skripsi -...

182
GAMBARAN MASALAH SOSIAL MASYARAKAT DALAM NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Marcita Fajarwati 1111013000088 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: dinhanh

Post on 15-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

GAMBARAN MASALAH SOSIAL MASYARAKAT

DALAM NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA

AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Marcita Fajarwati

1111013000088

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 3: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 4: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 5: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

i

ABSTRAK

Marcita Fajarwati, 1111013000088, “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat

dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati,

M. Hum.

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari merefleksikan keadaan sosial

politik pada masa revolusi Indonesia. Perubahan sosial yang demikian cepat dan

fundamental di berbagai dimensi kehidupan menimbulkan banyak masalah sosial

masyarakat. Akibatnya, tidak hanya pada fisik tetapi juga mentalitas pemuda yang

membuat mereka terjebak dalam pergolakan revolusi Indonesia. Penelitian yang

menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk mendeskripsikan

masalah sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari dan diharapkan dapat dijadikan sumber dalam kegiatan

pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Metode yang digunakan

adalah metode kualitatif deskriptif. Subjek penelitian ini adalah masalah sosial

masyarakat dan objek penelitiannya berupa teks novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari. Teknik pengumpulanan data dengan menggunakan metode

kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data relevan dengan membaca dan

mencatat. Berdasarkan hasil penelitian yang dikaitkan dengan melihat realitas

sosial di masa revolusi, terlihat masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari meliputi lima hal: 1) Konflik Indonesia-

Belanda; 2) Kemiskinan; 3) Kesenjangan sosial; 4) Masalah generasi muda dalam

masyarakat modern; dan 5) Konflik antarkelompok revolusioner. Masalah-

masalah sosial masyarakat yang dialami tokoh utama dan nilai-nilai yang

terkandung dalam novel tersebut dapat dijadikan bahan dan media pembelajaran

untuk menumbuhkan kesadaran dan kepekaan peserta didik terhadap realitas di

masyarakat.

Kata kunci: Masalah sosial, revolusi Indonesia, pemuda, pembelajaran sastra

Page 6: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

ii

ABSTRACT

Marcita Fajarwati, 1111013000088, “An Overview of Social Issues in Ahmad

Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air and Its Implication on Indonesian Literature

Learning in School”. Department of Indonesian Language and Literature, Faculty

of Tarbiyah and Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta,

2018. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.

Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air presents many social and political

situasions during the Indonesian revolution. Such rapid social changes in various

dimensions create social problems of society. As a consequence, not only physical

but also the psychology of the revolutionary youth during his struggle under much

pressure and thereby trapped in the turbulent revolution era. The research using

sociology literature review which aims to describe the social problems of society

contained in Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air and is expected to be a

source of literary learning activities in Senior High School (SMA). The method

used is descriptive qualitative method. The subject of this research is a social

problem and the object of his research is Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar

Air novel. Collecting data technique using library method, that is by collecting

relevant data with reading and record. Based on the research done by looking at

the reality in the revolution, the social problems in Ahmad Tohari’s Lingkar

Tanah Lingkar Air novel covers five aspects: 1) Indonesian-Dutch Conflict; 2)

Poverty; 3) The axial gap; 4) The problem of the young generation in modern

society; and 5) Conflict between revolutionary groups. Social problems of society

experienced by the characters and the values contained in the novel can be used as

materials and learning media to foster the awareness and sensitivity of learners to

the reality in society.

Keywords: Social issues, revolution, youth, literary learning

Page 7: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbilalamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke

hadirat Allah Subhanahu wataala yang senantiasa telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga skripsi

dengan judul “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat dalam Novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra

Indonesia” ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam

penulis curahkan kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasalam dan semoga kita

mendapat syafaatnya kelak.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Terselesaikannya skripsi ini tentu saja tidak

terlepas dari nasihat, saran, dukungan, bimbingan dan motivasi yang dilimpahkan

kepada penulis dari banyak pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses baik formal maupun

informal.

3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat

membantu proses penulisan skripsi, selalu berusaha meluangkan waktu dalam

bimbingan skripsi, sabar dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan

masukan untuk tulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan

baik.

4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya,

dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis selama

menempuh pendidikan di UIN SyariF Hidayatullah Jakarta.

Page 8: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

iv

5. Teristimewa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang

tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

menyayangi, membimbing, menasehati, dan tidak henti-hentinya memberikan

semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada kakak terbaik penulis, yaitu Vini

Fajarwati dan adik-adik tersayang, Braga Maulana Furqaan dan Alm. Yudho

Maulana Ramadhan yang senantiasa memberikan semangat, motivasi, dan

kehangatan di hari-hari penulis hingga saat selesainya skripsi ini.

7. Teman-teman terbaik dan seperjuangan, Maisyah Rahmanita Putri, Nurlaily

Hanifah, Septi Liawati, dan Tasmiyatun Hasanah yang sejak awal perkuliahan

sering bersama-sama, memberi keceriaan dan kehangatan, saling mendoakan,

menyemangati, mendukung dan memberikan motivasi baik untuk perkuliahan

maupun tentang kehidupan.

8. Teman-teman seperjuangan yang menjadi teman diskusi dan bimbingan

selama proses penulisan skripsi ini, Madhensia Putri Pratiwi, Ade Nurfadillah

Amalia Rosyidah, dan Rahayu Handayani yang selalu memberi doa, motivasi

dan mendukung.

9. Teman-teman jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011

khususnya kelas C yang menjadi teman diskusi dan bermain selama proses

perkuliahan yang selalu, ramai, kompak dan saling memotivasi.

10. Teman-teman PPKT di SMPN 2 Tangerang Selatan yang telah bekerja sama

dan kompak selama praktik mengajar, memberikan banyak keceriaan, doa

dan pengalaman bagi penulis.

Dengan segala kebaikan dan doa kepada penulis, semoga senatiasa mendapat

pahala dan limpahan rahmat-Nya. Selain itu, besar harapan penulis skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, yang diharapkan dapat membantu

meningkatkan pembelajaran sastra Indonesia.

Jakarta, 11 April 2018

Penulis

Page 9: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ................................................................................................... i

ABSTRACT ................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................... v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5

C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6

D. Rumusan Masalah .................................................................... 6

E. Tujuan Penelitian. ..................................................................... 6

F. Manfaat Penelitian .................................................................... 7

G. Metode Penelitian ..................................................................... 7

BAB II : LANDASAN TEORI

A. Hakikat Masalah Sosial

1. Pengertian Masalah Sosial .................................................. 10

2. Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya ................. 12

3. Masalah Sosial dalam Masyarakat ...................................... 12

B. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia .......................................... 15

C. Pemberontakan Darul Islam ...................................................... 20

D. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel ................................................................ 23

2. Unsur Pembangun Novel .................................................... 25

E. Pendekatan Sosiologi Sastra ..................................................... 35

F. Pembelajaran Sastra Indonesia .................................................. 38

G. Penelitian Relevan ................................................................... 42

Page 10: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

vi

BAB III : PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Ahmad Tohari ............................................................ 44

B. Pemikiran Ahmad Tohari ......................................................... 46

C. Karya-karya dan Penghargaan Ahmad Tohari .......................... 50

BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Struktur Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari

1. Tema .................................................................................. 52

2. Alur atau Plot ..................................................................... 61

3. Tokoh dan Penokohan ........................................................ 70

4. Latar ................................................................................... 85

5. Sudut Pandang .................................................................... 96

6. Gaya Bahasa ....................................................................... 98

7. Amanat ............................................................................... 103

B. Analisis Masalah Sosial Masyarakat dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari

1. Konflik Indonesia-Belanda ................................................. 106

2. Kemiskinan ........................................................................ 111

3. Kesenjangan Sosial ............................................................. 115

4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern .......... 117

5. Konflik Antarkelompok Revolusioner ................................ 122

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah . 129

BAB V : PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................. 134

B. Saran ........................................................................................ 136

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 137

LAMPIRAN

LEMBAR UJI REFERENSI

PROFIL PENULIS

Page 11: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keterikatan kepada suatu realitas, atau kepada suatu peristiwa, merupakan

fakta pada perkembangan novel Indonesia.1 Cerita dalam suatu novel memiliki

kemungkinan yang berhubungan dengan peristiwa nyata. Hal itu dipertegas lewat

pernyataan Sumardjo yang mengatakan bahwa “keresahan sosial dan politik boleh

dikatakan mendominasi kehidupan sastra, bukan saja dalam dekade terakhir tetapi

juga sejak tahun 1950-an”.2 Berdasarkan pengamatan Sumardjo dari 36 novel

yang dipelajarinya, 11 novel bertemakan revolusi yang nyatanya bahwa persoalan

revolusi baru dibicarakan ramai setelah revolusi sendiri usai.3 Dari data itu dapat

dilihat bahwa sebagian besar novel Indonesia dipengaruhi oleh situasi pada masa

revolusi Indonesia. Hampir semua novel Indonesia saat itu memberikan gambaran

kehidupan yang sulit dibedakan dengan kehidupan nyata karena memperlihatkan

kondisi sosial politik Indonesia yang tidak stabil.

Secara historis bahwa revolusi Indonesia boleh dikatakan menjadi peristiwa

sejarah yang tidak terelakkan karena membawa perubahan yang luar biasa dalam

tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi, bahkan kesusastraan. Revolusi terjadi

secara cepat dan drastis dalam keresahan sosial menyangkut eksistensi bangsa dan

negara akan penguasa kolonial yang ingin kembali berkuasa setelah Indonesia

merdeka. Sebagai reaksinya, perlawanan bersenjata dilakukan oleh hampir seluruh

rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Selama periode itulah,

dalam kurun tahun 1946-1949, terjadi peperangan di antara kedua negara itu. Bagi

Indonesia, peperangan tersebut tidak lain untuk menentang dominasi dan

kekuasaan asing, yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk melepaskan

diri dari belenggu penjajahan.

1 Umar Junus, Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra Dan Budaya Indonesia, (Jakarta,

PT. Gramedia, 1985), h. 3. 2 Jacob Sumardjo, Pengantar Novel Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991), h. 3 Jacob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977, (Bandung, ALUMNI, 1999),

h. 73-73.

Page 12: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

2

Secara langsung situasi revolusi menjadi tidak kondusif yang menyebabkan

guncangan dan kepincangan di dalam masyarakat karena tidak semua anggota

masyarakat siap menerima perubahan itu. Adanya perbedaan kesiapan inilah yang

kemudian memicu permasalahan sosial di dalam masyarakat sebagai dampak dari

perubahan sosial yang sangat cepat dan fundamental di berbagai aspek kehidupan.

Di antara permasalahan sosial yang terjadi, terlihat kemiskinan yang kian meluas

di kalangan masyarat bawah, peperangan, kesenjangan dan kecemburuan sosial,

perdebatan ideologis, tindakan penindasan berkaitan dengan kelas sosial; tindakan

kekerasan bernuansa agama, dan disintegrasi sosial dalam masyarakat. Akibatnya

berpengaruh pada mentalitas masyarakatnya, di mana ketakutan, kegelisahan dan

ketidaktentraman sosial menyelimuti rakyat Indonesia selama revolusi.

Melihat persoalan tersebut, yang dihubungan dengan sastra, tampak bahwa

potret kehidupan masyarakat menjadi bagian penting dari perjalanan pengarang

dalam menciptakan karya sastra. Sastra tidak seketika lahir dan tumbuh mengikuti

pergerakan yang terjadi dalam suatu masyarakat, melainkan melalui proses yang

rumit dan berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan Maman Mahayana bahwa sastra

lahir selalu melalui proses kegelisahan panjang yang menyangkut problem sosial,

kultural, bahkan politik-ideologi, dan ketidakpuasan rasa intelektual.4 Dalam hal

hubungan keduanya, sastra adalah rekaman atau jejak berupa tulisan indah yang

melukiskan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Kaitannya untuk memaknai kenyataan sosial di tengah masyarakat saat itu,

novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang dituliskan Ahmad Tohari merupakan satu

dari banyaknya novel Indonesia berlatar revolusi yang penting untuk dibahas.

Dalam konteks ini, Maman S Mahayana mengungkapkan secara tematis novel itu

mengangkat persoalan umat Islam yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu sebuah

trauma sejarah umat Islam di Indonesia yang melibatkan gerakan DI/TII, di mana

terjadi gerakan pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh kacaunya situasi yang

terjadi di masa revolusi.5 Lebih jauh analisa Yudiono KS terhadap beberapa karya

Ahmad Tohari, yang memandang novel Lingkar Tanah Lingkar Air sebagai potret

4 Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta, PT. RajaGrafindo

Persada, 2007), h. 5. 5 Maman S Mahayana, Op. cit., h. 302.

Page 13: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

3

ketidakberdayaan individu menghadapi berbagai perubahan politik di sekitarnya.6

Situasi ini sebagai dampak dari permasalahan sosial yang terjadi di masa revolusi

yang memperlihatkan kemiskinan, pemberontakan, dan peperangan antarsaudara.

Keterlibatan kaum ulama dan santri secara keseluruhan dalam perjuangan

melawan kolonialisme merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air, yang tanpa disadari mengungkap serangkaian fakta-

fakta di masa revolusi. Perang yang melibatkan ulama dan santri dilakukan setelah

dikeluarkan resolusi jihad berakhir dengan terbentuknya banyak laskar Islam.

Pergerakan ulama dan santri melawan kolonial Belanda lebih jauh diiringi proses

pembentukan dasar negara, yang dalam hal ini adalah gerakan Darul Islam yang

berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Republik. Perihal DI/TII sebenarnya

sudah menjadi perbincangan di tahun 1950an sebagai gerakan pemberontakan

dengan tokoh utamanya Kartosuwiro yang bercita-cita mendirikan Negara Islam

Indonesia (NII).

Hal menarik lainnya adalah penggunaan “Akuan” lewat pengisahan tokoh

utama yang terlibat dalam gerakan Darul Islam membuat pembaca dapat menilai

sendiri apa yang sebenarnya dialami laskar Darul Islam. Kehidupan tokoh utama,

Amid, menjadi tampak faktual dengan situasi saat itu, sebab Ahmad Tohari tidak

begitu saja menciptakan tokohnya, melainkan lewat wawancara langsung dengan

seorang laskar Darul Islam yang dikreasikan secara imajinatif oleh Ahmad Tohari

sendiri. Dalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan, Amid dihadapkan

pada rentetan konflik, baik itu batin maupun sosial. Pergolakan revolusi saat itu

memaksa Amid bergabung dalam gerakan Darul Islam, yang pada kenyataannya

membuat ia semakin sulit. Sejauh perjuangannya, Amid mengalami pergolakan

batin di antara pilihannya untuk menyerahkan diri atau tetap bertahan di hutan Jati

sebagai laskar Darul Islam dengan kondisi yang makin terdesak.

Ahmad Tohari tampaknya mempersoalkan revolusi dari sisi yang berbeda.

Sastrawan kelahiran Banyumas ini tidak secara gamblang menceritakan peristiwa

revolusi sebab novel ini diciptakan bukan untuk menggambarkan peristiwa sejarah

secara utuh. Di akuinya dalam wawancaranya di harian Jawa Post, bahwa ia ingin

6 Yudiono K.S, Ahmad Tohari Karya dan Dunianya, (Jakarta, Grasindo, 2003), h. 77.

Page 14: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

4

“menanamkan proses kesadaran nasionalisme di kalangan para santri.7 Dengan

keprihatinanya, ia ingin kembali menumbuhkan kesatuan agama dan kebangsaan

di kalangan pemuda seperti sebutan selam.8 Bukan sifat eksklusivisme, di mana

mereka yang memiliki ideologi saling memisahkan diri dan membentuk barisan

sendiri sebagai bentuk sikap nasionalisme, seperti pada salah satu kutipan dalam

novel LTLA berikut.

“… Dulu, di mata uang orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan yang Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong royong. Jadi aku tak paham mengapa Kang Suyud tidak mau bergabung dengan tentara resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang.”9

Kecerdasaran Ahmad Tohari dalam bercerita melihat suatu persoalan dapat

membuka hati dan pikiran pembaca untuk turut memahami permasalahan ke sudut

yang lebih jauh. Fenomena yang terjadi pada pemuda santri ini merupakan bentuk

kritik Ahmad Tohari yang melihat secara langsung ketidakadilan dan perpecahan

yang jika dibiarkan terus menerus akan merusak sendi-sendi bangsa dan negara.

Meskipun banyak berbicara berbagai peristiwa dan situasi di masa revolusi,

Tohari memilih untuk mematangkan cerita fiksinya ini, maka dalam kurun waktu

hampir 25 tahun, novel Lingkar Tanah Lingkar Air dipublikasikan. Semula cerita

ini dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Republika Jakarta awal tahun

1993. Kemudian barulah cerita ini diterbitkan menjadi sebuah novel pendek pada

tahun 1995 oleh penerbit Harta Prima, Purwokerto.

Dalam ranah pendidikan, pembahasan tentang masalah sosial yang dalam

novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dapat dijadikan media dan

7 Arief Santosa, “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2 Februari

1993, h. 8. 8 Selam dari asal kata Islam, sebutan untuk semua warga asli Indonesia sebelum adanya

istilah pribumi di zaman Budi Oetomo. Istilah selam menunjukan antara kebangsaan dan keagamaan dulu sudah padu menyatu, inklusif. Jadi selam adalah ciri yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Lihat di Arief Santosa, “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2 Februari 1993.

9 Ahmad Tohari, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Yogyakarta, Hikayat Publishing, 2007), h. 40-41.

Page 15: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

5

bahan ajar dalam pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini mengandung banyak

nilai kehidupan, seperti nilai pendidikan, nilai religius, nilai nasionalis, dan nilai

integritas yang dapat membentuk dan menguatkan karakter peserta didik. Hal ini

akan menumbuhkan kesadaran diri peserta didik dalam berpikir dan berperilaku di

kesehariannya. Dengan mengetahui realitas sosial dan memahami persoalan hidup

tokoh utamanya menjadikan peserta didik lebih berwawasan dan kristis. Bahkan

akan tumbuh rasa simpati dan empati, kepekaan rasa tidak hanya pada apa yang

dialami tokoh tetapi masyarakat yang mengalami hal itu, serta kesadaran sosial

peserta didik mengenai berbagai masalah sosial dan orang-orang di sekelilingnya.

Lebih jauh, peserta didik dapat mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa

yang pernah terjadi dan menjadi sejarah bangsa Indonesia. Peserta didik akan

melihat bagaimana hubungan sastra dengan kehidupan, serta bagaimana sastrawan

berbicara mengenai revolusi di Indonesia untuk menjawab berbagai permasalahan

sosial di masa itu.

Dengan memperhatikan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud

untuk menelaah apa saja masalah sosial masyarakat yang tercermin dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari menggunakan telaah sosiologi

sastra yang meniktiberatkan pada hubungan karya sastra dengan konteks sosial di

masyarakat. Kemudian akan diimplikasikan dalam pembelajaran sastra Indonesia

di sekolah yang diharapkan tidak hanya memberikan pengetahuan tentang novel

dalam konteksnya, tetapi turut berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta

didik. Dengan ini, maka penulis mengangkat judul skripsi: “Gambaran Masalah

Sosial Masyarakat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.

B. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut, dapat

ditemukan beberapa identifikasi masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Di tahun 1950-an, hampir semua novel Indonesia mengangkat latar revolusi

dan peristiwa revolusi dari sisi yang berbeda, sehingga perlunya pemahaman

yang mendalam mengenai novel-novel di tahun itu.

Page 16: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

6

2. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air membicarakan tentang permasalahan sosial

masyarakat di masa revolusi, sehingga perlunya pemahaman yang mendalam

terhadap novel tersebut.

3. Perlunya pembahasan masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra

untuk mengembangkan aspek kognitif dan afektif siswa pada pembelajaran

sastra Indonesia di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian, tidak semua masalah menjadi pembahasan. Maka,

perlu adanya batasan masalah agar tidak meluas. Berdasarkan identifikasi masalah

yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi dan memfokuskannya hanya

pada masalah-maslah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah dan Lingkar

Air dalam karya Ahmad Tohari dan implikasinya dalam terhadap pembelajaran

bahasa dan sastra Indonesia.

D. Rumusan Masalah

Agar permasalahan dalam analisis ini menjadi jelas dan terarah, maka perlu

adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran masalah sosial masyarakat di masa revolusi dalam

novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.?

2. Bagaimana implikasi masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, dalam penelitian ini

penulis menguraikan tujuan penelitian yang ingin dicapai dari analisis novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, yakni:

1. Mendeskripsikan masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan penelitian masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap implikasi pembelajaran

sastra Indonesia di sekolah.

Page 17: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

7

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara

teoritis maupun praktis, sebagai berikut.

1. Secara teoretis penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pada

pembelajaran sastra di sekolah, terutama mengenai novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Lebih dari itu, penelitian ini diharapkan

dapat bermanfaat dan memperluas ilmu dalam penelitian sosiologi sastra.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi peserta

didik dalam memahami kondisi masyarakat di masa revolusi Indonesia yang

terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

Peserta didik dapat memahami hubungan sastra dengan hal-hal di luar karya

sastra, khususnya masalah sosial dan sejarah dari sisi yang berbeda. Lebih

jauh, peserta didik dapat mengambil sikap terhadap masalah saat ini yang

memiliki kesamaan atau kaitan dengan masalah di masa revolusi.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam analisis ini menggunakan metode kualitatif dengan

teknik analisis deskriptif. Alasan penggunaan metode kualitatif karena analisis ini

dilakukan untuk memperoleh gambaran masalah sosial masyarakat dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap

pembelajaran sastra Indonesia. Penggunaan metode kualitatif secara keseluruhan

dilakukan dengan cara menafsirkan data-data dan menyajikannya secara deskripsi

dalam bentuk kata-kata tertulis pada konteks tertentu,10 bukan dalam bentuk

angka-angka. Sumber data formal dalam penelitian ini sesuai dengan bidang sastra

adalah kata, kalimat atau wacana yang terkandung dalam karya sastra.

Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam

hubungannya konteks keberadaannya.11 Metode kualitatif dengan teknik analisis

deskriptif dalam penelitian ini mengutamakan penggambaran data melalui kata-

kata yang dimaksudkan untuk menguraikan kemudian mendeskripsikan hubungan

antarunsur cerita di dalam teks sastra dan mengungkapkan keadaan sosial tertentu

10 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2009), h. 46. 11 Ibid., h. 47.

Page 18: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

8

dengan menggambarkan realitas itu secara benar dan objektif. Dalam penelitian

ini, dilakukan kegiatan analisis agar diperoleh pemahaman dan pembahasan yang

lebih mendalam mengenai masalah sosial masyarakat yang terdapat novel Lingkar

Tanah Lingkar Air dengan mengungkap fenomena, peristiwa, tempat dan waktu.

Dan yang nilai-nilainya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi peserta didik.

Untuk menunjang penelitian ini, diperlukan pendekatan yang relevan untuk

dengan objek penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi

sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam penelitian ini,

mengkaji karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra menekankan perhatian

pada karya sastra sebagai cerminan masyarakat dengan mendeskripsikan masalah

sosial masyarakat yang tergambar dalam latar cerita novel Lingkar Tanah Lingkar

Air, yaitu setelah kemerdekaan pada masa revolusi Indonesia sekitar tahun 1946

sampai 1965, di mana Indonesia mengalami pergolakan yang berkepanjangan.

Sehingga dari latar tersebut dapat dikembangkan pernyataan: apa dan bagaimana

masalah itu terjadi, dan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut

1. Sumber Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan dua sumber data,

yaitu data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

Data primer penelitian ini adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari yang diterbitkan khusus oleh Hikayat Publishing di kota

Yogyakarta, tahun 2007 dengan tebal buku 148 halaman.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berasal dari referensi

di luar novel ini. Data ini sebagai penunjang untuk membantu penelitian

terkait gambaran masalah sosial masyarakat.

2. Teknik Pengumpulan data

Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi

atau kepustakaan, yakni pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang

ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Teknik ini dilakukan

dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan dengan fokus penelitian.

Page 19: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

9

Pengumpulan data dilakukan dengan membaca dan menyimak novel Lingkar

Tanah Lingkar Air secara cermat dan teliti. Kemudian mencatat data-data dan

kutipan-kutipan yang terkait masalah sosial masyarakat, serta hal-hal penting

yang termasuk dalam masalah sosial masyarakat. Semua yang data berkaitan

dengan masalah dan tujuan penelitian ini akan ditelaah secara teliti sehingga

diperoleh data penelitian. Setiap data yang diperlukan, disajikan dalam bentuk

tulisan sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan proses menguraikan dan mengurutkan

data-data yang terkumpul sehingga dapat diperoleh suatu pemahaman atau

kesimpulan yang relevan. Semua data yang diperoleh dari teknik dokumentasi

dianalisis dengan beberapa tahap yang disusun secara sistematis, dan disertai

kutipan-kutipan untuk sebagai bentuk data sehingga memudahkan penulis

dalam mendeskripsikan makna yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

1. Langkah awal mengidentifikasi dan menganalisis unsur intrinsik novel

menggunakan analisis struktural dengan membaca novel secara berulang-

ulang. Kemudian dilakukan analisis lebih mendalam untuk mengetahui

bagaimana unsur-unsur pembangun novel yang terkandung dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

2. Mengidentifikasi dan mengkategorikan data-data yang berkaitan dengan

masalah sosial masyarakat dan revolusi Indonesia dalam novel. Setelah

itu, dilakukan analisis dengan mengaitkan antara persoalan sosial politik

yang terjadi selama revolusi Indonesia dengan keadaan sosial dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari berdasarkan pendekatan

sosiologi sastra.

3. Mengimplikasikan masalah sosial masyarakat yang terdapat dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari pada pembelajaran sastra

di sekolah. Pengimplikasian dilakukan dengan mengaitkan masalah sosial

masyarakat yang terkandung dalam novel tersebut pada materi pelajaran

sastra Indonesia di sekolah.

Page 20: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hakikat Masalah Sosial

1) Pengertian Masalah Sosial

Dalam masa perubahan, tidak selamanya kehidupan masyarakat berlangsung

normal, melainkan sering kali mengalami banyak gangguan atau goncangan yang

tidak diharapkan. Keadaan ini diikuti gejala-gejala tertentu akibat dari perubahan

yang berlangsung cepat dan bertubi-tubi, sehingga timbul masalah sosial yang

menyebabkan penderitaan dan mengganggu kelanggengan dalam masyarakat.

Luasnya ruang lingkup masalah sosial, tidak mudah memberikan rumusan

definisi masalah sosial. Banyak dimensi atau aspek yang perlu diperhatikan dalam

menyoroti masalah sosial. Hal ini akan menghasilkan perbedaan pendapat dalam

memandang masalah sosial itu sendiri, yang tentunya diharapkan dapat dilihat

secara objektif dan universal. Parillo dalam Soetomo, misalnya, mengemukakan

untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu melihat empat komponen,

yaitu: 1) masalah sosial bertahan untuk suatu periode tertentu; 2) dirasakan dapat

menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik individu maupun

masyarakat; 3) merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari

suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat; dan 4) menimbulkan kebutuhan

akan pemecahan.1

Dari sisi yang lain, masalah sosial ditafsirkan oleh Soetomo sebagai suatu

ketidaksesuaian antara harapan, idealisme dengan kondisi aktual dalam kehidupan

masyarakat.2 Hal yang senada juga dikemukakan oleh Roucek dan Warren dalam

Abdulsyani bahwa masalah sosial melibatkan sebagian besar manusia dengan cara

menghalangi pemenuhan kehendak-kehendak biologis dan sosial yang ditetapkan

mengikuti garis yang disetujui masyarakat.3 Pernyataan tersebut dipertegas oleh

Soekanto yang berpendapat bahwa masalah sosial timbul sebagai akibat interaksi

1 Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1995), h. 4. 2 Ibid., h. 1. 3 Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2012),

h. 184.

Page 21: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

11

sosial antarindividu, antara individu dengan kelompok, atau antarkelompok, yang

bertumpu pada ukuran nilai adat istiadat, tradisi, dan ideologi yang ditandai

dengan suatu proses sosial yang disosiatif.4 Adanya masalah sosial melibatkan

pemahaman yang luas mengenai aturan-aturan dan norma hingga menyebabkan

kekacauan apabila terjadi ketidaksesuaian dengan nilai sosial atau dengan struktur

lembaga. Dalam keadaan normal pun, antarunsur dalam lembaga kemasyarakatan

terjalin berkesesuaian dan terintegrasi harmonis, meliputi ekonomi, politik, rumah

tangga, pendidikan, agama dan moral. Apabila antara unsur-unsur tersebut terjadi

benturan akibat sulitnya menyesuaikan diri, maka hubungan-hubungan sosial akan

terganggu yang menyebabkan kepincangan ikatan sosial.5

Lebih jauh, kenyataan bahwa masalah sosial mempunyai dimensi yang luas

dan menyangkut berbagai aspek kehidupan sosial memperlihatkan kompleksitas

dari aspek terkait. Julian dalam Soetomo menjadikan hal itu sebagai pegangan

dalam menelaah masalah sosial sebagai suatu kebulatan, tidak hanya melihat dari

bentuk perilaku anggota masyarakatnya, tetapi juga latar belakang sistem dan

struktur sosialnya, sebagaimana empat asumsi berikut:6

(1) Masalah sosial dalam kadar yang berbeda-beda adalah suatu hasil efek yang

tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku yang ada.

(2) Suatu struktur sosial budaya tertentu dapat membuat masyarakat

menyesuaikan diri, tetapi dapat pula menyimpang.

(3) Setiap masyarakat dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori seperti

income, tingkat pendidikan, latar belakang etnis dan jenis pekerjaan.

Kelompok-kelompok tersebut disebut strata sosial.

(4) Orang dari strata yang berbedaa mempunyai aspirasi yang berbeda dalam

hal pemercahan masalah tertentu. Selama aspirasi dan pemecahan maslah

berorientasi kepada nilai dan kepentingannya, maka sering kali akan sulit

untuk mencapai kesepakatan dalam pemecahan masalah.

Dengan perkataan lain bahwa rumusan masalah sosial pada intinya berkisar

pada suatu ketimpangan atau persinggungan dalam interaksi sosial dan nilai-nilai

4 Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 312. 5 Ibid. 6 Soetomo, Op. cit., h. 8-9.

Page 22: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

12

yang berkembang di masyarakat. Pola hubungan yang tidak harmonis antarelemen

sosial menyebabkan gangguan atau guncangan yang menghambat tercapainya

suatu suatu tujuan dan membahayakan kehidupan kelompok sosial.

2) Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya

Soekanto menjelaskan masalah-masalah sosial dapat timbul karena adanya

kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber

pada empat faktor, yaitu:7

(1) Faktor ekonomi

Masalah sosial yang bersumber dari faktor ekonomi antara lain kemiskinan,

pengangguran, dan sebagainya. Kemiskinan dalam hal ini dapat dibedakan

atas kemiskinan struktural dan kemiskinan absolut.8

(2) Faktor biologis

Masalah sosial yang berasal dari faktor-faktor biologis antara lain meliputi

penyakit jasmaniah dan cacat.9 Penyakit menular sebagaimana yang terjadi

sekarang ini, yaitu HIV dan flu burung yang menyerang di beberapa daerah.

(3) Faktor psikologis

Dari faktor-faktor psikologis masalah sosial yang timbul dapat disebabkan

oleh persoalan, seperti depresi, stres, gangguan jiwa, sukar menyesuaikan

diri, lemah ingatan, kesejahteraan jiwa, mabuk alkohol, dan sebagainya.10

(4) Faktor kebudayaan

Permasalahan sosial yang berasal dari faktor kebudayaan mencakup masalah

perceraian, kriminalitas, kenakalan remaja, kejahatan, konflik rasial, agama,

suku dan ras.

3) Masalah Sosial dalam Masyarakat

Sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa masalah sosial

mempunyai banyak dimensi yang pengaruh pada banyak sekali masalah sosial di

masyarakat. Variasi masalah sosial sangat beragam, tergantung dari kondisi dan

7 Soerjono Soekanto, Op. cit., h. 314-315. 8 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 51. 9 Abulsyani, Op. cit., h. 183. 10 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Op. cit., h. 51.

Page 23: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

13

sistem yang dianut masyarakat tersebut, atau pada aspek-aspek kehidupan mana

yang sedang mengalami ketidakseimbangan yang mengakibatkan keresahan sosial

di masyatakat. Dalam situasi revolusi Indonesia, misalnya, perubahan-perubahan

yang relatif cepat saat itu berdampak pada banyaknya masalah sosial yang terjadi

dan merugikan anggota masyarakatnya. Beragam permasalahan sosial di periode

tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut ini, yang beberapa diantaranya mengacu

pada bentuk masalah sosial yang dikemukakan Soekanto.11

1. Konflik Antarnegara

Pertentangan antarnegara banyak dipicu oleh keinginan negara menguasai

negara lain. Keinginan berkuasa terkait pada kepentingan nasional suatu bangsa,

terutama yang menyangkut pada kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan dan keamanan. Masing-masing negara memiliki kepentingan sendiri

yang berujung pada persaingan dan perebutan keuntungan. Negara yang memiliki

prinsip dan pintar memainkan strateginya tentu akan mendominasi dan berhasil

menguasi negara lain.12 Sama halnya pada konflik Indonesia-Belanda yang sudah

berlangsung selama beratus-ratus tahun lamanya. Keinginan Belanda menduduki

Indonesia bertujuan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia. Oleh sebab itu,

pasca kemerdekaan saat Indonesia sedang dalam kekosongan kekuasaan, Belanda

kembali melakukan penjajahan. Kembalinya Belanda mendapat perlawanan dari

rakyat Indonesia, baik dengan diplomasi ataupun perlawanan fisik yang berujung

pada perang senjata di beberapa wilayah di Indonesia.

2. Kemiskinan

Permasalahan sosial yang banyak dihadapi masyarakat bahkan sampai saat

ini adalah kemiskinan. Kemiskinan lazimnya diukur dari faktor ekonomi yang

ditandai dengan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara wajar,

yang sedikitnya menyempitkan ukuran konsep kemiskinan. Sebagaimana yang

diungkapkan Amartya Sen dalam Parwadi bahwa “kemiskinan bukanlah sekedar

lebih miskin dari orang lain, dalam suatu masyarakat, melainkan masalah tidak

dimilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak atau

11 Soerjono Seokanto, Op. cit., h. 319-345. 12 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 93-94.

Page 24: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

14

keadaan kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu.13 Dalam

sumber yang sama, Revrisond Baswir menjelaskan konsep kemikisnan yang lebih

luas yang dapat dilihat dalam berbagai dimensi: 1) Kemiskinan natural yaitu

kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, lanjut

usia, atau mungkin karna bencana alam dan lain-lain; 2) kemiskinan kultural yaitu

kemiskinan disebabkan oleh faktor budaya seperti boros, malas, tidak disiplin; 3)

kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor

buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan

ekonomi yang tidak adil, KKN, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung

menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.14

3. Kesenjangan Sosial

Sukmana mengemukakan kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan sosial

menyangkut persoalan ketidakadilan, yang berkaitan erat dengan masalah sosial.15

Persoalan ketidakseimbangan dalam masyarakat umumnya berhubungan dengan

masalah stratifikasi sosial dalam struktur masyarakatnya. Oleh Philipus dan Aini,

stratifikasi sosial didefinisikan sebagai suatu perbedaan kedudukan sosial individu

atau suatu kelompok yang dibedakan antara status yang diperoleh dan status yang

diraih, yang dapat ditentukan dari ekonomi/kekayaan (privilege), kehormatan

(prestige) dan kekuasaan (power).16 Adanya perbedaan status sosial yang terjadi

di masyarakat sering kali berdampak pada tidak meratanya seseorang memperoleh

kesempatan hidupnya dan penghargaan karena menempati posisi yang berbeda-

beda. Gejala sosial ini kemudian memicu terjadinya masalah kesenjangan sosial di

masyarakat.

4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern

Soekanto mengungkapkan adanya masalah generasi muda ditandai oleh dua

hal yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan dan sikap apatis. Sikap

melawan biasanya berhubungan dengan rasa takut bahwa masyarakat akan hancur

13 Redatin Parwadi, Sosiologi Pembangunan, (Pontianak,Untan Press, 2013), h. 122. 14 Ibid. 15 Mochamad Syawie, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial, Jurnal Informasi, Vol. 16 No.

03 Tahun 2011, h. 216. 16 Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta, Rajawali Press, 2009), h. 35-

36.

Page 25: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

15

karena perbuatan-perbuatan yang menyimpang, sedangkan sikap apatis disertai

kekecewaan terhadap masyarakat.17 Di lain hal, asumsi generasi muda terhimpit

antara norma-norma lama dengan norma-norma baru agaknya menjadi masalah

satu alasan masalah generasi muda, yang umumnya terjadi pada masyarakat yang

sedang mengalami masa transisi. Posisi pemuda dalam arah kehidupan itu sendiri

sudah memiliki pola yang sedikit banyak sudah tertentu, dan ditentukan oleh

pemikiran generasi tua yang tersembunyi dibalik tradisi.18 Hal ini yang menjadi

persoalan bagi generasi muda karena merasa sama sekali tidak diberi kesempatan

untuk membuktikan kemampuannya, maka usaha-usaha generasi muda untuk

mengadakan perubahan yang disesuaikan dengan nilai kaum muda menjadi salah

satu masalah yang terjadi dalam lingkungan masyarakat.

5. Konflik Antarkelompok

Terbentuknya kelompok sosial dalam satu masyarakat banyak didasarkan

pada perbedaan dan persamaan karakter kepribadian, kepentingan dan tujuan, ras,

suku, dan adat istiadat.19 Konsekuensi yang ditimbulkan terkait pembedaan yang

cukup tajam adalah memungkinkan munculnya gejala sosial berupa pertentangan.

Persoalan ini banyak diwarnai oleh kelompok-kelompok yang memiliki peranan

atau kedudukan dalam struktur sosial masyarakat. Pemicunya adalah keinginan

dari suatu kelompok tertentu agar kelompok lain berperilaku sesuai keinginannya

dan perebutan kekuasaan dalam struktur politik, maka setiap kelompok memiliki

kepentingan yang berujung pada benturan dan pertentangan antarkelompok sosial.

B. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia

Pada negara yang sedang berkembang atau mengalami proses modernisasi

sering kali memunculkan konflik akibat ketidakseimbangan dalam pertumbuhan

yang disebut revolusi. Proses revolusi dipahami sebagai proses yang sangat luar

biasa sebagai bentuk ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom

dan emosi-emosi yang mendalam, serta mencakup semua kapasitas keorganisasian

maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Khususnya citra

17 Soejono Soekanto, Op. cit., h. 325. 18 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung,

Refika Aditama, 2008), h. 166. 19 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Op. cit., h. 3.

Page 26: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

16

utopis atau pembebasan yang bertumpu pada simbol-simbol persamaan,

kemajuan, kemerdekaan dengan asumsi netral: bahwa revolusi akan menciptakan

suatu tatanan sosial baru yang lebih baik.20

Revolusi terjadi secara mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial

yang disertai dengan perubahan-perubahan yang radikal dan fundamental terhadap

pemerintahan yang berdaulat, mencakup konsepsi tatanan sosial, ideologi politik

dan nilai-nilai yang berlaku. Dalam konteks ini, revolusi dapat dilihat dari gejala-

gejala yang berhubungan dengan proses modernisasi masyarakat. Gejala-gejala itu

dapat disebut dengan istilah seperti perebutan kekuasaan, perang kemerdekaan,

perlawanan, pemberontakan dan sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan

penyesuaian antara struktur dan proses politik dengan proses modernisasi sosial di

dalam masyarakat.21

Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa

sekali setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diumumkan oleh

Soekarno dan Hatta. Di masa itu, revolusi dapat dipahami sebagai suatu momen

pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa

depannya sendiri setelah bertahun-tahun dijajah bangsa asing.22 Perubahan yang

fundamental itu disertai timbulnya revolusi sosial atau pergolakan-pergolakan

sosial di beberapa kasus di daerah, antara mereka yang mendukung revolusi dan

yang menentangnya, antara generasi tua dan generasi muda, antara golongan kiri

dan golongan kanan ataupun antara kekuatan Islam dan kekuatan “sekuler” dan

sebagainya.23 Perbedaan itu menunjukkan adanya sisi kontradiktif dari revolusi

yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia.

20 S.N Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Sosial, Terj. dari Revolution and the

Transformation of Societes oleh Chandra Johan, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986), h. 5. 21 J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang

Berkembang, Terj. dari Sosiologie Der Modernisering oleh R.G Soekadijo, Cet. Ke-III (Jakarta, PT. Gramedia, 1982), h. 194.

22 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 9.

23 MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono dkk (Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. Ke-III, h. 428-429.

Page 27: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

17

Rangkaian peristiwa Revolusi Indonesia diawali dengan pertempuran antara

Indonesia dan Belanda, yang merupakan bagian dari usaha mempertahankan hak

kemerdekaan dan membentuk bangsa yang baru. Revolusi Indonesia mencakup

periode 1945-1949 dipandang sebagai revolusi anti kolonial. Anti-kolonialis dan

anti-imperialis yang dimaksud sebenarnya tidak semata-mata anti-Belanda, meski

kenyataannya kekuasaan Belanda merupakan sistem yang asing, yang selama 350

tahun menjajah, nasib rakyat Indonesia sangat melarat karena roda penindasan

pemerintahan kolonial sehingga kehilangan kebebasan dan hak pribadinya. Baik

pihak Belanda maupun revolusioner menganggap Revolusi Indonesia merupakan

kelanjutan di masa lampau, maka tidak heran jika kemudian rakyat Indonesia

menolak mentah-mentah kekuasaan Belanda yang menjadi penghambat dalam

jalannya revolusi.24

Setelah kekalahan Jepang di perang dunia ke II, Belanda yang tidak pernah

mengakui kedaulatan negara Indonesia bersikeras membangun kembali kekuasaan

dengan diboncengi tentara sekutu AFNEI (Allied Forces Neterlands East). Hal ini

menjadi ancaman besar yang memicu gejolak rakyat Indonesia dan perlawanan di

mana-mana yang bertujuan untuk menghalangi pemerintahan NICA (Neterlands

Indies Civil Administration) dan sekutu AFNEI. Selama Oktober-Desember 1945,

berbagai insiden dan pertempuran berskala luas terus-menerus berkobar di hampir

seluruh Jawa dan Sumatera. Pertempuran yang paling hebat terjadi pada awal-

awal November di Surabaya yang menjadi lambang perlawanan nasional.25

Pada akhir bulan Oktober 1945, para ulama dari Nadhatul Ulama dan

Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah

perang sabil26 dan semua muslim berkewajiban untuk menjalankannya. Sejak saat

itu para kiai dan santri mulai berdatangan dari pesantren-pesantren di Jawa Timur

24 MC. Ricklefs, Op. cit, h. 437. 25 Ibid. 26 Perang Sabil adalah perang suci sebagai suatu jihad fi sabillah yang difatwakan oleh para

ulama di Surabaya untuk membakar semangat juang rakyat Indonesia. Fatwa jihad yang dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, ditandatangani Hadratus Hasyim Asy’ari pada tanggal 17 September. Himbauan para ulama bahwa perjuangan melawan Belanda dan Inggris tidak sekedar dimaknai untuk membela kemerdekaan semata, namun merupakan salah satu cara dan tindakan membela agama Allah sehingga hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam. Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Tangerang, Pustaka Compass, 2014), h. 205.

Page 28: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

18

ke Surabaya. Selama tiga minggu lebih, pihak Republik kehilangan banyak tenaga

manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang

bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan

demi revolusi.27 Pertempuran di Surabaya menjadi titik tolak perjuangan rakyat

Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang mempersatukan segenap

lapisan masyarakat Indonesia. Begitu pun juga, semangat Surabaya menyadarkan

sekutu Inggris bahwa Republik Indonesia didukung oleh rakyat, tidak secara pasif

melainkan secara aktif dan antusias.28

Menyusul tekanan untuk menguasai wilayah kolonialnya, Belanda dua kali

melakukan agresinya terhadap Republik yang diklaim sebagai “aksi polisional”.

Agresi militer Belanda I terjadi akibat konflik penafsiran terhadap ketentuan

Perjanjian Linggarjati yang secara de facto telah pemerintah Belanda mengakui

kekuasaan Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Namun,

Van Mook secara sepihak menciptakan suatu sistem federasi dengan membangun

negara boneka Belanda. Karena Belanda merasa yakin dapat menguasai wilayah

kolonialnya, maka serangan besar-besaran yang pertama mulai dilancarkan untuk

menghancurkan Republik yang menyebar daerah ke Jawa dan Sumatera pada

tanggal 20 Juli 1947.29

Agresi Miliiter Belanda I berakhir melalui Perjanjian Renville di tahun 1948

yang dampak perundingannya menimbulkan perpecahan politik dalam negeri, di

mana beberapa partai politik memiliki pemikiran sendiri untuk mencapai cita-cita

kemerdekaan yang sebenarnya sudah ada sejak Oktober 1945. Masyumi dan PNI,

dua partai besar yang menarik dukungan mereka untuk Amir Syarifuddin karena

tidak menyetujui Perjanjian Renville sehingga jatuhnya kabinet Amir. Atas reaksi

ini, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan gabungan

dari partai-partai Sayap Kiri untuk menolak Perjanjian Renville dan mengoposisi

kabinet Hatta. Akibat lain dari persetujuan Renville yang memuat garis demarkasi

27 MC. Ricklefs, Op. cit., h .438. 28 Geroge McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Nasional, Terj. dari Nationalism

and Revolution in Indonesian oleh Tim Komunitas Bambu, (Depok, Komunitas Bambu 2013), h. 209.

29 MC. Ricklefs, Op. cit., h .453.

Page 29: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

19

sebagai “Garis Van Mook” terjadi di bidang militer. Pasukan Siliwangi dan laskar

di Jawa Barat terpaksa harus menarik diri ke Jawa Tengah dalam keadaan wilayah

yang sudah semakin sempit dan ekonomi yang sulit akibat blokade Belanda. Akan

tetapi, tidak semua pasukan bersenjata RI dan laskar meninggalkan Jawa Barat.

