skripsitbini

113
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang dalam situasi transisi epidemiologi yang harus menanggung beban berlebih. Meskipun banyak penyakit menular yang sudah bisa ditangani, namun masih banyak penyakit lain seperti tuberkulosis yang belum dituntaskan (Widoyono, 2008). Penyakit tuberkulosis dapat menyerang hampir seluruh tubuh manusia, tetapi yang paling banyak adalah organ paru. Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan maret 1993 WHO (World Health Organization) mendeklarasikan TB (Tuberkulosis) sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk 1

Upload: edi-f-syahadat

Post on 01-Dec-2015

84 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: skripsiTBini

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang dalam situasi transisi

epidemiologi yang harus menanggung beban berlebih. Meskipun banyak

penyakit menular yang sudah bisa ditangani, namun masih banyak penyakit

lain seperti tuberkulosis yang belum dituntaskan (Widoyono, 2008).

Penyakit tuberkulosis dapat menyerang hampir seluruh tubuh

manusia, tetapi yang paling banyak adalah organ paru. Walaupun pengobatan

TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi

problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan maret 1993 WHO (World

Health Organization) mendeklarasikan TB (Tuberkulosis) sebagai global

health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang

penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh

mikrobakterium (Amin dan Bahar, 2010).

Penduduk yang padat dan tingginya prevalensi yang menyebabkan

lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul

terjadi di Asia (Amin dan Bahar, 2010). Menurut WHO, 22 negara dengan

beban TB tertinggi di dunia 50%-nya berasal dari negara-negara Afrika dan

Asia serta Amerika. Hampir semua Negara ASEAN masuk dalam kategori 22

negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia (Widoyono, 2008).

1

Page 2: skripsiTBini

Kasus jumlah prevalensi pada tahun 1998 di Cina, India dan Indonesia

berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus dan perkiraan

kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000

(Danusantoso, 2000).

WHO memperkirakan terjadi kasus TB sebanyak 9 juta per tahun di

seluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta

orang per tahun. Dari seluruh kematian tersebut, 25% terjadi di negara

berkembang (WHO, 1999).

Sedangkan laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat

Indonesia menurun dari posisi tiga ke posisi lima dengan jumlah penderita

TBC sebanyak 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus

insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan

Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control, 2010).

Sulawesi Tengah mencatat jumlah kasus TB Paru pada tahun 2008

sebanyak 2120 kasus BTA (+) (Dinkes, 2008), 1917 kasus TB Paru BTA (+)

pada tahun 2009, dan diperkirakan ada sebanyak 5208 kasus baru ditemukan

pada tahun 2010 (Dinkes, 2010).

Menurut data dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu

jumlah prevalensi TB paru sebanyak 465 dan masuk pada 5 besar penyakit

terbanyak di ruang rawat inap pada tahun 2010 dan berada pada urutan

pertama di ruang rawat jalan dengan jumlah prevalensi 2310 pasien,

kemudian pada tahun 2011 jumlah prevalensi TB paru di ruang rawat inap

2

Page 3: skripsiTBini

sebanyak 79 dan pada ruang rawat jalan sebanyak 1767 yakni berada pada

urutan 3 dari 10 penyakit terbanyak di ruang rawat inap.

Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta

mulai merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah saja.

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita

TBC (Tuberkulosis) terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44

tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun

(12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%) (Prabu, 2008).

Beberapa faktor risiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika

yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS

(Acquired immune deficiency syndrome). Dari hasil penelitian yang

dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi

tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden

tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda (Prabu,

2008). Sebagian besar penderita TB paru tersebut berusia 17–54 tahun

(kelompok usia produktif) dengan persentase jumlah mencapai 70% (Depkes,

2009).

Penderita terbanyak tuberkulosis di Benua Afrika terutama menyerang

laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali

lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34% pada

laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru

laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru

3

Page 4: skripsiTBini

pada wanita menurun 0,7% (Prabu, 2008). Laporan di seluruh provinsi di

Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TBC

BTA (+) terdapat 43.924 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%)

(Widoyono, 2008). Begitu pula pada kasus TB yang tercatat di Provinsi

Sulawesi Tengah yaitu jumlah kasus baru pada laki-laki sebanyak 1401 dan

perempuan sebanyak 906 (Dinkes, 2010).

Kasus TB di Negara India adalah salah satu penyebab utama kematian

para perokok. Sekitar 20% kematian akibat tuberkulosis di India

berhubungan dengan kebiasaan merokok mereka. Merokok diperkirakan

mampu membunuh hampir satu juta warganya di usia produktif pada tahun

2010. Menurut penelitian tersebut juga mengungkapkan tuberkulosis dan

merokok merupakan dua masalah kesehatan masyarakat yang signifikan,

terutama di Negara berkembang (Boon dalam Zainul, 2010). Hal tersebut

dapat dilihat dalam penelitian Lin (2009) membuktikan hubungan signifikan

antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar

dan batu bara terhadap risiko infektif penyakit dan hasil yang didapatkan

orang dengan kebiasaan merokok menderita TB sebanyak 33 orang, perokok

pasif menderita TB sebanyak 5 orang, dan orang dengan polusi udara

menderita TB sebanyak 5 orang (Zainul, 2010).

Banyak perokok yang meninggal setiap tahunnya karena melemahnya

kondisi paru-paru dibandingkan kanker paru-paru (Sugito, 2009). Kebiasaan

merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.

Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%

4

Page 5: skripsiTBini

terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.

Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya

infeksi TB paru (Prabu, 2008).

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan, salah satu penyebab TB

adalah faktor kepadatan hunian, luas lantai bangunan rumah sehat harus

cukup untuk hunian di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut

harus disesuaikan dengan jumlah huniannya agar tidak menyebabkan

overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya

konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit

infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain (Prabu,

2008).

Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat

(Kemenpera) Pangihutan Marpaung menjelaskan dalam sebuah wawancara

(Jumat, 23 Desember 2011) bahwa:

UU No 1 Tahun 2011 soal perumahan pasal 22 ayat 3 berbunyi luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, maka aturan batas luas terkecil rumah di Indonesia hanya mengakomodir 9 m2 untuk 1 orang atau 36 m2 dengan perhitungan ada 4 orang di dalam rumah. Sementara standar World Health Organization (WHO) memiliki standar rumah layak dengan luas 10 m2 per orang atau dengan total 40 m2. Padahal seharusnya Standar Internasional itu 12 m2, jadi standar minimal rumah internasional adalah tipe 48 m2 (Anonim, 2011a).

Atas dasar fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya, maka

penulis mengambil penelitian faktor umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok

dan kepadatan hunian yang berhubungan dengan kejadian TB paru.

5

Page 6: skripsiTBini

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian yaitu apakah umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok dan

kepadatan hunian merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB

Paru di RSUD Undata Palu.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian

TB paru di RSUD Undata Palu.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian TB paru di

RSUD Undata Palu.

2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB

paru di RSUD Undata Palu.

3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian

TB paru di RSUD Undata Palu.

4. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian

TB paru di RSUD Undata Palu.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Penelitian Selanjutnya

Sebagai informasi tambahan bagi peneliti dalam mengetahui faktor

risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru di RSUD Undata Palu.

6

Page 7: skripsiTBini

2. Bagi Pelayana Kesehatan

Dapat dijadikan sebagai sumber informasi serta bahan masukan

mengenai kejadian TB paru di RSUD Undata Palu agar dapat dilakukan

pencegahannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan masukan dalam memberikan materi perkuliahan

yang dapat bermanfaat untuk pengetahuan dan pengembangan ilmu

kesehatan di program studi kesehatan masyarakat.

1.5 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di RSUD Undata

Palu.

2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di RSUD

Undata Palu.

3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di

RSUD Undata Palu.

4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di

RSUD Undata Palu.

1.6 Batasan Masalah

Variabel bebas dari penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,

kebiasaan merokok dan kepadatan hunian, sedangkan variabel terikatnya

ialah TB paru, penelitian dilaksanakan di RSUD Undata Palu, pada bagian

poli penyakit dalam.

7

Page 8: skripsiTBini

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah TB Paru

Penyakit tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Menurut hasil penelitian, penyakit tuberkulosis sudah ada sejak zaman mesir

kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi, dan penyakit ini juga

sudah ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang

lalu. Pada tahun 1882, Ilmuwan Robert Koch berhasil menemukan kuman

tuberkulosis, yang merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini berbentuk

batang (basil) yang dikenal dengan nama ‘Mycobacterium tuberculosis’

(Widoyono, 2008).

Khususnya untuk Indonesia, pada saat Candi Borobudur didirikan

(abad VIII), rupanya saat itu TB sudah pula menjadi penyakit rakyat,

sehingga pemahatnya mengambilnya sebagai contoh orang sakit yang

bertemu dengan Pangeran Sidharta Gautama. Orang tersebut kurus dengan

bahu tertarik ke atas dan tulang-tulang iganya menonjol keluar (Van Joost,

1951 dalam Danusantoso, 2000).

2.2 Definisi TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tersebut

biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam

paru. Kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh

8

Page 9: skripsiTBini

lain, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limpa, melalui saluran

nafas (bronkus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya

(Depkes RI, 1997).

Sedangkan menurut Daniel (1991) tuberkulosis adalah suatu infeksi

bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan

ditandai oleh pembentukan granuloma hipersensitivitas selular. Tempat

penyakit yang biasa pada paru, tetapi organ lain bisa terlibat. Tanpa terapi

efektif, biasa terjadi perjalanan menahun yang membuat pasien kurus dan

akhirnya diikuti kematian pada kebanyakan kasus.

2.3 Etiologi

Sebagaimana telah diketahui, TB paru disebabkan oleh basil TB

(Mycobacterium tuberculosis humanis) juga dapat disebabkan oleh

Mycobacterium bovis. M.Tuberkulosis termasuk famili Mycobacteriaceae

yang mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobaterium.

