skripsi -...
TRANSCRIPT
GAMBARAN MASALAH SOSIAL MASYARAKAT
DALAM NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA
AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Marcita Fajarwati
1111013000088
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Marcita Fajarwati, 1111013000088, “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat
dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. Dosen Pembimbing: Rosida Erowati,
M. Hum.
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari merefleksikan keadaan sosial
politik pada masa revolusi Indonesia. Perubahan sosial yang demikian cepat dan
fundamental di berbagai dimensi kehidupan menimbulkan banyak masalah sosial
masyarakat. Akibatnya, tidak hanya pada fisik tetapi juga mentalitas pemuda yang
membuat mereka terjebak dalam pergolakan revolusi Indonesia. Penelitian yang
menggunakan tinjauan sosiologi sastra ini bertujuan untuk mendeskripsikan
masalah sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari dan diharapkan dapat dijadikan sumber dalam kegiatan
pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Metode yang digunakan
adalah metode kualitatif deskriptif. Subjek penelitian ini adalah masalah sosial
masyarakat dan objek penelitiannya berupa teks novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari. Teknik pengumpulanan data dengan menggunakan metode
kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data relevan dengan membaca dan
mencatat. Berdasarkan hasil penelitian yang dikaitkan dengan melihat realitas
sosial di masa revolusi, terlihat masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari meliputi lima hal: 1) Konflik Indonesia-
Belanda; 2) Kemiskinan; 3) Kesenjangan sosial; 4) Masalah generasi muda dalam
masyarakat modern; dan 5) Konflik antarkelompok revolusioner. Masalah-
masalah sosial masyarakat yang dialami tokoh utama dan nilai-nilai yang
terkandung dalam novel tersebut dapat dijadikan bahan dan media pembelajaran
untuk menumbuhkan kesadaran dan kepekaan peserta didik terhadap realitas di
masyarakat.
Kata kunci: Masalah sosial, revolusi Indonesia, pemuda, pembelajaran sastra
ii
ABSTRACT
Marcita Fajarwati, 1111013000088, “An Overview of Social Issues in Ahmad
Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air and Its Implication on Indonesian Literature
Learning in School”. Department of Indonesian Language and Literature, Faculty
of Tarbiyah and Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta,
2018. Advisor: Rosida Erowati, M. Hum.
Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air presents many social and political
situasions during the Indonesian revolution. Such rapid social changes in various
dimensions create social problems of society. As a consequence, not only physical
but also the psychology of the revolutionary youth during his struggle under much
pressure and thereby trapped in the turbulent revolution era. The research using
sociology literature review which aims to describe the social problems of society
contained in Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar Air and is expected to be a
source of literary learning activities in Senior High School (SMA). The method
used is descriptive qualitative method. The subject of this research is a social
problem and the object of his research is Ahmad Tohari’s Lingkar Tanah Lingkar
Air novel. Collecting data technique using library method, that is by collecting
relevant data with reading and record. Based on the research done by looking at
the reality in the revolution, the social problems in Ahmad Tohari’s Lingkar
Tanah Lingkar Air novel covers five aspects: 1) Indonesian-Dutch Conflict; 2)
Poverty; 3) The axial gap; 4) The problem of the young generation in modern
society; and 5) Conflict between revolutionary groups. Social problems of society
experienced by the characters and the values contained in the novel can be used as
materials and learning media to foster the awareness and sensitivity of learners to
the reality in society.
Keywords: Social issues, revolution, youth, literary learning
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbilalamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah Subhanahu wataala yang senantiasa telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, serta kesehatan jasmani dan rohani kepada penulis sehingga skripsi
dengan judul “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat dalam Novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra
Indonesia” ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam
penulis curahkan kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasalam dan semoga kita
mendapat syafaatnya kelak.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Terselesaikannya skripsi ini tentu saja tidak
terlepas dari nasihat, saran, dukungan, bimbingan dan motivasi yang dilimpahkan
kepada penulis dari banyak pihak. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang memudahkan dalam segala proses baik formal maupun
informal.
3. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat
membantu proses penulisan skripsi, selalu berusaha meluangkan waktu dalam
bimbingan skripsi, sabar dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan
masukan untuk tulisan hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan
baik.
4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya,
dan dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis selama
menempuh pendidikan di UIN SyariF Hidayatullah Jakarta.
iv
5. Teristimewa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang
tua penulis, yaitu Bapak Yaya Fajar dan Ibu Cusi Mulyati yang senantiasa
menyayangi, membimbing, menasehati, dan tidak henti-hentinya memberikan
semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ucapan teristimewa juga ditujukan kepada kakak terbaik penulis, yaitu Vini
Fajarwati dan adik-adik tersayang, Braga Maulana Furqaan dan Alm. Yudho
Maulana Ramadhan yang senantiasa memberikan semangat, motivasi, dan
kehangatan di hari-hari penulis hingga saat selesainya skripsi ini.
7. Teman-teman terbaik dan seperjuangan, Maisyah Rahmanita Putri, Nurlaily
Hanifah, Septi Liawati, dan Tasmiyatun Hasanah yang sejak awal perkuliahan
sering bersama-sama, memberi keceriaan dan kehangatan, saling mendoakan,
menyemangati, mendukung dan memberikan motivasi baik untuk perkuliahan
maupun tentang kehidupan.
8. Teman-teman seperjuangan yang menjadi teman diskusi dan bimbingan
selama proses penulisan skripsi ini, Madhensia Putri Pratiwi, Ade Nurfadillah
Amalia Rosyidah, dan Rahayu Handayani yang selalu memberi doa, motivasi
dan mendukung.
9. Teman-teman jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2011
khususnya kelas C yang menjadi teman diskusi dan bermain selama proses
perkuliahan yang selalu, ramai, kompak dan saling memotivasi.
10. Teman-teman PPKT di SMPN 2 Tangerang Selatan yang telah bekerja sama
dan kompak selama praktik mengajar, memberikan banyak keceriaan, doa
dan pengalaman bagi penulis.
Dengan segala kebaikan dan doa kepada penulis, semoga senatiasa mendapat
pahala dan limpahan rahmat-Nya. Selain itu, besar harapan penulis skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, yang diharapkan dapat membantu
meningkatkan pembelajaran sastra Indonesia.
Jakarta, 11 April 2018
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 6
D. Rumusan Masalah .................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian. ..................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
G. Metode Penelitian ..................................................................... 7
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Hakikat Masalah Sosial
1. Pengertian Masalah Sosial .................................................. 10
2. Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya ................. 12
3. Masalah Sosial dalam Masyarakat ...................................... 12
B. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia .......................................... 15
C. Pemberontakan Darul Islam ...................................................... 20
D. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel ................................................................ 23
2. Unsur Pembangun Novel .................................................... 25
E. Pendekatan Sosiologi Sastra ..................................................... 35
F. Pembelajaran Sastra Indonesia .................................................. 38
G. Penelitian Relevan ................................................................... 42
vi
BAB III : PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi Ahmad Tohari ............................................................ 44
B. Pemikiran Ahmad Tohari ......................................................... 46
C. Karya-karya dan Penghargaan Ahmad Tohari .......................... 50
BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Struktur Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari
1. Tema .................................................................................. 52
2. Alur atau Plot ..................................................................... 61
3. Tokoh dan Penokohan ........................................................ 70
4. Latar ................................................................................... 85
5. Sudut Pandang .................................................................... 96
6. Gaya Bahasa ....................................................................... 98
7. Amanat ............................................................................... 103
B. Analisis Masalah Sosial Masyarakat dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari
1. Konflik Indonesia-Belanda ................................................. 106
2. Kemiskinan ........................................................................ 111
3. Kesenjangan Sosial ............................................................. 115
4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern .......... 117
5. Konflik Antarkelompok Revolusioner ................................ 122
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah . 129
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 134
B. Saran ........................................................................................ 136
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 137
LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keterikatan kepada suatu realitas, atau kepada suatu peristiwa, merupakan
fakta pada perkembangan novel Indonesia.1 Cerita dalam suatu novel memiliki
kemungkinan yang berhubungan dengan peristiwa nyata. Hal itu dipertegas lewat
pernyataan Sumardjo yang mengatakan bahwa “keresahan sosial dan politik boleh
dikatakan mendominasi kehidupan sastra, bukan saja dalam dekade terakhir tetapi
juga sejak tahun 1950-an”.2 Berdasarkan pengamatan Sumardjo dari 36 novel
yang dipelajarinya, 11 novel bertemakan revolusi yang nyatanya bahwa persoalan
revolusi baru dibicarakan ramai setelah revolusi sendiri usai.3 Dari data itu dapat
dilihat bahwa sebagian besar novel Indonesia dipengaruhi oleh situasi pada masa
revolusi Indonesia. Hampir semua novel Indonesia saat itu memberikan gambaran
kehidupan yang sulit dibedakan dengan kehidupan nyata karena memperlihatkan
kondisi sosial politik Indonesia yang tidak stabil.
Secara historis bahwa revolusi Indonesia boleh dikatakan menjadi peristiwa
sejarah yang tidak terelakkan karena membawa perubahan yang luar biasa dalam
tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi, bahkan kesusastraan. Revolusi terjadi
secara cepat dan drastis dalam keresahan sosial menyangkut eksistensi bangsa dan
negara akan penguasa kolonial yang ingin kembali berkuasa setelah Indonesia
merdeka. Sebagai reaksinya, perlawanan bersenjata dilakukan oleh hampir seluruh
rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Selama periode itulah,
dalam kurun tahun 1946-1949, terjadi peperangan di antara kedua negara itu. Bagi
Indonesia, peperangan tersebut tidak lain untuk menentang dominasi dan
kekuasaan asing, yang menunjukkan upaya bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan.
1 Umar Junus, Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra Dan Budaya Indonesia, (Jakarta,
PT. Gramedia, 1985), h. 3. 2 Jacob Sumardjo, Pengantar Novel Indonesia, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991), h. 3 Jacob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977, (Bandung, ALUMNI, 1999),
h. 73-73.
2
Secara langsung situasi revolusi menjadi tidak kondusif yang menyebabkan
guncangan dan kepincangan di dalam masyarakat karena tidak semua anggota
masyarakat siap menerima perubahan itu. Adanya perbedaan kesiapan inilah yang
kemudian memicu permasalahan sosial di dalam masyarakat sebagai dampak dari
perubahan sosial yang sangat cepat dan fundamental di berbagai aspek kehidupan.
Di antara permasalahan sosial yang terjadi, terlihat kemiskinan yang kian meluas
di kalangan masyarat bawah, peperangan, kesenjangan dan kecemburuan sosial,
perdebatan ideologis, tindakan penindasan berkaitan dengan kelas sosial; tindakan
kekerasan bernuansa agama, dan disintegrasi sosial dalam masyarakat. Akibatnya
berpengaruh pada mentalitas masyarakatnya, di mana ketakutan, kegelisahan dan
ketidaktentraman sosial menyelimuti rakyat Indonesia selama revolusi.