Selain itu, masih terdapat laskar Hizbullah dan Salsabillah30 yang menolak untuk

dipindahkan. Mereka yang berkonsentrasi di Gunung Cepu ini yang dimanfaatkan

Kartosuwiryo untuk menentang pemerintahan.31 Karena ini, pertikaian memuncak

juga terjadi di kalangan tentara Republik dan pemuda-pemuda yang berasal dari

berbagai lembaga politik dan keagamaan. Selama itulah, tentara Republik harus

mengendalikan barisan bersenjata yang ikut mewujudkan revolusi dan menentang

kembalinya pemerintah kolonial.32

Usaha pemerintah mengkonsolidasi pasukan bersenjata RI menimbulkan

kekecewaan yang luas, dan mempercepat terjadinya pemberontakan Madiun yang

didalangi oleh PKI pada bulan September di tahun 1948. Serangkaian kekacauan

ditimbulkan PKI dengan melancarkan propoganda anti-pemerintah, melakukan

pemogokan, serta penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh di Madiun, baik itu

tokoh sipil pemerintahan atau tokoh masyarakat dan agama. Sebagai akibatnya,

peristiwa PKI yang dianggap sebagai pengkhianat revolusi menciptakan tradisi

pemusuhan antara tentara-PKI dan memperbesar pertentangan antara Masyumi

dan PKI seperti halnya juga ketegangan kemasyarakatan santri dan abangan.33

Gerakan PKI itu sendiri masih sering dihubungkan dengan peristiwa ‘Gerakan 30

30 Hizbullah dan Salsabilah adalah pasukan gerilya Islam bersifat sukarela yang didirikan

pada akhir pendudukan Jepang. Berbeda dengan Hizbullah yang anggotanya masih sangat muda, anggota Salsabillah terdiri dari generasi tua. Dengan niat dasarnya lillahi taala, gerilyawan Islam ini memerangi orang kafir yang membuat kerusakan di negeri ini. Kenyataan bahwa Hizbullah dan Salsabillah merupakan yang paling kuat dari pasukan gerilya yang tinggal di tempat memberi Katosuwiryo peluang untuk membina administrasi sipil dan militer, maka keduanya dijadikan Tentara Islam Indonesia dan disusunlah suatu struktur pemerintahan dasar. C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 11.

31 Amrin Imran dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 378-380.

32 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta, Grafiti, 1990), h, 20.

33 MC. Ricklefs, Op. cit., h .461.

Page 30: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

20

September’ yang diduga ikut terlibat dalam penculikan dan pembunuhan jendral-

jendral angkatan darat.34

Pertikaian-pertikaian yang terjadi pada masa revolusi ini sebenarnya akibat

dari adanya rasa dan gerakan nasionalisme melawan kolonial Belanda. Persoalan

itu kemudian berubah ke arah cita-cita kelompok tertentu menghancurkan tatanan

Republik yang memungkinkan terjadinya perang saudara di daerah. Relevansi hal

itu dengan penelitian ini bahwa masalah sosial dapat terjadi pada masyarakat yang

menuntut perubahan. Bagi pemuda atau wong cilik, hal tersebut berdampak pada

kehidupan yang mereka yang terombang ambing apabila mereka tidak mampu

menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi, sama halnya dengan para pemuda

direpresentasikan Ahmad Tohari dalam novelnya Lingkar Tanah Lingkar Air.

C. Pemberontakan Darul Islam

Pembicaraan mengenai Darul Islam tidak dapat dilepaskan dalam penelitian

ini. Konteks Darul Islam menjadi hal yang penting karena merupakan bagian dari

kehidupan tokoh cerita di dalamnya. Tokoh-tokoh yang menjadi pembahasan ini

adalah laskar Darul Islam yang terkenal dengan pemberontakannya yang sulit

dihentikan. Mereka dianggap sebagai pengacau masyarakat dengan aksi kekerasan

yang sangat merugikan masyarakat dan mengancam perpecahan bangsa.

Di tengah kecemasan rakyat Indonesia atas ancaman kolonialisme Barat di

masa kemerdekaan, muncul Darul Islam,35 sebagai gerakan separatis Islam yang

juga menjadi ancaman serius dan bahaya bagi bangsa Indonesia. Gerakan ini tidak

dapat dipisahkan dari aktor utamanya, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo, seorang

tokoh militan Islam terkenal di Jawa Barat menolak keras persetujuan Renville di

tahun 1948. Dalam penjelasan Goerge Kahin, Darul Islam merupakan kekuatan

politik yang berkembang dan agresif, serta memiliki potensi yang kuat. Organisasi

34 MC. Ricklefs, Op. cit., h. 553. 35 Darul Islam (dalam Arab dar al-Islam) secara harfiah berarti “rumah” Islam, yaitu “dunia

atau wilayah Islam”. Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan Islam, pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturan Islam diwajibkan. Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia yang dalam sejarahnya sulit ditumpaskan oleh pemerintah RI. (Cornelis Van Djik, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terj. dari Rebellion Under the Banner of Islam oleh J. Moliono (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h. 1.

Page 31: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

21

Darul Islam mempunyai pemerintahan merdeka, menguasai angkatan darat dan

wilayahnya sendiri, serta berusaha memperluas wilayah kekuasaannya. Alasan ini

mengapa Darul Islam tidak hanya dipandang sebagai suatu konsep belaka, tetapi

juga sebagai formulasi ideologi biasa dari karakter dan mutu yang seharusnya

dimiliki oleh suatu negara Islam.36

Gagasan mendirikan Darul Islam sebenarnya sudah sejak awal. Namun baru

setelah Perjanjian Renville tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo

memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di desa Malangbong,

Kabupaten Tasikmalaya, yang secara resmi memisahkan diri dari negara kesatuan

Republik Indonesia, atau dengan kata lain memberontak terhadap pemerintahan.37

Pergerakan Darul Islam berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya

hingga ke Jawa Tengah (terutama di wilayah Priangan, yaitu Tasikmalaya, Garut,

Ciamis, dan sekitar Majalengka dan Kuningan), di mana pengaruh pemikiran

Islam Modernis tidak pernah menjadi kuat dan di mana pengaruh para pemimpin

Islam yang kolot sangat menentang ajaran dan gagasan Barat, sudah sangat kuat

sejak lama.38

Pada mulanya Darul Islam memihak pemerintah Republik melawan kolonial

Belanda. Akan tetapi, ketika pasukan tentara Republik harus dipindahkan ke Jawa

Tengah sebagai pelaksanaan perundingan Renville, Kartosuwiyo menentang keras

dan menolak meninggalkan Jawa Barat. Keadaan ini dimanfaatkan Kartosuwiryo

yang sedari awal ingin membentuk negara Islam. Dalam menanggapi kekosongan

kekuasaan di wilayah itulah, Kartosuwiryo dan pasukannya secepatnya menyusun

struktur kekuasaan yang merupakan cikal-bakal negara Islam. Akibatnya, konflik

pecah antara pasukan Republik dengan pasukan S.M Kartosuwiryo, Hizbullah dan

Salsabillah yang merupakan sayap senjata Darul Islam nantinya.

Diakui S.M Kartosuwiryo, keyakinannya mendirikan negara Islam di Jawa

Barat bukan sebagai pemberontakan melawan Republik, tetapi sebagai kelanjutan

36 George McTurnan Kahin, Op. cit., h. 209. 37 Amrin Imran dkk, Op.cit., h. 406. 38 George McTurnan Kahin, Op. cit., h. 461.

Page 32: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

22

dari perjuangannya mendukung kemerdekaan Indonesia.39 Namun sebagai sebuah

gerakan, Darul Islam mempunyai cita-cita yang kuat yang diperjuangan oleh para

muhajid, dengan militansi dan komitmen idealisme ke-Islaman yang kuat. Islam

dihadirkan melalui ajaran-ajarannya dalam Al-Quran yang mempunyai efek yang

aktual, sehingga cita-cita politik Islam bisa dengan mudah ditransformasikan ke

pada pengikutnya.40 Dalam hal ini, masyarakat yang terkenal fanatisme terhadap

Islam akan dengan sangat mudah terikat pada sikap militansi Darul Islam untuk

mempertahankan sebuah gerakan kekerasan.

Sejauh menyangkut Darul Islam yang menonjol dari gerakan ini adalah sifat

menyerang (ofensif). Yang perlu ditekankan bahwa cita-cita mendirikan negara

berdasarkan Islam dengan kekuatan bersenjata semata-mata hanya merefleksikan

kehendak kelompok minoritas Darul Islam itu sendiri dan tidak mewakili asprasi

politik umat Islam secara keseluruhan. Darul Islam tidak hanya menyerang militer

TNI, tetapi juga kelompok-kelompok yang dianggap kafir dan bahkan kelompok

yang membantu tentara Republik41. Selain itu, kelompok Darul Islam juga aktif

melancarkan serangan dengan cara turun langsung ke desa-desa untuk meminta

pembekalan dan dukungan. Mereka yang menolak mendukung DaruI Islam akan

dihancurkan desa-desanya dan dianggap sebagai musuh Darul Islam.

Sifat ofensif tersebut yang akhirnya dimanfaatkan gerakan non muslim yang

berakibat pada nama Darul Islam itu sendiri. Faisal Ismail melihat selama periode

pemberontakan dan masa sesudahnya, banyak para politik non-muslim, khususnya

dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sering kali menggunakan isu pemberontakan

DI/TII sebagai senjata politik untuk menyudutkan elemen-elemen umat Islam.42

Isu ini berkembang dan menyebabkan nama Darul Islam semakin buruk di mata

masyarakat. Tidak hanya itu, label secaman ini juga merugikan citra umat Islam

secara keseluruhan yang identik dengan aksi kekerasannya.

39 Deliar Noer dalam Faisal Ismail, Panorama Sejarah Islam dan Politik Di Indonesia:

Sebuah Studi Komprehensif, (Yogyakarta, iRCiSoD, 2017), h. 71. 40 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro

National Liberation Front, (Jakarta, Darul Falah, 1998) h. 70-71. 41 Ibid., h.. 57 42 Faisal Ismail, Op. cit., h. 73.

Page 33: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

23

Pemberontakan Darul Islam faktanya masih sulit dihentikan bahkan ketika

Belanda sudah meninggalkan Indonesia. Perlawanan tentara Republik sebenarnya

bukan hanya kepada Darul Islam, melainkan gerakan lain yang juga melakukan

pemberontakan terhadap negara. Upaya tentara Republik membujuk laskar Darul

Islam untuk bergabung dengan pemerintah Republik tidak berlangsung cepat. Dan

pemberontakan militer Darul Islam secara sporadis berlangsung selama 13 tahun.

Pemberontakan itu berakhir dengan tertangkapnya S.M Kartosuwiryo pada bulan

September 1962.

D. Hakikat Novel

1) Pengertian Novel

Dalam Teori Pengkajian Fiksi dapat diketahui bahwa istilah novel berasal

dari bahasa italia novella, yang secara harfiah berarti “sebuah barang yang baru

yang kecil”, dan dewasa ini mengandung pengertian yang sama dengan istilah

dalam Indonesia ‘novelet’, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang

cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.43 Lebih jelas

lagi, Stanton mengemukakan bahwa “novel mampu menghadirkan perkembangan

satu karaker, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau

sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam

secara lebih mendetail.”44 Dibanding cerpen, novel dituliskan dalam skala besar

yang mampu menciptakan satu semesta yang lengkap, dan kompleks sekaligus

rumit melalui berbagai unsur cerita yang membentuk novel tersebut.

Mengacu pada teori Lukacs dan Girard, Goldmann dalam Faruk memiliki

pandangan sendiri tentang novel sebagai “cerita tentang suatu pencarian yang

terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang

problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi”.45 Hal yang hampir sama

diungkapkan oleh Sumarjo dalam Santosa dan Wahyuningtyas yang menyatakan

bahwa “novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena

43 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 115. 44 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh

Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 90. 45 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.

Page 34: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

24

dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional

dalam masyarakat.”46 Dengan kata lain, novel sebagai karya sastra mempunyai

hubungan dengan masyarakat yang dapat dipelajari dari ilmu sosial.

Definisi lain dikemukakan H.B Jassin dalam Suroto yang membatasi novel

dengan pengertian“suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan

suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan tokoh cerita, luar biasa karena dari

kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan urusan

nasib mereka. Wujud novel adalah konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu

saat, dalam satu krisis yang menentukan.”47

Oleh karena bentuknya yang panjang, novel secara istimewa menceritakan

kehidupan tokoh dengan berbagai peristiwa yang dialami sehingga mengalami

perubahan jalan hidup. Novel sebagai cerita fiksi mencerminkan kehidupan yang

berangkat dari realitas sosial, perilaku dan peristiwa secara keseluruhan yang

dijalin dengan suatu alur dengan menonjolkan watak pelakunya. Sebagaimana

dikatakan Wellek dan Warren bahwa sebagian besar kehidupan yang terkandung

dalam novel terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam

dan dunia subjektif manusia.48

Berdasarkan paragraf sebelumnya dengan merujuk pada pengertian novel

yang dikemukakan HB. Jassin bahwa novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari, sebagaimana terlihat di awal mengangkat kenyataan pada periode

Revolusi Indonesia. Novel ini mengisahkan perjuangan kelompok pemuda dari

kalangan santri dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Dari subyektivitas dan

imajinasi pengarang, realitas sosial tersebut ditampilkan dan dikembangkan secara

lengkap dengan tokoh cerita dan permasalahannya hingga mengalami perubahan

jalan hidup menjadi Darul Islam. Diceritakan pula keadaan masyarakat desa yang

cukup memprihatinkan. Kenyataan inilah yang mendorong Ahmad Tohari untuk

mengungkapkannya ke dalam karya sastra berbentuk novel sebagai media untuk

46 Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta,

Yuma Puskata, 2010), h. 47. 47 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 19. 48 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature

oleh Melani Budianta, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 109.

Page 35: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

25

menyampaikan pesan tertentu, dan mengajak pembaca untuk turut merenungkan

realitas tersebut.

2) Unsur Pembangun Novel

Tidak pelak bahwa novel sebagai karya fiksi dibangun secara totalitas dan

menyeluruh yang bersifat artistik.49 Hal demikian tidak terlepas dari struktur novel

yang terdiri dari unsur-unsur yang tersusun saling berkaitan dan menggantungkan

menyangkut cerita tersebut. Oleh karena itu, dalam memahami suatu novel tidak

sekedar memberikan nilai-nilai terhadap pemilihan struktur pembentuknya, tetapi

juga memahami bahwa antara unsur-unsur struktur tersebut ada koherensi yang

secara total melahirkan keestetisan imajinatif yang mampu menghadirkan efek

eksternal dengan mengemukakan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.50

a. Unsur Intrinsik

Karya sastra bentuk prosa dibangun oleh unsur-unsur intrinsik menjadikan

teks sebagai suatu karya fiksi. Unsur-unsur inilah yang mendasari cerita fiksi dan

yang akan dihadapkan pembaca ketika membaca suatu novel.

1. Tema

Mengutip pandangan Brooks, Pusher dan Warren dalam Tarigan, dikatakan

bahwa “tema adalah pandangan hidup atau perasaan tertentu mengenai kehidupan

atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau

gagasan utama dari suatu karya sastra”.51 Baldic dalam Nurgiantoro lebih rinci

mengemukakan bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam

sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan baik secara

eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit lewat pengulangan motif.52

Dengan kata lain, tema merupakan pokok persoalan, biasanya menyangkut aspek-

aspek kehidupan yang hendak disampaikan pengarang lewat cerita tersebut. Hal

ini yang nantinya akan memunculkan nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.

49 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 29. 50 Rey Mardianto Marsudi, Ronggeng Dukuh Paruk: Kekhilafan Yang Benar, Suara Karya,

Jakarta, Jumat, 28 Juni 1985, h. 4. 51 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung, Angkasa, 2011), h. 125. 52 Burhan Nurgiyantoro, Op. cit., h. 115.

Page 36: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

26

Tema dalam banyak hal menjalin struktur isi cerita secara keseluruhan, yang

memberi kekuatan dan menegaskan kesatuan peristiwa yang diceritakan, serta

menyoroti persoalan kehidupan manusia yang amat luas dan kompleks, seperti

kemanusiaan, kekuasaan, keadilan dan kebenaran, pengkhianatan, kasih sayang,

sebagainya. Penyampaian tema umumnya tidak bersifat langsung ataupun tersurat,

melainkan dapat secara abstrak dan tersamar ke dalam seluruh unsur cerita lewat

motif-motif, seperti dikemukakan Sumardjo dan Saini dapat melalui dialog tokoh-

tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk

mempertegas atau menyarankan isi tema.53

Semua unsur cerita dipersatukan oleh tema sehingga mempunyai satu arti

dan tujuan. Dengan keterkaitan tersebut, maka mengharuskan pembaca membaca

keseluruhan cerita, serta menganalisis setiap detail unsur cerita untuk menemukan

tema. Keberadaan tema yang tersembunyi dan merasuki cerita secara keseluruhan

menyebabkan tidak mudahnya menafsirkan tema. Bahkan memungkinkan tema

mengandung lebih dari satu interpretasi, yang dibedakan atas tema mayor dan

tema minor. Tema mayor atau tema utama merupakan makna pokok cerita yang

menjadi gagasan pokok suatu cerita, yang dapat ditentukan dengan menilai dan

mengindetifikasi sejumlah tema yang terkandung. Dari sejumlah tema itu, terdapat

tema yang secara tersirat muncul di bagian-bagian tertentu yang disebut dengan

tema minor. Tema ini berfungsi mendukung dan merefleksikan makna tema utama

secara keseluruhan. Antara keduanya memiliki keterkaitan yang saling menyatu.

Tema mayor bersifat merangkum berbagai makna khusus, sementara tema minor

mempertegas keberadaan tema mayor.54

Penafsiran tema yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air

dapat dilakukan dengan membaca dan memahami jalan cerita secara keseluruhan.

Tema tersebut menyangkut ketidakberdayaan kelompok pemuda akibat persoalan

sosial yang terjadi pada masa revolusi Indonesia sebagai tema besar. Ada banyak

tema yang ditemukan, sehingga pembahasan tema dalam novel ini akan dibedakan

53 Jakob Sumardjo & Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta, Gramedia, 1986), h. 57. 54 Burhan Nurgiyantoro, Op. cit., h. 133-134.

Page 37: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

27

pada tema mayor sebagai tema utama, dan tema minor sebagai tema tambahan

yang mendukung kejelasan tema utama.

2. Alur/Plot

Pengertian tentang plot secara umum mengacu pada serangkaian peristiwa

dalam cerita fiksi. Dalam pengertian menurut Stanton, peristiwa-peristiwa tersebut

terbatas pada hubungan kausal saja, di mana serangkaian peristiwa yang muncul

disebabkan atau menyebabkan berbagai peristiwa lain, yang tidak dapat diabaikan

karena akan mempengaruhi keseluruhan cerita.55 Sama halnya Stanton, Sudjiman

dalam Siswanto juga memberikan pengertian lain bahwa plot sebagai suatu jalinan

peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu yang diwujudkan

oleh hubungan temporal (waktu) dan hubungan kausal (sebab akibat).56

Dalam pengertian yang tidak jauh berbeda, Luxemburg menyatakan bahwa

plot adalah kontruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa

secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami

oleh para pelaku.57 Dengan pengertian ini, pembacalah dengan pengetahuannya

mengenai plot yang menentukan dan mengkonkritkan jenis alur apa yang terdapat

dalam sebuah cerita karya fiksinya.

Hubungan antara peristiwa-peristiwa dalam plot mempunyai keterkaitan erat

menjadi sebuah kesatuan yang padat dan berkesinambungan. Keterkaitan sederet

peristiwa dapat dilihat dari tahapan plot yang dikembangkan. Aminudin dalam

Siswanto, memaparkan tahapan plot mulai dari pengenalan, konflik, komplikasi,

klimaks, krisis, leraian dan diakhiri dengan tahap penyelesaian.58 Variasi lain juga

dikemukakan Tasrif dalam Nurgiantoro, yang merincikan tahapan plot menjadi

lima tahapan, yaitu: (1) Tahap situation, atau tahap pengenalan yang memberikan

inform asi awal mengenai pelukisan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. (2) Tahap

generating circumstances, munculnya peristiwa yang memicu terjadinya konflik,

yang nantinya akan berkembang pada tahap selanjutnya. (3) Tahap rising action,

55 Robert Stanton, Op. cit., h. 26. 56 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta, Grasindo, 2008), h. 159. 57 Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inlelding in de

Literatuurweteschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta, Gramedia, 1992), h. 149. 58 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 159.

Page 38: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

28

tahap peningkatan konflik atau semakin meningkatnya konflik dari tahap

sebelumnya. (4) Tahap climax, tahap klimaks atau pertentangan yang terjadi pada

tokoh cerita yang mencapai titik intensitas puncak. (5) Tahap denouement, tahap

penyelesaian, dimana konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar atau

diakhiri.59

Plot pada prinsipnya juga dapat dideskripsikan berdasarkan teknik bercerita

dan tinjauan kriteria waktu terjadinya peristiwa yang menentukan apakah plot

cerita bersifat lurus, sorot balik ataupun campuran. Cerita berplot lurus memiliki

tahapan waktu peristiwa bersifat kronologis, secara runtut dimulai tahap awalan,

tengah dan menuju akhir. Sebaliknya, apabila cerita tidak bersifat kronologis,

artinya dimulai dari tahap akhir kemudian tahap tengah dan akhir, maka disebut

dengan plot sorot-balik. Adapun cerita yang dimulai dengan tahap lain, misalnya

tahap klimaks cerita yang disebut dengan plot campuran.60

Secara khusus dengan melihat kriteria plot tersebut, pembahasan plot dalam

novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan menentukan plot cerita berdasarkan urutan

waktu kronologis, tidak kronologis, atau plot campuran. Pemaparan plot merujuk

pada tahapan plot yang dikemukakan oleh Tasrif untuk melihat sederet peristiwa

dan berbagai konflik yang dijalani tokoh utama hingga terjebak dalam masalah-

masalah sosial di masa revolusi Indonesia.

3. Tokoh dan Penokohan

Berbicara cerita fiksi maka akan berhadapan dengan tokoh-tokoh cerita di

dalamnya. Melihat dari pengertian yang dikemukakan Baldic dalam Nurgiantoro,

“tokoh adalah orang yang menjadi pelaku cerita dalam fiksi sedang penokohan

adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau

tidak langsung dan mengundang pembaca menafsirkan kualitas dirinya lewat kata

dan tindakannya”.61 Antara tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang sangat

berkaitan. Penokohan menampilkan bagaimana pengarang menggambarkan tokoh

dan watak kepribadian tokoh yang ditampilkan.62 Dengan pengertian itu, bahwa

59 Burhan Nurgiantoro, Op. cit, h. 209-210. 60 Ibid., h. 213-216. 61 Ibid., h. 247. 62 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 93.

Page 39: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

29

penokohan memiliki arti yang lebih luas, karena tidak hanya merujuk pada tokoh

tetapi mencakup pada kualitas diri yang dimiliki tokoh. Tokoh cerita tidak akan

terbentuk sempurna tanpa adanya penokohan yang melengkapinya.

Setiap tokoh cerita dalam karya fiksi dipandang Atmazaki sebagai pejuang

yang memperjuangkan sesuatu, yang untuk sampai ke tujuan tersebut, tokoh akan

bertemu dengan tokoh lain dan melakukan berbagai tindakan.63 Beragam tokoh

mempunyai penamaan yang diklasifikasikan dari beberapa sudut pandang. Dilihat

dari peran dan keterlibatannya, tokoh cerita dapat dibedakan atas tokoh utama dan

tokoh tambahan. Tokoh utama ialah tokoh yang diutamakan penceritaannya dan

mendominasi cerita karena keterlibatannya sebagai pelaku yang mengalami

peristiwa. Berbeda dengan tokoh utama, tokoh tambahan muncul relatif pendek,

yang tidak lain untuk melengkapi kualitas diri tokoh utama. Bila dilihat dari

perkembangan karakter dan masalah yang dihadapi, tokoh dapat dirangkum

menjadi tokoh bulat dan tokoh sederhana. Tokoh bulat memungkinkan memiliki

berbagai sisi kepribadian yang kompleks dan terus berkembang sehingga dapat

dikatakan sebagai tokoh berkembang atau dinamis. Sedangkan, tokoh sederhana

hanya memiliki satu kepribadian sehingga dapat disebut sebagai tokoh statis. Dan

bila dilihat dari pencerminan tokoh di kehidupan nyata, tokoh dapat dibedakan

menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal menggambarkan individu

atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu lembaga yang ada di kehidupan

nyata. Sementara itu, tokoh netral merupakan tokoh imajinatif yang hanya hidup

dan bereksistensi di dunia fiksi semata-mata demi cerita.64

Penggambaran tokoh cerita akan menghasilkan gambaran sebuah watak bagi

pembaca. Bagaimana kepribadian tokohnya dapat dipahami lewat pelukisan tokoh

yang dilakukan pengarang dengan cara yang berbeda-beda, seperti mengenali

tokoh melalui: 1) tuturan pengarang terhadap karakteristik tokohnya, 2) gambaran

yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara

berpakaiannya, 3) menunjukan bagaimanakah perilakunya, 4) melihat bagaimana

tokoh berbicara tentang dirinya sendiri, 5) memahami bagaimana jalan pikirannya,

63 Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang, Angkasa Raya, 1990), h. 62. 64 Burhan Nurgiantoro, Op.cit., h. 258-275.

Page 40: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

30

6) melihat bagaimanakah tokoh lain berbicara tentangnya, 7) melihat bagaimana

tokoh lain berbincang dengannya, 8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain

memberi reaksi terhadapnya, dan 9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi

tokoh yang lain.65

Dari penjelasan tersebut, pembahasan tokoh dan penokohan akan ditentukan

peran-peran tokoh yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air dengan

penamaan tokoh, serta watak dari masing-masing tokoh cerita. Ada banyak tokoh

cerita yang ditampilkan pengarang, namun tidak semua berperan penting. Dengan

ini, penyajian tokoh cerita hanya pada tokoh-tokoh yang dianggap penting dan

mendukung jalannya cerita novel ini, yakni Amid sebagai tokoh utama sekaligus

pencerita, dan tokoh tambahan seperti Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai Ngumar dan

Umi yang mendukung penokohan tokoh utama.

4. Latar atau Setting

Yang dimaksud dengan latar adalah gambaran tentang waktu dan tempat

terjadinya peristiwa. Pernyataan itu sejalan dengan yang dikemukakan Atmazaki

bahwa latar mewarnai peristiwa di dalam cerita fiksi, mencakup lokasi peristiwa,

suasana lokasi, sosial budaya setempat bahkan suasana hari tokoh cerita.66 Kenny

dalam Pujiharto juga mengemukakan latar yang bila dijabarkan secara lebih detail

bisa merujuk pada: (1) letak geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi,

pemandangan, bahkan detail-detail interior ruang; (2) pekerjaan dan cara hidup

tokoh sehari-hari; (3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode

historis, tahun dan sebagainya; (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial

dan emosional tokoh-tokohnya.67

Mengenai latar seperti dalam beberapa definisi di atas, secara tidak langsung

menegaskan adanya batasan latar. Mengutip pada Aminuddin dan Nurgiantoro,

latar dikelompokkan dalam tiga unsur mencakup: (1) latar tempat, yang mengarah

pada di mana atau lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Lokasi tempat

dalam cerita dapat disebutkan secara konkret biasanya dengan nama-nama tempat

yang ada dalam dunia nyata ataupun digambarkan secara umum tanpa nama yang

65 Aminudin dalam Wahyudi Siswanto, Op. cit., h.145. 66 Atmazaki, Op. cit., h. 62. 67 Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta, Ombak, 2012), h. 48.

Page 41: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

31

jelas; (2) latar waktu, merujuk pada masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa

dalam cerita. Penetapan waktu peristiwa biasanya dapat dihubungankan dengan

waktu faktual atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Bahkan juga terkait

langsung dengan keadaan dan cara hidup tokoh. (3) latar sosial-budaya menunjuk

pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di

suatu tempat yang diceritakan, mencakup seperti tradisi, keyakinan, pandangan

hidup, cara berpikir dan bersikap serta status sosial tokoh yang bersangkutan. Hal

ini dapat menentukan apakah latar khususnya tempat menjadi khas, fungsional,

tipikal ataupun netral untuk menyakinkan pembaca terhadap suasana daerah yang

menjadi latar cerita.68

Latar demikian harus dilihat secara keseluruhan untuk memperkuat pembaca

memahami jalannya cerita, yang secara tidak langsung menjadi pendukung tokoh

untuk menggerakan peristiwa-peristiwa. Ketika membaca suatu cerita rekaan kita

mempunyai persepsi lokasi, waktu dan suasana yang dialami tokoh. Ketepatan

pelukisan latar akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang diceritakan.

Hal ini akan memberikan kesan realistis kepada pembaca, ataupun menciptakan

suasana tertentu seolah-olah benar terjadi karena mempunyai kemiripan dengan

kondisi aktual. Pembaca dapat menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar

yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab, bahkan menemukan sesuatu yang

menjadi bagian dirinya.69 Alasan ini mengapa Stanton mengelompokkan latar ke

dalam fakta cerita bersama dengan alur dan penokohan, karena ketiga merupakan

elemen yang membentuk cerita fiksi. Lewat gambaran alur, penokohan dan latar

pembaca dapat mengimajinasikan cerita yang dikemukakan oleh pengarang secara

faktual.70

Melihat pentingnya latar sebagai landas tumpu cerita fiksi, latar dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari akan dianalisis mencakup tempat

atau lokasi, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa yang diceritakan.

Latar novel ini terjadi sekitar tahun 1946-1965 saat peristiwa revolusi Indonesia.

Pembahasan latar secara menyeluruh memberikan gambaran bagaimana pengaruh

68 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 314-325. 69 Ibid., h. 303. 70 Robert Stanton, Op. cit., h. 22.

Page 42: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

32

latar pada perkembangan karakter tokoh pemuda sehingga mereka tidak berdaya

menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.

5. Sudut Pandang

Istilah sudut pandang atau dalam bahasa Inggris point of view merujuk pada

bagaimana sebuah cerita dikisahkan. Mengacu pada Minderop, kata “bagaimana”

menjelaskan pada strategi, teknik, dan siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk

mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan

tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang

tokoh.71 Hal ini dapat disamakan pengertiannya dengan yang dikemukakan oleh

Baldic dalam Nurgiantoro, yaitu bahwa sudut pandang adalah posisi atau sudut

mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca peristiwa yang

diamati dan dikisahkan. Pemilihan posisi dan kacamata pengisahan peristiwa dan

cerita pada hakikatnya juga merupakan teknik bercerita agar apa yang dikisahkan

lebih efektif.72 Jadi, secara sederhana sudut pandang menunjukkan cara pengarang

dalam memandang dan membawakan sebuah cerita.

Sudut pandang menjadi hal yang penting karena tidak hanya berhubungan

dengan masalah gaya, tetapi juga posisi pengarang menempatkan dirinya dalam

cerita. Mengutip dari Nurgiantoro, penempatan diri pengarang atau kedudukannya

dalam mengisahkan cerita dapat bermacam-macam sudut pandang. Narator bisa

menyebut dirinya “aku” karena posisinya berada dalam cerita yang disebut sudut

pandang persona pertama akuan. Narator adalah tokoh dalam cerita yang tidak

selalu tokoh utama, tetapi bisa saja tokoh tambahan yang hadir membawakan

kisah tokoh utama. Karena keterlibatannya dalam cerita, narator akuan hanya bisa

bercerita sebatas pada peristiwa yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan

dirasakan. Dalam kisahan lain, narator bisa menyebutkan tokoh-tokohnya dengan

kata ganti “ia, dia, mereka” atau yang disebut sudut pandang persona ketiga dia.

Narator menempatkan dirinya di luar cerita yang mempunyai kebebasan untuk

mengisahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tokoh “dia” karena sifatnya

yang mahatahu. Dalam sifat lainnya sebagai pengamat, narator juga mempunyai

71 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta, Yayasan Obor

Indonesia, 2005), h. 88. 72 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h.. 339.

Page 43: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

33

keterbatasan dalam menceritakan tokoh dia. Di lain hal, sebuah cerita sering kali

dikisahkan dengan dua teknik sekaligus. Pencerita biasanya menggunakan sudut

pandang “aku” dan “dia” secara bergantian. Pengisahan dengan sudut pandang ini

sangat memungkinkan pembaca mengetahui informasi lebih banyak mengenai

keadaan dan persoalan yang dialami tokoh cerita, baik dari “aku” maupun “dia”.73

Dalam pemilihan sudut pandang bahwa pengarang mempunyai kebebasan

memposisikan narator karya fiksinya dan bercerita sesuai dengan keterikatan dan

keterbatasan sudut pandangnya. Pemilihan teknik pengisahan menjadi sangat

penting sebab akan menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian cerita

yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, dan

menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.74 Merujuk pada uraian itu,

sudut pandang dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan menentukan fokus

pengisahan, serta posisi pencerita dalam menyampaikan cerita, apakah dia tokoh

dalam cerita atau seseorang di luar cerita untuk menggambarkan ketidakberdayaan

tokoh pemuda dalam menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.

6. Gaya Bahasa

Pengertian gaya bahasa tentang cara pengarang mengungkapan suatu cerita

melalui kebahasaan. Gaya bahasa merupakan hal yang bersifat pribadi, yang cara

penyampaian satu pengarang dengan pengarang lainnya akan berbeda. Perbedaan

tersebut dapat dilihat dari bahasa yang menyebar pada berbagai aspek kebahasan,

seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan

banyaknya imaji dam metafora.75 Hal yang sama dijelaskan Keraf dalan Satoto,

bahwa masalah gaya bahasa sebenarnya meliputi herarki kebahasaan: pilihan kata

secara individual, frasa, klausa, kalimat atau mencakup pula sebuah wacana secara

keseluruhan.76

Di pihak lain, Baldic dalam Nurginatoro beranggapan bahwa stile merujuk

pada penggunaan bahasa secara khusus yang ditandai oleh penulis, aliran, periode,

dan genre. Wujud bahasa ditandai oleh diksi, sintaksis, citraan, irama, dan bahasa

73 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 362. 74 Jakob Sumardjo & Saini K.M, Op. cit., h. 82. 75 Robert Stanton, Op. cit., h. 61. 76 Soediro Satoto, Stilistika, (Yogyakarta, Ombak, 2021), h. 150.

Page 44: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

34

figuratif, atau tanda-tanda linguistik lainnya.77 Penggunaan bahasa dapat berbeda-

beda tergantung tujuan pengarang, dan secara khusus dapat pula menandai aliran

dan periode tertentu pegarang. Waktu atau periode pengarang akan mempengaruhi

pemakaian gaya bahasa dalam menulis cerita fiksinya, yang secara tidak langsung

nantinya akan memperlihatkan corak-corak tertentu.

Corak yang diperlihatkan sebenarnnya tidak hanya pada bentuk kebahasaan,

akan tetapi juga sikap atau emosional pengarang dalam cerita fiksinya. Perasaan

pengarang akan tampak dalam berbagai wujud, seperti bahagia, sedih, terharu dan

sebagainya, yang tentunya memberi akan kesan keindahan bagi pembaca. Seperti

halnya yang dikemukakan oleh Keraf bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus

mengandung kejujuran, sopan-santun, dan menarik,78 sehingga cerita itu mampu

menuansakan makna serta dapat menyentuh dan menarik emosi pembacanya.

Mengacu pada penjelasan tersebut, pemanfaatan gaya bahasa dalam sebuah

cerita fiksi dapat memberikan efek makna dalam cerita. Pembahasan gaya bahasa

dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini akan menemukan penggunaan bahasa

yang variatif dan khas Ahmad Tohari dalam mengekspresikan gagasannya tentang

ketidakberdayaan pemuda di masa revolusi Indonesia, sehingga dapat dilihat juga

kekayaan bahasa yang dimiliki pengarang.

7. Amanat

Mengutip pernyataan tentang amanat yang diungkapkan oleh Kenny dalam

Burhan Nurgiantoro, amanat dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai

suatu saran yang berhubungan dengan ajaran dan nilai-nilai moral tertentu yang

bersifat praktis, yang dapat ditafsirkan lewat cerita bersangkutan oleh pembaca.79

Lebih sederhana, Wahyudi menyatakan amanat sebagai gagasan yang mandasari

karya sastra atau pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.80 Pesan

moral tersebut mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai yang

berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, budi pekerti

dan sebagainya. Pemahaman nilai-nilai itu sendiri sangat beragam sesuai dengan

77 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 369. 78 Soediro Satoto, Op. cit., h. 151. 79 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 430. 80 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 162.

Page 45: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

35

kemampuan pembaca menafsirkannya lewat sikap dan tingkah laku tokoh cerita,

sehingga memungkinkan setiap pembaca memperoleh pesan yang berbeda-beda.

Dengan melihat pentingnya amanat, novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari berisikan pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang.

Pembahasan amanat ini untuk menemukan pesan-pesan moral yang mengacu pada

tema novel mengenai ketidakberdayaan tokoh pemuda dalam menghadapi situasi

revolusi yang bergejolak. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung lewat perjalanan

tokoh tersebut diharapkan dapat dipahami dan menjadi pembaca pegangan dalam

memaknai kehidupan.

E. Pendekatan Sosiologi Sastra

Secara historis sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dianggap

baru mulai abad ke 18.81 Istilah sosiologi sastra hakikatnya adalah antardisiplin

antara sosiologi dengan sastra. Sosiologi secara etimologis berasal dari dua akar

kata dari bahasa Yunani, yaitu: 1) sosio/socius yang berarti masyarakat; 2) dan

logi/logos berarti ilmu.82 Pendapat lain dikemukakan Ritzer dalam Faruk yang

secara hakikat menganggap sosiologi sebagai disiplin ilmu tentang masyarakat

yang berlandasakan pada tiga paradigma, yaitu fakta sosial, definisi sosial dan

perilaku sosial yang menunjukkan proses sosial dalam suatu masyarakat.83

Sedangkan sastra sebagaimana halnya sosiologi, juga berhubungan dengan

manusia. Wellek dan Warren mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang

bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan.84 Sastra merupakan

hasil cipta berupa manifestasi pikiran dan perasaan manusia mewakili keadaannya

dalam kehidupan sosial masyarakat yang diinskripsikan dalam bentuk tulisan

sebagai perwujudan budaya. Karena sebagai produk budaya inilah, maka sastra

selain menggambarkan ide dan gagasan penulisannya, sastra juga menggambarkan

sistem sosial dan budaya sebagai tempat penulis itu hidup.85

81 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009),

h. 7. 82 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 1. 83 Faruk, Op. cit., h. 2. 84 Rene Wellek dan Austin Warren, Op. cit., h. 12. 85 Heru Kurniawan, Teori, Metode dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Graha Ilmu,

2012), h. 3.

Page 46: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

36

Kekhasan sastra merepresentasikan sistem sosial dan budaya sebagai basis

kehidupan masyarakat menegaskan adanya hubungan antara sastra dan sosiologi

sebagai suatu disiplin ilmu. Antara sosiologi dan sastra menggarap masalah yang

sama, yaitu manusia dalam masyarakat yang berurusan dengan masalah sosial,

ekonomi dan politik.86 Adapula batasan yang turut membedakan keduanya adalah

sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi di masyarakat, sedangkan sastra

bersifat subjektif dan imajinatif. Perbedaan antara sosiologi dan sastra dapat

dilihat melalui perbedaan hakikat atau ciri, sebagaimana melihat perbedaan antara

rekaan dan kenyataan, fakta dan fiksi.87

Sosiologi sastra dengan sendiri mempelajari hubungan antara masyarakat

dengan sastra. Pandangan tentang sosiologi dan sastra yang kemudian berdisiplin

menjadi sosiologi sastra diterangkan Wolff dalam Faruk yang mengatakan bahwa:

Sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.88

Dalam pernyataan Wolff tersebut, pengertian sosiologi sastra tidak terdefinisikan

secara jelas. Adanya sosiologi sastra atas sejumlah telaah dari berbagai teori yang

berurusan pada hubungan sastra dengan masyarakat. Adapun menurut Kurniawan,

bahwa definisi sosiologi sastra mempresentasikan hubungan interdisiplin ini, yang

masuk dalam ranah sastra, meliputi: (1) pemahaman terhadap karya sastra dengan

mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya; (2) pemahaman terhadap

totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatannya yang

terkandung di dalamnya; (3) pemahaman terhadap terhadap karya sastra sekaligus

hubungan dengan masyarakat yang melatarbelakanginya; dan (4) hubungan

dialektik antara sastra dan masyarakat.

Pengertian lain tentang sosiologi sastra juga dilancarkan Wellek dan Warren

dalam Semi yang mengemukakan bahwa pendekatan sosiologis atau pendekatan

ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat

86 M. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung, Angkasa, 2013), h. 52. 87 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 7. 88 Faruk, Op. cit., h. 3.

Page 47: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

37

bersifat sempit dan eksternal, yang biasanya mempersoalkan mengenai hubungan

sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat dan politik.89

Jadi, pemahaman sosiologi sastra mengarah pada telaah terhadap karya sastra

dengan mempertimbangkan aspek sosial yang melatarbelakangi penciptaannya.

Penggunaan pendekatan sosiologis dalam telaah sastra tidak kurang harus

melihat tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Paradigma sosiologi

sastra sebagaimana dikutip Sapardi dalam Faruk menunjukkan kesamaan antara

paradigma yang dikemukakan Wellek dan Warren dan Ian Watt dengan melihat

hubungan pengarang, karya sastra dan pembaca. Mengacu pada paradigma yang

dikemukakan Ian Watt, klasifikasi dalam sosiologi sastra mencakup tiga hal; (1)

(1) konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi pengarang dalam

masyarakat dan kaitannya dengan pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor

sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai individu di samping juga

mempengaruhi isi karya sastranya; (2) sastra sebagai cerminan masyarakat yang

menelaah sejauh mana sastra mencerminkan keadaan masyarakat pada zamannya;

dan (3) fungsi sosial sastra yang menelaah sejauh mana sastra berfungsi sebagai

pembaharu masyarakat yang mengajarkan suatu nilai dan sebagai penghibur.90

Dalam paradigma sosiologi sastra ini menunjukkan adanya hubungan antara

karya sastra dengan sosial masyarakat, yang memandang sastra sebagai cerminan

masyarakat atau dokumen sosial. Dengan kenyataan bahwa karya sastra terlahir

dalam konteks fenomena sosial masyarakat, maka analisis sosiologi sastra dapat

dilakukan dengan langkah berikut: Pertama, analisis sosial struktur karya sastra,

yang hakikatnya mengkaji struktur pembangun karya sastra dengan menguraikan

interaksi sosial yang terbangun antara tokoh dengan tokoh dalam suatu kondisi

sosial dan waktu tertentu; Kedua, analisis sosial masyarakat yang diacu karya

sastra, yaitu dengan menganalisis secara sosiologis kondisi sosial yang biasanya

membahas fakta sosial, perilaku sosial dll; Ketiga, merelasikan kenyataan sosial

karya sastra dengan kenyataan sosial yang diacunya meliputi: analisis peristiwa-

89 M. Atar Semi, Op. cit., h. 59. 90 Faruk, Op. cit., h. 4.

Page 48: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

38

peristiwa sosial yang terjadi, fakta-fakta yang ada, perilaku-perilaku sosial tokoh-

tokohnya yang kemudian direlasikan dengan kenyataan sosial yang diacunya.91

Sebagaimana yang dikemukakan Ratna bahwa sosiologi sastra bertujuan

untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan

masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.92

Sastra adalah dunia miniatur yang kompleks yang dikontruksikan secara imajinatif

menggambarkan kondisi sosial masyarakat tertentu. Kehidupan yang ditampilkan

dalam sastra mengacu pada kenyataan yang sebenarnya, yang telah dikreasikan

sesuai dengan tafsiran pengarang, dalam aspeknya tokoh, latar sosial dan waktu.

Konteks peristiwa yang dibangun dan disusun dalam karya sastra berhubungan

dengan budaya dan kondisi sosial yang menginternal dalam diri penulisnya.93

Berkaitan dengan itu, pengarang memiliki kemampuan untuk mengalihkan

pendangannya terhadap dunia ke dalam cerita fiksi, yang persamaan keduanya

terletak pada relasi kehidupan antara manusia-tokoh, ruang-latar dan waktu-alur.

Upaya ini sekaligus sebagai bentuk komunikasi pengarang kepada pembaca yang

ingin menyampaikan realitas suatu zaman tertentu. Dengan pernyataan bahwa

sastra adalah cerminan masyarakat, maka kehidupan sosial masyarakat akan selalu

mempengaruhi eksistensi karya sastra.

F. Pembelajaran Sastra Indonesia

Sastra dengan berbagai produknya menyimpan berjuta pesona di dalamnya.

Di dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan formal, sastra diyakini dapat

memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengembangan diri dan

kreativitas peserta didik. Hal ini sebagaimana fungsi sastra yang tidak hanya dapat

menghibur (dulce), tetapi juga dapat mendidik (utile) pembacanya dengan nilai-

nilai kehidupan yang tersirat di dalamnya. Dengan membaca karya sastra, peserta

didik diharapkan peka terhadap realitas kehidupan, memperoleh pengertian yang

baik mengenai manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, dan mendapatkan

91 Heru Kurniawan, Op. cit., h. 14-18. 92 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 11. 93 Heri Kurniawan, Op. cit., h. 7.

Page 49: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

39

ide baru.94 Oleh karena itu, tak heran jika sastra dapat dijadikan sebagai bahan ajar

untuk membimbing dan membentuk peserta didik menjadi manusia utama.

Seberapa jauh pentingnya pembelajaran sastra sebenarnya dapat dilihat dari

tujuan pembelajaran sastra itu sendiri. Secara umum tujuan pembelajaran mata

pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2004, ialah (1) peserta

didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan

kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan

dan kemampuan berbahasa, dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan

sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.95

Sementara menurut Taufik Dermawan, pembelajaran sastra seharusnya bertujuan

membina apresiasi (sastra), mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, dan

menyuburkan sikap arif dalam menangkap isyarat-isyarat kehidupan kehidupan.

Untuk menumbuhkan pengertian, penghargaan, pikiran kritis, dan kepekaan rasa

yang baik terhadap karya sastra, yang harus dilakukan adalah memahami karya

sastra dengan sungguh-sungguh.96

Lebih dari itu, Brahmanto mengungkapkan sekurang-kurangnya ada empat

manfaat yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran sastra, yaitu membantu

keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan

daya cipta dan rasa, dan pembentukan watak.97 Untuk bisa mencapai hal tersebut,

pengajaran sastra harus diterapkan bersamaan dengan pengajaran bahasa. Dengan

menyimak pembacaan karya sastra, peserta didik terlibat dalam proses berpikir

(keterampilan menyimak) yang memungkinkannya secara mandiri dapat membaca

karya sastra (keterampilan membaca). Selanjutnya peserta didik terlibat dalam

diskusi (keterampilan berbicara) dan memparafrasekan atau menganalisis karya

sastra (keterampilan menulis). Pelibatan secara sungguh-sungguh terhadap karya

sastra akan meningkatkan wawasan kompherensif tentang budaya sendiri, dan

94 M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung,

Angkasa, 1990), h. 152-153. 95 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 170. 96 Taufik Dermawan, “Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra di SMTA”, Ibnu

Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.

97 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta, KANISIUS, 1988), h. 16-25.