M.Tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah tipe humanis

(kemungkinan infeksi tipe bovines saat ini dapat diabaikan, setelah hygiene

peternakan makan ditingkatkan) (Danusantoso, 2000).

Kuman tuberkulosis mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6

mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau

tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri

dari lipoid (terutama asam mikolat) (Widoyono, 2008).

9

Page 10: skripsiTBini

Dalam sputum yang kering kuman ini dapat hidup lama, sehingga ia

dapat turut berterbangan bersama debu. Sinar matahari dapat membunuh basil

itu dengan segera. Selanjutnya, basil ini tahan dingin (Surasetja, 1980).

2.4 Karakteristik Kuman Tuberkulosis

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap

pencucian warna dengan asam alkohol, sehingga sering disebut basil tahan

asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis

juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob

(Widoyono, 2008).

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomana. Lipid inilah yang membuat kuman tahan

asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam. Dari sifat dorman

ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Di

dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler, yakni dalam

sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosi malah kemudian

disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah

aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang

tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian

apical paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apical ini

merupakan tempat prediksinya penyakit tuberkulosis.

Penderita TB yang menular adalah penderita dengan basil-basil TB di

dalam dahaknya, dan bila menandakan ekspirasi-paksa berupa batuk-batuk,

bersin-bersin, dan ketawa keras akan menghembus keluar percikan-percikan

10

Page 11: skripsiTBini

dahak halus (droplet nuclei), yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang

akan melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB

(Danusantoso, 2000). Bilamana hinggap disaluran pernapasan yang agak

besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan

oleh gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan ini. Tetapi bilamana

berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa

bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil TB akan mendapat

kesempatan untuk berkembang biak setempat, maka berhasillah suatu infeksi

TB (Crofton, 1992).

Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi

droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Selain itu,

kontak jangka panjang dengan penderita TB dapat menyebabkan tertulari,

seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB di dalam

sputum mereka. Penderita yang tidak diobati tidak sempurna dahaknya akan

tetap mengandung basil TB selama bertahun-tahun (Chin, 2006). Bakteri ini

masuk ke dalam tubuh manusia melalui peredaran darah, pembuluh limfe,

atau langsung ke organ terdekatnya (Widoyono, 2008).

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,

sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil

studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah)

akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah)

(Widoyono, 2008).

11

Page 12: skripsiTBini

Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal seperti: jumlah basil

TB yang dikeluarkan, virulensi dari basil TB, terpajannya basil TB dengan

sinar ultra violet, terjadinya aerosiliasi pada saat batuk, bersin, bicara atau

pada saat bernyanyi, tindakan medis dengan risiko tertinggi seperti pada

waktu otopsi, inkubasi atau pada saat waktu melakukan bronskopi.

Penularan TB dapat juga melalui makanan/minuman. Dimana

penularan dalam hal ini dapat melalui susu (milk bone disease) karena susu

merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan

mikroorganisme penyebab, juga karena susu sering diminum dalam keadaan

segar tanpa dimasak atau dipasteurisasi (Nur asri dalam Fidiawati, 2011).

2.5 Gejala Penyakit TB Paru

Keluhan-keluhan dini perlu diketahui agar dapat melakukan diagnosis

sendiri sehingga dengan segera diperiksakan untuk mencegah keparahannya.

Keluhan-keluhan dini tersebut sebagai berikut:

Keluhan batuk-batuk yang berkepanjangan yang mengeluarkan dahak

berwarna kekuningan, kadang-kadang bercampur darah, kadang-kadang

batuk darah, lelah, demam, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, dapat

timbul bersama-sama atau sendiri-sendiri pada penderita-penderita dewasa

muda. Gejala-gejala tersebut berlangsung dalam beberapa minggu, malahan

berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang (terutama pada usia lanjut) tak terdapat

keluhan sama sekali walaupun dahaknya menular. Penderita seperti ini adalah

penderita-penderita yang berbahaya. Kadang-kadang penyakit ini dimulai

dengan gejala-gejala yang tidak umum : timbul nodus yang kemerahan pada

12

Page 13: skripsiTBini

kulit disekitar mata kaki dengan rasa sakit atau kombinasi demam, sesak

nafas dan nyeri dada pada waktu tarik nafas (Sibuea, dkk, 1992).

Sedangkan gejala umum dan khusus menurut TBC Indonesia adalah

sebagai berikut:

a. Gejala sistemik/umum

1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.

3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah).

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

b. Gejala khusus

1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-

paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,

akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang

disertai sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),

dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan

13

Page 14: skripsiTBini

bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar

cairan nanah.

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus

otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak),

gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran

dan kejang-kejang.

5) Pada bayi biasanya timbul tergantung pertumbuhan, berak

(defecasi) yang tidak tetap, kadang-kadang encer kadang-

kadang baik mungkin disertai dengan kenaikan suhu badan

yang tidak begitu tinggi. Jika bayi tidak tidak diberi

pertolongan ia akan menjadi kurus bahkan sangat kurus

(Surasetja, 1980).

Mahdiana (2010) juga mengungkapkan pada infeksi tuberkulosis

yang baru, bakteri pindah dari luka di paru-paru ke dalam kelenjar getah

bening yang berasal dari paru-paru. Jika sistem pertahanan tubuh alami bisa

mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan berlanjut dan bakteri akan

menjadi dorman. Kemudian pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi

besar dan menekan tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan

mungkin menyebabkan penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran

getah bening dan membentuk sekelompok kelenjar getah bening di leher.

Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit dan menghasilkan

nanah.

14

Page 15: skripsiTBini

2.6 Patogenesis TB Paru

1. Tuberculosis Primer

Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB, tes

tuberkulin akan negatif karena sistem imunitas seluler belum mengenal

basil TB. Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun segera

difagositosis oleh makrofag, basil TB tidak akan mati, bahkan

makrofagnya dapat mati. Dengan demikian, basil TB ini lalu dapat

berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru,

dengan kecepatan basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada

infeksi oleh 1 basil saja, setelah 2 minggu akan bertambah menjadi

100.000 basil (Holm, 1970 dalam Danusantoso, 2000).

Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan

mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri

akan ditangkap dan dihancurkn oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika

pada proses ini, bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah maka bakteri

akan berkembang biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan

menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik

yang menarik monosit (makrofag) dari aliran darah membentuk tuberkel.

Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih

dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T. Tidak semua makroag

pada granula TB mempunyai fungsi sama. Ada makrofag yang berfungsi

sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang bakteri. Beberapa

makrofag menghasilkan protalase, elastase, kolagenase, serta colony

15

Page 16: skripsiTBini

stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan granulit pada

sumsung tulang belakang. Bakteri TB menyebar melalui

saluran pernapasan ke kelenjar gatah bening regional (hilus) membentuk

epiteloid granula. Granula mengalami nekrosis sentral sebagai akibat

timbulnya hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi

sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada ter tuberculin. Hipersensitivitas

seluler terlihat sebagai akumilasi loka dari limfosit dan makrofag. Bakteri

TB berada di alveoli akan membentuk fokus lokal, sedangkan fokus

iniasial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat di hilus dan

disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya bersifat unilateral

dengan subpleura terletak di atas atau di bawah fisura interlobaris, atau di

bagian basal dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui

saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada bagian organ. TB

primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis (Amin dan Bahar,

2010).

Basil-basil TB dapat musnah dengan perlahan-lahan atau akan tetap

berkembang biak dalam makrofag-makrofag, atau akan tetap tinggal

‘tidur’ (dormant) selama bertahun-tahun sampai berpuluh-puluh tahun

(Crofton, 1992).

2. TB Sekunder

TB sekunder adalah penyakit TB yang baru timbul setelah lewat 5

tahun sejak terjadinya infeksi primer. Dengan demikian, mulai sekarang

16

Page 17: skripsiTBini

apa yang disebut TB post-primer, secara internasional diberi nama baru

TB sekunder (Styblo, 1978 dalam Danusantoso, 2000).

Dari beberapa hasil penelitian, 10% dari infeksi tuberkulosis

primer akan mengalami reaktifasi, terutama setelah 2 tahun dari infeksi

primer. Reaktifitas ini disebut juga dengan tuberculosis post-primer (Rab,

2010).

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limpa

regional dan organ lainnya jarang terkena, lebih terbatas dan teralokasi.

Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip

dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih

menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa yang luas dan disebut

tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan

menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dapat dikatakan

bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder

adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas

seluler. TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari

sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda

pernah terinfeksi TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apical atau

segmen posterior lobus superior, 10-20 mm dari pleura, dan sehingga

menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB (Amin dan Bahar, 2010).

17

Page 18: skripsiTBini

2.7 Pemeriksaan Tuberkulosis

1. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin

ditentukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu

demam (subfebris), berat badan kurus atau berat badan menurun.

Pada pemeriksaan khusus fisis, pasien sering tidak menunjukan

suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah

terinfeksi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak

di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena

hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru-paru sulit

dinilai secara patesi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan

pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian

apekspar. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka

didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan

didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan

nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara

napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup

besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi

memberikan suara amforik.

Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering

ditemukan atrofil dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit

jadi menciut dan menarik isi mediatrium atau paru lainnya. Bila jaringan

18

Page 19: skripsiTBini

fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru,

akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya

meningkatkan tekanan arteri pulmonaris (hipertensi pulmonal) diikuti

terjadinya kopulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan

tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea,

takikardial, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur

Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang

meningkat, hepatomagali, astesis, dan endema. Dalam pemeriksaan klinis,

TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan

didapatkan kelainan radiologis dada pada permukaan rutin atau uji

tuberkulin yang positif.