Melihat persoalan tersebut, yang dihubungan dengan sastra, tampak bahwa
potret kehidupan masyarakat menjadi bagian penting dari perjalanan pengarang
dalam menciptakan karya sastra. Sastra tidak seketika lahir dan tumbuh mengikuti
pergerakan yang terjadi dalam suatu masyarakat, melainkan melalui proses yang
rumit dan berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan Maman Mahayana bahwa sastra
lahir selalu melalui proses kegelisahan panjang yang menyangkut problem sosial,
kultural, bahkan politik-ideologi, dan ketidakpuasan rasa intelektual.4 Dalam hal
hubungan keduanya, sastra adalah rekaman atau jejak berupa tulisan indah yang
melukiskan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Kaitannya untuk memaknai kenyataan sosial di tengah masyarakat saat itu,
novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang dituliskan Ahmad Tohari merupakan satu
dari banyaknya novel Indonesia berlatar revolusi yang penting untuk dibahas.
Dalam konteks ini, Maman S Mahayana mengungkapkan secara tematis novel itu
mengangkat persoalan umat Islam yang pernah terjadi di masa lalu, yaitu sebuah
trauma sejarah umat Islam di Indonesia yang melibatkan gerakan DI/TII, di mana
terjadi gerakan pemberontakan yang dilatarbelakangi oleh kacaunya situasi yang
terjadi di masa revolusi.5 Lebih jauh analisa Yudiono KS terhadap beberapa karya
Ahmad Tohari, yang memandang novel Lingkar Tanah Lingkar Air sebagai potret
4 Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 5. 5 Maman S Mahayana, Op. cit., h. 302.
3
ketidakberdayaan individu menghadapi berbagai perubahan politik di sekitarnya.6
Situasi ini sebagai dampak dari permasalahan sosial yang terjadi di masa revolusi
yang memperlihatkan kemiskinan, pemberontakan, dan peperangan antarsaudara.
Keterlibatan kaum ulama dan santri secara keseluruhan dalam perjuangan
melawan kolonialisme merupakan salah satu hal yang perlu diketahui dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air, yang tanpa disadari mengungkap serangkaian fakta-
fakta di masa revolusi. Perang yang melibatkan ulama dan santri dilakukan setelah
dikeluarkan resolusi jihad berakhir dengan terbentuknya banyak laskar Islam.
Pergerakan ulama dan santri melawan kolonial Belanda lebih jauh diiringi proses
pembentukan dasar negara, yang dalam hal ini adalah gerakan Darul Islam yang
berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Republik. Perihal DI/TII sebenarnya
sudah menjadi perbincangan di tahun 1950an sebagai gerakan pemberontakan
dengan tokoh utamanya Kartosuwiro yang bercita-cita mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII).
Hal menarik lainnya adalah penggunaan “Akuan” lewat pengisahan tokoh
utama yang terlibat dalam gerakan Darul Islam membuat pembaca dapat menilai
sendiri apa yang sebenarnya dialami laskar Darul Islam. Kehidupan tokoh utama,
Amid, menjadi tampak faktual dengan situasi saat itu, sebab Ahmad Tohari tidak
begitu saja menciptakan tokohnya, melainkan lewat wawancara langsung dengan
seorang laskar Darul Islam yang dikreasikan secara imajinatif oleh Ahmad Tohari
sendiri. Dalam perjuangannya mempertahankan kemerdekaan, Amid dihadapkan
pada rentetan konflik, baik itu batin maupun sosial. Pergolakan revolusi saat itu
memaksa Amid bergabung dalam gerakan Darul Islam, yang pada kenyataannya
membuat ia semakin sulit. Sejauh perjuangannya, Amid mengalami pergolakan
batin di antara pilihannya untuk menyerahkan diri atau tetap bertahan di hutan Jati
sebagai laskar Darul Islam dengan kondisi yang makin terdesak.
Ahmad Tohari tampaknya mempersoalkan revolusi dari sisi yang berbeda.
Sastrawan kelahiran Banyumas ini tidak secara gamblang menceritakan peristiwa
revolusi sebab novel ini diciptakan bukan untuk menggambarkan peristiwa sejarah
secara utuh. Di akuinya dalam wawancaranya di harian Jawa Post, bahwa ia ingin
6 Yudiono K.S, Ahmad Tohari Karya dan Dunianya, (Jakarta, Grasindo, 2003), h. 77.
4
“menanamkan proses kesadaran nasionalisme di kalangan para santri.7 Dengan
keprihatinanya, ia ingin kembali menumbuhkan kesatuan agama dan kebangsaan
di kalangan pemuda seperti sebutan selam.8 Bukan sifat eksklusivisme, di mana
mereka yang memiliki ideologi saling memisahkan diri dan membentuk barisan
sendiri sebagai bentuk sikap nasionalisme, seperti pada salah satu kutipan dalam
novel LTLA berikut.
“… Dulu, di mata uang orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan yang Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong royong. Jadi aku tak paham mengapa Kang Suyud tidak mau bergabung dengan tentara resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang.”9
Kecerdasaran Ahmad Tohari dalam bercerita melihat suatu persoalan dapat
membuka hati dan pikiran pembaca untuk turut memahami permasalahan ke sudut
yang lebih jauh. Fenomena yang terjadi pada pemuda santri ini merupakan bentuk
kritik Ahmad Tohari yang melihat secara langsung ketidakadilan dan perpecahan
yang jika dibiarkan terus menerus akan merusak sendi-sendi bangsa dan negara.
Meskipun banyak berbicara berbagai peristiwa dan situasi di masa revolusi,
Tohari memilih untuk mematangkan cerita fiksinya ini, maka dalam kurun waktu
hampir 25 tahun, novel Lingkar Tanah Lingkar Air dipublikasikan. Semula cerita
ini dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Republika Jakarta awal tahun
1993. Kemudian barulah cerita ini diterbitkan menjadi sebuah novel pendek pada
tahun 1995 oleh penerbit Harta Prima, Purwokerto.
Dalam ranah pendidikan, pembahasan tentang masalah sosial yang dalam
novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dapat dijadikan media dan
7 Arief Santosa, “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2 Februari
1993, h. 8. 8 Selam dari asal kata Islam, sebutan untuk semua warga asli Indonesia sebelum adanya
istilah pribumi di zaman Budi Oetomo. Istilah selam menunjukan antara kebangsaan dan keagamaan dulu sudah padu menyatu, inklusif. Jadi selam adalah ciri yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Lihat di Arief Santosa, “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2 Februari 1993.
9 Ahmad Tohari, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Yogyakarta, Hikayat Publishing, 2007), h. 40-41.
5
bahan ajar dalam pembelajaran sastra di sekolah. Novel ini mengandung banyak
nilai kehidupan, seperti nilai pendidikan, nilai religius, nilai nasionalis, dan nilai
integritas yang dapat membentuk dan menguatkan karakter peserta didik. Hal ini
akan menumbuhkan kesadaran diri peserta didik dalam berpikir dan berperilaku di
kesehariannya. Dengan mengetahui realitas sosial dan memahami persoalan hidup
tokoh utamanya menjadikan peserta didik lebih berwawasan dan kristis. Bahkan
akan tumbuh rasa simpati dan empati, kepekaan rasa tidak hanya pada apa yang
dialami tokoh tetapi masyarakat yang mengalami hal itu, serta kesadaran sosial
peserta didik mengenai berbagai masalah sosial dan orang-orang di sekelilingnya.
Lebih jauh, peserta didik dapat mengetahui dan memahami peristiwa-peristiwa
yang pernah terjadi dan menjadi sejarah bangsa Indonesia. Peserta didik akan
melihat bagaimana hubungan sastra dengan kehidupan, serta bagaimana sastrawan
berbicara mengenai revolusi di Indonesia untuk menjawab berbagai permasalahan
sosial di masa itu.
Dengan memperhatikan latar belakang masalah tersebut, penulis bermaksud
untuk menelaah apa saja masalah sosial masyarakat yang tercermin dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari menggunakan telaah sosiologi
sastra yang meniktiberatkan pada hubungan karya sastra dengan konteks sosial di
masyarakat. Kemudian akan diimplikasikan dalam pembelajaran sastra Indonesia
di sekolah yang diharapkan tidak hanya memberikan pengetahuan tentang novel
dalam konteksnya, tetapi turut berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta
didik. Dengan ini, maka penulis mengangkat judul skripsi: “Gambaran Masalah
Sosial Masyarakat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah.
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut, dapat
ditemukan beberapa identifikasi masalah yang dapat dibahas dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Di tahun 1950-an, hampir semua novel Indonesia mengangkat latar revolusi
dan peristiwa revolusi dari sisi yang berbeda, sehingga perlunya pemahaman
yang mendalam mengenai novel-novel di tahun itu.
6
2. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air membicarakan tentang permasalahan sosial
masyarakat di masa revolusi, sehingga perlunya pemahaman yang mendalam
terhadap novel tersebut.
3. Perlunya pembahasan masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra
untuk mengembangkan aspek kognitif dan afektif siswa pada pembelajaran
sastra Indonesia di sekolah.
C. Pembatasan Masalah
Dalam sebuah penelitian, tidak semua masalah menjadi pembahasan. Maka,
perlu adanya batasan masalah agar tidak meluas. Berdasarkan identifikasi masalah
yang telah dikemukakan di atas, penulis membatasi dan memfokuskannya hanya
pada masalah-maslah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah dan Lingkar
Air dalam karya Ahmad Tohari dan implikasinya dalam terhadap pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia.
D. Rumusan Masalah
Agar permasalahan dalam analisis ini menjadi jelas dan terarah, maka perlu
adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran masalah sosial masyarakat di masa revolusi dalam
novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.?
2. Bagaimana implikasi masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di sekolah?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, dalam penelitian ini
penulis menguraikan tujuan penelitian yang ingin dicapai dari analisis novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, yakni:
1. Mendeskripsikan masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Mendeskripsikan penelitian masalah sosial masyarakat dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap implikasi pembelajaran
sastra Indonesia di sekolah.
7
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis, sebagai berikut.
