sle

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit reumatik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh secara autoimun, yaitu dengan merespon antigen sendiri dan menyerang setiap sistem yang ada di dalam tubuh. SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia sekitar 30 tahun terakhir. Kejadian SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu, seperti bangsa negro, China, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Berdasarkan data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7% kasus pada tahun 1998-1990. Di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad belum ada data mengenai prevalensi SLE. Diagnosis SLE ditentukan dengan beberapa kriteria, seperti kriteria Dubois, kriteria American College of Rheumatology atau kriteria American Rheumatic Association. 1

Upload: re-aya-san

Post on 02-Jan-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit reumatik

autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang

mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini menyerang

sistem kekebalan tubuh secara autoimun, yaitu dengan merespon antigen sendiri

dan menyerang setiap sistem yang ada di dalam tubuh.

SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia sekitar 30

tahun terakhir. Kejadian SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi

pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering

ditemukan pada ras tertentu, seperti bangsa negro, China, dan mungkin juga

Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi

tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

Berdasarkan data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7%

kasus pada tahun 1998-1990. Di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad

belum ada data mengenai prevalensi SLE. Diagnosis SLE ditentukan dengan

beberapa kriteria, seperti kriteria Dubois, kriteria American College

of Rheumatology atau kriteria American Rheumatic Association.

Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLE adalah dengan menekan gejala

dan komplikasinya. Penatalaksanaannya meliputi non medikamentosa dan

medikamentosa. Non-medikamentosa dapat berupa edukasi dan monitoring

teratur, sedangkan medikamentosa dapat berupa pemberian obat, seperti NSAID,

Salisilat, Kortikosteroid, atau obat anti malaria Imunosupresan.

B. Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas referat pada blok Hemato-Immunologi

2. Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Sistemic Lupus

Erythematosus

1

3. Untuk mengetahui etiologi dan patomekanisme pada Sistemic Lupus

Erythematosus

4. Untuk mengetahui patofisiologi dan penegakan diagnosis pada penyakit

Sistemic Lupus Erythematosus

5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis

pada penyakit Sistemic Lupus Erythematosus.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan jaringan ikat

generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans, ditandai oleh

adanya erupsi kulit, artralgia, artritis, leukopenia, anemia, lesi organ, manifestasi

neurologik, limfadenopati, demam, dan berbagai gejala konstitusional lainnya.

Mungkin juga terdapat fenomena imunologi yang abnormal, seperti

hipergammaglobulinemia, hipokomplemenemia, kompleks antigen-antibodi,

antibodi antinuklear, dan sel LE (Dorland, 2011).

Menurut Guyton & Hall (2007), Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)

adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme toleransi.

Pasien pada saat yang sama terimunisasi terhadap berbagai jaringan tubuh.

Penyakit ini menyebabkan kerusakan yang sangat luas dan sering kali cepat

menimbulkan kematian.

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang

tidak diketahui asalnya dan ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap

asam deoksiribonukleat (DNA) (Price, 2005).

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi akibar perbedaan

populasi. Dari berbagai sumber didapatkan data sebagai berikut :

1. Menurut tempat

a. Prevalensi penyakit SLE pada populasi umum menurut Kirsch,

et al., adalah sebesar 0,06%.

b. Di Amerika Serikat, penyakit SLE terjadi dengan insidensi 14,6-

50,8 kasus/100.000 orang dan prevalensi 24-100/100.000 orang.

Diperkirakan oleh The Lupus Foundation of America (LFA), penderita

lupus di Amerika mencapai sekitar 1,5 juta penduduk, terutama

wanita, dengan berbagai tipe penyakit. Keturunan Afrika, Hispanik,

3

Amerika Asli, dan Asia memiliki risiko lebih besar menderita

penyakit SLE.

c. Di Swedia, prevalensi penyakit SLE adalah 36/100.000 orang.

d. Di Inggris, prevalensi penyakit SLE hamper sama dengan

prevalensi di Asia, yaitu sebesar 40/100.000 orang.

e. Di Negara Eropa, prevalensi penyakit SLE adalah 20/100.000

orang

f. Penyakit SLE jarang ditemukan di Afrika dengan dua penyebab,

yaitu :

i. Faktor risiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat

dan Eropa, daripada di Afrika

ii. Campuran gen Eropa dan Afrika meningkatkan risiko

terserang penyakit SLE.

g. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua

wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto

Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari

total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,

sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE

atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi

selama tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi, 2011).