Page 50: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

40

budaya-budaya lainnya, sehingga dalam diri peserta didik tertanam rasa bangga,

percaya diri, dan rasa memiliki (sense of belonging).98

Kejelasan tujuan pengajaran sastra penting, sebab dapat dijadikan pedoman

dalam mempertimbangkan cara mengajarkan sastra. Mengutip pernyataan Waluyo

bahwa “mengajarkan sastra adalah mengajarkan karya seni yang merupakan hasil

kreativitas pengarang.”99 Karena itu, pendidikan sastra hendaknya berangkat dari

karya itu sendiri, yang diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif sastra, kritik

sastra dan proses kreatif sastra. Pengembangan dimensi kreatif melalui pengajaran

dimungkinkan jika peserta didik dapat berkenalan dan menikmati secara langsung

karya sastra sebagai karya kreatif dari berbagai kurun waktu dan berbagai

pengarang.100 Peserta didik diberi keleluasaan untuk menikmati keindahan karya

sastra, menghargai pikiran menghargai pikiran dan karya cipta pengarang, dan

merasakan adanya proses kreatif yang dilakukan pengarang secara menyeluruh

sehingga dapat menafsirkan dan memahami kreativitas pengarang.

Pembelajaran mengapresiasi yang sastra tidak hanya mengajak peserta didik

untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam

dan kenyataan di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap

positif yang terhadap karya sastra dan menilai karya sastra. Penilaian karya sastra

dilakukan untuk menentukan kualitas dan nilai karya sastra, seperti bermutu

tidaknya karya sastra. Peserta didik juga dibelajarkan untuk mencari kelemahan

dan kekuatan karya sastra, serta memberikan saran konstruktif bagi perkembangan

sastra. Kegiatan apresiasi ini mengembangkan dan membiasakan peserta didik

untuk berpikir kritis, terbuka, dan bersikap jujur dalam memberikan suatu respons

mengenai karya sastra tersebut, menyangkut aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi

dan daya kritis sehingga nantinya mampu merespons kehidupan ini secara artistik

dan imajinatif.101

98 Taufik Dermawan, Op. cit., h. 57. 99 Herman J. Waluyo, “Pengembangan Dimensi Kreativitas dalam Pengajaran Sastra”, Ibnu

Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.

100 Taufik Dermawan, Op. cit., h. 63. 101 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 169.

Page 51: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

41

Terkait kegiatan apresiasi ini dikatakan Wibowo, pembelajaran sastra harus

diarahkan pada tiga aspek pengajaran, yaitu pengetahuan tentang karya sastra

(kognitif), kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan kemampuan menghasilkan

karya sastra (psikomotorik). Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan

kemampuan motorik peserta didik dilatih dan dikembangkan. Misalnya dilakukan

melalui kegiatan (1) reseptif, seperti membaca dan mendengarkan karya sastra,

menonton pementasan karya sastra, (2) produktif, seperti mengarang, bercerita

dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi,

cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra.102

Implementasi proses pembelajaran sastra tersebut akan berjalan baik dan

efektif, jika dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang

dapat membangkitkan kepekaan dan proses berpikir peserta didik. Di antaranya,

seperti lima pendekatan sastra yang dikemukakan Semi, yakni (1) Pendekatan

kesejarahan, yang memusatkan perhatian peserta didik pada aspek sejarah sastra,

proses perkembangan sastra, periode sastra, dan ciri-ciri yang menandai

perkembangan sastra dari zaman ke zaman. (2) Pendekatan sosiopsikologis, yang

memusatkan perhatian peserta didik pada masalah kejiwaan dan kemasyarakat

yang terdapat dalam karya sastra. (30 Pendekatan emotif, di mana guru berupaya

untuk memanipulasi emosi siswa dengan menentukan sendiri karya sastra yang

harus dinikamati peserta didik. (4) Pendekatan analitis, yang memusatkan pada

analisis unsur intrinsik karya sastra, di mana guru cenderung untuk menunjukan

komponen pembangun karya sastra. (5) Pendekatan didaktis, yang memusatkan

perhatian peserta didik pada aspek pendidikan dan moral yang terkandung dalam

karya sastra.103

Berdasarkan uraian tersebut peran sastra menunjukkan pertalian yang erat

dalam pembentukkan watak moral peserta didik di lembaga pendidikan. Sastra

dalam pendidikan dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik,

dan pribadi sosial. Peran sastra ini tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya, namun juga dengan pembelajaran sastra yang bersifat

102 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-nilai Karakter

Melalui Pengajaran Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013), h. 136. 103 M. Atar Semi, Op. cit., h. 155-156.

Page 52: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

42

apresiatif. Melalui penjelajahan yang intens peserta didik akan menemukan nilai-

nilai moral yang dapat dijadikan pegangan untuk memaknai kehidupan. Dengan

demikian, pengalaman bersastra akan memudahkan peserta didik menafsirkan dan

memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata.

G. Penelitian Relevan

Penelitian relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai

relevansi dengan topik penelitian yang akan diteliti dengan memberi pemaparan

tentang penelitian-penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan sebagai referensi

untuk penelitian yang sedang dikerjakan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa

topik yang akan diteliti belum pernah diteliti sebelumnya. Dengan bersumber pada

makalah, skripsi, jurnal dan internet, beberapa penelitian terdahulu yang dapat

dijadikan sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini.

Penelitian terhadap novel Lingkar Tanah Lingkar Air pernah dilakukan oleh

Asep Jamaludin (1995), Universitas Indonesia dengan skripsinya dengan judul

“Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad

Tohari”. Dalam penelitian ini penulis sama-sama meneliti dari sumber yang sama,

namun objek kajian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Asep Jamaludin ini

menitikberatkan pada unsur kesejarahan dari pengamatan tokoh dan latar cerita.

Penelitian itu menyimpulkan bahwa Ahmad Tohari berhasil untuk menampilkan

obsesinya dalam menuangkan gagasan-gagasannya tentang sejarah yang dikemas

dalam bentuk sastra. Dengan karyanya ini, Ahmad Tohari ingin mengajak

pembaca untuk lebih arif memaknai sejarah.104

Selanjutnya penelitian oleh Wahyudi Wijianto (2012), Universitas Negeri

Yogyakarya dengan skripsi berjudul “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari”. Penelitian yang dilakukan Wahyudi

Wijianto menfokuskan pada metode penggambaran tokohnya. Hasil penelitian

tersebut menjelaskan bahwa: Pertama, Amid adalah tokoh utama dilihat dari

keterlibatan dalam cerita. Sebagai tokoh utama (sentral), Amid lebih mendominasi

cerita dalam novel, dan lebih sering dimunculkan oleh pengarang, selain itu tokoh

104 Asep Jamaludin, “Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari”, Skripsi pada Universitas Indonesia, Jakarta 1995 tidak dipublikasikan.

Page 53: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

43

Amid sangat berpengaruh terhadap jalanya cerita. Dilihat dari wataknya tokoh

Amid adalah tokoh yang kompleks karena wataknya berubah-ubah. Tokoh

tambahan dalam novel ini ada banyak dan tidak semuanya dapat dijelaskan,

karena hanya muncul beberapa kali dalam cerita. Tokoh tambahan tersebut adalah

Kiram, Suyud, Jun dan Kiai Ngumar yang dilihat dari keterlibatan dalam cerita

tidak begitu sering dimunculkan, selain itu tokoh tambahan ini mendukung watak

tokoh utama. Dilihat dari wataknya, tokoh tambahan ini merupakan tokoh statis,

yaitu tokoh yang dalam ceritanya sedikit sekali sifat yang berubah dan bahkan

hampir tidak pernah berubah. Kedua, metode penggambaran yang dilakukan

pengarang terhadap tokoh-tokoh dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari ini menggunakan dua metode sekaligus, yaitu metode langsung

dan metode tidak langsung, tetapi pengarang lebih dominan menggunakan metode

tidak langsung.105

Meskipun penelitian di atas mengkaji objek yang sama, yaitu novel karya

Ahmad Tohari yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air. Namun sepengetahuan

penulis, penelitian masalah sosial masyarakat pada novel Lingkar Tanah Lingkar

Air belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan ini, dalam penelitian ini penulis

akan membahas mengenai gambaran masalah sosial masyarakat yang terdapat

dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari menggunakan

pendekatan sosiologi sastra. Persamaan penelitian ini dengan tinjauan pusataka di

atas terletak pada subjek penelitian yang sama, yaitu sama-sama mengkaji novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Adapun perbedaan penelitian ini

terletak pada objek penelitian yang dikaji. Dalam penelitian ini, objek penelitian

penulis adalah masalah sosial masyarakat, skripsi yang menjadi relevan mengkaji

refleksi sejarah DII/TI dan metode penggambaran tokoh dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

105 Wahyudi Wijianto, “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air karya

Ahmad Tohari”, Skripsi pada Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, tidak dipublikasikan.

Page 54: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

44

BAB III

PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Ahmad Tohari

Sastrawan-budayawan, Ahmad Tohari, nama yang sebenarnya tidak asing

lagi dalam dunia penulisan novel Indonesia. Di tahun 70an, namanya pertama kali

dikenal lewat cerpennya Jasa-jasa Buat Sanwirya yang memenangkan sayembara

Kincir Emas Radio Nederland Wereldmroep. Terbitnya novel Ronggeng Dukuh

Paruk semakin melejitkan namanya, yang dianggap sangat sempurna oleh para

sastrawan karena mempunyai satu kesatuan unsur (trologi).1 Melihat keberhasilan

kepengarangannya, Ahmad Tohari tetap tidak merasa bangga menjadi pujangga.

Ia ingin menjadi punokawan saja, bagi rakyat bawah. “Tapi bukan punokawan

pesanan” kata alumnus SMA Negeri II Purwokerto pada Republika.2

Kegemaran Ahmad Tohari menulis cerpen dan artikel ketika masih duduk di

bangku SMA. Dari menulis cerpen dan artikel, ia mulai belajar menulis novel

yang semuanya dipelajari sendiri. Namun diakui Tohari proses menulisnya adalah

sebuah ketidaksengajaan, “ibaratnya saya terpeleset menjadi penulis” kata penulis

kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948.3 Ia merasa perlu mencari uang sendiri untuk

melanjutkan kuliahnya di sebuah Fakultas Kedokteran Ibnu Kaldun Jakarta (1967-

1970) karena seorang kakaknya yang menikah. Saat dalam keterdesakan itulah, ia

mulai mengarang cerita pendek dan memuatnya di redaksi koran dan majalah

terbitan ibu kota. Semangat menulis Ahmad Tohari kemudian menghasilkan novel

pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak yang diterbitkan sebagai cerita bersambung di

harian Kompas (1979).4

Dari seputar kehidupannya yang diceritakan kepada Suara Merdeka, Kang

Tohari, begitu ia senang dipanggil, mengaku masa kecilnya relatif kenyang, tidak

seperti anak-anak sekampungnya yang kelaparan. Kedua orang tuanya bekerja,

1 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, Yogyakarta,

Eksponen, 9-15 September 1989, h. 9. (a) 2 Indra Wisnu, Ahmad Tohari: Punokawan Saja! Harian Republika, Jakarta, Minggu 17

September 1995, h. 12. 3 Arif Firmansyah, “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”,

Mingguan Koran tempo, Jakarta, Minggu 13 Januari 1994, h. 8. 4 Yudiono K.S, Ahmad Tohari Karya dan Dunianya, (Jakarta, Grasindo, 2003), h. 4.

Page 55: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

45

ayahnya sebagai pegawai KUA dan ibunya pedagang kain, sehingga ada jaminan

untuk ia tidak kelaparan. Kondisi mengerikan ini menjadi traumatis sendiri

baginya, karena ketika musim kemarau ia harus melihat anak-anak lain bengkak

kelaparan sampai tidak sanggup bermain, sementara perutnya terisi, tetapi ia tetap

berusaha mengakrabi mereka. Ahmad Tohari mewarisi prinsip bapaknya yang tak

merasa kurang dengan memberi, sehingga tak pernah mempersoalkan rezeki yang

diterimanya, sebagaimana terminologi santrinya, hanya orang yang bersyukur

yang bisa menikmati ketentraman hidup.5

Ketua Badan Kesenian Banyumas ini pernah bekerja sebagai tenaga honorer

di BNI 1946 Jakarta. Tidak puas kemudian pindah sebagai redaktur ke Surat

Kabar Harian Merdeka, lantas menjadi staff redaksi majalah Keluarga dan timbul

rasa jemu, maka kembali ke Banyumas melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi

Universitas Sudirman Purwokerto, kemudian pindah ke Fakultas Sosial Politik di

universitas yang sama, namun tidak berhasil juga diselesaikannya. Ia akhirnya

kembali ke Jakarta menjadi dewan majalah Amanah.6

Meski menjadi novelis terkenal dan cukup mapan sebagai redaktur majalah

Amanah, sama sekali tidak mendorong Ahmad Tohari untuk pindah ke Jakarta.

Bapak lima anak yang punya hobi memancing ini, sangat mencintai kampung

halamannya dan mengaku tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan desa

kelahirannya, Tinggarjaya. Ia dibesarkan sebagai santri di lingkungan desa dan

pesantren, yang memudahkan pergaulannya dengan berbagai lapisan masyarakat

bawah. Apalagi corak kehidupan dan segala problematika sering menjadi inspirasi

bagi kerja kreatifnya untuk diolah ke dalam novel-novel, yang hampir seluruhnya

bertemakan sosial.7 Kehidupan di desa lebih menarik dan membuatnya puas lahir

dan batin tanpa harus terbebani perubahan hidup masyarakat kota.8

Di desa Tinggarjaya, Ahmad Tohari ingin menulis secara total, mengurus

pesantren Al Falah dan menghabiskan waktu bersama istrinya, Syamsiah, seorang

5 Prie GS, “Memagari Rumah dengan “Kotoran”, Suara Merdeka, Jakarta, Minggu 9

Januari 1994. 6 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a), Loc. cit. 7 Indra Wisnu, Loc. cit. 8 Arif Firmansyah, Loc. cit.

Page 56: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

46

guru sekolah dasar yang dinikahinya pada tahun 1970. Bersama perempuan itu,

Ahmad Tohari dikaruniai lima orang anak, Listia, Widia, Ashar Saputra, Sita

Hidayah, Din Alfina. Dalam bincang-bincangnya dengan Yudioni K.S, Ahmad

Tohari mengaku sangat bersyukur bisa mendewasakan anak-anaknya sampai ke

jenjang perguruan tinggi, tiga anaknya di UGM Yogyakarta dan dua anaknya di

UNSUD Purwokerto untuk menebus kegagalan pendidikannya di perguruan

tinggi.9

B. Pemikiran Ahmad Tohari

Mengutip pandangan Dick Hartoko terhadap novelis Ahmad Tohari dalam

diskusinya “Berkenalan dengan Ahmad Tohari”, Ahmad Tohari memiliki tiga ciri

yang dikatakan bahwa “Dia itu orang Jawa, orang muslim alami. Dia amat dekat

dengan alam desa, dan lahir dari pengamatan dan pengalaman sekelilingnya.

Alam baginya merupakan guru yang arif dan bijaksana.”10 Ciri khas Ahmad

Tohari tersebut melekat dalam karya sastra yang dicipatakannya, baik berupa

novel maupun cerpen yang semua menampilkan aspek humanis yang kuat dengan

memotret kehidupan atau nasib masyarakat bawah. Kesadaran humanis yang

melekat pada dirinya sebagai pengarang menjadi awal untuk melakukan gerakan

penyadaran melalui sastra. Seperti diakuinya dalam Rubik “Bincang-Bincang”

oleh Suara Merdeka yang dikemukakan Yudiono, bahwa menurut Tohari:

“Sastra dan agama adalah wujud pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan Kitab Suci, sedangkan sastra merupakan akal budi manusia. Orang yang membaca sastra akan mendapatkan kearifan.

“Justru karena agama sedang dalam kondisi krisis itulah karya sastra harus berperan sebagai pencerah. Sastra justru harus sebagai komplemen. Sastra dibuat untuk melakukan pengingatan. Bahkan sastra yang berkesan menghujat Tuhan pun harus dihargai. Itu kan hanya cara lain untuk berdialog dengan Tuhan” 11

Melihat pernyataan itu, sastra dan agama dipandang Ahmad Tohari sebagai sarana

pencerahan. Keyakinannya tampak sangat jelas bahwa sastra menjadi pilihan lain

baginya untuk membangun moral masyarakat. Ketika agama sulit membangun

9 Yudiono K.S, Loc. cit. 10 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a), Loc. cit. 11 Yudiono K.S, Op. cit., h. 6-7.

Page 57: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

47

pemikiran manusia, maka sastra menjadi caranya untuk membuka hati dan pikiran

manusia, sehingga berkembanglah masyarakat yang beradab. Lebih lanjut, dalam

wawancaranya dengan redaksi Pelita, Ahmad Tohari menilai sastra mempunyai

dimensi yang dapat menerobos garis formal. Sastra mengandung dongeng, tasauf,

dan ma’rifat yang harus mampu menggoyang titik pusat kesadaran dan perasaan

manusia. Perasaan dekat kepada Tuhan, serta melihat segala sesuatunya sebagai

refleksi keberadaan-Nya.12

Diakui Ahmad Tohari dalam Yudiono K.S, Tuhan harus dipahami dengan

membaca simbol-simbolnya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang

menderita, yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan.13 Berangkat dari

pandangan itulah, unsur religuitas turut mewarnai aspek humanis Ahmad Tohari

yang merupakan cerminan ideologi Islam yang dipahaminya. Konsep keislaman

menyatu dalam dirinya yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa dan sejak kecil

akrab dengan surau dan masjid.14 Namun menurut Nur Sahid, pengungkapan

nilai-nilai islami Tohari dianggap berbeda dengan kecenderungan kepengarangan

Hamka, AA Navis, dan Jamil Suherman yang pengungkapannya sering kali terasa

formal, eksplisit, bahkan terkesan verbal dan eksplisit. Sebaliknya, Ahmad Tohari

mengimplemasikan nilai-nilai keislaman itu melalui simbol-simbol yang halus

sehingga terasa lebih sublimatis. Dimensi religius muncul dalam karyanya tidak

dari idiom-idiom islam yang verbal, melainkan dari setiap tindakan, peristiwa dan

nasihat-nasihat tokoh cerita. Seperti dikatakannya, dalam menyampaikan pesan-

pesan keislaman kepada pembaca hendaknya hanya membimbing sehingga tidak

berkhotbah atau menggurui.15

Komitmen Ahmad Tohari dengan keislamannya dalam bersastra yang sudah

berbaur dengan keprihatinannya menjadi caranya berdakwah, menyuarakan pesan

illahi dan misi kemanusiaan akan persoalan pelik kehidupan masyarakat yang

12 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Wawancara dengan Novelis Ahmad Tohari, Sastra

Meronggeng: Ihwal dan Pasal, Pelita, Senin 17 Maret 1086 (b), h. 10. 13 Yudiono KS, Op. cit., h. 7. 14 Restoe Prawironegoro Ibrahim, “Sasta religious Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam”,

Harian Republika, Jakarta, Ahad 26 Oktober 2003, h. 8. 15 Nur Sahid, “Pesan Moral Islami dan Cerpen Ahmad Tohari”, Suara Karya, Jakarta,

Minggu 25 Pebruari 1996, h. 6.

Page 58: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

48

tidak selalu disebabkan kekeliruan pada dirinya, melainkan disebabkan oleh faktor

lain di luar dirinya.16 Dengan maksud tersebut, Yudiono mengungkapkan bahwa

Ahmad Tohari sebagai pengarang senantiasa mengalami “hamil sastra”, di mana

ia mengalami kondisi batin yang memaksa harus menulis karya sastra agar tidak

tersiksa jiwanya. Semua itu berangkat dari kegelisahan atau kemarahan terhadap

para pemimpin yang belum juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang

kecil.17 Diakui Ahmad Tohari, karena posisinya sebagai sastrawan yang terlibat

langsung kepada manusia, ia melihat secara langsung borok-borok kemiskinan,

kebodohan dan ketidakadilan yang kalau dibiarkan akan menjadi penyakit kronis

masyarakat, merusak sendi-sendi bangsa dan negara.18 Realitas itulah yang

diangkat Ahmad Tohari ke permukaan dan menjadi konsep kepengarangannya

selama ini. Dengan berpegang teguh pada kejujuran, baginya manusia mempunyai

tanggung jawab besar untuk mengelola kehidupan. Kebodohan, kemelaratan dan

kerusakan alam adalah tanggung jawab kolektif manusia. Meski kenyataannya

sekarang tidak, sebab sistem seolah-olah terlalu slogan, membutuhkan orang-

orang miskin sebagai konsumen.19

Kekuatan dalam melukiskan latar yang sering kali menampilkan warna dan

setting lokal merupakan warna lain dari kepengarangan Ahmad Tohari. Bahkan

hal itu telah menjadi ‘cap’ tersendiri bagi karya-karya sastranya yang bertemakan

latar pedesaan beserta segala kompleksitasnya.20 Wilayah pedesaan yang lugu dan

jarang terjamah pengarang itulah menjadi dunia yang sering dimasuki pengarang

asal Banyumas ini. Warna daerah yang sangat hangat memperjelas unsur-unsur

budaya Jawa yang relatif dipahami dan dihayati sebagai bagian dari kesadarannya,

serta tidak lepas dari pengalaman hidupnya sebagai anak desa dengan lingkungan

budaya Jawa.

16 Ismet N. M. Haris, “Berkisar Merah” Ahmad Tohari: Menakar Harga Diri Wanita di

Tengah Kemiskinan, Mutiara, Jakarta, 4-10 Oktober 1994, h. 6. 17 Yudiono KS, Op. cit., h. 3-4. 18 Syahriel Mochtar, Wawancara Dengan Novelis Ahmad Tohari: Paman Dan Bibi Saya

Makan Tempe Bongkrek, Suara Pembaruan, Jakarta, Senin, 21 Maret 1988, h. 8. 19 Ibid. 20 Syahrial, Potret-Potret Ahmad, Majalah Berita Buku, Jakarta, 1989, h. 17.

Page 59: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

49

Ahmad Tohari cenderung menempatkan dirinya sebagai penerjemah

kehidupan, yang mengungkapkan reaksinya terhadap kenyataan kehidupan dan

merekamnya ke dalam karya sastra. Ia memilih gugatan cara Jawa yang mau tak

mau harus masuk dalam konteks perikeberadaannya. Mengutip dari wawancara

dengan Suara Pembaruan, Ahmad Tohari beralasan gugatan Jawa selain lebih

sublim juga merupakan ‘kearifan’ dalam konteks keadaan sekarang. Lebih jelas

lagi, falsafah Jawa mengandrungi keselarasan hidup seperti yang tercermin dalam

konsep jagat agung dan jagat alit, yang tercermin dari idiom aja nggege mangsa.

Konsep-konsep keselarasan ini dinilai sangat relevan diterapkan ketika kehidupan

yang ingin serba dipercepat telah terbukti merusak keseimbangan alam yang pada

gilirannya merusak pasti akan merusak kehidupan manusia. Terlihat tiga unsur

falsafah Jawa yang sangat dominan dalam karya-karyanya, manusia, alam dan

kehidupan. 21

Sekali lagi bahwa medium karya sastra menjadi wahana dari proses kreatif

Ahmad Tohari, sekaligus satu perwujudan keprihatinan terhadap masalah-masalah

sosial. Sikapnya yang sederhana dalam mengolah materi ceritanya dan kedalaman,

serta kesungguhannya dalam menilai kehidupan menjadi salah satu kekuatan dari

novelis yang tabu menulis kata cinta ini. Dalam menulis, Ahmad Tohari mengakui

bahwa ia memang tidak suka dengan kata-kata yang vulgar, radikal, dan ambisus.

Ia lebih condong menulis dengan kalimat-kalimat yang tenang, dan membiarkan

para pembaca karyanya berpikir apa dan bagaimana komitmennya dibalik cerita

tersebut.22 Gaya kepengarangan demikian pun mendapat banyak apresiasi dari

para pengamat sastra. Menurut Emha Ainun Najib, bahwa Ahmad Tohari lebih

pantas disebut sebagai kritikus sosial daripada seorang novelis atau sastrawa

karena sebagaian besar karyanya dianggap sebagai kritik sosial.23 Bahkan diakui

Sapardi Djoko Damono, salah satu kekuatan Ahmad Tohari ialah menjelmakan

peristiwa sederhana menjadi lambang berbagai masalah yang rumit dan berharga

21 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari: Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif Untuk

Zaman Sekarang, Suara Pembaruan, Jakarta, Minggu, 5 Juni 1988 (c), h. 8. 22 Eko Widiyanto, Hidup Dalam Sehari ‘Si Ronggeng’ Ahmad Tohari, Republika, Jakarta

Minggu, 13 Juni 1993, h. 4. 23 Ibid.

Page 60: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

50

untuk dihayati. Dengan demikian ia berhasil menaikan karyanya dari sebuah

jurnalisme informatif dan teknis ke tingkat karya sastra yang punya artistic

merk.24

C. Karya-Karya dan Penghargaan Ahmad Tohari

Karya-karya novelis Ahmad Tohari dengan segala kekhasan yang dimiliki

memberikan nuansa baru dalam jajaran karya sastra Indonesia. Karya-karyanya

yang bermuara pada kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya terhitung

berkualitas dan memperoleh banyak penghargaan, baik tingkat nasional maupun

internasional. Bahkan mendapat apresiasi di kalangan masyarakat dengan adanya

ratusan skripsi yang membahas karya-karyanya, salah satunya tesis tentang novel

Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis mahasiswa Universitas Lon di Swedia. Hal

ini menjadi bukti masih adanya secercah harapan bagi pemerdayaan karyanya

dalam konteks pencerahan batin masyarakat.25

Pada penghargaannya, cerpen pertamanya Jasa-jasa Buat Sawirya menang

dalam lomba cerpen yang diadakan Radio Nederland Wereldmroep tahun 1984

dan diterbitkan dalam antologi cerpen Dari Jodoh sampai Supiyah (1976). Di

Kaki Bukit Cibalak yang semula terbit sebagai cerita bersambung di harian

Kompas edisi 10 oktober – 6 Nopember 1979, kemudian dibukukan dan menjadi

novel pertama Ahmad Tohari. Novel itu meraih juara harapan pertama dalam

sayembara Mengarang DKJ tahun 1977. Sedangkan Kubah, novel keduanya,

langsung diterbitkan sebagai buku oleh Pustaka Jaya (1980) dan dianugerahkan

predikat fiksi terbaik oleh Yayasan Buku Utama, Depdikbud tahun 1981.26

Selang beberapa tahun kemudian, novelis asal Banyumas ini meluncurkan

trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia, 1982) yang membuat namanya makin

diperhitungkan dalam khazanah sastra Indonesia. Novel yang sebelumnya terbit

sebagai cerita bersambung di lembaran Kompas Jakarta ini, banyak mengundang

tanggapan positif dari pengamat sastra. Bersama dua novel lanjutannya, Lintang

Kemukus Dini Hari (Gramedia, 1985) dan Jantera Bianglala (Gramedia, 1986)

24 Ansis Kleden, “Sebuah Lukisan Naturalis” Kompas, Jakarta, Minggu, 17 September

1989. 25 Yudiono KS, Op. cit., h. 3. 26 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a) , Loc. cit.

Page 61: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

51

yang sebelumnya juga dimuat di harian pagi Kompas, Ahmad tohari memperoleh

penghargaan Fellowship International Writers Program di Iowa, Amerika Serikat

pada tahun 1990 dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (Southeast Asian Writers

Award) di tahun 1995. Bahkan trilogi itu telah diterjemahkan ke dalam lima

bahasa, Inggris, Jepang, Belanda, Spanyol dan Jerman.27

Selain trilogi berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi masterpiece

kepenulisannya, beberapa novel dan kumpulan cerpen juga diciptakan dari tangan

dingin novelis Ahmad Tohari, di antaranya kumpulan cerpen Senyum Karyamin

(Gramedia, 1989), Berkisar Merah (1993), Mas Mantri Gugat (Bentang, 1994),

Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Dari Jodoh Sampai Supiyah (1996), Belantik

(2001), Orang-orang proyek (2002), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000),

Kiai Sudrun Gugat (kumpulan esai,1995).28

27 Eko Widiyanto, Loc.cit. 28 Yudiono KS, Op. cit., h. 2.

Page 62: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

52

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Struktur Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari

Sebuah novel sebagai cerita fiksi menawarkan sebuah dunia, yang berisikan

tentang kehidupan manusia dalam panjang tertentu dengan menyuguhkan tokoh-

tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dalam suatu alur dan latar secara

tersusun. Di dalam novel mengandung struktur yang terdiri atas berbagai unsur

pembangunnya, yang bersifat intrinsik dan saling berkaitan satu dengan yang lain

secara erat. Unsur-unsur inilah yang kemudian secara bersama membentuk sebuah

totalitas yang membuat novel berwujud.1

Melihat hal itu, maka perlu dilakukan analisis struktur novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Analisis intrinsik ini merupakan langkah awal

untuk memahami novel ini sebelum menganalisis masalah sosial masyarakat yang

terdapat dalam novel. Analisis unsur intrinsik dilakukan dengan mengidentifikasi,

mendeksripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik yang bersangkutan,

seperti bagaimana tema, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan gaya

bahasa yang tergambar dalam novel. Dengan demikian, dapat dilihat pentingnya

pemahaman terhadap unsur intrinsik sebagai unsur utama yang secara langsung

membangun karya sastra, dan secara faktual juga akan dijumpai pembaca ketika

menikmati sebuah novel. Untuk penjelasan unsur intrinsik dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, sebagaimana berikut.

1) Tema

Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita bersifat umum, luas dan abstrak

yang menopang keseluruhan cerita. Kemunculan tema biasanya terimplisit lewat

berbagai peristiwa, konflik dan situasi tertentu yang dialami tokoh cerita. Lebih

sederhana, tema merupakan inti cerita yang ingin dikemukakan pengarang kepada

pembacanya. Jika dilihat dari kepengarangannya, sastrawan Ahmad Tohari sering

kali mengangkat tema sosial yang menunjukkan kritik sekaligus keprihatinannya

1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press, 2007), h. 30.

Page 63: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

53

terhadap permasalahan hidup masyarakat bawah yang tertindas oleh struktur dan

sistem, atau bahkan kemelut sosial politik yang melibas orang-orang kecil. Hal itu

tampak jelas dalam beberapa novel yang diciptakan, seperti dua novel besarnya

terdahulu, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah yang memotret kehidupan wong

cilik dengan kekhasan lokal yang sangat kuat.

Sama halnya novel lainnya, dalam Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) yang

diterbitkan kembali oleh Hikayat Publishing di tahun 2007, Ahmad Tohari belum

beranjak dari permasalahan masyarakat bawah yang secara tematis menyiratkan

keberpihakannya. Bersetting di periode revolusi Indonesia, tema besar novel ini

adalah kacaunya situasi sosial politik yang membuat pemuda santri terjebak dalam

orientasi hidup pasca kemerdekaan. Pemuda kala itu serta merta menunjukkan

semangat juang dan rela berkorban untuk melawan kolonialisme Barat. Akan

tetapi, pertanyaannya untuk apa dan siapa tidak sepenuhnya dipahami pemuda.

Hal itu dikarenakan perubahan yang relatif cepat dan tanpa diimbangi kematangan

mental dan wawasan yang luas, yang akhirnya menyebabkan para pemuda sulit

menyesuaikan diri dengan situasi revolusi. Problematika ini ditampilkan Ahmad

Tohari melalui pengalaman hidup tokoh utama yang penuh liku, di mana tujuan

awalnya hanya ingin melawan berjuang melawan Belanda, namun harus terlibat

dalam gerakan pemberontakan sebagai akibat kemelut sosial politik saat itu.

Aku kembali berpandang-pandangan dengan Kiram. Ya, kukira aku sudah mendengar bahwa di Surabaya terjadi perang besar. Sebelumnya kudengar bahwa Indonesia sudah merdeka dan Bung Karno menjadi presiden. Tetapi terus terang aku tak sepenuhnya paham karena di desaku belum terjadi perubahan nyata, kecuali waktu itu kulihat Jepang tiba-tiba pergi dari kota kecamatan kami. Hal itu pun aku tak melihatnya sendiri.2

Penggalan kutipan di atas dapat dijadikan pengantar untuk memahami novel

ini, di mana pengarang ingin mengajak pembaca melihat kenyataan yang terjadi di

tahunawal kemerdekaan Indonesia. Lewat penceritaan tokoh “Aku”, seorang

santri bernama Amid, bahwa kemerdekaan Indonesia dari Jepang tidak begitu saja

memberikan kebebasan. Ancaman kolonialisme kembali dihadapi segenap bangsa

Indonesia yang ditandai dengan adanya perang besar di kota Surabaya. Perang

2 Ahmad Tohari, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Yogyakarta, HIKAYAT Publishing, 2007),

h. 16-17.

Page 64: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

54

yang terjadi di kota besar secara tidak langsung berpengaruh pada pemahaman

Amid sebagai santri yang tinggal di desa kecil, di Banyumas. Ia tidak sepenuhnya

paham dengan apa yang terjadi, maka dapat dikatakan Amid tidak memiliki

banyak pengetahuan terkait situasi sosial politik saat itu. Dengan keterbatasan itu,

apa yang dipahami tokoh Amid tentang situasi sekitarnya akan berpengaruh pada

cara pandang dan sikap ke depannya.

Bila sedikit mengulas judul novel ini, kata ‘Lingkar’ merujuk pada KBBI

memiliki arti ‘terkurung’ atau lebih jelasnya ‘masalah yang tidak ada ujungnya’,

sedangkan ‘Tanah Air’ mengacu pada ‘permukaan bumi yang ditempati suatu

bangsa atau pemerintahan negara’.3 Dari makna itu, dapat dijelaskan bahwa arti

Lingkar Tanah Lingkar Air sebagai judul novel ini merujuk pada ‘terbelitnya pada

suatu masalah di suatu bangsa yang sulit dicari jalan keluarnya’. Artian tersebut

menggambarkan bagian penting dari tema besar novel ini, bahwa siapa saja dapat

terbelenggu dalam permasalahan di masa revolusi Indonesia. Dan sebagai tokoh

sentral, Amid selalu mendapat masalah seiring perjuangannya berperang melawan

Belanda. Ia harus merasakan kesalahpahaman dan kekecewaan dari sikap tentara

Republik. Terlebih situasi itu dimanfaatkan oleh oknum komunis untuk mencapai

kepentingan golongaan mereka. Di tengah kacaunya kondisi saat itu, maka sulit

bagi Amid untuk bersikap, sebagaimana tercermin dalam kutipan berikut.

“Atau kamu mau menyerahkan diri? Percuma, Mid. Kamu sudah dianggap pengkhianat dan bila menyerahkan diri kamu akan dikenai hukum perang. Artinya, pasti kamu akan ditembak mati.”

Aku masih diam. Dua kali ini aku sungguh bisa membenarkan kata-kata Kang Suyud.4

Pergolakan revolusi secara cepat telah membuat Amid kehilangan orientasi.

Bukan hal yang mudah bagi Amid karena pada saat bersamaan ia juga mengalami

konflik batin. Keinginannya untuk menjadi tentara Republik terhalang oleh stigma

negatif sebagai pemberontak. Hal yang tidak mudah diterima tentunya oleh siapa

pun. Maka, bagi Amid, menjadi Darul Islam adalah pilihan yang tepat untuk bisa

melindunginya dari ancaman pihak Republik. Amid paham mengaku kalah hanya

3 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang, Widya

Karya, 2016), h. 295-523. 4 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 75.

Page 65: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

55

akan membawanya pada kesia-siaan, sebab bukan kebebasan melainkan kematian

yang akan diterimanya. Kondisi demikianlah yang membuat hidup Amid semakin

terombang-ambing. Terjebak dalam dalam arus politik yang tidak dipahaminya,

seperti terbaca dalam nada kutipan berikut.

“….Terus terang lagi, aku sudah jenuh. Aku sudah lelah karena karena sudah hampir sepuluh tahun aku hidup selalu diburu seperti ini, bahkan sebenarnya boleh dibilang kita kehilangan harapan. Maka tolonglah dimengerti bila mulai berpikir tentang hidup normal hidup biasa di desa, menjadi petani atau pedagang. Istriku dan anak yang dikandungnya tentu lebih menyukai aku hidup wajar, hidup yang biasa-biasa saja.”5

Sebagaimana tergambar disorientasi yang dialami Amid berpengaruh pada

kehidupannya yang tidak menentu dan terus menerus menderita. Hal ini terlihat

dari caranya menjalani hidup dengan perasaan tidak aman dan hampir putus asa.

Muncul keinginan untuk hidup normal sebagaimana mestinya, akan tetapi tidak

mudah untuk menyerahkan diri karena hukuman yang diterima tidak hanya dari

Republik, tetapi juga Darul Islam karena dianggap mengkhianati gerakan tersebut.

Lebih dari itu, sanksi sosial dari masyarakat karena dianggap sebagai pengacau.

Melalui kisah Amid inilah, dapat dilihat berbagai persoalan yang dihadapi para

pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Ahmad Tohari

secara spesifik menunjukkan ketidakberdayaan pemuda santri dalam menghadapi

kekacauan sosial politik saat itu.

Untuk menegaskan tema besar di atas, perlu adanya tema tambahan yang

disebut tema minor. Dalam hal ini, terdapat beberapa tema tambahan yang dinilai

dapat mendukung tema mayor di atas, antara lain:

1. Pergeseran Nasionalisme

Latar belakang sejarah revolusi mempengaruhi adanya tema nasionalisme

dalam novel ini. Tentang nasionalisme, Ir. Soekarno sebagai salah satu founding

father menempatkan nasionalisme tidak hanya sebagai kesadaran rakyat yang

disatukan ke dalam satu kelompok atau satu bangsa, tetapi juga sebagai kesatuan

antara rakyat dengan tanah airnya.6 Konsep nasionalisme tersebut terwujud dalam

5 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 13-14. 6 Faisal Ismail, Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta, IRCiSoD,

2017), h. 41.

Page 66: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

56

sikap pemuda yang terlibat dalam perjuangan fisik melawan Belanda demi sebuah

kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan tuntutan zamannya, di mana dalam sejarah

perjuangan kemerdekaan, nasionalisme memang erat kaitannya dengan semangat

perjuangan melawan penindasan yang dilakukan kaum kolonialis selama beratus-

ratus tahun lamanya.7 Dengan kata lain, nasionalisme dan kolonialisme adalah dua

hal yang tidak bisa dipisahkan. Melihat hubungan keduanya, Sartono Kartodirjo

menganggap nasionalisme dalam dimensi historis sebagai hasil yang paling

penting, yang muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi

yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.8

Namun agak berbeda seperti yang digambarkan Ahmad Tohari, tindakan

nasionalisme dalam meraih kemerdekaan melalui tokoh Amid dan Kiram tidak

semata-mata sebagai bentuk pengabdian terhadap bangsa dan negara, tetapi juga

wujud kepatuhan mutlak seorang santri terhadap kiainya. Terlebih adanya fatwa

dari seorang ulama besar yang mewajibkan pemuda untuk berperang melawan

Belanda yang dianggap kafir.

“Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan?”

“Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”9

Nasionalisme yang menjadi bagian dari kesadaran para pemuda perlahan

mengalami pergeseran yang ditandai dengan berbagai peristiwa. Pergeseran nilai

nasionalisme disisipkan Ahmad Tohari dengan sangat cerdas pada konflik ketiga

ketika Kiram dan Kang Suyud menolak perintah Kiai Ngumar untuk bergabung

dengan Republik, yang klimaksnya memilih menjadi Darul Islam. Penolakan itu

dilatarbelakangi oleh kekecewaan Kiram terhadap perilaku tentara Republik yang

memandangnya rendah karena buta huruf. Alasan lain terkait cara pandang Kang

Suyud sebagai muslim ortodoks yang ingin menerapkan syariat Islam dalam

kesehariannya. Karena itu, ia menolak adanya komunis dan “… ingin membentuk

7 Anggraeni Kusumawardani & Faturochman, Nasionalisme, Buletin Psikologi, Tahun XII,

No. 2, Desember 2004, h. 62. 8 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional

Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2, (Jakarta, Gramedia, 1990) h. 41. 9 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.

Page 67: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

57

barisan sendiri yang anggotanya semua mau sembahyang”10, sedangkan nyatanya

banyak tentara Republik yang tidak melakukannya. Semua gejala ini menguatkan

adanya pergeseran nasionalisme yang dialami pemuda, terutama pada kalangan

santri di periode revolusi Indonesia. Nasionalisme yang semua berorientasi pada

perjuangan untuk mencapai kemerdekaan berubah pada kepentingan pribadi untuk

mewujudkan cita-cita politik, yang membuka kemungkinan terjadinya perpecahan

di kalangan rakyat indonesia, seperti halnya konflik antara kelompok pemuda dan

tentara Republik.

Sebaliknya, dalam pandangan berbeda, arahan Kiai Ngumar agar pemuda

mengabdi pada bangsa dan negara dengan menjadi tentara Republik menyiratkan

makna nasionalisme yang sesungguhnya. Menurut pendapatnya, hal ini sesuai

dengan keahlian yang dimiliki pemuda dan jaminan dari pemerintah, dibanding

menjadi Darul Islam yang ideologinya jelas sekali bersebrangan dengan Pancasila

sebagai dasar negara.

“… Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tentang masa depan kalian sendiri. Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”11

“Kalau tak salah, terhadap pertanyaan ini aku pun dulu sudah memberikan jalan keluar. Kalian meletakkan senjata dan kembali ke tengah masyarakat, atau kalian bergabung dengan tentara resmi Pemerintah.12

Dengan menjadi tentara Republik, pemuda diharapkan memiliki pekerjaan

yang layak untuk kelangsungan hidup mereka, sebab tidak ada perang yang tanpa

akhir. Pada bagian ini jelas, konsep nasionalisme yang ditanamkan Ahmad Tohari

sejalan dengan gagasan nasionalisme yang dikemukakan Soekarno. Lebih dari itu,

nasionalisme yang diterangkan tidak hanya pada upaya menumpas kolonialisme

dan menumbuhkan integritas bangsa, tetapi juga terwujudnya suatu keadilan dan

kemakmuran bangsa di tengah kemiskinan yang terjadi saat itu, baik akibat dari

kekacauan revolusi maupun tatanan perekonomian negara sendiri yang tidak stabil

akibat penjajahan yang relatif panjang.

10 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 37. 11 Ibid., h. 38. 12 Ibid., h. 57.

Page 68: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

58

2. Pertentangan Ideologi

Seperti dikemukakan Ratna, dalam perkembangan selanjutnya, nasionalisme

di Indonesia berpengaruh pada konflik antargolongan dan berbagai kepentingan

personal lainnya.13 Kenyataan itu seiring dengan menguatnya tensi konflik dalam

novel LTLA yang tidak terlepas dari persaingan ideologis di tingkat elit nasional

tentang dasar negara Indonesia. Perdebatan diwarnai oleh kelompok nasionalis,

Islam dan komunis, di mana masing-masing kekuatan politik mempunyai ideologi

yang berkontradiktif dan dianggap tepat untuk menjalankan pemerintahan. Semua

itu didasarkan kepentingan kekuasaan yang dibangun dari kepentingan yang ada

di masyarakat. Dengan mengatasnamakan nasionalisme, akan tetapi diekspresikan

dengan cara dan medium yang berbeda.

Namun begitu, isu perdebatan ideologis ini menjadi persoalan sosial yang

krusial karena berpengaruh pada pemikiran orang-orang desa yang turut menerima

ataupun menentang ideologi tersebut, sebagaimana terjadi pada Kiai Ngumar dan

Kang Suyud. Ahmad Tohari secara intensif mendeskripsikannya seperti berikut.

“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.”14

“Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain yang semuanya merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan lebih dari itu, kekuasaan yang mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat. Pengakuan ini akan membuat kekuasaan lain yang muncul belakangan menjadi tidak sah.”

“Namun mereka berkerja sama dengan orang di luar Islam. Sementara Karosuwiryo tidak.”15

Antara Kiai Ngumar dan Kang Suyud mewakili pandangan elit politik dari

kelompok tersebut, sehingga perbedaan yang tajam tampak dalam orientasi nilai

agama keduanya. Dengan pemahaman Islam yang absolut, Kang Suyud secara

pasti mengikuti ideologi Kartosuwiryo, seorang militan Islam yang menginginkan

Indonesia berdasarkan syariat Islam sebagaimana cita-cita politiknya. Pandangan

13 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2008) h. 1. 14 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 59. 15 Ibid.

Page 69: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

59

ini jelas berlawanan dengan kaum nasionalis seperti Kiai Ngumar dan Soekarno,

yang mengharapkan Indonesia berdasarkan ideologi non agama, sehingga tidak

menghendaki Islam sebagai dasar negara. Akibatnya, ketegangan antara keduanya

terus meningkat seiring dengan pertarungan ideologis di tingkat pusat.

Melalui pertentangan ideologi itu, Ahmad Tohari tidak hanya menjelaskan

persoalan elit politik dalam membangun pemerintahan pasca kemerdekaan, tetapi

juga mengkritisi bahwa tidak ada perbedaan jauh antara Islam dan Republik dalam

menyusun suatu pemerintahan karena kekuasaan yang dibangun pun berangkat

dari syariat Islam sebagai dasarnya.

3. Kemiskinan

Masyarakat yang berhasil memanfaatkan kesempatan yang tersedia akan

membuat hidup mereka sejahtera, namun bagi mereka yang tidak mampu akan

membuat mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan, di mana sulit bagi mereka

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sama halnya yang terjadi pada Kiram dan Jun

karena memiliki pendidikan yang rendah. Rendahnya pendidikan menunjukkan

adanya masalah kemiskinan dalam hal pendidikan karena penjajahan yang relatif

panjang sehingga belum ada kesempatan untuk negara membenahi diri. Terlebih

kembalinya kolonialisme Barat setelah kemerdekaan. Akibatnya, sulit bagi Kiram

dan Jun menjadi tentara Republik karena syarat utama harus berijazah sekolah

rakyat.

Kiai, ada selentingan hanya mereka yang punya ijazah dapat menjadi tentara.”

“Kamu punya?” “Ya, Kiai,” aku menjawab.“Ijazah sekolah rakyat. Tetapi Kiram dan

Jun tidak.”16

Munculnya masalah kemiskinan sebagai tema minor juga merupakan salah

satu faktor yang menyebabkan pejuang seperti tokoh Amid rentan terjebak dalam

orientasi hidup pasca kemerdekaan. Selain pendidikan rendah, faktor situasional

juga menjadi penyebab lain sulitnya pemuda merealisasikan tujuan mereka. Hal

ini disebabkan karena penyerangan yang dilakukan kelompok komunis, sehingga

menimbulkan kesalahpahamannya antara kelompok pemuda dan tentara Republik.

16 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 57.

Page 70: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

60

Akibatnya, mereka menjadi musuh Republik dan tidak lagi memiliki kesempatan

untuk bergabung dengan Republik. Padahal untuk wong cilik seperti Amid, Kiram

dan Jun, hal ini menjadi peluang baik untuk memberikan jaminan kehidupan yang

layak setelah berakhirnya jihad perang melawan tentara Belanda.

Dalam kondisi demikian, berkembangnya masalah yang dihadapi pemuda,

terlebih setelah menjadi Darul Islam semakin membuat pemuda kesulitan dalam

menjalani hidup. Hal ini karena faktor pekerjaan yang tidak dimiliki, serta stigma

negatif sebagai pemberontak yang menempatkan mereka dalam situasi ancaman

dan tekanan. Karenanya mereka harus bersembunyi di hutan dan sulit berinteraksi

dengan masyarakat luar. Situasi dan kondisi seperti ini semakin membuat pemuda

kesulitan mencapai kebutuhan hidup mereka yang menjadi tolak ukur kemiskinan.