1. Secara teoretis penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pada
pembelajaran sastra di sekolah, terutama mengenai novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Lebih dari itu, penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat dan memperluas ilmu dalam penelitian sosiologi sastra.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi peserta
didik dalam memahami kondisi masyarakat di masa revolusi Indonesia yang
terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
Peserta didik dapat memahami hubungan sastra dengan hal-hal di luar karya
sastra, khususnya masalah sosial dan sejarah dari sisi yang berbeda. Lebih
jauh, peserta didik dapat mengambil sikap terhadap masalah saat ini yang
memiliki kesamaan atau kaitan dengan masalah di masa revolusi.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam analisis ini menggunakan metode kualitatif dengan
teknik analisis deskriptif. Alasan penggunaan metode kualitatif karena analisis ini
dilakukan untuk memperoleh gambaran masalah sosial masyarakat dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra Indonesia. Penggunaan metode kualitatif secara keseluruhan
dilakukan dengan cara menafsirkan data-data dan menyajikannya secara deskripsi
dalam bentuk kata-kata tertulis pada konteks tertentu,10 bukan dalam bentuk
angka-angka. Sumber data formal dalam penelitian ini sesuai dengan bidang sastra
adalah kata, kalimat atau wacana yang terkandung dalam karya sastra.
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam
hubungannya konteks keberadaannya.11 Metode kualitatif dengan teknik analisis
deskriptif dalam penelitian ini mengutamakan penggambaran data melalui kata-
kata yang dimaksudkan untuk menguraikan kemudian mendeskripsikan hubungan
antarunsur cerita di dalam teks sastra dan mengungkapkan keadaan sosial tertentu
10 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2009), h. 46. 11 Ibid., h. 47.
8
dengan menggambarkan realitas itu secara benar dan objektif. Dalam penelitian
ini, dilakukan kegiatan analisis agar diperoleh pemahaman dan pembahasan yang
lebih mendalam mengenai masalah sosial masyarakat yang terdapat novel Lingkar
Tanah Lingkar Air dengan mengungkap fenomena, peristiwa, tempat dan waktu.
Dan yang nilai-nilainya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi peserta didik.
Untuk menunjang penelitian ini, diperlukan pendekatan yang relevan untuk
dengan objek penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi
sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam penelitian ini,
mengkaji karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra menekankan perhatian
pada karya sastra sebagai cerminan masyarakat dengan mendeskripsikan masalah
sosial masyarakat yang tergambar dalam latar cerita novel Lingkar Tanah Lingkar
Air, yaitu setelah kemerdekaan pada masa revolusi Indonesia sekitar tahun 1946
sampai 1965, di mana Indonesia mengalami pergolakan yang berkepanjangan.
Sehingga dari latar tersebut dapat dikembangkan pernyataan: apa dan bagaimana
masalah itu terjadi, dan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut
1. Sumber Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan dua sumber data,
yaitu data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Data primer penelitian ini adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari yang diterbitkan khusus oleh Hikayat Publishing di kota
Yogyakarta, tahun 2007 dengan tebal buku 148 halaman.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berasal dari referensi
di luar novel ini. Data ini sebagai penunjang untuk membantu penelitian
terkait gambaran masalah sosial masyarakat.
2. Teknik Pengumpulan data
Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi
atau kepustakaan, yakni pengumpulan data dengan membaca buku-buku yang
ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti. Teknik ini dilakukan
dengan cara mengumpulkan data-data yang relevan dengan fokus penelitian.
9
Pengumpulan data dilakukan dengan membaca dan menyimak novel Lingkar
Tanah Lingkar Air secara cermat dan teliti. Kemudian mencatat data-data dan
kutipan-kutipan yang terkait masalah sosial masyarakat, serta hal-hal penting
yang termasuk dalam masalah sosial masyarakat. Semua yang data berkaitan
dengan masalah dan tujuan penelitian ini akan ditelaah secara teliti sehingga
diperoleh data penelitian. Setiap data yang diperlukan, disajikan dalam bentuk
tulisan sebagai bahan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan proses menguraikan dan mengurutkan
data-data yang terkumpul sehingga dapat diperoleh suatu pemahaman atau
kesimpulan yang relevan. Semua data yang diperoleh dari teknik dokumentasi
dianalisis dengan beberapa tahap yang disusun secara sistematis, dan disertai
kutipan-kutipan untuk sebagai bentuk data sehingga memudahkan penulis
dalam mendeskripsikan makna yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
1. Langkah awal mengidentifikasi dan menganalisis unsur intrinsik novel
menggunakan analisis struktural dengan membaca novel secara berulang-
ulang. Kemudian dilakukan analisis lebih mendalam untuk mengetahui
bagaimana unsur-unsur pembangun novel yang terkandung dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Mengidentifikasi dan mengkategorikan data-data yang berkaitan dengan
masalah sosial masyarakat dan revolusi Indonesia dalam novel. Setelah
itu, dilakukan analisis dengan mengaitkan antara persoalan sosial politik
yang terjadi selama revolusi Indonesia dengan keadaan sosial dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari berdasarkan pendekatan
sosiologi sastra.
3. Mengimplikasikan masalah sosial masyarakat yang terdapat dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari pada pembelajaran sastra
di sekolah. Pengimplikasian dilakukan dengan mengaitkan masalah sosial
masyarakat yang terkandung dalam novel tersebut pada materi pelajaran
sastra Indonesia di sekolah.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakikat Masalah Sosial
1) Pengertian Masalah Sosial
Dalam masa perubahan, tidak selamanya kehidupan masyarakat berlangsung
normal, melainkan sering kali mengalami banyak gangguan atau goncangan yang
tidak diharapkan. Keadaan ini diikuti gejala-gejala tertentu akibat dari perubahan
yang berlangsung cepat dan bertubi-tubi, sehingga timbul masalah sosial yang
menyebabkan penderitaan dan mengganggu kelanggengan dalam masyarakat.
Luasnya ruang lingkup masalah sosial, tidak mudah memberikan rumusan
definisi masalah sosial. Banyak dimensi atau aspek yang perlu diperhatikan dalam
menyoroti masalah sosial. Hal ini akan menghasilkan perbedaan pendapat dalam
memandang masalah sosial itu sendiri, yang tentunya diharapkan dapat dilihat
secara objektif dan universal. Parillo dalam Soetomo, misalnya, mengemukakan
untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu melihat empat komponen,
yaitu: 1) masalah sosial bertahan untuk suatu periode tertentu; 2) dirasakan dapat
menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik individu maupun
masyarakat; 3) merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari
suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat; dan 4) menimbulkan kebutuhan
akan pemecahan.1
Dari sisi yang lain, masalah sosial ditafsirkan oleh Soetomo sebagai suatu
ketidaksesuaian antara harapan, idealisme dengan kondisi aktual dalam kehidupan
masyarakat.2 Hal yang senada juga dikemukakan oleh Roucek dan Warren dalam
Abdulsyani bahwa masalah sosial melibatkan sebagian besar manusia dengan cara
menghalangi pemenuhan kehendak-kehendak biologis dan sosial yang ditetapkan
mengikuti garis yang disetujui masyarakat.3 Pernyataan tersebut dipertegas oleh
Soekanto yang berpendapat bahwa masalah sosial timbul sebagai akibat interaksi
1 Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1995), h. 4. 2 Ibid., h. 1. 3 Abdulsyani, Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2012),
h. 184.
11
sosial antarindividu, antara individu dengan kelompok, atau antarkelompok, yang
bertumpu pada ukuran nilai adat istiadat, tradisi, dan ideologi yang ditandai
dengan suatu proses sosial yang disosiatif.4 Adanya masalah sosial melibatkan
pemahaman yang luas mengenai aturan-aturan dan norma hingga menyebabkan
kekacauan apabila terjadi ketidaksesuaian dengan nilai sosial atau dengan struktur
lembaga. Dalam keadaan normal pun, antarunsur dalam lembaga kemasyarakatan
terjalin berkesesuaian dan terintegrasi harmonis, meliputi ekonomi, politik, rumah
tangga, pendidikan, agama dan moral. Apabila antara unsur-unsur tersebut terjadi
benturan akibat sulitnya menyesuaikan diri, maka hubungan-hubungan sosial akan
terganggu yang menyebabkan kepincangan ikatan sosial.5
Lebih jauh, kenyataan bahwa masalah sosial mempunyai dimensi yang luas
dan menyangkut berbagai aspek kehidupan sosial memperlihatkan kompleksitas
dari aspek terkait. Julian dalam Soetomo menjadikan hal itu sebagai pegangan
dalam menelaah masalah sosial sebagai suatu kebulatan, tidak hanya melihat dari
bentuk perilaku anggota masyarakatnya, tetapi juga latar belakang sistem dan
struktur sosialnya, sebagaimana empat asumsi berikut:6
(1) Masalah sosial dalam kadar yang berbeda-beda adalah suatu hasil efek yang
tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku yang ada.
(2) Suatu struktur sosial budaya tertentu dapat membuat masyarakat
menyesuaikan diri, tetapi dapat pula menyimpang.
(3) Setiap masyarakat dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori seperti
income, tingkat pendidikan, latar belakang etnis dan jenis pekerjaan.
Kelompok-kelompok tersebut disebut strata sosial.
(4) Orang dari strata yang berbedaa mempunyai aspirasi yang berbeda dalam
hal pemercahan masalah tertentu. Selama aspirasi dan pemecahan maslah
berorientasi kepada nilai dan kepentingannya, maka sering kali akan sulit
untuk mencapai kesepakatan dalam pemecahan masalah.
Dengan perkataan lain bahwa rumusan masalah sosial pada intinya berkisar
pada suatu ketimpangan atau persinggungan dalam interaksi sosial dan nilai-nilai
4 Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 312. 5 Ibid. 6 Soetomo, Op. cit., h. 8-9.
12
yang berkembang di masyarakat. Pola hubungan yang tidak harmonis antarelemen
sosial menyebabkan gangguan atau guncangan yang menghambat tercapainya
suatu suatu tujuan dan membahayakan kehidupan kelompok sosial.
2) Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya
Soekanto menjelaskan masalah-masalah sosial dapat timbul karena adanya
kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber
pada empat faktor, yaitu:7
(1) Faktor ekonomi
Masalah sosial yang bersumber dari faktor ekonomi antara lain kemiskinan,
pengangguran, dan sebagainya. Kemiskinan dalam hal ini dapat dibedakan
atas kemiskinan struktural dan kemiskinan absolut.8
(2) Faktor biologis
Masalah sosial yang berasal dari faktor-faktor biologis antara lain meliputi
penyakit jasmaniah dan cacat.9 Penyakit menular sebagaimana yang terjadi
sekarang ini, yaitu HIV dan flu burung yang menyerang di beberapa daerah.
(3) Faktor psikologis
Dari faktor-faktor psikologis masalah sosial yang timbul dapat disebabkan
oleh persoalan, seperti depresi, stres, gangguan jiwa, sukar menyesuaikan
diri, lemah ingatan, kesejahteraan jiwa, mabuk alkohol, dan sebagainya.10
(4) Faktor kebudayaan
Permasalahan sosial yang berasal dari faktor kebudayaan mencakup masalah
perceraian, kriminalitas, kenakalan remaja, kejahatan, konflik rasial, agama,
suku dan ras.