2. Berdasar jenis kelamin dan umur

a. Penyakit SLE dapat menyerang semua golongan umur, tetapi

lebih sering menyerang usia 15-40 tahun dan lebih sering menyerang

wanita daripada pria dengan perbandingan 9:1, pada anak-anak

meningkat menjadi 10:1.

b. Pada wanita Eropa pada usia 15-14 tahun prevalensi penyakit

SLE sebesar 1/700 orang wanita.

c. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15-24 tahun prevalensi

penyakit SLE sebesar 1/245 orang wanita

3. Terdapat tendensi familial dan distribusi penyakit tidak dipengaruhi

oleh faktor ekonomi dan geografi.

4

C. ETIOLOGI

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang

memiliki bermacam-macam manifestasi klinik. Gambaran klinis SLE sangat

beragam dan mempunyai sangat banyak kemiripan dengan penyakit autoimun

lainnya (Mitchell & Kumar, 2012).

Hingga kini, penyebab pasti SLE belum diketahui dengan jelas, namun

kelainan mendasar yang terjadi pada penderita pada SLE adalah kegagalan

mempertahankan toleransi imunologi terhadap diri sendiri. Akibatnya, terdapat

autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung

ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun pada beberapa jaringan dan organ.

Endapan kompleks imun ini menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada

beberapa organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah

yang menyebabkan timbulnya gejala dan tanda pada organ tersebut, seperti kulit,

sendi, ginjal, pleura, dan sebagainya. Antibodi tersebut menyerang komponen

nuklear dan sitoplasma penderita. Ciri khas autoantibodi ini adalah tidak tissue-

spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Beberapa antibodi

diarahkan untuk menyerang komponen sel darah, sementara beberapa yang lain

menyerang protein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid (Mitchell &

Kumar, 2012).

Antibodi-antibodi yang menyerang sel-sel tubuh sendiri secara bersama-

sama disebut sebagai ANA (Anti Nuclear Antibody). Antibodi Anti-nuklear

(ANA) adalah autoantibodi yang diarahkan untuk melawan beberapa antigen

nukleus sel-sel tubuh penderita (Mitchell & Kumar, 2012). Dalam Mitchell &

Kumar (2012) dijelaskan bahwa berdasarkan target yang diserang, ANA dapat

dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:

1. antibodi terhadap DNA

2. antibodi terhadap histon

3. antibodi terhadap protein non-histon yang terikat pada RNA, dan

4. antibodi terhadap antigen nukleolus

5

Pada beberapa penderita banyak ditemukan adanya autoantibodi yang

melawan sel darah, termasuk eritrosit, trombosit, dan limfosit. Pada sekitar 40%-

50% penderita SLE terdapat Antibodi Antifosfolipid yang bereaksi terhadap

berbagai macam protein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid (Mitchell

& Kumar, 2012).

Berikut ini adalah beberapa jenis autoantibodi yang berhubungan dengan

penderita SLE:

Antibodi Insidensi Antigen Makna Klinis

Antibodi antinuklear

Anti-DNA 70% DNA

Anti-DNA untai-ganda

adalah spesifik untuk SLE;

anti-DNA untai-tunggal

tidak spesifik

Anti-Sm 30%

Ribonukleo-

protein (Ag

Smith)

Spesifik untuk SLE

Anti-RNP 40%Ribonukleo-

protein

Titer tinggi pada penyakit

jaringan ikat campuran

Anti-histon 70% HistonPositif pada 95% kasus

SLE yang diinduksi obat

Anti-Ro (SS-

A)30%

Ribonukleo-

protein

Berkaitan dengan sindrom

Sjögren dan nefritis

Anti-LA(SS-

B)10%

Ribonukleo-

protein

Berkaitan dengan sindrom

Sjögren

Anti-

sentromer<5% Sentromer

Berkaitan dengan sindrom

CREST

Anti-Sci 70 <5% Topoisomerase Berkaitan dengan sklerosis

6

DNA sistemik

Anti-Jo 1 <5%tRNA

sintetase

Berkaitan dengan

polimiositis

Antibodi lain

Antikardiopilin 50% Fosfolipid

Berkaitan dengan

thrombosis, aborsi spontan;

antikoagulan lupus; VDRL

positif palsu

Antieritrosit 60%

Antigen

permukaan

eritrosit

Hemolisis (jarang)

