sle
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit reumatik
autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini menyerang
sistem kekebalan tubuh secara autoimun, yaitu dengan merespon antigen sendiri
dan menyerang setiap sistem yang ada di dalam tubuh.
SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia sekitar 30
tahun terakhir. Kejadian SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering
ditemukan pada ras tertentu, seperti bangsa negro, China, dan mungkin juga
Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan geografi
tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Berdasarkan data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7%
kasus pada tahun 1998-1990. Di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
belum ada data mengenai prevalensi SLE. Diagnosis SLE ditentukan dengan
beberapa kriteria, seperti kriteria Dubois, kriteria American College
of Rheumatology atau kriteria American Rheumatic Association.
Prinsip umum dalam penatalaksanaan SLE adalah dengan menekan gejala
dan komplikasinya. Penatalaksanaannya meliputi non medikamentosa dan
medikamentosa. Non-medikamentosa dapat berupa edukasi dan monitoring
teratur, sedangkan medikamentosa dapat berupa pemberian obat, seperti NSAID,
Salisilat, Kortikosteroid, atau obat anti malaria Imunosupresan.
B. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas referat pada blok Hemato-Immunologi
2. Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Sistemic Lupus
Erythematosus
1
3. Untuk mengetahui etiologi dan patomekanisme pada Sistemic Lupus
Erythematosus
4. Untuk mengetahui patofisiologi dan penegakan diagnosis pada penyakit
Sistemic Lupus Erythematosus
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis
pada penyakit Sistemic Lupus Erythematosus.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan jaringan ikat
generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans, ditandai oleh
adanya erupsi kulit, artralgia, artritis, leukopenia, anemia, lesi organ, manifestasi
neurologik, limfadenopati, demam, dan berbagai gejala konstitusional lainnya.
Mungkin juga terdapat fenomena imunologi yang abnormal, seperti
hipergammaglobulinemia, hipokomplemenemia, kompleks antigen-antibodi,
antibodi antinuklear, dan sel LE (Dorland, 2011).
Menurut Guyton & Hall (2007), Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)
adalah penyakit autoimun yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme toleransi.
Pasien pada saat yang sama terimunisasi terhadap berbagai jaringan tubuh.
Penyakit ini menyebabkan kerusakan yang sangat luas dan sering kali cepat
menimbulkan kematian.
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang
tidak diketahui asalnya dan ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap
asam deoksiribonukleat (DNA) (Price, 2005).
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi akibar perbedaan
populasi. Dari berbagai sumber didapatkan data sebagai berikut :
1. Menurut tempat
a. Prevalensi penyakit SLE pada populasi umum menurut Kirsch,
et al., adalah sebesar 0,06%.
b. Di Amerika Serikat, penyakit SLE terjadi dengan insidensi 14,6-
50,8 kasus/100.000 orang dan prevalensi 24-100/100.000 orang.
Diperkirakan oleh The Lupus Foundation of America (LFA), penderita
lupus di Amerika mencapai sekitar 1,5 juta penduduk, terutama
wanita, dengan berbagai tipe penyakit. Keturunan Afrika, Hispanik,
3
Amerika Asli, dan Asia memiliki risiko lebih besar menderita
penyakit SLE.
c. Di Swedia, prevalensi penyakit SLE adalah 36/100.000 orang.
d. Di Inggris, prevalensi penyakit SLE hamper sama dengan
prevalensi di Asia, yaitu sebesar 40/100.000 orang.
e. Di Negara Eropa, prevalensi penyakit SLE adalah 20/100.000
orang
f. Penyakit SLE jarang ditemukan di Afrika dengan dua penyebab,
yaitu :
i. Faktor risiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat
dan Eropa, daripada di Afrika
ii. Campuran gen Eropa dan Afrika meningkatkan risiko
terserang penyakit SLE.
g. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE
atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi, 2011).
