Download - skripsiTBini
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor kesehatan Indonesia saat ini sedang dalam situasi transisi
epidemiologi yang harus menanggung beban berlebih. Meskipun banyak
penyakit menular yang sudah bisa ditangani, namun masih banyak penyakit
lain seperti tuberkulosis yang belum dituntaskan (Widoyono, 2008).
Penyakit tuberkulosis dapat menyerang hampir seluruh tubuh
manusia, tetapi yang paling banyak adalah organ paru. Walaupun pengobatan
TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi
problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan maret 1993 WHO (World
Health Organization) mendeklarasikan TB (Tuberkulosis) sebagai global
health emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang
penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikrobakterium (Amin dan Bahar, 2010).
Penduduk yang padat dan tingginya prevalensi yang menyebabkan
lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul
terjadi di Asia (Amin dan Bahar, 2010). Menurut WHO, 22 negara dengan
beban TB tertinggi di dunia 50%-nya berasal dari negara-negara Afrika dan
Asia serta Amerika. Hampir semua Negara ASEAN masuk dalam kategori 22
negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia (Widoyono, 2008).
1
Kasus jumlah prevalensi pada tahun 1998 di Cina, India dan Indonesia
berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus dan perkiraan
kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000
(Danusantoso, 2000).
WHO memperkirakan terjadi kasus TB sebanyak 9 juta per tahun di
seluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta
orang per tahun. Dari seluruh kematian tersebut, 25% terjadi di negara
berkembang (WHO, 1999).
Sedangkan laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat
Indonesia menurun dari posisi tiga ke posisi lima dengan jumlah penderita
TBC sebanyak 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus
insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan
Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control, 2010).
Sulawesi Tengah mencatat jumlah kasus TB Paru pada tahun 2008
sebanyak 2120 kasus BTA (+) (Dinkes, 2008), 1917 kasus TB Paru BTA (+)
pada tahun 2009, dan diperkirakan ada sebanyak 5208 kasus baru ditemukan
pada tahun 2010 (Dinkes, 2010).
Menurut data dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata Palu
jumlah prevalensi TB paru sebanyak 465 dan masuk pada 5 besar penyakit
terbanyak di ruang rawat inap pada tahun 2010 dan berada pada urutan
pertama di ruang rawat jalan dengan jumlah prevalensi 2310 pasien,
kemudian pada tahun 2011 jumlah prevalensi TB paru di ruang rawat inap
2
sebanyak 79 dan pada ruang rawat jalan sebanyak 1767 yakni berada pada
urutan 3 dari 10 penyakit terbanyak di ruang rawat inap.
Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta
mulai merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah saja.
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita
TBC (Tuberkulosis) terbesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44
tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun
(12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%) (Prabu, 2008).
Beberapa faktor risiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika
yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS
(Acquired immune deficiency syndrome). Dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda (Prabu,
2008). Sebagian besar penderita TB paru tersebut berusia 17–54 tahun
(kelompok usia produktif) dengan persentase jumlah mencapai 70% (Depkes,
2009).
Penderita terbanyak tuberkulosis di Benua Afrika terutama menyerang
laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali
lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada wanita, yaitu 42,34% pada
laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru
laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru
3
pada wanita menurun 0,7% (Prabu, 2008). Laporan di seluruh provinsi di
Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TBC
BTA (+) terdapat 43.924 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21%)
(Widoyono, 2008). Begitu pula pada kasus TB yang tercatat di Provinsi
Sulawesi Tengah yaitu jumlah kasus baru pada laki-laki sebanyak 1401 dan
perempuan sebanyak 906 (Dinkes, 2010).
Kasus TB di Negara India adalah salah satu penyebab utama kematian
para perokok. Sekitar 20% kematian akibat tuberkulosis di India
berhubungan dengan kebiasaan merokok mereka. Merokok diperkirakan
mampu membunuh hampir satu juta warganya di usia produktif pada tahun
2010. Menurut penelitian tersebut juga mengungkapkan tuberkulosis dan
merokok merupakan dua masalah kesehatan masyarakat yang signifikan,
terutama di Negara berkembang (Boon dalam Zainul, 2010). Hal tersebut
dapat dilihat dalam penelitian Lin (2009) membuktikan hubungan signifikan
antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar
dan batu bara terhadap risiko infektif penyakit dan hasil yang didapatkan
orang dengan kebiasaan merokok menderita TB sebanyak 33 orang, perokok
pasif menderita TB sebanyak 5 orang, dan orang dengan polusi udara
menderita TB sebanyak 5 orang (Zainul, 2010).
Banyak perokok yang meninggal setiap tahunnya karena melemahnya
kondisi paru-paru dibandingkan kanker paru-paru (Sugito, 2009). Kebiasaan
merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50%
4
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.
Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB paru (Prabu, 2008).
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan, salah satu penyebab TB
adalah faktor kepadatan hunian, luas lantai bangunan rumah sehat harus
cukup untuk hunian di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut
harus disesuaikan dengan jumlah huniannya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit
infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain (Prabu,
2008).
Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat
(Kemenpera) Pangihutan Marpaung menjelaskan dalam sebuah wawancara
(Jumat, 23 Desember 2011) bahwa:
UU No 1 Tahun 2011 soal perumahan pasal 22 ayat 3 berbunyi luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, maka aturan batas luas terkecil rumah di Indonesia hanya mengakomodir 9 m2 untuk 1 orang atau 36 m2 dengan perhitungan ada 4 orang di dalam rumah. Sementara standar World Health Organization (WHO) memiliki standar rumah layak dengan luas 10 m2 per orang atau dengan total 40 m2. Padahal seharusnya Standar Internasional itu 12 m2, jadi standar minimal rumah internasional adalah tipe 48 m2 (Anonim, 2011a).
Atas dasar fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
penulis mengambil penelitian faktor umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok
dan kepadatan hunian yang berhubungan dengan kejadian TB paru.
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu apakah umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok dan
kepadatan hunian merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian TB
Paru di RSUD Undata Palu.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian
TB paru di RSUD Undata Palu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian TB paru di
RSUD Undata Palu.
2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB
paru di RSUD Undata Palu.
3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian
TB paru di RSUD Undata Palu.
4. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian
TB paru di RSUD Undata Palu.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Penelitian Selanjutnya
Sebagai informasi tambahan bagi peneliti dalam mengetahui faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian TB paru di RSUD Undata Palu.
6
2. Bagi Pelayana Kesehatan
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi serta bahan masukan
mengenai kejadian TB paru di RSUD Undata Palu agar dapat dilakukan
pencegahannya.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam memberikan materi perkuliahan
yang dapat bermanfaat untuk pengetahuan dan pengembangan ilmu
kesehatan di program studi kesehatan masyarakat.
1.5 Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di RSUD Undata
Palu.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di RSUD
Undata Palu.
3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di
RSUD Undata Palu.
4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di
RSUD Undata Palu.
1.6 Batasan Masalah
Variabel bebas dari penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok dan kepadatan hunian, sedangkan variabel terikatnya
ialah TB paru, penelitian dilaksanakan di RSUD Undata Palu, pada bagian
poli penyakit dalam.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah TB Paru
Penyakit tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Menurut hasil penelitian, penyakit tuberkulosis sudah ada sejak zaman mesir
kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi, dan penyakit ini juga
sudah ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang
lalu. Pada tahun 1882, Ilmuwan Robert Koch berhasil menemukan kuman
tuberkulosis, yang merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini berbentuk
batang (basil) yang dikenal dengan nama ‘Mycobacterium tuberculosis’
(Widoyono, 2008).
Khususnya untuk Indonesia, pada saat Candi Borobudur didirikan
(abad VIII), rupanya saat itu TB sudah pula menjadi penyakit rakyat,
sehingga pemahatnya mengambilnya sebagai contoh orang sakit yang
bertemu dengan Pangeran Sidharta Gautama. Orang tersebut kurus dengan
bahu tertarik ke atas dan tulang-tulang iganya menonjol keluar (Van Joost,
1951 dalam Danusantoso, 2000).
2.2 Definisi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tersebut
biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam
paru. Kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
8
lain, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limpa, melalui saluran
nafas (bronkus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya
(Depkes RI, 1997).
Sedangkan menurut Daniel (1991) tuberkulosis adalah suatu infeksi
bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan
ditandai oleh pembentukan granuloma hipersensitivitas selular. Tempat
penyakit yang biasa pada paru, tetapi organ lain bisa terlibat. Tanpa terapi
efektif, biasa terjadi perjalanan menahun yang membuat pasien kurus dan
akhirnya diikuti kematian pada kebanyakan kasus.
2.3 Etiologi
Sebagaimana telah diketahui, TB paru disebabkan oleh basil TB
(Mycobacterium tuberculosis humanis) juga dapat disebabkan oleh
Mycobacterium bovis. M.Tuberkulosis termasuk famili Mycobacteriaceae
yang mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobaterium.
M.Tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah tipe humanis
(kemungkinan infeksi tipe bovines saat ini dapat diabaikan, setelah hygiene
peternakan makan ditingkatkan) (Danusantoso, 2000).
Kuman tuberkulosis mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6
mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau
tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri
dari lipoid (terutama asam mikolat) (Widoyono, 2008).
9
Dalam sputum yang kering kuman ini dapat hidup lama, sehingga ia
dapat turut berterbangan bersama debu. Sinar matahari dapat membunuh basil
itu dengan segera. Selanjutnya, basil ini tahan dingin (Surasetja, 1980).
