32 Penjelasan di atas menyatakan secara jelas bahwa filsafat perennial merupakan pendekatan yang anti reduksionisme dan menekankan suatu pemahaman tentang realitas agama secara utuh. Suatu ungkapan dari ketidakpuasan terhadap historisisme dalam kajian agama-agama. Kecenderungan pada historisisme ini disikapi dengan mengandaikan suatu antitesa hukum pada satu tingkat eksistensi tidak bisa diterapkan pada tingkat eksistensi yang lain. Hal ini karena karakteristik yang muncul pada sistem yang lebih tinggi secara kualitatif berbeda dari karakteristik sistem yang lebih rendah.33 Nasr lalu menegaskan posisi epistemologis filsafat perennial dalam kajian keagaman, sebagai berikut: Menurut prinsip ini [pen. Filsafat Perennial), pada setiap tingkatan realitas terdapat suatu alat pengetahuan untuk mengetahui tingkatan realitas khusus itu. Tetapi ciri khas dari epistemologi ini adalah bahwa setiap bentuk pengetahuan merupakan hasil dari illuminasi akal oleh cahaya yang dalam penampakannya terlihat menyelimuti objek penglihatan tersebut. Akan halnya bentuk-bentuk pengetahuan lain yang lebih tinggi tingkatannya yang dapat mencapai langit tertinggi dari gnosis dan metafisis, bentuk-bentuk inipunIbid., hlm. 187. Seyyed Hoseein Nasr, Philosophia Perennis. Op.Cit., hlm. 185. 33 Jalaluddin Rahmat, Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk Orasi Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafiiyah, Jakarta 27 Nopember 1993), hlm. 20.32 31

tentu saja merupakan hasil illuminasi (pencahayaan) dari alam rohani yang menyinari akal.34 Muara dari penekanan uraian di atas menunjukkan usaha merangkum semua model pengetahuan ke dalam suatu peringkatan hirarkhi yang saling melengkapi dan serasi menuju suatu bentuk pengetahuan terluhur, yakni marifah.35 Di sinilah Nasr melakukan dekonstruksi terhadap metafisika Barat modern yang melandasi epistemologi sains modern dalam bangunan studi agama kontemporer. Bagi Nasr, dari metafisika perenialisme inilah seharusnya titik berangkat dalam kajian-kajian humaniora, bahkan agama-agama, dimana realitas harus dilihat menurut tingkatan eksistensinya tanpa harus terjebak untuk melihat tingkatan tertentu eksistensi sebagai eksistensi itu sendiri. Pada tingkat penerapan prinsip-prinsip metafisika inilah, perennialisme mengaitkan dengan piranti-piranti ilmu empirik tradisional, seperti kosmologi, antropologi, seni, dan disiplin lainnya yang dalam jantungnya terletak metafisika murni.36 Ini bisa dilihat pada penegasan Nasr yang mengungkapan bahwa dalam jantung ilmu kosmos tradisional, sebagaimana antropologi, psikologi dan seni tradisional menempatkan scientia sacra yang memuat prinsip-prinsip mengenai pengetahuan prinsip yang suci dan pengetahuan tentang yang suci par excelllence, karena Yang Suci tidak lain sebagai yang prinsip.37 Scientia sacra di sini tidak lain daripada metafisika itu sendiri, yang dalam istilah lain, jnana atau marifah yang merupakan ilmu tentang Yang Nyata,38 dimana setiap aspek dari eksistensi kosmik selalu dipandang sebagai refleksi keilahian.39 Upaya meletakkan landasan metafisika dalam wacana keilmuan ini,Seyyed Hoseein Nasr, Hubungan antara Intelek dan Intuisi dari Perspektif Islam, dalam Salem Azzam, (ed.), Islam dalam Masyarakat Kontemporer, diterjemahkan oleh Hamid L. A. Basalamah, (Bandung: Gema Risalah, 1988), hlm. 61. 35 Ibid., hlm. 66. 36 Ibid., hlm. 182. 37 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge Op.Cit., hlm. 133. 38 Ibid., hlm. 132. 39 Ibid., hlm. 136-137.34