2. Berdasar jenis kelamin dan umur
a. Penyakit SLE dapat menyerang semua golongan umur, tetapi
lebih sering menyerang usia 15-40 tahun dan lebih sering menyerang
wanita daripada pria dengan perbandingan 9:1, pada anak-anak
meningkat menjadi 10:1.
b. Pada wanita Eropa pada usia 15-14 tahun prevalensi penyakit
SLE sebesar 1/700 orang wanita.
c. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15-24 tahun prevalensi
penyakit SLE sebesar 1/245 orang wanita
3. Terdapat tendensi familial dan distribusi penyakit tidak dipengaruhi
oleh faktor ekonomi dan geografi.
4
C. ETIOLOGI
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
memiliki bermacam-macam manifestasi klinik. Gambaran klinis SLE sangat
beragam dan mempunyai sangat banyak kemiripan dengan penyakit autoimun
lainnya (Mitchell & Kumar, 2012).
Hingga kini, penyebab pasti SLE belum diketahui dengan jelas, namun
kelainan mendasar yang terjadi pada penderita pada SLE adalah kegagalan
mempertahankan toleransi imunologi terhadap diri sendiri. Akibatnya, terdapat
autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung
ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun pada beberapa jaringan dan organ.
Endapan kompleks imun ini menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada
beberapa organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yang menyebabkan timbulnya gejala dan tanda pada organ tersebut, seperti kulit,
sendi, ginjal, pleura, dan sebagainya. Antibodi tersebut menyerang komponen
nuklear dan sitoplasma penderita. Ciri khas autoantibodi ini adalah tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Beberapa antibodi
diarahkan untuk menyerang komponen sel darah, sementara beberapa yang lain
menyerang protein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid (Mitchell &
Kumar, 2012).
Antibodi-antibodi yang menyerang sel-sel tubuh sendiri secara bersama-
sama disebut sebagai ANA (Anti Nuclear Antibody). Antibodi Anti-nuklear
(ANA) adalah autoantibodi yang diarahkan untuk melawan beberapa antigen
nukleus sel-sel tubuh penderita (Mitchell & Kumar, 2012). Dalam Mitchell &
Kumar (2012) dijelaskan bahwa berdasarkan target yang diserang, ANA dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu:
1. antibodi terhadap DNA
2. antibodi terhadap histon
3. antibodi terhadap protein non-histon yang terikat pada RNA, dan
4. antibodi terhadap antigen nukleolus
5
Pada beberapa penderita banyak ditemukan adanya autoantibodi yang
melawan sel darah, termasuk eritrosit, trombosit, dan limfosit. Pada sekitar 40%-
50% penderita SLE terdapat Antibodi Antifosfolipid yang bereaksi terhadap
berbagai macam protein yang membentuk kompleks dengan fosfolipid (Mitchell
& Kumar, 2012).
Berikut ini adalah beberapa jenis autoantibodi yang berhubungan dengan
penderita SLE:
Antibodi Insidensi Antigen Makna Klinis
Antibodi antinuklear
Anti-DNA 70% DNA
Anti-DNA untai-ganda
adalah spesifik untuk SLE;
anti-DNA untai-tunggal
tidak spesifik
Anti-Sm 30%
Ribonukleo-
protein (Ag
Smith)
Spesifik untuk SLE
Anti-RNP 40%Ribonukleo-
protein
Titer tinggi pada penyakit
jaringan ikat campuran
Anti-histon 70% HistonPositif pada 95% kasus
SLE yang diinduksi obat
Anti-Ro (SS-
A)30%
Ribonukleo-
protein
Berkaitan dengan sindrom
Sjögren dan nefritis
Anti-LA(SS-
B)10%
Ribonukleo-
protein
Berkaitan dengan sindrom
Sjögren
Anti-
sentromer<5% Sentromer
Berkaitan dengan sindrom
CREST
Anti-Sci 70 <5% Topoisomerase Berkaitan dengan sklerosis
6
DNA sistemik
Anti-Jo 1 <5%tRNA
sintetase
Berkaitan dengan
polimiositis
Antibodi lain
Antikardiopilin 50% Fosfolipid
Berkaitan dengan
thrombosis, aborsi spontan;
antikoagulan lupus; VDRL
positif palsu
Antieritrosit 60%
Antigen
permukaan
eritrosit
Hemolisis (jarang)
Antitrombosit -
Antigen
permukaan
trombosit
Trombositopenia
Antilimfosit 70%
Antigen
permukaan
limfe
disfungsi sel T
Antineuronal 60%
Antigen
permukaan
neuron
Lupus sistem syaraf pusat
D. PATOGENESIS
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan
lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk (Harrison, 2006) :
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun,
dan RNA dalam RNA/protein self-antigen
7
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-
spesifik T dan Limfosit B)
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4. Berkurangnya klirens sel apoptotik dan kompleks imun.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat
ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga
antigen autoantibodi dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa
jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang
(Harrison, 2006).