Antitrombosit -

Antigen

permukaan

trombosit

Trombositopenia

Antilimfosit 70%

Antigen

permukaan

limfe

disfungsi sel T

Antineuronal 60%

Antigen

permukaan

neuron

Lupus sistem syaraf pusat

D. PATOGENESIS

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan

lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini

termasuk (Harrison, 2006) :

1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun,

dan RNA dalam RNA/protein self-antigen

7

2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-

spesifik T dan Limfosit B)

3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+

4. Berkurangnya klirens sel apoptotik dan kompleks imun.

Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat

ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga

antigen autoantibodi dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa

jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang

(Harrison, 2006).

Menurut (Harrison, 2006), aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang

terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi pro-inflammatorik Tumor

Necrosis Factor (TNF), interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel

B, B Lymphocyte Stimulator (BLyS), serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan

regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.

Namun, sel lupus T dan Natural Killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan

Transforming Growth Factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi

CD8+. Akibatnya adalah produksi auto-antibodi yang terus menerus dan

terbentuknya kompleks imun yang akan berikatan dengan jaringan target, disertai

dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang

berikatan dengan Ig.

Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan

kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada

keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu

pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.

Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase

kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri,

paru-paru, dan jaringan lainnya (Harrison, 2006).

E. PATOFISIOLOGI

8

Patofisiologi SLE masih sulit untuk dipahami dan hanya sebatas hipotesis.

Interaksi yang sangat rumit dan multifaktorial antara berbagai faktor genetik dan

lingkungan mungkin terlibat. Beberapa gen berkontribusi terhadap kerentanan

seseorang terhadap penyakit ini. Ketidaksempurnaan pada mekanisme pengaturan

imunitas, seperti pembersihan sel apoptosis dan kompleks imun, berkontribusi

penting untuk pengembangan SLE. Hilangnya toleransi kekebalan tubuh,

meningkatkan beban antigenik, bantuan dari sel T yang berlebihan, supresi sel B

yang tidak sempurna, dan pergeseran T helper 1 (Th1) untuk respon imun T

helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas sel B dan produksi auto-antibodi

pathogen (Price, 2003).

Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut, adanya satu atau

beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi

genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,

mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya

munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,

baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori (Price,

2003).

Menurut Price (2003), wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari

yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet, dan

berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan

terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini

meliputi DNA, protein histon, dan protein non-histon. Kebanyakan diantaranya

dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks

protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas

autoantigen ini adalah tidak  tissue-spesific dan merupakan komponen integral

semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear

antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun

yang beredar dalam sirkulasi.

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu,

dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan

pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun

9

pada limpa. Gangguan-gangguan tersebut memungkinkan terbentuknya deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan

mengendap pada berbagai macam organ yang mengakibatkan terjadinya fiksasi

komplemen pada organ tersebut. Peristiwa tersebut menyebabkan aktivasi

komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi.

Reaksi inflamasi itu yang menyebabkan timbulnya keluhan dan gejala pada organ

atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,

kulit, dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi SLE ialah

terganggunya mekanisme regulasi dari T suppressor yang dalam keadaan normal

mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten (Price, 2003).

F. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis SLE dapat membingungkan terutama pada awalnya karena

tidak spesifik. Lemah, lesu, demam, mual, nafsu makan menurun, serta berat

badan menurun terjadi pada penderita. Gangguan yang paling sering ditemukan

pada sistem musculoskeletal adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul

pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal.

Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan,

pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE ini

berbeda dari artritis rheumatoid karena bersifat non-erosif sehingga jarang

menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan di penyakit SLE

(Price, 2003).