2.4 Karakteristik Kuman Tuberkulosis
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap
pencucian warna dengan asam alkohol, sehingga sering disebut basil tahan
asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis
juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob
(Widoyono, 2008).
Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomana. Lipid inilah yang membuat kuman tahan
asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam. Dari sifat dorman
ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Di
dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler, yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian
apical paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apical ini
merupakan tempat prediksinya penyakit tuberkulosis.
Penderita TB yang menular adalah penderita dengan basil-basil TB di
dalam dahaknya, dan bila menandakan ekspirasi-paksa berupa batuk-batuk,
bersin-bersin, dan ketawa keras akan menghembus keluar percikan-percikan
10
dahak halus (droplet nuclei), yang berukuran kurang dari 5 mikron dan yang
akan melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB
(Danusantoso, 2000). Bilamana hinggap disaluran pernapasan yang agak
besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan
oleh gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan ini. Tetapi bilamana
berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa
bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil TB akan mendapat
kesempatan untuk berkembang biak setempat, maka berhasillah suatu infeksi
TB (Crofton, 1992).
Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Selain itu,
kontak jangka panjang dengan penderita TB dapat menyebabkan tertulari,
seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB di dalam
sputum mereka. Penderita yang tidak diobati tidak sempurna dahaknya akan
tetap mengandung basil TB selama bertahun-tahun (Chin, 2006). Bakteri ini
masuk ke dalam tubuh manusia melalui peredaran darah, pembuluh limfe,
atau langsung ke organ terdekatnya (Widoyono, 2008).
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil
studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah)
akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah)
(Widoyono, 2008).
11
Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal seperti: jumlah basil
TB yang dikeluarkan, virulensi dari basil TB, terpajannya basil TB dengan
sinar ultra violet, terjadinya aerosiliasi pada saat batuk, bersin, bicara atau
pada saat bernyanyi, tindakan medis dengan risiko tertinggi seperti pada
waktu otopsi, inkubasi atau pada saat waktu melakukan bronskopi.
Penularan TB dapat juga melalui makanan/minuman. Dimana
penularan dalam hal ini dapat melalui susu (milk bone disease) karena susu
merupakan media yang paling baik untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme penyebab, juga karena susu sering diminum dalam keadaan
segar tanpa dimasak atau dipasteurisasi (Nur asri dalam Fidiawati, 2011).
2.5 Gejala Penyakit TB Paru
Keluhan-keluhan dini perlu diketahui agar dapat melakukan diagnosis
sendiri sehingga dengan segera diperiksakan untuk mencegah keparahannya.
Keluhan-keluhan dini tersebut sebagai berikut:
Keluhan batuk-batuk yang berkepanjangan yang mengeluarkan dahak
berwarna kekuningan, kadang-kadang bercampur darah, kadang-kadang
batuk darah, lelah, demam, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, dapat
timbul bersama-sama atau sendiri-sendiri pada penderita-penderita dewasa
muda. Gejala-gejala tersebut berlangsung dalam beberapa minggu, malahan
berbulan-bulan, tetapi kadang-kadang (terutama pada usia lanjut) tak terdapat
keluhan sama sekali walaupun dahaknya menular. Penderita seperti ini adalah
penderita-penderita yang berbahaya. Kadang-kadang penyakit ini dimulai
dengan gejala-gejala yang tidak umum : timbul nodus yang kemerahan pada
12
kulit disekitar mata kaki dengan rasa sakit atau kombinasi demam, sesak
nafas dan nyeri dada pada waktu tarik nafas (Sibuea, dkk, 1992).
Sedangkan gejala umum dan khusus menurut TBC Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Gejala sistemik/umum
1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-
paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang
disertai sesak.
2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
13
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus
otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran
dan kejang-kejang.
5) Pada bayi biasanya timbul tergantung pertumbuhan, berak
(defecasi) yang tidak tetap, kadang-kadang encer kadang-
kadang baik mungkin disertai dengan kenaikan suhu badan
yang tidak begitu tinggi. Jika bayi tidak tidak diberi
pertolongan ia akan menjadi kurus bahkan sangat kurus
(Surasetja, 1980).
Mahdiana (2010) juga mengungkapkan pada infeksi tuberkulosis
yang baru, bakteri pindah dari luka di paru-paru ke dalam kelenjar getah
bening yang berasal dari paru-paru. Jika sistem pertahanan tubuh alami bisa
mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan berlanjut dan bakteri akan
menjadi dorman. Kemudian pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi
besar dan menekan tabung bronkial dan menyebabkan batuk atau bahkan
mungkin menyebabkan penciutan paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran
getah bening dan membentuk sekelompok kelenjar getah bening di leher.
Infeksi pada kelenjar getah bening ini bisa menembus kulit dan menghasilkan
nanah.
14
2.6 Patogenesis TB Paru
1. Tuberculosis Primer
Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB, tes
tuberkulin akan negatif karena sistem imunitas seluler belum mengenal
basil TB. Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun segera
difagositosis oleh makrofag, basil TB tidak akan mati, bahkan
makrofagnya dapat mati. Dengan demikian, basil TB ini lalu dapat
berkembang biak secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru,
dengan kecepatan basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada
infeksi oleh 1 basil saja, setelah 2 minggu akan bertambah menjadi
100.000 basil (Holm, 1970 dalam Danusantoso, 2000).
Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan
mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri
akan ditangkap dan dihancurkn oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika
pada proses ini, bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah maka bakteri
akan berkembang biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan
menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik
yang menarik monosit (makrofag) dari aliran darah membentuk tuberkel.
Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T. Tidak semua makroag
pada granula TB mempunyai fungsi sama. Ada makrofag yang berfungsi
sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang bakteri. Beberapa
makrofag menghasilkan protalase, elastase, kolagenase, serta colony
15
stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan granulit pada
sumsung tulang belakang. Bakteri TB menyebar melalui
saluran pernapasan ke kelenjar gatah bening regional (hilus) membentuk
epiteloid granula. Granula mengalami nekrosis sentral sebagai akibat
timbulnya hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi
sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada ter tuberculin. Hipersensitivitas
seluler terlihat sebagai akumilasi loka dari limfosit dan makrofag. Bakteri
TB berada di alveoli akan membentuk fokus lokal, sedangkan fokus
iniasial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat di hilus dan
disebut juga TB primer. Fokus primer paru biasanya bersifat unilateral
dengan subpleura terletak di atas atau di bawah fisura interlobaris, atau di
bagian basal dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui
saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut pada bagian organ. TB
primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis (Amin dan Bahar,
2010).
Basil-basil TB dapat musnah dengan perlahan-lahan atau akan tetap
berkembang biak dalam makrofag-makrofag, atau akan tetap tinggal
‘tidur’ (dormant) selama bertahun-tahun sampai berpuluh-puluh tahun
(Crofton, 1992).
2. TB Sekunder
TB sekunder adalah penyakit TB yang baru timbul setelah lewat 5
tahun sejak terjadinya infeksi primer. Dengan demikian, mulai sekarang
16
apa yang disebut TB post-primer, secara internasional diberi nama baru
TB sekunder (Styblo, 1978 dalam Danusantoso, 2000).
Dari beberapa hasil penelitian, 10% dari infeksi tuberkulosis
primer akan mengalami reaktifasi, terutama setelah 2 tahun dari infeksi
primer. Reaktifitas ini disebut juga dengan tuberculosis post-primer (Rab,
2010).
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limpa
regional dan organ lainnya jarang terkena, lebih terbatas dan teralokasi.
Reaksi imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip
dengan yang terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih
menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa yang luas dan disebut
tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan
menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder
adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas
seluler. TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda
pernah terinfeksi TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apical atau
segmen posterior lobus superior, 10-20 mm dari pleura, dan sehingga
menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB (Amin dan Bahar, 2010).
17
2.7 Pemeriksaan Tuberkulosis
1. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditentukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), berat badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan khusus fisis, pasien sering tidak menunjukan
suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfeksi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak
di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena
hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru-paru sulit
dinilai secara patesi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan
pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apekspar. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan
nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofil dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
jadi menciut dan menarik isi mediatrium atau paru lainnya. Bila jaringan
18
fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru,
akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonaris (hipertensi pulmonal) diikuti
terjadinya kopulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan
tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea,
takikardial, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur
Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang
meningkat, hepatomagali, astesis, dan endema. Dalam pemeriksaan klinis,
TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkan kelainan radiologis dada pada permukaan rutin atau uji
tuberkulin yang positif.
2. Pemeriksaan Radiologis
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi (bayangan) tuberkulin. Pemeriksaan ini memang
membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam
beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-
anak dan tuberkulosis milier. Pada keduanya pemeriksaan radiologis dada,
sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen
apicallobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus (menyerupai
tumor paru) misal pada tuberkulosis endobronkial. Pada awal penyakit saat
lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologis
19
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Gambar pada kavitas bayangan berupa cincin yang mula-mula
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal.
Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi
bayangan tampak sebagai bercak-bercak dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologi
lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura
(pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema),
bayangan hitam radio lesun di pinggir paru/pleura (Pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-
garis fibrotik, klasifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun
atelektasis dan emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh,
terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan “tuberculosis is the
greatest imitator”. Gambaran infiltasi dan tuberkuloma sering diartikan
sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus, atau karsinoma
metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di
20
samping itu perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto.