Menurut (Harrison, 2006), aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang
terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi pro-inflammatorik Tumor
Necrosis Factor (TNF), interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel
B, B Lymphocyte Stimulator (BLyS), serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan
regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.
Namun, sel lupus T dan Natural Killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan
Transforming Growth Factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi
CD8+. Akibatnya adalah produksi auto-antibodi yang terus menerus dan
terbentuknya kompleks imun yang akan berikatan dengan jaringan target, disertai
dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang
berikatan dengan Ig.
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu
pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase
kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri,
paru-paru, dan jaringan lainnya (Harrison, 2006).
E. PATOFISIOLOGI
8
Patofisiologi SLE masih sulit untuk dipahami dan hanya sebatas hipotesis.
Interaksi yang sangat rumit dan multifaktorial antara berbagai faktor genetik dan
lingkungan mungkin terlibat. Beberapa gen berkontribusi terhadap kerentanan
seseorang terhadap penyakit ini. Ketidaksempurnaan pada mekanisme pengaturan
imunitas, seperti pembersihan sel apoptosis dan kompleks imun, berkontribusi
penting untuk pengembangan SLE. Hilangnya toleransi kekebalan tubuh,
meningkatkan beban antigenik, bantuan dari sel T yang berlebihan, supresi sel B
yang tidak sempurna, dan pergeseran T helper 1 (Th1) untuk respon imun T
helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas sel B dan produksi auto-antibodi
pathogen (Price, 2003).
Patofisiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut, adanya satu atau
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya
munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,
baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori (Price,
2003).
Menurut Price (2003), wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari
yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet, dan
berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan
terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini
meliputi DNA, protein histon, dan protein non-histon. Kebanyakan diantaranya
dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini adalah tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral
semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear
antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu,
dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan
pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun
9
pada limpa. Gangguan-gangguan tersebut memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ yang mengakibatkan terjadinya fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa tersebut menyebabkan aktivasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi.
Reaksi inflamasi itu yang menyebabkan timbulnya keluhan dan gejala pada organ
atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit, dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi SLE ialah
terganggunya mekanisme regulasi dari T suppressor yang dalam keadaan normal
mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten (Price, 2003).
F. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis SLE dapat membingungkan terutama pada awalnya karena
tidak spesifik. Lemah, lesu, demam, mual, nafsu makan menurun, serta berat
badan menurun terjadi pada penderita. Gangguan yang paling sering ditemukan
pada sistem musculoskeletal adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul
pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal.
Sendi-sendi yang paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan,
pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE ini
berbeda dari artritis rheumatoid karena bersifat non-erosif sehingga jarang
menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang ditemukan di penyakit SLE
(Price, 2003).
Pnemonitis, pleuritis, pulmonary hemorrhage, emboli paru, hipertensi
pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub
pada pemeriksaan fisik dapat timbul akibat peradangan kronis pada pasien SLE.