3) Masalah Sosial dalam Masyarakat
Sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa masalah sosial
mempunyai banyak dimensi yang pengaruh pada banyak sekali masalah sosial di
masyarakat. Variasi masalah sosial sangat beragam, tergantung dari kondisi dan
7 Soerjono Soekanto, Op. cit., h. 314-315. 8 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 51. 9 Abulsyani, Op. cit., h. 183. 10 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Op. cit., h. 51.
13
sistem yang dianut masyarakat tersebut, atau pada aspek-aspek kehidupan mana
yang sedang mengalami ketidakseimbangan yang mengakibatkan keresahan sosial
di masyatakat. Dalam situasi revolusi Indonesia, misalnya, perubahan-perubahan
yang relatif cepat saat itu berdampak pada banyaknya masalah sosial yang terjadi
dan merugikan anggota masyarakatnya. Beragam permasalahan sosial di periode
tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut ini, yang beberapa diantaranya mengacu
pada bentuk masalah sosial yang dikemukakan Soekanto.11
1. Konflik Antarnegara
Pertentangan antarnegara banyak dipicu oleh keinginan negara menguasai
negara lain. Keinginan berkuasa terkait pada kepentingan nasional suatu bangsa,
terutama yang menyangkut pada kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan. Masing-masing negara memiliki kepentingan sendiri
yang berujung pada persaingan dan perebutan keuntungan. Negara yang memiliki
prinsip dan pintar memainkan strateginya tentu akan mendominasi dan berhasil
menguasi negara lain.12 Sama halnya pada konflik Indonesia-Belanda yang sudah
berlangsung selama beratus-ratus tahun lamanya. Keinginan Belanda menduduki
Indonesia bertujuan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia. Oleh sebab itu,
pasca kemerdekaan saat Indonesia sedang dalam kekosongan kekuasaan, Belanda
kembali melakukan penjajahan. Kembalinya Belanda mendapat perlawanan dari
rakyat Indonesia, baik dengan diplomasi ataupun perlawanan fisik yang berujung
pada perang senjata di beberapa wilayah di Indonesia.
2. Kemiskinan
Permasalahan sosial yang banyak dihadapi masyarakat bahkan sampai saat
ini adalah kemiskinan. Kemiskinan lazimnya diukur dari faktor ekonomi yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara wajar,
yang sedikitnya menyempitkan ukuran konsep kemiskinan. Sebagaimana yang
diungkapkan Amartya Sen dalam Parwadi bahwa “kemiskinan bukanlah sekedar
lebih miskin dari orang lain, dalam suatu masyarakat, melainkan masalah tidak
dimilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak atau
11 Soerjono Seokanto, Op. cit., h. 319-345. 12 Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 93-94.
14
keadaan kegagalan untuk mencapai tingkat kelayakan minimum tertentu.13 Dalam
sumber yang sama, Revrisond Baswir menjelaskan konsep kemikisnan yang lebih
luas yang dapat dilihat dalam berbagai dimensi: 1) Kemiskinan natural yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, lanjut
usia, atau mungkin karna bencana alam dan lain-lain; 2) kemiskinan kultural yaitu
kemiskinan disebabkan oleh faktor budaya seperti boros, malas, tidak disiplin; 3)
kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan adanya faktor-faktor
buatan manusia seperti distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan
ekonomi yang tidak adil, KKN, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung
menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.14
3. Kesenjangan Sosial
Sukmana mengemukakan kesenjangan yang terjadi dalam kehidupan sosial
menyangkut persoalan ketidakadilan, yang berkaitan erat dengan masalah sosial.15
Persoalan ketidakseimbangan dalam masyarakat umumnya berhubungan dengan
masalah stratifikasi sosial dalam struktur masyarakatnya. Oleh Philipus dan Aini,
stratifikasi sosial didefinisikan sebagai suatu perbedaan kedudukan sosial individu
atau suatu kelompok yang dibedakan antara status yang diperoleh dan status yang
diraih, yang dapat ditentukan dari ekonomi/kekayaan (privilege), kehormatan
(prestige) dan kekuasaan (power).16 Adanya perbedaan status sosial yang terjadi
di masyarakat sering kali berdampak pada tidak meratanya seseorang memperoleh
kesempatan hidupnya dan penghargaan karena menempati posisi yang berbeda-
beda. Gejala sosial ini kemudian memicu terjadinya masalah kesenjangan sosial di
masyarakat.
4. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern
Soekanto mengungkapkan adanya masalah generasi muda ditandai oleh dua
hal yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan dan sikap apatis. Sikap
melawan biasanya berhubungan dengan rasa takut bahwa masyarakat akan hancur
13 Redatin Parwadi, Sosiologi Pembangunan, (Pontianak,Untan Press, 2013), h. 122. 14 Ibid. 15 Mochamad Syawie, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial, Jurnal Informasi, Vol. 16 No.
03 Tahun 2011, h. 216. 16 Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, (Jakarta, Rajawali Press, 2009), h. 35-
36.
15
karena perbuatan-perbuatan yang menyimpang, sedangkan sikap apatis disertai
kekecewaan terhadap masyarakat.17 Di lain hal, asumsi generasi muda terhimpit
antara norma-norma lama dengan norma-norma baru agaknya menjadi masalah
satu alasan masalah generasi muda, yang umumnya terjadi pada masyarakat yang
sedang mengalami masa transisi. Posisi pemuda dalam arah kehidupan itu sendiri
sudah memiliki pola yang sedikit banyak sudah tertentu, dan ditentukan oleh
pemikiran generasi tua yang tersembunyi dibalik tradisi.18 Hal ini yang menjadi
persoalan bagi generasi muda karena merasa sama sekali tidak diberi kesempatan
untuk membuktikan kemampuannya, maka usaha-usaha generasi muda untuk
mengadakan perubahan yang disesuaikan dengan nilai kaum muda menjadi salah
satu masalah yang terjadi dalam lingkungan masyarakat.
5. Konflik Antarkelompok
Terbentuknya kelompok sosial dalam satu masyarakat banyak didasarkan
pada perbedaan dan persamaan karakter kepribadian, kepentingan dan tujuan, ras,
suku, dan adat istiadat.19 Konsekuensi yang ditimbulkan terkait pembedaan yang
cukup tajam adalah memungkinkan munculnya gejala sosial berupa pertentangan.
Persoalan ini banyak diwarnai oleh kelompok-kelompok yang memiliki peranan
atau kedudukan dalam struktur sosial masyarakat. Pemicunya adalah keinginan
dari suatu kelompok tertentu agar kelompok lain berperilaku sesuai keinginannya
dan perebutan kekuasaan dalam struktur politik, maka setiap kelompok memiliki
kepentingan yang berujung pada benturan dan pertentangan antarkelompok sosial.
B. Sejarah Singkat Revolusi Indonesia
Pada negara yang sedang berkembang atau mengalami proses modernisasi
sering kali memunculkan konflik akibat ketidakseimbangan dalam pertumbuhan
yang disebut revolusi. Proses revolusi dipahami sebagai proses yang sangat luar
biasa sebagai bentuk ungkapan atau pernyataan akhir dari suatu keinginan otonom
dan emosi-emosi yang mendalam, serta mencakup semua kapasitas keorganisasian
maupun ideologi protes sosial yang dikerjakan secara seksama. Khususnya citra
17 Soejono Soekanto, Op. cit., h. 325. 18 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung,
Refika Aditama, 2008), h. 166. 19 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Op. cit., h. 3.
16
utopis atau pembebasan yang bertumpu pada simbol-simbol persamaan,
kemajuan, kemerdekaan dengan asumsi netral: bahwa revolusi akan menciptakan
suatu tatanan sosial baru yang lebih baik.20
Revolusi terjadi secara mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial
yang disertai dengan perubahan-perubahan yang radikal dan fundamental terhadap
pemerintahan yang berdaulat, mencakup konsepsi tatanan sosial, ideologi politik
dan nilai-nilai yang berlaku. Dalam konteks ini, revolusi dapat dilihat dari gejala-
gejala yang berhubungan dengan proses modernisasi masyarakat. Gejala-gejala itu
dapat disebut dengan istilah seperti perebutan kekuasaan, perang kemerdekaan,
perlawanan, pemberontakan dan sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan
penyesuaian antara struktur dan proses politik dengan proses modernisasi sosial di
dalam masyarakat.21
Perubahan yang fundamental di dalam masyarakat Indonesia sangat terasa
sekali setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diumumkan oleh
Soekarno dan Hatta. Di masa itu, revolusi dapat dipahami sebagai suatu momen
pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa
depannya sendiri setelah bertahun-tahun dijajah bangsa asing.22 Perubahan yang
fundamental itu disertai timbulnya revolusi sosial atau pergolakan-pergolakan
sosial di beberapa kasus di daerah, antara mereka yang mendukung revolusi dan
yang menentangnya, antara generasi tua dan generasi muda, antara golongan kiri
dan golongan kanan ataupun antara kekuatan Islam dan kekuatan “sekuler” dan
sebagainya.23 Perbedaan itu menunjukkan adanya sisi kontradiktif dari revolusi
yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia.
20 S.N Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Sosial, Terj. dari Revolution and the
Transformation of Societes oleh Chandra Johan, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986), h. 5. 21 J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang
Berkembang, Terj. dari Sosiologie Der Modernisering oleh R.G Soekadijo, Cet. Ke-III (Jakarta, PT. Gramedia, 1982), h. 194.
22 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 9.
23 MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono dkk (Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), Cet. Ke-III, h. 428-429.