menurut Nasr, tidak lain sebagai usaha untuk menghindari reduksionisme atas realitas agama yang utuh, yang tentunya, akan berakibat merugikan dalam kajian-kajian agama-agama. Dalam hal ini, Nasr menjelaskan sebagai berikut: Perbedaan utama antara ilmu tradisional dan ilmu modern, sesungguhnya, terletak pada fakta bahwa yang tradisional di mana hal yang profan dan manusiawi selalu dipinggiran dan yang suci berada di pusat, sedangkan dalam ilmu modern, yang duniawi menjadi pusat dan penemuan-penemuan yang walaupun segala sesuatu mengungkapkan Asal Ilahiah tentang dunia alam telah menjadi begitu pinggiran sehingga jarang diakui, kecuali oleh para saintis tertentu yang mempunyai pandangan luar biasa. Ilmu-ilmu tradisional secara essensial adalah suci dan secara kebetylan sadar tentang kualitas yang suci dari alam semesta dan, bahkan pada saat yang jarang, dapat menerima yang suci sebagai yang suci.40 Pada garis pandang ini, Nasr membangun suatu kritik yang sangat mendasar atas tradisi akademik Barat dalam kajian agama. Ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini: Studi tentang agama-agama lain sebagai disiplin ilmiah, berbeda dengan jenis kepentingan yang ditunjukkan dalam doktrin-doktrin Timur sebagai sumber pengetahuan yang merupakan pedoman yang sudah terbuat, mulai dari latar belakang saintisme yang mencirikan religionswissenschaft awal. Agama dipelajari sebagai fakta yang memiliki budaya manusia yang berbeda untuk didekomentasikan dan digambarkan sebagaimana seseorang akan mempelajari dan mendaftar fauna dari tanah asing. Persoalan iman menjadi kurang penting; fakta sejarah, mitos-mitos, ritus-ritus, dan simbol-simbol lebih menarik perhatian sejak aspek-aspek agama tersebut menjadi subjek bagi studi ilmiah dari pada apa yang dimunculkan dari persoalan iman yang tidak nyata.41 Sampai di sini, apakah Nasr tidak melihat bahwa pada alur kritik yang sama ini kritik juga telah lama dilakukan oleh fenomenologi sebagai upaya untuk menjembatani problem reduksionisme dalam kerangka metodologi kajian agama ?Seyyed Hossein Nasr, The Role of the Tradisional Science in the Encounter of Religion and Science; An Oriental Perspectif, dalam Jurnal Religious Studies, No. 20, Thn. 1984, hlm. 523524. 41 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge Op.Cit., hlm. 145.40

Menurut Nasr, munculnya fenomenologi sebagai upaya untuk menjembatani problem reduksionisme dalam kerangka metodologis bukan berarti lalu fenomenologi bebas dari kekurangan. Sumbangan fenomenologi memang sangat besar, khususnya dalam upaya mempertemukan beberapa unsur dalam perbedaan agama-agama. Namun, fenomenologi belum bisa masuk ke dalam kesadaran adanya suatu transendental agama-agama, yang menjadi basis dari pengertian adanya keanekaragaman agama-agama.42 Secara metodologis, pendekatan epoche dalam fenomenologi berimplikasi pada pengesampingan keyakinan-keyakinan agama pribadi, menolak memberi keputusan mengenai validitas pendirian religius sendiri, yang justru menjadi dasar parmanen dalam beragama.43 Oleh karenanya, agama dalam pendekatan fenomenologi cenderung direduksi menjadi semata-mata sebagai fenomena dari homo religious tersebut. Oleh karena itu, studi agama dengan pendekatan filsafat perennial tidak hanya berhenti pada eidos dalam istilah Class J. Bleeker, sensus numinous dalam istilah Rudolf Otto, trancendental focus dalam istilah Niniant Smart, essence of religion dalam istilah Mercia Eliade, atau ultimate reality dalam istilah Joachim Wach, tetapi harus diteruskan pada pengalaman keberagamaan berupa penyatuan diri dengan Tuhan yang dihubungkan oleh pengetahuan sejati dan gelora cinta. Pola studi agama ini menegaskan adanya suatu dimensi Ilahiah. Pada alur argumentasi inilah tampak arti penting dari pendekatan filsafat perennial dalam studi agama. Sasaran yang ingin dituju oleh Nasr dalam menggagas perspektif filsafat perennial untuk studi agama-agama adalah memberi landasan ontologis dalam wilayah paradigmatik studi agama-agama. Menurut Nasr, keterperangkapan studi agama dan agama-agama tersebut ke dalam historisisme akan menjadikan agama kehilangan makna hakikinya yang transendental, yakni Asal Ilahiah yang universal. Bagi Nasr, agama bukan hanya iman dan ibadah dari suatu kolektivitas manusia tertentu yang menjadi penerima suatu pesan keagamaan tertentu. Agama juga bukan42 43