4. Bertahan Hidup

Dalam kondisi tertentu pemuda harus memiliki strategi untuk dapat bertahan

hidup. Permasalahan ancaman dan tekanan dari tentara Republik akibat kekacauan

yang dibuat oleh gerombolan komunis membuat mereka terancam dengan tuduhan

sebagai pemberontak. Keadaan ini menuntut kelompok pemuda untuk bertindak

sesuatu agar kehidupan mereka tetap berlangsung. Untuk Amid, Kiram dan Jun

mereka cenderung memilih menjadi Darul Islam, mengikuti langkah Kang Suyud

yang sejak awal sangat ingin menjadi anggota kelompok tersebut. Kecenderungan

mengingat situasi mereka yang selalu terdesak, sehingga hal ini dianggap tepat

untuk melindungi mereka dari ancaman tentara Republik.

“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kami sudah resmi menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara Islam Indonesia.”17

Untuk dapat mempertahankan hidup, kelompok pemuda juga harus mampu

bertingkah laku sesuai tuntutan lingkungan di mana mereka tinggal. Kondisi hutan

Jati sebagai tempat persembunyian yang serba terbatas, terlebih dengan ancaman

yang tidak pasti membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan

untuk sekedar kebutuhan sandang dan pangan. Mereka harus memanfaatkan

sumber daya di tempat mereka tinggal untuk memenuhi hal tersebut. Sering kali

17 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 76.

Page 71: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

61

mereka juga terpaksa mencegat bus-bus yang lewat hanya sekedar “….bermaksud

merampas belanjaan yang mereka bawa.”18 Kondisi ini tidak terlepas dari masalah

kemiskinan yang dialami mereka. Dari persoalan ini dapat dilihat bagaimana para

pemuda sebagai Darul Islam mempunyai strategi sendiri untuk bertahan hidup

selama bersembunyi di hutan Jati. Jadi, apapun dilakukan oleh mereka, termasuk

melakukan tindakan kejahatan demi kelangsungan hidup mereka dari kemiskinan

dan ancaman pihak-pihak tertentu.

Konklusi dari cerita ini bahwa perubahan yang muncul setelah kemerdekaan

mempengaruhi kondisi sosial politik hingga menimbulkan kekacauan. Persoalan

ini tidak hanya berdampak secara individu pada pemuda, tetapi juga kelompok

yang menjadi masalah sosial seperti yang dapat dilihat dari tema-tema tersebut.

Hal inilah yang sengaja ingin diperlihatkan pengarang, di mana dengan tema ini

pembaca bisa memahami permasalahan sosial yang dialami bangsa Indonesia di

masa lalu yang akibatnya amat merugikan masyarakat saat itu.

2) Plot

Penafsiran tema di atas sebenarnya sangat bergantung pada unsur cerita lain,

salah satunya plot yang berisikan sederet peristiwa dengan berbagai konflik yang

turut mempengaruhi perubahan orientasi tokoh utama. Karena sebagai gagasan

umum, tema tidak disampaikan secara eksplisit. Tema hadir dalam cerita dibentuk

oleh plot yang menyajikan berbagai peristiwa yang dialami tokoh utama. Diilihat

dari tatanan penceritaannya, peristiwa-peristwa dalam novel ini terbagi dalam dua

bagian yang tersusun secara progresif regresif dengan urutan waktu yang tidak

linier. Peristiwa yang terjadi dituturkan oleh tokoh “Aku” sebagai pelaku utama.

Dari narasi “Aku” inilah, cerita lebih dulu dimulai dengan plot maju, selanjutnya

maju bercampur mundur dengan sorot balik yang cukup panjang. Untuk melihat

lebih jauh, maka akan dijelaskan pada tahapan plot berikut.

1. Tahap penyituasian

Pada awal kisah ini, tokoh Aku (Amid) sebagai pencerita tidak membuka

cerita dari tahap awal peristiwa, melainkan pelukisan latar yang mengimplisitkan

kegelisahannya sebagai laskar Darul Islam yang seharusnya berada di pertengahan

18 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 11.

Page 72: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

62

cerita. Cerita dimulai sekitar tahun 1957 ketika Amid sendirian menyusuri hutan

Jati setelah meloloskan diri dari kepungan tentara Republik saat menjenguk Kang

Suyud di salah satu rumah ilalang. Amid dengan jelas dan lugas menggambarkan

suasana alam hutan Jati yang sepi dan menyimpan banyak binatang dan tumbuhan

di dalamnya. Pengenalan latar hutan yang relatif panjang pada awal penceritaan

ini menunjukkan betapa kuat kepekaan dan pelukisan latar yang menjadi kekhasan

Ahmad Tohari sebagai pengarang, seperti diperlihatkan dalam kutipan berikut.

Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hujan jati adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Senyap selalu membuat aku merasa ateman yang hidup dan bertahan. Sepi yang terasa menyimpan ketidakpastian membuat aku dan teman-temanku harus selalu waspada. Atau kewaspadaan adalah darah kami sendiri; sebab tanpa kewaspadaan yang tinggi aku dan teman-temanku bisa habis oleh tembakan para penyergap yang tersembunyi di balik batang-batang jati dan belukar. Malah lebih dari itu, tanpa kewaspadaan yang terus melekat, bahkan ular bedudak yang banyak berkeliaran bisa merampas nyawa kami dengan cara yang begitu mudah. Sudah dua orang teman kami mati sia-sia karena patuka ular yang sangat berbisa itu.19

Di samping itu, sebagai kutipan pembuka pada bagian pertama, pemaparan

tentang latar hutan Jati yang menyiratkan kondisi tokoh utama dapat pula menjadi

acuan pembaca untuk memahami perasaan dan posisi Amid sebagai Darul Islam

yang selama bertahun-tahun menjadi buruan tentara Republik. Pelukisan suasana

latar sebagaimana kutipan di atas menguatkan gambaran kehidupan Amid yang

selalu merasa sepi, asing, tidak aman dan tidak pasti sesuai dengan situasi hutan

Jati sebagai tempatnya bertahan hidup. Kondisi ini membuat Amid harus selalu

berhati-hati akan bahaya dan ancaman yang dirasa begitu dekat dan bisa datang

kapan saja. Lewat permulaan inilah, pembaca secara emosional dapat merasakan

pengalaman Amid dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan

terjadi pada Amid nantinya sebagai Darul Islam.

2. Pemunculan konflik

Dari pengenalan latar dan tokoh, plot berlanjut diikuti kilas balik Amid yang

menceritakan berbagai peristiwa tertentu di masa lalu yang terjadi selama hampir

sepuluh tahun. Amid menceritakan pengalamannya setelah kejadian yang dialami

19 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1.

Page 73: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

63

berdasarkan ingatan-ingatan. Lamunan Amid melompat jauh ke belakang di tahun

1946 saat di usia 18 tahun ia mendapat perintah untuk membantu tentara Republik

berperang melawan Belanda. Kedatangan Belanda setelah kemerdekaan menjadi

ancaman besar bagi bangsa Indonesia karena akan kembali menduduki Indonesia,

sehingga muncul fatwa berjihad oleh seorang Hadratus Syekh dari Jawa Timur

yang mewajibkan seluruh orang Islam untuk menjaga negerinya sendiri yang baru

merdeka. Amid yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang situasi revolusi

merasa terkejut dan tidak mengira akan mendapat perintah berperang membantu

tentara Republik melawan Belanda karena melihat desa baik-baik saja selama ini.

Peristiwa itu merupakan konflik awal cerita ini yang dihadapi bangsa Indonesia,

yang juga berpengaruh pada kehidupan Amid sebagai santri yang terjebak ke

dalam arus revolusi Indonesia.

“Siap berperang, Kiai?” “Ya.” “Apa perang akan sampai ke desa kita?” Kiram menyodok igaku dengan sikunya. “Kiai, tetapi soal perang urusan tentara, bukan? “Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh

siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan khusus untuk para tentara. Nah, bagaimana?

”Ya, Kiai. Kami sami’na waatha’na. asal kiai memberi kami restu.”20

Sebagaimana alur campuran yang digunakan pengarang, peristiwa itu tidak

tersusun kronologis dengan peristiwa di tahap awal. Peristiwa di atas menjelaskan

mengenai bagaimana Amid bisa terlibat di dalam situasi revolusi yang seharusnya

berada di awal cerita sesuai dengan urutan waktu peristiwa. Meski merasa sangsi,

namun Amid bersama Kiram, tetap menerima perintah berjihad. Kesediaan Amid

untuk berperang bukan sebatas pada kepatuhan mutlaknya sebagai seorang santri,

melainkan rasa nasionalisme yang ditunjukannya sebagai pemuda. Fisik yang kuat

merupakan jaminan baginya bahwa ia mampu berperang melawan Belanda untuk

mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Maka dengan siap, ia menerima fatwa

jihad itu tanpa memikirkan akan seperti apa nantinya.

20 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.

Page 74: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

64

Konflik-konflik lainnya dialami oleh Amid setelah ia terlibat dalam perang

kemerdekaan. Banyak tokoh yang memicu terjadinya konflik sampai akhirnya

Amid mengalami disorientasi. Konflik muncul bermula dari kesempatan Kiram

menyandang senjata, yang kemudian mengajak Amid untuk membentuk barisan

pemuda. Perubahan pun muncul dari tingkah laku mereka yang menjadi nakal dan

urakan sehingga sangat meresahkan warga. Karena sikap itu juga mereka menjadi

musuh tentara Belanda karena berhasil membalas dendam dengan membunuh

mantri Karsum, seorang mata-mata Belanda.

Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, Jun dan Jalal membentuk barisan pemuda. Orang kampung menyebut kami “pemuda” saja, sebutan baru yang secara ajaib membuat kami merasa bangga. Tetapi sebutan itu juga membuat kami menjadi urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah, pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting.21

Peristiwa tersebut sebenarnya dinarasikan dalam sembilan halaman, namun

penggalan kutipan di atas dapat menunjukkan bagaimana senjata menjadi simbol

kejantanan dan harga diri pemuda. Pengisahan yang cukup panjang memusatkan

cerita pada usaha Kiram mempengaruhi Amid agar bisa menyandang senjata dan

kenakalan-kenakalan yang keduanya lakukan setelah membentuk barisan pemuda.

Dengan menyandang senjata, Amid dan Kiram tampak sekali ingin menunjukkan

kegagahan dan kemampuan mereka yang sudah sepadan dengan tentara Republik.

Bahkan dengan keberanian yang dimiliki bahwa posisi mereka ikut menentukan

dalam perang melawan tentara kolonial sehingga lebih dihormati oleh masyarakat.

Perubahan inilah yang menjadi landasan munculnya konflik yang dialami Amid.

3. Peningkatan konflik

Bagian ini adalah kelanjutan dari paparan pada tahap pemunculan konflik,

di mana konflik yang dialami Amid meningkat kadar intesitasnya ada pada bagian

ke dua novel. Setelah barisan pemuda, Amid membentuk Hizbullah di tahun 1948

atas desakan Kiram dan Kang Suyud yang secara resmi ingin memisahkan diri

dari pasukan Republik. Hal ini memicu perdebatan antara Kang Suyud dan Kiai

Ngumar. Kiai Ngumar menginginkan para pemuda berperang di bawah pimpinan

21 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 26.

Page 75: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

65

tentara Republik agar tetap bersatu dan kehidupan mereka terjamin. Sedangkan

Kang Suyud secara tegas menolak hal itu karena kecewa dengan perlakuan tentara

Republik yang tidak menyenangkan dan sebagian dari mereka beraliran komunis.

Perdebatan kedua kiai itu pun menimbulkan pergolakan di hati Amid yang harus

memilih antara kesetiakawanan pada teman-temannya atau keinginannya menjadi

tentara Republik sebagaimana harapan Kiai Ngumar.

“Suyud, sudah ku bilang Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka memimpin negeri ini di atas landasan yang telah disepakati para pemimpin, termasuk para pemimpin Islam. Maka pertanyaan seperti yang kamu ajukan tidak perlu ada. Kita tidak perlu memperhadapkan Islam dan Republik.”

“Jawab dengan jelas, Kiai!”Kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas.“Kiai memilih Islam atau Republik?”22

Ketegangan antara Kang Suyud dan Kiai Ngumar sebenarnya dikisahkan

dua kali selama sorot balik. Kedua peristiwa itu muncul di waktu yang berbeda

dengan interval sekitar satu tahun, namun dalam situasi yang hampir sama, yaitu

ketika Kang Suyud dengan tentu dan pasti menolak bergabung dengan Republik.

Dari bentuk pengulangan dan fokus penceritaan itu, Ahmad Tohari tampak ingin

memperlihatkan adanya perbedaan pandangan dalam perjuangan melawan tentara

kolonial. Perbedaan cara pandang yang cukup tajam antara keduanya disebabkan

oleh pemikiran dan pemahaman keagamaan keduanya yang bersebrangan. Hal ini

menimbulkan konflik dan sikap tidak toleren dari Kang Suyud sebagai muslim

ortodoks yang menuntut harus berkerja sama dengan orang Islam.

Setelah membentuk kelompok Hizbullah, perubahan yang signifikan lagi-

lagi dirasakan Amid. Hal ini merupakan konflik lain yang dihadapi Amid karena

hubungan dengan sekitarnya menjadi renggang. Tidak hanya dengan masyarakat

yang membuat Amid sulit mendapat pasokan logistik, tetapi juga dengan tentara

Republik yang semakin memburuk. Antara Hizbullah dan tentara Republik resmi

memiliki garis-garis komando sendiri-sendiri dalam melawan Belanda yang sering

kali memicu bentrokan akibat kesalahpahaman.

22 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 60.

Page 76: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

66

Perubahan yang terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil jarak dengan kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri. Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga hampir terjadi baku tembak.23

4. Klimaks

Permasalahan hidup yang senantiasa dihadapi Amid, serta pengaruh orang-

orang di sekitarnya membawa Amid semakin jauh dari tujuan awalnya selama ini.

Beranjak ke tengah cerita, konflik batin yang Amid alami mengalami pasang surut

bersamaan dengan peluang menjadi tentara Republik setelah kemunduran Belanda

di tahun 1949. Dalam perjalanan ke Kebumen, Amid dan kawan-kawannya justru

serangan senjata mendadak, yang berkecamuk dan berubah menjadi pertempuran.

Dugaan penyerangan mengarah pada gerombolan komunis yang tidak suka jika

Hizbullah masuk ke dalam pasukan pemerintah, dan sengaja ingin memperburuk

hubungan Hizbullah dan tentara Republik. Konflik pada diri Amid terus terjadi

hingga pada klimaksnya, Amid dianggap sebagai pemberontak karena tuduhan

sebagai dalang penyerangan. Peristiwa itu berpengaruh pada konflik batin Amid

sebab harapannya untuk menjadi tentara Republik bertolakbelakang dengan fakta

yang terjadi bahwa ia sudah menjadi musuh tentara Republik. Ia pun berada dalam

situasi yang sangat sulit, sebagaimana diungkapnya pada Kiai Ngumar.

“Tetapi, Kiai, diam-diam saya mengakui kebenaran kata-kata Kiram. Keadaan memang terlanjur jadi serba sulit. Tentara Republik sudah terlanjur menganggap kami pembemberontak, atau lebih buruk lagi.”24

“Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. Saya mau meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih memerlukan perlindungan Kiai, sebab seperti kata Kiram, sangat memungkinkan tentara Republik akan menangkap saya.”25

Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana kecemasan Amid setelah tuduhan

pemberontak. Hal ini diperburuk dengan ancaman dari tentara Republik yang akan

menangkap dan menghukumnya. Di sisi lain, keyakinan Amid untuk meletakkan

senjata menunjukkan bahwa keinginannya untuk hidup normal masih terus ada,

23 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 46. 24 Ibid., h. 68. 25 Ibid., h. 69.

Page 77: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

67

meskipun situasi tidak mendukung karena hubungannya dengan tentara Republik

semakin buruk. Apa yang terjadi pada Amid ini jelas memperlihatkan bagaimana

tekanan-tekanan revolusi berpengaruh pada kehidupan pemuda seperti Amid yang

tidak paham dengan situasi sosial politik yang terjadi. Karenanya ketidakamanan

dan kegelisahan terus dirasakan Amid. Keadaan ini yang kemudian dimanfaatkan

Kang Suyud dengan menyarankan Amid supaya bergabung dengan Darul Islam,

yang tidak lain untuk mendukung cita-cita politiknya.

“Ternyata tidak mudah menemukan Kiram dan Jun. Tetapi tanpa sengaja aku malah bertemu Kang Suyud pada hari ketiga, di surau kecil di sebuah desa di pinggir hutan, jauh dari kampung asal kami. Dan entahlah, pada pertemuan dengan Kang Suyud aku merasa tak sanggup lagi melepaskan diri pengaruhnya.”26

Seperti pada kutipan di atas, selain dari faktor situasional, disorientasi Amid

juga dipengaruhi tokoh lainnya, yaitu Kang Suyud yang berkeinginan mengikuti

organisasi Darul Islam. Meskipun bukan tokoh tipikal yang diakui keberadaannya

seperti Kiai Ngumar, akan tetapi Kang Suyud dengan perannya sebagai kiai muda

dianggap memiliki kapabilitas yang dinilai mampu memberikan jalan keluar untuk

Amid. Telebih di tengah kegalauannya saat itu hanya Kang Suyus yang ditemui

Amid. Dengan mengikuti Kang Suyud, Amid percaya menjadi Darul Islam adalah

pilihan tepat melindungi diri dari kekacauan situasi sosial politik saat itu.

Walaupun sudah menjadi Darul Islam, tidak lantas membebaskan Amid dari

masalah-masalah hidupnya. Sering kali ia merasakan pertentangan dalam dirinya

karena serangan tentara Republik dan aturan Darul Islam untuk menculuti siapa

saja yang menentang keberadaannya. Kegelisahan Amid semakin menguat ketika

muncul keraguan akan gerakannya tersebut. Ia mulai mempertanyakan faedah dari

aksinya selama ini, dan dalam situasi terdesak ia juga mempertanyakan ke mana

arah hidupnya kemudian.27 Kebimbangan, harapan-harapan, dan kerinduan untuk

untuk hidup normal muncul secara bersamaan. Dalam situasi terbelenggu inilah,

dapat ditegaskan betapa besarnya masalah-masalah yang dihadapi Amid sebagai

26 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 75. 27 Ibid., h. 12-13.

Page 78: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

68

Darul Islam, yang mengalami perubahan nasib harus hidup terombang ambing di

tengah tekanan dan ancaman di negeri sendiri.

5. Penyelesaian

Selanjutnya cerita beralih lagi ke masa kini yang mengindikasi alur ke akhir

cerita, di mana konflik-konflik yang terjadi mulai mendapat penyelesaian. Pada

tahap akhir ini, lebih dulu klimaks dileraikan dengan berita tertangkapnya khalifah

Darul Islam, yaitu Kartosuwiryo di tahun 1962. Kabar itu disampaikan oleh salah

seorang Darul Islam bernama Toyib dengan penuh gembira dan semangat. Hal ini

sekaligus menunjukkan akhir penantian panjang laskar Darul Islam terkait adanya

penyelesaian dari masalah yang mereka dihadapi selama bertahun-tahun ini.

“Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu, telah menempuh perjalanan yang bahaya untuk memberi kabar sesuatu yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam, penglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik.28

Peristiwa pada kutipan di atas secara logika bertalian erat dengan peristiwa

di tahap penyituasian. Dari waktu definitif yang ditunjukkan dapat dilihat bahwa

peristiwa tersebut terjadi setelah peristiwa di awal penceritaan ketika Amid lolos

dari serangan tentara Republik di tahun 1957. Peristiwa ini sekaligus berfungsi

menjawab pertanyaan pembaca di awal cerita bagaimana kehidupan Amid pada

akhirnya yang saat itu sebagai anggota Darul Islam. Ahmad Tohari menampilkan

peristiwa ini sebagai akhir dari penderitaan Amid dan kawannya, di mana dengan

tertangkapnya Kartosuwiryo hidup Amid tidak lagi terdesak, karena secara resmi

sudah tidak lagi menjadi laskar Darul Islam dan kembali ke masyarakat meskipun

harus melewati sanksi sosial dari masyarakat.

Di bagian akhir cerita, Ahmad Tohari memberikan penyelesaian yang tegas

dengan meninggalnya Amid pada peristiwa di tahun 1965, yang berkaitan dengan

peristiwa G 30 September di tahun yang sama. Peristiwa tersebut ditandai dengan

terbunuhnya beberapa Jenderal Angkatan Darat yang dilakukan oknum komunis.

Amid, Kiram dan Jun pun diminta oleh komandan militer untuk membantu tentara

28 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 118.

Page 79: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

69

Republik menumpas gerombolan komunis yang berdiam di hutan Jati Cigobang.

Mereka menjadi pembantu dan penunjuk jalan karena pengalaman mereka yang

pernah berdiam di hutan itu sewaktu menjadi Darul Islam. Perang kali ini dirasa

berbeda oleh Amid. Ia merasakan keharuan sebab kesempatannya bertempur atas

nama Republik. Namun, ini juga menjadi perang terakhir Amid. Tembakan tentara

Republik menjadi tragedi baginya karena harus mengakhiri perjuangannya.

“… Namun tak lama kemudian aku merasa pundak dan belikatku panas. Lalu aku tak kuasa lagi menggerakkan tangan kananku. Dan tiba-tiba kepalaku terasa pening dan mataku mulai berkunang-kunang.29

“…. Lalu duniaku bergoyang dan dalam rongga mataku hanya ada warna biru gelap dengan taburan ribuan bintang. Semuanya jadi terasa enteng dan melayang. Telingaku mendengar suara denging yang lembut dan datar. Kemudian entahlah, aku merasa diriku larut dan lenyap.30

Seperti dilihat dalam kutipan kedua, meninggalnya Amid dikisahkan sendiri

dengan penuh ketenangan. Dengan penceritaan yang lancar dan puitis, serta narasi

tempo yang lambat menekankan bagaimana Amid merasakan proses kematiannya

yang perlahan-lahan alam sadarnya hilang. Pengisahan demikian secara langsung

menarik perhatian dan mempertajam kesadaran pembaca untuk dapat merasakan

secara detail setiap hal yang dirasakan Amid dalam prosesnya menghembuskan

nafas terakhirnya. Dalam hal ini, penyelesaian cerita seperti itu merupakan bentuk

penyelesaian tertutup. Cerita sepenuhnya diselesaikan pengarang, sehingga tidak

ada kesempatan bagi pembaca untuk ikut mengimajinasikan atau mengkreasikan

bagaimana penyelesaiannya.

Pengaluran dengan alur campuran membuat cerita yang dikisahkan tidak

sejalan dengan tatanan cerita seharusnya. Hampir sebagian peristiwa diceritakan

melalui kilas balik yang dilihat dari latar waktu yang disebutkan secara konkret.

Hal ini dilakukan tokoh Amid sebagai bentuk perenungan atas masalah yang terus

dihadapi, sehingga peristiwa penting lebih banyak ada di sorot balik. Sementara

peristiwa awal dan akhir berfungsi sebagai kerangka untuk membicarakan masa

silam Amid yang menyebabkan dirinya bisa terjebak dalam pergolakan revolusi.

Dengan penceritaan demikian, maka dapat dilihat bagaimana masalah Amid yang

29 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 134. 30 Ibid., h. 136-137.

Page 80: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

70

dihadapinya begitu rumit mempengaruhi karakternya yang berkembang seiring

dengan peristiwa yang dialami.

3) Tokoh dan Penokohan

Keberadaan tokoh menempati kedudukan yang sangat penting, sebab peran

tokoh menggerakkan serangkaian peristiwa dan konflik yang dikisahkan. Hal ini

memperlihatkan kerterkaitan antara unsur alur dengan tokoh yang berperan dalam

cerita. Dalam novel ini, Ahmad Tohari menyuguhkan beberapa tokoh cerita untuk

mengembangkan peristiwa dengan perwatakan yang berbeda-beda berdasarkan

pandangan tokoh utama. Tokoh utamanya adalah “Aku” yang terlibat utuh dalam

cerita. Sedangkan tokoh tambahan lainnya seperti Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai

Ngumar dan Umi bertindak sebagai tokoh tambahan yang mendukung penokohan

tokoh utama. Kejelasan penokohan dari tokoh-tokoh tersebut dapat dilihat melalui

sikap, cara berpikir, dialog ataupun tindakan-tindakan yang digambarkan Ahmad

Tohari, yang merujuk pada kualitas pribadinya, sebagaimana dalam pemaparan

berikut.

1. Tokoh Aku (Amid)

Tokoh “Aku” dalam cerita ini adalah Amid, tokoh utama yang mengalami

banyak permasalahan sosial sampai akhirnya mengalami disorientasi hidup. Pada

awalnya, Amid adalah seorang pemuda santri, yang pada usia 18 tahun ia turut

berjuang melawan Belanda di awal revolusi sekitar tahun 1946. Amid mempunyai

seorang istri bernama Umi dan anak perempuan yang oleh paraji diberi nama Sri

Sengsara karena terlahir dalam kondisi penuh kesulitan hidup. Dengan perannya

yang dominan sebagai tokoh sentral sekaligus pencerita, Amid dengan bijaksana

menceritakan pengalaman hidupnya dalam sejumlah peristiwa, sehingga menjadi

sorotan di sepanjang cerita.

Proses pengenalan watak Amid sebenarnya sudah dipaparkan di awal cerita,

yang dipersonifikasikan Ahmad Tohari lewat pelukisan suasana hutan yang sunyi

dan terpencil sebagai gambaran kondisi yang dihadapinya sebagai Darul Islam.

Karakter itu berbeda ketika di awal keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan.

Dilihat dari kilas baliknya, karakter Amid digambarkan secara dramatik sebagai

santri yang taat, patuh dan lugu. Sifat Amid yang taat dan patuh tercermin dari

Page 81: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

71

namanya sendiri yang dalam bahasa arab “Hamid” berarti memuji. Ketika Amid

mendapat perintah dari Kiai Ngumar untuk berperang membantu tentara Republik

melawan tentara Belanda, ia dengan siap menerima perintah itu. Hal itu dilakukan

sebagai bentuk kepatuhan terhadap kiai yang dihormatinya,31 karena seorang

santri wajib menerima dan mematuhi apapun perintah kiainya.

Terkait perang, Amid tidak memiliki banyak pengetahuan, ataupun keadaan

yang terjadi saat itu, di mana masyarakat ramai-ramai berperang melawan tentara

Belanda. Hal ini karena memang di desanya belum mengalami banyak perubahan,

yang ia diketahuinya hanya Indonesia sudah merdeka dari jajahan Jepang. Perang

diibaratkan Amid seperti perkelahian yang bisa dihadapi dengan ilmu silat yang

dimiliki. Anggapan ini muncul karena perang yang dilihatnya dulu di tahun 1942

tidak begitu mengerikan, maka bayangan Amid tentang perang berubah cepat saat

ia mulai mengalaminya. Amid merasakan takut dan gentar karena suasana perang

yang makin mencekam, seperti diungkapnya secara langsung berikut.

…. Aku hanya bisa meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan menggunakan berbagai senjata. Nah bila perang memang seperti berkelahi, aku merasa siap karena sudah belajar silat.32

Namun siang ini aku terbawa arus ketegangan yang kian mencekam. Orang-orang tak putus-putusnya memandang ke sebuah bukit kecil agak jauh di utara…”33

… Aku benar-benar takut. Kiram menekan punggungku agar aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malam membuat aku takut. Mataku berkunang-kunang. Terasa ada air hangat mengucur diselangkanganku. Samar, karena mataku makin berkunang-kunang, dari balik semak-semak aku melihat dua truk mendekat.34

Ketakutan Amid boleh dikatakan merupakan hal yang wajar untuk pemuda

seusianya yang belum pernah berperang secara langsung. Dilihat dari situasi yang

getir dan penampilan fisik Amid selama terjadinya perang menunjukkan intesitas

ketakutan yang mendalam, sehingga sulit untuk Amid mengontrol dirinya. Hal ini

sekaligus turut menggiring pembaca untuk merasakan kegelisahan yang dihadapi

Amid dalam melawan tentara Belanda.

31 Lihat catatan kaki nomor 8. 32 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17. 33 Ibid., h. 21. 34 Ibid., h. 24.

Page 82: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

72

Karakter lain yang tampak dari seorang Amid adalah sosoknya yang tidak

tegas dan sulit menentukan suatu hal. Ia tidak mampu mengungkapkan pikirannya

atau menolak secara tegas hal apapun yang bertentangan dengan dirinya. Hal ini

terjadi ketika Kiram, Jun dan Kang Suyud ingin membentuk barisan pemuda dan

kemudian membentuk Hizbullah di tahun 1948, di mana sebenarnya Amid lebih

ingin bergabung dengan Republik.

“Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan? Di zaman seperti ini, seorang pemuda yang tidak punya senjata adalah

anak bawang. Pemuda seperti itu bukan apa-apa. Iya, kan? Aku ciut. Senyumku pahit karena penghinaan yang tidak bisa

kusanggah.35

“Ya, saya setuju,” jawabku.“Sebaiknya kita bergabung dengan mereka karena jumlah kita tak banyak.”

“Mid, kamu jangan macam-macam. Kalau tak kuberi, kamu tak akan punya bedil. Kamu akan tetap jadi anak bawang,” kata Kiram.36

Ekspresi yang diperlihatkan Amid secara tidak disadari menyiratkan adanya

penolakan dari dalam dirinya, namun tidak mampu mengatakannya secara nyata.

Karena sifat itu pula, Amid sering kali dianggap seperti anak bawang yang tidak

mengerti apa-apa. Terlebih dengan sikap ketergantungan Amid pada Kiram, sebab

hanya Kiram yang meminjamkan Amid senjata, sehingga tidak mudah bagi Kiram

mempengaruhinya. Amid hanya mengikuti apapun yang dikatakan dan dilakukan

kawan-kawannya, meski sering kali bertentangan dengan batinnya dan merubah

kecenderungannnya. Sifat itulah yang banyak berpengaruh pada krisis kejiwaan

Amid dalam menentukan pilihan hidupnya.

Karakter Amid dikuatkan dengan beberapa peristiwa yang dialaminya dan

turut merubah orientasinya. Terbentuknya Hizbullah dan serangan di lokomotif

semakin memperburuk hubungannya dengan pasukan tentara Republik. Peristiwa

itu membakar emosi Amid karena merasa dikhianati oleh tentara Republik yang

tidak ingin Hizbullah masuk ke dalam pasukan pemerintahan.

Sungguh membingungkan. Yang jelas apapun latar penyerangan itu, di antara ratusan anak Hizbullah yang seluruhnya bersenjata lengkap

35 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 30. 36 Ibid., h. 37.

Page 83: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

73

meletup: perasaan yang sama: dikhianati. Aku, Kiram dan Jun pun merasa yang sama: dikhianati.

Nada suara Amid menunjukkan kemarahan dan kekecewaan yang sangat

dalam sebab peluangnya menjadi tentara Republik harus pupus. Karena ini, sulit

bagi Amid untuk mempercayai tentara Republik. Peristiwa ini bersifat fungsional

yang berpengaruh pada perubahan orientasi Amid, di mana setelah peristiwa itu

Amid bingung harus bertindak apa. Pertemuannya dengan Kang Suyud memaksa

mengikuti Darul Islam sebab tidak ada pilihan lain baginya. Peristiwa ini menjadi

titik awal Amid bergabung dengan Darul Islam.

Dengan cerita kehidupannya yang kompleks, terlihat pula perkembangan

watak Amid sebagai tokoh utama. Setelah menjadi laskar Darul Islam, pengarang

menjadikan Amid pribadi yang berani dari sebelumnya yang selalu merasa takut

untuk melakukan hal-hal kekerasan ataupun kejahatan. Perubahan watak Amid ini

dipengaruhi oleh keadaan latar cerita. Hidup di hutan Jati Cigobang yang penuh

ancaman dan tekanan memaksa Amid untuk bertahan hidup dengan caranya

sendiri. Amid harus berani merampok untuk memenuhi kebutuhan pokok. Hal

tersebut sebagai cara untuk menghidupi dirinya sebagai wong alasan yang tampak

secara analitik seperti berikut.

“…Yang kami harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa.”37

Bertahan-tahun hidup dalam ancaman dan tekanan Republik mengharuskan

Amid melindungi dirinya sendiri, yang ditunjukkan ketika Amid berada dalam

situasi ancaman yang pilihannya ditembak atau menembak. Hal ini semakin Amid

dilematis dengan perasaan keraguan, kebingungan dan rasa tidak berdaya terus

meningkat. Perasaan itu digambarkan secara analitik oleh Amid sendiri setelah ia

menembak seorang militer yang ternyata selalu ingin dekat Tuhannya.

“….Sementara itu, aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu diingatnya melalui tasbih dan Qurannya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa Gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan

37 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 11.

Page 84: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

74

khidmatnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit ku mengerti.”38

Cara Amid berbicara dengan dirinya sendiri menunjukkan kesangsian Amid

terhadap gerakan Darul Islam yang selama ini diikutinya. Dapat dilihat bagaimana

Amid mempertanyakan manfaat dari aksi gerakannya selama ini. Bila Darul Islam

menerapkan pesan Islam, lalu mengapa harus membedil dan membunuh seorang

ulama yang dapat dikatakan menjalankan hukum Islam secara sempurna hanya

karena tidak mendukung Darul Islam. Lantas atas dasar apa gerakan Darui Islam

dilakukan. Hal ini menjadi klimaks perasaannya setelah menjadi Darul Islam atas

konflik yang tidak dipahaminya.

Penggambaran Amid sebagai tokoh utama menunjukkan bahwa ia tidak

hanya memiliki satu kualitas pribadi. Di awal cerita, pengarang menggambarkan

Amid sebagai pemuda santri yang lugu, polos yang tidak paham situasi dan arti

revolusi kemudian menjadi sosok yang berani melawan. Sikap, tindakan dan

keputusan Amid banyak dipengaruhi orang-orang di sekitarnya yang di antara

mereka mempunyai cita-cita sendiri sehingga membawa pada permsalahan sosial,

selain faktor situasional saat itu. Hal ini menjadikan Amid sebagai tokoh dinamis

dan kompleks yang mengalami perubahan sikap seiring dengan konflik-konflik

yang dialami.

2. Kiram

Kiram adalah teman Amid sejak masa kanak-kanak. Ia juga murid silat Kiai

Ngumar. Bersama Amid, Kiram mendapat perintah berperang membantu tentara

Republik melawan Belanda. Dalam cerita ini, Kiram adalah tokoh yang senatiansa

bersama dengan Amid mulai dari berjuang melawan Belanda sampai bersembunyi

di hutan Jati selama terjebak dalam kemelut revolusi.

Melalui penuturan tokoh Amid, karakter Kiram sangat kuat sebagai pemuda

yang ambisius, meskipun tidak banyak pengetahuan yang diketahuinya. Dari awal

tekadnya kuat untuk bisa menyandang senjata layaknya tentara Republik. Hal ini

dapat dilihat dari penuturan Kiram secara langsung kepada Amid, yang dikuatkan

dengan beberapa sikap yang diperlihatkannya berikut.

38 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 13.

Page 85: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

75

“Mid, dalam perang juga ada acara menebang pohon? Bila hanya mengayun kapak seperti di rumah sendiri aku pun bisa melakukannya.”

“Kamu jangan berisik.” “Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka.” “Jangan berisik. Kamu mungkin akan mereka beri senjata bila kamu

sudah menggunakannya.”39

“... Mata Kiram hampir tak pernah lepas dari senjata yang disandang setiap tentara yang lewat di dekatnya.”40

… Aku terkejut ketika melihat Kiram bersikukuh hendak memiliki senjata itu. Kukira ketegangann akan segera terjadi apabila Kiai Ngumar tidak turun tangan.41

Selain kekecewaan karena perang tidak terjadi sesuai harapannya, semangat

Kiram saat melihat senjata tentara Republik yang secara analitik dituturkan Amid

makin menunjukkan cita-citanya memiliki senjata. Hal ini karena selain untuk

berperang, peran penting senjata saat itu juga dapat menunjukkan kegagahan dan

harga diri pemiliknya. Namun, posisi Kiram yang hanya sebagai pemuda yang

diperbantukan membuat dirinya tidak diperbolehkan menyandang senjata. Kiram

merasa dianggap remeh. Terlebih dengan perlakuan tentara Republik yang pernah

menghinanya buta huruf, seperti diceritakan Kiram berikut: “Dan mereka pernah

menghina saya karena saya buta huruf.” Penghinaan tersebut mendorong Kiram

untuk berani mencuri senjata milik tentara Belanda. Dalam hal ini, apapun akan

dilakukan Kiram untuk mewujudkan keinginannya, maka tampak perubahan dan

kualitas mental Kiram ketika sudah berhasil menyandang senjata, yang secara

analitik dituturkan Amid seperti kutipan berikut.

“Kiram tampak Bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat bangga, dan memang Kiram sangat gagah.”42

“…. Tetapi Kiram, mungkin karena sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah, sering nakal. Kiram sering menggoda Asui, gadis cina pemilik toko di depan pasar. Ulah Kiram ini mengundang kebencian Hianli, paman Asui. Kata orang, karena kebencian itu Hianli membalas dendam kepada Kiram.”43

39 Ahmad Tohari, Op. cit., 20. 40 Ibid., h. 21 41 Ibid., h. 25. 42 Ibid., h. 26. 43 Ibid.

Page 86: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

76

Tidak hanya perubahan secara fisik sebagai pemuda pertama di desa yang

menyandang senjata buatan Amerika, perubahan Kiram juga tampak pada tingkah

lakunya yang menjadi urakan. Kenakalan Kiram karena adanya motivasi untuk

membuktikan dirinya akibat kekecewaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang

diterimanya. Hal itulah yang mempengaruhi pola pikir Kiram sehingga melakukan

tindakan di luar rasionalnya sebagai wujud luapan jiwa mudanya yang dipenuhi

emosi dan hawa nafsu.

Sifat keberanian dan kenakalan Kiram menjadikannya sosok yang dominan

diantara kawannya, Amid dan Jun. Ia memiliki power untuk mengatur jalannya

barisan pemuda. Namun, hal itu tidak menutup sifat baik Kiram yang memberikan

Amid kesempatan untuk menyandang senjata. Kebaikan Kiram sebenarnya bukan

tanpa maksud. Selain memang kesetiakawanannya, hal ini dimanfaatkan Kiram

untuk mengendalikan Amid agar dapat mengikuti perintah atau keinginannya,

yang dapat buktikan pada kutipan berikut.

“…. Tapi kiram juga baik hati, setidaknya terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan kepadaku dan Jun untuk mengenal senjatanya dan berlatih menggunakan meski tanpa peluru. Dalam beberapa kali pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami menggunakan senjata Kiram itu secara bergantian.”44

“Mid, kamu jangan macam-macam. Kalau tak kuberi, kamu tak akan punya bedil. Kamu akan tetap anak bawang,” kata Kiram tajam.45

Penggambaran Kiram yang cenderung statis dengan perannya sebagai tokoh

tambahan tidak menunjukkan perubahan yang tajam sebagaimana terlihat. Akan

tetapi, betahun-tahun mengalami banyak peristiwa dan tanpa kepastian bukanlah

persoalan yang mudah. Dapat dipastikan sebagai manusia Kiram juga merasakan

lelah dan bosan dengan situasi yang terus dihadapi.

“Begini, Mid. Aku bukan tidak memahami hal-hal yang kamu katakan tadi. Tetapi masalahnya tidak gampang. Bahkan seandainya kamu mau menyerahkan diri dengan cara baik-baik pun, masalahnya tetap tidak akan gampang. Kamu lupa dengan cerita teman-teman kita yang tertangkap?

44 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 26. 45 Ibid., h. 37.

Page 87: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

77

Mereka dibunuh. Bahkan yang menyerahkan diri pun tetap tidak lebih baik nasibnya.46

Kiram menginginkan kehidupan yang pasti, namun sebagaimana dijelaskan

ada banyak alasan dan pertimbangan untuk tidak menyerahkan diri. Kiram paham

bahwa tidak mudah begitu saja menyerahkan diri pada Republik, sebab akan ada

konsekuensi yang tidak mudah diterimanya. Tidak ada jaminan yang pasti untuk

laskar Darul Islam dapat hidup bebas meskipun sudah meletakkan senjata, maka

Kiram konsisten pada prinsipnya untuk tetap berdiam di hutan Jati yang menjadi

tempat persembunyiannya.

3. Jun

Sama halnya Amid dan Kiram, Jun adalah salah satu pemuda yang terbawa

arus sosial politik di masa revolusi. Jun hanyalah tokoh tambahan dalam cerita ini.

Sosok Jun sendiri tidak digambarkan secara detail oleh narator, terlebih intensitas

kemunculannya yang tidak banyak terlihat dibanding dengan Amid dan Kiram.

Namun dari sepintas kemunculannya, karakter Jun digambarkan secara dramatik

oleh tokoh Amid melalui tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa Jun adalah

pribadi yang penurut. Gambaran sikap penurut Jun dapat dilihat dari beberapa

penggalan kutipan berikut.

“Kamu tolol. Jun dan Jalal sudah ku ajak bicara dan mereka setuju.”47

Kiram keluar dengan wajah sangat pahit dan Jun mengikutinya. Aku memperlihatkan mereka dengan hati amat masgul. Aku tetap tegak sampai dua temanku itu lepas dari halaman dan menempuh jalan kampung ke arah barat. Dugaanku sangat kuat, pastilah Kiram dan Jun akan menemui Kang Suyud.48

Karakter Jun yang penurut membuatnya mengikuti siapa saja yang mampu

menyakinkan dirinya, yang dalam hal ini cenderung lebih mengikuti Kiram. Hal

tersebut karena kesamaan latar pendidikan keduanya yang rendah, yang membuat

Kiram dan Jun memiliki pemahaman yang sama. Selain itu, bahwa Kiram

memilki power yang lebih dibanding Amid dalam kelompok pemuda, sehingga

kecenderungan Jun mengikuti setiap langkah Kiram menjadi hal yang wajar.

46 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 14. 47 Ibid., h. 34. 48 Ibid., h. 68.

Page 88: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

78

Selain sifat-sifat tersebut, Jun adalah sosok pemuda yang tegas dan lugas.

Sifat itu dapat dilihat dari perilaku Jun yang secara dewasa meminta Amid untuk

menikahi Umi. Sikap Jun ini berdasarkan penilaiannya secara objektif bahwa usia

Amid yang sudah dewasa dan Umi yang tidak lagi anak-anak, sehingga bila ingin

menjadi walinya Amid harus menikahi Umi, seperti diungkap Jun dalam dialog

berikut.

“Mid, aku menghargai kemauan baikmu. Namun Umi tidak bisa lagi dibilang anak-anak dan kalian bukan muhrim.

“Maksudmu?” “Jangan pura-pura tak tahu maksudku,” jawab Jun. “Kalau kamu bersungguh-sungguh ingin melindungi Umi sebaiknya

kalian menikah. Aku bilang Umi bukan anak-anak lagi, apalagi kamu.”49

Dari pelukisan yang singkat, Ahmad Tohari menghadirkan tokoh Jun untuk

melengkapi Kiram. Kehadiran Jun dengan karakternya yang begitu sama dengan

Kiram pun semakin mendukung dan menekankan sifat Amid yang lemah. Berada

di antara teman-temannya yang keras, lugas dan tidak sepemikiran dengannya,

membuat Amid tidak mampu menentang perintah atau keputusan yang dibuat

mereka sehingga terjebak dalam disorientasi.

4. Kang Suyud

Kang Suyud merupakan seorang imam di sebuah mesjid besar. Sosok Kang

Suyud adalah gambaran kiai muda yang sangat kental dengan pemikiran agama

yang kolot. Pandangan seperti itu membawanya pada sikap keras yang terlihat

ketika Kang Suyud menolak arahan bergabung dengan Republik dan menentang

pemikiran Kiai Ngumar dalam memandang Islam, sebagaimana dalam beberapa

penggalan dialog berikut.

“Ya. Kami tidak ingin bergabung dengan tentara republik,” jawab Kang Suyud.“Kami ingin membentuk pasukan sendiri yang semua anggotanya sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara yang tidak melakukannya. Malah saya tahu dengan jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung adalah adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938.”50

49 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 94. 50 Ibid., h. 37.

Page 89: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

79

“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.”51

“Namun mereka juga bekerja sama dengan orang-orang di luar Islam, sementara Kartosuwiryo tidak.”52

Penolakan Kang Suyud tersebut tidak lain karena pemahaman agama yang

dianggapnya benar. Pemahaman ini diperoleh dari gurunya sewaktu di pesantren,

yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir Kang Suyud yang sempit,

sehingga sulit menerima ajaran-ajaran lain yang diberikan kepadanya. Dengan

kebenaran yang dipahaminya, ia bisa menentang siapapuun yang tidak sepaham

dengannya.

Keinginan Kang Suyud yang sangat kuat untuk mengedepankan ajaran

Islam yang dipahaminya menunjukkan bahwa ia juga memiliki ambisi yang tinggi

dengan perannya sebagai kiai. Dan adanya gerakan Darul Islam menjadi peluang

Kang Suyud untuk mewujudkan tujuannya tersebut. Maka apapun dilakukannya,

termasuk ketika harus meninggalkan keluarganya dan memengaruhi Amid untuk

mengikuti Darul Islam dengan mengatasnamakan agama. Dalam situasi seperti

itu, tampak bahwa agama untuk Kang Suyud bukan lagi soal ajaran keimanan

melainkan sebuah cita-cita, seperti kutipan berikut.

“Mid, sekarang kamu mau apa? Kamu tak punya jalan lain kecuali ikut aku. Dulu aku pun sudah bilang, selama ada anak-anak komunis dalam pasukan Republik, aku tak mau bergabung dengan mereka. Sekarang kejahatan mereka terbukti, bukan?”53

“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal sudah bergabung. Kami resmi menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara Islam Indonesia.”54

Peran yang ditampilkan Kang Suyud menjadikan tokoh ini tipikal karena

dianggap mewakili kaum muslim ortodoks di masa revolusi Indonesia yang sangat

menjunjung tinggi ajaran Islam. Tokoh ini sangatlah berpengaruh di zamannya

karena mampu menggerakkan dan menyatukan kelompok dalam Islam dengan

51 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 59. 52 Ibid., h. 59. 53 Ibid., h. 75. 54 Ibid., h. 75-76.

Page 90: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

80

tujuan menentang pemerintahan yang ada. Hal yang sama dilakukan Kang Suyud

ketika membentuk kelompok Hizbullah dan kemudian bergabung dengan Darul

Islam karena tidak sepaham dengan tentara Republik. Akan tetapi, hidup yang

sepenuhnya diberikan untuk Darul Islam justru membawa Kang Suyud pada nasib

yang tidak diharapkan. Bertahun-tahun ia harus hidup terlunta dan menjadi buruan

tentara, bahkan meninggal dan dimakamkan dalam kondisi memprihatinkan.

Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud. Semua serba sahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah suasana normal di kampung; pasti ratusan orang akan mendoakan dan mengiringi mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini kami akan kubur dia dengan cara seadanya, bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat.55

Kematian Kang Suyud sebagaimana kutipan di atas menunjukan ambisinya

selama ini berakhir dengan kesia-siaan dan kesengsaraan. Apa yang terjadi pada

Kang Suyud tentu akan berbeda jika ia lebih terbuka dan menerima, serta tidak

berambisi untuk mengemukakan ajaran Islam menjadi sebuah dasar negara, sama

halnya yang dicita-citakan gerakan Darul Islam. Maka dalam hal ini, pengarang

tampak tidak hanya menggambarkan Kang Suyud dengan kualitas pribadi yang

dimilikinya, tetapi konsekuensi yang mungkin terjadi pada tokoh seperti Kang

Suyud.

Sebagaimana kemunculannya, peran Kang Suyud cukup berpengaruh dalam

perubahan orientasi Amid. Sebagai tokoh tambahan, porsi penceritaan Kang

Suyud tidaklah banyak, namun kefanatikannya terhadap Islam menjadi salah satu

faktor yang berhasil membuat Amid mengikuti gerakan Darul Islam yang pada

akhirnya membawa Amid pada kesengsaraan.

5. Kiai Ngumar

Kiai Ngumar termasuk dalam tokoh tambahan yang digambarkan secara

sederhana melalui penuturan Amid. Ia merupakan seorang kiai dan guru silat yang

sangat dihormati Amid. Di usia mudanya, Kiai Ngumar pernah menjadi anggota

Sarekat Islam (SI) sebelum perkumpulan itu pecah menjadi SI Putih dan SI Merah

55 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 7.

Page 91: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

81

karena mendapat pengaruh paham komunis. Meski begitu, ia tidak sama sekali

membenci ataupun menjauhi orang-orang komunis.

Dalam cerita ini, Kiai Ngumar memainkan peran tipikal sebagai kiai yang

tidak hanya kharismatik, tanggung jawab, dan bijaksana, tetapi juga memberikan

ilmu, membimbing dan menasehati terutama dalam masalah kehidupan. Sebagai

penasihat spiritual Amid, ia selalu menasihati Amid untuk bergabung dengan

tentara Republik agar tidak terombang ambing sebagai wong alasan dan memiliki

kehidupan yang lebih baik dengan adanya jaminan dari pemerintah, sebagaimana

diungkapnya berikut.

“Kalau hanya itu pertimbangan kamu, apakah tidak bisa dipikirkan lagi? Pertama, karena sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran komunis. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tentang masa depan kalian sendiri. Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”56

Secara dramatik sikap Kiai Ngumar menunjukkan tanggung jawabnya yang

ingin kehidupan Amid agar terus pada kebaikan. Ia menginginkan kelompok

pemuda bisa berkerja sama dengan siapa saja tanpa membedakan golongan Islam

atau bukan. Apa yang dilakukan Kiai Ngumar berbanding terbalik dengan sikap

Kang Suyud yang juga sebagai kiai, yang diam-diam justru lebih mengutamakan

kepentingan pribadinya. Sikap Kiai Ngumar ini secara implisit menunjukan

bahwa ia memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap santri-santrinya.

Pengalaman Kiai Ngumar, serta pengetahuannya yang dimiliki selama ia

berorganisasi menjadikannya sosok kiai yang memiliki intelektual. Kiai Ngumar

mampu berpikir tajam menggunakan akal budinya melihat suatu permasalahan.

Hal ini terbukti dari pemikirannya dalam memandang orang Islam dan pribumi

dahulu, yang secara analitik dikatakan sebagaimana kutipan berikut.

“Artinya, selam adalah sebutan untuk yang tinggal dari Aceh sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dul, di mata orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam.57

56 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 38. 57 Ibid., h. 38.

Page 92: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

82

… Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya. Ya kewajiban sembahyang tidak datang dari seseorang untuk orang lain. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa kepada orang lain karena aku tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan suatu hak Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?”58

Pemikiran Kiai Ngumar yang terangkum dalam kutipan di atas jelas sekali

bertolak belakang dengan latar belakangnya dulu sebagai anggota SI Putih yang

seharusnya lebih mendukung Amid membentuk kelompok Hizbullah, menjunjung

semangat Islam dalam membentuk suatu negara. Bila dipahami, pandangan ini

menyiratkan pemikiran Ahmad Tohari sebagai pengarang yang nasionalis. Lewat

tokoh Kiai Ngumar, pengarang mencoba menanggapi permasalahan yang sering

kali terjadi di masyarakat, di mana sebagian orang masih tampak membedakan

dan menilai sesuatu yang tidak berhak dinilainya. Dalam hal ini, ibadah atau tidak

untuk mereka tetap sama sebagai masyarakat pribumi dan orang Islam.

Tidak hanya itu sosok Kiai Ngumar juga tampak ketika Hizbullah gagal

melebur ke Republik karena serangan yang dilakukan kelompok komunis. Karena

peristiwa ini juga, Amid mendapat tuduhan pemberontak dan buronan Republik.

“Kiai, sekarang apa yang pantas kami lakukan?” aku bertanya. “Istirahatlah di sini sampai suasana agak jernih. Dan yang terpenting

jangan teruskan permusuhan kalian dengan tentara Republik. Jangan.” “Tetapi mereka memusuhi kami?” potong Kiram.

“Kini kami mereka sebut pemberontakan. Malah saya juga sangat yakin mereka akan mengejar sampai ke sini.”

“Ya aku mengerti,” kata kiai Ngumar mencoba meredam kemarahan Kiram. “Namun aku ingin berusaha menjadi perantara buat kalian dan mereka.”

“Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?” “Bismillah, akan kucoba.”59

Kebijaksanaan dan tanggung Kiai Ngumar memang sudah menjadi sifat

yang melekat pada dirinya. Secara dramatik terlihat pula kesabaran Kiai Ngumar

menyikapi masalah yang terus-menerus dihadapi Hizbullah, meskipun ia sendiri

juga merasa kesedihan karena dialah yang memberikan peluang tersebut.

58 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 42. 59 Ibid., h. 67.

Page 93: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

83

Sejauh penceritaannya, Kiai Ngumar adalah sosok orang tua yang hormati

meskipun beberapa sarannya sempat diabaikan. Meskipun begitu, tanggung jawab

Kiai Ngumar tidak pudar begitu saja bahkan ketika Hizbullah membentuk diri

menjadi Darul Islam. Dalam situasi sulit yang dialami Amid ia tetap memberikan

rasa aman atau perlindungan kepada Amid meskipun tubuhnya sudah ringkih.

6. Umi

Umi berperan sebagai tokoh tambahan yang diceritakan sebagai istri Amid,

seorang Darul Islam. Ia merupakan anak seorang imam Darul Islam bernama Kiai

Had yang meninggal dalam persembunyian di Goa saat usia umi beranjak lima

belas tahun. Kematian ayahnya menjadikan Umi gadis malang karena harus hidup

sebatang kara di tengah tekanan revolusi. Kesedihan dan ketakutan dialami Umi

tergambar dari “tatapan matanya yang kekanak-kanakan selalu mengundang rasa

iba.”60 Kondisi ini menimbulkan rasa kasihan Amid untuk memberinya rasa aman

dengan menikahinya.

Kehadiran Umi sebagai istri Amid cukup berpengaruh pada penokohan

Amid sebagai tokoh utama yang selalu gelisah dan ingin hidup normal berkumpul

bersama keluarganya. Setelah menikah, Umi sengaja ditinggalkan Amid di tempat

kerabat Umi agar ia tidak mendapat kesulitan seperti suaminya, terlebih saat ini

Umi tengah hamil besar. Namun hal ini menjadi beban tersendiri bagi Umi yang

harus jauh dari suaminya. Umi ingin selalu di dekat Amid, seperti diperlihatkan

dalam kutipan berikut.

“Aku mau melahirkan di mana saja, asal kamu ada di dekatku.” Umi terisak. Hatiku makin pepet karena aku merasa tak mudah

mengabulkan permintaan Umi, betapapun permintaan itu sangat wajar.61

Kutipan tersebut menyiratkan bahwa Umi membutuhkan perlindungan di

tengah kondisi yang dialaminya. Sikap tersebut juga menunjukkan kesetiaan Umi

sebagai seorang istri, bahwa di mana pun suaminya berada, ia ingin selalu

menemani dan berbakti. Meski begitu tidak mudah menghadirkan Umi di tengah

kelompok Darul Islam yang hidup terlunta-lunta. Namun dengan kepolosannya,

60 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 100. 61 Ibid., h. 104.

Page 94: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

84

Umi mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan laskar Darul Islam lainnya

sehingga cukup menenangkan hati Amid, seperti diungkapkan Amid berikut.

“…. Untung Umi tak pernah mengeluh. Ia bisa tidur nyenyak di atas rumput kering yang kulapisi sehelai kain. Siang hari Umi boleh tinggal di pos untuk menanak nasi dan menyiapkan minuman kami. Dan tak kuduga sebelumnya, Kiram dan Jun berubah sikap. Mereka bisa ramah dan santun terhadap istriku.”62

Penuturan Amid secara langsung memperlihatkan keikhlasan dan kesabaran

Umi hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Kehadiran Umi juga mampu

mengisi kekosongan di dalam kelompok Hizbullah. Sikap keibuan Umi dalam

mengurus keperluan kelompok berhasil melunturkan sikap Kiram dan Jun yang

sebelumnya menolak keberadaan Umi. Mereka seolah mendapat keteduhan

seorang ibu rumah tangga di dalam sebuah rumah.

Seperti yang ditakutkan Amid, Umi melahirkan dalam kondisi yang tidak

diharapkan. Kondisi ini justru semakin menguatkan sosok Umi yang mungkin

berbeda dengan perempuan seusianya, di mana terlihat ketabahan Umi yang harus

melahirkan di tengah hutan yang penuh kesulitan. Tampak dirinya sangat tenang

sampai akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang dinamai Sri Sengsara.

Apa boleh buat, ku harus siap melayani kelahiran bayi Umi seorang diri. Kalaulah ada sesuatu yang membesarkan hati, itulah sikap Umi. Ia kelihatan tabah. Ia menggigit bibirnya ketika perutnya terasa melilit.63

Penamaan Sri Sengsara sebenarnya lebih ditujukan pada bayi perempuan

Umi yang harus lahir dalam situasi kesengsaraan. Namun, kehadiran Sri Sengsara

setidaknya dapat menjadi bukti gambaran kehidupan Umi seperti yang sudah

dipaparkan sebelumnya bahwa Umi tidak pernah menikmati ketentraman. Ia

menerima semua yang dihadapkan padanya termasuk ketika harus melahirkan di

tengah hutan. Hal ini karena Umi terbiasa hidup dalam kesulitan sejak mengikuti

ayahnya sewaktu menjadi laskar Darul Islam.

Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam novel ini memiliki peran dan

karakter yang kuat. Antara tokoh utama dan tokoh tambahan memang memiliki

peran yang berbeda, namun keberadaan tokoh utama tidak bisa dipisahkan dari

62 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 105. 63 Ibid., h. 112.

Page 95: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

85

dukungan tokoh tambahan. Hubungan keduanya dapat dilihat dari bagaimana

tokoh cerita saling membentuk dan mempengaruhi tokoh lainnya, seperti halnya

Kiram dan Kang Suyud yang membangun konflik dan mempengaruhi orientasi

Amid sebagai tokoh utama, yang dapat dilihat melalui pemilikiran, sikap, dan

tindakan yang dilukiskan pengarang. Penciptaan tokoh-tokoh yang berbeda

4) Latar

Tidak hanya dengan plot, antara tokoh dan latar cerita memiliki keterkaitan

erat, yang sebenarnya jika ketiga unsur ini dirangkum menjadi satu dinamakan

fakta cerita yang membentuk suatu karya sastra. Dalam relevansinya, pengarang

menghadirkan tokoh cerita dengan segala persoalan kehidupannya memerlukan

latar sebagai pijakan berlangsungnya peristiwa yang dialaminya. Peristiwa yang

terjadi akan diperjelas kapan, di mana dan seperti apa suasana atau kondisi sosial

budaya yang melingkupinya. Penggambaran latar secara jelas dan konkret akan

mengesankan cerita menjadi realistis, seolah-seolah apa yang dialami tokoh cerita

benar-benar ada dan terjadi. Dalam analisis ini, deskripsi latar akan dibataskan

pada latar waktu, tempat dan sosial yang mendukung jalannya cerita.

1. Latar tempat

Secara garis besar peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita, berlatar di

tanah Jawa, meliputi beberapa kota diantaranya Banyumas Purwokerto, Bumiayu,

Somalungu, Cirebon, Cilacap, Wangon, Gunung Ceremai, Muara Citandui, dan

Hutan Jati Cigobang. Latar tempat berpindah-pindah, namun tidak semua bersifat

fungsional dan sama pentingnya. Beberapa tempat hanya disebutkan atau sekadar

menjadi pijakan peristiwa, yang apabila dipindahkan ke tempat lain tidak cukup

merusak keutuhan cerita. Dengan ini, pemaparan latar tempat hanya difokuskan

pada latar tempat-tempat yang mendominasi dan mempengaruhi jalannya cerita.

Dalam lingkup yang lebih kecil latar tempat bermula dari kota Banyumas

yang menjadi daerah kediaman Amid ketika ia diperintahkan berjihad oleh Kiai

Ngumar. Di awal perjalanannya, Amid sampai di kota Purwokerto, sebagai kota

pertama yang ditempati ketika membantu tentara Republik di tahun 1946. Secara

geografis kota ini berada di selatan yang menjadi kabupaten Banyumas, Jawa

Tengah. Penggambaran latar tidak secara menunjukkan ciri-ciri yang dimiliki kota

Page 96: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

86

tersebut. Latar tersebut hanya menunjukkan tempat persinggahan Amid dan para

pemuda yang nantinya akan mereka mendapat latihan kententaraan, sebagaimana

kutipan berikut.

Sampai di Purwokerto kami dihimpun di sebuah gedung madrasah milik Al Irsyad. Kulihat kira-kira ada dua ratus pemuda berkumpul di sana. Kami beristirahat sejenak dan ketika magrib aku mendengar berita bahwa besok pagi kami akan mulai mendapat latihan ketentaraan. Namun selepas isya berita itu berubah cepat; kami harus berangkat untuk membantu pasukan Brotosewoyo yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Dalam suasana yang berjarak 43 kilometer dari Purwokerto.64

“Ya. Mencegat iring-iringan tentara Belanda yang hendak masuk ke Purwokerto dari arah tegal.”65

Perjalanan Amid berlanjut ke kota Bumiayu yang berjarak 43 kilometer dari

Purwokerto. Di kota Bumiayu ini, Amid mendapat perintah membantu pasukan

Brotoswoyo, yaitu pasukan tentara Republik resmi untuk mencegat jalan pasukan

tentara Belanda yang akan menduduki wilayah Purwokerto dari arah Tegal.

Seperti dalam kutipan di atas, kekhasan kedua kota itu sebagai latar cerita tidak

digambarkan pengarang secara detail sehingga menjadikan latar bersifat netral.

Latar tempat selanjutnya adalah kota Somalangu, sebuah desa di daerah

Kebumen, Jawa Tengah. Daerah ini menjadi tempat pelarian Amid dan pasukan

Hizbullah lainnya ketika mendapat serangan dalam perjalanan ke Kebumen untuk

bergabung ke Republik pasca Belanda mundur di tahun 1949. Terjadi perdebatan

di antara pasukan Hizbullah terkait dalang penyerangan itu. Dalam hal ini, latar

tempat hanya hanya disebutkan secara fisik nama, sehingga tidak mempengaruhi

pemplotan ataupun karakter tokoh Amid, seperti tergambar dalam kutipan berikut.

“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu, di sana terjadi perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka yang menyerang .Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin punya perilaku sekotor itu.”

Dari semua latar tempat yang sudah dikemukakan sebelumnya, hutan Jati

Cigobang merupakan latar paling dominan dan terpenting dalam perjalanan hidup

tokoh utama. Penggambaran hutan Jati Cigobang sebenarnya sudah dijelaskan di

64 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 18. 65 Ibid., h. 19.

Page 97: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

87

awal cerita dengan karakteristik hutan yang sepi, sunyi dan penuh bahaya sebagai

pengenalan cerita. Secara geografis, lokasi hutan Jati Cigobang terletak di wilayah

timur Cirebon, di dekat sungai Cisanggarun yang membatasi Jawa Barat dan Jawa

Tengah. Latar hutan ini bersifat fungsional karena menjadi tempat persembunyian

dan bertahan hidup selama menjadi Darul Islam, sekaligus pusat penceritaan

Amid dalam mengisahkan permasalahannya.

“Aku berjalan sendiri, menanjak bukit yang tertutup kelebatan hutan jati, menyusuri jalan tikus yang biasa dilewati para pencuri kayu. Segala inderaku siap menangkap setiap suara atau gerakan yang paling halus sekalipun. Bahkan perasaanku sudah sangat terbiasa mengenali datangnya suasana yang berbahaya. Sekelilingku tetap remang karena sinar matahari hampir tak mampu menembus kelebatan hutan. Hanya pada bagian-bagian tertentu tampak serpih cahaya jatuh lurus dan membuat pendar pada daun-daun kering yang berserakan di tanah. Selebihnya adalah teduh atau bahkan remang.”66

Deskripsi hutan Jati secara visual dengan memperlihatkan realitas alam dan

sifat-sifat hutan yang khas menjadikan latar hutan Jati terlihat realistis. Kekuatan

pelukisan latar dapat dilihat dari beragam tumbuhan dan binatang yang diangkat

Ahmad Tohari. Penggambaran demikian secara tidak langsung memperlihatkan

keselarasan tokoh dengan lingkungan hidup, serta citra-citra yang menunjukkan

suasana hati tokoh utama yang terbiasa dengan dengan kondisi hutan Jati yang

menjadi tempatnya bersembunyi selama bertahun-tahun. Bahkan semua ancaman

dan serangan dialami Amid terjadi di hutan Jati Cigobang. Keadaan ini pun turut

mempengaruhi pembentukan karakter Amid. Seperti dalam penokohan Amid,

hidup di hutan Jati dengan segala kondisinya berhasil membentuk karakter Amid

dari yang sebelumnya penakut berubah menjadi sosok yang berani. Hal ini karena

kondisi hutan tersebut mengharuskan Amid siap melindungi diri terhadap bahaya

yang datang kapan pun. Karena inilah Amid terbiasa dengan situasi hutan yang

tidak pasti.

Latar hutan Jati sebenarnya tidak hanya dijadikan pengarang sebagai basis

pertahanan Darul Islam, tetapi juga sebagai pangkalan gerombolan komunis. Latar

hutan yang luas, sepi dan tidak banyak hunian menjadi tempat yang tepat sebagai

66 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1-2.

Page 98: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

88

tempat persembunyian, terutama untuk kelompok-kelompok buruan atau yang

melakukan tindak kejahatan agar mereka aman dari serangan atau penangkapan.

Hal ini menjadikan latar hutan dominan di antara latar tempat lainnya, karena

selain menjadi pusat penceritaan latar hutan juga menjadi pusat peristiwa yang

dialami tokoh cerita.

2. Latar waktu

Sehubungan dengan latar waktu, Ahmad Tohari dalam LTLA mengaitkan

beberapa peristiwa dengan fakta sejarah masa itu yang terjadi pada masa revolusi

Indonesia dalam rentang tahun 1946 sampai 1965. Identifikasi waktu dapat dilihat

dari penyebutan tahun secara definitif yang sekaligus menegaskan plot campuran

yang digunakan pengarang untuk memaparkan peristiwa, di mana cerita tidak

dimulai dari awal terjadinya peristiwa melainkan dengan kegelisahan Amid yang

hidup terpencil dan terasing sebagai Darul Islam. Dalam hal ini, penyebutan tahun

tertentu lebih banyak menceritakan kilas balik Amid sebagai tokoh sentral tentang

pengalaman dan perasaannya dari berperang melawan tentara Belanda sampai

akhirnya terlibat dalam gerakan Darul Islam yang dianggap sebagai pemberontak.

Maka demikian, latar waktu akan dipaparkan secara berurutan dari awal terjadinya

peristiwa.

Berawal di tahun 1942, Ahmad Tohari menunjukkan waktu ini melalui kilas

balik Amid yang muncul ketika membantu tentara Republik berperang melawan

tentara Belanda di tahun 1946. Ingatan tersebut muncul sebagai gambaran dan

renungan Amid tentang perang yang diketahuinya karena dirasa berbeda ketika

terlibat secara langsung dalam peperangan.

Dulu di tahun 1942, kota kecil Wangon di bom Jepang dari udara. Sebuah rumah kena, tetapi akibatnya tidak begitu mengerikan. Namun siang ini aku terbawa arus ketegangan yang kian mencekam.67

Seperti diungkap Amid dalam kutipan tersebut, perang yang dilihatnya dulu

tidak begitu menakutkan, berbeda ketika Amid mengalaminya. Seketika dapat

dirasakan bagaimana perubahan perasaan Amid yang terbawa situasi perang yang

menegangkan dan mencekam. Terlebih waktu siang hari, di mana pandangan para

67 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 21.

Page 99: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

89

tentara sangat fokus untuk menembaki lawan. Dengan pelukisan seperti itu, latar

tahun terkesan realistis karena mampu memberikan kesan kepada pembaca seolah

peristiwa itu faktual.

Maret tahun 1946, muncul dipertengahan bagian pertama. Masih dalam

kilas balik Amid, tahun itu mengisahkan masa remaja Amid sekaligus merupakan

tahun awal keikusertaan Amid berperang melawan Belanda sesuai perintah Kiai

Ngumar. Ketika itu, Amid berusia 18 tahun tidak memiliki wawasan yang luas

tentang revolusi karena belum merasakan adanya perubahan di desanya mendapat

perintah berperang sebagai kewajiban umat Islam untuk melawan Belanda.

Maret 1946. Ketika itu usiaku 18 atau 19, sudah empat tahun tamat Vervolk School.

Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwa. Isinya, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam.68

Ketipikalan waktu itu berkaitan dengan sejarah kembalinya Belanda pasca

kemerdekaan Indonesia. Keinginan Belanda untuk kembali menduduki Indonesia

mendapat reaksi keras dari ulama-ulama besar saat itu, sehingga mengeluarkan

fatwa jihad untuk rakyat Indonesia berperang melawan tentara Belanda agar tidak

lagi mendapat penindasan dari bangsa yang dianggap kafir. Maka tahun itu pun

menjadi awal keterlibatan Amid dalam situasi revolusi Indonesia dengan tujuan

ingin mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai wujud kepatuhan dan rasa

nasionalismenya.

Selanjutnya di Tahun 1948, Amid dan tiga pemuda lainnya membentuk

kelompok Hizbullah, yaitu kelompok perlawanan rakyat yang sifatnya sukarela

setelah mereka menolak bergabung dengan tentara Republik. Peresmian kelompok

Hizbullah bertempat di kediaman Kang Suyud yang dilakukan dalam suasana

sederhana dan kekeluargaan, mengingat tentara kolonial yang masih melakukan

penyerangan sehingga tidak banyak persiapan yang dilakukan.

Di pertengahan tahun 1948, Barisan Pemuda, nama asal-asalan yang kami berikan buat kelompok kecil pasukan sendiri, sah menjadi Hizbullah.69

68 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16. 69 Ibid., h. 45.

Page 100: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

90

Tepat di desember tahun 1949, peran Amid dan pemuda lainnya melawan

tentara Belanda berakhir karena Belanda secara resmi mengakui kedaulatan

Indonesia. Hal ini yang secara resmi juga membuat Amid dan pemuda lainnya

tidak lagi menjadi musuh Belanda, seperti diungkapnya dalam kutipan berikut.

Pada bulan Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik dan kami anggota Hizbullah, secara resmi tak punya musuh lagi.70

Bila dikaitkan dengan peristiwa sejarah, latar waktu tersebut bersifat tipikal

yang menandai berakhirnya penjajahan Belanda di era revolusi Indonesia. Seperti

kutipan di atas, Ahmad Tohari menjadikan latar tahun itu sebagai penyelesaian

konflik pemuda dengan tentara Belanda, serta penghubung untuk memunculkan

masalah baru yang dihadapi Amid yang berujung pada perpecahan internal bangsa

Indonesia terkait sistem pemerintahan yang akan diberlakukan.

Tahun 1954-1957. Tahun 1954 masih menceritakan kilas balik Amid terkait

kondisi laskar Darul Islam yang masih banyak pengikutnya. Di tahun itu, masih

banyak orang yang bergabung dengan Darul Islam ketika menempati wilayah

Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui. Akan tetapi tiga tahun

berikutnya, Amid harus kehilangan setengah dari kawannya di Darul Islam yang

cukup berpengaruh pada perasaannya, sebagaimana dalam kutipan berikut.

Tiga tahun lalu, di tahun 1954, ketika kami mulai bergerak dari timur untuk menempati wilayah segitiga Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui, kukira jumlah kami dari seribu orang.….Dalam waktu kuang dari tiga tahun berikutnya kami kehilangan lebih dari setengahnya.71

Pada kutipan di atas tidak disebutkan secara konkret tahunnya, namun pada

potongan kalimat dalam waktu kuang dari tiga tahun berikutnya menunjukkan

cerita berlanjut ke tahun 1957, yang mana Amid mulai merasakan berkurangnya

laskar Darul Islam karena sebagian dari mereka lebih memilih melarikan diri.

Kondisi ini mempengaruhi penokohan Amid sekaligus membawa pembaca untuk

melihat bagaimana perubahan perasaan Amid yang merasa cemas dan gelisah

melihat laskar Darul Islam yang semakin menipis dalam waktu singkat.

70 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 55. 71 Ibid., h. 9.

Page 101: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

91

Tahun 1962, menjadi tahun pembebasan Amid dan pemuda lainnya sebagai

laskar Darul Islam. Di tahun itu, Amid tidak lagi menjadi laskar Darul Islam dan

kembali ke masyarakat setelah ada kabar tertangkapnya pemimpin tertinggi Darul

Islam, yaitu Kartosuwiryo.

Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu, telah menempuh perjalanan yang bahaya untuk memberi kabar sesuatu yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam, penglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik.72

Secara faktual, tahun tersebut menjadi akhir dari kasus Darul Islam di Jawa

Barat, maka hal yang sama juga ditunjukkan Ahmad Tohari dalam novel LTLA.

Sebagaimana dalam ulasan plot, waktu peristiwa itu dijadikan pengarang sebagai

pemecahan masalah yang dihadapi tokoh Amid yang secara resmi tidak lagi

menjadi Darul Islam. Hal ini sekaligus menunjukan sifat fungsional latar waktu

tersebut yang digunakan sebagai penyelesaian konflik yang dialami Amid sebagai

Darul Islam yang harus menjadi buruan tentara Republik selama bertahun-tahun.

Terakhir tahun 1965 menjadi titik akhir cerita LTLA sekaligus juga titik

akhir masa revolusi Indonesia. Ahmad Tohari menggambarkan tahun ini dengan

mengangkat peristiwa penembakan beberapa jenderal angkatan darat di Jakarta

yang diduga dilakukan kelompok komunis.

Dan puncak kekisruhan terjadi pada tahun 1965, ketika aku mendengar berita yang simpang siur bahwa ada makar di Jakarta. Beberapa Jenderal Angkatan Darat terbunuh.Berita itu terus berkembang. Akhirnya radio memberitakan bahwa yang berada di belakang gerakan itu adalah orang-orang komunis.73

Pelukisan latar waktu di tahun itu memiliki kesesuaian dengan peristiwa

sejarah sekitar pemberontakan G30 September di tahun 1965. Tahun itu menjadi

puncak kekisruhan revolusi yang dipicu aksi-aksi dari kelompok komunis yang

berusaha menjatuhkan pemerintahan. Para tentara Indonesia berusaha menumpas

kelompok komunis, tidak terkecuali yang di daerah, seperti yang dilakukan Amid,

Kiram dan Jun. Mereka diminta membantu menumpas gerombolan komunis di

72 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 118. 73 Ibid., h. 130.

Page 102: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

92

hutan Jati yang menjadi tempat persembunyian selama ini. Latar waktu tersebut

menjadi tipikal sekaligus fungsional, karena tidak hanya menunjukan peristiwa

sejarah tetapi juga menjadi tumpuan untuk mematikan tokoh Amid sebagai akhir

cerita ini yang tertembak dalam perang melawan gerombolan komunis di hutan

Jati Cigobang, tempat persembunyian Darul Islam dan kelompok komunis selama

menjadi buruan tentara Republik.

3. Latar sosial

Di lain hal, novel ini memberikan gambaran yang kuat dan detail pada suatu

keadaan atau peristiwa dan pada proses-proses yang konkret yang berlangsung di

dalamnya. Hal ini tampak dalam gambaran mengenai cara hidup, adat istiadat,

kebiasaan, kedudukan tokoh-tokoh dan perilaku kehidupan sosial masyarakat di

suatu tempat yang melatarbelakangi novel LTLA. Keadaan masyarakat yang

digambarkan merupakan keseluruhan latar cerita, yang tentunya berhubungan

dengan latar waktu dan tempat. Mengenai hal itu, dalam masyarakat muslim Jawa

mengenal adanya pembedaan status sosial antara kiai dan santri yang juga melekat

dalam cerita ini. Pembedaan status sosial tersebut umumnya berada dalam struktur

sosial pesantren. Seorang kiai dianggap memiliki pengetahuan yang lebih tentang

agama yang tidak dimiliki orang biasa. Dengan kelebihan yang dimiliki, seorang

kiai akan lebih dihormati dan dianggap menjadi panutan bagi santrinya. Adanya

status sosial itu ditandai dengan pemakaian bahasa arab antara Amid dan Kiai

Ngumar, seperti dalam dialog berikut.

“Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan?”

“Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”74

Latar lokal novel ini diperjelas oleh sikap Amid sebagai santri yang patuh

melaksanakan sepenuhnya perintah Kiai Ngumar untuk berperang melawan

tentara Belanda. Sikapnya itu tentu tidak lepas dari segala yang telah diajarkan

pesantren yang menganggap bahwa perintah kiai akan menuntun santri pada

kebaikan. Seorang santri dituntut untuk mematuhi apapun yang diperintahkan kiai

tanpa bertanya lebih jauh apalagi menolak, sebagai bentuk penghormatan dan

74 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.

Page 103: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

93

ketaatan seorang santri terhadap kiainya. Ketaatan santri ini dipandang sebagai

suatu manifestasi ketaatan mutlak, yang juga dipandang sebagai ibadah,75 serta

timbal balik kepada kiai yang bertahun-tahun mengabdi untuk mengajarkan santri

pengetahuan agama.

Perihal yang menyatakan kehidupan sosial masyarakat Jawa, yang juga

digambarkan Ahmad Tohari adalah cara hidup dan tradisi atau kebiasaan yang

dilakukan. Sebagian masyarakat Jawa terutama kaum wong cilik masih bermata

percaharian sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini karena

kurangnya pendidikan dan keahlian yang dimiliki, serta sistem feodalisme yang

masih diterapkan.

….Humanya, yang sesungguhnya merupakan bagian tanah kehutanan, digarapnya dengan sangat baik. Makdisan menanam singkong, jagung dan palawija. Pada masa panen, istri dan anak-anaknya yang tinggal di kampung sering dibawanya ke huma. Dan sebagai ganti uang sewa kepada pemangku tanah kehutanan, Madiksan memberikan sebagian hasil panennya kepada mandor jati.76

Bagi petani yang tidak memiliki tanah sendiri seperti tokoh Makdisan, ia

memilih memanfaatkan lahan hutan dengan sistem sewa atau bagi hasil dengan

pengelolan hutan. Hasil panen akan dijual dan dibagikan kepada pengelola

sebagai biaya sewa pemakaian lahan. Melalui tokoh Makdisan ini, Ahmad Tohari

tidak hanya menggambarkan cara hidup orang Jawa, tetapi juga menunjukkan

realitas sosial bahwa masih adanya kaum petani yang harus hidup dalam

kemiskinan, meskipun secara resmi negara sudah merdeka dari kaum penjajah.

Sementara itu, tradisi masyarakat Jawa yang tergambar dalam novel LTLA

ialah masih mempercayai paraji, sebutan untuk dukun yang membantu proses

kelahiran, seperti yang dialami Umi. Di tengah kondisi hutan yang terbatas, paraji

dipercayai dapat menolong kelahiran Umi, terlebih dengan biaya yang tidak

murah dan peran paraji yang tidak sekedar membantu tetapi juga mendampingi.

….Ucapan pertama Mbok Nikem setelah melihat keadaan Umi segera membuktikan bahwa dia adalah seorang paraji sejati. Kemarahannya kepada kami yang telah menculiknya dengan kasar segera hilang setelah dia

75 Iva Yulianti Umadatuh Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri Pada

Masyarakat Muslim, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No.2, Oktober 2011. 76 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 96.

Page 104: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

94

berhadapan dengan seorang perempuan yang sangat mengharapkan pertolongannya.77

Dapat dilihat bahwa laskar Darul Islam memiliki cara dan kebiasaan sendiri

untuk mendapatkan paraji. Mereka turun langsung ke desa untuk menculik paraji

dan memasukan ke dalam karung. Cara ini dilakukan agar pos rahasia Darul Islam

tidak diketahui siapapun, sehingga tempat persembunyian mereka di hutan tetap

aman, baik dari tentara Republik ataupun gerombolan komunis.

Selain unsur-unsur di atas, kondisi sosial LTLA juga diwarnai pergolakan

revolusi dimulai dengan terjadinya perang besar di kota Surabaya, yang menjadi

simbol perlawanan nasional. Kembalinya Belanda tak lama setelah proklamasi

kemerdekaan membuat rakyat dicekam ketakutan bahwa Belanda akan kembali

menduduki Indonesia. Keadaan ini belum sepenuhnya dirasakan rakyat Indonesia

karena pergolakan revolusi pada mulanya hanya terjadi di kota besar, namun

secara cepat kekacauan itu juga dialami masyarakat pedesaan. Hampir seluruh

rakyat Indonesia saat itu mengobarkan semangat perlawanan membela tanah air.

Dari ulama bahkan mengeluarkan fatwa jihad yang hukumnya fardlu ‘ain bagi

orang-orang Islam yang dinilai efektif untuk membakar semangat juang mereka.78

Siang dan malam rakyat Indonesia berjuang menunjukkan kekuatan berperang

dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan dari tangan bangsa kolonial.

“Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwa.Isinya, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam.”79

Pada waktu yang sama, muncul beberapa gerakan pemberontakan, seperti

Darul Islam dan komunis yang sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Indonesia

merdeka. Masing-masing kelompok ini memiliki ideologi dan tujuan tersendiri

yang awalnya untuk menentang keberadaan kolonial Belanda perlahan berusaha

meruntuhkan pemerintahan untuk menggantikan otoritas Republik. Isu ini yang

77 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 114. 78 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan

Meneggakkan Indonesia (1945-1949), (Ciputat, Pustaka Kompas, 2014), h. 205. 79 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16.

Page 105: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

95

kemudian memunculkan beragam aksi pemberontakan yang akhirnya berlanjut

pada konflik internal di dalam tubuh Republik Indonesia.

“Begini, Kiai. Ada berita di seberang Citandui bahwa Kartosuwiryo dan kawan-kawannya bermaksud membangun sebuah negara Islam.”80

…. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif.81

Penggambaran kondisi sosial masyarakat pada waktu itu sungguh terlihat

nyata. Konflik-konflik yang terjadi pasca kemerdekaan membuat situasi semakin

tidak stabil. Kondisi ini berpengaruh pada sikap pemuda seperti Amid yang tidak

paham dengan makna revolusi harus terseret dalam gejolak arus revolusi. Amid

terpaksa menjadi laskar Darul Islam untuk melindungi diri dari ancaman tentara

Republik akibat kerusuhan yang dibuat kelompok komunis. Ketika menjadi laskar

Darul Islam, ia harus mengikuti aturan Darul Islam termasuk melakukan bertindak

jahat dan brutal kepada orang-orang yang menentang gerakan Darul Islam.

Sebagai akibatnya, Amid harus hidup dengan pergolakan batin dan terombang-

ambing karena ancaman dari pihak Republik yang akan menangkap para laskar

Darul Islam. Sebab, selain kelompok komunis, Darul Islam menjadi gerakan yang

berpengaruh dalam menciptakan kekacauan dengan permberontakan dilakukan,

yang bertujuan menggantikan kekuasaan dengan bentuk Negara Islam Indonesia.

Secara keseluruhan penggambaran latar menggambarkan situasi masyarakat

pasca kemeredekaan Indonesia yang dikonkretkan dengan penyebutan latar waktu.

Pelukisan latar waktu itu sekaligus menunjukan waktu kesejarahan yang dialami

bangsa Indonesia di periode revolusi sekitar tahun 1946-1965. Hal ini menjadikan

latar waktu bersifat dominan dibanding latar tempat. Dari latar yang dikemukakan

Ahmad Tohari, dapat dilihat pula berbagai peristiwa sejarah dan kekisruhan yang

terjadi akibat perebutan kekuasaan pemerintahan yang akibatnya berpengaruh

pada kehidupan wong cilik seperti Amid yang terjebak dalam pergolakan revolusi.

80 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 58. 81 Ibid., h. 65.

Page 106: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

96

5) Sudut Pandang

Tokoh “Aku” dalam cerita LTLA mengacu pada dua peran, yaitu bertindak

sebagai pencerita dan tokoh utama. Sebagai keduanya, ia menempatkan dirinya di

dalam cerita yang mengisahkan berbagai peristiwa yang dialaminya, baik bersifat

maupun fisik dalam dirinya maupun hubungan sesuatu di luar dirinya, sehingga

terlibat secara langsung di dalam cerita. Seperti yang sering kali dijelaskan, cerita

dikisahkan dari kaca mata “Aku”, seorang pemuda santri bernama Amid yang ikut

terlibat dalam gerakan Darul Islam. Hal ini dikarenakan pengetahuan Amid yang

terbatas tentang masalah sosial politik yang terjadi dan makna perjuangan, apalagi

makna revolusi. Dengan perannya sebagai pencerita yang terlibat secara langsung

dalam cerita, semua cerita akan berkonsentrasi pada diri tokoh Amid sendiri dan

hal-hal diluar dirinya yang dianggap penting.

“Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik menarik, suatu pertentangan yang mulai mengembang dalam hatiku.Seorang lelaki, militer baru kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia ku habisi nyawanya. Sementara itu, aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu diingatnya melalui tasbih dan Qurannya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa Gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmatnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit ku mengerti.”82

Pemilihan “Aku” sebagai pencerita sekaligus tokoh sentral memungkinkan

dirinya secara terbuka menceritakan pengalaman hidup dari apa yang dilihat dan

dipahaminya. Bahkan melalui sudut pandang “Aku”, pembaca dapat merasakan

pergulatan batin yang dirasakan tokoh Amid yang mungkin hanya diketahui dan

dirasakan oleh Amid sendiri. Seperti pada kutipan di atas, Amid dihadapkan pada

konflik batin yang sulit dipahaminya. Ia membunuh seorang militer yang ingin

selalu dekat dengan Tuhannya, sementara ia juga menyembah Tuhan yang sama

dengan militer itu. Maka Amid pun mulai mempertanyakan kepada dirinya sendiri

atas dasar apa gerakan Darul Islam yang dilakukannya selama ini. Perasaan Amid

ini dapat dipastikan merupakan rahasia dirinya dan tidak diketahui tokoh lain.

Sebagai pencerita, perasaan Amid itu merupakan hal wajar bila diceritakan, sebab

82 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 12.

Page 107: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

97

ia seperti berbicara dengan dirinya sendiri, berbeda ketika perasaan itu diceritakan

dengan sudut pandang “Dia”.

Dalam batas tertentu, penuturan dengan sudut pandang “Aku” sebenarnya

tidak membebaskan tokoh utama masuk ke dalam batin atau perasaan tokoh-tokoh

lainnya dan menceritakannya secara gamblang. Hal ini menjadi keterbatasan dari

tokoh utama sebagai pencerita. Akan tetapi, tokoh “Aku” masih memiliki peluang

untuk bercerita tentang tokoh lain sebatas pada apa yang dilihat dan pandangan

subjektifnya. Kutipan di bawah ini misalnya, menunjukan bagaimana pendapat

Amid sebagai pencerita sekaligus tokoh utama mengenai kematian Kang Suyud

sebagai salah satu kiai yang dihormatinya.

…. Ya, sia-sia meskipun aku tahu dalam kelompok kecil laskar gerakan kami, Kang Suyud akan menjadi martir tanpa keraguan. Maka mungkin aku hanya seorang yang diam-diam menganggap kematian Kang Suyud kesia-siaan. Juga, diam-diam aku mulai meragukan hak kemartiran atas kematian orang-orang dari gerakan kami, termasuk Kang Suyud.83

Pendapat Amid mengenai Kang Suyud merupakan pandangan subjektifnya

berdasarkan apa yang diketahuinya, dilihatnya, diamatinya dan dipahaminya, yang

menunjukkan ketidakberdayaan dan kesengsaraan seorang kiai. Hal itu dirasakan

Amid yang mana sebagai seorang kiai desa di sebuah mesjid besar kematian Kang

Suyud seharusnya mendapat penghormatan yang layak dengan ratusan doa

mengiringnya sampai ke liang kubur. Namun, pada kenyataannya Kang Suyud

harus dikuburkan serba sahaja dan hanya iringian doa dari Amid, Kiram dan Jun.

Dengan kata lain, kemartiran Kang Suyud yang selama ini sepenuhnya diberikan

untuk gerakan Darul Islam justru yang membawanya pada ketidakberdayaan dan

kesia-siaan.

Dari sudut pandang “Aku” melalui penuturan tokoh Amid dapat diketahui

bagaimana para pemuda atau pejuang bisa terseret arus politik di masa revolusi,

sampai terlibat dalam dalam gerakan pemberontakan seperti Darul Islam. Bahkan

lebih mendalam dapat merasakan pengalaman dan pergolakan orang-orang Darul

Islam yang sebenarnya mengingikan kehidupan yang normal. Pengisahan seperti

ini hanya dituturkan dengan sudut pandang “Aku”, di mana pencerita adalah

83 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 7.

Page 108: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

98

tokoh cerita yang terlibat langsung dalam peristiwa sehingga memiliki kebebasan

untuk mengisahkan kesadaran dirinya sendiri.

6) Gaya Bahasa

Dalam memandang tema dan meninjau persoalan, Ahmad Tohari memiliki

cara khas dengan pengungkapan yang komunikatif, lugas dan sederhana, sehingga

mudah dipahami pembaca. Kelugasan dapat dilihat dari cara narator, yakni “Aku”

mengisahkan berbagai peristiwa dan permasalahan yang dihadapinya dan tokoh

cerita lainnya tanpa berbelit-belit dan apa adanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi

sesuai dengan kehidupan para tokohnya yang penuh pergolakan. Cara bercerita ini

sebagaimana karakter orang Banyumas yang cablaka, yaitu berbicara apa adanya

tanpa pretensi.84

“… Ada sepasang bayan hinggap dekat sarang mereka dalam lubang kayu kapuk. Mereka cerewet, tetapi paruh merah dan bulu hijau mereka sangat enak dipandang. Dan, aku melihat seekor dadali tiba-tiba menukik dari langit. Tubuhnya yang gagah melesat ke bawah dan sekejap hilang terhalang pepehonan. Ketika naik lagi, kulihat burung perkasa itu membawa seekor ular pada cakarnya. Aku teringat ular-ular bedudak sangat biasa yang selalu membuatku bergidik. Tetapi dadali itu malah memakannya.85

Di samping tegas dan suasana cerita yang penuh pergolakan, sebagaimana

pada kutipan di atas, Ahmad Tohari juga sangat komunikatif melukiskan pelataran

hutan dengan bahasa yang sederhana, sopan, dan teratur, sehingga memudahkan

pembaca memahami dan mendalami apa yang dipaparkan. Sama halnya dengan

beberapa novel lainnya, pelukisan latar dan suasana alam menjadi kekuatan novel

ini. Pelukisan hutan semakin dikuatkan dengan cara pengarang melukiskan hal-hal

kecil secara, jelas, lembut, lancar dan mengalir dengan menghimpun berjenis-jenis

binatang dan tumbuhan yang menunjukan adanya keserasian dan keakraban antara

tokoh cerita dengan lingkungan hutan sebagai latar cerita, serta membuat latar

hutan menjadi hidup dan berarti. Hal ini menjadi menarik, seperti diungkapkan

Mahayana seorang kritikus sastra, bahwa sastrawan Ahmad Tohari tampak benar-

84 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari “Dikondisikan sebagai ‘Bahasa Babu”

Dialek Banyumas Diambang Kepunahan”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Kamis, 17 Oktober 2002, h. 10 (c).

85 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 95.

Page 109: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

99

benar memanfaatkan pengetahuannya mengenai dunia flora dan fauna86 untuk

menguatkan latar lokal kedaerahan dalam beberapa novelnya, termasuk LTLA.

Selain itu, Ahmad Tohari menggunakan campur kode dalam novel ini. Hal

itu pada pilihan kata yang beraneka ragam yang menunjukkan kekhasan lain dari

novel LTLA. Penggunaan diksi yang variatif dapat dilihat dari kosa kata bahasa

Jawa dan Arab yang bertebaran dalam cerita. Di samping memberikan efek

keindahan, hal itu juga dimaksudkan untuk menegaskan latar sosial. Penggunaan

kosa kata bahasa Jawa dapat dilihat pada kutipan berikut.

(1) “Sabar. Dan biarkan aku menjamin senjata yang dipegang Kiram hanya akan digunakan untuk membantu tentara Republik, ya sampean-sampean itu.87

(2) “Oalah, jenganten, kamu akan melahirkan di tempat seperti ini? Oalah, Gusti, kasihan betul kamu, jenganten…”88

Penggunaan kosa kata Jawa yang khas tampak jelas pada kedua kutipan di

atas. Pada kutipan pertama (1) kata sampean merupakan kata sapaan khas dalam

masyarakat Jawa yang berarti “kamu, anda” yang sering digunakan untuk sebutan

kata ganti orang kedua. Penggunaan kata sampean dengan gaya repetisi tidak lain

untuk menekankan penuturan dan emosi Kiai Ngumar terhadap tentara Republik.

Pada kutipan kedua (2), penggunaan kosa kata Jawa terbaca pada kata seru oalah

dan kata sapaan jenganten yang ditujukan bagi seorang perempuan, yang dalam

novel ini adalah Umi. Pemanfaatan diksi Jawa mengesankan nuansa kedaerahan

dan kultural yang sangat kental, sekaligus menunjukkan suasana keakraban dan

kesantunan masyarakat Banyumas dalam berinteraksi.

Pada kutipan lain, pemanfaatan bahasa Arab tampak untuk mengekspresikan

tentang banyak hal dan mencapai efek tertentu. Hal tersebut sebagaimana dalam

kutipan berikut.