Efusi pleura yang di jumpai biasanya jernih dengan kadar protein <10.000 kadar
glukosa normal. SLE juga dapat menyebabkan perikarditis, efusi perkardium,
miokarditis, endokarditis, kelainan katup jantung, hipertensi, gagal jantung, dan
kelainan konduksi. Manifestasi jantung yang paling sering ditemukan pada
penderita adalah gangguan perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium
disusul oleh kelainan miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan
10
pembesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis yang di kenal dengan
nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa di sertai dengan
bising katup (Price, 2003).
Nefritis lupus timbul pada waktu antbodi anti-nuklear (anti-DNA) melekat
pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerulus ginjal. Biasanya DNA
tidak bersifat antigenic pada pasien SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks
imun ini, dan proses peradangan pun dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan
ginjal, kerusakan jaringan, dan pembentukan jaringan parut (Price, 2003).
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya.
Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan melakukan
pemeriksaan adanya protein dan eritrosit di air kemih. SLE juga dapat menyerang
sistem saraf pusat maupun perifer seperti kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan
neuropati perifer. Gangguan-gangguan pada sistem saraf ini sering diakibatkan
oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat fatal (Price, 2003).
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi
dibawah ini diartikan sebagai terpenuhinya kriteria minimum (definitif) atau
banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American
College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997 (Perhimpunan Reumatologi,
2011).
Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE pada kondisi
tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE), maka dapat saja
kriteria tersebut belum terpenuhi. Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit
SLE, maka diagnosis dini tidak mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal,
seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain, misalnya artritis reumatoid,
gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan
pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting (Perhimpunan Reumatologi,
2011).
1. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan monitoring
11
a. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsihati, pro-il lipid)
d. PT, PTT pada sindroma anti fosfolipid
e. Serologi ANA, anti-DNA, komplemen (C3,C4)
f. Fotopolos thorax
2. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring, yaitu ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin
time/partial tromboplastin time.
a. Setiap 3-6 bulan bila stabil
b. Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
3. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.
Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis
pasien.
4. Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
SLE adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE, misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue
disease/MCTD, artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada
orang normal (Perhimpunan Reumatologi, 2011).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis
yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
12
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan (Reumatologi, 2011).
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesiik, termasuk anti-DNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB),Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti-DNA merupakan tes spesifik untuk
SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesiitasnya hampir 100%.
Titer anti-DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin
dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE (Perhimpunan Reumatologi,
2011).
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-DNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal.
Tes anti-Sm relatif spesiik untuk SLE dan dapat digunakan untuk diagnosis
SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-DNA,
anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Perhimpunan
Reumatologi, 2011).
Rekomendasi
a. Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk
SLE
b. Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
c. Test Anti DNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negative
tidak menyingkirkan diagnosis SLE
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SLE harus dijalankan secara multidisiplin. Periode
aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis. Prinsip umum dalam pengelolaan
SLE bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan
13
yang lebih holistik seperti pendekatan biopsikososial (Perhimpunan Reumatologi,
2011).
Tujuan khusus pengobatan SLE secara paripurna, yaitu :
1. Mendapatkan masa remisi yang panjang
2. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
3. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas
hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.
Menurut Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011),
diperlukan strategi pengobatan atau pilar pengobatan yang dilakukan agar tujuan
pengobatan ini tercapai.
Pilar pengobatan SLE ini meliputi :
1. Edukasi dan konseling
Mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis, pemberian edukasi
dan konseling sangat dibutuhkan tidak hanya bagi pasien namun bagi
keluarga dan kerabat dekatnya. Edukasi keluarga diarahkan untuk
memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan
SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak
berlebihan. Ini dimaksudkan agar pasien SLE dapat dimengerti oleh pihak
keluarga dan mampu mandiri dalam kehidupan sehari-harinya.
Berikut butir-butir edukasi terhadap pasien SLE :
a. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
b. Tipe dari penyakit SLA dan perangai dari masing-masing tipe
tersebut
c. Masalah yang terkait dengan fisik
d. Pengenalan masalah aspek psikologis
e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan
sebagainya.