Faktor kesalahan dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu untuk diagnostic
radiology sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi
dan foto dengan proyeksi idensitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan
adanya penyakit, kecuali suatu infiltrate yang betul-betul nyata. Lesi
penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi
yang berupa fibrotic, klasifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada
orang-orang yang sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah
banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography
Scanning (CT Scan). Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT
Scan, tetapi dapat mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang
belakang, perbatasan dada perut.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak
21
spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan
jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran
ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun
kearah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:
(1) Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.
(2) Gama globulin meningkat.
(3) Kadar natrium darah menurun.
Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.
Pemeriksaan seriologis yang pernah dipakai adalah reaksi
Takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukan proses tuberkulosis
masih aktif atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah
titer 1/128. Pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena
angka-angka positif palsu dan negatif palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga
dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh
beberapa peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya
cukup tinggi (85-95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya
karena mendapatkan angka-angka yang lebih rendah. Walaupun begitu
PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila
digunakan sebagai saran tunggal untuk diagnosis TB.
22
b. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini
mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas).
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum sebanyak ±2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk. Dapat
juga memberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau
dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil
dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronco
alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara
bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang hendak diperiksa
hendaknya sesegar mungkin.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:
(1) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
23
(2) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop
flouresens (pewarnaan khusus).
(3) Pemeriksaan dengan biakan (kultur).
(4) Pemeriksaan terhadap resistensi obat (Amin dan Bahar,
2010)
Menurut WHO (2001) dalam Panduan Mikroskopis
Tuberkulosis semua tersangka penderita yang datang dengan kemauan
sendiri ke pelayanan kesehatan dengan gejala klinis TB Paru (suspek)
pada orang dewasa harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari berturut-turut (Anonim, 2011b) :
a) Sewaktu : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB paru
datang berkunjung pertama kali datang pelayanan
kesehatan. Pada saat pulang suspek membawa sebuah pot
untuk mengumpulkan dahak hari kedua.
b) Pagi : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua
segera setelah bangun tidur. Pot tersebut diantar sendiri ke
laboratorium pelayanan kesehatan. Volume dahak
sebaiknya 3-5 ml.
c) Sewaktu : Dahak dikumpulkan di UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) pada hari kedua saat meyerahkan dahak pagi.
d) Hasil pemeriksaan dinyatakan (+) apabila sedikitnya 2 dari 3
spesimen SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) BTA hasil positif.
24
e) Bila hanya 1 pemeriksaan SPS positif maka pemeriksaan lanjut
dengan foto rontgen dada, apabila hasil rontgen mendukung TB
paru maka penderita di diagnosis TB paru BTA positif.
f) Hasil rontgen tidak mendukung maka di diagnosis bukan
penderita TB paru.
Untuk mendapat kualitas dahak yang baik beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Memberikan penjelasan kepada penderita mengenai pentingnya
pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak pertama maupun
dahak ulang.
b) Memberi penjelasan kepada penderita tentang cara batuk yang
benar untuk mendapat dahak yang kental dan purulen.
c) Petugas memeriksa kekentalan, warna dan volume dahak, warna
dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah warna kuning
kehijau-hijauan (mukopurulen), kental dengan warna 3-5 ml,
bila volume kurang, petugas harus meminta penderita batuk lagi
sampai volume dahak cukup.
d) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah
terpakai dan harus dimusnahkan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kontaminasi kuman TB paru.
Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dilakukan dengan
menggunakan skala International Union Againt Tuberculosis and Lung
25
Diseases (IUATLD) dan diperiksa paling sedikit 100 lapang pandang atau
dalam waktu kurang lebih 10 menit sebagai berikut:
a) Tidak ditemukan BTA per 100 lapang pandang = negative.
b) Ditemukan 1-9 BTA per 100 lapang pandang = ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
c) Ditemukan 10-99 BTA per 100 lapang pandang = + atau 1+.
d) Ditemukan 1-10 BTA per 1 lapang pandang = ++ atau 2+.
e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang = +++ atau 3+.
Bila ditemukan 1-3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan
harus diulang dengan spesimen dahak yang baru, bila hasilnya tetap 1-3
BTA maka hasilnya dilaporkan negatif, bila hasilnya 4-9 dilaporkan positif.
4. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis
terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,11 cc tuberkulin berkekuatan 5 T.U
(intermediatestrength). Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah
seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M.
tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) dan
Mycrobacteriae patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi
alergik tipe lambat. Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosis
memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga
terdapat positif palsu yakni pada pemberiaan BCG atau terinfeksi dengan
26
Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada
positif palsu (Amin dan Bahar, 2010).
2.8 Faktor Risiko Penyebab Tubekulosis
Faktor risiko tertinggi dari tuberkulosis paru adalah (Rab, 2010):
1) Berasal dari negara berkembang.
2) Anak-anak di bawah umur 5 tahun.
3) Pecandu Alkohol atau Narkotik.
4) Infeksi HIV
5) Diabetes Melitus
6) Hunian rumah beramai-ramai
7) Imunosupresi
8) Hubungan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positif
9) Kemiskinan dan malnutrisi
2.9 Pengobatan dan Pencegahan
Sasaran untuk terapi TBC adalah pada bakteri Mycobaterium
tuberculosis dan pada sistem imun tubuh. Tujuan terapi untuk TBC adalah
sedapat mungkin bersifat preventif atau pencegahan timbulnya infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis dan bila telah terjadi infeksi maka
menghilangkan gejala TBC, mencegah keparahan, dan sembuh. Beberapa
cara yang dapat digunakan untuk terapi TBC adalah :
1. Penggunaan vaksin BCG (bacille Calmette -Guerin).
2. Pengobatan pada pasien latent tuberculosis.
27
3. Pengobatan pada pasien active tuberculosis dengan menggunakan
antibiotik (isoniazid, rifampin, dsb) selama kurang lebih 6 bulan
(Rab, 2010).
Selain itu untuk mencegah penyebaran dari TB sangat diharapkan
keinsyafan dari para penderita untuk tidak membuang dahak di sembarang
tempat, dan bila batuk menutup mulutnya dengan sapu tangan. Pada
prinsipnya pencegahan dan pemberantasan TB dijalankan dengan usaha-
usaha:
a. Melakukan pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat tentang; bahaya penyakit TB, cara penularannya, serta
usaha-usaha pencegahannya.
b. Pencegahan dengan imunisasi BCG pada anak-anak umur 0-14
tahun, chemoprophylactic dengan INH pada keluarga penderita
atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita.
c. Menghilangkan sumber penularan dengan mencari dan mengobati
semua penderita dalam masyarakat.
d. Peningkatan sosial ekonomi, misalnya perbaikan perumahan dan
lingkungan, peningkatan status gizi dan peningkatan pelayanan
masyarakat.
e. Memberikan pengobatan pencegahan pada anak balita di
lingkungan keluarga penderita TB paru BTA positif (Depkes RI,
2008).
28
2.10 Variabel yang Diteliti
2.10.1 Umur
Umur atau usia adalah suatu keadaan dimana bertambahnya
usia seseorang setiap tahun. Variabel umur selalu diperhatikan di
dalam penyelidikan-penyelidikan masalah kesehatan, karena:
a. Ada kaitannya dengan daya tahan tubuh. Artinya pada umumnya
daya tahan tubuh orang dewasa itu kuat daripada daya tahan tubuh
bayi dan anak-anak.
b. Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan. Artinya orang
dewasa atau produktif yang karena pekerjaannya ada kemungkinan
menghadapi ancaman penyakit lebih besar dari pada anak-anak.
c. Ada kaitannya dengan kebiasaan hidup (Azwar, 2008).
Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada
usia dewasa muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 – 44 tahun
(Crofton, 1992).
Data WHO juga menunjukkan bahwa tuberkulosis menjadi
penyebab kematian penting pada usia produktif sebab sebagian besar
pasien dan kematian akibat TB terjadi pada golongan umur 15-54
tahun (Depkes RI, 2008).
Dari hasil penelitian, 75% penderita TB adalah mereka yang
berusia produktif. Dengan terganggunya produktifitas kerja, maka
kemungkinan penderita TB kehilangan pekerjaan. Hal ini sama
dengan hilang sumber nafkah keluarga dan investasi masa depan
29
keluarga. Departemen Kesehatan menyatakan jika dalam sebuah
keluarga terdapat usia produktif menderita TB maka mereka akan
kehilangan 20% - 30% pendapatan rumah tangga (Ascobat dalam
Rizal, 2011).
Beberapa faktor risiko penularan penyakit tuberkulosis di
Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta
infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York
pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan
bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat
secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis
paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun (Achmadi, 2011).
Lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman
TB. Perempuan dalam usia reproduksi lebih rentan terhadap TB dan
lebih mungkin terjangkit oleh penyakit TB dibandingkan pria
kelompok usia yang sama (Anonim, 2005).
Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat
menentukan perilaku seseorang dalam keberhasilan pengobatan
penyakitmya, umur yang semakin tua akan mempunyai pengalaman
yang cukup untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudut
pandang, begitu pula dengan pengobatan. Seseorang semakin tua
umurnya akan lebih taat dalam melakukan pengobatan sesuai petunjuk
30
petugas kesehatan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk
sembuh.
Berdasarkan penelitian kohort Gustafon (2004) terdapat suatu
efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko
menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun
adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah
4,08. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah
kelompok usia produktif (Depkes, 2006). Usia yang lebih tua,
melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis,
karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao,
2009).