2. Pemeriksaan Radiologis

Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis

untuk menemukan lesi (bayangan) tuberkulin. Pemeriksaan ini memang

membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam

beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-

anak dan tuberkulosis milier. Pada keduanya pemeriksaan radiologis dada,

sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen

apicallobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga

mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus (menyerupai

tumor paru) misal pada tuberkulosis endobronkial. Pada awal penyakit saat

lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis

19

Page 20: skripsiTBini

berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak

tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa

bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.

Gambar pada kavitas bayangan berupa cincin yang mula-mula

berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal.

Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi

bayangan tampak sebagai bercak-bercak dengan densitas tinggi. Pada

atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat

terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus

yang umumnya tersebar pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologi

lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura

(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema),

bayangan hitam radio lesun di pinggir paru/pleura (Pneumotoraks).

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan

sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-

garis fibrotik, klasifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun

atelektasis dan emfisema.

Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh,

terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan “tuberculosis is the

greatest imitator”. Gambaran infiltasi dan tuberkuloma sering diartikan

sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus, atau karsinoma

metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di

20

Page 21: skripsiTBini

samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto.

Faktor kesalahan dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostic

radiology sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi

dan foto dengan proyeksi idensitas keras.

Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan

adanya penyakit, kecuali suatu infiltrate yang betul-betul nyata. Lesi

penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi

yang berupa fibrotic, klasifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada

orang-orang yang sudah tua.

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah

bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang

disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila

pasien akan menjalani pembedahan paru.

Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah

banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography

Scanning (CT Scan). Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah MRI

(Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT

Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang

belakang, perbatasan dada perut.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya

kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak

21

Page 22: skripsiTBini

spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan

jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran

ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai

meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali

normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun

kearah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:

(1) Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.

(2) Gama globulin meningkat.

(3) Kadar natrium darah menurun.

Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.

Pemeriksaan seriologis yang pernah dipakai adalah reaksi

Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukan proses tuberkulosis

masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah

titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena

angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.

Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga

dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh

beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya

cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya

karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Walaupun begitu

PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila

digunakan sebagai saran tunggal untuk diagnosis TB. 

22

Page 23: skripsiTBini

b. Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan

ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat

dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan

evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini

mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas).

Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama

pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini

dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum sebanyak ±2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk. Dapat

juga memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau

dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila

masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil

dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronco

alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara

bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena

mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang hendak diperiksa

hendaknya sesegar mungkin.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya

ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain

diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:

(1) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.

23

Page 24: skripsiTBini

(2) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop

flouresens (pewarnaan khusus).

(3) Pemeriksaan dengan biakan (kultur).

(4) Pemeriksaan terhadap resistensi obat (Amin dan Bahar,

2010)

Menurut WHO (2001) dalam Panduan Mikroskopis

Tuberkulosis semua tersangka penderita yang datang dengan kemauan

sendiri ke pelayanan kesehatan dengan gejala klinis TB Paru (suspek)

pada orang dewasa harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2

hari berturut-turut (Anonim, 2011b) :

a) Sewaktu : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru

datang berkunjung pertama kali datang pelayanan

kesehatan. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot

untuk mengumpulkan dahak hari kedua.

b) Pagi : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua

segera setelah bangun tidur. Pot tersebut diantar sendiri ke

laboratorium pelayanan kesehatan. Volume dahak

sebaiknya 3-5 ml.

c) Sewaktu : Dahak dikumpulkan di UPK (Unit Pelayanan

Kesehatan) pada hari kedua saat meyerahkan dahak pagi.

d) Hasil pemeriksaan dinyatakan (+) apabila sedikitnya 2 dari 3

spesimen SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) BTA hasil positif.

24

Page 25: skripsiTBini

e) Bila hanya 1 pemeriksaan SPS positif maka pemeriksaan lanjut

dengan foto rontgen dada, apabila hasil rontgen mendukung TB

paru maka penderita di diagnosis TB paru BTA positif.

f) Hasil rontgen tidak mendukung maka di diagnosis bukan

penderita TB paru.

Untuk mendapat kualitas dahak yang baik beberapa hal yang perlu

diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:

a) Memberikan penjelasan kepada penderita mengenai pentingnya

pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak pertama maupun

dahak ulang.

b) Memberi penjelasan kepada penderita tentang cara batuk yang

benar untuk mendapat dahak yang kental dan purulen.

c) Petugas memeriksa kekentalan, warna dan volume dahak, warna

dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah warna kuning

kehijau-hijauan (mukopurulen), kental dengan warna 3-5 ml,

bila volume kurang, petugas harus meminta penderita batuk lagi

sampai volume dahak cukup.

d) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah

terpakai dan harus dimusnahkan untuk menghindari

kemungkinan terjadinya kontaminasi kuman TB paru.

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dilakukan dengan

menggunakan skala International Union Againt Tuberculosis and Lung

25

Page 26: skripsiTBini

Diseases (IUATLD) dan diperiksa paling sedikit 100 lapang pandang atau

dalam waktu kurang lebih 10 menit sebagai berikut:

a) Tidak ditemukan BTA per 100 lapang pandang = negative.

b) Ditemukan 1-9 BTA per 100 lapang pandang = ditulis jumlah

kuman yang ditemukan.

c) Ditemukan 10-99 BTA per 100 lapang pandang = + atau 1+.

d) Ditemukan 1-10 BTA per 1 lapang pandang = ++ atau 2+.

e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang = +++ atau 3+.

Bila ditemukan 1-3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan

harus diulang dengan spesimen dahak yang baru, bila hasilnya tetap 1-3

BTA maka hasilnya dilaporkan negatif, bila hasilnya 4-9 dilaporkan positif.

4. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini dipakai untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis

terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan

menyuntikkan 0,11 cc tuberkulin berkekuatan 5 T.U

(intermediatestrength). Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah

seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.

tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) dan

Mycrobacteriae patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi

alergik tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis

memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga

terdapat positif palsu yakni pada pemberiaan BCG atau terinfeksi dengan

26

Page 27: skripsiTBini

Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada

positif palsu (Amin dan Bahar, 2010).

2.8 Faktor Risiko Penyebab Tubekulosis

Faktor risiko tertinggi dari tuberkulosis paru adalah (Rab, 2010):

1) Berasal dari negara berkembang.

2) Anak-anak di bawah umur 5 tahun.

3) Pecandu Alkohol atau Narkotik.

4) Infeksi HIV

5) Diabetes Melitus

6) Hunian rumah beramai-ramai

7) Imunosupresi

8) Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positif

9) Kemiskinan dan malnutrisi

2.9 Pengobatan dan Pencegahan

Sasaran untuk terapi TBC adalah pada bakteri Mycobaterium

tuberculosis dan pada sistem imun tubuh. Tujuan terapi untuk TBC adalah

sedapat mungkin bersifat preventif atau pencegahan timbulnya infeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis dan bila telah terjadi infeksi maka

menghilangkan gejala TBC, mencegah keparahan, dan sembuh. Beberapa

cara yang dapat digunakan untuk terapi TBC adalah :

1. Penggunaan vaksin BCG (bacille Calmette -Guerin).

2. Pengobatan pada pasien latent tuberculosis.

27

Page 28: skripsiTBini

3. Pengobatan pada pasien active tuberculosis dengan menggunakan

antibiotik (isoniazid, rifampin, dsb) selama kurang lebih 6 bulan

(Rab, 2010).

Selain itu untuk mencegah penyebaran dari TB sangat diharapkan

keinsyafan dari para penderita untuk tidak membuang dahak di sembarang

tempat, dan bila batuk menutup mulutnya dengan sapu tangan. Pada

prinsipnya pencegahan dan pemberantasan TB dijalankan dengan usaha-

usaha:

a. Melakukan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat tentang; bahaya penyakit TB, cara penularannya, serta

usaha-usaha pencegahannya.

b. Pencegahan dengan imunisasi BCG pada anak-anak umur 0-14

tahun, chemoprophylactic dengan INH pada keluarga penderita

atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita.

c. Menghilangkan sumber penularan dengan mencari dan mengobati

semua penderita dalam masyarakat.

d. Peningkatan sosial ekonomi, misalnya perbaikan perumahan dan

lingkungan, peningkatan status gizi dan peningkatan pelayanan

masyarakat.

e. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita di

lingkungan keluarga penderita TB paru BTA positif (Depkes RI,

2008).

28

Page 29: skripsiTBini

2.10 Variabel yang Diteliti

2.10.1 Umur

Umur atau usia adalah suatu keadaan dimana bertambahnya

usia seseorang setiap tahun. Variabel umur selalu diperhatikan di

dalam penyelidikan-penyelidikan masalah kesehatan, karena:

a. Ada kaitannya dengan daya tahan tubuh. Artinya pada umumnya

daya tahan tubuh orang dewasa itu kuat daripada daya tahan tubuh

bayi dan anak-anak.

b. Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan. Artinya orang

dewasa atau produktif yang karena pekerjaannya ada kemungkinan

menghadapi ancaman penyakit lebih besar dari pada anak-anak.

c. Ada kaitannya dengan kebiasaan hidup (Azwar, 2008).

Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada

usia dewasa muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 – 44 tahun

(Crofton, 1992).

Data WHO juga menunjukkan bahwa tuberkulosis menjadi

penyebab kematian penting pada usia produktif sebab sebagian besar

pasien dan kematian akibat TB terjadi pada golongan umur 15-54

tahun (Depkes RI, 2008).

Dari hasil penelitian, 75% penderita TB adalah mereka yang

berusia produktif. Dengan terganggunya produktifitas kerja, maka

kemungkinan penderita TB kehilangan pekerjaan. Hal ini sama

dengan hilang sumber nafkah keluarga dan investasi masa depan

29

Page 30: skripsiTBini

keluarga. Departemen Kesehatan menyatakan jika dalam sebuah

keluarga terdapat usia produktif menderita TB maka mereka akan

kehilangan 20% - 30% pendapatan rumah tangga (Ascobat dalam

Rizal, 2011).