Seyyed Hossein Nasr, Philosophia Perennis Op.Cit., hlm. 190. Ibid., hlm. 191.

hanya iman manusia yang beriman. Agama adalah dari Asal Yang Ilahi. Polanya terletak dalam Intelek Ilahi dan mempunyai tingkatan-tingkatan eksistensi seperti kosmos sendiri. Jika agama berhenti berada di bumi, itu tidak berarti bahwa agama berhenti memiliki realitas. Di bumi, lingkaran kehidupan agama dapat berakhir, tetapi sebagai ide dalam pengertian Platonik, agama akan tetap dalam Intelek Ilahiah dalam realitas trans-historisnya. Kekuatan ritus-ritusnya di bumi sini bisa saja hilang, tetapi realitas asal yang dihadirkan akan tetap bersifat abadi.44 Inilah yang terpenting dalam pemikiran Nasr. Berbeda dengan pemikirpemikir muslim lainnya, ia lebih bergerak untuk mempertanyakan keabsahan objektif dari suatu rumusan realitas yang ada. Pokok masalah yang ditekankan pada landasan ontologis ini menginginkan adanya suatu kerangka metodologi yang khusus bagi paradigma kajian-kajian keagamaan dari yang normatif sampai yang historis-empiris. Dari sinilah, Nasr membangun perennialisme sebagai paradigma tandingan bagi sains modern yang melatarbelakangi studi-studi agama selama ini.

E. Kritik Atas Perennialisme dalam Studi Agama Apabila dicermati lebih jauh, penekanan filsafat perennial yang digagas oleh Nasr lebih banyak memusatkan perhatiannya pada struktur internal agama, hingga melihat realitas agama sebagai turunan vertikal secara hirarkhis. Penekanan ini justru menjadikan pendekatan ini kurang mengapresiasikan secara luas tentang proses transformasi dalam wilayah historis agama-agama. Dalam konteks inilah, muncul pertanyaan mendasar sekitar bagaimana studi ini bisa menjelaskan secara rinci aspek-aspek eksternal agama. Padahal, pada aspek eksternal inilah, agama lebih banyak berkaitan dengan wilayah historisitas manusia, dimana agama tidak selalu berfungsi sebagai variabel yang menentukan atas setiap proses sosial tapi kadang-kadang bisa sebagai variabel yang ditentukan oleh proses sosial. Pada celah cacat epistemologis inilah, Nurul Fajri melakukan kritik yang

44

Seyyed Hossein Nasr, Philosophia Perennis, Op.Cit., hlm. 185.

mendasar, bahwa filsafat perennial hanya relevan untuk mengkaji dimensi internal agama, sedangkan untuk mengkaji dimensi eksternal dalam historisitasnya dibutuhkan perangkat lain, yakni perspektif empiris. Problem mendasarnya adalah bagaimana filsafat ini bisa menjelaskan fenomena hubungan antara agama dengan politik atau negara yang sangat kompleks.45 Dalam hal ini, Anees dan Merryl menjelaskan sebagai berikut : Hal yang paling banyak mengundang kritik dari wacana pemikiran Nasr adalah keterikatannya yang mendalam pada tasawuf serta pengambaran yang Hellenistik sebegitu rupa, sehingga menampilkan citra sains yang terlalu utopian. Secara serius ini sangat membatasi audiensinya di dunia muslim dan kalangan orang-orang Barat yang menaroh minat padanya.46 Problem inilah yang menjadikan pendekatan filsafat perennial menjadi ahistoris, karena kurang begitu mempersoalkan dialektika kesadaran dengan realitas historis. Padahal, dari situlah terjadinya transformasi format keberagamaan. Kelemahan mendasar yang secara intrinsik melekat dalam bangunan epistemologi filsafat perennial ini tidak memungkinkan baginya untuk dapat berdiri sendiri. Artinya, obsesi Nasr untuk menjadikan filsafat ini sebagai pendekatan satu-satunya dalam studi agama menjadi persoalan yang sangat mendasar.