17
Rangkaian peristiwa Revolusi Indonesia diawali dengan pertempuran antara
Indonesia dan Belanda, yang merupakan bagian dari usaha mempertahankan hak
kemerdekaan dan membentuk bangsa yang baru. Revolusi Indonesia mencakup
periode 1945-1949 dipandang sebagai revolusi anti kolonial. Anti-kolonialis dan
anti-imperialis yang dimaksud sebenarnya tidak semata-mata anti-Belanda, meski
kenyataannya kekuasaan Belanda merupakan sistem yang asing, yang selama 350
tahun menjajah, nasib rakyat Indonesia sangat melarat karena roda penindasan
pemerintahan kolonial sehingga kehilangan kebebasan dan hak pribadinya. Baik
pihak Belanda maupun revolusioner menganggap Revolusi Indonesia merupakan
kelanjutan di masa lampau, maka tidak heran jika kemudian rakyat Indonesia
menolak mentah-mentah kekuasaan Belanda yang menjadi penghambat dalam
jalannya revolusi.24
Setelah kekalahan Jepang di perang dunia ke II, Belanda yang tidak pernah
mengakui kedaulatan negara Indonesia bersikeras membangun kembali kekuasaan
dengan diboncengi tentara sekutu AFNEI (Allied Forces Neterlands East). Hal ini
menjadi ancaman besar yang memicu gejolak rakyat Indonesia dan perlawanan di
mana-mana yang bertujuan untuk menghalangi pemerintahan NICA (Neterlands
Indies Civil Administration) dan sekutu AFNEI. Selama Oktober-Desember 1945,
berbagai insiden dan pertempuran berskala luas terus-menerus berkobar di hampir
seluruh Jawa dan Sumatera. Pertempuran yang paling hebat terjadi pada awal-
awal November di Surabaya yang menjadi lambang perlawanan nasional.25
Pada akhir bulan Oktober 1945, para ulama dari Nadhatul Ulama dan
Masyumi menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah
perang sabil26 dan semua muslim berkewajiban untuk menjalankannya. Sejak saat
itu para kiai dan santri mulai berdatangan dari pesantren-pesantren di Jawa Timur
24 MC. Ricklefs, Op. cit, h. 437. 25 Ibid. 26 Perang Sabil adalah perang suci sebagai suatu jihad fi sabillah yang difatwakan oleh para
ulama di Surabaya untuk membakar semangat juang rakyat Indonesia. Fatwa jihad yang dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, ditandatangani Hadratus Hasyim Asy’ari pada tanggal 17 September. Himbauan para ulama bahwa perjuangan melawan Belanda dan Inggris tidak sekedar dimaknai untuk membela kemerdekaan semata, namun merupakan salah satu cara dan tindakan membela agama Allah sehingga hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam. Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Tangerang, Pustaka Compass, 2014), h. 205.
18
ke Surabaya. Selama tiga minggu lebih, pihak Republik kehilangan banyak tenaga
manusia dan senjata dalam pertempuran Surabaya, tetapi perlawanan mereka yang
bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan
demi revolusi.27 Pertempuran di Surabaya menjadi titik tolak perjuangan rakyat
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang mempersatukan segenap
lapisan masyarakat Indonesia. Begitu pun juga, semangat Surabaya menyadarkan
sekutu Inggris bahwa Republik Indonesia didukung oleh rakyat, tidak secara pasif
melainkan secara aktif dan antusias.28
Menyusul tekanan untuk menguasai wilayah kolonialnya, Belanda dua kali
melakukan agresinya terhadap Republik yang diklaim sebagai “aksi polisional”.
Agresi militer Belanda I terjadi akibat konflik penafsiran terhadap ketentuan
Perjanjian Linggarjati yang secara de facto telah pemerintah Belanda mengakui
kekuasaan Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Namun,
Van Mook secara sepihak menciptakan suatu sistem federasi dengan membangun
negara boneka Belanda. Karena Belanda merasa yakin dapat menguasai wilayah
kolonialnya, maka serangan besar-besaran yang pertama mulai dilancarkan untuk
menghancurkan Republik yang menyebar daerah ke Jawa dan Sumatera pada
tanggal 20 Juli 1947.29
Agresi Miliiter Belanda I berakhir melalui Perjanjian Renville di tahun 1948
yang dampak perundingannya menimbulkan perpecahan politik dalam negeri, di
mana beberapa partai politik memiliki pemikiran sendiri untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan yang sebenarnya sudah ada sejak Oktober 1945. Masyumi dan PNI,
dua partai besar yang menarik dukungan mereka untuk Amir Syarifuddin karena
tidak menyetujui Perjanjian Renville sehingga jatuhnya kabinet Amir. Atas reaksi
ini, Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan gabungan
dari partai-partai Sayap Kiri untuk menolak Perjanjian Renville dan mengoposisi
kabinet Hatta. Akibat lain dari persetujuan Renville yang memuat garis demarkasi
27 MC. Ricklefs, Op. cit., h .438. 28 Geroge McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi Nasional, Terj. dari Nationalism
and Revolution in Indonesian oleh Tim Komunitas Bambu, (Depok, Komunitas Bambu 2013), h. 209.
29 MC. Ricklefs, Op. cit., h .453.
19
sebagai “Garis Van Mook” terjadi di bidang militer. Pasukan Siliwangi dan laskar
di Jawa Barat terpaksa harus menarik diri ke Jawa Tengah dalam keadaan wilayah
yang sudah semakin sempit dan ekonomi yang sulit akibat blokade Belanda. Akan
tetapi, tidak semua pasukan bersenjata RI dan laskar meninggalkan Jawa Barat.
Selain itu, masih terdapat laskar Hizbullah dan Salsabillah30 yang menolak untuk
dipindahkan. Mereka yang berkonsentrasi di Gunung Cepu ini yang dimanfaatkan
Kartosuwiryo untuk menentang pemerintahan.31 Karena ini, pertikaian memuncak
juga terjadi di kalangan tentara Republik dan pemuda-pemuda yang berasal dari
berbagai lembaga politik dan keagamaan. Selama itulah, tentara Republik harus
mengendalikan barisan bersenjata yang ikut mewujudkan revolusi dan menentang
kembalinya pemerintah kolonial.32
Usaha pemerintah mengkonsolidasi pasukan bersenjata RI menimbulkan
kekecewaan yang luas, dan mempercepat terjadinya pemberontakan Madiun yang
didalangi oleh PKI pada bulan September di tahun 1948. Serangkaian kekacauan
ditimbulkan PKI dengan melancarkan propoganda anti-pemerintah, melakukan
pemogokan, serta penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh di Madiun, baik itu
tokoh sipil pemerintahan atau tokoh masyarakat dan agama. Sebagai akibatnya,
peristiwa PKI yang dianggap sebagai pengkhianat revolusi menciptakan tradisi
pemusuhan antara tentara-PKI dan memperbesar pertentangan antara Masyumi
dan PKI seperti halnya juga ketegangan kemasyarakatan santri dan abangan.33
Gerakan PKI itu sendiri masih sering dihubungkan dengan peristiwa ‘Gerakan 30
30 Hizbullah dan Salsabilah adalah pasukan gerilya Islam bersifat sukarela yang didirikan
pada akhir pendudukan Jepang. Berbeda dengan Hizbullah yang anggotanya masih sangat muda, anggota Salsabillah terdiri dari generasi tua. Dengan niat dasarnya lillahi taala, gerilyawan Islam ini memerangi orang kafir yang membuat kerusakan di negeri ini. Kenyataan bahwa Hizbullah dan Salsabillah merupakan yang paling kuat dari pasukan gerilya yang tinggal di tempat memberi Katosuwiryo peluang untuk membina administrasi sipil dan militer, maka keduanya dijadikan Tentara Islam Indonesia dan disusunlah suatu struktur pemerintahan dasar. C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 11.
31 Amrin Imran dkk, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2012), h. 378-380.
32 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta, Grafiti, 1990), h, 20.
33 MC. Ricklefs, Op. cit., h .461.
20
September’ yang diduga ikut terlibat dalam penculikan dan pembunuhan jendral-
jendral angkatan darat.34
Pertikaian-pertikaian yang terjadi pada masa revolusi ini sebenarnya akibat
dari adanya rasa dan gerakan nasionalisme melawan kolonial Belanda. Persoalan
itu kemudian berubah ke arah cita-cita kelompok tertentu menghancurkan tatanan
Republik yang memungkinkan terjadinya perang saudara di daerah. Relevansi hal
itu dengan penelitian ini bahwa masalah sosial dapat terjadi pada masyarakat yang
menuntut perubahan. Bagi pemuda atau wong cilik, hal tersebut berdampak pada
kehidupan yang mereka yang terombang ambing apabila mereka tidak mampu
menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi, sama halnya dengan para pemuda
direpresentasikan Ahmad Tohari dalam novelnya Lingkar Tanah Lingkar Air.
C. Pemberontakan Darul Islam
Pembicaraan mengenai Darul Islam tidak dapat dilepaskan dalam penelitian
ini. Konteks Darul Islam menjadi hal yang penting karena merupakan bagian dari
kehidupan tokoh cerita di dalamnya. Tokoh-tokoh yang menjadi pembahasan ini
adalah laskar Darul Islam yang terkenal dengan pemberontakannya yang sulit
dihentikan. Mereka dianggap sebagai pengacau masyarakat dengan aksi kekerasan
yang sangat merugikan masyarakat dan mengancam perpecahan bangsa.
Di tengah kecemasan rakyat Indonesia atas ancaman kolonialisme Barat di
masa kemerdekaan, muncul Darul Islam,35 sebagai gerakan separatis Islam yang
juga menjadi ancaman serius dan bahaya bagi bangsa Indonesia. Gerakan ini tidak
dapat dipisahkan dari aktor utamanya, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiyo, seorang
tokoh militan Islam terkenal di Jawa Barat menolak keras persetujuan Renville di
tahun 1948. Dalam penjelasan Goerge Kahin, Darul Islam merupakan kekuatan
politik yang berkembang dan agresif, serta memiliki potensi yang kuat. Organisasi
34 MC. Ricklefs, Op. cit., h. 553. 35 Darul Islam (dalam Arab dar al-Islam) secara harfiah berarti “rumah” Islam, yaitu “dunia
atau wilayah Islam”. Yang dimaksud adalah bagian Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan Islam, pelaksanaan syariat Islam dan peraturan-peraturan Islam diwajibkan. Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-cita Negara Islam Indonesia yang dalam sejarahnya sulit ditumpaskan oleh pemerintah RI. (Cornelis Van Djik, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terj. dari Rebellion Under the Banner of Islam oleh J. Moliono (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h. 1.
21
Darul Islam mempunyai pemerintahan merdeka, menguasai angkatan darat dan
wilayahnya sendiri, serta berusaha memperluas wilayah kekuasaannya. Alasan ini
mengapa Darul Islam tidak hanya dipandang sebagai suatu konsep belaka, tetapi
juga sebagai formulasi ideologi biasa dari karakter dan mutu yang seharusnya
dimiliki oleh suatu negara Islam.36
Gagasan mendirikan Darul Islam sebenarnya sudah sejak awal. Namun baru
setelah Perjanjian Renville tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di desa Malangbong,
Kabupaten Tasikmalaya, yang secara resmi memisahkan diri dari negara kesatuan
Republik Indonesia, atau dengan kata lain memberontak terhadap pemerintahan.37
Pergerakan Darul Islam berpusat di Jawa Barat dengan meluaskan pengaruhnya
hingga ke Jawa Tengah (terutama di wilayah Priangan, yaitu Tasikmalaya, Garut,
Ciamis, dan sekitar Majalengka dan Kuningan), di mana pengaruh pemikiran
Islam Modernis tidak pernah menjadi kuat dan di mana pengaruh para pemimpin
Islam yang kolot sangat menentang ajaran dan gagasan Barat, sudah sangat kuat
sejak lama.38
Pada mulanya Darul Islam memihak pemerintah Republik melawan kolonial
Belanda. Akan tetapi, ketika pasukan tentara Republik harus dipindahkan ke Jawa
Tengah sebagai pelaksanaan perundingan Renville, Kartosuwiyo menentang keras
dan menolak meninggalkan Jawa Barat. Keadaan ini dimanfaatkan Kartosuwiryo
yang sedari awal ingin membentuk negara Islam. Dalam menanggapi kekosongan
kekuasaan di wilayah itulah, Kartosuwiryo dan pasukannya secepatnya menyusun
struktur kekuasaan yang merupakan cikal-bakal negara Islam. Akibatnya, konflik
pecah antara pasukan Republik dengan pasukan S.M Kartosuwiryo, Hizbullah dan
Salsabillah yang merupakan sayap senjata Darul Islam nantinya.