Beberapa faktor risiko penularan penyakit tuberkulosis di

Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta

infeksi AIDS. Dari hasil  penelitian yang dilaksanakan di New York

pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan

bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat

secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis

paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan

75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50

tahun (Achmadi, 2011).

Lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman

TB. Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TB dan

lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan pria

kelompok usia yang sama (Anonim, 2005).

Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat

menentukan perilaku seseorang dalam keberhasilan pengobatan

penyakitmya, umur yang semakin tua akan mempunyai pengalaman

yang cukup untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudut

pandang, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin tua

umurnya akan lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai petunjuk

30

Page 31: skripsiTBini

petugas kesehatan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk

sembuh.

Berdasarkan penelitian kohort Gustafon (2004) terdapat suatu

efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko

menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun

adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah

4,08. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah

kelompok usia produktif (Depkes, 2006). Usia yang lebih tua,

melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis,

karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao,

2009).

2.10.2 Jenis Kelamin

Sebagian penyakit lebih sering dijumpai pada kaum pria dan

sebagian lainnya pada kaum wanita. Ada masalah kesehatan yang

lebih ditemukan pada kelompok pria dan ada pula yang sering

ditemukan pada kelompok wanita (Azwar dalam Suharso, 2011).

Jenis kelamin adalah faktor yang membedakan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis. Jenis kelamin adalah

salah satu unsur identitas seseorang. Bila membicarakan antara laki-

laki dan perempuan maka ada tiga aspek yang dilihat : pertama adalah

tingkat simbolis, kedua tingkat kebudayaan atau psikologis, ketiga

tingkat biologis yang hanya menyangkut badan (Umar, 2007). Di

benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki.

31

Page 32: skripsiTBini

Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali

lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu

42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-

1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak

2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB

paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru sebanyak 2,2 kali

(Achmadi, 2011).

Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

penyakit infeksi. Jenis kelamin lebih banyak ditinjau dari keterpaparan

dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko

menurut jenis kelamin. (Achmad Hudoyo dalam Rizal, 2011).

Jenis kelamin mempengaruhi penyebaran suatu masalah

kesehatan yang banyak ditemukan. Adanya perbedaan ini disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu:

a. Karena terdapatnya perbedaan anatomi dan fisiologis antara pria

dan wanita.

b. Karena terdapatnya perbedaan hidup antara wanita dan pria.

c. Karena terdapatnya perbedaan tingkat kesadaran berobat antara

wanita dan pria.

d. Karena terdapatnya perbedaan kemampuan/kriteria diagnostik

beberapa penyakit.

32

Page 33: skripsiTBini

e. Karena terdapatnya macam pekerjaan antara pria dan wanita

(Anonim dalam Suharso, 2011).

Penderita TB paru lebih banyak ditemukan pada pria. Begitu

pula penelitian Songkla Med di Thailand (1999), 81% dari populasi

penelitian adalah pria. Hal ini sejalan dengan penelitian Salahuddin,

2002, proporsi jenis kelamin pria sebanyak 58,7%. Namun pada

penelitian Canadian medical Association (2000), tidak ada hubungan

yang bermakna antara penyakit TB Paru dengan jenis kelamin

(Salahuddin dalam Suharso, 2011).

Pada penelitian Rahardi (2001) di Kota Samarinda, bahwa

jenis kelamin perempuan lebih banyak menderita TB paru yaitu 58,5%

dibandingkan dengan laki-laki (41,5%). Sedangkan pada penelitian

Widyastuti (2004) di Kabupaten Pangkep, penderita TB paru lebih

banyak ditemukan pada pria dengan proporsi 50,9% dibandingkan

pada wanita 49,1% (Suharso, 2011).

Dari beberapa penelitian, kejadian TB paru banyak ditemukan

pada pria. Pria dapat menjadi sumber penularan yang lebih besar

daripada wanita karena aktivitas pria yang lebih tinggi dibandingkan

wanita (Anonim dalam Suharso, 2011).

2.10.3 Kebiasaan Merokok

Merokok adalah salah satu kebiasaan yang lazim ditemui

dalam kehidupan sehari-hari yang sampai saat ini masih merupakan

masalah di kalangan generasi muda dan masyarakat di Indonesia, yang

33

Page 34: skripsiTBini

jika ditinjau dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang menyetujui

atau melihat manfaat yang dikandungnya tetapi justru akan

memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan. Rokok merupakan

salah satu produk industri dan komoditi internasional yang

mengandung sekitar 3.000 bahan kimiawi. Unsur-unsur yang penting

antara lain: tar, nikotin, benzopryn, metal-kloride, aseton, ammonia,

dan karbon monoksida (Bustan, 2007).

Merokok, merupakan sebab utama penyakit paru obstruktif

kronik. Dalam 1-2 tahun merokok, seorang perokok muda akan terjadi

perubahan inflamasi di jalur pernapasan kecil, kendati pengukuran

fungsi paru pada perubahan ini tidak dapat memprediksi terjadinya

obstruksi kronis jalur napas. Setelah 20 tahun merokok, terjadi

perubahan patofisiologi pada paru secara proporsional seiring dengan

intensitas dan durasi merokok. Inflamasi kronik dan penyempitan jalur

napas kecil dan/atau enzimatik dinding alveolar pada empisema

pulmonal menyebabkan pengurangan aliran napas ekspirasi sehingga

terjadi gejala klinis napas terhambat (Budiman, 2011). Merokok

diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk

mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis

kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan

risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973

konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,

relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon,

34

Page 35: skripsiTBini

480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di

Pakistan (Achmadi, 2008).

Mengapa merokok memperburuk tuberkulosis? Kebiasaan

merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut

muccociliary clearance. Bulu-bul getar dan bahan lain di paru tidak

mudah “membuang” infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan

alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok

meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistance) dan

menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan

merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-“makan”

bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan

respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke

paru tidak mudah dikenali dan dilawan. Secara biokimia, asap rokok

juga meningkatkan sintesa etalase dan menurunkan produksi anti

proses sehingga merugikan tubuh kita (Anonim, 2005).

Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang

lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita

perokok kurang dari 5%.

2.10.4 Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian merupakan keadaan dimana kondisi antara

jumlah hunian dengan luas rumah seimbang dengan jumlah

huniannya. Apabila luas rumah tidak seimbang dengan jumlah hunian

atau melebihi kapasitas maka akan berdampak negatif pada kesehatan.

35

Page 36: skripsiTBini

Bila rumah terlalu sempit (terlalu banyak huniannya) maka

perpindahan (penularan) bibit penyakit dari manusia yang satu ke

manusia lainnya akan lebih mudah terjadi, misalnya tuberkulosis dan

penyakit saluran pernapasan lainnya (Entjang, 2000).

Adapun ketentuan perbandingan kebutuhan kamar dengan

jumlah hunian (orang) dalam penlitian Suharso (2011) adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1Perbandingan Kebutuhan Kamar dan Jumlah Hunian (Orang)

Jumlah Kamar Jumlah HunianSatuDuaTiga

EmpatLima Ke atas

2 Orang3 Orang 5 Orang8 Orang10 Orang

Sumber : BPS, 1995

Sementara itu ukuran minimal suatu rumah sederhana untuk 4

orang hunian (ayah, ibu dan 2 anak) dengan komposisi ruang, 2 kamar

tidur, 1 ruang makan, dapur dan serambi kerja membutuhkan ukuran

minimal 40 m2. Dengan ukuran rata-rata luas lantai perkapita 10 m2

(Frick dalam Suharso, 2011).

Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Departemen

Kesehatan RI, yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah

hunian minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan

tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur,

kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga

36

Page 37: skripsiTBini

ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah hunian

(sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan lebih

atau sama dengan 0,7, cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan

kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Anonim dalam Sumampouw,

2012).

Kepadatan hunian merupakan suatu proses penularan penyakit,

apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA

positif. Kepadatan hunian di tempat tinggal penderita TB paru paling

banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat

kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah. Kondisi

kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti

penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya

terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih

padat penderita TB lebih besar (Achmadi, 2011). Luas lantai

bangunan rumah sehat harus cukup untuk hunian didalamnya, artinya

luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah

huniannya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat,

sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila

salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah

menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan

hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang.

Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari

37

Page 38: skripsiTBini

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia (Sukini dalam Fidiawati,

2011).

2.11 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

38

TERPAJAN INFEKSI TB PARU MATI

Konsentrasi Kuman

Lama Kontak

1. Keterlambatan diagnose dan pengobatan

2. Tatalaksana tak memadai.

3. Kondisi Kesehatan

SEMBUH

Gizi Buruk

HIV +

1. Diagnosis tepat dancepat.

2. Pengobatan tepat danlengkap.

3. Kondisi kesehatan mendukung.

Merokok

Umur

Jenis Kelamin

Faktor Rumah:-Kelembaban-Palvon -Ventilasi-Pencahayaan-Dinding-Lantai

Kepadatan Penghuni

Page 39: skripsiTBini

2.12 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini maka dapat disusun

suatu kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Keterangan:

= Variabel independent

= Variabel dependent

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

39

FAKTOR RISIKO

Umur

Jenis Kelamin

Kepadatan hunian

Kebiasaan Merokok 

Pekerjaan

Status Gizi

Perilaku

Kondisi Rumah

TUBERCULOSIS

Page 40: skripsiTBini

2.13 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. TB Paru

Kejadian TB Paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan

oleh kuman TB berdasarkan diagnosis petugas medis dan tercatat pada

medical record Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu.