2.10.2 Jenis Kelamin
Sebagian penyakit lebih sering dijumpai pada kaum pria dan
sebagian lainnya pada kaum wanita. Ada masalah kesehatan yang
lebih ditemukan pada kelompok pria dan ada pula yang sering
ditemukan pada kelompok wanita (Azwar dalam Suharso, 2011).
Jenis kelamin adalah faktor yang membedakan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis. Jenis kelamin adalah
salah satu unsur identitas seseorang. Bila membicarakan antara laki-
laki dan perempuan maka ada tiga aspek yang dilihat : pertama adalah
tingkat simbolis, kedua tingkat kebudayaan atau psikologis, ketiga
tingkat biologis yang hanya menyangkut badan (Umar, 2007). Di
benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki.
31
Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali
lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu
42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-
1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak
2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB
paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru sebanyak 2,2 kali
(Achmadi, 2011).
Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
penyakit infeksi. Jenis kelamin lebih banyak ditinjau dari keterpaparan
dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko
menurut jenis kelamin. (Achmad Hudoyo dalam Rizal, 2011).
Jenis kelamin mempengaruhi penyebaran suatu masalah
kesehatan yang banyak ditemukan. Adanya perbedaan ini disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu:
a. Karena terdapatnya perbedaan anatomi dan fisiologis antara pria
dan wanita.
b. Karena terdapatnya perbedaan hidup antara wanita dan pria.
c. Karena terdapatnya perbedaan tingkat kesadaran berobat antara
wanita dan pria.
d. Karena terdapatnya perbedaan kemampuan/kriteria diagnostik
beberapa penyakit.
32
e. Karena terdapatnya macam pekerjaan antara pria dan wanita
(Anonim dalam Suharso, 2011).
Penderita TB paru lebih banyak ditemukan pada pria. Begitu
pula penelitian Songkla Med di Thailand (1999), 81% dari populasi
penelitian adalah pria. Hal ini sejalan dengan penelitian Salahuddin,
2002, proporsi jenis kelamin pria sebanyak 58,7%. Namun pada
penelitian Canadian medical Association (2000), tidak ada hubungan
yang bermakna antara penyakit TB Paru dengan jenis kelamin
(Salahuddin dalam Suharso, 2011).
Pada penelitian Rahardi (2001) di Kota Samarinda, bahwa
jenis kelamin perempuan lebih banyak menderita TB paru yaitu 58,5%
dibandingkan dengan laki-laki (41,5%). Sedangkan pada penelitian
Widyastuti (2004) di Kabupaten Pangkep, penderita TB paru lebih
banyak ditemukan pada pria dengan proporsi 50,9% dibandingkan
pada wanita 49,1% (Suharso, 2011).
Dari beberapa penelitian, kejadian TB paru banyak ditemukan
pada pria. Pria dapat menjadi sumber penularan yang lebih besar
daripada wanita karena aktivitas pria yang lebih tinggi dibandingkan
wanita (Anonim dalam Suharso, 2011).
2.10.3 Kebiasaan Merokok
Merokok adalah salah satu kebiasaan yang lazim ditemui
dalam kehidupan sehari-hari yang sampai saat ini masih merupakan
masalah di kalangan generasi muda dan masyarakat di Indonesia, yang
33
jika ditinjau dari segi kesehatan, tidak ada satu titik yang menyetujui
atau melihat manfaat yang dikandungnya tetapi justru akan
memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan. Rokok merupakan
salah satu produk industri dan komoditi internasional yang
mengandung sekitar 3.000 bahan kimiawi. Unsur-unsur yang penting
antara lain: tar, nikotin, benzopryn, metal-kloride, aseton, ammonia,
dan karbon monoksida (Bustan, 2007).
Merokok, merupakan sebab utama penyakit paru obstruktif
kronik. Dalam 1-2 tahun merokok, seorang perokok muda akan terjadi
perubahan inflamasi di jalur pernapasan kecil, kendati pengukuran
fungsi paru pada perubahan ini tidak dapat memprediksi terjadinya
obstruksi kronis jalur napas. Setelah 20 tahun merokok, terjadi
perubahan patofisiologi pada paru secara proporsional seiring dengan
intensitas dan durasi merokok. Inflamasi kronik dan penyempitan jalur
napas kecil dan/atau enzimatik dinding alveolar pada empisema
pulmonal menyebabkan pengurangan aliran napas ekspirasi sehingga
terjadi gejala klinis napas terhambat (Budiman, 2011). Merokok
diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis
kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan
risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973
konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang,
relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon,
34
480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di
Pakistan (Achmadi, 2008).
Mengapa merokok memperburuk tuberkulosis? Kebiasaan
merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut
muccociliary clearance. Bulu-bul getar dan bahan lain di paru tidak
mudah “membuang” infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan
alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok
meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistance) dan
menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru, juga akan
merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat me-“makan”
bakteri pengganggu. Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan
respons terhadap antigen sehingga kalau ada benda asing masuk ke
paru tidak mudah dikenali dan dilawan. Secara biokimia, asap rokok
juga meningkatkan sintesa etalase dan menurunkan produksi anti
proses sehingga merugikan tubuh kita (Anonim, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang
lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita
perokok kurang dari 5%.
2.10.4 Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan keadaan dimana kondisi antara
jumlah hunian dengan luas rumah seimbang dengan jumlah
huniannya. Apabila luas rumah tidak seimbang dengan jumlah hunian
atau melebihi kapasitas maka akan berdampak negatif pada kesehatan.
35
Bila rumah terlalu sempit (terlalu banyak huniannya) maka
perpindahan (penularan) bibit penyakit dari manusia yang satu ke
manusia lainnya akan lebih mudah terjadi, misalnya tuberkulosis dan
penyakit saluran pernapasan lainnya (Entjang, 2000).
Adapun ketentuan perbandingan kebutuhan kamar dengan
jumlah hunian (orang) dalam penlitian Suharso (2011) adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1Perbandingan Kebutuhan Kamar dan Jumlah Hunian (Orang)
Jumlah Kamar Jumlah HunianSatuDuaTiga
EmpatLima Ke atas
2 Orang3 Orang 5 Orang8 Orang10 Orang
Sumber : BPS, 1995
Sementara itu ukuran minimal suatu rumah sederhana untuk 4
orang hunian (ayah, ibu dan 2 anak) dengan komposisi ruang, 2 kamar
tidur, 1 ruang makan, dapur dan serambi kerja membutuhkan ukuran
minimal 40 m2. Dengan ukuran rata-rata luas lantai perkapita 10 m2
(Frick dalam Suharso, 2011).
Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Departemen
Kesehatan RI, yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah
hunian minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan
tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga
36
ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah hunian
(sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik, bila kepadatan lebih
atau sama dengan 0,7, cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan
kurang bila kepadatan kurang dari 0,5 (Anonim dalam Sumampouw,
2012).
Kepadatan hunian merupakan suatu proses penularan penyakit,
apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA
positif. Kepadatan hunian di tempat tinggal penderita TB paru paling
banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat
kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah. Kondisi
kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti
penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya
terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih
padat penderita TB lebih besar (Achmadi, 2011). Luas lantai
bangunan rumah sehat harus cukup untuk hunian didalamnya, artinya
luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
huniannya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat,
sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan
hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang.
Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
37
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia (Sukini dalam Fidiawati,
2011).
2.11 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
38
TERPAJAN INFEKSI TB PARU MATI
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak
1. Keterlambatan diagnose dan pengobatan
2. Tatalaksana tak memadai.
3. Kondisi Kesehatan
SEMBUH
Gizi Buruk
HIV +
1. Diagnosis tepat dancepat.
2. Pengobatan tepat danlengkap.
3. Kondisi kesehatan mendukung.
Merokok
Umur
Jenis Kelamin
Faktor Rumah:-Kelembaban-Palvon -Ventilasi-Pencahayaan-Dinding-Lantai
Kepadatan Penghuni
2.12 Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dalam penelitian ini maka dapat disusun
suatu kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Keterangan:
= Variabel independent
= Variabel dependent
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
39
FAKTOR RISIKO
Umur
Jenis Kelamin
Kepadatan hunian
Kebiasaan Merokok
Pekerjaan
Status Gizi
Perilaku
Kondisi Rumah
TUBERCULOSIS
2.13 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. TB Paru
Kejadian TB Paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan
oleh kuman TB berdasarkan diagnosis petugas medis dan tercatat pada
medical record Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu.
Kriteria Objektif
Menderita : Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif menderita TB
Paru.
Tidak Menderita : Bila hasil pemeriksaan laboratorium negatif.
2. Umur
Umur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur responden
yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan waktu penelitian yang
dinyatakan dalam tahun.
Kriteria Obyektif:
Berisiko : berusia 17 – 54 tahun (kelompok usia produktif).
Tidak berisiko: berusia <17 tahun dan >54 tahun
3. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin pada penelitian ini adalah semua pasien baik
perempuan maupun laki-laki yang dibedakan secara biologis, sesuai
dengan yang tercatat di Medical Record RSUD Undata Palu.
Kriteria Obyektif:
Berisiko : laki-laki
Tidak berisiko : perempuan
40
4. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada penelitian ini adalah tindakan merokok
pasien yang ada RSUD Undata Palu yang dinilai berdasarkan kebiasaannya.
Kriteria Objektif:
Berisiko : merokok
Tidak berisiko : tidak Merokok
5. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah, kondisi dimana pasien
tinggal, dimana datanya diperoleh berdasarkan banyaknya hunian yang
tinggal bersama pasien dan disesuaikan dengan kondisi tempat tinggalnya.