Diakui S.M Kartosuwiryo, keyakinannya mendirikan negara Islam di Jawa
Barat bukan sebagai pemberontakan melawan Republik, tetapi sebagai kelanjutan
36 George McTurnan Kahin, Op. cit., h. 209. 37 Amrin Imran dkk, Op.cit., h. 406. 38 George McTurnan Kahin, Op. cit., h. 461.
22
dari perjuangannya mendukung kemerdekaan Indonesia.39 Namun sebagai sebuah
gerakan, Darul Islam mempunyai cita-cita yang kuat yang diperjuangan oleh para
muhajid, dengan militansi dan komitmen idealisme ke-Islaman yang kuat. Islam
dihadirkan melalui ajaran-ajarannya dalam Al-Quran yang mempunyai efek yang
aktual, sehingga cita-cita politik Islam bisa dengan mudah ditransformasikan ke
pada pengikutnya.40 Dalam hal ini, masyarakat yang terkenal fanatisme terhadap
Islam akan dengan sangat mudah terikat pada sikap militansi Darul Islam untuk
mempertahankan sebuah gerakan kekerasan.
Sejauh menyangkut Darul Islam yang menonjol dari gerakan ini adalah sifat
menyerang (ofensif). Yang perlu ditekankan bahwa cita-cita mendirikan negara
berdasarkan Islam dengan kekuatan bersenjata semata-mata hanya merefleksikan
kehendak kelompok minoritas Darul Islam itu sendiri dan tidak mewakili asprasi
politik umat Islam secara keseluruhan. Darul Islam tidak hanya menyerang militer
TNI, tetapi juga kelompok-kelompok yang dianggap kafir dan bahkan kelompok
yang membantu tentara Republik41. Selain itu, kelompok Darul Islam juga aktif
melancarkan serangan dengan cara turun langsung ke desa-desa untuk meminta
pembekalan dan dukungan. Mereka yang menolak mendukung DaruI Islam akan
dihancurkan desa-desanya dan dianggap sebagai musuh Darul Islam.
Sifat ofensif tersebut yang akhirnya dimanfaatkan gerakan non muslim yang
berakibat pada nama Darul Islam itu sendiri. Faisal Ismail melihat selama periode
pemberontakan dan masa sesudahnya, banyak para politik non-muslim, khususnya
dari Partai Komunis Indonesia (PKI) sering kali menggunakan isu pemberontakan
DI/TII sebagai senjata politik untuk menyudutkan elemen-elemen umat Islam.42
Isu ini berkembang dan menyebabkan nama Darul Islam semakin buruk di mata
masyarakat. Tidak hanya itu, label secaman ini juga merugikan citra umat Islam
secara keseluruhan yang identik dengan aksi kekerasannya.
39 Deliar Noer dalam Faisal Ismail, Panorama Sejarah Islam dan Politik Di Indonesia:
Sebuah Studi Komprehensif, (Yogyakarta, iRCiSoD, 2017), h. 71. 40 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro
National Liberation Front, (Jakarta, Darul Falah, 1998) h. 70-71. 41 Ibid., h.. 57 42 Faisal Ismail, Op. cit., h. 73.
23
Pemberontakan Darul Islam faktanya masih sulit dihentikan bahkan ketika
Belanda sudah meninggalkan Indonesia. Perlawanan tentara Republik sebenarnya
bukan hanya kepada Darul Islam, melainkan gerakan lain yang juga melakukan
pemberontakan terhadap negara. Upaya tentara Republik membujuk laskar Darul
Islam untuk bergabung dengan pemerintah Republik tidak berlangsung cepat. Dan
pemberontakan militer Darul Islam secara sporadis berlangsung selama 13 tahun.
Pemberontakan itu berakhir dengan tertangkapnya S.M Kartosuwiryo pada bulan
September 1962.
D. Hakikat Novel
1) Pengertian Novel
Dalam Teori Pengkajian Fiksi dapat diketahui bahwa istilah novel berasal
dari bahasa italia novella, yang secara harfiah berarti “sebuah barang yang baru
yang kecil”, dan dewasa ini mengandung pengertian yang sama dengan istilah
dalam Indonesia ‘novelet’, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang
cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.43 Lebih jelas
lagi, Stanton mengemukakan bahwa “novel mampu menghadirkan perkembangan
satu karaker, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau
sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam
secara lebih mendetail.”44 Dibanding cerpen, novel dituliskan dalam skala besar
yang mampu menciptakan satu semesta yang lengkap, dan kompleks sekaligus
rumit melalui berbagai unsur cerita yang membentuk novel tersebut.
Mengacu pada teori Lukacs dan Girard, Goldmann dalam Faruk memiliki
pandangan sendiri tentang novel sebagai “cerita tentang suatu pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang
problematik dalam sebuah dunia yang juga terdegradasi”.45 Hal yang hampir sama
diungkapkan oleh Sumarjo dalam Santosa dan Wahyuningtyas yang menyatakan
bahwa “novel adalah produk masyarakat. Novel berada di masyarakat karena
43 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 115. 44 Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh
Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h. 90. 45 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.
24
dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan emosional dan rasional
dalam masyarakat.”46 Dengan kata lain, novel sebagai karya sastra mempunyai
hubungan dengan masyarakat yang dapat dipelajari dari ilmu sosial.
Definisi lain dikemukakan H.B Jassin dalam Suroto yang membatasi novel
dengan pengertian“suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan
suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan tokoh cerita, luar biasa karena dari
kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan urusan
nasib mereka. Wujud novel adalah konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu
saat, dalam satu krisis yang menentukan.”47
Oleh karena bentuknya yang panjang, novel secara istimewa menceritakan
kehidupan tokoh dengan berbagai peristiwa yang dialami sehingga mengalami
perubahan jalan hidup. Novel sebagai cerita fiksi mencerminkan kehidupan yang
berangkat dari realitas sosial, perilaku dan peristiwa secara keseluruhan yang
dijalin dengan suatu alur dengan menonjolkan watak pelakunya. Sebagaimana
dikatakan Wellek dan Warren bahwa sebagian besar kehidupan yang terkandung
dalam novel terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam
dan dunia subjektif manusia.48
Berdasarkan paragraf sebelumnya dengan merujuk pada pengertian novel
yang dikemukakan HB. Jassin bahwa novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari, sebagaimana terlihat di awal mengangkat kenyataan pada periode
Revolusi Indonesia. Novel ini mengisahkan perjuangan kelompok pemuda dari
kalangan santri dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Dari subyektivitas dan
imajinasi pengarang, realitas sosial tersebut ditampilkan dan dikembangkan secara
lengkap dengan tokoh cerita dan permasalahannya hingga mengalami perubahan
jalan hidup menjadi Darul Islam. Diceritakan pula keadaan masyarakat desa yang
cukup memprihatinkan. Kenyataan inilah yang mendorong Ahmad Tohari untuk
mengungkapkannya ke dalam karya sastra berbentuk novel sebagai media untuk
46 Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi Prosa, (Surakarta,
Yuma Puskata, 2010), h. 47. 47 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 19. 48 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature
oleh Melani Budianta, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 109.
25
menyampaikan pesan tertentu, dan mengajak pembaca untuk turut merenungkan
realitas tersebut.
2) Unsur Pembangun Novel
Tidak pelak bahwa novel sebagai karya fiksi dibangun secara totalitas dan
menyeluruh yang bersifat artistik.49 Hal demikian tidak terlepas dari struktur novel
yang terdiri dari unsur-unsur yang tersusun saling berkaitan dan menggantungkan
menyangkut cerita tersebut. Oleh karena itu, dalam memahami suatu novel tidak
sekedar memberikan nilai-nilai terhadap pemilihan struktur pembentuknya, tetapi
juga memahami bahwa antara unsur-unsur struktur tersebut ada koherensi yang
secara total melahirkan keestetisan imajinatif yang mampu menghadirkan efek
eksternal dengan mengemukakan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.50
a. Unsur Intrinsik
Karya sastra bentuk prosa dibangun oleh unsur-unsur intrinsik menjadikan
teks sebagai suatu karya fiksi. Unsur-unsur inilah yang mendasari cerita fiksi dan
yang akan dihadapkan pembaca ketika membaca suatu novel.
1. Tema
Mengutip pandangan Brooks, Pusher dan Warren dalam Tarigan, dikatakan
bahwa “tema adalah pandangan hidup atau perasaan tertentu mengenai kehidupan
atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau
gagasan utama dari suatu karya sastra”.51 Baldic dalam Nurgiantoro lebih rinci
mengemukakan bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam
sebuah karya sastra atau yang secara berulang-ulang dimunculkan baik secara
eksplisit maupun (yang banyak ditemukan) implisit lewat pengulangan motif.52
Dengan kata lain, tema merupakan pokok persoalan, biasanya menyangkut aspek-
aspek kehidupan yang hendak disampaikan pengarang lewat cerita tersebut. Hal
ini yang nantinya akan memunculkan nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.
49 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 29. 50 Rey Mardianto Marsudi, Ronggeng Dukuh Paruk: Kekhilafan Yang Benar, Suara Karya,
Jakarta, Jumat, 28 Juni 1985, h. 4. 51 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung, Angkasa, 2011), h. 125. 52 Burhan Nurgiyantoro, Op. cit., h. 115.