Pnemonitis, pleuritis, pulmonary hemorrhage, emboli paru, hipertensi

pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub

pada pemeriksaan fisik dapat timbul akibat peradangan kronis pada pasien SLE.

Efusi pleura yang di jumpai biasanya jernih dengan kadar protein <10.000 kadar

glukosa normal. SLE juga dapat menyebabkan perikarditis, efusi perkardium,

miokarditis, endokarditis, kelainan katup jantung, hipertensi, gagal jantung, dan

kelainan konduksi. Manifestasi jantung yang paling sering ditemukan pada

penderita adalah gangguan perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium

disusul oleh kelainan miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan

10

pembesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis yang di kenal dengan

nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa di sertai dengan

bising katup (Price, 2003).

Nefritis lupus timbul pada waktu antbodi anti-nuklear (anti-DNA) melekat

pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerulus ginjal. Biasanya DNA

tidak bersifat antigenic pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks

imun ini, dan proses peradangan pun dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan

ginjal, kerusakan jaringan, dan pembentukan jaringan parut (Price, 2003).

Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya.

Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan

pemeriksaan adanya protein dan eritrosit di air kemih. SLE juga dapat menyerang

sistem saraf pusat maupun perifer seperti kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan

neuropati perifer. Gangguan-gangguan pada sistem saraf ini sering diakibatkan

oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal (Price, 2003).

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi

dibawah ini diartikan sebagai terpenuhinya kriteria minimum (definitif) atau

banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American

College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997 (Perhimpunan Reumatologi,

2011).

Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE pada kondisi

tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja

kriteria tersebut belum terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit

SLE, maka diagnosis dini tidak mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal,

seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain, misalnya artritis reumatoid,

gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan

pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting (Perhimpunan Reumatologi,

2011).

1. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan monitoring

11

a. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila

diperlukan kreatinin urin

c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsihati, pro-il lipid)

d. PT, PTT pada sindroma anti fosfolipid

e. Serologi ANA, anti-DNA, komplemen (C3,C4)

f. Fotopolos thorax

2. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk

monitoring, yaitu ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin

time/partial tromboplastin time.

a. Setiap 3-6 bulan bila stabil

b. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif

3. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.

Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis

pasien.

4. Pemeriksaan Serologi pada SLE

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

SLE adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah

pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-

100%, tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang

mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE, misalnya infeksi kronis

(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue

disease/MCTD, artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada

orang normal (Perhimpunan Reumatologi, 2011).

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak

diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE

seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA

pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis

yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai

12

substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya

diagnosis SLE dapat disingkirkan (Reumatologi, 2011).

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah

tes antibodi terhadap antigen nuklear spesiik, termasuk anti-DNA, Sm,

nRNP, Ro(SSA), La (SSB),Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal

sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti-DNA merupakan tes spesifik untuk

SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesiitasnya hampir 100%.

Titer anti-DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE

dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin

dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE (Perhimpunan Reumatologi,

2011).

Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-DNA positif

menunjang diagnosis SLE sementara bila anti-DNA negatif tidak

menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%

pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal.

Tes anti-Sm relatif spesiik untuk SLE dan dapat digunakan untuk diagnosis

SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-DNA,

anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Perhimpunan

Reumatologi, 2011).

Rekomendasi

a. Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk

SLE

b. Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

c. Test Anti DNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negative

tidak menyingkirkan diagnosis SLE

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan SLE harus dijalankan secara multidisiplin. Periode

aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis. Prinsip umum dalam pengelolaan

SLE bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan

13

yang lebih holistik seperti pendekatan biopsikososial (Perhimpunan Reumatologi,

2011).

Tujuan khusus pengobatan SLE secara paripurna, yaitu :

1. Mendapatkan masa remisi yang panjang

2. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin

3. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas

hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang

optimal.

Menurut Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011),

diperlukan strategi pengobatan atau pilar pengobatan yang dilakukan agar tujuan

pengobatan ini tercapai.

Pilar pengobatan SLE ini meliputi :

1. Edukasi dan konseling

Mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis, pemberian edukasi

dan konseling sangat dibutuhkan tidak hanya bagi pasien namun bagi

keluarga dan kerabat dekatnya. Edukasi keluarga diarahkan untuk

memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan

SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak

berlebihan. Ini dimaksudkan agar pasien SLE dapat dimengerti oleh pihak

keluarga dan mampu mandiri dalam kehidupan sehari-harinya.