14
f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE,
adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam
pemasyarakatan SLE, dan sebagainya.
2. Program rehabilitasi
Secara garis besar, indikasi dan teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud dibawah ini, yaitu
(Perhimpunan Reumatologi, 2011):
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain
3. Pengobatan medikamentosa
Berikut ini adalah jenis dan dosis obat yang dipakai pada SLE serta
pemantauannya (Perhimpunan Reumatologi, 2011):
Jenis
obat
Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi
Awal
Pemantauan
Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung
OAINS
Perdarahan
saluran cerna,
hepatotoksik,
sakit kepala,
hipertensi,
aseptic
meningitis,
nefrotoksik
Darah
rutin,
kreatinin,
urin,
AST/ALT
Gejala
gastro-
intesti-
nal
Darah rutin,
kreatinin,
AST/ALT
setiap 6 bulan
Kortiko
steroid
Tergantung
derajat SLE
Cushingoid,
hipertensi,
dislipidemia,
osteonekrosis,
hiperglisemia,
katarak,
Gula
darah,
profil
lipid,
DXA,
tekanan
Tekanan
darah
Glukosa
15
osteoporosis darah
Kluro-
kuin
250 mg/hari
(3,5-4
mg/kg/BB/h
ari)
Retinopati,
keluhan GIT,
rash, mialgia,
sakit kepala,
anemia
hemolitik pada
pasien dengan
defisiensi G6PD
Evaluasi
mata,
G6PD
pada
pasien
berisiko
Fundus-
kopi dan
lapangan
pandang
mata
setiap 3-
6 bulan
-
Hidrok-
sikloro-
kluin
Belum tersedia di Indonesia
Azatiop
rin
50-150
mg/hari,
dosis
terbagi 1-3,
tergantung
berat badan
Mielosupresif,
hepatotoksik,
gangguan
limfoproliferatif
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
AST/ALT
Gejala
mielo-
supresif
Darah tepi
lengkap tiap
1-2 minggu
dan
selanjutnya
1-3 bulan
interval. AST
tiap tahun
dan pap
smear secara
teratur.
Siklofo
sfamid
Per oral: 50-
150
mg/hari.
Intravena:
500-750
mg/m2
dalam
Dextrose
Mielosupresif,
gangguan
limfoproliferatif,
keganasan,
imunosupresi,
sistisis
hemoragik,
infertilitas
Darah tepi
lengkap,
hitung
jenis
leukosit,
urin
lengkap
Gejala
mielo-
supresif,
hema-
turia, in-
fertilitas
Darah tepi
lengkap dan
urin lengkap
tiap bulan,
sitologi urin,
dan pap
smear tiap
tahun seumur
16
250 ml,
infuse
selama 1
jam.
sekunder. hidup.
Metotre
ksat
7,5-20
mg/minggu,
dosis
tunggal atau
terbagi 3.
Dapat
diberikan
pula melalui
injeksi.
Mielosupresif,
fibrosis hepatic,
sirosis, infiltrate
pulmonal dan
fibrosis.
Darah tepi
lengkap,
foto
toraks,
serologi
hepatitis B
dan C
pada
pasien
risiko
tinggi,
AST,
fungsi hati
dan
kreatinin.
Gejala
mielosup
resif,
sesak
nafas,
mual dan
muntah,
ulkus
mulut.
Darah tepi
lengkap
terutama
hitung
trombosit tiap
4-8 minggu,
AST/ALT
dan albumin
tiap 4-8
minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.
Siklo-
sporin
A
2,5-5
mg/kgBB
atau sekitar
100-400
mg/hari
dalam 2
dosis,
tergantung
BB
Pembengkakan,
nyeri gusi,
peningkatan
tekanan darah,
peningkatan
pertumbuhan
rambut,
gangguan fungsi
ginjal, nafsu
makan menurun,
tremor.
Darah tepi
lengkap,
kreatinin,
urin
lengkap,
LFT.