Kriteria Objektif

Menderita : Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif menderita TB

Paru.

Tidak Menderita : Bila hasil pemeriksaan laboratorium negatif.

2. Umur

Umur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur responden

yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan waktu penelitian yang

dinyatakan dalam tahun.

Kriteria Obyektif:

Berisiko : berusia 17 – 54 tahun (kelompok usia produktif).

Tidak berisiko: berusia <17 tahun dan >54 tahun

3. Jenis Kelamin

Jenis Kelamin pada penelitian ini adalah semua pasien baik

perempuan maupun laki-laki yang dibedakan secara biologis, sesuai

dengan yang tercatat di Medical Record RSUD Undata Palu.

Kriteria Obyektif:

Berisiko : laki-laki

Tidak berisiko : perempuan

40

Page 41: skripsiTBini

4. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok pada penelitian ini adalah tindakan merokok

pasien yang ada RSUD Undata Palu yang dinilai berdasarkan kebiasaannya.

Kriteria Objektif:

Berisiko : merokok

Tidak berisiko : tidak Merokok

5. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah, kondisi dimana pasien

tinggal, dimana datanya diperoleh berdasarkan banyaknya hunian yang

tinggal bersama pasien dan disesuaikan dengan kondisi tempat tinggalnya.

Kriteria Objektif:

Berisiko : bila luas bangunan < 10 m2 per orang

Tidak berisiko : bila luas bangunan > 10 m2 per orang

41

Page 42: skripsiTBini

Populasi Sampel

TerpajanEfek +

Efek -

Tidak Terpajan

Efek +

Efek -

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

epidemiologi observasional analitik dengan menggunakan metode cross

sectional. Studi penelitian cross sectional merupakan desain penelitian yang

mempelajari hubungan penyakit (outcome) dan pajanan (exposure) dengan

cara mengamati status pajanan dan penyakit serentak pada populasi tunggal,

pada suatu waktu periode. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui

kontribusi faktor yang berhubungan dengan TB paru.

Variabel dependent adalah TB paru, sedangkan variabel independent

adalah faktor yang diduga berhubungan dengan TB paru, yaitu: umur, jenis

kelamin, kebiasaan merokok, dan kepadatan hunian.

Arah Waktu

Arah Penelitian

42

Page 43: skripsiTBini

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Undata Palu.

3.1.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 15 juni 2012 sampai 20 juli

2012.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan

di bagian Poli Penyakit Dalam RSUD Undata Palu.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh populasi. Untuk itu sampel harus betul-betul representatif

(mewakili), karena apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya

akan dapat diberlakukan untuk populasi.

Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang menderita dan

tidak menderita TB Paru yang sedang rawat jalan di bagian Poli

Penyakit Dalam di RSUD Undata Kota Palu.

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara Accidental Sampling.

Accidental Sampling (pengambilan sampel seadanya) adalah

mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu

siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat

43

Page 44: skripsiTBini

digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok

sebagai sumber data. Teknik ini biasanya dilakukan karena keterbatasan

waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang

besar dan jauh. Keuntungan dari pada teknik ini adalah terletak pada

ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan variabel yang

diteliti. Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti menggunakan

rumus sebagai berikut:

n=N Z1−α /2

2 P(1−P)d2 ( N−1 )+Z1−α /2

2 P(1−P)

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

N = Perkiraan Besar Sampel

Zα/2 = Nilai standar distribusi normal (1,96)

P = Perkiraan proporsi kejadian variabel yang diteliti (0,06)

Dalam penelitian ini jumlah proporsi didapatkan dari:

J umlah Kasus = 578 = 0,06Jumlah Populasi 8726

d = Presisi absolut yang diinginkan (0,01 s/d 0,1) (Stanley, 1997).

Hasil perhitungan besar sampel :

n=N Z1−α /2

2 P(1−P)d2 ( N−1 )+Z1−α /2

2 P(1−P)

n = (8726 ) (1,96 )2 (0,06 )(1−0,06)

(0,05 )2 (8726−1 )+(1,96¿¿2)( 0,06 )(1−0,06)¿

= (8726 ) (3,841 ) (0,06 )(0,94)

(0,0025 ) (8725 )+(3,841 ) (0,06 )(0,94 )

44

Page 45: skripsiTBini

= 1890,33

22,03= 86

Berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas, penulis memperoleh

sebanyak 86 orang sebagai sampel.

3.4 Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer yakni data hasil penelitian yang diperoleh secara langsung

dari narasumber atau responden melalui teknik pengisian kuesioner atau

pertanyaan yang telah disusun dan melalui pengamatan langsung di lokasi

penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder yakni data yang diperoleh melalui rekam medik.

3.5 Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Univariat, yaitu untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel-variabel

yang diteliti. Hasil analisis akan memberikan gambaran secara deskripsi

hasil penelitian secara umum.

2. Bivariat, yaitu untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas

(independen) dengan variabel terikat (dependen) dengan menggunakan

uji statistik chi-square dengan derajat kemaknaan 0,05.

Tabel 3.1 Tabel Kontingensi 2x2 Faktor Yang BerhubunganDengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata

Faktor Risiko

TB Paru Jumlah

Ya TidakYa a b NS

Tidak c d NB

45

Page 46: skripsiTBini

Jumlah NF NA N

Rumus Uji Chi Square:

Dimana :

N = Jumlah Sampel

a = Subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek (+)

b = Subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek (+)

c = Subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek (-)

d = Subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek (-)

Ns=Jumlah a+b

Nf=Jumlah a+c

NA=Jumlah b+d

NB=Jumlah c+d

Interpretasinya :

1. Jika ρ-value > 0,05 maka Ho diterima artinya menunjukkan dua

variabel tersebut tidak ada hubungan.

2. Jika ρ-value < 0,05 maka Ho ditolak artinya menunjukkan dua

variabel tersebut ada hubungan.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputerisasi.

3.6 Penyajian Data

46

Page 47: skripsiTBini

Penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel

frekuensi disertai penjelasan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

4.1.1.1 Sejarah RSUD Undata

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata lama, secara resmi

berdiri pada tahun 1972 berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I Propinsi Sulawesi Tengah Nomor: 59/DITTAP/1072 tanggal

7 Agustus 1972, dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 50 tempat

tidur. Pemberian nama RSUD “UNDATA” yang berarti “OBAT

KITA”. Berkat kesungguhan pemerintah daerah dan pihak manajemen

RSUD Undata Palu, serta dukungan Dinas Kesehatan Republik

Indonesia, maka RSUD Undata sebagai RSUD kelas C dengan surat

penetapan Menteri Kesehatan Nomor 51/Menkes/SK/II/79 Tanggal 22

Desember 1979.

Pada tahun 1995, RSUD Undata Palu mendapat pengakuan dari

Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah sebagai RSUD kelas B

Non Pendidikan, sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:

39 tahun 1995, kemudian pada tahun berikutnya diakui sebagai pusat

47

Page 48: skripsiTBini

rujukan tertiinggi di Sulawesi Tengah dengan peraturan Daerah

Nomor. 6 tahun 1996.

Kemudian pada saat ini telah berdiri RSUD Undata baru, yang

memiliki gedung terpisah dari gedung Undata lama. Dasar

pembangunan RSUD Undata baru adalah:

- Rumah Sakit kelas B Pendidikan Surat Keputusan Gubernur

No.445/73.7/Dinkes GST tanggal 29 Agustus 2003

- Surat Keputusan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan

INDONESIA Timur No. 046/KEP/-PPTKTI/VII/2003. Tanggal 7

Juli 2003

- Didukung oleh Surat Keputusan Rektor Universitas Tadulako

No.4022 j 28 PG/2003 yang diperuntukkan Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako kedepan.

Dasar Perpindahan:

- Surat Keputusan Gubernur No. 445/400/.ADM KESRAMAS

tanggal 6 Agustus 2009 dan

- Surat Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Tengah No.13/P.JMP-

DPRD/2009 tanggal 24 Juni 2009.

4.1.1.2 Visi Misi dan Motto RSUD Undata

1. Visi: Menjadi rumah sakit yang terdepan dan terbaik di propinsi

Sulawesi Tengah.

2. Misi:

48

Page 49: skripsiTBini

- Meningkatkan pelayanan kesehatan yang profesional serta

menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia;

- Meningkatkan pendapatan rumah sakit dan kesejahteraan

karyawan;

- Meningkatkan kerjasama dengan mitra rumah sakit.

3. Motto

RSUD Undata memiliki motto “Masangu Mosipakabelo”

yang artinya bersatu untuk saling memperbaiki.

4.1.1.3 Ketenagaan (SDM) RSUD Undata

Sumber daya manusia atau ketenagaan yang dimiliki RSUD

Undata terdiri dari berbagai bidang, adapun ketenagaan tersebut

adalah:

1) Dokter Spesialis 33 orang

2) Dokter Umum 32 orang

3) Dokter Gigi 6 orang

4) Dokter lainnya (M.Kes,DTMH) 1 orang

5) Tenaga perawatan 437 orang

6) Tenaga non perawatan 147 orang

7) Tenaga non medik 137 orang.

4.1.1.4 Sarana dan Prasarana

Jenis pelayanan yang terdapat di RSUD Undata palu adalah

instalasi rawat jalan, instalasi rawat darurat, instalasi rawat inap,

instalasi radiologi, instalasi laboratorium, instalasi ICU/ICCVU,

49

Page 50: skripsiTBini

instalasi bedah sentral, instalasi rehabilitasi medic, instalasi gizi,

instalasi farmasi, instalasi pemeliharaan sarana RS, instalasi laundry,

instalasi sentral sterilisasi, instalasi sanitasi, instalasi pemulasaran

jenasah dan unit pelayanan hemodialisa.