Kriteria Objektif:
Berisiko : bila luas bangunan < 10 m2 per orang
Tidak berisiko : bila luas bangunan > 10 m2 per orang
41
Populasi Sampel
TerpajanEfek +
Efek -
Tidak Terpajan
Efek +
Efek -
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
epidemiologi observasional analitik dengan menggunakan metode cross
sectional. Studi penelitian cross sectional merupakan desain penelitian yang
mempelajari hubungan penyakit (outcome) dan pajanan (exposure) dengan
cara mengamati status pajanan dan penyakit serentak pada populasi tunggal,
pada suatu waktu periode. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
kontribusi faktor yang berhubungan dengan TB paru.
Variabel dependent adalah TB paru, sedangkan variabel independent
adalah faktor yang diduga berhubungan dengan TB paru, yaitu: umur, jenis
kelamin, kebiasaan merokok, dan kepadatan hunian.
Arah Waktu
Arah Penelitian
42
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Undata Palu.
3.1.1 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 15 juni 2012 sampai 20 juli
2012.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan
di bagian Poli Penyakit Dalam RSUD Undata Palu.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. Untuk itu sampel harus betul-betul representatif
(mewakili), karena apa yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya
akan dapat diberlakukan untuk populasi.
Sampel pada penelitian ini adalah pasien yang menderita dan
tidak menderita TB Paru yang sedang rawat jalan di bagian Poli
Penyakit Dalam di RSUD Undata Kota Palu.
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara Accidental Sampling.
Accidental Sampling (pengambilan sampel seadanya) adalah
mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu
siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat
43
digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok
sebagai sumber data. Teknik ini biasanya dilakukan karena keterbatasan
waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang
besar dan jauh. Keuntungan dari pada teknik ini adalah terletak pada
ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan variabel yang
diteliti. Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti menggunakan
rumus sebagai berikut:
n=N Z1−α /2
2 P(1−P)d2 ( N−1 )+Z1−α /2
2 P(1−P)
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
N = Perkiraan Besar Sampel
Zα/2 = Nilai standar distribusi normal (1,96)
P = Perkiraan proporsi kejadian variabel yang diteliti (0,06)
Dalam penelitian ini jumlah proporsi didapatkan dari:
J umlah Kasus = 578 = 0,06Jumlah Populasi 8726
d = Presisi absolut yang diinginkan (0,01 s/d 0,1) (Stanley, 1997).
Hasil perhitungan besar sampel :
n=N Z1−α /2
2 P(1−P)d2 ( N−1 )+Z1−α /2
2 P(1−P)
n = (8726 ) (1,96 )2 (0,06 )(1−0,06)
(0,05 )2 (8726−1 )+(1,96¿¿2)( 0,06 )(1−0,06)¿
= (8726 ) (3,841 ) (0,06 )(0,94)
(0,0025 ) (8725 )+(3,841 ) (0,06 )(0,94 )
44
= 1890,33
22,03= 86
Berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas, penulis memperoleh
sebanyak 86 orang sebagai sampel.
3.4 Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer yakni data hasil penelitian yang diperoleh secara langsung
dari narasumber atau responden melalui teknik pengisian kuesioner atau
pertanyaan yang telah disusun dan melalui pengamatan langsung di lokasi
penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder yakni data yang diperoleh melalui rekam medik.
3.5 Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Univariat, yaitu untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel-variabel
yang diteliti. Hasil analisis akan memberikan gambaran secara deskripsi
hasil penelitian secara umum.
2. Bivariat, yaitu untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas
(independen) dengan variabel terikat (dependen) dengan menggunakan
uji statistik chi-square dengan derajat kemaknaan 0,05.
Tabel 3.1 Tabel Kontingensi 2x2 Faktor Yang BerhubunganDengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata
Faktor Risiko
TB Paru Jumlah
Ya TidakYa a b NS
Tidak c d NB
45
Jumlah NF NA N
Rumus Uji Chi Square:
Dimana :
N = Jumlah Sampel
a = Subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek (+)
b = Subyek dengan faktor risiko yang tidak mengalami efek (+)
c = Subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek (-)
d = Subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek (-)
Ns=Jumlah a+b
Nf=Jumlah a+c
NA=Jumlah b+d
NB=Jumlah c+d
Interpretasinya :
1. Jika ρ-value > 0,05 maka Ho diterima artinya menunjukkan dua
variabel tersebut tidak ada hubungan.
2. Jika ρ-value < 0,05 maka Ho ditolak artinya menunjukkan dua
variabel tersebut ada hubungan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program komputerisasi.
3.6 Penyajian Data
46
Penyajian data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi disertai penjelasan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian
4.1.1.1 Sejarah RSUD Undata
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata lama, secara resmi
berdiri pada tahun 1972 berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Propinsi Sulawesi Tengah Nomor: 59/DITTAP/1072 tanggal
7 Agustus 1972, dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 50 tempat
tidur. Pemberian nama RSUD “UNDATA” yang berarti “OBAT
KITA”. Berkat kesungguhan pemerintah daerah dan pihak manajemen
RSUD Undata Palu, serta dukungan Dinas Kesehatan Republik
Indonesia, maka RSUD Undata sebagai RSUD kelas C dengan surat
penetapan Menteri Kesehatan Nomor 51/Menkes/SK/II/79 Tanggal 22
Desember 1979.
Pada tahun 1995, RSUD Undata Palu mendapat pengakuan dari
Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah sebagai RSUD kelas B
Non Pendidikan, sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
39 tahun 1995, kemudian pada tahun berikutnya diakui sebagai pusat
47
rujukan tertiinggi di Sulawesi Tengah dengan peraturan Daerah
Nomor. 6 tahun 1996.
Kemudian pada saat ini telah berdiri RSUD Undata baru, yang
memiliki gedung terpisah dari gedung Undata lama. Dasar
pembangunan RSUD Undata baru adalah:
- Rumah Sakit kelas B Pendidikan Surat Keputusan Gubernur
No.445/73.7/Dinkes GST tanggal 29 Agustus 2003
- Surat Keputusan Menteri Percepatan Pembangunan Kawasan
INDONESIA Timur No. 046/KEP/-PPTKTI/VII/2003. Tanggal 7
Juli 2003
- Didukung oleh Surat Keputusan Rektor Universitas Tadulako
No.4022 j 28 PG/2003 yang diperuntukkan Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako kedepan.
Dasar Perpindahan:
- Surat Keputusan Gubernur No. 445/400/.ADM KESRAMAS
tanggal 6 Agustus 2009 dan
- Surat Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Tengah No.13/P.JMP-
DPRD/2009 tanggal 24 Juni 2009.
4.1.1.2 Visi Misi dan Motto RSUD Undata
1. Visi: Menjadi rumah sakit yang terdepan dan terbaik di propinsi
Sulawesi Tengah.
2. Misi:
48
- Meningkatkan pelayanan kesehatan yang profesional serta
menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia;
- Meningkatkan pendapatan rumah sakit dan kesejahteraan
karyawan;
- Meningkatkan kerjasama dengan mitra rumah sakit.
3. Motto
RSUD Undata memiliki motto “Masangu Mosipakabelo”
yang artinya bersatu untuk saling memperbaiki.
4.1.1.3 Ketenagaan (SDM) RSUD Undata
Sumber daya manusia atau ketenagaan yang dimiliki RSUD
Undata terdiri dari berbagai bidang, adapun ketenagaan tersebut
adalah:
1) Dokter Spesialis 33 orang
2) Dokter Umum 32 orang
3) Dokter Gigi 6 orang
4) Dokter lainnya (M.Kes,DTMH) 1 orang
5) Tenaga perawatan 437 orang
6) Tenaga non perawatan 147 orang
7) Tenaga non medik 137 orang.
4.1.1.4 Sarana dan Prasarana
Jenis pelayanan yang terdapat di RSUD Undata palu adalah
instalasi rawat jalan, instalasi rawat darurat, instalasi rawat inap,
instalasi radiologi, instalasi laboratorium, instalasi ICU/ICCVU,
49
instalasi bedah sentral, instalasi rehabilitasi medic, instalasi gizi,
instalasi farmasi, instalasi pemeliharaan sarana RS, instalasi laundry,
instalasi sentral sterilisasi, instalasi sanitasi, instalasi pemulasaran
jenasah dan unit pelayanan hemodialisa.
4.1.2 Karakteristik Responden
Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Undata Palu yang
berlangsung selama kurang lebih satu bulan dari bulan juni 2012
sampai bulan juli 2012. Selama penelitian terdapat 86 responden
sebagai sampel, 38 responden merupakan penderita TB Paru dan 48
merupakan responden yang tidak menderita TB Paru. Penelitian ini
dilakukan dengan cara wawancara langsung kapada responden yang
dilakukan di RSUD Undata Palu pada saat pasien datang berobat ke
Poliklinik Penyakit Dalam.