26
Tema dalam banyak hal menjalin struktur isi cerita secara keseluruhan, yang
memberi kekuatan dan menegaskan kesatuan peristiwa yang diceritakan, serta
menyoroti persoalan kehidupan manusia yang amat luas dan kompleks, seperti
kemanusiaan, kekuasaan, keadilan dan kebenaran, pengkhianatan, kasih sayang,
sebagainya. Penyampaian tema umumnya tidak bersifat langsung ataupun tersurat,
melainkan dapat secara abstrak dan tersamar ke dalam seluruh unsur cerita lewat
motif-motif, seperti dikemukakan Sumardjo dan Saini dapat melalui dialog tokoh-
tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk
mempertegas atau menyarankan isi tema.53
Semua unsur cerita dipersatukan oleh tema sehingga mempunyai satu arti
dan tujuan. Dengan keterkaitan tersebut, maka mengharuskan pembaca membaca
keseluruhan cerita, serta menganalisis setiap detail unsur cerita untuk menemukan
tema. Keberadaan tema yang tersembunyi dan merasuki cerita secara keseluruhan
menyebabkan tidak mudahnya menafsirkan tema. Bahkan memungkinkan tema
mengandung lebih dari satu interpretasi, yang dibedakan atas tema mayor dan
tema minor. Tema mayor atau tema utama merupakan makna pokok cerita yang
menjadi gagasan pokok suatu cerita, yang dapat ditentukan dengan menilai dan
mengindetifikasi sejumlah tema yang terkandung. Dari sejumlah tema itu, terdapat
tema yang secara tersirat muncul di bagian-bagian tertentu yang disebut dengan
tema minor. Tema ini berfungsi mendukung dan merefleksikan makna tema utama
secara keseluruhan. Antara keduanya memiliki keterkaitan yang saling menyatu.
Tema mayor bersifat merangkum berbagai makna khusus, sementara tema minor
mempertegas keberadaan tema mayor.54
Penafsiran tema yang terkandung dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air
dapat dilakukan dengan membaca dan memahami jalan cerita secara keseluruhan.
Tema tersebut menyangkut ketidakberdayaan kelompok pemuda akibat persoalan
sosial yang terjadi pada masa revolusi Indonesia sebagai tema besar. Ada banyak
tema yang ditemukan, sehingga pembahasan tema dalam novel ini akan dibedakan
53 Jakob Sumardjo & Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta, Gramedia, 1986), h. 57. 54 Burhan Nurgiyantoro, Op. cit., h. 133-134.
27
pada tema mayor sebagai tema utama, dan tema minor sebagai tema tambahan
yang mendukung kejelasan tema utama.
2. Alur/Plot
Pengertian tentang plot secara umum mengacu pada serangkaian peristiwa
dalam cerita fiksi. Dalam pengertian menurut Stanton, peristiwa-peristiwa tersebut
terbatas pada hubungan kausal saja, di mana serangkaian peristiwa yang muncul
disebabkan atau menyebabkan berbagai peristiwa lain, yang tidak dapat diabaikan
karena akan mempengaruhi keseluruhan cerita.55 Sama halnya Stanton, Sudjiman
dalam Siswanto juga memberikan pengertian lain bahwa plot sebagai suatu jalinan
peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu yang diwujudkan
oleh hubungan temporal (waktu) dan hubungan kausal (sebab akibat).56
Dalam pengertian yang tidak jauh berbeda, Luxemburg menyatakan bahwa
plot adalah kontruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa
secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami
oleh para pelaku.57 Dengan pengertian ini, pembacalah dengan pengetahuannya
mengenai plot yang menentukan dan mengkonkritkan jenis alur apa yang terdapat
dalam sebuah cerita karya fiksinya.
Hubungan antara peristiwa-peristiwa dalam plot mempunyai keterkaitan erat
menjadi sebuah kesatuan yang padat dan berkesinambungan. Keterkaitan sederet
peristiwa dapat dilihat dari tahapan plot yang dikembangkan. Aminudin dalam
Siswanto, memaparkan tahapan plot mulai dari pengenalan, konflik, komplikasi,
klimaks, krisis, leraian dan diakhiri dengan tahap penyelesaian.58 Variasi lain juga
dikemukakan Tasrif dalam Nurgiantoro, yang merincikan tahapan plot menjadi
lima tahapan, yaitu: (1) Tahap situation, atau tahap pengenalan yang memberikan
inform asi awal mengenai pelukisan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. (2) Tahap
generating circumstances, munculnya peristiwa yang memicu terjadinya konflik,
yang nantinya akan berkembang pada tahap selanjutnya. (3) Tahap rising action,
55 Robert Stanton, Op. cit., h. 26. 56 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta, Grasindo, 2008), h. 159. 57 Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inlelding in de
Literatuurweteschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta, Gramedia, 1992), h. 149. 58 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 159.
28
tahap peningkatan konflik atau semakin meningkatnya konflik dari tahap
sebelumnya. (4) Tahap climax, tahap klimaks atau pertentangan yang terjadi pada
tokoh cerita yang mencapai titik intensitas puncak. (5) Tahap denouement, tahap
penyelesaian, dimana konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar atau
diakhiri.59
Plot pada prinsipnya juga dapat dideskripsikan berdasarkan teknik bercerita
dan tinjauan kriteria waktu terjadinya peristiwa yang menentukan apakah plot
cerita bersifat lurus, sorot balik ataupun campuran. Cerita berplot lurus memiliki
tahapan waktu peristiwa bersifat kronologis, secara runtut dimulai tahap awalan,
tengah dan menuju akhir. Sebaliknya, apabila cerita tidak bersifat kronologis,
artinya dimulai dari tahap akhir kemudian tahap tengah dan akhir, maka disebut
dengan plot sorot-balik. Adapun cerita yang dimulai dengan tahap lain, misalnya
tahap klimaks cerita yang disebut dengan plot campuran.60
Secara khusus dengan melihat kriteria plot tersebut, pembahasan plot dalam
novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan menentukan plot cerita berdasarkan urutan
waktu kronologis, tidak kronologis, atau plot campuran. Pemaparan plot merujuk
pada tahapan plot yang dikemukakan oleh Tasrif untuk melihat sederet peristiwa
dan berbagai konflik yang dijalani tokoh utama hingga terjebak dalam masalah-
masalah sosial di masa revolusi Indonesia.
3. Tokoh dan Penokohan
Berbicara cerita fiksi maka akan berhadapan dengan tokoh-tokoh cerita di
dalamnya. Melihat dari pengertian yang dikemukakan Baldic dalam Nurgiantoro,
“tokoh adalah orang yang menjadi pelaku cerita dalam fiksi sedang penokohan
adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau
tidak langsung dan mengundang pembaca menafsirkan kualitas dirinya lewat kata
dan tindakannya”.61 Antara tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang sangat
berkaitan. Penokohan menampilkan bagaimana pengarang menggambarkan tokoh
dan watak kepribadian tokoh yang ditampilkan.62 Dengan pengertian itu, bahwa
59 Burhan Nurgiantoro, Op. cit, h. 209-210. 60 Ibid., h. 213-216. 61 Ibid., h. 247. 62 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 93.
29
penokohan memiliki arti yang lebih luas, karena tidak hanya merujuk pada tokoh
tetapi mencakup pada kualitas diri yang dimiliki tokoh. Tokoh cerita tidak akan
terbentuk sempurna tanpa adanya penokohan yang melengkapinya.
Setiap tokoh cerita dalam karya fiksi dipandang Atmazaki sebagai pejuang
yang memperjuangkan sesuatu, yang untuk sampai ke tujuan tersebut, tokoh akan
bertemu dengan tokoh lain dan melakukan berbagai tindakan.63 Beragam tokoh
mempunyai penamaan yang diklasifikasikan dari beberapa sudut pandang. Dilihat
dari peran dan keterlibatannya, tokoh cerita dapat dibedakan atas tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama ialah tokoh yang diutamakan penceritaannya dan
mendominasi cerita karena keterlibatannya sebagai pelaku yang mengalami
peristiwa. Berbeda dengan tokoh utama, tokoh tambahan muncul relatif pendek,
yang tidak lain untuk melengkapi kualitas diri tokoh utama. Bila dilihat dari
perkembangan karakter dan masalah yang dihadapi, tokoh dapat dirangkum
menjadi tokoh bulat dan tokoh sederhana. Tokoh bulat memungkinkan memiliki
berbagai sisi kepribadian yang kompleks dan terus berkembang sehingga dapat
dikatakan sebagai tokoh berkembang atau dinamis. Sedangkan, tokoh sederhana
hanya memiliki satu kepribadian sehingga dapat disebut sebagai tokoh statis. Dan
bila dilihat dari pencerminan tokoh di kehidupan nyata, tokoh dapat dibedakan
menjadi tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal menggambarkan individu
atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu lembaga yang ada di kehidupan
nyata. Sementara itu, tokoh netral merupakan tokoh imajinatif yang hanya hidup
dan bereksistensi di dunia fiksi semata-mata demi cerita.64
Penggambaran tokoh cerita akan menghasilkan gambaran sebuah watak bagi
pembaca. Bagaimana kepribadian tokohnya dapat dipahami lewat pelukisan tokoh
yang dilakukan pengarang dengan cara yang berbeda-beda, seperti mengenali
tokoh melalui: 1) tuturan pengarang terhadap karakteristik tokohnya, 2) gambaran
yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara
berpakaiannya, 3) menunjukan bagaimanakah perilakunya, 4) melihat bagaimana
tokoh berbicara tentang dirinya sendiri, 5) memahami bagaimana jalan pikirannya,
63 Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, (Padang, Angkasa Raya, 1990), h. 62. 64 Burhan Nurgiantoro, Op.cit., h. 258-275.
30
6) melihat bagaimanakah tokoh lain berbicara tentangnya, 7) melihat bagaimana
tokoh lain berbincang dengannya, 8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain
memberi reaksi terhadapnya, dan 9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi
tokoh yang lain.65
Dari penjelasan tersebut, pembahasan tokoh dan penokohan akan ditentukan
peran-peran tokoh yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air dengan
penamaan tokoh, serta watak dari masing-masing tokoh cerita. Ada banyak tokoh
cerita yang ditampilkan pengarang, namun tidak semua berperan penting. Dengan
ini, penyajian tokoh cerita hanya pada tokoh-tokoh yang dianggap penting dan
mendukung jalannya cerita novel ini, yakni Amid sebagai tokoh utama sekaligus
pencerita, dan tokoh tambahan seperti Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai Ngumar dan
Umi yang mendukung penokohan tokoh utama.