F. Kesimpulan Ada dua bisa disentuh oleh filsafat perennial bagi pengembangan studi agama dan agama-agama. Pertama, pada wilayah kajian empiris-ilmiah, filsafat perennial bisa memberi landasan spiritual tentang Asal Ilahiah bagi realitas agama, sehingga kecenderungan reduksionisme dalam wilayah kajian ini dapat dihindari.Nurul Fajri M. R., Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau Empirisisme, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Quran, No. 4., Vol. III, 1992, hlm. 39. 46 Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai Kecenderungan Masa Depan, diterjemahkan oleh Hizbullah Mawlana, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 15, Vol. VI / 1995, hlm. 75. Dalam masalah yang sama, Rahman juga pernah mengajukan suatu kritik terhadap Nasr yang terlalu terbenam dalam wacana sufisme sehingga menutup kritik atas tradisi. Lihat Fazlur Rahman, Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan, diterjemahkan oleh Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993, hlm. 80-101.45

Kedua, wilayah kajian normatif bisa diberi cakrawala spiritual oleh filsafat perennial tentang Asal Ilahiah agar pola kajian ini tidak terjebak dalam pola pemahaman keagamaan yang bersifat ekskusif. Tentunya, terlepas dari berbagai kekurangan intrinsik yang dimiliki oleh filsafat perennial sebagai pendekatan studi agama, pendekatan ini bisa memperkaya berbagai keragaman pendekatan studi agama agar saling melengkapi dalam membangun struktur pengetahuan tentang agama yang utuh. Membaca garis pandang ini, kerjasama antara satu pendekatan dengan pendekatan lainnya merupakan cara yang lebih realistis dan paling memungkinkan dilakukan secara maksimal.

G. Daftar Pustaka A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993). Azyumardi Azra, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi (Laporan dari Seminar Seyyed Hossein Nasr), dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Quran, No. 4, Vol. IV, Tahun 1993. Douglas Allen, Structure and Creativity in Religion, (Mouton: The Hague, 1978). Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed.), Insan Kamil, (Jakarta: PT. Graffiti Press, 1985). F. Budi Hardiman, Positivisme dan Hermeneutika: Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek, dalam Majalah Basis, (Maret 1991). F. Budi Hardiman, Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan PascaModernisme (Suplemen), dalam Jurnal Kebudayaan, Ulumul Quran, No. 4, Vol. V, Tahun 1994. Fazlur Rahman, Islamisasi Ilmu Pengetahuan; Suatu Tanggapan, diterjemahkan oleh Mohammad Shoelhi, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 7., 1993. Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, dalam Richard C. Martin, (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: University of Arizona Press, 1985). Herman Leonard Beck, Filsafat Agama; Ilmu (Perbandingan) Agama dan Metodologi Penelitian Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991). Jalaluddin Rahmat, Kearifan Perennial; Paradigma Baru Sains, (Makalah untuk Orasi Ilmiah Universitas Islam Asy-Syafiiyah, Jakarta 27 Nopember 1993). Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995).

M. Amin Abdullah, Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama, (Makalah untuk Simposium Nasional Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: 27-29 Juni 1991). Munawar Ahmed Anees dan Merryl W. D., Sains Islam: Pemikiran Mutakhir dan Berbagai Kecenderungan Masa Depan, diterjemahkan oleh Hizbullah Mawlana, dalam Jurnal Al-Hikmah, No. 15, Vol. VI / 1995. Nurul Fajri M. R., Keterbatasan Perspektif Tradisional: Antara Ilmu Normatif atau Empirisisme, dalam Jurnal Kebudayaan Ulumul Quran, No. 4., Vol. III, 1992. Seyyed Hossein Nasr, Philosophia Perennis and Study of Religion, dalam Frank Whalling, (ed), The Worlds Religious Traditions, Current Perspectives in Religious Studies, (Edinburgh: T. & T. Clark LTD., 1984). Seyyed Hossein Nasr, Existence (wujud) and Quiddity (mahiyyah) in Islamic Philosophy, dalam Jurnal International Philosophical Quarterly, Vol. XXIX, No. 4., Issue No. 116, December 1989. Seyyed Hossein Nasr, In Quest of the Eternal Sophia, (The George Washington University, 1990). Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1970). Seyyed Hossein Nasr, The Encounter of Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: George Allen and Unwin, 1968). Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980). Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, (Edinburgh: Edinburgh Univ. Press, 1980). Seyyed Hossein Nasr, The Role of the Tradisional Science in the Encounter of Religion and Science; An Oriental Perspectif, dalam Jurnal Religious Studies, No. 20, Thn. 1984.