(1) “Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”89

86 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, “Diskusi Sastra: Trilogi Ahmad Tohari”, Gramedia,

Jakarta, Agustus 1987, h. 6 (d). 87 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17. 88 Ibid., h. 114. 89 Ibid., h. 7

Page 110: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

100

(2) “Sabar, Nak. Innallaha ma’as shabirin. Kalian sendiri punya praduga adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara Republik.90

Penggunaan bahasa Arab dalam kedua kutipan di atas sengaja dimanfaatkan

Ahmad Tohari untuk menekankan dan menegaskan gagasan tertentu. Hal itu dapat

dilihat dari jawaban Amid lewat kalimat sami’na waatha’na yang berarti “kami

mendengar dan kami taat” (1). Dengan pengucapan yang tanpa ragu menegaskan

kepatuhan Amid sebagai santri bahwa apapun yang diperintahkan kiainya ia harus

taat. Sedangkan pada kutipan (2), kalimat Innallaha ma’as shabirin memiliki arti

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” yang dalam konteks ini

menegaskan keprihatinan Kiai Ngumar akan masalah yang sedang dihadapi Amid.

Dari kedua kalimat itu, gagasan yang disampaikan lebih jelas maknanya dan lebih

mengesankan. Penggunaan bahasa Arab ini sekaligus memberikan kesan religuitas

untuk menciptakan dan menguatkan setting dunia pesantren sesuai latar belakang

tokoh cerita.

Dalam novel ini Ahmad Tohari juga menggunakan beberapa perumpamaan

untuk memberikan kesan keindahan, sehingga cerita menjadi lebih hidup, menarik

dan tidak membosankan untuk dibaca. Perumpamaan yang dominan adalah majas

personifikasi yang disusul dengan majas metafora dan majas asosiasi.

1. Majas Personifikasi

Majas personifikasi diartikan sebagai gaya bahasa yang memberi sifat-sifat

benda mati seperti sifat kemanusiaan.91 Benda mati yang tidak memiliki nyawa

seolah dapat hidup dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Personifikasi dalam

novel ini digunakan untuk menggambarkan kondisi dan suasana latar hutan Jati

yang menjadi tempat persembunyian laskar Darul Islam (1). Hal ini dapat dilihat

dari penggambaran kilat yang bertingkah laku seperti halnya manusia yang dapat

membelah dan mengusir, sebagaimana berikut.

(1) “… Kilat kembali membelah langit dan sedetik mengusir kegelapan….92

90 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 67. 91 A. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, (Malang, Yayasan Asah

Asih Asuh, 1990), h. 3. 92 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 90.

Page 111: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

101

(2) “… Kelengangan masih menyelimuti hutan jati, tetapi aku melihat seekor cicak terbang melayang dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Aku juga melihat sepasang burung kacer terbang berkejaran dalam kebisuan….”93

Sementara itu pada kutipan kedua, kelengangan merujuk pada suatu suasana

yang digambarkan seakan-akan hidup karena dapat menyelimuti yang merupakan

tindakan manusia. Suasana hutan yang lengang menggambarkan betapa sunyi dan

sepi situasi hutan yang tidak banyak dihuni banyak manusia. Sunyinya hutan yang

hanya mungkin terusik oleh suara hewan ataupun gesekan daun akibat hembusan

angin. Kecapakan Ahmad Tohari memvisualiasikan keadaan hutan dengan majas

personifikasi mampu menggerakkan imaji pembaca sehingga pelukisan keadaan

hutan Jati yang masih asri menjadi lebih hidup dan mengesankan pembaca. Secara

implisit, ungkapan itu menguatkan kondisi batin Amid selalu merasa terpencil dan

asing karena situasi hutan sepi dan ancaman yang selalu dihadapinya.

Tidak hanya itu, majas personifikasi juga ditemukan dalam ungkapan lain

untuk menunjukkan latar waktu. Ungkapan itu dapat dilihat dalam kutipan berikut

ketika Amid menunggu serangan tentara Belanda.

Semua orang tampak kesal karena sampai matahari tergelincir bendera di atas bukit itu tetap kuning. Banyak anggota pasukan mulai uring-uringan dan mengendorkan kesiagaan.94

Pada kutipan tersebut, penggalan kalimat matahari tergelincir menunjukkan

bentuk personifikasi yang mengumpamakan matahari seperti manusia yang dapat

tergelincir. Dengan memanfaatkan objek realitas alam, pengarang menggunakan

perumpamaan itu untuk menggambarkan matahari tenggelam yang menunjukkan

waktu sore hari. Selain untuk menekankan latar waktu peristiwa, Ahmad Tohari

menggunakan majas personifikasi untuk menghidupkan penuturan suasana dan

kekecewaan pasukan tentara yang sudah bersiaga sejak lama untuk mencegat laju

tentara Belanda.

2. Majas Metafora

Matafora merupakan majas perbandingan yang bersifat tidak langsung atau

implisit. Tidak ada kata-kata penunjuk secara eksplisit antara yang dibandingkan

93 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 8 94 Ibid., h. 21.

Page 112: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

102

dengan pembandingnya. Sesuatu yang dibandingkan itu sendiri dapat berupa ciri-

ciri fisik, sifat, keadaan, aktivitas, atau sesuatu yang lain yang kesemuanya harus

ditemukan untuk dapat memahami makna yang ditunjuk.95 Penggunaan metafora

dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“… Di tengah tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sungguh pekat. Namun demikian aku terus berjalan. Gerimis makin deras….96

Bentuk metafora di atas menggambarkan keadaan psikis Amid yang sedang

merendahkan dirinya dan menganggap dirinya tidak berarti jika dibandingkan

dengan kehebatan alam. Secara tersirat, Ahmad Tohari memanfaatkan ungkapan

metaforis tersebut untuk menekankan kegelisahan hati Amid sebagai wong cilik

yang tidak mampu bertindak di tengah kekacauan revolusi yang diciptakan elit

politik pusat. Dengan mempersamakan aku dengan semut kecil membuat suasana

cerita menjadi lebih hidup, lebih mendalam maknanya dan ekspresif.

3. Majas Asosiasi

Asosiasi merupakan majas perbandingan terhadap suatu benda yang sudah

disebutkan, sehingga akan dapat menimbulkan asosiasi atau tanggapan dengan

benda yang diperbandingkan.97 Dalam novel ini, pernyataan yang merujuk pada

majas asosiasi tergambar dalam kutipan berikut.

“… Padahal ibarat ikan, hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan….98

Secara langsung kehidupan Amid diasosiasikan pengarang seperti ikan yang

hidup di air. Ikan yang hidup di air memiliki sifat mengitari air yang merupakan

tempat tinggalnya. Pemanfaatan asosiasi pada kutipan tersebut mempercepat dan

mengkonkretkan pemahaman pembaca mengenai kehidupan Amid yang selama

bertahun-tahun tidak dapat dipisahkan dari hutan Jati Cigobang sebagai tempatnya

bertahan hidup, yang mana serba terbatas dan jauh dari kehidupan bermasyarakat.

95 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 401. 96 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 90. 97 A. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Op. cit, h. 1. 98 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1.

Page 113: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

103

Pemanfaatan gaya bahasa yang menarik dan beragam secara tidak langsung

mengesankan pembaca akan cerita yang disajikan. Dengan penggunaan ungkapan

yang didominasi personifikasi, cerita juga menjadi lebih hidup dan bermakna. Hal

ini tidak lepas dari kekhasaan pengarang dalam menampilkan keindahan alam dan

campur kode, yang selain untuk menguatkan latar lokal juga untuk menegaskan

ketidakberdayaan Amid menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.

7) Amanat

Dari cerita LTLA yang memperlihatkan ketidakberdayaan pemuda santri di

masa revolusi Indonesia, terdapat banyak amanat atau pesan moral yang hendak

disampaikan Ahmad Tohari kepada pembaca. Amanat yang terkandung berisikan

pesan-pesan kehidupan yang nilai-nilainya diharapkan dapat diterapkan di dalam

kehidupan sehari-hari. Namun, amanat juga dapat diinterpretasikan berbeda-beda

oleh setiap pembaca. Lewat tindakan, tingkah laku, konflik dan pikiran tokoh-

tokoh cerita di dalamnya, pesan moral dalam sebuah cerita fiksi dapat ditafsirkan,

sehingga pembaca dapat merenungkan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan

pengarang, sepeti pada kutipan-kutipan di bawah ini.

“Kalau itu pertimbangan kamu, apakah tidak bisa dipikirkan lagi? Pertama, karena sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran komunis. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tantang masa depan kalian sendiri. tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”99

“Kang, aku hanya melihat komandan mereka bukan komunis. Dia baik dan kini malam minta bantuan kepada kita. Apa ini bukan pertanda itikad baik dia? Juga, Kiram pernah mendapat penghinaan. Apabila permintaan mereka dapat kita penuhi, Kiram bisa membuktikan diri bahwa seharusnya dia dipuji, bukan dihina.”100

…. Tasbih dan Quran itu juga seakan selalu mengingatkan aku bahwa pemiliknya, Letnan yang sudah kubunuh itu, adalah orang yang tak seharusnya kuhabisi nyawanya.101

Amanat yang terkandung dalam novel LTLA disampaikan dengan baik dan

tersirat. Dari cerita perjalanan kelompok pemuda yang berjuang di masa revolusi,

di mana krisis yang mereka dihadapi disebabkan faktor mentalitas pemuda yang

99 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 38. 100 Ibid., h. 47. 101 Ibid., 13.

Page 114: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

104

lebih mengdepankan egoisme dan idealisme sehingga tidak mengindahkan norma-

norma kehidupan dan agama, serta perintah atau saran orang tua, yang hal itu

justru menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan fiksi ini, bahwasanya Ahmad

Tohari menekankan kepada pemuda saat ini agar mampu menahan ego dan lebih

mengedepankan kepentingan bangsa. Patuh pada nasihat yang diberikan oleh guru

atau ulama terlebih untuk kebaikan di masa depan. Bahwa dalam hidup kita juga

harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan agar segala perilaku dapat terkendali

sehingga tidak akan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Dengan konflik sosial yang juga digambarkan dalam novel LTLA, melalui

ujaran Kiai Ngumar, Ahmad Tohari ingin memberikan amanat bagaimana dalam

kehidupan masyarakat harus dapat hidup rukun dan saling menghargai perbedaan,

yang hal itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama sehingga perlu dilestarikan.

“Artinya, selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal dari Aceh sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu, di mata orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pendawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan Yang Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong royong. Jadi aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung dengan tentara resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang.”102

Dalam kutipan tersebut yang menggambarkan kehidupan masa lalu bangsa

Indonesia, dapat dipahami bahwa dalam sebuah negara mempunyai keberagaman

budaya, ras, organisasi, kelas, ideologi dan bahkan agama. Dalam hal ini sudah

seharusnya masyarakat menumbuhkan sikap toleransi untuk saling menerima dan

menghargai keberagaman itu. Terlebih hidup di negara dengan paham demokrasi,

tidak seharusnya melakukan tindak kejahatan atau kekerasan terhadap masyarakat

lain hanya karena pemahaman atau keyakinan yang berbeda. Sebab kepercayaan

atau agama seseorang adalah hak pribadi. Bukan urusan manusia dengan manusia,

melainkan urusan manusia dengan Tuhannya.

102 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 41.

Page 115: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

105

B. Analisis Masalah Sosial Masyarakat dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari

Potret kehidupan bangsa Indonesia di masa revolusi Indonesia tampak jelas

dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Mengingat sebagai

sebuah rekaan, sastra merekam banyak peristiwa, termasuk peristiwa sejarah yang

terjadi di tahun awal kemerdekaan Indonesia. Secara garis besar, novel pendek ini

menyuguhkan gambaran sejarah kehidupan yang terilhami dari peristiwa revolusi

Indonesia yang menempatkan novel ini sebagai produk budaya yang menawarkan

nilai-nilai universal bagi pembacanya.

Teks novel Lingkar Tanah Lingkar Air menyinggung persoalan revolusi dan

pengaruh revolusi terhadap manusianya. Dibuat berdasarkan realitas di periode itu

(1946-1965), novel ini mencerminkan pergolakan sosial politik bangsa Indonesia

dalam membangun sebuah negara yang memberi dampak secara langsung pada

kondisi sosial secara fisik dan psikologis masyarakatnya. Dengan kepekaannya

terhadap sekitarnya, Ahmad Tohari memperlihatakan nasib bangsa Indonesia yang

selalu dirundung masalah sosial hingga menyebabkan duka yang berkepanjangan.

Masalah sosial terus menerus datang, seolah tidak memberi kesempatan untuk

bernafas. Lebih dari ratusan tahun dijajah oleh kolonial Barat, bangsa Indonesia

kembali dihadapkan pada peperangan dengan negara lain untuk mempertahankan

kemerdekaan yang membuat kekacauan di berbagai daerah.

Di tengah perjuangan membela negara itu, novel ini tidak hanya memotret

suasana peperangan dengan tentara Belanda, tetapi juga peperangan antarsaudara.

Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari berbicara tentang konflik

antarsaudara yang sudah mendarah daging dan masih terus saja menjadi ancaman.

Konflik melibatkan ideologis dari beberapa partai politik yang menentang sistem

pemerintahan berdasarkan pancasila. Bahkan satu di antaranya mengatasnamakan

agama dengan aksi kekerasan yang mengecam siapa saja yang tidak mendukung

gerakan tersebut. Padahal sejatinya agama mengandung nilai suci dan kebaikan

yang membawa keselamatan, bukan menampakkan diri sebagai sistem peradaban

ke arah radikal yang justru mengancam keselamatan, baik individu atau kelompok

dalam masyarakat, sebagaimana yang dikritisi Ahmad Tohari dalam novel ini.

Page 116: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

106

Melihat polemik tersebut, tidak heran jika Ahmad Tohari sebagai pengarang

dengan sifat humanisnya mengkritik kehidupan revolusi Indonesia yang sebagian

masalah sosialnya tertutup oleh peristiwa-peristiwa besar. Maka dalam penelitian

ini, penulis menekankan pada analisis masalah sosial masyarakat yang terdapat

dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari sebagai kelanjutan

dari analisis struktural pada tahap sebelumnya yang merujuk pada unsur intrinsik

sebagai pembangun karya sastra. Analisis ini menggunakan pendekatan sosiologi

sastra untuk memperoleh gambaran mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi

dan dialami tokoh pemuda sehingga terjebak dalam kemelut revolusi Indonesia.

Gambaran masalah sosial dianalisis dengan melihat kenyataan sosial yang terjadi

selama periode revolusi Indonesia sebagaimana latar cerita.

1) Konflik Indonesia-Belanda

Setelah kemerdekaan Indonesia diikuti peralihan kekuasaan sepenuhnya dari

Jepang ke tangan pemerintahan Republik, bangsa Indonesia kembali dihadapkan

pada permasalahan ancaman dari pihak sekutu yang membonceng pasukan tentara

NICA. Kedatangan Belanda diakui sebagai ancaman besar terkait isu kekuasaan.

Sebagaimana yang diketahui, proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus

1945 yang resmi menyatakan bebas dari belenggu penjajahan bangsa asing secara

tegas tidak diakui oleh Belanda, yang hendak kembali mengukuhkan kekuasaan.

Keinginan Belanda ini mendapat pertentangan keras, dan yang mendorong rakyat

Indonesia untuk melakukan perlawanan karena tidak ingin lagi dijajah pihak

kolonial Belanda.

Berlatarkan di waktu yang sama, kisah tersebut kembali diangkat Ahmad

Tohari sebagai persoalan awal yang dihadapi bangsa Indonesia dalam memotret

kekisruhan di periode revolusi Indonesia. Konflik yang digambarkan cenderung

bersifat kekerasan, yaitu berupa konflik bersenjata atau pertempuran yang banyak

terjadi di wilayah Jawa. Pihak Belanda ingin menduduki pulau-pulau di Indonesia,

terutama di Jawa dan Sumatera. Antusiasme rakyat Indonesia dalam mendukung

kemerdekaan sangat tinggi, dapat dilihat dari banyaknya pihak yang ikut terlibat

secara langsung dalam perang kemerdekaan, termasuk kelompok pemuda santri,

yaitu Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud. Bersama pasukan Republik, kelompok

Page 117: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

107

pemuda terlibat dalam pertempuran berusaha mencegat laju tentara Belanda yang

hendak menduduki daerah Purwokerto dari arah Tegal.103 Perpindahan tentara

Belanda setelah terjadinya peristiwa tiga daerah, di mana Tegal merupakan bagian

dari wilayah Keresidenan Pekalongan yang berada di wilayah pesisir utara Jawa

Tengah.104 Daerah ini merupakan salah satu daerah di Jawa yang mengalami

pergolakan revolusi di bulan-bulan awal kemerdekaan. Maka dalam latar cerita,

daerah itu menjadi tempat pertama yang didatangi para pemuda untuk membantu

tentara Republik berperang melawan tentara kolonial Belanda.

Di lain hal, peran santri dalam perang kemerdekaan tidak semua dilakukan

atas kesadaran sendiri, melainkan didorong oleh fatwa yang beredar. Para tokoh

Islam kala itu menentang keras kedatangan Belanda dengan mengeluarkan fatwa

yang dijadikan kebijakan untuk semua umat muslim berperang mempertahankan

tanah air Indonesia. Fatwa berjihad dikeluarkan oleh Hadratus Sykeh asal Jawa

Timur yang mewajibkan seluruh umat Islam berperang melawan tentara kolonial

Belanda yang dianggap kafir.105 Fatwa yang dikeluarkan seperti halnya dengan

Muktamar NU ke 16 di Purwokerto, yang ringkasannya dimuat dalam Harian

Kedaulatan Rakyat pada 20 November 1945, ditandatangani oleh seorang ulama

besar, yaitu Hadratus Syeikh Asy’ari pada tanggal 17 September 1945.

Fatwa tersebut di antaranya berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang kafir; (2) hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.106

Berpijak pada fatwa inilah bahwa peran serta ulama dan kiai dalam perang

kemerdekaan melawan Belanda sangat berarti dalam membakar semangat dan

memberikan dukungan moril pada pejuang kemerdekaan. Selain itu, tercetusnya

resolusi jihad menyatakan bahwa para ulama dan santri siap menghadapi berbagai

ancaman. Hal ini menunjukkan kiprah ulama dan santri yang secara tidak disadari

103 Lihat catatan kaki nomor 43. 104 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional

Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta, Grafiti, 1990), h. 29. 105 Lihat catatan kaki nomor 57. 106 Zainul Milal Bizawie, Op. cit., h. 205.

Page 118: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

108

berperan penting dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia

dari tangan kolonial Belanda.

Baik dari fatwa yang tergambar dalam LTLA ataupun dalam kenyataannya,

semakin menegaskan bahwa perang dilakukan sebagai bentuk perlawanan rakyat

Indonesia terhadap kolonialisme, selain jalan diplomasi yang dilakukan kaum elite

politik nasional. Dengan karakteristik perang yang melibatkan banyak pasukan

dan senjata, hal ini jelas memudahkan rakyat Indonesia untuk secara langsung dan

cepat menghalau pergerakan pasukan tentara Belanda yang berusaha menempati

beberapa wilayah di Indonesia. Sebagaima dinyatakan Clausewitz, bahwa perang

sebagai penggunaan kekerasan untuk memaksa lawan melakukan apa yang kita

inginkan. Keinginan itu dapat bermula dari banyak hal atau faktor, sebagaimana

yang dirumuskan para ahli, dari gejolak nasionalisme (Mazzini), keharusan untuk

menjaga hargadiri (Bismarck), kecintaan kepada tanah air (Fichte), naluri untuk

memusnahkan (Freud), atau bahkan apapun yang dianggap sebagai "kepentingan

nasional" suatu negara.107 Dalam konteks ini, semua faktor itu dapat dibenarkan

sebagai alasan kelompok pemuda berperang. Semangat kemerdekaan yang masih

memuncak dan dorongan pro Republik menumbuhkan suatu keharusan untuk ikut

mempertahankan kemerdekaan dari siapa pun dan dengan cara apapun. Maka dari

itu, diciptakannya perang dengan mengerahkan banyak pemuda di dalamnya

dinilai sangat tepat dan efektif untuk menghentikan dan memusnahkan kekuasaan

Belanda.

Perihal perang pada esensinya tidak hanya pada pertanyaan mengapa perang

itu terjadi sebagai sumber konflik, tetapi juga bagaimana perang itu dilakukan.

Perang yang terjadi saat itu merupakan perang gerilya yang dilakukan tentara

Republik dan para pemuda sebagai strategi berperang melawan tentara Belanda,

mengingat usaha tentara Belanda yang ingin sekali menduduki wilayah di Jawa.

Penerapan perang gerilya secara nyata dideskripsikan oleh Ahmad Tohari sebagai

berikut.

107 Clausewitz dalam Kusnanto Anggoro. “Perang, Tentara dan Senjata.” Makalah

disampaikan dalam Pengantar diskusi dalam Focus Goup Discussion Propatria, Hotel Santika. http://happyslide.top/doc/23113/perang--tentara-dan-senjata. Jakarta, 29 Oktober 2003. Di akses pada tanggal 17 Juni 2016 pada pukul 15.13 WIB.

Page 119: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

109

.... Dengan muatan orang-orang berseragam loreng, kedua kendaraan itu terlihat sangat berwibawa. Aku juga masih bisa melihat tentara Republik di depan sana bangkit dari tempat pesembunyiannya lalu melemparkan sesuatu ke arah truk yang kedua. Ledakan yang sangat kuat menggema. Baru sekali itu aku mendengar ledakan yang demikian keras. Asap membumbung.108

Taktik perang gerilya dapat dilihat dari cara pasukan Republik yang berbaur

di lingkungan masyarakat dengan melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda

secara sporadis. Secara bebas dan terbuka pasukan Republik saling berhamburan

dan kemudian keluar dari persembunyian, lalu secara membabi buta melemparkan

senjata dengan tujuan melumpuhkan tentara Belanda. Sehingga seperti dinyatakan

oleh Sapto, tidak ada lagi ketidakadilan, penekanan, dan eksploitasi, khususnya

mengarah pada gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan.109

Di pihak lain, adanya peperangan sebagai bagian dari konflik ini, sekaligus

bentuk masalah sosial memperlihatkan betapa kacaunya situasi Indonesia di awal

kemerdekaan saat itu. Isu yang kemudian muncul ialah bagaimana dampak perang

kemerdekaan terhadap situasi masyarakat. Ahmad Tohari menggambarkan perang

yang begitu mengerikan berdampak pada fisik dan psikis mereka yang terlibat di

dalam perang tersebut. Dampak secara psikis biasanya terjadi pada orang-orang

yang baru menghadapi peperangan. Keterlibatan Amid di awal peperangan tanpa

pengetahuan dan pengalaman cenderung mengalami ketakutan saat perang terjadi.

Hal ini berpengaruh pada sikapnya yang tidak melakukan perlawanan saat di awal

berperang. Bagi Amid, yang terpenting hanya bagaimana menyelamatkan diri dari

bahaya peluru lawan.

Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh dengan kunang-kunang serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, meleset ke tengah jalan. Ya Tuhan.Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya, serdadu Belanda. Kemudian semuanya baur kembali.Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!110

108 Ahmad Tohari, Op. cit., hal. 20. 109 Ari Sapto. “Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa Revolusi

dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini. http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/4734. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2017.

110 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 24-25.

Page 120: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

110

Sebuah pertempuran yang meminta banyak korban. Banyak sekali anak-anak Hizbullah. Tetapi ku kira tentara Belanda pun banyak yang mati. Maka aku heran mengapa kami berempat: aku, Kiram, Jun dan Kang Suyud dapat bertahan dan kembali ke kampung halaman dengan selamat. Kami mundur dan siap bertembur kembali sewaktu-waktu.111

Selain ketakutan dan menghalangi kebebasan masyarakat, terjadinya perang

juga menyebabkan kerugian dan penderitaan secara fisik. Perang yang melibatkan

orang banyak dapat saja merenggut nyawa yang tidak mungkin bisa digantikan.

Meskipun tidak dijelaskan secara langsung oleh Ahmad Tohari dalam kutipan,

pada kenyataannya perang akan berpengaruh pada kerugian dalam hal lingkungan

dan kenegaraan, sehingga akibat terjadinya peperangan pun sebenarnya tidak bisa

diperhitungkan.

Berbeda dengan penjajahan Belanda sebelumnya, empat tahun kemudian di

tahun 1949, pertentangan antara Indonesia dan Belanda berakhir singkat di jalur

diplomasi. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintaah Republik lewat

Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag menghasilkan kesepakatan bahwa

Belanda menyerahkan kedaulatan kepada federasi Indonesia, Republik dari segi

politik yang masih tetap utuh.112 Pengakuan ini secara langsung dan definitif

mengakhiri revolusi bersenjata melawan tentara Belanda, sehingga Belanda secara

resmi tidak lagi menjadi musuh, dan sekaligus membebaskan rakyat Indonesia

dari tekanan kolonialisme.

Melihat situasi konflik yang terjadi selama kurun tahun 1946-1949, dapat

dikatakan bahwa perang dan perlawanan rakyat merupakan simbol dari konflik

Indonesia dan Belanda di periode revolusi. Perjuangan senjata dilakukan rakyat

termasuk pemuda di dalamnya untuk mempertahankan kemerdekaan, selain jalur

diplomasi dilakukan pemerintah. Meskipun dilakukan sebagai bentuk pengabdian,

pada faktanya perang yang bersifat kekerasan membawa dampak yang luas. Selain

disorganisasi, juga penderitaan rakyat tidak hanya secara fisik tetapi juga mental,

sehingga menjadi masalah sosial yang sulit dipecahkan pada saat itu.

111 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 55. 112 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara

Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 194.

Page 121: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

111

2) Kemiskinan

Keadaan Indonesia selama pergolakan revolusi berada dalam situasi krisis

yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial di dalam masyarakat. Keadaan

ini terlihat dari masalah kemiskinan yang semakin meluas dalam berbagai aspek

kehidupan. Jika melihat situasi saat itu, di mana sedang terjadi perubahan secara

besar-besaran dan peperangan membuat pejuang seperti Amid harus hidup serba

kekurangan dan terbatas. Dengan kecenderungan ini bahwa kekurangan dalam diri

yang membuat seseorang tidak mampu memelihara dan memanfaatkan dirinya

sebagaimana mestinya, sehingga mengalami kemiskinan di masyarakat.

Terkait isu ini, gambaran kemiskinan dalam berbagai hal pun tidak lepas

dari pengamatan Ahmad Tohari yang direpresentasikan oleh beberapa tokoh cerita

di dalam novel ini. Di awal keikutsertaan Amid dalam perang kemerdekaan sudah

dapat dilihat kemiskinan dalam hal kurangnya pengetahuan atau wawasan tentang

situasi sosial politik, tentang kembalinya pemerintah Belanda menjajah Indonesia.

Pengetahuan Amid hanya sebatas bahwa Indonesia sudah merdeka dari penjajahan

Jepang dan terjadi perang besar di Surabaya.113 Dari latar sosial, Ahmad Tohari

memberikan gambaran adanya perbedaan yang nyata antara situasi di kota dan di

desa pasca kemerdekaan Indonesia, di mana masyarakat di desa belum merasakan

perubahan yang berhubungan dengan revolusi. Perbedaan Situasi ini ditegaskan

oleh Adnan dalam artikelnya Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat

Sejarah, bahwa pada mulanya kekacauan revolusi hanya terasa di kota-kota pusat

penduduk sekutu, sementara di daerah pedesaan boleh dikatakan perjuangan telah

selesai lantaran di desa merasa secara tidak langsung bersentuhan dengan agresi

militer asing.114 Meskipun demikian, kemelut revolusi tetap dirasakan masyarakat

pedesaan karena begitu hebatnya masalah ini menggetarkan bangsa Indonesia.

Kurangnya pemahaman Amid yang ditunjukkan Ahmad Tohari dalam novel

ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada situasi sosial politik, tetapi juga terkait

pengetahuan perang itu sendiri. Meski disimbolkan sebagai pemuda yang tidak

113 Lihat catatan kaki nomor 2. 114 Adnan, Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah.

https://www.scribd.com/document/354560872/Wajah-Revolusi-Indonesia-Dalam-Perspektif-Filsafat-Sejarah-pdf. Diakes pada tanggal 12 Juni 2016 pukul 20.45 WIB.

Page 122: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

112

paham revolusi dan berperang, namun Amid digambarkan memiliki kemampuan

silat yang umumnya banyak dipelajari kaum santri. Maka secara rasional, perang

diibaratkan Amid seperti perkelahian.115 Namun pandangan Amid berubah ketika

secara langsung berperang. Dalam hal ini, Amid mengalami perubahan pandangan

bahwa perang yang diketahuinya bukan lagi sebatas perkelahian, melainkan

menggunakan senjata api yang bisa mematikan lawan.

Bahkan tentang perang pun aku sulit membayangkan. Aku hanya bisa meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan menggunakan senjata. Nah, bila perang memang seperti berkelahi, aku merasa kami siap karena kami sudah belajar silat. Anehnya, aku merasa ngeri ketika membayangkan bedil yang dulu pernah kulihat disandang para tentara jepang.116

Sebagaimana dalam kutipan itu, pengetahuan yang minim membuat Amid

tidak mampu berperan dalam peperangan karena tidak memiliki keahlian militer.

Yang terjadi adalah Amid hanya diam dan bersembunyi dan tidak ikut berperang

ketika masing-masing pasukan saling melemparkan serangan. Dengan kata lain,

kurangnya pengetahuan akan berdampak pada sulitnya pemuda beradaptasi dan

berpartisipasi dalam peperangan.

Rendahnya pendidikan merupakan persoalan lain dari masalah kemiskinan

yang dialami kelompok pemuda dalam novel ini. Kiram dan Jun merupakan tokoh

tambahan yang memiliki pendidikan rendah dibanding tokoh Amid.117 Adanya

perbedaan tingkat pendidikan dari masing-masing tokoh ini menunjukkan belum

meratanya pendidikan pada masyarakat pedesaan saat itu. Salah satu penyebab

dasarnya adalah karena pembangunan yang belum matang dan menyeluruh, serta

kurangnya kesadaran pemuda akan pentingnya pendidikan itu sendiri, sehingga

tidak semua pemuda memiliki tingkat pendidikan yang sama. Dijelaskan Nyoman

Kutha Ratna dalam bukunya Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, bahwa

dikaitkan dengan lamanya masa kolonialisme, proses dimulainya pendidikan bagi

pribumi sangat lambat.118 Merangkum pernyataan Brugmans dan Kartodjirjo, dari

statistik penduduk tahun 1930, ternyata 93% bangsa Indonesia masih buta huruf,

115 Lihat catatan kaki nomor 31. 116 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16-17. 117 Lihat catatan kaki nomor 6. 118 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 48

Page 123: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

113

jadi hanya 7% yang melek huruf. Keterlambatan ini sengaja disebabkan adanya

politik antikulturasi di satu pihak, dorongan untuk memperbodoh pribumi dengan

tujuan mencegah gerakan kebangsaan di pihak lain.119 Oleh karena itu, pendidikan

pada awalnya hanya diutamakan bagi anak-anak Belanda. Kondisi demikian pada

gilirannya memperlihatkan pendidikan Indonesia belum menunjukkan kemajuan

yang berarti.

Dalam kutipan yang sama, Ahmad Tohari menaruh perhatian pada nasib dan

peluang pemuda akibat rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Baik Kiram

dan Jun, keduanya tidak dapat memanfaatkan peluang menjadi tentara Republik

karena tidak memiliki ijazah sekolah rakyat sebagai ketentuan utama menjadi

tentara Republik resmi. Padahal peluang itu merupakan kebijakan yang dibuat

pemerintah untuk memberikan jaminan kepada para pemuda setelah usaha mereka

berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, Ahmad

Tohari menekankan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan generasi muda

yang dapat pula dikaitkan dengan konteks saat ini. Pendidikan rendah akan

menghambat dan mempersempit peluang seseorang dalam mendapatkan pekerjaan

untuk menjamin kesejahteraan hidup. Bahkan sampai saat ini, pendidikan masih

menjadi syarat utama dalam pemenuhan tenaga kerja. Semakin baik pendidikan

seseorang, maka akan semakin besar peluang mereka untuk mencapai mobilitas ke

level atas.

Selain itu, varian kemiskinan dideskripsikan Ahmad Tohari juga mengenai

tidak terpenuhinya kebutuhan primer yang direpresentasikan oleh semua tokoh

laskar Darul Islam, yaitu Amid, Kiram, Jun, dan Kang Suyud. Pada masa revolusi,

gerakan Darul Islam yang sempat menjadi ancaman, kini berada dalam ancaman

karena operasi militer yang dilakukan Republik. Hal ini membuat kondisi pasukan

yang semakin menipis. Kelompok Darul Islam harus bersembunyi di hutan Jati

untuk melindungi diri dari buruan tentara Republik dan gerombolan komunis yang

berusaha memanfaatkan nama mereka. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk

memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan dan karena lokasi hutan yang

119 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 48-49.

Page 124: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

114

terpencil dan tidak banyak hunian, serta hubungan dengan petinggi Darul Islam

yang sudah lama terputus.

“….Yang kami harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa.Jadi hanya kebetulan bahwa yang datang pertama ternyata sebuah jip militer.120

Ketidakmampuan kelompok Darul Islam memenuhi kebutuhan dasar pada

akhirnya menimbulkan perilaku sosial, yaitu tindakan kejahatan yang merupakan

masalah sosial. Mereka yang terjebak dalam situasi ini tidak mudah memperoleh

kebutuhan primer, maka merampok menjadi pilihan untuk mendapat memenuhi

kebutuhan pangan agar tetap bisa bertahan hidup di tengah hutan.

Kehidupan hutan yang jauh dari hunian dan hal-hal yang dibutuhkan

membuat seseorang harus mampu melakukan apa saja meski harus bertentangan

dengan norma sekalipun. Ahmad Tohari kembali menggambarkan ini pada laskar

Darul Islam ketika menculik seorang paraji untuk membantu kelahiran Umi di

hutan Jati.121 Betapa sulitnya kehidupan yang dialami laskar Darul Islam bukan

hanya pada masalah kebutuhan pangan, tetapi juga pelayanan kesehatan yang juga

merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Dalam bagian ini jelas, pemilihan

hutan sebagai latar tempat mempengaruhi timbulnya masalah kemiskinan yang

dialami laskar Darul Islam. Kondisi hutan Jati yang serba terbatas mempengaruhi

keterbatasan laskar Darul Islam dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tidak

tercapainya kesejahteraan hidup selama mereka bertahan di hutan Jati.

Munculnya masalah kemiskinan sebenarnya didasari oleh banyak faktor

yang menghambat, selain faktor internal dari individu itu sendiri, hal lain karena

faktor eksternal yang berkaitan dengan struktur sosial di masyarakat. Kemiskinan

demikian cenderung dialami oleh seseorang yang tidak mampu memanfaatkan

sumber daya yang tersedia dengan baik karena kebijakan pemerintah yang tidak

seimbang, sehingga menurunnya tingkat kesejahteraan. Karena kondisi itu, maka

muncullah masalah kemiskinan struktural umumnya terjadi pada petani miskin

yang tidak memiliki tanah sendiri.

120 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 10-11. 121 Lihat kutipan nomor 56.

Page 125: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

115

Dalam novel LTLA, bentuk kemiskinan struktural yang menjadi perhatian

Ahmad Tohari diperlihatkan melalui tokoh Makdisan, seorang petani huma yang

tinggal di hutan Jati. Makdisan tidak memiliki aset tanah untuk diproduksi, maka

ia menggarap tanah hutan dengan sistem sewa atau bagi hasil, di mana sebagian

hasil penenya diberikan kepada pemangku tanah kehutanan sebagai uang ganti

sewa atas tanah yang digarapnya.122 Potret kemiskinan ini menjadi sangat kontras

karena petani miskin seperti tokoh Makdisan tidak memiliki alternatif lain untuk

menentukaan pilihan yang lebih baik, selain bergantung pada orang-orang yang

kelas ekonomi di atasnya. Meskipun kehadiran tokoh ini tidak berpengaruh pada

permasalahan yang dihadapi Amid sebagai tokoh utama, akan tetapi apa yang

dialami Makdisan ini menunjukkan adanya masalah kemiskinan yang disebabkan

struktur sosial pada masa itu. Kebijakan yang ada masih bersifat feodal, sehingga

menimbulkan ketidakadilan dan ketidakberdayaan masyarakat miskin karena terus

dieksploitasi, yang secara tidak langsung hal ini dapat menghambat kesejahteraan

masyarakat.

Dari dimensi kemiskinan ini, dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan

masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia sudah sejak lama, bahkan sebelum

dan setelah Indonesia merdeka. Tekanan kolonialisme yang sekian lama kemudian

revolusi membawa pemuda Indonesia pada keadaan serba kekurangan, dalam hal

pendidikan, kebutuhan primer dan lainnya. Adanya masalah ini membuat pemuda

sulit menyesuaikan diri dengan kondisi sosial politik yang terjadi, memperoleh

peluang baik, serta memenuhi kebutuhan hidup yang berakibat munculnya tindak

kejahatan yang juga menjadi bagian dari masalah sosial.

3) Kesenjangan Sosial

Fenomena kemiskinan yang ada membawa perbedaan kelas sosial yang

menyebabkan terjadinya masalah kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat.

Ketika seseorang memiliki sesuatu yang berharga, maka ia akan menempati kelas

yang lebih tinggi dibanding pihak lain. Adanya perbedaan mencolok itu karena

tidak sesuainya nilai-nilai dengan tindakan sosial yang nyata ini, yang kemudian

memunculkan masalah kesenjangan sosial di masyarakat, yang turut disinggung

122 Lihat kutipan nomor 55.

Page 126: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

116

Ahmad Tohari dalam novel LTLA. Isu ini difokuskan pada perbedaan status sosial

antara pemuda dan tentara Republik, yang menjadi perhatian pengarang sebagai

latar belakang terjadinya kesenjangan. Ketidakseimbangan keuntungan diperoleh

Amid dan Kiram yang sering kali diperlakukan tidak adil oleh tentara Republik,

terutama dalam pembagian kerja karena posisi mereka yang hanya sebagai

pemuda yang diperbantukan. Maka dari tindakan diskriminatif ini memperlihatkan

sikap dominasi tentara Republik yang ditunjukkan Amid sebagai berikut.

“Hei, kamu berdua! Cari kapak dan tebang pohon trembesi di sana.”Seseorang berseragam dril dan menyandang pistol memberi perintah kepada kami. Tentara itu memakai peci hitam yang dipasang agak miring, aku dan Kiram kebingungan.

“Kalian dengar? Cari kapak! Itu di sana ada kampung. Pinjam kapak di sana dan tebang pohon trembesi itu. Rintangan deket jembatan masih terlalu tipis. Hayo! Hayo!123

Dari suasana yang tergambar dalam kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana

perlakuan tentara Republik yang sewenang-wenang terhadap kelompok pemuda.

Peran pemuda yang hanya membantu segala keperluan perang memberikan kesan

tentara Republik mengintimidasi dan menekan pemuda dengan memaksa dan

memanfaatkan tenaga pemuda, sehingga bertendensi tentara Republik menguasai

kelompok pemuda. Hal ini amat merugikan kelompok pemuda, bahkan membuat

semakin tertindas karena sebagai golongan yang lemah mereka tidak memiliki

kemampuan untuk melawan tentara Republik.

Di lain hal, Ahmad Tohari menekankan bagaimana persoalan kesenjangan

yang melebar berpengaruh pada penghormatan yang diterima kelompok pemuda.

Pendidikan formal yang dimiliki tentara Republik dihubungkan dengan jabatan

menempatkan posisi tentara Republik berada di kelas yang lebih tinggi dibanding

para pemuda. Karena posisi itulah, tentara Republik sering kali mendiskreditkan

pemuda sebagai kelompok yang berada di kelas bawah yang dianggap bukan

bagian dari pemerintah. Pembagian kelas ini berakibat buruk pada kesempatan

kelompok pemuda, terlebih saat pendidikan dijadikan standarisasi untuk merekrut

pemuda menjadi pasukan tentara Republik resmi. Kiram yang mengalami hal ini

memang mempunyai pendidikan rendah dibanding Amid, juga kekurangannya

123 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 20.

Page 127: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

117

karena buta huruf. Jadi, dengan latar belakangnya sebagai pemuda desa yang tidak

mengecam pendidikan, membuat Kiram sering kali dicela karena tidak memiliki

kemampuan membaca ataupun menulis, seperti yang diungkapkan Kiram berikut.

Kiai Ngumar menganguk-angguk. “Dan mereka pernah menghina saya karena saya buta huruf,” sela Kiram.124

Penghinaan tentara Republik membuat Kiram merasa terhina dan sakit hati,

sehingga sulit untuk bergabung dengan tentara Republik. Apa yang dialami Kiram

menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dapat menentukan posisi seseorang di

dalam masyarakat. Orang yang berpendidikan relatif rendah akan menempati

posisi kelas bawah yang memungkinkan mengalami penindasan dari orang-orang

kelas atas. Permasalahan kesenjangan sosial inilah yang akhirnya akan memicu

kebencian yang berimbas pada konflik antarkelas sosial sebagai konsekuensi dari

adanya diskriminasi sosial terhadap kelompok pemuda.

4) Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern

Kontribusi pemuda dalam perang kemerdekaan memperlihatkan eksistensi

pemuda dalam pergolakan revolusi. Namun, perubahan yang relatif cepat di masa

itu tidak jarang menimbulkan permasalahan di kalangan pemuda sebagai akibat

penyesuaian dengan situasi yang baru. Isu pemuda ini menjadi salah satu bagian

di periode revolusi Indonesia yang juga dibicarakan Ahmad Tohari dalam novel

LTLA. Dalam masalah ini, Kiram dan Kang Suyud merupakan tokoh yang paling

banyak mendapat sorotan pengarang, sebab keduanya memiliki ambisi yang tinggi

terhadap sesuatu yang akhirnya turut menyeret tokoh utama, yakni Amid dalam

masalah-masalah generasi muda.

Seperti yang tergambarkan, potret masalah pemuda dalam novel ini berawal

dari perlawanan fisik yang tidak terima bangsanya kembali mendapat tekanan dari

tentara kolonial Belanda. Dorongan pro Republik muncul di kalangan pemuda

santri untuk terlibat dalam perang kemerdekaan bersama tentara Republik,125

meskipun tanpa pengetahuan yang jelas dan konsekuensi dari sikap ini.126 Adanya

keterbatasan ini membuat Amid dan Kiram sering kali tidak mampu bersikap

124Ahmad Tohari, Op. cit., h. 37. 125 Lihat kutipan nomor 4. 126 Lihat kutipan nomor 75.

Page 128: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

118

positif karena sulit menyesuaikan diri dengan aturan dan sikap tentara Republik

yang kurang menyenangkan dan terkadang sewenang-wenang. Terutama Kiram

yang selalu mengeluh ketika mendapat perintah dari tentara Republik. Meskipun

begitu, kesediaan mereka untuk tetap berperang melawan Belanda menunjukkan

adanya sikap nasionalisme pemuda, bahwa mempertahankan kemerdekaan negara

merupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai rakyat Indonesia, di

samping peran mereka yang memang sangat dibutuhkan.

Peran penting pemuda dalam perang kemerdekaan pun diakui Onghokham,

dengan pernyataan bahwa yang tergolong pemuda umumnya mereka yang berusia

di bawah 30 tahun, di mana semangat dan tenaga fisik pemuda dibutuhkan saat

perang dan revolusi.127 Namun dalam konteks ini, di usia demikian segala sesuatu

yang dialami pemuda bersifat seketika, cenderung dinamis dan bergejolak. Hal ini

muncul sebagai respon terhadap perubahan yang relatif cepat, sekaligus pencarian

identitas. Berbagai gejolak itu dapat berupa semangat yang berkobar dan ambisi

terhadap sesuatu, sebagaimana yang diperlihatkan Amid pada tokoh Kiram yang

“bersikukuh hendak memiliki senjata,128 sehingga berani merampas senjata milik

tentara Belanda. Keberanian Kiram ini tidak terlepas dari minimnya pendidikan,

tetapi diimbangi dengan ambisi yang kuat, akhirnya membuat pemuda cenderung

akan melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Karena ambisinya ini, Kiram

mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang nakal, sebab merasa bangga dan

gagah dapat menyandang senjata. Maka kenakalan-kenakalan Kiram ditunjukkan

seperti berikut.

… Kiram menunggu sesaat, lalu melompat dari tempat persembunyiannya dan bersicepat menodongkan senjatanya ke perut Hianli. Paman Asui itu, yang masih berdiri memegangi sepeda, terpaku. Anjingnya menggonggong dan terus menggonggong. Kiram menyuruhku mengambil bedil Hianli yang sudah diletakkan di tanah atas perintahnya. Tanganku gemetar. Anjingnya tak henti-hentinya berbalik.129

Dari kutipan di atas tampak bahwa masalah kelompok pemuda meluas pada

perilaku menyimpang. Sifat ambisius yang dimiliki, tidak hanya membuat Kiram

127 Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 142. 128 Lihat catatan kaki nomor 41. 129 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 31-21.

Page 129: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

119

berani mencuri, tetapi melakukan penganiayaan yang jelas melanggar norma yang

ada. Tindakan yang dilakukan Kiram ini merupakan bentuk pelampiasan atas rasa

kecewa, tersisih dan bencinya kepada tentara Republik yang bertindak sewenang-

wenang dan juga Hianli sebagai mata-mata Belanda. Dengan ini, dapat dikatakan,

tekanan situasional yang ada terjadi itu sangat berpengaruh dalam membentuk

pribadi dan tingkah laku Kiram, sehingga menjadikannya pemuda delikuen yang

sering kali berperilaku buruk

Pada bagian ini, Ahmad Tohari juga memberikan gambaran bahwa peran

senjata selama perang kemerdekaan bukan sekedar sebagai alat pertempuran. Bila

muncul anggapan senjata memainkan peran yang lebih kecil dibanding semangat

juang,130 hal ini justru tidak tergambar dalam cerita LTLA. Peran penting senjata

tidak hanya dideskripsikan sebagai alat peperangan, tetapi juga simbol keberanian,

kejantanan dan harga diri pemiliknya.131 Melalui tokoh Kiram ini, Ahmad Tohari

memberikan gambaran bahwa tidak semua pemuda menaruh ambisi mereka untuk

kepentingan nasional. Sebagian pemuda dapat saja memiliki ambisi tersembunyi,

yang menempatkan senjata di atas semangat juang mereka untuk kepentingan

pribadi, seperti mendapat penghargaan dan pengakuan bahwa pemuda merupakan

sosok yang gagah berani, hebat, dan memiliki kesetaraan dengan pasukan tentara

Republik, bahkan peran mereka penting dalam mempertahankan kemerdekaan.

Dalam menghadapi perubahan, aspirasi pemuda sering kali bertentangan

dengan golongan tua menjadi permasalahan lain yang dihadapi pemuda saat itu.