4.1.2 Karakteristik Responden

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Undata Palu yang

berlangsung selama kurang lebih satu bulan dari bulan juni 2012

sampai bulan juli 2012. Selama penelitian terdapat 86 responden

sebagai sampel, 38 responden merupakan penderita TB Paru dan 48

merupakan responden yang tidak menderita TB Paru. Penelitian ini

dilakukan dengan cara wawancara langsung kapada responden yang

dilakukan di RSUD Undata Palu pada saat pasien datang berobat ke

Poliklinik Penyakit Dalam.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, disajikan

deskripsi umum sebagai berikut :

a. Pendidikan

Distribusi responden menurut pendidikan dalam penelitian

ini beragam, mulai dari yang tidak sekolah hingga yang

mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Distribusi responden

berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikandi RSUD Undata Palu Tahun 2012

Pendidikan Frekuensi Persentase

Tidak Sekolah/DO 3 3,5SD 23 26,7

SMP 18 20,9

50

Page 51: skripsiTBini

SMA 26 30,2Perguruan Tinggi/ Diploma 16 18,6

Jumlah 86 100,0

Apabila dilihat dari data pendidikan responden maka tabel 4.1

memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA,

yaitu sebanyak 26 responden atau 30,2% dan yang terendah adalah

responden yang tidak sekolah, yaitu sebanyak 3 responden atau

sebesar 3,5%.

b. Pekerjaan

Distribusi responden menurut pekerjaan dalam penelitian ini

beragam. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat

pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Pekerjaan Frekuensi Persentase

Tidak Bekerja 13 15,1

Petani 10 11,6

IRT 15 17,4

PNS 22 25,6

Wiraswasta 17 19,8

Pelajar 9 10,5

Jumlah 86 100,0

Sumber : Data Primer

Apabila dilihat dari tabel 4.2 pekerjaan dari responden

bervariasi, proporsi pekerjaan terbanyak adalah PNS (Pegawai Negeri

Sipil) yaitu sebanyak 22 orang (25,6%) dan yang terendah adalah

responden pelajar yaitu sebanyak 9 orang (10,5%).

51

Page 52: skripsiTBini

4.1.3 Analisis Univariat

a. Jenis Kelamin

Distribusi responden menurut jenis kelamin dalam penelitian

ini adalah laki-laki dan perempuan. Distribusi responden berdasarkan

jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamindi RSUD Undata Palu Tahun 2012

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase

Laki-Laki 43 50,0

Perempuan 43 50,0

Jumlah 86 100,0

Sumber:Data Primer

Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 86 responden, proporsi

jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu 50% laki-

laki dan 50% perempuan atau masing-masing sebanyak 43 responden.

b. Kelompok Umur

Distribusi responden menurut kelompok umur dalam

penelitian ini dibagi atas tiga. Distribusi responden berdasarkan umur

dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Responden menurut Kelompok Umur di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Kelompok Umur

(tahun)Frekuensi Persentase

< 17 3 3,5

17-54 40 46,5

52

Page 53: skripsiTBini

>54 43 50,0

Jumlah 86 100,0

Sumber : Data Primer

Untuk distribusi responden menurut kelompok umur dapat

dilihat dari tabel 4.4, mayoritas responden rata-rata berumur >54

tahun yang menunjukkan besar proporsi sebanyak 43 responden atau

50,0%. Kemudian responden yang berumur produktif (17-54)

sebanyak 40 responden atau 46,5%, dan yang terendah adalah

responden yang berumur <17 tahun yaitu sebanyak 3 responden atau

3,5%.

c. Kebiasaan Merokok

Distribusi responden menurut kebiasaan merokok dalam

penelitian ini adalah merokok dan tidak merokok. Distribusi

berdasarkan kebiasaan merokok dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok di RSUD Undata Palu Tahun 2012Kebiasaan Merokok Frekuensi Persentase

Merokok 36 41,9

Tidak Merokok 50 58,1

Jumlah 86 100,0

Sumber : Data Primer

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa proporsi responden yang

tidak merokok lebih banyak, yaitu sebanyak 50 responden (58,1%).

Sedangkan yang merokok sebanyak 36 responden (41,9%).

d. Kepadatan Hunian

53

Page 54: skripsiTBini

Distribusi responden menurut kepadatan hunian dalam

penelitian ini adalah responden yang menempati rumah dengan luas

rumah <10 m2 per orang dan yang >10 m2 per orang. Distribusi

responden berdasarkan kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Kepadatan hunian Frekuensi Persentase

< 10 m2 Per Orang 37 43,0

> 10 m2 Per Orang 49 57,0

Jumlah 86 100,0

Sumber : Data Primer

Apabila dilihat dari tabel 4.6, memperlihatkan bahwa proporsi

responden yang memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang lebih

banyak, yaitu sebanyak 49 orang atau sebesar 57,0%. Sedangkan

responden yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang hanya

37 orang atau 43,0%.

4.1.4 Analisis Bivariat

a. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru

Jenis kelamin responden yang menderita TB Paru maupun

yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua, yaitu jenis kelamin

kelompok berisiko (laki-laki) dan jenis kelamin kelompok yang tidak

berisiko (perempuan). Adapun hubungan jenis kelamin dengan

kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.7.

54

Page 55: skripsiTBini

Tabel 4.7 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Jenis Kelamin

Kejadian TB Paru

Total X2

(ρ value)MenderitaTidak

Menderita

n % n % n %

Berisiko (Laki-Laki)

25 58,1 18 41,9 43 100,0

5,705(0,017)

Tidak Berisiko

(Perempuan)13 30,2 30 69,8 43 100,0

Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer

Tabel 4.7 menunjukkan distribusi responden yang

menderita TB Paru persentase yang memiliki jenis kelamin laki-

laki lebih banyak yaitu 25 orang atau 58,1% dibandingkan dengan

responden yang memiliki jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak

13 orang atau 30,2%. Sebaliknya, distribusi responden yang tidak

menderita TB Paru persentase yang memilki jenis kelamin

perempuan lebih banyak yaitu 30 orang atau 69,8% dibandingkan

dengan responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 18 orang atau 41,9%.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 5,705 >

X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,017 < 0,05. Hasil uji ini

memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada

hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru.

55

Page 56: skripsiTBini

b. Hubungan Umur dengan Kejadian TB Paru

Umur responden yang menderita TB Paru maupun yang

tidak menderita TB Paru di bagi atas dua kelompok, yaitu

kelompok berisiko dan yang tidak berisiko. Adapun hubungan

umur dengan kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Distribusi Responden Menurut Umur dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Umur (Tahun)

Kejadian TB ParuTotal X2

(ρ value)Menderita

Tidak Menderita

n % n % n %Berisiko(17-54)

23 57,5 17 42,5 40 100,0

4,413(0,036)

Tidak Berisiko

(<17 dan >54)15 32,6 31 67,4 46 100,0

Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer

Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari hasil penelitian

distribusi responden yang menderita TB Paru yang berumur

produktif (17-54) lebih banyak yaitu sebanyak 23 orang (57,5%)

dibandingkan dengan responden di bawah 17 tahun dan di atas 54

tahun atau yang bukan termasuk kelompok umur produktif yaitu

sebanyak 15 orang (32,6%). Sedangkan distribusi responden yang

tidak menderita TB Paru lebih banyak responden yang bukan

termasuk umur produktif (<17 dan >54) yaitu sebanyak 31 orang

56

Page 57: skripsiTBini

(67,4%) dibandingkan dengan responden yang termasuk umur

produktif yaitu sebanyak 17 orang (42,5%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 4,413 >

X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ=0,036 < 0,05. Hasil uji ini

memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada

hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru.

c. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru

Kebiasaan Merokok responden yang menderita TB Paru

maupun yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua yaitu

responden yang beriaiko (merokok) dan yang tidak berisiko (tidak

merokok). Adapun hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian

TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Kebiasaan Merokok

Kejadian TB ParuTotal X2

(ρ value)MenderitaTidak

Menderitan % n % n %

Berisiko(Merokok)

22 61,1 14 38,9 36 100,0

6,060(0,014)

Tidak Berisiko (Tidak

Merokok)16 32,0 34 68,0 50 100,0

Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer

Tabel 4.9 menunjukkan distribusi responden yang

menderita TB Paru yang memiliki kebiasaan merokok lebih banyak

yaitu 22 orang (61,1%) dibandingkan dengan yang tidak merokok

57

Page 58: skripsiTBini

yaitu sebanyak 16 orang (32,0%). Sedangkan yang tidak menderita

TB Paru, distribusi responden yang tidak merokok lebih banyak

yaitu 34 orang (68,0%) dibandingkan dengan yang memiliki

kebiasaan merokok yaitu sebanyak 14 orang (38,9%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 6,060 > X2

tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,014 < 0,05. Hasil uji ini

memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada

hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru.

d. Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru

Kepadatan hunian rumah responden yang menderita TB

Paru maupun yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua yaitu

responden yang memiliki kepadatan hunian berisiko (kepadatan

hunian <10 m2 /orang) dan yang tidak berisiko (kepadatan hunian

>10 m2/orang). Adapun hubungan kepadatan hunian dengan

kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.10.