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, disajikan
deskripsi umum sebagai berikut :
a. Pendidikan
Distribusi responden menurut pendidikan dalam penelitian
ini beragam, mulai dari yang tidak sekolah hingga yang
mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Distribusi responden
berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikandi RSUD Undata Palu Tahun 2012
Pendidikan Frekuensi Persentase
Tidak Sekolah/DO 3 3,5SD 23 26,7
SMP 18 20,9
50
SMA 26 30,2Perguruan Tinggi/ Diploma 16 18,6
Jumlah 86 100,0
Apabila dilihat dari data pendidikan responden maka tabel 4.1
memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA,
yaitu sebanyak 26 responden atau 30,2% dan yang terendah adalah
responden yang tidak sekolah, yaitu sebanyak 3 responden atau
sebesar 3,5%.
b. Pekerjaan
Distribusi responden menurut pekerjaan dalam penelitian ini
beragam. Distribusi responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat
pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Pekerjaan Frekuensi Persentase
Tidak Bekerja 13 15,1
Petani 10 11,6
IRT 15 17,4
PNS 22 25,6
Wiraswasta 17 19,8
Pelajar 9 10,5
Jumlah 86 100,0
Sumber : Data Primer
Apabila dilihat dari tabel 4.2 pekerjaan dari responden
bervariasi, proporsi pekerjaan terbanyak adalah PNS (Pegawai Negeri
Sipil) yaitu sebanyak 22 orang (25,6%) dan yang terendah adalah
responden pelajar yaitu sebanyak 9 orang (10,5%).
51
4.1.3 Analisis Univariat
a. Jenis Kelamin
Distribusi responden menurut jenis kelamin dalam penelitian
ini adalah laki-laki dan perempuan. Distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamindi RSUD Undata Palu Tahun 2012
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
Laki-Laki 43 50,0
Perempuan 43 50,0
Jumlah 86 100,0
Sumber:Data Primer
Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 86 responden, proporsi
jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu 50% laki-
laki dan 50% perempuan atau masing-masing sebanyak 43 responden.
b. Kelompok Umur
Distribusi responden menurut kelompok umur dalam
penelitian ini dibagi atas tiga. Distribusi responden berdasarkan umur
dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Distribusi Responden menurut Kelompok Umur di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Kelompok Umur
(tahun)Frekuensi Persentase
< 17 3 3,5
17-54 40 46,5
52
>54 43 50,0
Jumlah 86 100,0
Sumber : Data Primer
Untuk distribusi responden menurut kelompok umur dapat
dilihat dari tabel 4.4, mayoritas responden rata-rata berumur >54
tahun yang menunjukkan besar proporsi sebanyak 43 responden atau
50,0%. Kemudian responden yang berumur produktif (17-54)
sebanyak 40 responden atau 46,5%, dan yang terendah adalah
responden yang berumur <17 tahun yaitu sebanyak 3 responden atau
3,5%.
c. Kebiasaan Merokok
Distribusi responden menurut kebiasaan merokok dalam
penelitian ini adalah merokok dan tidak merokok. Distribusi
berdasarkan kebiasaan merokok dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok di RSUD Undata Palu Tahun 2012Kebiasaan Merokok Frekuensi Persentase
Merokok 36 41,9
Tidak Merokok 50 58,1
Jumlah 86 100,0
Sumber : Data Primer
Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa proporsi responden yang
tidak merokok lebih banyak, yaitu sebanyak 50 responden (58,1%).
Sedangkan yang merokok sebanyak 36 responden (41,9%).
d. Kepadatan Hunian
53
Distribusi responden menurut kepadatan hunian dalam
penelitian ini adalah responden yang menempati rumah dengan luas
rumah <10 m2 per orang dan yang >10 m2 per orang. Distribusi
responden berdasarkan kepadatan hunian dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Hunian di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Kepadatan hunian Frekuensi Persentase
< 10 m2 Per Orang 37 43,0
> 10 m2 Per Orang 49 57,0
Jumlah 86 100,0
Sumber : Data Primer
Apabila dilihat dari tabel 4.6, memperlihatkan bahwa proporsi
responden yang memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang lebih
banyak, yaitu sebanyak 49 orang atau sebesar 57,0%. Sedangkan
responden yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang hanya
37 orang atau 43,0%.
4.1.4 Analisis Bivariat
a. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru
Jenis kelamin responden yang menderita TB Paru maupun
yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua, yaitu jenis kelamin
kelompok berisiko (laki-laki) dan jenis kelamin kelompok yang tidak
berisiko (perempuan). Adapun hubungan jenis kelamin dengan
kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.7.
54
Tabel 4.7 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Jenis Kelamin
Kejadian TB Paru
Total X2
(ρ value)MenderitaTidak
Menderita
n % n % n %
Berisiko (Laki-Laki)
25 58,1 18 41,9 43 100,0
5,705(0,017)
Tidak Berisiko
(Perempuan)13 30,2 30 69,8 43 100,0
Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.7 menunjukkan distribusi responden yang
menderita TB Paru persentase yang memiliki jenis kelamin laki-
laki lebih banyak yaitu 25 orang atau 58,1% dibandingkan dengan
responden yang memiliki jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
13 orang atau 30,2%. Sebaliknya, distribusi responden yang tidak
menderita TB Paru persentase yang memilki jenis kelamin
perempuan lebih banyak yaitu 30 orang atau 69,8% dibandingkan
dengan responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 18 orang atau 41,9%.
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 5,705 >
X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,017 < 0,05. Hasil uji ini
memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru.
55
b. Hubungan Umur dengan Kejadian TB Paru
Umur responden yang menderita TB Paru maupun yang
tidak menderita TB Paru di bagi atas dua kelompok, yaitu
kelompok berisiko dan yang tidak berisiko. Adapun hubungan
umur dengan kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 Distribusi Responden Menurut Umur dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Umur (Tahun)
Kejadian TB ParuTotal X2
(ρ value)Menderita
Tidak Menderita
n % n % n %Berisiko(17-54)
23 57,5 17 42,5 40 100,0
4,413(0,036)
Tidak Berisiko
(<17 dan >54)15 32,6 31 67,4 46 100,0
Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer
Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari hasil penelitian
distribusi responden yang menderita TB Paru yang berumur
produktif (17-54) lebih banyak yaitu sebanyak 23 orang (57,5%)
dibandingkan dengan responden di bawah 17 tahun dan di atas 54
tahun atau yang bukan termasuk kelompok umur produktif yaitu
sebanyak 15 orang (32,6%). Sedangkan distribusi responden yang
tidak menderita TB Paru lebih banyak responden yang bukan
termasuk umur produktif (<17 dan >54) yaitu sebanyak 31 orang
56
(67,4%) dibandingkan dengan responden yang termasuk umur
produktif yaitu sebanyak 17 orang (42,5%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 4,413 >
X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ=0,036 < 0,05. Hasil uji ini
memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada
hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru.
c. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru
Kebiasaan Merokok responden yang menderita TB Paru
maupun yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua yaitu
responden yang beriaiko (merokok) dan yang tidak berisiko (tidak
merokok). Adapun hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian
TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Distribusi Responden Menurut Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Kebiasaan Merokok
Kejadian TB ParuTotal X2
(ρ value)MenderitaTidak
Menderitan % n % n %
Berisiko(Merokok)
22 61,1 14 38,9 36 100,0
6,060(0,014)
Tidak Berisiko (Tidak
Merokok)16 32,0 34 68,0 50 100,0
Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0 Sumber : Data Primer
Tabel 4.9 menunjukkan distribusi responden yang
menderita TB Paru yang memiliki kebiasaan merokok lebih banyak
yaitu 22 orang (61,1%) dibandingkan dengan yang tidak merokok
57
yaitu sebanyak 16 orang (32,0%). Sedangkan yang tidak menderita
TB Paru, distribusi responden yang tidak merokok lebih banyak
yaitu 34 orang (68,0%) dibandingkan dengan yang memiliki
kebiasaan merokok yaitu sebanyak 14 orang (38,9%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 6,060 > X2
tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,014 < 0,05. Hasil uji ini
memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru.
d. Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru
Kepadatan hunian rumah responden yang menderita TB
Paru maupun yang tidak menderita TB Paru terbagi atas dua yaitu
responden yang memiliki kepadatan hunian berisiko (kepadatan
hunian <10 m2 /orang) dan yang tidak berisiko (kepadatan hunian
>10 m2/orang). Adapun hubungan kepadatan hunian dengan
kejadian TB Paru dapat dilihat pada tabel 4.10.
Tabel 4.10 Distribusi Responden Menurut Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB Paru di RSUD Undata Palu Tahun 2012
Kepadatan Hunian
Kejadian TB ParuTotal X2
(ρ value)MenderitaTidak
Menderitan % n % n %
Berisiko (<10 m2/ orang)
22 59,5 15 40,5 37 100,0
5,104(0,024)
Tidak Berisiko (>10 m2/ orang)
16 32,7 33 67,3 49 100,0
Jumlah 38 44,2 48 55,8 86 100,0
Sumber : Data Primer
58
Tabel 4.10 memperlihatkan bahwa dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa distribusi responden yang menderita TB Paru
yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang lebih banyak
yaitu sebanyak 22 orang (59,5%) dibandingkan dengan yang
memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang yaitu sebanyak 16
orang (32,7%). Sedangkan yang tidak menderita TB Paru distribusi
responden yang memiliki kepadatan hunian >10 m2 per orang lebih
banyak yaitu sebanyak 33 orang (67,3%) dibandingkan dengan
yang memiliki kepadatan hunian <10 m2 per orang yaitu sebanyak
15 orang (40,5%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 5,104 > X2
tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,024 < 0,05. Hasil uji ini
memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada
hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru
Ada masalah kesehatan yang lebih banyak ditemukan pada
kelompok pria dan ada pula yang sering ditemukan pada kelompok
wanita (Azwar dalam Suharso, 2011)
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru dengan nilai X2 hitung
= 5,705 > X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,017 < 0,05, yang berarti
59
jenis kelamin laki-laki berisiko untuk menderita TB Paru
dibandingkan dengan perempuan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan data dari WHO (2006) yang
melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3 lebih banyak pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan terutama pada Negara yang
sedang berkembang, karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan
aktivitas sosial. Angka kejadian tuberkulosis pada laki-laki lebih
tinggi diduga akibat perbedaan pajanan dan risiko infektif (Zainul,
2010).