Berikut butir-butir edukasi terhadap pasien SLE :

a. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya

b. Tipe dari penyakit SLA dan perangai dari masing-masing tipe

tersebut

c. Masalah yang terkait dengan fisik

d. Pengenalan masalah aspek psikologis

e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan

sebagainya.

14

f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE,

adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam

pemasyarakatan SLE, dan sebagainya.

2. Program rehabilitasi

Secara garis besar, indikasi dan teknis pelaksanaan program

rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud dibawah ini, yaitu

(Perhimpunan Reumatologi, 2011):

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

d. Ortotik

e. Lain-lain

3. Pengobatan medikamentosa

Berikut ini adalah jenis dan dosis obat yang dipakai pada SLE serta

pemantauannya (Perhimpunan Reumatologi, 2011):

Jenis

obat

Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi

Awal

Pemantauan

Klinis Laboratorik

OAINS Tergantung

OAINS

Perdarahan

saluran cerna,

hepatotoksik,

sakit kepala,

hipertensi,

aseptic

meningitis,

nefrotoksik

Darah

rutin,

kreatinin,

urin,

AST/ALT

Gejala

gastro-

intesti-

nal

Darah rutin,

kreatinin,

AST/ALT

setiap 6 bulan

Kortiko

steroid

Tergantung

derajat SLE

Cushingoid,

hipertensi,

dislipidemia,

osteonekrosis,

hiperglisemia,

katarak,

Gula

darah,

profil

lipid,

DXA,

tekanan

Tekanan

darah

Glukosa

15

osteoporosis darah

Kluro-

kuin

250 mg/hari

(3,5-4

mg/kg/BB/h

ari)

Retinopati,

keluhan GIT,

rash, mialgia,

sakit kepala,

anemia

hemolitik pada

pasien dengan

defisiensi G6PD

Evaluasi

mata,

G6PD

pada

pasien

berisiko

Fundus-

kopi dan

lapangan

pandang

mata

setiap 3-

6 bulan

-

Hidrok-

sikloro-

kluin

Belum tersedia di Indonesia

Azatiop

rin

50-150

mg/hari,

dosis

terbagi 1-3,

tergantung

berat badan

Mielosupresif,

hepatotoksik,

gangguan

limfoproliferatif

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

AST/ALT

Gejala

mielo-

supresif

Darah tepi

lengkap tiap

1-2 minggu

dan

selanjutnya

1-3 bulan

interval. AST

tiap tahun

dan pap

smear secara

teratur.

Siklofo

sfamid

Per oral: 50-

150

mg/hari.

Intravena:

500-750

mg/m2

dalam

Dextrose

Mielosupresif,

gangguan

limfoproliferatif,

keganasan,

imunosupresi,

sistisis

hemoragik,

infertilitas

Darah tepi

lengkap,

hitung

jenis

leukosit,

urin

lengkap

Gejala

mielo-

supresif,

hema-

turia, in-

fertilitas

Darah tepi

lengkap dan

urin lengkap

tiap bulan,

sitologi urin,

dan pap

smear tiap

tahun seumur

16

250 ml,

infuse

selama 1

jam.

sekunder. hidup.

Metotre

ksat

7,5-20

mg/minggu,

dosis

tunggal atau

terbagi 3.

Dapat

diberikan

pula melalui

injeksi.

Mielosupresif,

fibrosis hepatic,

sirosis, infiltrate

pulmonal dan

fibrosis.

Darah tepi

lengkap,

foto

toraks,

serologi

hepatitis B

dan C

pada

pasien

risiko

tinggi,

AST,

fungsi hati

dan

kreatinin.

Gejala

mielosup

resif,

sesak

nafas,

mual dan

muntah,

ulkus

mulut.

Darah tepi

lengkap

terutama

hitung

trombosit tiap

4-8 minggu,

AST/ALT

dan albumin

tiap 4-8

minggu, urin

lengkap dan

kreatinin.