Tabel 4.10 Distribusi Responden Menurut Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012

Kepadatan Hunian

Kejadian TB ParuTotal X2

(ρ value)MenderitaTidak

Menderitan % n % n %

Berisiko (<10 m2/ orang)

22 59,5 15 40,5 37 100,0

5,104(0,024)

Tidak Berisiko (>10 m2/ orang)

16 32,7 33 67,3 49 100,0

Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0

Sumber : Data Primer

58

Page 59: skripsiTBini

Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa distribusi responden yang menderita TB Paru

yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang lebih banyak

yaitu sebanyak 22 orang (59,5%) dibandingkan dengan yang

memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang yaitu sebanyak 16

orang (32,7%). Sedangkan yang tidak menderita TB Paru distribusi

responden yang memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang lebih

banyak yaitu sebanyak 33 orang (67,3%) dibandingkan dengan

yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang yaitu sebanyak

15 orang (40,5%).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 5,104 > X2

tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,024 < 0,05. Hasil uji ini

memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada

hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru

Ada masalah kesehatan yang lebih banyak ditemukan pada

kelompok pria dan ada pula yang sering ditemukan pada kelompok

wanita (Azwar dalam Suharso, 2011)

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru dengan nilai X2 hitung

= 5,705 > X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,017 < 0,05, yang berarti

59

Page 60: skripsiTBini

jenis kelamin laki-laki berisiko untuk menderita TB Paru

dibandingkan dengan perempuan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan data dari WHO (2006) yang

melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3 lebih banyak pada laki-

laki dibandingkan dengan perempuan terutama pada Negara yang

sedang berkembang, karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan

aktivitas sosial. Angka kejadian tuberkulosis pada laki-laki lebih

tinggi diduga akibat perbedaan pajanan dan risiko infektif (Zainul,

2010).

Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Zainul

(2010), dimana ia mendapatkan pada penelitiannya bahwa proporsi

jenis kelamin penderita TB terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak

62 orang (80,5%) dan perempuan sebanyak 15 orang (19,5%).

Pendapat senada dikemukakan oleh Herryanto dkk (2001) dalam

penelitiannya mengenai penderita TB Paru meninggal di kabupaten

Bandung tahun 2001 didapatkan bahwa penderita TB Paru laki-laki

yang meninggal dunia lebih banyak, yaitu sebanyak 54,5%

dibandingkan dengan perempuan yang memiliki persentase 45,5%.

Apabila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti menunjukkan bahwa yang lebih banyak menderita TB Paru

adalah laki-laki yang merokok. Hal ini pula yang menjadi menjadi

salah satu penyebab sehingga lebih banyak laki-laki yang di temukan

menderita TB Paru daripada perempuan. Selain merokok kebanyakan

60

Page 61: skripsiTBini

laki-laki juga mengkonsumsi alkohol, dimana dapat diketahui bahwa

rokok maupun alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,

yang menyebabkan mudah terpapar dengan agent penyebab penyakit,

termasuk TB Paru.

Kebiasaan merokok dan meminum-minuman beralkohol bagi

laki-laki yang kemudia tidak dibarengi dengan tingkat kesadaran

berobat menjadi salah satu pemicu tingginya penderita TB paru pada

laki-laki. Menurut Supriyono (2010) bahwa terdapat perbedaan tingkat

kesadaran berobat antara wanita dengan pria. Pada umumnya wanita

lebih memiliki kesadaran yang baik untuk berobat dari pada pria

(Supriyono, 2010). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Kristiana

(2010) yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Cibodasari kota

Tangerang bahwa, lebih banyak perempuan yang memiliki kesadaran

berobat dibandingkan dengan laki-laki.

Laki-laki identik dengan kepala rumah tangga, dan responden

laki-laki yang berperan sebagai kepala rumah tangga adalah tugasnya

bekerja, maka dari itu mereka lebih gampang mengesampingkan

urusan kesehatannya dibandingkan urusan pekerjaannya walaupun

mereka sudah merasa mulai sakit. Di Sulawesi Tengah khususnya

Kota Palu masih banyak keluarga yang menganut kepercayaan bahwa

laki-laki lah yang memilik kewajiban untuk bekerja sedangkan wanita

tidak dituntut kewajiban yang sama dengan kewajiban laki-laki.

61

Page 62: skripsiTBini

Berdasarkan tabel distribusi responden menunjukkan bahwa

pada responden yang tidak menderita TB Paru lebih banyak pada

perempuan daripada laki-laki, yang menjadi penyebab hal ini karena

responden wanita dengan penyakit lain tidak akan merasa malu

dengan penyakitnya, sedangkan pada wanita penderita TB Paru stigma

atau rasa malu akan penyakit Tuberkulosis masih tinggi. Stigma

mengenai penyakit tuberkulosis yang memalukan bagaikan penyakit

HIV/AIDS ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya isolasi,

pengucilan dan perceraian bagi kaum wanita, yang sesungguhnya hal

ini terjadi akibat masih kurangnya pemahaman masyarakat umum

terhadap penyakit TB Paru maupun HIV/AIDS.

Stigma akan penyakit tuberkulosis ini lah yang juga

menyebabkan masih kurangnya penemuan kasus tersebut yang

merupakan salah satu faktor penting dalam pemberantasan penyakit

tuberkulosis.

4.2.2 Hubungan Umur dengan Kejadian TB Paru

Variabel umur atau usia selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan masalah kesehatan karena ada kaitannya

dengan ancaman terhadap kesehatan. Artinya orang dewasa atau usia

produktif yang akan melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat

produktif karena pekerjaannya ada kemungkinan menghadapi

ancaman penyakit lebih besar dari pada anak-anak dan juga ada

kaitannya dengan kebiasaan hidup (Azwar, 2008).

62

Page 63: skripsiTBini

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 4,413 > X2

tabel = 3,841 dan nilai ρ=0,036 < 0,05. Hasil uji ini menunjukkan Ho

pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada hubungan antara umur

dengan kejadian TB paru.

Hal ini sejalan dengan penelitian Imansyah (2011) dimana dari

penelitian yang ia lakukan didapatkan penderita TB terbanyak adalah

penderita TB Paru pada kelompok usia produktif (15-50 tahun)

dengan persentase 73,9% dibandingkan dengan kelompok usia tidak

produktif (>50 tahun) yang hanya memiliki persentase sebesar 26,1%.

Menurut penelitian Zainul (2010) proporsi umur penderita TB

Paru paling banyak pada usia 29-35 tahun dan 36-42 tahun yang

masing-masing sebesar 17,9% dan diikuti oleh kelompok umur 15-21

tahun sebesar 16,7%, dimana kelompok umur tersebut merupakan

umur produktif, sedangkan yang terendah adalah kelompok umur 57-

73 tahun dan 64-70 tahun yang masing-masing sebesar 7,7% dan

1,3%.

Pada usia produktif tersebut, merupakan usia yang sangat

sering berinteraksi sosial sehingga berpotensi untuk tertular agent

penyakit TB Paru, hal ini berkaitan dengan kebiasaan dan perilaku

hidup saat melakukan interaksi sosial tersebut. Selain itu aktivitas

sehari-hari relatif tinggi, sehingga dapat menurunkan sistem imun

tubuh, terlebih bagi para pekerja yang cenderung lupa untuk

beristirahat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan

63

Page 64: skripsiTBini

kesehatannya pun sering diabaikan, sebagaimana hasil penelitian ini

menunjukkan, lebih banyak responden memiliki pekerjaan pada usia

produktif.

Umur yang produktif juga rentan untuk terkena TB paru

karena erat kaitannya dengan migrasi. Orang dalam kelompok usia

produktif cenderung lebih sering melakukan perjalanan baik dalam

urusan pendidikan, pekerjaan maupun pribadinya. Hal ini senada

dengan yang dikemukakan oleh Solikah (2012) dalam penelitiannya

bahwa salah satu pendorong Tenaga Kerja melakukan migrasi adalah

usia mereka yang masih dalam usia produktif, status perkawinan,

tingkat pendidikan rendah, tidak mempunyai pekerjaan, dan beban

tanggungan yang sangat banyak. Apabila seseorang sering berpindah-

pindah tempat maka makin besar resikonya untuk terinfeksi agent

penyakit. Di kota palu telah diketahui bahwa banyak masyarakat

merupakan perantau yang datang dari luar daerah kota Palu, baik dari

dalam maupun dari luar propinsi yang berpotensi menjadi pembawa

virus.

Selain faktor tingginya migrant sebagai sumber virus, faktor

lain adalah perilaku hidup manusia yang cenderung mengabaikan

dimensi kualitas lingkungan yang tentu saja mempengaruhi derajat

kesehatan. Walaupun ada pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi

bila manusianya lemah dalam mengimplementasikan, maka program-

program kesehatan tidak mencapai maksimal. Pada kelompok usia

64

Page 65: skripsiTBini

produktif merupakan usia yang dipenuhi dengan kesibukan, sehingga

sering melupakan bahkan cenderung mengesampingkan upaya

pengobatan secara optimal yang akhirnya konsumsi obat tersebut

diminum tidak sesuai petunjuk tenaga medis, yang kemudian dapat

menyebabkan tubuh penderita resisten terhadap obat.

4.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian TB Paru

Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor penyebab

penyakit, di antaranya Tuberkulosis Paru. Kebiasaan merokok akan

merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary

clearance, meningkatkan tahanan jalan napas, merusak makrofag dan

menurunkan respon terhadap antigen (Anonim, 2005).

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 6,060 > X2

tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,014 < 0,05. Hasil uji ini memperlihatkan

Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru.

Pada penelitian Alcaide, J, dkk (2000) dalam Suharso

(2011), menyatakan ada hubungan bermakna secara statistik

merokok sigarette dengan kejadian penyakit TB paru. Makin

banyak dosis respon/jumlah batang rokok yang dihisap per hari

maka semakin besar risiko menderita TB paru. Begitupula

penelitian Salahuddin (2002) bahwa OR perokok berat dan tidak

merokok sebesar 2,88.

65

Page 66: skripsiTBini

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Zainul (2010) dimana

hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan

merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis yang terlihat

dari perbedaan yang signifikan antara konversi sputum antara

kelompok penderita TB dengan kebiasaan merokok dan penderita

dengan tidak memiliki kebiasaan merokok dengan hasil uji chi

square P=0,0001, IK 95%.