Hasil penelitian yang sama juga didapatkan oleh Zainul
(2010), dimana ia mendapatkan pada penelitiannya bahwa proporsi
jenis kelamin penderita TB terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak
62 orang (80,5%) dan perempuan sebanyak 15 orang (19,5%).
Pendapat senada dikemukakan oleh Herryanto dkk (2001) dalam
penelitiannya mengenai penderita TB Paru meninggal di kabupaten
Bandung tahun 2001 didapatkan bahwa penderita TB Paru laki-laki
yang meninggal dunia lebih banyak, yaitu sebanyak 54,5%
dibandingkan dengan perempuan yang memiliki persentase 45,5%.
Apabila dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti menunjukkan bahwa yang lebih banyak menderita TB Paru
adalah laki-laki yang merokok. Hal ini pula yang menjadi menjadi
salah satu penyebab sehingga lebih banyak laki-laki yang di temukan
menderita TB Paru daripada perempuan. Selain merokok kebanyakan
60
laki-laki juga mengkonsumsi alkohol, dimana dapat diketahui bahwa
rokok maupun alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh,
yang menyebabkan mudah terpapar dengan agent penyebab penyakit,
termasuk TB Paru.
Kebiasaan merokok dan meminum-minuman beralkohol bagi
laki-laki yang kemudia tidak dibarengi dengan tingkat kesadaran
berobat menjadi salah satu pemicu tingginya penderita TB paru pada
laki-laki. Menurut Supriyono (2010) bahwa terdapat perbedaan tingkat
kesadaran berobat antara wanita dengan pria. Pada umumnya wanita
lebih memiliki kesadaran yang baik untuk berobat dari pada pria
(Supriyono, 2010). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Kristiana
(2010) yang dilakukan di Puskesmas Kelurahan Cibodasari kota
Tangerang bahwa, lebih banyak perempuan yang memiliki kesadaran
berobat dibandingkan dengan laki-laki.
Laki-laki identik dengan kepala rumah tangga, dan responden
laki-laki yang berperan sebagai kepala rumah tangga adalah tugasnya
bekerja, maka dari itu mereka lebih gampang mengesampingkan
urusan kesehatannya dibandingkan urusan pekerjaannya walaupun
mereka sudah merasa mulai sakit. Di Sulawesi Tengah khususnya
Kota Palu masih banyak keluarga yang menganut kepercayaan bahwa
laki-laki lah yang memilik kewajiban untuk bekerja sedangkan wanita
tidak dituntut kewajiban yang sama dengan kewajiban laki-laki.
61
Berdasarkan tabel distribusi responden menunjukkan bahwa
pada responden yang tidak menderita TB Paru lebih banyak pada
perempuan daripada laki-laki, yang menjadi penyebab hal ini karena
responden wanita dengan penyakit lain tidak akan merasa malu
dengan penyakitnya, sedangkan pada wanita penderita TB Paru stigma
atau rasa malu akan penyakit Tuberkulosis masih tinggi. Stigma
mengenai penyakit tuberkulosis yang memalukan bagaikan penyakit
HIV/AIDS ini bahkan dapat menyebabkan terjadinya isolasi,
pengucilan dan perceraian bagi kaum wanita, yang sesungguhnya hal
ini terjadi akibat masih kurangnya pemahaman masyarakat umum
terhadap penyakit TB Paru maupun HIV/AIDS.
Stigma akan penyakit tuberkulosis ini lah yang juga
menyebabkan masih kurangnya penemuan kasus tersebut yang
merupakan salah satu faktor penting dalam pemberantasan penyakit
tuberkulosis.
4.2.2 Hubungan Umur dengan Kejadian TB Paru
Variabel umur atau usia selalu diperhatikan di dalam
penyelidikan-penyelidikan masalah kesehatan karena ada kaitannya
dengan ancaman terhadap kesehatan. Artinya orang dewasa atau usia
produktif yang akan melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat
produktif karena pekerjaannya ada kemungkinan menghadapi
ancaman penyakit lebih besar dari pada anak-anak dan juga ada
kaitannya dengan kebiasaan hidup (Azwar, 2008).
62
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 4,413 > X2
tabel = 3,841 dan nilai ρ=0,036 < 0,05. Hasil uji ini menunjukkan Ho
pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada hubungan antara umur
dengan kejadian TB paru.
Hal ini sejalan dengan penelitian Imansyah (2011) dimana dari
penelitian yang ia lakukan didapatkan penderita TB terbanyak adalah
penderita TB Paru pada kelompok usia produktif (15-50 tahun)
dengan persentase 73,9% dibandingkan dengan kelompok usia tidak
produktif (>50 tahun) yang hanya memiliki persentase sebesar 26,1%.
Menurut penelitian Zainul (2010) proporsi umur penderita TB
Paru paling banyak pada usia 29-35 tahun dan 36-42 tahun yang
masing-masing sebesar 17,9% dan diikuti oleh kelompok umur 15-21
tahun sebesar 16,7%, dimana kelompok umur tersebut merupakan
umur produktif, sedangkan yang terendah adalah kelompok umur 57-
73 tahun dan 64-70 tahun yang masing-masing sebesar 7,7% dan
1,3%.
Pada usia produktif tersebut, merupakan usia yang sangat
sering berinteraksi sosial sehingga berpotensi untuk tertular agent
penyakit TB Paru, hal ini berkaitan dengan kebiasaan dan perilaku
hidup saat melakukan interaksi sosial tersebut. Selain itu aktivitas
sehari-hari relatif tinggi, sehingga dapat menurunkan sistem imun
tubuh, terlebih bagi para pekerja yang cenderung lupa untuk
beristirahat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan
63
kesehatannya pun sering diabaikan, sebagaimana hasil penelitian ini
menunjukkan, lebih banyak responden memiliki pekerjaan pada usia
produktif.
Umur yang produktif juga rentan untuk terkena TB paru
karena erat kaitannya dengan migrasi. Orang dalam kelompok usia
produktif cenderung lebih sering melakukan perjalanan baik dalam
urusan pendidikan, pekerjaan maupun pribadinya. Hal ini senada
dengan yang dikemukakan oleh Solikah (2012) dalam penelitiannya
bahwa salah satu pendorong Tenaga Kerja melakukan migrasi adalah
usia mereka yang masih dalam usia produktif, status perkawinan,
tingkat pendidikan rendah, tidak mempunyai pekerjaan, dan beban
tanggungan yang sangat banyak. Apabila seseorang sering berpindah-
pindah tempat maka makin besar resikonya untuk terinfeksi agent
penyakit. Di kota palu telah diketahui bahwa banyak masyarakat
merupakan perantau yang datang dari luar daerah kota Palu, baik dari
dalam maupun dari luar propinsi yang berpotensi menjadi pembawa
virus.
Selain faktor tingginya migrant sebagai sumber virus, faktor
lain adalah perilaku hidup manusia yang cenderung mengabaikan
dimensi kualitas lingkungan yang tentu saja mempengaruhi derajat
kesehatan. Walaupun ada pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi
bila manusianya lemah dalam mengimplementasikan, maka program-
program kesehatan tidak mencapai maksimal. Pada kelompok usia
64
produktif merupakan usia yang dipenuhi dengan kesibukan, sehingga
sering melupakan bahkan cenderung mengesampingkan upaya
pengobatan secara optimal yang akhirnya konsumsi obat tersebut
diminum tidak sesuai petunjuk tenaga medis, yang kemudian dapat
menyebabkan tubuh penderita resisten terhadap obat.
4.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian TB Paru
Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor penyebab
penyakit, di antaranya Tuberkulosis Paru. Kebiasaan merokok akan
merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary
clearance, meningkatkan tahanan jalan napas, merusak makrofag dan
menurunkan respon terhadap antigen (Anonim, 2005).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai X2 hitung = 6,060 > X2
tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,014 < 0,05. Hasil uji ini memperlihatkan
Ho pada penelitian ini ditolak, artinya bahwa ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru.
Pada penelitian Alcaide, J, dkk (2000) dalam Suharso
(2011), menyatakan ada hubungan bermakna secara statistik
merokok sigarette dengan kejadian penyakit TB paru. Makin
banyak dosis respon/jumlah batang rokok yang dihisap per hari
maka semakin besar risiko menderita TB paru. Begitupula
penelitian Salahuddin (2002) bahwa OR perokok berat dan tidak
merokok sebesar 2,88.
65
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Zainul (2010) dimana
hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan aktif tidaknya penyakit tuberkulosis yang terlihat
dari perbedaan yang signifikan antara konversi sputum antara
kelompok penderita TB dengan kebiasaan merokok dan penderita
dengan tidak memiliki kebiasaan merokok dengan hasil uji chi
square P=0,0001, IK 95%.
Kegemaran masyarakat mengkonsumsi rokok, lebih
dominan terjadi di negara sedang berkembang, bahkan cenderung
meningkat. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa yang
berpendapatan rendah dan pekerja kasar justru cenderung memiliki
kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok bagi orang-orang tertentu
ini memiliki daya tarik tersendiri dalam pergaulannya sehari-hari,
bahkan di kalangan remaja merokok sudah merupakan gaya hidup.