Gejala
hipersen-
sitifitas
terhadap
castor oil
(bila obat
diberikan
injeksi),
tekanan
darah,
fungsi
hati dan
Kreatinin,
LFT, darah
tepi lengkap.
17
ginjal.
Miko-
fenolat-
mofetil
1000-2000
mg dalam 2
dosis
Mual, diare,
leukopenia
Darah tepi
lengkap,
feses
lengkap
Gejala
gastro-
intestinal
seperti
mual dan
muntah.
Darah tepi
lengkap
terutama
leukosit dan
hitung
jenisnya.
Keterangan :
OAINS : obat anti inflamasi non steroid
AST/ALT : aspartate serum transaminase/alanine seru transaminase
LFT : liver function test
a. Pengobatan SLE ringan
Pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting
agar tujuan di atas tercapai, yaitu (Perhimpunan Reumatologi, 2011):
i. Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila
diperlukan
ii. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS), sesuai panduan
diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi
iii. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan
preparat dengan potensi ringan)
iv. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari)
(1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa)
catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan
dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap
6-12 bulan
18
v. Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg /
hari atau yang setara
vi. Tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan
kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa
rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan
yang telah ada.
c. Pengobatan SLE berat atau mengancam jiwa
Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-
obatan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu (Perhimpunan
Reumatologi, 2011):
i. Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis, atau trombositopenia: 40 – 60 mg/hari
(1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu
yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului
pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g/hari
selama 3 hari bertutut-turut.
ii. Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik
yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan
tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru
atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan
hasil pengobatan yang lebih baik.
d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus
SLE mencakup (Perhimpunan Reumatologi, 2011):
19
i. Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400
mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan
trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan
terapi konvensional.
ii. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni,
krioglobulinemia dan lupus serberitis.
iii. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
iv. Danazol pada trombositopenia refrakter.
v. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki
steroid-sparring effect pada SLE ringan.39
vi. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi
kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
vii. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat
diberikan pada SLE yang berat.
viii. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat
aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam
terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
ix. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal
terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
x. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Menurut Wachjudi (2012), selain pengobatan secara medikamentosa,
penyakit SLE ini dapat diberi pengobatan melalui agen biologis seperti:
1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B
Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap
fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui
immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya
mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu
20
antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan
limfosit B.
2. Anti CD 20
Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE
yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada
manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis, dan
gangguan hematologi.
3. LJP 394
LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didesain untuk mencegah
rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibodi
terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif.
Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian
deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.
4. Anti B lymphocyte stimulator
Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF
(tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB
merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.
5. Sitokin inhibitor
Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi
TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks
pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang
diberikan pada penderita SLE.
6. Anti malaria
Obat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin,
klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional,
manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat
antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu
macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari)
dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek
21
samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi
kekuningan.
Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti
trombotik. Anti malaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital
pada janin. Oleh Karena itu direkomendasikan untuk diberikan juga pada
penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa
menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian
hidroksiklorokuin.
PENATALAKSANAAN SLE PADA KEADAAN KHUSUS (Perhimpunan
Reumatologi, 2011)
1. SLE pada kehamilan
Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan
sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6
bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus
nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat
mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
Medikamentosa:
a. Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi
7,5 mg/hari prednison atau setara.
b. DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh
kehati-hatian.
2. SLE dengan APS
Sindroma anti fosfolipid (APS) atau yang dikenal sebagai sindroma Hughes
merupakan suatu kondisi autoimun yang patologik di mana terjadi akumulasi dari
bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid. Penyakit ini merupakan suatu kelainan
trombosis, abortus berulang atau keduanya disertai peningkatan kadar antibodi
antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi antikardiolipin (ACA) atau lupus
antikoagulan (LA).