Siklo-

sporin

A

2,5-5

mg/kgBB

atau sekitar

100-400

mg/hari

dalam 2

dosis,

tergantung

BB

Pembengkakan,

nyeri gusi,

peningkatan

tekanan darah,

peningkatan

pertumbuhan

rambut,

gangguan fungsi

ginjal, nafsu

makan menurun,

tremor.

Darah tepi

lengkap,

kreatinin,

urin

lengkap,

LFT.

Gejala

hipersen-

sitifitas

terhadap

castor oil

(bila obat

diberikan

injeksi),

tekanan

darah,

fungsi

hati dan

Kreatinin,

LFT, darah

tepi lengkap.

17

ginjal.

Miko-

fenolat-

mofetil

1000-2000

mg dalam 2

dosis

Mual, diare,

leukopenia

Darah tepi

lengkap,

feses

lengkap

Gejala

gastro-

intestinal

seperti

mual dan

muntah.

Darah tepi

lengkap

terutama

leukosit dan

hitung

jenisnya.

Keterangan :

OAINS : obat anti inflamasi non steroid

AST/ALT : aspartate serum transaminase/alanine seru transaminase

LFT : liver function test

a. Pengobatan SLE ringan

Pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan

berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting

agar tujuan di atas tercapai, yaitu (Perhimpunan Reumatologi, 2011):

i. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila

diperlukan

ii. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS), sesuai panduan

diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi

iii. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan

preparat dengan potensi ringan)

iv. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari)

(1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)

catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan

dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-

6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap

6-12 bulan

18

v. Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg /

hari atau yang setara

vi. Tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-

kurangnya 15 (SPF 15)

b. Pengobatan SLE sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan

kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa

rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan

yang telah ada.

c. Pengobatan SLE berat atau mengancam jiwa

Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-

obatan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu (Perhimpunan

Reumatologi, 2011):

i. Glukokortikoid Dosis Tinggi

Lupus nefritis, serebritis, atau trombositopenia: 40 – 60 mg/hari

(1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu

yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului

pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g/hari

selama 3 hari bertutut-turut.

ii. Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik

yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid,

metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan

tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru

atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara

kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan

hasil pengobatan yang lebih baik.

d. Terapi lain

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus

SLE mencakup (Perhimpunan Reumatologi, 2011):

19

i. Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400

mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan

trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,

manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan

terapi konvensional.

ii. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni,

krioglobulinemia dan lupus serberitis.

iii. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.

iv. Danazol pada trombositopenia refrakter.

v. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki

steroid-sparring effect pada SLE ringan.39

vi. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi

kulit yang refrakter

dengan obat lainnya.

vii. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat

diberikan pada SLE yang berat.

viii. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat

aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam

terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)

ix. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal

terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).

x. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Menurut Wachjudi (2012), selain pengobatan secara medikamentosa,

penyakit SLE ini dapat diberi pengobatan melalui agen biologis seperti:

1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap

fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui

immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya

mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu

20

antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan

limfosit B.

2. Anti CD 20

Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE

yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada

manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis, dan

gangguan hematologi.

3. LJP 394

LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didesain untuk mencegah

rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibodi

terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.

Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian

deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.

4. Anti B lymphocyte stimulator

Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF

(tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB

merupakan antibod monoklonal  terhadap BlyS.

5. Sitokin inhibitor

Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi

TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks

pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang

diberikan pada penderita SLE.

6. Anti malaria

Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin,

klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional,

manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat

antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu

macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari)

dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek

21

samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi

kekuningan.

Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti

trombotik. Anti malaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital

pada janin. Oleh Karena itu direkomendasikan untuk diberikan juga pada

penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa

menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian

hidroksiklorokuin.

PENATALAKSANAAN SLE PADA KEADAAN KHUSUS (Perhimpunan

Reumatologi, 2011)

1. SLE pada kehamilan

Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan

sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6

bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus

nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat

mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.

Medikamentosa:

a. Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi

7,5 mg/hari prednison atau setara.

b. DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh

kehati-hatian.

2. SLE dengan APS

Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma Hughes

merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi akumulasi dari

bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid. Penyakit ini merupakan suatu kelainan

trombosis, abortus berulang atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi

antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus

antikoagulan (LA).