Kegemaran masyarakat mengkonsumsi rokok, lebih

dominan terjadi di negara sedang berkembang, bahkan cenderung

meningkat. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa yang

berpendapatan rendah dan pekerja kasar justru cenderung memiliki

kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok bagi orang-orang tertentu

ini memiliki daya tarik tersendiri dalam pergaulannya sehari-hari,

bahkan di kalangan remaja merokok sudah merupakan gaya hidup.

Semakin muda usia mengkonsumsi rokok, maka semakin dini

terpapar dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh dan

cenderung menyebabkan berbagai penyakit antara lain penyakit TB

Paru. Hal ini jugalah yang mungkin menjadi salah satu penyebab

masih tingginya infeksi TB di dunia.

Merokok bisa dibilang sudah mencapai tingkat pandemitas.

Rokok ditempatkan sebagai sesuatu yang memiliki daya pikat bagi

penggemarnya, tergambar dalam identifikasi rokok sebagai suatu

yang nikmat, tampan, berani, macho, trendi, kompak, santai,

66

Page 67: skripsiTBini

optimis, kreatif, penuh petualangan, dan penuh kebanggaan.

Padahal kita ketahui bersama bahwa tidak ada yang baik di dalam

rokok tersebut. Merokok bukanlah gaya hidup yang sehat. Hal ini

disadari baik oleh perokok maupun yang bukan perokok namun

kesadaran akan bahaya merokok masih relatif kurang dimiliki oleh

kalangan masyarakat umum, dimana proteksi terhadap zat-zat

berbahaya umumnya masih kurang.

Perokok juga didominasi oleh kelompok yang memiliki

pendapatan rendah dan pekerja kasar. Hal ini dapat diketahui dari

responden yang menderita TB Paru pada umumnya bekerja sebagai

petani dan pekerjaan lain dengan penghasilan rendah. Pendapatan

yang seharusnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang

lebih bermanfaat seperti membeli makanan yang mengandung

protein tinggi, artinya secara normatif mereka harus sadari bahwa

protein dan gizi yang seharusnya lebih diutamakan untuk menjaga

daya tahan tubuh mereka, bukan rokok yang justru dapat

melemahkan organ tubuh mereka.

Di Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu, usia penduduk

yang mengkonsumsi rokok relatif berumur semakin muda, bahkan

anak SD pun banyak yang merokok di tempat-tempat umum,

tingginya perokok di Kota Palu dapat terlihat pula dengan

dukungan pemerintah kota Palu menjadikan produsen rokok

sebagai sponsor kegiatan dari beberapa kegiatan di Kota Palu. Hal

67

Page 68: skripsiTBini

ini lah yang terjadi sehingga bukan hanya pada responden penderita

TB Paru saja yang banyak memiliki kebiasaan merokok, tapi juga

pada responden yang tidak menderita TB Paru menunjukkan

distribusi yang cukup banyak memiliki perilaku merokok. Mereka

merokok dan tidak terkena TB Paru mungkin karena faktor-faktor

lain yang bisa mendukung kesehatan mereka, misalnya saja gizi

yang terpenuhi, sebab kebanyakan dari responden yang tidak

menderita TB Paru mempunyai pekerjaan yang memiliki

pendapatan menengah ke atas.

Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia ini sudah tertular

oleh kuman tuberkulosis walaupun belum terjangkit oleh

penyakitnya (Anonim, 2008), penyakit dari kuman tuberkulosis ini

dapat mempercepat infeksinya terhadap tubuh dengan merokok,

khususnya pada TB Paru, sebab dengan merokok dapat

menurunkan dan melemahkan sistem kerja organ paru.

4.2.4 Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB

Paru

Dari segi kesehatan, kepadatan hunian mempunyai

pengaruh sangat besar terhadap kesehatan masyarakat, karena

kepadatan mempengaruhi timbulnya suatu penyakit maupun

kematian akibat penyakit menular.

Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

68

Page 69: skripsiTBini

agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU No.

23 th. 1992).

Pada penelitian ini, hasil uji statistik diperoleh nilai X2

hitung = 5,104 > X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,024 < 0,05. Hasil

uji ini memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya

bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan

kejadian TB Paru.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan Hasmi (2006) dimana hasil analisis bivariat dan

multivariat menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara

kepadatan hunian dalam rumah penderita TB paru dengan kasus

baru dalam rumah di kabupaten kebumen p= 0,028 or=6,76

(ci95%:1,22-37,2). Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan

penelitian tentang hubungan kepadata hunian dengan kejadian TB

paru dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR = 3,161

dengan nilai p = 0,001.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ratnasari (2005)

yang melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan

bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru

dengan nilai OR = 2,4 dimana 95% CI: 1,09-5,47.

Dalam penelitian Suharso (2011) didapatkan kepadatan

hunian merupakan faktor risiko kejadian TB Paru dengan hasil

69

Page 70: skripsiTBini

analisis diperoleh nilai Odds Ratio sebesar 3,847 (1,52<OR<9,863)

pada tingkat kepercayaan (CI)=95%.

Menurut HL. Blum derajat kesehatan dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan. Seperti

halnya dalam penelitian bahwa kepadatan hunian rumah meliputi

faktor lingkungan dapat mempengaruhi kejadian TB Paru. Kuman

penyakit ataupun virus lebih dapat bertahan hidup dan cepat

berkembang pada suhu lembab, sedangkan suhu dalam ruangan

erat kaitannya dengan kepadatan hunian. Semakin padat hunian

rumah maka semakin cepat penularan penyakit khususnya penyakit

menular yang dapat menularkan penyakit melalui udara.

Hunian yang masih padat di Kota Palu ini berkaitan dengan

tingkat ekonomi penduduk Kota Palu yang secara umum masih

rendah. Keadaan ekonomi ini dapat terlihat pada responden yang

menderita TB paru yang kebanyakan adalah keluarga dengan

pendapatan menengah ke bawah, sehingga tidak bisa membangun

rumah yang sesuai dengan standar kesehatan bagi keluarganya.

Kepadatan hunian ini juga dapat dipengaruhi oleh budaya

kota palu yang masih banyak menganut kepercayaan “banyak anak

banyak rejeki” sehingga walaupun suatu keluarga tersebut dalam

keadaan perekonomian yang rendah namun mereka msih enggan

untuk ikut dalam program KB (Keluarga Berencana) yang sampai

saat ini masih menjadi masalah di Indonesia khususnya Kota Palu.

70

Page 71: skripsiTBini

Selain keengganan masyarakat dalam ber-KB, kepadatan

hunian di Kota Palu berkaitan dengan budaya masyarakat Kota

Palu yang suka berkelompok, sehingga walaupun terdapat rumah

yang memiliki ukuran cukup luas, namun penghuninya juga

banyak, sebab biasanya terdapat dua sampai tiga bahkan lebih

kepala keluarga dalam satu rumah, pada umumnya adalah rumah

dari orang tua mereka sendiri. Hal ini terjadi disebabkan oleh

pengaruh sifat dasar manusia yang pada dasarnya suka hidup

berkelompok.

4.3 Keterbatasan Penelitian

1. Keterbatasan pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner

dimana keakuratan data yang diperoleh antara variabel-variabel yang diteliti

sangat tergantung pada kejujuran dan keterbukaan responden serta

kemampuan dari peneliti dalam menggali data yang tentunya masih terbatas

karena sebagai peneliti pemula.

2.Keterbatasan dalam desain penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan desai cross sectional, yang mana

seharusnya dalam desain penelitian cross sectional diperlukan sampel dalam

jumlah besar, selain itu dalam penelitian cross sectional ini sampel hanya

diukur sekali waktu secara bersama-sama, yang tentunya memiliki

perbedaan hasil bila dilakukan mengikuti perkembangan sampel.

3. Keterbatasan waktu dan biaya

71

Page 72: skripsiTBini

Sebagai peneliti pemula dan sebagai seorang mahasiswa sudah tentu

biaya dan waktu menjadi kendala bagi peneliti, karena bagaimanapun juga

dalam melakukan suatu penelitian diperlukan dana yang cukup dan waktu

yang banyak untuk kelancaran suatu penelitian.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan diperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di RSUD

Undata Palu (ρ=0,017).

2. Ada hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di RSUD Undata

Palu (ρ=0,036).

3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di

RSUD Undata Palu (ρ=0,014).

4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di

RSUD Undata Palu (ρ=0,024).

5.2 Saran

1. Diharapkan bagi petugas kesehatan dan instansi yang terkait untuk

meningkatkan penyuluhan pada usia produktif agar lebih menjaga Hygene

perorangannya dan life style bagi usia produktif tersebut terkait dengan

72

Page 73: skripsiTBini

usianya yang menjadi kelompok berisiko bagi beberapa penyakit

khususnya TB Paru.

2. Diharapkan pula bagi petugas kesehatan, pemerintah dan instansi yang

terkait agar juga memperhatikan kesehatan masyarakat khususnya laki-

laki. Dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan gratis secara rutin

atau penyuluhan agar tidak melakukan tindakan berisiko, seperti merokok

atau minum minuman keras (alkohol).

3. Diharapkan bagi tenaga kesehatan, pemerintah dan instansi yang terkait

agar lebih gencar dalam mengiklankan atau penyuluhan mengenai bahaya

rokok dan ikut andil dalam memerangi rokok. Tenaga kerja yang produktif

akan dapat terserap secara optimal di pasar kerja jika memiliki pendidikan,

kesehatan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Hal ini sulit tercapai jika

calon tenaga kerja produktif sudah teracuni oleh rokok yang tentu saja hal

ini akan merugikan pemerintah daerah dan Negara.

4. Diharapkan bagi tenaga kesehatan, pemerintah dan instansi yang terkait

untuk lebih memperhatikan kesehatan lingkungan hunian, dalam hal ini

khususnya kepadatan hunian rumah. Bisa dengan melakukan penyuluhan

dan atau lebih tegas dalam peraturan mengenai luas rumah dengan jumlah

hunian di dalamnya.

73

Page 74: skripsiTBini

74