Muncul perdebatan terkait jalan yang ditempuh pemuda dalam mempertahankan

kemerdekaan. Selain masalah kesenjangan, penolakan pemuda bergabung dengan

tentara Republik juga merujuk pada tujuan mempertahankan kemerdekaan dengan

barisan sendiri yang semua anggotanya Islam.132 Reaksi ini muncul melihat

realitas sebagian pasukan Republik yang tidak beribadah. Sementara dipaparkan

Amid, fanatisme terhadap Islam menjadikan Kang Suyud sebagai tokoh pemuda

revolusioner yang menginginkan kehidupan berasaskan Islam, sehingga akan

130 Kusnanto Anggoro, Op. cit., h. 1 131 Lihat catatan kaki nomor 13. 132 Lihat catatan kaki nomor 14.

Page 130: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

120

membandingkan konsep perjuangan itu dengan ilmu agama yang dipahaminya.133

Persoalan ini menjadi serius manakala terjadi kekeliruan dalam menginterpretasi

pandangan nasionalis Kiai Ngumar, bahwa siapapun harus dapat saling bekerja

sama karena semuanya merupakan pribumi, yang dianggap Kang Suyud tidak

sesuai dengan kebenaran Islam. Dengan kebenaran mutlak itu, maka sulit untuk

Kang Suyud menerima paham atau ajaran lain, yang akhirnya memicu terjadinya

konflik antara kedua generasi itu sebagai akibat ketidakpatuhan pemuda terhadap

orang tua.

Dalam konteks ini, pandangan Kiai Ngumar menggarisbawahi pentingnya

pemuda bergabung dengan tentara Republik sebagai faktor untuk menyatukan

bangsa di tengah menurunnya nasionalisme. Tersirat keinginan agar pemuda lebih

membuka diri dan bertoleransi kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang

kehidupannya. Di samping itu, sikap pemuda mengeksklusifkan diri tidak dapat

menjamin kehidupan para pemuda karena Hizbullah bersifat sukarela, sedangkan

tentara Republik merupakan bagian dari pemerintah. Pandangan ini disampaikan

secara langsung sebagai saran, terlebih fase pemuda yang masih dalam proses

pendewasaan. Apa yang dipikirkan masih berhubungan dengan sifat emosional,

sehingga perlu bimbingan dan arahan yang jelas agar tujuannya tidak menjadi

lain. Perbedaan antara Hizbullah dan tentara Republik ditekankan Ahmad Tohari

sebagai berikut.

…. Mekskipun sama-sama bertempur melawan Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya, mereka adalah bagian sah Republik. Maka selama Republik berdiri mereka mutlak diperlukan kehadirannya. Republik pun wajib memberi gaji, setidaknya kelak bila negeri sudah normal.134

… “Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.” 135

Dalam kutipan di atas, perbedaan yang disampaikan merujuk pada jaminan

kehidupan kelompok pemuda kedepannya. Bahwa perang akan terus terjadi, maka

menjadi tentara Republik merupakan pilihan tepat di tengah situasi revolusi yang

133 Lihat catatan kaki nomor 50. 134 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 36 135 Ibid., h. 38.

Page 131: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

121

tidak stabil. Menjadi tentara Republik resmi akan menjamin kelangsungan dan

meningkat taraf hidup kelompok pemuda, serta hak-hak mereka akan dilindungi

pemerintah. Jadi bisa ditafsirkan, pentingnya nilai nasionalisme yang ditekankan

pengarang lewat Kiai Ngumar tidak hanya berorientasi pada eksistensi kesatuan

bangsa, tetapi juga masa depan kelompok pemuda dalam mencapai kemakmuran

dan kesejahteraan mereka.

Bisa dipahami dalam ketidakstabilan situasi revolusi, perubahan sikap dan

pola pikir yang ditunjukkan pemuda cenderung berhubungan dengan keyakinan

mereka terhadap persoalan yang menjadi perhatiannya. Orientasi untuk mencapai

kemerdekaan perlahan bergeser pada kepentingan pribadi untuk mewujudkan cita-

cita sendiri. Di sini Ahmad Tohari menekankan bahwa peranan pemuda tidaklah

sendiri, melainkan dipengaruhi oleh gerakan politik yang banyak berkembang saat

itu, salah satunya gerakan Darul Islam yang bertujuan mendirikan negara Islam.136

Kepentingan yang sama untuk memajukan Islam, sangat mudah bagi kelompok

pemuda berpartisipasi dalam gerakan Darul Islam, apalagi jika tidak diimbangi

pengetahuan yang jelas. Motif ini tidak semata-mata karena doktrin Islam yang

sejalan, melainkan anggapan gerakan Darul Islam dapat membantu merefleksikan

nilai-nilai Islam. Maka adanya kesempatan ini menjadi suatu keharusan bagi Kang

Suyud sebagai muslim ortodoks mendukung gerakan Darul Islam sebagai gerakan

sosial politik yang mendukung pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat.

Mengikuti pernyataan Onghokham, idealisme pemuda menjadi faktor para

pemuda bisa dengan mudah bergerak dan bertindak mencapai cita-cita mereka.

Namun, idealisme yang umumnya dibarengi ambisi dan emosi yang besar justru

menjadikan pemuda sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam revolusi itu

sendiri, terlebih bila tidak didukung pengetahuan yang jelas.137 Maka dari itulah,

peran mereka banyak dimanfaatkan oleh segelintir kelompok untuk memobilisasi

politik semata. Bagi pemuda dalam novel ini, kecenderungan mereka lebih kepada

aksi tanpa mencari tahu seberapa besar fungsi mereka dalam kelompok itu. Hal ini

membuat mereka terjebak dan terdesak dalam gerakan pemberontakan yang tidak

136 Lihat catatan kaki nomor 36. 137 Onghokham, Op. cit., h. 142.

Page 132: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

122

dikehendaki. Perjuangan Islam yang dilakukan Amid dan kawannya tidak lebih

dari perjuangan yang hampa karena tidak pernah ada faedah yang mereka terima.

“Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat aku. Aku, dan tentu kamu juga, sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan surut.138

“Aku sudah perkirakan, tidaklah mudah bagi para laskar DI untuk kembali ke masyarakat. Kebencian mereka, terutama orang-orang komunis, terhadap kami tentulah tidak serta merta hilang karena kami telah mendapat pengampunan Pemerintah. Apalagi kami tahu, semua perampokan dan pembunuhan terhadap warga masyarakat menjadi beban dosa kami.139

Dengan stigma sebagai pemberontak, konsekuensi yang diterima kelompok

pemuda tidak hanya hukuman resmi dari pemerintah Republik, tetapi juga sanksi

sosial dari masyarakat. Sanksi sosial jauh lebih besar, sebab penilaian masyarakat

sangat berpengaruh pada kehidupan kelompok pemuda di dalam bermasyarakat.

Kebanyakan laskar Darul Islam akan sulit diterima masyarakat karena dipandang

sebagai pengacau yang membuat keresahan dan kekacauan, sehingga tidak mudah

bagi mereka mengintegrasi dan berpartisipasi di dalam masyarakat.

5) Konflik Antarkelompok revolusioner

Bersamaan dengan revolusi nasional saat itu, konflik meluas pada pertikaian

internal di dalam Republik yang banyak terjadi di daerah Jawa. Perselisihan saling

terkait melibatkan kaum revolusioner yang bukan hanya menentang kembalinya

Belanda, tetapi juga tatanan sosial politik pemerintahan. Dalam hal ini, perbedaan

pandangan mengenai dasar paham dan strategis memicu terjadinya perdebatan dan

persaingan di antara elite alternatif atau kelompok kemasyarakatan yang berujung

pada bentrokan antarkelompok revolusioner.

Pihak berkonflik yang digambarkan Ahmad Tohari dalam LTLA melibatkan

kelompok pemuda dalam kalangan santri dan tentara Republik, yang keduanya

berada dalam satu pimpinan melawan Belanda. Seperti yang sudah dikemukakan,

munculnya pertikaian dilatarbelakangi oleh sikap dan prasangka terhadap tentara

Republik. Perilaku tentara Republik sering kali membedakan kedudukan pemuda

138 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 13. 139 Ibid., h. 123.

Page 133: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

123

karena tidak memiliki pendidikan umum140 dan militer yang layak,141 sehingga

menimbulkan kebencian dan kekecewaan di kalangan kelompok pemuda. Hal lain

mengenai perselisihan paham terkait kebijakan dan prasangka terhadap tentara

Republik yang dinilai kafir karena tidak sembahyang.142 Pendapat ini didasarkan

pada penilaian Kang Suyud sebagai seorang muslim ortodoks yang menerapkan

syariat Islam dalam kehidupannya. Ketika praktik keagamaan ini tidak ditemukan

dalam kalangan tentara Republik yang juga merupakan kaum muslim, maka

muncul rasa antipati terhadap tentara Republik. Akumulasi kekecewaan itu yang

akhirnya mendorong kelompok pemuda membentuk barisan militer sendiri untuk

lepas dari sistem yang berlaku dibanding menyatu dengan tentara Republik, akan

tetapi tetap satu tujuan melawan kolonialisme. Akibatnya, kelompok pemuda dan

pasukan tentara Republik yang semula bersatu menjadi terpisah-pisah, bahkan

menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan.

Ketegangan antara santri dan abangan di masa revolusi sebenarnya bukan

persoalan baru. Pada faktanya sebagaimana dikemukakan Ricklefs, ketegangan

antara dua kelompok itu meningkat karena desakan untuk menjalani kehidupan

beragama yang lebih taat.143 Banyak dari mereka sengaja tidak bergabung dengan

tentara Republik dan lebih memilih membentuk laskar di luar Republik. Hal ini

menimbulkan pandangan miring dari masing-masing kelompok revolusioner.

Laskar Hizbullah yang terlahir kuat dari dalam masyarakat cenderung memandang

tentara Republik sebagai tentara bayaran. Di pihak lain, tentara Republik dengan

pendidikan militer dan status mereka yang resmi di bawah pemerintahan

cenderung memandang Hizbullah bukan kelompok yang sah, amatir dan sangat

mengganggu.144

Dalam konflik ini, keputusan membentuk Hizbullah berhasil membebaskan

kelompok pemuda dari diskriminasi tentara Republik, akan tetapi tidak dengan

konflik yang justru semakin intens. Ketegangan berpengaruh pada pergerakan dua

140 Lihat kutipan nomor 79. 141 Lihat kutipan nomor 78. 142 Lihat kutipan nomor 32. 143 M.C. Ricklefs, Op. cit., h. 441. 144 Robert Bridson Cribb, Op. cit., h. 61.

Page 134: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

124

kelompok tersebut dalam kelompok itu dalam melawan Belanda, di mana masing-

masing kelompok memiliki aturan penyerangan sendiri. Selain itu, keterlibatan

emosional yang besar dari masing-masing kelompok dengan mudah menimbulkan

bentrokan fisik. Perubahan-perubahan itu tampak dirasakan Amid seperti berikut.

Perubahan yang terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil jarak dengan kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri. Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga hampir terjadi baku tembak.145

Isu konflik antara Hizbullah dan tentara Republik dalam novel LTLA dapat

dikatakan mengalami perkembangan yang sangat amat cepat. Konflik berkembang

dengan kecenderungan kedua belah pihak yang saling bermusuhan. Kondisi ini

kian kompleks dengan adanya pihak lain yang terlibat, yaitu kelompok komunis

yang sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di masa revolusi, keberadaan kelompok

komunis yang diwakili partai PKI yang mendapat larangan keras karena berusaha

mengembangkan paham komunis yang jelas bersebrangan dengan sila kesatu

Pancasila dan usaha pemberontakan untuk meruntuhkan kekuasaan pemerintahan

Republik.146 Dalam konflik ini, gerombolan komunis yang menamai diri mereka

Gerakan Siluman berusaha melakukan pemberontakan di Kebumen dengan tujuan

menghalangi perpindahan laskar Hizbullah ke pemerintahan Republik. Kekacauan

dilakukan sebagai bentuk balas dendam terkait peristiwa Madiun di tahun 1948.147

.... Mereka adalah pengkhianat yang mencatut nama pasukan Republik yang tidak suka terhadap masuknya anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan Pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang dan mengarah pada tuduhan

145 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 46. 146 Samsuri, Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi,.

https://www.researchgate.net/publication/307182052_Komunisme_dalam_Pergumulan_Wacana_Ideologi_Mastumi. Diakses pada tanggal 15 November 2017 pada pukul 22.50 WIB.

147 Pengangkatan Gubernur Militer mempersempit gerakan komunis membangun kekuasaan di Solo, maka pasukan komunis keluar dari solo dan bergerak ke Madiun untuk merancang untuk pembentukan sebuah RRI. Pada 18 September, PKI menyatakan diri tidak terikat lagi pada Republik Indonesia Soekarno-Hatta. Dan malam harinya usai menjawab pernyataan Soekarno, pasukan komunis mengadakan pembersihan di kota Madiun dan daerah-daerahnya yang diduduki. Pasukan komunis membunuh prajurit-prajurit yang tidak ingin mau menyerah. Pembersihan juga terjadi di kalangan partai politik, di mana semua pimpinan dan pembantu dibabat abis.Tak terkecuali pemuka agama dibunuh dalam usaha melaksanakan amanat revolusi marhaen. Hari-hari itu menjadi hari berdarah dan menjadikan Madiun seperti kota mati karena banyak mayat yang bergeletakan. Lihat di K.M.L Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville (Jakarta, PT. Gunung Agung, 1986) h. 113-117.

Page 135: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

125

terhadap oknum-oknnum komunis. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif.148

Kutipan di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai keterlibatan

gerombolan komunis dalam konflik ini. Penyerangan yang dilakukan gerombolan

komunis dengan mencatut nama Republik bertujuan untuk semakin memperburuk

hubungan Hizbullah dengan tentara Republik, karena pasukan Republik dari awal

sudah menghalangi gerakan komunis. Apabila laskar Hizbullah menyatu ke dalam

Republik, maka akan semakin menghambat pergerakan kelompok komunis untuk

melebarkan kekuasaan komunisme. Akibat serangan itu, perpecahan antara laskar

Hizbullah dan tentara Republik pun menjadi definitif dan sulit dihindarkan lagi

karena saling dianggap sebagai pengkhianat dan pemberontak.

Dalam novel ini, Ahmad Tohari menghubungkan dinamika konflik internal

dengan konflik ideologis di tingkat pusat, yang kemudian memicu pemberontakan

Darul Islam. Kekacauan yang terjadi akibat serangan pihak komunis memaksa

Hizbullah bergabung dengan Darul Islam untuk melindungi diri dari ancaman

tentara Republik, selain juga ideologi karena ideologi Kang Suyud yang sejalan

dengan gerakan tersebut. Hal ini memunculkan polemik baru manakala ideologi

gerakan itu berseberangan dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara saat itu.

Dalam kontradiksi ini, Ahmad Tohari menekankan bahwa ideologi agama yang

dimanfaatkan Darul Islam sebagai kekuasaan tidak diakui keabsahannya, baik

oleh pemerintah maupun masyarakat, sehingga tetap berada di luar pemerintahan

Republik.149 Penolakan terhadap Pancasila kemudian berlanjut pada perlawanan

terhadap pemerintah oleh Darul Islam. Dengan keterlibatan Darul Islam, konflik

yang sebelumnya mengenai persaingan status sosial berkembang ke ranah politik,

di mana kelompok pemuda sebagai laskar Darul Islam memposisikan diri mereka

sebagai lawan tentara Republik untuk menentang pemerintah Republik yang sah.

Selama berlangsungnya konflik, serangkaian aksi kekerasan dan terorsime

dilakukan kekuatan Darul Islam untuk merebut kekuasaan dan membentuk Negara

Islam Indonesia dengan syariat Islam sebagai asas negara, sebagaimana cita-cita

148 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 65. 149 Ibid., h. 76.

Page 136: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

126

hakiki S. M. Kartosuwiryo. Tekanan berupa intimidasi dan ancaman fisik menjadi

senjata politik gerakan Darul Islam untuk mencari dukungan dan menyebarkan

doktrin Islam di masyarakat. Darul Islam dapat menyerang tentara Republik dan

kelompok-kelompok yang dianggap kafir ataupun mereka yang membantu tentara

Republik. Selain itu, Darul Islam juga melucuti siapapun yang tidak mendukung

atau menentang gerakannya. Menurut Al Chaidar, kegigihan Darul Islam dalam

struktur politik inilah sebab kebertahan gerakan tersebut dan memperluas jaringan

teritorialnya.150

Melihat sifat Darul Islam yang dikaitkan dengan pendapat Al Chaidar, dapat

dipahami bahwa penekanan agama dalam konteks ini bukan lagi sebatas ajaran,

melainkan sebagai ideologi politik untuk memegang kendali kekuasaan negara.

Hal ini semakin mempertajam konflik yang mengarah pada benturan ideologis

antara Islam dan nasionalis yang sulit dielakkan lagi, seperti yang terjadi berikut.

…. Aku sempat berbincang dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak mau mendukung kami. Ia berkeyakinan pemerintah Bung Karno sah kerena di dukung pemimpin Islam dan tidak menganjurkan kekufuran bahkan mengupayakan kemaslahatan serta kesejahteraan umum. Pemerintah Bung Karno juga dianggap sah sebab, kata kiai itu lebih baik ada pemerintahan sama sekali setelah Belanda meninggalkan Tanah air. “Taat kepada pemerintahan yang sah itu kewajibanku, kewajiban menurut imanku,” kata kiai itu.

Ya. Maka kiai itulah yang pertama kali kami tembak dalam penyerbuan kami bulan-bulan berikutnya. Waktu itu kami sudah sungguh-sungguh bertempur. Entah dari mana beberapa pemuda di kampung itu mempunyai senjata untuk melawan kami. Mereka bertahan dalam masjid. Ya. Kami bertempur di dalam tempat suci itu. Dan mereka benar-benar menguji ketangguhan kami. Seorang teman mati karena ledakan granat yang dilemparkan orang dari langit-langit kubah masjid. Bukan main!151

Kutipan di atas menegaskan pendapat sebelumnya bagaimana doktrin Islam

yang ditanamkan Darul Islam pada pengikutnya sangat kuat untuk menegakkan

hukum Islam. Ancaman dan paksaan fisik terhadap orang-orang yang menolak

gerakan Darul Islam dilakukan Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud tanpa melihat

latar belakang, sekalipun itu seorang Kiai hanya karena memiliki ideologi yang

150 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro

National Liberation Front, (Jakarta, Darul Falah, 1998) h. 57. 151 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 10.

Page 137: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

127

bersimpangan. Dalam hal ini jelas, sekat antara kawan dan lawan bagi Darul Islam

adalah kesamaan ideologis. Mereka yang dikatakan kawan, jika memiliki ideologi

yang sama, serta mendukung dan mengakui mengakui eksistensi Negara Islam

Indonesia. Sedangkan jika berseberangan, maka dikatakan musuh dan Darul Islam

tidak segan untuk menindas dan membunuh. Di samping itu, berbagai aksi teror

juga dilakukan gerakan Darul Islam untuk mendapat pembekalan makanan dan

amunisi untuk mereka bertahan hidup. Namun, hal ini justru dimanfaatkan oknum

komunis untuk menjangkau kepentingan komunis dalam merebut kekuasaan.

Beberapa kali bertempur melawan orang-orang GS untuk memperebutkan suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama menjadi basis pertahanan kami, tetapi mereka ingin menguasainya.

Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang GS ibarat tombak bermata dua. Ke arah kami, mereka membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama kami untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap dusun. Semula aku kurang yakin, akan kabar ini; bahwa nama kami mereka catut untuk kepentingan mereka, sekaligus untuk memojokan kami, terutama di mata masyarakat.152

Melihat orientasi politik keduanya, antara gerakan Darul Islam dan komunis

pada dasarnya memiliki kesamaan sebagai gerakan pemberontakan yang bertujuan

menentang dan mengganti sistem pemerintahan yang ada berlandaskan ideologi

mereka yang dipahami. Dalam konteks ini, taktik gerombolan komunis kembali

mencatut nama Darul Islam untuk meneror masyarakat dipandang efektif untuk

melemahkan kekuatan gerakan Darul Islam. Hal ini akan menyulutkan kemarahan

dan kebencian dari rakyat yang mengakibatkan nama Darul Islam semakin buruk

karena dianggap penyebab keresahan dan kekisruhan yang terjadi di masyarakat.

Dengan demikian, pergerakan gerombolan komunis tetap aman dalam melebarkan

kekuasaan.

Sementara itu, perlawanan dan pertahanan tentara Republik terhadap Darul

Islam terus menerus dilakukan demi mempertahankan sistem pemerintahan yang

sudah ada dan menghalangi melebarnya kekuasaan Darul Islam. Aksi kekerasan

yang dilancarkan Darul Islam mendorong pemerintah melalui tentara Republik

menggunakan cara kekerasan dan paksaan untuk menumpas Darul Islam. Strategi

152 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 79.

Page 138: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

128

ini digunakan untuk mengendalikan konflik agar tidak berkepanjangan karena aksi

kekerasan dan terorisme Darul Islam yang dapat merusak tatanan sosial. Dalam

usaha pembersihan itu, pasukan tentara Republik bergerak maju secara tiba-tiba

menyerang dan menghancurkan pos-pos pertahanan Darul Islam di hutan Jati.

…. Ada operasi massal. Aparat keamanan, dengan mengerahkan ratusan penduduk kampung, menyisir hutan jati Cigobang untuk menangkap kami. Beruntung Jun, yang sedang berburu balam, melihat gelagat mereka dan lari memberi tahu kami.153

Operasi massal makin mendekat. Dalam gerakan bersama dalam menyisir menuju puncak bukit, pasti mereka akan melewati kami. Kami sudah bisa mendengar kentongan-kentongan yang mereka pukul. Kemudian mereka masuk setelah memberondongkan senjata ke dalam pos yang kami telah kosongkan itu. mereka mengobrak-abrik peralatan masak kami yang tak seberapa jumlahnya.154

Keikutsertaan masyarakat dalam penyelesaian konflik ini menguatkan upaya

tentara Republik untuk menghentikan pemberontakan Darul Islam di masyarakat.

Kerja sama keduanya menunjukkan adanya tujuan yang sama, yaitu keinginan

untuk Darul Islam menyerahkan diri. Oleh karena itu, serangan demi serangan

gencar ditingkatkan tentara Republik dan masyarakat menggunakan strategi Pagar

Betis, dengan cara mengepung tempat pertahanan Darul Islam.155 Diakui Jackson,

taktik pagar betis secara psikologis dapat mematahkan semangat lawan dan

sekaligus secara militer efektif,156 sebab dengan mengepung dari segala arah dan

tempat membuat laskar Darul Islam sulit melawan.

“Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat aku. Aku, dan tentu kamu juga, sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan surut. Apalagi sekarang orang-orang kampung beramai-ramai ikut melawan dengan menggunakan gerakan pagar betis. Jadi, bagaimana pun juga aku merasa keadaan kita demikian sedang surut. Bukan aku yang mengatakan demikian melainkan kenyataan.

153 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 106. 154 Ibid., h. 109. 155 Menyarankan pada usaha pemerintah menumpas Darul Islam. Dalam taktik pagar betis,

rintangan dibentuk oleh betis-betis orang-orang sipil yang dipakai untuk mengepung gunung-gunung yang diduduki pemberontak. (Karl D Jackson. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Terj. dari Traditional Authority, Islam dan Rebellion. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990). h. 27.

156 Karl D Jackson. Op. cit., h. 27.

Page 139: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

129

Di lain hal, penekanan tentara Republik dan warga telah membatasi gerak

gerakan Darul Islam, yang menempatkan mereka dalam kondisi yang tidak stabil.

Krisis kepemimpinan Darul Islam dan ancaman, serta situasi hutan Jati Cigobang

yang sangat terbatas mempengaruhi keadaaan ekonomi Amid dan kawannya, di

mana mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup. Terlebih pandangan-pandangan

skeptis masyarakat membuat Darul Islam semakin terasingkan. Dengan ini dapat

dikatakan, ketidakpastian dan kesengsaraan yang dialami kelompok Darul Islam

menjadi fakta yang tidak dapat dibantahkan, sebagai kondisi yang timbul akibat

konflik ideologis.

Kendati persaingan ideologis antarkelompok revolusioner mewarnai suasana

revolusi menjadi puncak masalah sosial yang dihadapi kelompok pemuda, namun

hal itu tidak terlepas dari krisis sosial politik yang terjadi saat itu. Adanya faktor

lain yang mempercepat terjadinya perpecahan adalah karena masalah kemiskinan,

kesenjangan sosial, dan rendahnya pendidikan, serta pemahaman agama yang

keliru. Secara sederhana kelompok pemuda mempunyai ambisi yang kuat untuk

menunjukkan eksistensi mereka di tengah perang mempertahankan kemerdekaan.

Namun faktor pendidikan dan pemahaman terbatas yang diklaim benar membuat

pemuda sulit menerima pandangan lain. Akibatnya, kelompok pemuda bertindak

irasional yang cenderung negatif, seperti prasangka negatif, tindak kejahatan, dan

mengeksklusifkan Islam yang persoalan tersebut justru semakin mendisharmoni

hubungan antarindividu di Indonesia.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah

Dalam bagian ini akan dijelaskan bagaimana implikasi novel Lingkar Tanah

Lingkar Air (LTLA) karya Ahmad Tohari dalam pembelajaran sastra Indonesia di

SMA. Pembelajaran sastra dinilai penting untuk memperkaya wawasan dan ruang

batin peserta didik. Karya sastra banyak dipengaruhi oleh kenyataan sosial yang

terjadi di masyarakat, sehingga dengan membacanya akan membuat peserta didik

lebih peka dan peduli terhadap realitas kehidupan. Peserta didik tidak hanya

diajak untuk menikmati, tetapi juga menghayati dan memahami nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Nilai-nilai dalam karya sastra diterapkan sebagai suatu

pengalaman baru bagi peserta didik, yang nantinya tidak sekedar dipikirkan tetapi

Page 140: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

130

juga dihayati untuk menemukan makna yang ingin disampaikan pengarang dalam

karya sastra tersebut.

Melihat pentingnya pembelajaran sastra, novel LTLA dapat dijadikan media

atau bahan ajar untuk mengembangkan pengetahuan dan kreativitas peserta didik

dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Pemanfataan novel LTLA sebagai materi

pelajaran mampu menarik peserta didik untuk mengetahui persoalan sosial politik

di periode revolusi Indonesia melalui perjalanan tokoh utama yang terjebak dalam

kemelut revolusi. Berdasarkan kurikulum 2013, novel LTLA dapat dimanfaatkan

dalam pembelajaran bahasa dan sastra di SMA kelas XII semester genap. Dalam

rumusan inti kurikulum 2013, menggunakan kompetensi inti, yang mengarah pada

kompetensi sikap spiritual (KI-1 ) dan sikap sosial (KI-2) terkait dengan konsep

kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar

terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti pengetahuan (KI-3)

dan keterampilan (KI-4) berhubungan langsung dengan konsep kebahasaan yang

berkaitan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks).

Pada kompetensi sikap, (KI-2) dan (KI-2) peserta didik diharapkan menjadi

insan yang berakhlak mulia, jujur, mandiri, menghargai, bertanggung jawab dan

bertoleransi kepada sesama; sedangkan pada (KI-3) dan (KI4) diharapkan peserta

didik dapat memahami dan menyusun berbagai teks novel; tidak sekedar sebagai

pengetahuan, tetapi juga aktualisasi diri peserta didik pada konteks sosial.

Pencapaian kompetensi inti di atas dikembangkan pada proses pembelajaran

dalam kompetensi dasar: KD 3.1 memahami struktur dan kaidah teks novel baik

melalui lisan maupun tulisan; dan KD 4.1 menginterpretasi makna teks novel baik

lisan maupun tulisan. Kompetensi dasar ini tidak hanya mengarahkan pemahaman

peserta didik pada struktur tema, alur, tokoh dan latar, tetapi hal-hal lain di luar

karya sastra, seperti pembahasan masalah sosial masyarakat yang dapat membantu

peserta didik memahami novel secara keseluruhan. Ketercapaian KD ditentukan

dengan penguasaan peserta didik terhadap sub kompetensi dasar yang dipelajari,

yang dirumuskan lebih rinci dalam indikator pencapaian kompetensi, yaitu pada

KD 3.1 peserta didik: (a) mampu mengindetifikasi struktur intrinsik dan ekstrinsik

teks novel; dan (b) mampu mengindetifikasi isi teks novel. Pada KD 4.1 peserta

Page 141: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

131

didik (a) mampu menjelaskan makna/isi teks novel; dan (b) mampu menemukan

keterkaitan isi teks novel dengan kehidupan sehari-hari.

Di dalam implementasinya, pembelajaran novel LTLA pada kurikulum 2013

menitikberatkan pada pembelajaran berbasis teks dengan memandang teks novel

sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual. Pembelajaran mencakup

pada kemampuan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh

peserta didik. Seperangkat kompetensi itu diperoleh dengan menggali materi atau

informasi melalui aktivitas 5M, yaitu mengamati teks yang berhubungan dengan

struktur dan makna teks novel; menanya tentang berbagai hal terkait teks yang

diamati; mengeksplorasi dengan mencari melalui berbagai informasi tentang teks

novel dalam konteksnya, mengasosiasi melalui diskusi tentang struktur dan makna

teks novel konteksnya; dan mengkomunikasikan dengan menyimpulkan struktur

teks novel dan menginterpretasi makna teks novel secara lisan maupun tulisan.

Dengan kegiatan pembelajaran semacam itu, peserta didik banyak pendapat

pengalaman dan ilmu yang secara langsung akan menjadikannya pribadi yang

memiliki kompetensi mampu berpikir kritis, kreativitas, produktif, komunikasi,

dan kolaborasi. Lebih dari itu, semua kompetensi itu diharapkan dapat tertanam

secara seimbang dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pengembangan nilai-nilai karakter bermaksud membentuk karakter peserta

didik sebagai fondasi dirinya. Hal itu sejalan dengan tujuan Penguatan Pendidikan

Karakter (PPK) dan fungsi Pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang No. 20 Tahun 2003 tentang UUPSN Pasal 3, yaitu mengembangkan

kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi individu yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.157 Dengan

karakter dan potensi yang kuat, peserta didik diharapkan dapat berkontribusi pada

157 Sri Haryati, Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013, http://lib.untidar.ac.id/wp-

content/uploads/2017/01/Pendidikan-Karakter-dalam-kurikulum.pdf. Diakses pada tanggal 24 April 2017 pukul 15.35 WIB.

Page 142: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

132

kehidupan, sehingga mampu menghadapi setiap tantangan dan permasalahan di

dalam masyarakat secara global.

Penguatan nilai karakter terintegrasi dalam pembelajaran sastra, khususnya

pembelajaran novel LTLA bertujuan menumbuhkan kesadaran diri sehingga dapat

tercipta peserta didik yang nasionalis, tangguh, bertaqwa, mandiri dan mampu

menghadapi berbagai tantangan global. Peserta didik menginternalisasi informasi

yang diterima menjadi nilai-nilai dan diwujudkan menjadi perilaku di keseharian.

Ketika membaca novel LTLA, peserta didik akan melihat banyak peristiwa yang

pernah terjadi dan menjadi sejarah bangsa Indonesia dengan memotret kekacauan

sosial politik di awal kemerdekaan Indonesia sampai peristiwa G 30 September di

tahun 1965. Permasalahan sosial yang dihadapi rakyat Indonesia saat revolusi itu

sangat kompleks. Terjadi pergolakan akibat kolonialisme yang dibarengi dengan

semangat revolusi kelompok pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan, serta

persoalan internal di beberapa daerah, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan

perdebatan ideologis yang melibatkan kelompok masyarakat dan berujung pada

perpecahan bangsa.

Permasalahan sosial yang digambarkan dalam novel memiliki mengandung

nilai-nilai kehidupan yang dapat dikembangkan dan dikaitkan dengan konteks

kehidupan sehari-hari. Perjuangan membela negara mencerminkan nilai nasionalis

dan cinta tanah air yang diharapkan peserta didik dapat menempatkan kepentingan

bangsa di atas kepentingan pribadi. Selain itu, perpecahan antarkelompok yang

menjadi masalah besar saat itu relevan dengan realitas yang terjadi sekarang itu.

Banyak kelompok sosial berasaskan agama mendapat pertentangan di masyarakat

yang menolak kelompok tersebut, bahkan sampai terjadi perpecahan. Dari hal ini,

peserta didik diharapkan dapat bersikap toleransi, cinta damai, anti diskriminasi

dan menghargai berbagai perbedaan, serta keberagaman sosial, kultural, agama,

etnis dan ideologis masyarakat. Adanya perbedaan dalam masyarakat harus bisa

disikapi secara positif sehingga tidak terjadi perpecahan bangsa di Indonesia.

Pembelajaran sastra dengan pendekatan sosiopsikologis dirasa sangat tepat

dan efektif untuk membantu peserta didik lebih dalam memahami novel LTLA.

Pendekatan sosiopsikologis menitiberaktkan perhatian peserta didik pada masalah

Page 143: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

133

kejiwaan dan kemasyarakatan dalam karya sastra, sehingga dapat memberikan

pengalaman bermakna bagi peserta didik. Peserta didik akan lebih peduli terhadap

lingkungan sosial dan masalah-masalah yang dialami bangsa Indonesia, baik pada

masa lampau maupun situasi sekarang. Selama ini peserta didik hanya mengetahui

berbagai peristiwa dan tokoh–tokoh seperti yang diajarkan pada pelajaran sejarah,

tanpa tahu apa saja yang dirasakan masyarakat. Sementara itu, novel LTLA tidak

sekedar menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tetapi juga memberikan

gambaran perasaan dan konflik batin tokoh utama dalam menghadapi kekacauan

sosial politik saat itu. Pemahaman dari sudut pandang tokoh utama inilah yang

diharapkan dapat menumbuhkan sikap simpati dan empati peserta didik. Peserta

didik seolah-seolah masuk diri sebagai tokoh utama, sehingga bisa memahami dan

merasakan sebagaimana yang dialami tokoh utama.

Demikian pentingnya penelitian novel LTLA karya Ahmad Tohari terhadap

pembelajaran apresiasi sastra haruslah didukung oleh peran guru sebagai pendidik

professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, membimbing

dan menilai peserta didik. Kerberhasilan pembelajaran tergantung pada kualifikasi

seorang guru dalam menguasai ilmu dan keterampilan mengajar, sehingga mampu

merancang kegiatan pembelajaran melalui strategi dan model pembelajaran yang

beragam. Ketika seorang guru mampu menciptakan suasana belajar yang kreatif,

aktif, inspiratif, kontekstual dan menyenangkan, maka proses pembelajaran sastra

akan lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Peserta didik tidak hanya terhibur

dengan keindahan sebuah cerita fiksi, tetapi mendapat pengalaman bermakna dari

nilai-nilai kehidupan yang dipahami, untuk nantinya dapat hidup bermasyarakat

dan berkontribusi pada kesejahteraan hidup manusia. Tujuan pembelajaran pun

akan terpenuhi sesuai dengan KI, KD, dan IPK yang hendak dicapai oleh peserta

didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.

Page 144: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

134

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis tentang “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat

dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di sekolah”, maka dapat disimpulkan,

yakni:

1. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari adalah novel sosial

dan sejarah yang mengisahkan pergolakan revolusi yang berpengaruh pada

munculnya masalah sosial di dalam masyarakat. Akibatnya dapat dilihat dari

tema besar novel ini, yakni permasalahan sosial politik yang menyebabkan

pemuda terjebak dalam orientasi hidup setelah kemerdekaan. Tema tambahan

yang mendukung antara lain, pergeseran nasionalisme, pertentangan ideologi,

kemiskinan, dan bertahan hidup. Alur cerita menggunakan alur campuran

yang tersusun secara progresif regresif. Ada banyak tokoh cerita dalam novel,

namun tokoh dominannya adalah Amid yang bertindak sebagai tokoh utama

sekaligus pencerita. Sedangkan Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai Ngumar dan

Umi adalah tokoh tambahan yang mendukung penokohan Amid. Latar tempat

keseluruhan berada di wilayah Jawa, meliputi kota Purwokerto, Bumiayu,

Wangon, Banyumas, dan Hutan Jati Cigobang. Sementara latar waktu terjadi

di tahun awal kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1946-1965. Seluruhnya

peristiwa dikisahkan berdasarkan sudut pandang tokoh utama dengan bahasa

yang lugas, lancar, santun dan komunikatif, serta penggunaan gaya bahasa

yang didominasi personifikasi dan asosiasi yang mengesankan cerita indah,

menarik dan faktual.

2. Permasalahan sosial yang terjadi dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari di analisis berdasarkan masalah-masalah yang terjadi di

masa revolusi Indonesia, yang terdiri dari: (1) Konflik Indonesia-Belanda.

Dalam periode ini konflik berlangsung singkat dan bersifat kekerasan dengan

terjadinya perang di mana-mana yang dampaknya selain disorganisasi, juga

Page 145: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

135

penderitaan rakyat, tidak hanya secara fisik tetapi juga mental masyarakat; (2)

Kemiskinan yang terjadi pada kelompok pemuda akibat faktor situasional, di

mana mereka serba kekurangan dalam hal pendidikan, kebutuhan primer, dan

lainnya, sehingga sulit memperoleh peluang baik dan tingkah laku pemuda

yang disfungsional. (3) Kesenjangan sosial terjadi antara kelompok pemuda

dan tentara Republik terkait perbedaan status dan latar belakang pendidikan,

memungkinkan pemuda mengalami diskriminasi. (4) Masalah generasi muda

dalam masyarakat modern dalam novel ini dipicu oleh sifat ambisius untuk

menunjukkan eksistensi pemuda karena sebelumnya diperlakukan sewenang-

wenang. Pemuda dijadikan alat politik oleh beberapa gerakan pemberontakan

yang akibatnya membuat mereka terjebak dalam kemelut revolusi. (5) konflik

antarrevolusioner terjadi pada Darul Islam dan komunis yang berkeinginan

masing-masing mengukuhkan ideologi partai mereka agar dapat memegang

kekuasaan. Pemberontakan yang dilakukan mendapat ancaman keras tentara

Republik yang memicu pertempuran sepanjang revolusi sosial.

3. Implikasi dari gambaran masalah sosial masyarakat yang termuat dalam novel

Lingkar Tanah Lingkar Air dapat dipraktikkan dalam pembelajaran sastra di

tingkat SMA kelas XII semester genap. Berdasarkan kurikulum 2013, dengan

melihat Kompetensi Inti yang sesuai, KD yang ingin dicapai dalam kegiatan

pembelajaran, yakni mengindetifikasi struktur dan menginterpretasi makna/isi

teks novel baik lisan maupun tulisan. Pencapaian KD ini diharapkan peserta

didik dapat mengusai materi yang diindikasikan dalam Indikator Pencapaian

Kompetensi, yaitu pada KD 3.1 peserta didik: (a) mampu mengindetifikasi

struktur intrinsik dan ekstrinsik teks novel; dan (b) mampu mengindetifikasi

isi teks novel. Pada KD 4.1 peserta didik (a) mampu menjelaskan makna/isi

teks novel; dan (b) mampu menemukan keterkaitan isi teks novel dengan

kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra dilaksanakan berbasis teks dengan

pendekatan sosiopsikologis menekankan pada tercapainya kemampuan sikap,

pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan intelektual dan kualitas

karakter peserta didik. Dengan memanfaatkan novel LTLA sebagai media

pembelajaran, peserta didik diharapkan mampu memahami realitas sosial di

Page 146: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

136

masa lampau dari sudut yang berbeda dan di masa sekarang ini, sekaligus

memperkuat pengetahuan tentang pejuangan bangsa Indonesia. Hal demikian

dimaksudkan untuk menanamkan sikap sosial dan kesadaran diri peserta didik

terhadap bangsa dan negara sebagai insan yang cinta tanah air, jujur, mandiri,

bertanggung jawab, betoleransi, serta menghargai dan keberagaman sosial,

kultural, agama, etnis dan ideologis masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraian, ada beberapa saran

diajukan penulis, yakni:

1. Guru dalam pembelajaran sastra sudah semestinya memaksimalkan proses

pembelajaran dengan memilihkan karya sastra yang bermutu. Meningkatkan

minat baca peserta didik untuk mengetahui dan membandingkan fenomena-

fenomena yang terdapat di dalam karya sastra dengan hal-hal di kehidupan

nyata. Salah satu karya sastra dapat dijadikan rujukan dalam pembelajaran

adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

2. Peserta didik dalam proses pembelajarannya diharapkan sungguh-sungguh

memahami isi cerita novel, sehingga dapat mengambil hal-hal positif dan

menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Dari realitas dan permasalahan

yang terjadi pada tokoh pemuda, seperti Amid, bersikap positif terhadap

suatu persoalan atau orang lain sangat penting untuk terciptanya hubungan

yang damai di masyarakat.

Page 147: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

137

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2012.

Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya, 1990.

Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan

Meneggakkan Indonesia (1945-1949). Ciputat: Pustaka Kompas, 2014.

Chaidar, Al. Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan

Moro National Liberation Front. Jakarta: Darul Falah, 1998.

Cribb, Robert Bridson. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara

Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949

oleh Hasan Basri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Djik, Cornelis Van. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terj. dari Rebellion

Under the Banner of Islam oleh J. Moliono. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1995.

Dermawan, Taufik. “Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra di SMTA”,

Ibnu Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra,

(Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.

Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan

Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:

Kencana, 2011.

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Imran, Amrin., dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid 6. Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 2012.

Hayati, A dan Winarno Adiwardoyo. Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan

Asah Asih Asuh, 1990.

Herman J. Waluyo, “Pengembangan Dimensi Kreativitas dalam Pengajaran

Sastra”, Ibnu Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai

Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.

Ismail, Faisal. Panorama Sejarah Islam dan Politik Di Indonesia: Sebuah Studi

Komprehensif. Yogyakarta: iRCiSoD, 2017.

Jackson, Karl D. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus

Darul Islam Jawa Barat. Terj. dari Traditional Authority, Islam dan

Rebellion. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Page 148: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

138

Junus, Umar. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra Dan Budaya Indonesia.

Jakarta: PT. Gramedia, 1985.

Kahin, Audrey R. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari

Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip.

Jakarta: Grafiti, 1990.

Kahin, Geroge McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Nasional, Terj. dari

Nationalism and Revolution in Indonesia oleh Tim Komunitas Bambu,

Depok: Komunitas Bambu 2013.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan

Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta:

Gramedia, 1990.

Kurniawan, Heri. Teori, Metode dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012

K.S, Yudiono. Ahmad Tohari Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2003.

Luxemburg, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inlelding in de

Literatuurweteschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1992.

Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2007.

Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2005.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2007.

Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Pawardi, Redatin. Sosiologi Pembangunan. Pontianak: Untan Press, 2011.

Philipus, Ng dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak, 2012.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra: Yogyakarta: KANISIUS, 1988.

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Pendekatan Sosiologi Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

---------------------------- Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

--------------------------- Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2008.

Page 149: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

139

Retnoningsih, Suharso dan Ana Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:

Widya Karya, 2016.

Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2007.

Santosa, Wijaya Heru., dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.

Surakarta: Yuma Puskata, 2010

Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara

Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia, 1982.

Semi, M. Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 2013.

Semi, M. Atar. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung,

Angkasa, 1990.

Seokanto, Soerjono. Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.

Bandung: Refika Aditama, 2008.

Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Jakarta, Pustaka Jaya,

1995.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Terj. dari An Introduction to Fiction

oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007.

Sumardjo, Jakob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977. Bandung: ALUMI,

1999.

--------------------. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1991.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia,

1986.

Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:

Widya Karya, 2016.

Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1989.

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011.

Tobing, K.M.L. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta: PT.

Gunung Agung, 1986.

Tohari, Ahmad Lingkar Tanah Lingkar Air. Yogyakarta: HIKAYAT Publishing,

2007.

Page 150: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

140

Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.

Wellek, Renne dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of

Literature oleh Melani Budianta. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,

1993.

Wibowo, Agus Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-nilai

Karakter Melalui Pengajaran Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013.

Jamaludin, Asep. “Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar

Air karya Ahmad Tohari”. Skripsi pada Universitas Indonesia. Jakarta:

1995. Tidak dipublikasikan.

Wijianto, Wahyudi. “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari”. Skripsi pada Universitas Negeri Yogyakarta,

Yogyakarta, 2012. Tidak dipublikasikan.

Damono, Sapardi Djoko. “Pengarang Ronggeng dari Pesantren”. Koran Tempo,

Jakarta, 19 Februari 1983.

Firmansyah, Arif. “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”.

Mingguan Koran tempo. Jakarta, Minggu, 13 Januari 1994.

Santosa, Arief “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2

Februari 1993.

Haris, Ismet N. M. “Berkisar Merah” Ahmad Tohari: Menakar Harga Diri Wanita

di Tengah Kemiskinan.” Mutiara, Jakarta, 4-10 Oktober 1994.

Ibrahim, Restoe Prawironegoro. “Sastra religious Ahmad Tohari dalam Ideologi

Islam”. Harian Republika, Jakarta, Ahad 26 Oktober 2003.

Kleden, Ansis. “Sebuah Lukisan Naturalis” Kompas, Jakarta, Minggu, 17

September 1989.

Marsudi, Rey Mardianto. “Ronggeng Dukuh Paruk: Kekhilafan Yang Benar.”

Suara Karya, Jakarta, Jumat, 28 Juni 1985.

Mochtar, Syahriel. “Wawancara Dengan Novelis Ahmad Tohari: Paman Dan Bibi

Saya Makan Tempe Bongkrek.” Suara Pembaruan, Jakarta, Senin, 21

Maret 1988.

Mohammad, Yadhie. “SOSOK: Ahmad Tohari Sang ‘Punokawan’ yang Holistik

dari Tinggarjaya”. Media Indonesia, Jakarta, Minggu 16 Januari 1994.

Page 151: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

141

Pusat Dokumentasi HB, Jassin. “Kolom-kolom Seorang Novelis”. Suara Karya,

Jakarta, Jumat 2 Desember 1994.

-----------------------------------. Ahmad Tohari “Dikondisikan sebagai ‘Bahasa

Babu” Dialek Banyumas Diambang Kepunahan.” Harian Pikiran Rakyat.

Bandung, Kamis, 17 Oktober 2002.

-----------------------------------. “Ahmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya”.

Yudha Minggu, Jakarta, Minggu 9 Desember 1984.

-----------------------------------. Ahmad Tohari: Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif

Untuk Zaman Sekarang, Suara Pembaruan, Jakarta, Minggu, 5 Juni 1988.

-----------------------------------. “Diskusi Sastra: Trilogi Ahmad Tohari”, Gramedia,

Jakarta, Agustus 1987.

--------------------------------. “Wawancara dengan Novelis Ahmad Tohari, Sastra

Meronggeng: Ihwal dan Pasal.” Pelita, Senin 17 Maret 1986.

Sahid, Nur. “Pesan Moral Islami dan Cerpen Ahmad Tohari.” Suara Karya,

Jakarta, Minggu 25 Pebruari 1996.

Syahrial. “Potret-Potret Ahmad.” Majalah Berita Buku, Jakarta, 1989.

Tobing, K.M.L. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta, PT.

Gunung Agung, 1986.

Widiyanto, Eko Hidup. Dalam Sehari ‘Si Ronggeng’ Ahmad Tohari, Republika,

Jakarta, Minggu, 13 Juni 1993.