Semakin muda usia mengkonsumsi rokok, maka semakin dini
terpapar dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh dan
cenderung menyebabkan berbagai penyakit antara lain penyakit TB
Paru. Hal ini jugalah yang mungkin menjadi salah satu penyebab
masih tingginya infeksi TB di dunia.
Merokok bisa dibilang sudah mencapai tingkat pandemitas.
Rokok ditempatkan sebagai sesuatu yang memiliki daya pikat bagi
penggemarnya, tergambar dalam identifikasi rokok sebagai suatu
yang nikmat, tampan, berani, macho, trendi, kompak, santai,
66
optimis, kreatif, penuh petualangan, dan penuh kebanggaan.
Padahal kita ketahui bersama bahwa tidak ada yang baik di dalam
rokok tersebut. Merokok bukanlah gaya hidup yang sehat. Hal ini
disadari baik oleh perokok maupun yang bukan perokok namun
kesadaran akan bahaya merokok masih relatif kurang dimiliki oleh
kalangan masyarakat umum, dimana proteksi terhadap zat-zat
berbahaya umumnya masih kurang.
Perokok juga didominasi oleh kelompok yang memiliki
pendapatan rendah dan pekerja kasar. Hal ini dapat diketahui dari
responden yang menderita TB Paru pada umumnya bekerja sebagai
petani dan pekerjaan lain dengan penghasilan rendah. Pendapatan
yang seharusnya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
lebih bermanfaat seperti membeli makanan yang mengandung
protein tinggi, artinya secara normatif mereka harus sadari bahwa
protein dan gizi yang seharusnya lebih diutamakan untuk menjaga
daya tahan tubuh mereka, bukan rokok yang justru dapat
melemahkan organ tubuh mereka.
Di Sulawesi Tengah khususnya Kota Palu, usia penduduk
yang mengkonsumsi rokok relatif berumur semakin muda, bahkan
anak SD pun banyak yang merokok di tempat-tempat umum,
tingginya perokok di Kota Palu dapat terlihat pula dengan
dukungan pemerintah kota Palu menjadikan produsen rokok
sebagai sponsor kegiatan dari beberapa kegiatan di Kota Palu. Hal
67
ini lah yang terjadi sehingga bukan hanya pada responden penderita
TB Paru saja yang banyak memiliki kebiasaan merokok, tapi juga
pada responden yang tidak menderita TB Paru menunjukkan
distribusi yang cukup banyak memiliki perilaku merokok. Mereka
merokok dan tidak terkena TB Paru mungkin karena faktor-faktor
lain yang bisa mendukung kesehatan mereka, misalnya saja gizi
yang terpenuhi, sebab kebanyakan dari responden yang tidak
menderita TB Paru mempunyai pekerjaan yang memiliki
pendapatan menengah ke atas.
Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia ini sudah tertular
oleh kuman tuberkulosis walaupun belum terjangkit oleh
penyakitnya (Anonim, 2008), penyakit dari kuman tuberkulosis ini
dapat mempercepat infeksinya terhadap tubuh dengan merokok,
khususnya pada TB Paru, sebab dengan merokok dapat
menurunkan dan melemahkan sistem kerja organ paru.
4.2.4 Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian TB
Paru
Dari segi kesehatan, kepadatan hunian mempunyai
pengaruh sangat besar terhadap kesehatan masyarakat, karena
kepadatan mempengaruhi timbulnya suatu penyakit maupun
kematian akibat penyakit menular.
Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
68
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. (UU No.
23 th. 1992).
Pada penelitian ini, hasil uji statistik diperoleh nilai X2
hitung = 5,104 > X2 tabel = 3,841 dan nilai ρ = 0,024 < 0,05. Hasil
uji ini memperlihatkan Ho pada penelitian ini ditolak, artinya
bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan
kejadian TB Paru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Hasmi (2006) dimana hasil analisis bivariat dan
multivariat menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
kepadatan hunian dalam rumah penderita TB paru dengan kasus
baru dalam rumah di kabupaten kebumen p= 0,028 or=6,76
(ci95%:1,22-37,2). Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan
penelitian tentang hubungan kepadata hunian dengan kejadian TB
paru dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR = 3,161
dengan nilai p = 0,001.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ratnasari (2005)
yang melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan
bahwa kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru
dengan nilai OR = 2,4 dimana 95% CI: 1,09-5,47.
Dalam penelitian Suharso (2011) didapatkan kepadatan
hunian merupakan faktor risiko kejadian TB Paru dengan hasil
69
analisis diperoleh nilai Odds Ratio sebesar 3,847 (1,52<OR<9,863)
pada tingkat kepercayaan (CI)=95%.
Menurut HL. Blum derajat kesehatan dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan. Seperti
halnya dalam penelitian bahwa kepadatan hunian rumah meliputi
faktor lingkungan dapat mempengaruhi kejadian TB Paru. Kuman
penyakit ataupun virus lebih dapat bertahan hidup dan cepat
berkembang pada suhu lembab, sedangkan suhu dalam ruangan
erat kaitannya dengan kepadatan hunian. Semakin padat hunian
rumah maka semakin cepat penularan penyakit khususnya penyakit
menular yang dapat menularkan penyakit melalui udara.
Hunian yang masih padat di Kota Palu ini berkaitan dengan
tingkat ekonomi penduduk Kota Palu yang secara umum masih
rendah. Keadaan ekonomi ini dapat terlihat pada responden yang
menderita TB paru yang kebanyakan adalah keluarga dengan
pendapatan menengah ke bawah, sehingga tidak bisa membangun
rumah yang sesuai dengan standar kesehatan bagi keluarganya.
Kepadatan hunian ini juga dapat dipengaruhi oleh budaya
kota palu yang masih banyak menganut kepercayaan “banyak anak
banyak rejeki” sehingga walaupun suatu keluarga tersebut dalam
keadaan perekonomian yang rendah namun mereka msih enggan
untuk ikut dalam program KB (Keluarga Berencana) yang sampai
saat ini masih menjadi masalah di Indonesia khususnya Kota Palu.
70
Selain keengganan masyarakat dalam ber-KB, kepadatan
hunian di Kota Palu berkaitan dengan budaya masyarakat Kota
Palu yang suka berkelompok, sehingga walaupun terdapat rumah
yang memiliki ukuran cukup luas, namun penghuninya juga
banyak, sebab biasanya terdapat dua sampai tiga bahkan lebih
kepala keluarga dalam satu rumah, pada umumnya adalah rumah
dari orang tua mereka sendiri. Hal ini terjadi disebabkan oleh
pengaruh sifat dasar manusia yang pada dasarnya suka hidup
berkelompok.
4.3 Keterbatasan Penelitian
1. Keterbatasan pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner
dimana keakuratan data yang diperoleh antara variabel-variabel yang diteliti
sangat tergantung pada kejujuran dan keterbukaan responden serta
kemampuan dari peneliti dalam menggali data yang tentunya masih terbatas
karena sebagai peneliti pemula.
2.Keterbatasan dalam desain penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan desai cross sectional, yang mana
seharusnya dalam desain penelitian cross sectional diperlukan sampel dalam
jumlah besar, selain itu dalam penelitian cross sectional ini sampel hanya
diukur sekali waktu secara bersama-sama, yang tentunya memiliki
perbedaan hasil bila dilakukan mengikuti perkembangan sampel.
3. Keterbatasan waktu dan biaya
71
Sebagai peneliti pemula dan sebagai seorang mahasiswa sudah tentu
biaya dan waktu menjadi kendala bagi peneliti, karena bagaimanapun juga
dalam melakukan suatu penelitian diperlukan dana yang cukup dan waktu
yang banyak untuk kelancaran suatu penelitian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru di RSUD
Undata Palu (ρ=0,017).
2. Ada hubungan antara umur dengan kejadian TB Paru di RSUD Undata
Palu (ρ=0,036).
3. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di
RSUD Undata Palu (ρ=0,014).
4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di
RSUD Undata Palu (ρ=0,024).
5.2 Saran
1. Diharapkan bagi petugas kesehatan dan instansi yang terkait untuk
meningkatkan penyuluhan pada usia produktif agar lebih menjaga Hygene
perorangannya dan life style bagi usia produktif tersebut terkait dengan
72
usianya yang menjadi kelompok berisiko bagi beberapa penyakit
khususnya TB Paru.
2. Diharapkan pula bagi petugas kesehatan, pemerintah dan instansi yang
terkait agar juga memperhatikan kesehatan masyarakat khususnya laki-
laki. Dapat dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan gratis secara rutin
atau penyuluhan agar tidak melakukan tindakan berisiko, seperti merokok
atau minum minuman keras (alkohol).
3. Diharapkan bagi tenaga kesehatan, pemerintah dan instansi yang terkait
agar lebih gencar dalam mengiklankan atau penyuluhan mengenai bahaya
rokok dan ikut andil dalam memerangi rokok. Tenaga kerja yang produktif
akan dapat terserap secara optimal di pasar kerja jika memiliki pendidikan,
kesehatan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Hal ini sulit tercapai jika
calon tenaga kerja produktif sudah teracuni oleh rokok yang tentu saja hal
ini akan merugikan pemerintah daerah dan Negara.
4. Diharapkan bagi tenaga kesehatan, pemerintah dan instansi yang terkait
untuk lebih memperhatikan kesehatan lingkungan hunian, dalam hal ini
khususnya kepadatan hunian rumah. Bisa dengan melakukan penyuluhan
dan atau lebih tegas dalam peraturan mengenai luas rumah dengan jumlah
hunian di dalamnya.
73
74