22

Penatalaksanaan APS pada dasarnya ditujukan terhadap kejadian trombosis

yaitu:

a. Aspirin dosis kecil (80 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk

diberikan kepada pasien SLE dengan APS sebagai pencegahan primer

terhadap trombosis dan keguguran.

b. Faktor-faktor risiko lain terhadap trombosis perlu diperiksa misalnya

protein C, protein S, homosistein.

c. Obat-obat yang mengandung estrogen meningkatkan risiko trombosis,

harus dihindari.

d. Pada pasien SLE yang tidak hamil dan menderita trombosis yang

berhubungan dengan APS, pemberian antikoagulan jangka panjang dengan

antikoagulan oral efektif untuk pencegahan sekunder terhadap trombosis.

Pemberian heparinisasi unfractionated dengan target aPTT pada hari 1 – 10

sebesar 1,5 – 2,5 kali normal. Selanjutnya dilakukan pemberian tumpang

tindih warfarin mulai hari ke-tujuh sampai ke-sepuluh, kemudian heparin

dihentikan. Target INR adalah 2 – 3 kali nilai normal.

e. Pada pasien hamil yang menderita SLE dan APS, kombinasi heparin

berat molekul rendah (LMW) atau unfractionated dan aspirin akan

mengurangi risiko keguguran dan trombosis.

3. Neuropsikiatri Lupus (NPSLE)

Tidak ada standar terapi NPSLE, masing-masing pasien diterapi

berdasarkan gejala manifestasi yang dialaminya (tailored). Dalam praktek klinik

ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan

penderita SLE dengan gejala neuropsikiatrik, diantaranya:

a. Selalu pikirkan diagnosis banding karena NPSLE merupakan

diagnosis eksklusi (diagnosis ditegakkan setelah menyingkirkan diagnosis

lain).

b. Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang

timbul) atau tampaknya (secara epidemiologi) menimbulkan kerusakan yang

ireversibel.

23

c. Pasien SLE dengan manifestasi NP mayor (neuritis optikus, acute

confusional state/ koma, neuropati kranial atau perifer, psikosis dan mielitis

transverse/ mielopati) mungkin disebabkan oleh in lamasi, pertimbangkan

pemberian terapi imunosupresif.

I. PROGNOSIS

Prognosis SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-

organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat

disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis

berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi (Price, 2005 ). Pada

wanita hamil penderita SLE seringkali dapat melahirkan bayinya dengan selamat

selama sang ibu tidak memiliki penyakit pada ginjal dan jantung. Namun dengan

adanya antibody SLE dapat meningkatkan resiko keguguran.

Kesintasan (survival) pasien SLE adalah sekitar 70 persen dalam 10 tahun.

Kesintasan paling rendah terjadi pada pasien bukan kulit putih, pada kelompok

dengan tingkat sosioekonomi rendah, dan pada pasien dengan keterlibatan ginjal,

otak, paru, atau jantung yang parah. Sering terjadi kecacatan. Infeksi dan gagal

ginjal merupakan penyebab utama kematian (Isselbacher, 2008)

24

BAB III

KESIMPULAN

Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang

disebabkan oleh kegagalan mekanisme toleransi yang epidemiologinya berbeda-

beda tergantung tempat, jenis kelamin, dan usia. SLE tidak dipengaruhi oleh

keadaan ekonomi dan geografi.

Etiologi penyakit SLE sampai saat ini belum dapat diastikan secara pasti,

tetapi dapat dipastikan bahwa terjadi kegagalan mempertahankan toleransi

imunologi terhadap diri sendiri.

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan

lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Patofisiologi

SLE masih sulit untuk dipahami dan hanya sebatas hipotesis, kemungkinan terjadi

interaksi yang sangat rumit dan multifaktorial antara berbagai faktor genetik dan

lingkungan.

Manifestasi klinik SLE sangat beragam dan kadang menyerupai penyakit

lain, sehingga deteksi dini sulit dilakukan.

Penatalaksanaan SLE harus dijalankan secara multidisiplin dengan prinsip

umum bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan

yang lebih holistik. Prognosis SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan

gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan.

25