Syawie, Mochamad. “Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial.” Jurnal Informasi,

Vol. 16 No. 03 Tahun 2011.

Kusumawardani, Anggraeni dan Faturochman. “Nasionalisme.” Buletin Psikologi,

Tahun XII, No. 2, Desember 2004.

Izzah, Iva Yulianti Umadatuh. “Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri Pada

Masyarakat Muslim.” Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No.2, Oktober 2011.

Adnan, “Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah.”

https://www.scribd.com/document/354560872/Wajah-Revolusi-Indonesia-

Dalam-Perspektif-Filsafat-Sejarah-pdf. Diakses pada tanggal 29 Maret

2016.

Haryati, Sri. “Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013”.

http://lib.untidar.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/Pendidikan-Karakter-

dalam-kurikulum.pdf Diakses pada tanggal 24 April 2017 pukul 15.35

WIB.

Page 152: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

142

Kusnanto Anggoro. “Perang, Tentara dan Senjata.” Makalah disampaikan dalam

Pengantar diskusi dalam Focus Goup Discussion Propatria, Hotel Santika.

http://happyslide.top/doc/23113/perang--tentara-dan-senjata. Jakarta, 29

Oktober 2003. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2015 pada pukul 15.13

WIB.

Samsuri. “Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi”.

https://www.researchgate.net/publication/307182052_Komunisme_dalam_

Pergumulan_Wacana_Ideologi_Mastumi. Diakses pada tanggal 15

November 2017 pada pukul 22.50 WIB.

Sapto, Ari. “Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa

Revolusi dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini”.

http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/4734.

Diakses pada tanggal 3 Oktober 2017.

Page 153: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

Sinopsis Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari

Kemerdekaan sejatinya memberikan kebebasan dari tekanan apapun dan siapapun.

Kenyataannya, hal itu tidak dirasakan Aku. Aku adalah Amid, yang terperangkap

dalam dilema hidup atau mati. Tanpa dikehendaki, perjuangan membela negara

sendiri pasca kemerdekaan Indonesia bukan menjadikan aku sebagai pahlawan,

melainkan sebagai pengacau masyarakat yang harus siap dimatikan oleh Republik

kapanpun itu.

Berbagai masalah melingkari kehidupan Amid selama masa revolusi karena

ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi

saat itu. Ini bukan tanpa alasan, karena sebelumnya Amid adalah seorang pemuda

santri biasa tanpa banyak pengetahuan yang dimiliki. Setelah empat tahun tamat

Vervolk School, Amid menghabiskan waktu dengan belajar silat bersama beberapa

temannya, satu di antaranya adalah Kiram di bawah bimbingan Kiai Ngumar.

Keterlibatan Amid dalam situasi revolusi Indonesia berawal di Maret tahun

1946, ketika di suatu malam, Kiai Ngumar memanggil Amid dan Kiram. Saat itu

usia Amid 18 atau 19 tahun. Hati Amid berdebar karena mengira kiai sepuh itu

akan memberinya rahasia-rahasia ilmu silat. Namun bukan itu, Amid dan Kiram

justru mendapat perintah berperang membantu tentara Republik melawan tentara

Belanda yang kembali ingin menguasai Indonesia. Perintah ini berdasarkan fatwa

jihad yang dikeluarkan oleh seorang Hadratus Syeckh dari Jawa Timur dalam

rapat besar di alun-alun kota Purwokerto yang dihadiri banyak ulama dan kiai.

Dalam fatwanya, “berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan

negara yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa

yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.”

Amid berpandangan dengan Kiram. Rasa tegang yang sebelumnya berubah

menjadi keraguan. Amid tidak sepenuhnya paham. Sebab ia mengetahui Indonesia

sudah merdeka dan tidak melibat perubahan yang nyata di desanya. Ia juga sulit

membayangkan perang. Amid meraba perang seperti perkelahian. Dan bila benar,

ia merasa siap karena sudah belajar silat. Keesokan harinya dengan dari restu Kiai

Ngumar dan tanpa persiapan apapun, Amid dan Kiram berangkat ke Purwokerto

untuk mendapat pelatihan ketentaraan. Namun kabar itu berubah menjadi perintah

untuk merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Di sana ratusan tentara

Republik tampak benar-benar siap berperang dan menyadang senjata, bersiaga di

atas bukit di kiri dan kanan jalan.

Selama membantu tentara Republik banyak hal yang terjadi pada Amid dan

Kiram yang menimbulkan konflik di antara para pemuda dan pasukan Republik.

Pada faktanya, Amid dan Kiram tidak dilibatkan dalam perang, melainkan hanya

disuruh mecari kayu bakar, menebang pohon, meninta ransum ke para penduduk

dan ikut mengangkat beberapa peralatan senjata tentara Republik. Amid melihat

Page 154: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

kekecewaan yang dalam pada diri Kiram karena Kiram sangat ingin menyandang

senjata layaknya tentara Republik. Paginya, Amid dan Kiram bergerak ke jalan

besar untuk mencegat tentara Belanda. Ketegangan mulai terasa dan terjadi perang

singkat. Dalam kesadaran yang kurang penuh, Amid menjadi saksi ledakan yang

sangat kuat menggema hingga asap membumbung.

Setelah perang singkat itu, Kiram berkeinginan membentuk barisan pemuda

karena merasa sudah bersenjata dan menjadi musuh tentara Belanda. Amid tidak

mampu menolak sebab Kiram selalu menghinanya anak bawang dan hanya Kiram

yang bisa meminjamkan Amid senjata. Barisan yang terbentuk hanya dengan satu

senjata yang dicuri Kiram dari tentara Republik itu secara ajaib membuat mereka

menjadi urakan. Karena dengan nama itu jugalah, Amid dan Kiram menjadi bebas

melakukan apapun yang mereka suka, seperti menyerang tentara Belanda bahkan

meminta bahan makanan ke masyarakat.

Merasa tidak puas dengan barisan pemuda, selang beberapa lama Amid dan

pemuda lainnya, Kiram, Jun dan Kang Suyud membentuk barisan Hizbullah yang

diketuai Kang Suyud sebagai kiai muda. Hal ini mendapat pertentangan dari Kiai

Ngumar yang tidak sependapat dengan alasan Kang Suyud dan Kiram tidak ingin

bergabung dengan tentara Republik. Kang Suyud kecewa melihat realitas banyak

tentara Republik beraliran komunis, sedangkan Kiram merasa sakit hati karena ia

pernah dihina buta huruf. Amid melihat situasi ini menjadi kaku. Dari hati yang

dalam, Amid setuju pada saran Kiai Ngumar dan ingin bergabung dengan tentara

Republik. Namun atas saran Kiai Ngumar juga Amid mengikuti teman-temannya.

Di rumah Kang Suyud, mereka membentuk Hizbullah secara sederhana di tahun

1948. Banyak perubahan dirasakan Amid menyangkut hubungannya dengan

masyarakat yang membuat mereka sulit meminta bantuan atau pasokan logistik.

Tidak hanya itu, hubungan merenggang juga dengan pasukan tentara Republik

hingga sering kali menyebabkan baku tembak karena kesalahpahaman.

Satu tahun kemudian tepat Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui

kedaulatan Indonesia. Peperangan dengan tentara Belanda seketika berhenti. Hal

lain yang muncul adalah pilihan membubarkan Hizbullah atau melebur ke tentara

Republik. Amid lulusan Vervolk School dapat masuk ke Republik, tapi tidak untuk

Kiram dan Jun karena mereka tidak bersekolah sehingga tidak memiliki ijazah. Di

sisi lain, Amid melihat Kiram, Jun dan Kang Suyud yang sebenarnya tidak ingin

menjadi tentara Republik karena tidak melepaskan senjata mereka. Bahkan Amid

mendengar selentingan bahwa Kang Suyud memiliki cita-cita sendiri. Kiai muda

itu hendak bergabung dengan Darul Islam yang ingin mendirikan negara Islam.

Suasana menegang karena Kang Suyud bersikeras tidak ingin menjadi bagian dari

Republik. Sementara dari wajahnya yang terlihat tegang, Kiai Ngumar tidak suka

terlibat dalam perdebatan. Amid cemas apakah kiai memilih Islam atau Republik.

Page 155: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

Amid melihat Kiai Ngumar berusaha keras untuk menembus batas peraturan

itu demi masa depan kelompok pemuda. Namun, harapan itu musnah ketika dalam

perjalanan ke Kebumen Amid dan ratusan pemuda yang bergabung di dalam rel

kereta api diserang oleh gerombolan komunis yang berusaha ingin memperburuk

hubungan Hizbullah dan pasukan tentara Republik. Seketika terjadi pertempuran

berkecamuk tanpa tahu siapa lawan dan siapa kawan. Masing-masing kelompok

saling menyerang, melancarkan tembakan dan melawan. Suara tembakan berhenti

setelah hampir dua jam. Kereta api benar-benar lumpuh. Tak ada lagi tanda-tanda

kehidupan dari mereka yang bertahan.

Amid merasakan adanya pengkhianatan. Namun masih dipertanyakan siapa

yang berbuat sekotor itu. Mencatut nama pasukan Republik untuk mencegah anak

Hizbullah dilebur menjadi tentara resmi. Kemarahan memuncak sebab kini Amid,

Kiram dan Jun tidak hanya gagal menjadi tentara Republik, tetapi juga dianggap

sebagai pemberontak. Amid bersembunyi di rumah Kiai Ngumar atas jaminan kiai

itu. Kiram memilih pergi dengan wajah yang sangat pahit dan Jun mengikutinya.

Amid merasa karena untuk melindungi dirinya Kiai Ngumar terpaksa ditangkap

tentara Republik dan diperlakukan kasar. Ia memutuskan untuk menyusul Kiram

dan Jun di mana pun mereka berada karena baginya pasukan Republik tidak hanya

menutup pintu melainkan sudah menghendaki kematiannya.

Ternyata tidak mudah mencari Kiram dan Jun. Tanpa sengaja Amid bertemu

dengan Kang Suyud di surau kecil. Selama pertemuan itu, Kang Suyud berusaha

mempengaruhi Amid tentang kekacauan itu dan kemungkinan-kemungkinan yang

akan diterimanya. Bila Amid menyerahkan diri, ia tetap akan ditembak mati oleh

tentara Republik. Amid masih diam. Ia merasa tidak sanggup melepaskan diri dari

pengaruh Kang Suyud dan perlahan sungguh bisa membenarkan kata-kata Kang

Suyud. Bersama Kiram dan Jun, Amid pun mengikuti langkah Kang Suyud yang

sebelumnya sudah menjadi laskar Darul Islam.

Selama menjadi laskar Darul Islam, mereka harus mengikuti aturan Darul

Islam untuk menyebarkan doktrin dan mencari dukungan ke pedesaan. Bila tidak

mendukung, maka akan dilucuti. Aksi mereka ini dimanfaatkan oknum komunis

yang menggunakan nama Darul Islam untuk melakukan perampokan-perampokan

demi kepentingan mereka. Situasi semakin kacau dan nama Darul Islam semakin

buruk di mata masyarakat.

Hampir satu dasawarsa Amid, Kiram dan Jun terpaksa bertahan di hutan Jati

untuk menghindari serangan tentara Republik dan gerombolan komunis. Keadaan

hutan yang serba memaksa mereka merampok untuk mendapatkan bahan pangan.

Sampai di suatu malam, Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud mencegat jip militer.

Seketika perasaan Amid tergerus ketika ia menemukan seuntai tasbih dan sebuah

Quran milik seorang militer Republik, yang seharusnya tidak dibunuh. Ini bukan

pertama, sebab sebelumnya Amid merasakan kepiluan ketika menatap mayat para

Page 156: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

pencuri kayu bersama istri dan anak mereka. Adilkah melibatkan mereka dalam

kejahatan meskipun tak sengaja. Kematian orang-orang itu terasa menggerus jiwa

Amid dan ia mulai mempertanyakan manfaat gerakannya selama ini. Dalam ironi

yang sulit dimengerti ini, Amid mulai menginginkan tentang hidup normal. Hidup

di desa bersama istrinya, Umi. Terlebih kondisi Umi yang sedang hamil dan selalu

hidup susah membuat merasa selalu tidak tenang selama berdiam di hutan.

Kekuatan Darul Islam semakin melemah. Merosotnya jumlah anggota dan

makin kuatnya perlawanan terhadap Darul Islam membuat Amid semangat Amid

terus menurun. Amid merasa kelompok sudah terpencil karena hubungan dengan

pemimpin tertinggi Darul Islam sudah lama terputus. Dan kematian Kang Suyud

membuat Amid merasa semakin kehilangan pegangan dan berpikir akan nasibnya

ke depan.

Di akhir Juni 1962, seorang anggota Darul Islam bernama Toyib membawa

kabar penting mengenai tertangkapnya Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam oleh

pasukan tentara Republik. Kabar lain berisi seruan agar semua anggota Darul

Islam meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada aparat keamanan dengan

jaminan pengampunan yang dikeluarkan pemerintah Republik. Di lain hal ada

pertentangan yang dirasakan Amid dan kawan-kawannya terkait pandangan

masyarakat. Mereka pun kembali ke masyarakat dan secara terpaksa menerima

cacian dan ejekan masyarakat atas apa yang mereka lakukan selama menjadi

laskar Darul Islam. Meskipun bergitu, yang lebih penting dari kembalinya mereka

adalah bisa berkumpul dengan keluarga.

Selang tiga tahun kebebasannya, Amid, Kiram dan Jun kembali mendapat

panggilan dari komandan pasukan militer untuk membantu penumpasan pasukan

komunis di hutan Jati Cigobang. Melihat kesempatan ini mereka berharap dapat

membantu tentara Republik secara nyata dengan berada digaris terdepan melawan

pasukan komunis. Amid merasakan keharuan yang dalam. Air matanya menetes.

“Kini aku akan berperang atas nama Republik yang pernah sangat kurindukan dan

gagal terlaksana…. Ya, yang tak pernah kuduga akhirnya aku mendapat peluang

bertempur atas nama negara.”

Pertempuran terjadi sangat sengit. Amid beberapa kali sempat melancarkan

senjata. Namun tak lama kemudian tembakan melukai bahunya. Mata Amid terasa

berkunang-kunang. Dalam kesadaran yang masih tersisa, Amid mendengar suara

dan melihat wajah Kiai Ngumar yang perlahan menuntunnya. Samar-samar, Amid

masih mengingat wejangan Kiai Ngumar yang dulu pernah diberikan kepadanya,

bahwa “memerangi kekuatan yang merusak ketentraman masyarakat hukumnya

wajib”.

Page 157: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Materi Pokok : Teks Novel

Kelas/Semester : XII/Genap

Tahun Pelajaran : 2017/2018

Alokasi Waktu : 4JP (2Pertemuan)

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong

royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan

sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara

efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai

cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural

berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan

humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban

terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural

pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan

masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan

pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu

menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)

Kompetensi Dasar (KD) Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)

1.1. Mensyukuri anugerah Tuhan akan

keberadaan bahasa Indonesia dan

menggunakannnya sesuai dengan

kaidah dan konteks untuk

mempersatukan bangsa.

1.1.1. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia

benar yang baik dan benar.

2.1. Menunjukkan perilaku jujur,

peduli, santun, dan tanggung jawab

dalam penggunaan bahasa

Indonesia untuk memahami dan

menyajikan novel.

2.1.1 Terbiasa berinisiatif dalam bahasan

memecahkan masalah.

2.1.2 Terbiasa memberi pendapat dalam bahasan

pemecahan masalah.

2.1.3 Terbiasa menggunakan pilihan kata yang

menunjukkan sikap yang santun.

Page 158: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

3.1. Memahami struktur dan kaidah teks

novel baik lisan maupun tulisan.

3.2. Menginterpretasi makna teks novel

baik lisan maupun tulisan.

3.1.1 Mengidentifikasi struktur dan kaidah teks

novel.

3.1.2 Mengindentifikasi ciri bahasa teks novel.

3.1.3 Menjelaskan makna/isi pokok teks novel.

3.1.4 Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai

dengan latar cerita.

3.1.5 Menemukan keterkaitann isi novel dengan

kehidupan sehari-hari.

C. Tujuan Pembelajaran

Melalui kegiatan pembelajaran menggunakan model Genre-based-Approach yang dipadukan

dengan metode Numbered Heads Together, CTL (Contextual Teaching and Learning), dan

pendekatan sosiopsikologis yang menuntun peserta didik untuk mengamati permasalahan,

menuliskan penyelesaian dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Selama dan setelah

mengikuti proses pembelajaran ini peserta didik diharapkan dapat:

Kompetensi Sikap

1. Terbiasa berinisiatif dalam bahasan memecahkan masalah

2. Terbiasa memberi pendapat dalam bahasan pemecahan masalah

3. Terbiasa toleran dalam memecahkan masalah

4. Terbiasa membantu teman sejawat dalam memecahkan masalah

5. Terbiasa menggunakan gesture dengan santun

Kompetensi Pengetahuan dan Keterampilan

Pertemuan Pertama

Selama dan setelah mengikuti pembelajaran ini peserta didik dapat:

1. Mengidentifikasi isi teks novel dengan baik

2. Mengidentifikasi struktur dan kaidah teks novel dengan baik

3. Mengidentifikasi ciri bahasa teks novel dengan baik

Pertemuan Kedua

Selama dan setelah mengikuti pembelajaran ini peserta didik dapat:

1. Menjelaskan isi makna/isi pokok teks novel dengan baik,

2. Menjawab pertanyaan literal yang terkait dengan novel dengan baik

3. Menjelaskan keterkaitan isi novel dengan kehidupan sehari-hari dengan baik

dengan rasa rasa ingin tahu, tanggung jawab, displin selama proses pembelajaran, bersikap

jujur, santun, percaya diri dan pantang menyerah, serta memiliki sikap responsif (berpikir

kritis) dan pro-aktif (kreatif), serta mampu berkomukasi dan bekerjasama dengan baik.

Focus nilai-nilai Sikap

1. Religious

2. Disiplin

3. Mandiri

4. Kerja keras

5. Integritas

D. Materi Pembelajaran

Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2

Isi novel Meringkas isi teks novel

Page 159: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

Struktur atau kaidah novel Menemukan pokok peristiwa dalam novel

Ciri bahasa novel Keterkaitan keadaan sosial novel dengan

konteks sosial peserta didik

E. Metode Pembelajaran

Pendekatan : Sosiopsikologis

Model Pembelajaran : Pembelajaran Berbasis Teks (Genre-based-Approach)

Metode Pembelajaran : Ceramah, diskusi, penugasan, Numbered Heads Together, dan

CTL (Contextual Teaching and Learning)

F. Media/alat, Bahan, dan Sumber Belajar

Pustaka rujukan Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari

Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiantoro, terbitan Gadjah

Mada University Press tahun 2013.

E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, terbitan Yrama

Widya tahun 2012.

Kamus Istilah Sastra karya Abdul Razak Zaidan dkk, terbitan Balai

Pustaka tahun 2007.

Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia karya Maman S Mahayana

terbitan PT RajaGrafindo Persana 2007.

Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977 karya Jacob Sumardjo,

terbitan ALUMNI tahun 1999.

Sumber lain yang relevan.

Material: VCD,

kaset, poster Foto Ahmad Tohari

Media cetak dan

elektronik

Cerpen Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari yang

dimuat dalam harian Republika dan Artikel tentang kehidupan

Ahmad Tohari

Website internet -

G. Langkah-langkah Pembelajaran

1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu

Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan ini guru:

Orientasi (Menunjukkan sikap disiplin sebelum memulai proses pembelajaran,

menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut (Karakter) serta

membiasakan membaca dan memaknai (Literasi)).

Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa untuk memulai

pembelajaran (PPK : religious)

Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin

Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan

pembelajaran.

Apersepsi

Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan

10

menit

Page 160: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu

dengan pengalaman peserta didik pada materi/kegiatan sebelumnya,

Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.

Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang

akan dilakukan.

Motivasi

Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari

Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan berlangsung.

Pemberian Acuan

Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan

berlangsung.

Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan

KKM pada pertemuan yang berlangsung

Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan

langkah-langkah pembelajaran.

Kegiatan Inti

Kegiatan Pembelajaran

Mengamati

Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian

pada topik:

Memahami struktur novel Lingkar Tanah Lingkar Air

Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Mengindetifikasi ciri bahasa novel

Menyimpulkan unsur-unsur novel Lingkar Tanah Lingkar Air

Peserta didik melihat gambar atau wujud novel yang ditampilkan guru

sebagai gambaran tentang novel Indonesia.

Peserta didik menyimak penjelasan guru tentang hakikat novel untuk

membangun konteks.

Peserta didik melakukan tanya jawab untuk membangun pemahaman tentang

materi novel yang akan dipelajari,

Setelah menjawab pertanyaan, peserta didik menyimak guru menjelaskan

novel Lingkar Tanah Lingkar Air sambil mencermati hal-hal menarik dari

novel tersebut

Menanya

Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi

sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan novel dan penjelasan yang

diberikan, yang akan dijawab melalui kegiatan belajar.

Peserta didik menanyakan hal-hal yang belum dipahami terkait tentang

hakikat novel.

Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang hal-hal menarik dan

menonjol yang terdapat dalam novel “Lingkar Tanah Linkar Air”.

Mengajukan pertanyaan tentang :

Memahami struktur novel Lingkar Tanah Lingkar Air

Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

10

menit

Page 161: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu

Mengindetifikasi ciri bahasa novel

Menyimpulkan unsur-unsur novel Lingkar Tanah Lingkar Air

yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk

mendapatkan informasi tambahan untuk mengembangkan kreativitas, rasa

ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran

kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.

Mengumpulkan informasi

Peserta didik mengumpulkan berbagai informasi yang dapat mendukung jawaban

dari pertanyaan-pertanyaan yang diidentifikasi melalui kegiatan:

Peserta didik diminta membaca teks novel berjudul “Lingkar Tanah Lingkar

Air” kemudian mengerjakan tugas-tugas.

Dengan dipandu guru, peserta didik mengenali struktur cerita novel pendek

“Lingkar Tanah Lingkar Air”, khususnya tema.

Dengan dipandu guru, peserta didik mengenali struktur cerita novel pendek

“Lingkar Tanah Lingkar Air”, khususnya alur, tokoh, latar, sudut pandang,

dan gaya bahasa.

Peserta didik diminta untuk menemukan gagasan pokok dalam novel yang

diyakini dijadikan sumber cerita pada novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

Peserta didik dengan bantuan guru mengenali struktur dan ciri bahasa novel

“Lingkar Tanah Lingkar Air”.

Mengasosiasi

Peserta didik mendiskusikan data/informasi yang diidentifikasi melalui diskusi

kelompok guna saling bertukar informasi dan menemukan masalah terkait materi

pokok yang dibahas.

Peserta didik mengindetifikasi hal-hal menarik dari novel “Lingkar Tanah

Lingkar Air”.

Peserta didik secara berkelompok berdiskusi bersama untuk mengidentifikasi

struktur novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

Peserta didik secara berkelompok berdiskusi bersama untuk mengidentifikasi

ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

Peserta didik bersama kelompoknya berdiskusi bersama untuk menjelaskan

struktur novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

Peserta didik bersama kelompoknya berdiskusi bersama untuk menjelaskan

ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

Peserta didik bersama kelompoknya menuliskan simpulan hasil diskusi

tentang isi, struktur novel dan ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar

Air”.

dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga

diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi

kelompok kemudian, dengan menggunakan metode ilmiah yang terdapat pada

buku pegangan peserta didik atau pada lembar kerja yang disediakan dengan

cermat untuk mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat

orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan

informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan

belajar dan belajar sepanjang hayat.

Page 162: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu

Mengkomunikasikan

Peserta didik menyajikan dan menyampaikan hasil data/informasi yang diperoleh

dari kegiatan diskusi secara lisan maupun tulisan .

Peserta didik bersama kelompoknya mempersentasikan hasil diskusi secara

klasikal tentang isi, struktur dan ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar

Air”.

Peserta didik mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan dan

ditanggapi oleh kelompok yang mempresentasikan

Bertanya atas presentasi yang dilakukan dan peserta didik lain diberi

kesempatan untuk menjawabnya.

Peserta didik menyimpulkan tentang point-point penting yang muncul

dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan berupa laporan hasil

pengamatan secara tertulis tentang isi, struktur bentuk, dan ciri bahasa teks

cerpen. Simpulan yang dibangun dari simpulan kelompok kecil, kini menjadi

lebih sempurna, menjadi simpulan kelas.

Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru

melemparkan beberapa pertanyaan kepada peserta didik.

Catatan :

Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap peserta didik

dalam pembelajaran yang meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri,

berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin

tahu, peduli lingkungan)

Kegiatan Penutup

Peserta didik:

Membuat rangkuman/simpulan pelajaran.tentang point-point penting yang

muncul dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan.

Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.

Guru:

Memeriksa pekerjaan siswa yang selesai langsung diperiksa. Peserta didik

yang selesai mengerjakan projek dengan benar diberi paraf serta diberi

nomor urut peringkat, untuk penilaian projek.

Memberikan penghargaan kepada kelompok yang memiliki kinerja dan

kerjasama yang baik

Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugas kelompok/

perseorangan (jika diperlukan).

Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya

70

menit

2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu

Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan ini guru:

Orientasi (Menunjukkan sikap disiplin sebelum memulai proses pembelajaran,

menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut (Karakter) serta

membiasakan membaca dan memaknai (Literasi)).

10

menit

Page 163: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu

Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa untuk memulai

pembelajaran (PPK : religious)

Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin

Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan

pembelajaran.

Apersepsi

Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan

dengan pengalaman peserta didik pada materi/kegiatan sebelumnya,

Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.

Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang

akan dilakukan.

Motivasi

Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari

Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan berlangsung.

Pemberian Acuan

Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan

berlangsung.

Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan

KKM pada pertemuan yang berlangsung

Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan

langkah-langkah pembelajaran.

Kegiatan Inti

Kegiatan Pembelajaran

Mengamati

Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian

pada topik:

Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr

Menjelaskan makna/isi pokok teks novel

Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita

Menemukan keterkaitan keadaan sosial novel dengan kehidupan

sehari-hari

didik membaca kembali novel pendek yang berjudul “Lingkar Tanah

Lingkar Air” secara sekilas dan menikmati kekhasan imajinasinya.

Guru menjelaskan makna novel “Lingkar Tanah Lingkar Air” dalam konteks

sosialnya.

Peserta didik menangkap dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru

tentang konteks sosial yang menjadi fokus pembelajaran.

Menanya

Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi

sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang disajikan dan

akan dijawab melalui kegiatan belajar:

Peserta didik dengan bimbingan guru bertanya jawab untuk mengingat

70

menit

Page 164: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu

kembali isi, struktur, ciri bahasa teks novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”.

Pertanyaannya dapat berupa hal-hal yang sudah diketahui pada

pembelajaran sebelumnya atau pertanyaan lanjutan tentang informasi setelah

membaca novel.

Peserta didik bertanya jawab dengan guru bertanya jawab tentang pokok-

pokok peristiwa yang berkaitan dengan latar cerita dalam “Lingkar Tanah

Lingkar Air”.

Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang keterkaitan realitas sosial

dalam novel “Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan realitas sekarang yang

terjadi di dalam kehidupan peserta didik.

Mengajukan pertanyaan tentang :

Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr

Menjelaskan makna/isi pokok teks novel

Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita

Menemukan keterkaitan keadaan sosial novel dengan kehidupan

sehari-hari

yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk

mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati untuk

mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan

pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas

dan belajar sepanjang hayat.

Mengumpulkan informasi

Peserta didik mengumpulkan berbagai informasi yang dapat mendukung jawaban

dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui kegiatan:

Guru memberi tugas secara berkelompok untuk menguatkan informasi yang

telah didapat berupa lembar tugas. Misalnya:

Temukanlah pokok-pokok peristiwa sesuai latar cerita dalam novel

“Lingkar Tanah Lingkar Air”!

Kaitkanlah keadaan sosial masyarakat dalam novel “Lingkar Tanah

Lingkar Air” dengan realitas sosial sekarang!

Dalam diskusi kelompok peserta didik saling bertukar informasi dan

memikirkan jawaban dari lembar tugas.

Dalam kelompok peserta didik secara aktif membaca sumber-sumber lain

untuk menambah pemahaman tentang keterkaitan peristiwa dalam novel

dengan realitas di kehidupan sehari-hari.

Mengasosiasi

Peserta didik mendiskusikan data/informasi yang diidentifikasi melalui diskusi

kelompok guna saling bertukar informasi dan menemukan masalah terkait materi

pokok yang dibahas.

Peserta didik mengerjakan beberapa soal mengenai:

Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr

Menjelaskan makna/isi pokok teks novel

Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita

Menemukan keterkaitan isi novel dengan kehidupan sehari-hari

Dengan dipandu oleh guru, peserta didik bersama kelompoknya mengaitkan

Page 165: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu

isi dan pokok peristiwa yang dibaca dalam novel “Lingkar Tanah Lingkar

Air” dengan realitas sosial peserta didik.

Peserta didik bersama kelompoknya mencari contoh keadaan sosial dalam

kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan konteks sosial dalam novel

“Lingkar Tanah Lingkar Air”.

Peserta didik menemukan keterkaitan keadaan sosial yang ada dalam novel

“Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan realitas di kehidupan.

Mengkomunikasikan

Peserta didik menyajikan dan menyampaikan hasil data/informasi yang diperoleh

dari kegiatan diskusi secara lisan maupun tulisan .

Peserta didik bersama kelompoknya/sharing hasil diskusi kepada kelompok

seluruh kelas tentang keterkaitan peristiwa dan keadaan sosial novel

“Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan kehidupan nyata peserta didik

Dalam diskusi kelas, peserta didik menjelaskan dan memberi contoh

keterkaitan peristiwa dan keadaan sosial novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”

dengan kehidupan sehari-hari.

Dalam diskusi kelas, peserta didik dari kelompok lain sebagai pengamat

mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan dan ditanggapi oleh

kelompok yang mempresentasikan.

Secara bergantian, peserta didik dari tiap kelompok melaporkan hasil

diskusi kepada seluruh kelompok kelas.

Peserta didik menyimpulkan tentang point-point penting yang muncul dalam

kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan berupa laporan hasil

pengamatan secara tertulis tentang isi, struktur bentuk, dan ciri bahasa teks

cerpen. Simpulan yang dibangun dari simpulan kelompok kecil, kini menjadi

lebih sempurna, menjadi simpulan kelas.

Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru

melemparkan beberapa pertanyaan kepada peserta didik.

Catatan :

Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap peserta didik

dalam pembelajaran yang meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri,

berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin

tahu, peduli lingkungan)

Kegiatan Penutup

Peserta didik:

Membuat rangkuman/simpulan pelajaran tentang point-point penting yang

muncul dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan.

Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.

Guru:

Memeriksa pekerjaan peserta didik yang selesai langsung diperiksa. Peserta

didik yang selesai mengerjakan projek dengan benar diberi paraf serta diberi

nomor urut peringkat, untuk penilaian projek.

Memberikan penghargaan kepada kelompok yang memiliki kinerja dan

kerjasama yang baik

Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugas kelompok/

10

menit

Page 166: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu

perseorangan (jika diperlukan).

Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya

F. Penilaian

TEKNIK

DAN

BENTUK

Tugas:

Peserta didik diminta membaca novel Lingkar Tanah Lingkar Air

karya Ahmad Tohari.

Peserta didik berdiskusi memahami unsur intrinsik (tema, alur, tokoh,

latar dan sudut pandang) yang ada dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

Peserta didik secara berkelompok diminta untuk menjelaskan unsur-

unsur intrinsik dalam novel

Peserta didik berdiskusi memahami unsur ekstrinsik terkait keadaan

sosial dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.

Peserta didik secara berkelompok mengungkapkan kaitannya keadaan

sosial di masa Revolusi Indonesia yang terdapat dalam novel Lingkar

Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dengan realitas sosial

sekarang.

Observasi kinerja/Demonstrasi:

Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian.

Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap presentasi

kelompok.

Tes tulis:

Peserta didik menjawab “Kuis Uji Benar-Salah” untuk mengukur

pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.

Mengetahui, Jakarta, April 2018

Kepala SMA/MA Guru Bidang Studi

.................................. ...................................

NIP./NIK. NIP./NIK

Page 167: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

PENILAIAN KERJA KELOMPOK

A. Penilaian Tugas kelompok

Nama Kelompok : …………. Kelas : ……… Tanggal : ………

No. Aspek Penilaian Bobot Nilai

1

Kejelasan saat menjelaskan pengertian unsur intrinsik

dan ekstrinsik novel.

a. Sesuai (5)

b. Kurang sesuai (3)

c. Tidak sesuai (1)

5

2

Kemampuan mendiskusikan dan menjelaskan unsur

intrinsik novel.

a. Sesuai (5)

b. Kurang sesuai (3)

c. Tidak sesuai (1)

5

3

Kemampuan menjelaskan keadaan sosial masyarakat

dalam novel.

a. Sesuai (5)

b. Kurang sesuai (3)

c. Tidak sesuai (1)

5

4

Kemampuan menyimpulkan hasil diskusi.

a. Sesuai (5)

b. Kurang sesuai (3)

c. Tidak sesuai (1)

5

Nilai =

Page 168: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

B. Penilaian Sikap

Nama Kelompok :

Anggota Kelompok :

Kelas :

Tanggal Penilaian :

No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai

A B C D

1. Antusiasme peserta didik di setiap kelompok

dalam penyusunan tugas.

2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.

3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.

4. Keberanian dalam mengemukakan pendapat.

5. Tingkat perhatian pada keolmpok lain yang

sedang mempresentasikan hasil diskusi.

6. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia

yang baik dan benar.

7. Terbiasa berinisiatif dalam bahasan

memecahkan masalah.

8. Terbiasa toleran dalam memecahkan masalah

9. Terbiasa membantu teman sejawat dalam

memecahkan masalah

10. Terbiasa menggunakan gesture dengan yang

santun.

Pedoman penskoran:

1 → Kurang 2 → Cukup 3 → Baik 4 → Sangat Baik

Nilai =

Page 169: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

LEMBAR KERJA SISWA (LKS)

Nama Kelompok :

Nama Anggota Kelompok

1. ………………… 4. …………………

2. ………………… 5. …………………

3. …………………

Analisislah unsur tema, alur, tokoh, latar dan sudut pandang, serta jelaskanlah

keadaan sosial dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari!

Ringkasan diskusi :

Page 170: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

Nama :

Kelas :

Hari/Tanggal :

“KUIS BENAR-SALAH”

Lingkarilah huruf B jika benar dan huruf S jika salah untuk setiap pernyataan berikut:

No Pernyataan Benar/Salah

1. Novel menceritakan kehidupan manusia dalam durasi yang

panjang, lebih detail dan kompleks. B S

2. Unsur intrinsik secara langsung membangun cerita yang

membentuk sebuah karya sastra. B S

3. Fakta dalam sebuah cerita melingkupi tema, alur, latar, dan

sudut pandang. B S

4.

Unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara

tidak langsung membangun cerita mempengaruhi teks

sastra disebut unsur ekstrinsik. B S

5. Tokoh cerita yang hanya memiliki satu watak tertentu saja,

maka dinamakan tokoh utama. B S

6.

Tahapan alur meliputi tahap penyituasian, tahap tengah,

tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, dan

tahap akhir. B S

7. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. B S

8. Adat istiadat, tradisi, dan cara bersikap di suatu tempat

menunjukkan latar tempat suatu novel. B S

9. Tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan

menunjuk pada teknik pengembangan tokoh cerita. B S

10.

Pengisahan dengan sudut pandang “Dia” memungkinkan

untuk membeberkan berbagai pengalaman tokoh cerita ke

hal yang paling dalam dan rahasia sekalipun. B S

Page 171: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

JAWABAN “KUIS BENAR-SALAH”

Lingkarilah huruf B jika benar dan huruf S jika salah untuk setiap pernyataan berikut:

No Pernyataan Benar/Salah

1. Novel menceritakan kehidupan manusia dalam durasi yang

panjang, lebih detail dan kompleks.

S

2. Unsur intrinsik secara langsung membangun cerita yang

membentuk sebuah karya sastra. B

S

3. Fakta dalam sebuah cerita melingkupi tema, alur, latar, dan

sudut pandang. B

S

4.

Unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara

tidak langsung membangun cerita mempengaruhi teks

sastra disebut unsur ekstrinsik.

B S

5. Tokoh utama adalah tokoh cerita yang hanya memiliki satu

watak tertentu saja. B

S

6.

Tahapan alur meliputi tahap penyituasian, tahap tengah,

tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, dan

tahap akhir.

S

7. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. B

S

8. Adat istiadat, tradisi, dan cara bersikap di suatu tempat

menunjukkan latar tempat suatu novel. B

S

9. Tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan

menunjuk pada teknik pengembangan tokoh cerita.

B S

10.

Pengisahan dengan sudut pandang “Dia” memungkinkan

untuk membeberkan berbagai pengalaman tokoh cerita ke

hal yang paling dan rahasia sekalipun. B S

Jumlah benar x 10 = 100

B

B

S

B

S

S

B

B

S

S

Page 172: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

URAIAN MATERI

A. Pengertian Novel

Novel adalah suatu bentuk sastra yang di dalamnya mengandung dua unsur, yaitu

unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang mana keduanya saling berpengaruh dalam

sebuah karya sastra. Pengertian novel dikemukakan Kosasih sebagai karya imajinatif

yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa

orang tokoh. HB. Jassin secara lebih rinci menjelaskan novel merupakan suatu

karangan prosa bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari

kehidupan tokoh cerita, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu

pertikaian, yang mengalihkan urusan nasib mereka.1 Dalam sebuah novel, cerita akan

lebih luas, kompleks dan lebih panjang dibanding cerpen, dan di dalamnya

menggambarkan kondisi dan situasi yang kemungkinan berangkat dari kenyataan di

masyarakat.

Untuk mengetahui perbedaan antara cerpen dan novel, maka perhatikan tabel di

bawah ini.2

No. Cerpen Novel

1 Alur lebih sederhana.

Alur lebih rumit dan lebih panjang.

Ditandai oleh perubahan nasib pada

sang tokoh.

2 Tokoh yang dimunculkan hanya

beberapa orang.

Tokoh yang dimunculkan lebih banyak

dalam berbagai karakter.

3 Latar yang dilukiskan hanya

sebentar dan sangat terbatas.

Latar meliputi wilayah geografi yang

luas dan dalam waktu yang lebih lama.

4 Tema mengupas masalah yang

relatif sederhana.

Tema lebih kompleks, ditandai oleh

adanya tema-tema bawahan.

B. Unsur Intrinsik Novel

Novel sebagai sebuah karya fiksi secara langsung dibangun oleh unsur-unsur

intrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur utama yang membangun karya sastra itu

sendiri. Unsur yang dimaksud meliputi: tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut

pandang, dan gaya bahasa. Berikut penjelasannya.

a. Tema

Tema adalah ide pokok yang menjalin struktur isi cerita secara keseluruhan.

Baldic dalam Nurgiantoro mengartikan tema sebagai gagasan abstrak utama yang

terdapat dalam karya sastra dan dimunculkan secara berulang-ulang, baik secara

1 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 19.

2 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung, Yrama Widya, 2012),

h. 60.

Page 173: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.3 Biasanya tema tersembunyi pada

unsur penokohan, alur ataupun latar. Untuk mengetahui tema tersebut, maka

diperlukan apresiasi menyeluruh dengan membacanya sampai tuntas. Tema-tema

karya sastra banyak dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat, menyangkut segala

persoalan, berupa kemanusiaan, persahabatan, perjuangan, percintaan, kekuasaan, dan

sebagainya.

b. Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Menurut E.

Kosasih pola pengembangan cerita dalam suatu alur terbentuk oleh hubungan sebab

akibat.4 Serangkaian peristiwa yang muncul disebabkan atau menyebabkan berbagai

peristiwa lain. Kekuatan alur dalam sebuah novel terlihat dari bagaimana pengarang

membawa pembacanya mengikuti terjadinya konflik, memuncaknya konflik, dan

berakhirnya konflik. Hal ini karena novel bersifat kompleks dengan persoalan

tokohnya yang rumit.

Secara umum, dalam novel tahapan alur atau jalan cerita terbagi ke dalam bagian-

bagian berikut.

1) Pengenalan situasi cerita, yang mana pengarang memperkenalkan para tokoh,

menata adegan dan hubungan antartokoh;

2) Pemunculan konflik, dalam bagian ini peristiwa awal yang menimbulkan

berbagai masalah, pertentangan, dan kesulitan bagi para tokohnya.

3) Peningkatan konflik, terjadi peningkatan konflik yang mana konflik di tahap

sebelumnya semakin meningkat kadar intensitasnya yang akibatnya

bertambahnya kesukaran tokoh.

4) Klimaks, menjadi puncak konflik yang dialami tokoh. Inilah bagian cerita

paling besar yang mana ditentukannya perubahan nasib beberapa tokoh.

5) Penyelesaian sebagai akhir cerita berisi jalan keluar atau penjelasan nasib yang

dialami tokohnya setelah mengalami puncak konflik.

c. Tokoh dan Penokohan

Antara tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang sangat berkaitan dalam

sebuah novel. Tokoh merupakan pelaku dalam cerita fiksi, sedangkan penokohan

merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-

tokoh dalam cerita.5 Untuk mengembangan karakter seorang tokoh tersebut dapat saja

melalui: 1) penggambaran fisik dan perilaku tokoh; 2) penggambaran jalan pikiran

tokoh; 3) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; 4) penggambaran oleh tokoh

lain; dan 5) penggambaran tata kebahasan tokoh.

3 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 115.

4 E. Kosasih, Op.cit, h. 63.

5 E. Kosasih, Op.cit, h. 67.

Page 174: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

d. Latar/ Setting

Latar merupakan gambaran tentang waktu dan tempat terjadinya peristiwa. Latar

dalam hal ini harus dilihat secara keseluruhan untuk memperkuat pembaca memahami

jalannya cerita, yang secara tidak langsung mendukung tokoh untuk menggerakan

peristiwa-peristiwa. Ketika membaca suatu cerita rekaan, pembaca mempunyai

persepsi lokasi, waktu dan suasana yang dialami tokoh. Ketepatan pelukisan latar akan

membantu memperjelas peristiwa yang sedang diceritakan.

Mengutip pada Aminuddin dan Nurgiantoro, latar dikelompokkan dalam tiga

unsur mencakup: (1) latar tempat, yang mengarah pada di mana atau lokasi konkret

terjadinya peristiwa yang diceritakan; (2) latar waktu, merujuk pada masalah kapan

terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita rekaan. Penetapan waktu peristiwa

biasanya dapat dihubungankan dengan waktu faktual atau dapat dikaitkan dengan

peristiwa sejarah. (3) latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan,

mencakup seperti tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap serta

status sosial tokoh yang bersangkutan. Apsek-aspek itu dapat menentukan apakah latar

cerita khususnya tempat menjadi khas, fungsional, tipikal ataupun netral untuk

menyakinkan pembaca terhadap suasana daerah yang menjadi latar cerita.6

e. Sudut Pandang

Sudut pandang, point of view, merupakan cara sebuah cerita dikisahkan, yang

berkaitan dengan posisi pengarang dalam membawakan cerita. Pemilihan posisi

pengisahan cerita pada hakikatnya menunjuk pada teknis bercerita agar apa yang

dikisahkan lebih efektif. Posisi pengarang dalam menyampaikan cerita dapat saja

berperan secara langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang ikut terlibat

dalam cerita. Ia menggunakan istilah “Aku” mengisahkan peristiwa dan tindakan yang

diketahuinya, dilihatnya, didengar, dialami dan dirasakannya. Dalam cerita, pengarang

dapat pula menyampaikan cerita dengan cara bercerita orang ketiga. Ia menggunakan

kata dia, ia atau memakai nama orang. Pengarang seakan berada di luar cerita dan

tidak memegang peranan apapun. Ia hanya menceritakan apa yang terjadi di antara

tokoh-tokoh cerita yang dikarangnya.

f. Gaya Bahasa

Gaya bahasa menunjuk pada cara pengucapan bahasa dalam karya sastra, atau

bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.

Penggunaan bahasa pada cerita fiksi berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau

suasana bagi pembaca. Kecerdasan dan ketepatan mempergunakan bahasa secara

langsung dapat menjelmakan suatu suasana keindahan, simpatik atau emosional yang

menyentuh hati pembaca.

6 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 314-325.

Page 175: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

g. Amanat

Amanat merupakan pesan moral atau didaktis yang hendak disampaikan oleh

pengarang kepada pembaca melalui karya sastra. Amanat biasanya tersimpan rapi dan

tersembunyi dalam keseluruhan isi cerita. Seperti halnya tema, maka untuk

menemukan itu, perlu membaca secara tuntas agar dapat mengetahui amanat apa yang

hendak disampaikan pengarang.

C. Unsur Ekstrinsik Novel

Di sisi lain, unsur ekstrinsik merupsksn unsur-unsur yang berada di luar teks

sastra. Meski tidak ikut di bagian dalam teks sastra, namun secara tidak langsung

mempengaruhi penciptaan teks sastra. Pemahaman unsur ekstrinsik didasarkan bahwa

karya sastra tidak muncul dari kekosongan budaya, sehingga harus tetap dipandang

sebagai sesuatu yang penting.

Seperti halnya unsur intrinsik, dalam hal ini unsur ekstrinsik juga terdiri dari

sejumlah unsur, antara lain: latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan

pandangan hidup pengarang, adat-istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik,

persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain.7 Dalam rumusan yang

tidak jauh berbeda, Wellek & Warren memaparkan unsur-unsur ekstrinsik meliputi: 1)

biografis dalam hal sikap, keyakinan dan ideologi pengarang sebagai orang yang

menciptakan karya sastra; 2) psikologi baik psikologi pengarang sebagai pribadi dan

proses kreatifnya; 3) keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti sistem politik,

ekonomi, dan situasi sosial; 4) dan pemikiran suatu bangsa yang turut mempengaruhi

penciptaan karya sastra.8

Referensi

Kosasih, E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2007.

Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1989.

7 Suroto, Op.cit, h. 138.

8 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta, PT. Gramedia

Pustaka Utama, 1993), h. 77-153.

Page 176: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 177: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 178: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 179: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 180: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 181: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
Page 182: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39788/1/MARCITA... · tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa

PROFIL PENULIS

Marcita Fajarwati, lahir di Jakarta pada 29 Maret

1993. Anak kedua dari empat bersaudara ini

memulai pendidikan dasar di SDN Ciracas 13

Jakarta, lalu meneruskan pendidikannya di SMP

Negeri 174 Jakarta Timur. Kemudian melanjutkan

pendidikan ilmu Pariwisata di SMIP Mahadhika 3

Jakarta Timur. Dan setelah lulus pada tahun 2011,

memilih meneruskan pendidikannya ke perguruan

tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif (UIN)

Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia.

Dunia perkuliahan memberi penulis banyak pelajaran dan pengalaman. Mengenal sastra

bukan lagi sebagai sebuah cerita dalam coretan aksara, melainkan rekam kehidupan.

Mengenal seorang guru tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga penuntun bagi

muridnya. Di akhir, penulis berharap semoga skripsi yang dibuat dapat bermanfaat bagi

pembacanya.