22
Penatalaksanaan APS pada dasarnya ditujukan terhadap kejadian trombosis
yaitu:
a. Aspirin dosis kecil (80 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk
diberikan kepada pasien SLE dengan APS sebagai pencegahan primer
terhadap trombosis dan keguguran.
b. Faktor-faktor risiko lain terhadap trombosis perlu diperiksa misalnya
protein C, protein S, homosistein.
c. Obat-obat yang mengandung estrogen meningkatkan risiko trombosis,
harus dihindari.
d. Pada pasien SLE yang tidak hamil dan menderita trombosis yang
berhubungan dengan APS, pemberian antikoagulan jangka panjang dengan
antikoagulan oral efektif untuk pencegahan sekunder terhadap trombosis.
Pemberian heparinisasi unfractionated dengan target aPTT pada hari 1 – 10
sebesar 1,5 – 2,5 kali normal. Selanjutnya dilakukan pemberian tumpang
tindih warfarin mulai hari ke-tujuh sampai ke-sepuluh, kemudian heparin
dihentikan. Target INR adalah 2 – 3 kali nilai normal.
e. Pada pasien hamil yang menderita SLE dan APS, kombinasi heparin
berat molekul rendah (LMW) atau unfractionated dan aspirin akan
mengurangi risiko keguguran dan trombosis.
3. Neuropsikiatri Lupus (NPSLE)
Tidak ada standar terapi NPSLE, masing-masing pasien diterapi
berdasarkan gejala manifestasi yang dialaminya (tailored). Dalam praktek klinik
ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan
penderita SLE dengan gejala neuropsikiatrik, diantaranya:
a. Selalu pikirkan diagnosis banding karena NPSLE merupakan
diagnosis eksklusi (diagnosis ditegakkan setelah menyingkirkan diagnosis
lain).
b. Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang
timbul) atau tampaknya (secara epidemiologi) menimbulkan kerusakan yang
ireversibel.
23
c. Pasien SLE dengan manifestasi NP mayor (neuritis optikus, acute
confusional state/ koma, neuropati kranial atau perifer, psikosis dan mielitis
transverse/ mielopati) mungkin disebabkan oleh in lamasi, pertimbangkan
pemberian terapi imunosupresif.
I. PROGNOSIS
Prognosis SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-
organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat
disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis
berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi (Price, 2005 ). Pada
wanita hamil penderita SLE seringkali dapat melahirkan bayinya dengan selamat
selama sang ibu tidak memiliki penyakit pada ginjal dan jantung. Namun dengan
adanya antibody SLE dapat meningkatkan resiko keguguran.
Kesintasan (survival) pasien SLE adalah sekitar 70 persen dalam 10 tahun.
Kesintasan paling rendah terjadi pada pasien bukan kulit putih, pada kelompok
dengan tingkat sosioekonomi rendah, dan pada pasien dengan keterlibatan ginjal,
otak, paru, atau jantung yang parah. Sering terjadi kecacatan. Infeksi dan gagal
ginjal merupakan penyebab utama kematian (Isselbacher, 2008)
24
BAB III
KESIMPULAN
Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
disebabkan oleh kegagalan mekanisme toleransi yang epidemiologinya berbeda-
beda tergantung tempat, jenis kelamin, dan usia. SLE tidak dipengaruhi oleh
keadaan ekonomi dan geografi.
Etiologi penyakit SLE sampai saat ini belum dapat diastikan secara pasti,
tetapi dapat dipastikan bahwa terjadi kegagalan mempertahankan toleransi
imunologi terhadap diri sendiri.
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan
lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Patofisiologi
SLE masih sulit untuk dipahami dan hanya sebatas hipotesis, kemungkinan terjadi
interaksi yang sangat rumit dan multifaktorial antara berbagai faktor genetik dan
lingkungan.
Manifestasi klinik SLE sangat beragam dan kadang menyerupai penyakit
lain, sehingga deteksi dini sulit dilakukan.
Penatalaksanaan SLE harus dijalankan secara multidisiplin dengan prinsip
umum bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan
yang lebih holistik. Prognosis SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan
gejala, organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan.
25