4. Latar atau Setting
Yang dimaksud dengan latar adalah gambaran tentang waktu dan tempat
terjadinya peristiwa. Pernyataan itu sejalan dengan yang dikemukakan Atmazaki
bahwa latar mewarnai peristiwa di dalam cerita fiksi, mencakup lokasi peristiwa,
suasana lokasi, sosial budaya setempat bahkan suasana hari tokoh cerita.66 Kenny
dalam Pujiharto juga mengemukakan latar yang bila dijabarkan secara lebih detail
bisa merujuk pada: (1) letak geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi,
pemandangan, bahkan detail-detail interior ruang; (2) pekerjaan dan cara hidup
tokoh sehari-hari; (3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode
historis, tahun dan sebagainya; (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial
dan emosional tokoh-tokohnya.67
Mengenai latar seperti dalam beberapa definisi di atas, secara tidak langsung
menegaskan adanya batasan latar. Mengutip pada Aminuddin dan Nurgiantoro,
latar dikelompokkan dalam tiga unsur mencakup: (1) latar tempat, yang mengarah
pada di mana atau lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Lokasi tempat
dalam cerita dapat disebutkan secara konkret biasanya dengan nama-nama tempat
yang ada dalam dunia nyata ataupun digambarkan secara umum tanpa nama yang
65 Aminudin dalam Wahyudi Siswanto, Op. cit., h.145. 66 Atmazaki, Op. cit., h. 62. 67 Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta, Ombak, 2012), h. 48.
31
jelas; (2) latar waktu, merujuk pada masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
dalam cerita. Penetapan waktu peristiwa biasanya dapat dihubungankan dengan
waktu faktual atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Bahkan juga terkait
langsung dengan keadaan dan cara hidup tokoh. (3) latar sosial-budaya menunjuk
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan, mencakup seperti tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap serta status sosial tokoh yang bersangkutan. Hal
ini dapat menentukan apakah latar khususnya tempat menjadi khas, fungsional,
tipikal ataupun netral untuk menyakinkan pembaca terhadap suasana daerah yang
menjadi latar cerita.68
Latar demikian harus dilihat secara keseluruhan untuk memperkuat pembaca
memahami jalannya cerita, yang secara tidak langsung menjadi pendukung tokoh
untuk menggerakan peristiwa-peristiwa. Ketika membaca suatu cerita rekaan kita
mempunyai persepsi lokasi, waktu dan suasana yang dialami tokoh. Ketepatan
pelukisan latar akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang diceritakan.
Hal ini akan memberikan kesan realistis kepada pembaca, ataupun menciptakan
suasana tertentu seolah-olah benar terjadi karena mempunyai kemiripan dengan
kondisi aktual. Pembaca dapat menilai kebenaran, ketepatan dan aktualisasi latar
yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab, bahkan menemukan sesuatu yang
menjadi bagian dirinya.69 Alasan ini mengapa Stanton mengelompokkan latar ke
dalam fakta cerita bersama dengan alur dan penokohan, karena ketiga merupakan
elemen yang membentuk cerita fiksi. Lewat gambaran alur, penokohan dan latar
pembaca dapat mengimajinasikan cerita yang dikemukakan oleh pengarang secara
faktual.70
Melihat pentingnya latar sebagai landas tumpu cerita fiksi, latar dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari akan dianalisis mencakup tempat
atau lokasi, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadi peristiwa yang diceritakan.
Latar novel ini terjadi sekitar tahun 1946-1965 saat peristiwa revolusi Indonesia.
Pembahasan latar secara menyeluruh memberikan gambaran bagaimana pengaruh
68 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 314-325. 69 Ibid., h. 303. 70 Robert Stanton, Op. cit., h. 22.
32
latar pada perkembangan karakter tokoh pemuda sehingga mereka tidak berdaya
menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.
5. Sudut Pandang
Istilah sudut pandang atau dalam bahasa Inggris point of view merujuk pada
bagaimana sebuah cerita dikisahkan. Mengacu pada Minderop, kata “bagaimana”
menjelaskan pada strategi, teknik, dan siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk
mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan
tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang
tokoh.71 Hal ini dapat disamakan pengertiannya dengan yang dikemukakan oleh
Baldic dalam Nurgiantoro, yaitu bahwa sudut pandang adalah posisi atau sudut
mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca peristiwa yang
diamati dan dikisahkan. Pemilihan posisi dan kacamata pengisahan peristiwa dan
cerita pada hakikatnya juga merupakan teknik bercerita agar apa yang dikisahkan
lebih efektif.72 Jadi, secara sederhana sudut pandang menunjukkan cara pengarang
dalam memandang dan membawakan sebuah cerita.
Sudut pandang menjadi hal yang penting karena tidak hanya berhubungan
dengan masalah gaya, tetapi juga posisi pengarang menempatkan dirinya dalam
cerita. Mengutip dari Nurgiantoro, penempatan diri pengarang atau kedudukannya
dalam mengisahkan cerita dapat bermacam-macam sudut pandang. Narator bisa
menyebut dirinya “aku” karena posisinya berada dalam cerita yang disebut sudut
pandang persona pertama akuan. Narator adalah tokoh dalam cerita yang tidak
selalu tokoh utama, tetapi bisa saja tokoh tambahan yang hadir membawakan
kisah tokoh utama. Karena keterlibatannya dalam cerita, narator akuan hanya bisa
bercerita sebatas pada peristiwa yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan
dirasakan. Dalam kisahan lain, narator bisa menyebutkan tokoh-tokohnya dengan
kata ganti “ia, dia, mereka” atau yang disebut sudut pandang persona ketiga dia.
Narator menempatkan dirinya di luar cerita yang mempunyai kebebasan untuk
mengisahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tokoh “dia” karena sifatnya
yang mahatahu. Dalam sifat lainnya sebagai pengamat, narator juga mempunyai
71 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 88. 72 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h.. 339.
33
keterbatasan dalam menceritakan tokoh dia. Di lain hal, sebuah cerita sering kali
dikisahkan dengan dua teknik sekaligus. Pencerita biasanya menggunakan sudut
pandang “aku” dan “dia” secara bergantian. Pengisahan dengan sudut pandang ini
sangat memungkinkan pembaca mengetahui informasi lebih banyak mengenai
keadaan dan persoalan yang dialami tokoh cerita, baik dari “aku” maupun “dia”.73
Dalam pemilihan sudut pandang bahwa pengarang mempunyai kebebasan
memposisikan narator karya fiksinya dan bercerita sesuai dengan keterikatan dan
keterbatasan sudut pandangnya. Pemilihan teknik pengisahan menjadi sangat
penting sebab akan menyangkut masalah seleksi terhadap kejadian-kejadian cerita
yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan dibawa, dan
menyangkut masalah kesadaran siapa yang dipaparkan.74 Merujuk pada uraian itu,
sudut pandang dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air akan menentukan fokus
pengisahan, serta posisi pencerita dalam menyampaikan cerita, apakah dia tokoh
dalam cerita atau seseorang di luar cerita untuk menggambarkan ketidakberdayaan
tokoh pemuda dalam menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.
6. Gaya Bahasa
Pengertian gaya bahasa tentang cara pengarang mengungkapan suatu cerita
melalui kebahasaan. Gaya bahasa merupakan hal yang bersifat pribadi, yang cara
penyampaian satu pengarang dengan pengarang lainnya akan berbeda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari bahasa yang menyebar pada berbagai aspek kebahasan,
seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan
banyaknya imaji dam metafora.75 Hal yang sama dijelaskan Keraf dalan Satoto,
bahwa masalah gaya bahasa sebenarnya meliputi herarki kebahasaan: pilihan kata
secara individual, frasa, klausa, kalimat atau mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan.76
Di pihak lain, Baldic dalam Nurginatoro beranggapan bahwa stile merujuk
pada penggunaan bahasa secara khusus yang ditandai oleh penulis, aliran, periode,
dan genre. Wujud bahasa ditandai oleh diksi, sintaksis, citraan, irama, dan bahasa
73 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 362. 74 Jakob Sumardjo & Saini K.M, Op. cit., h. 82. 75 Robert Stanton, Op. cit., h. 61. 76 Soediro Satoto, Stilistika, (Yogyakarta, Ombak, 2021), h. 150.
34
figuratif, atau tanda-tanda linguistik lainnya.77 Penggunaan bahasa dapat berbeda-
beda tergantung tujuan pengarang, dan secara khusus dapat pula menandai aliran
dan periode tertentu pegarang. Waktu atau periode pengarang akan mempengaruhi
pemakaian gaya bahasa dalam menulis cerita fiksinya, yang secara tidak langsung
nantinya akan memperlihatkan corak-corak tertentu.
Corak yang diperlihatkan sebenarnnya tidak hanya pada bentuk kebahasaan,
akan tetapi juga sikap atau emosional pengarang dalam cerita fiksinya. Perasaan
pengarang akan tampak dalam berbagai wujud, seperti bahagia, sedih, terharu dan
sebagainya, yang tentunya memberi akan kesan keindahan bagi pembaca. Seperti
halnya yang dikemukakan oleh Keraf bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus
mengandung kejujuran, sopan-santun, dan menarik,78 sehingga cerita itu mampu
menuansakan makna serta dapat menyentuh dan menarik emosi pembacanya.
Mengacu pada penjelasan tersebut, pemanfaatan gaya bahasa dalam sebuah
cerita fiksi dapat memberikan efek makna dalam cerita. Pembahasan gaya bahasa
dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air ini akan menemukan penggunaan bahasa
yang variatif dan khas Ahmad Tohari dalam mengekspresikan gagasannya tentang
ketidakberdayaan pemuda di masa revolusi Indonesia, sehingga dapat dilihat juga
kekayaan bahasa yang dimiliki pengarang.
7. Amanat
Mengutip pernyataan tentang amanat yang diungkapkan oleh Kenny dalam
Burhan Nurgiantoro, amanat dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai
suatu saran yang berhubungan dengan ajaran dan nilai-nilai moral tertentu yang
bersifat praktis, yang dapat ditafsirkan lewat cerita bersangkutan oleh pembaca.79
Lebih sederhana, Wahyudi menyatakan amanat sebagai gagasan yang mandasari
karya sastra atau pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.80 Pesan
moral tersebut mencerminkan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai yang
berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, budi pekerti
dan sebagainya. Pemahaman nilai-nilai itu sendiri sangat beragam sesuai dengan
77 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 369. 78 Soediro Satoto, Op. cit., h. 151. 79 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 430. 80 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 162.
35
kemampuan pembaca menafsirkannya lewat sikap dan tingkah laku tokoh cerita,
sehingga memungkinkan setiap pembaca memperoleh pesan yang berbeda-beda.
Dengan melihat pentingnya amanat, novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari berisikan pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang.
Pembahasan amanat ini untuk menemukan pesan-pesan moral yang mengacu pada
tema novel mengenai ketidakberdayaan tokoh pemuda dalam menghadapi situasi
revolusi yang bergejolak. Nilai-nilai kehidupan yang terkandung lewat perjalanan
tokoh tersebut diharapkan dapat dipahami dan menjadi pembaca pegangan dalam
memaknai kehidupan.
E. Pendekatan Sosiologi Sastra
Secara historis sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dianggap
baru mulai abad ke 18.81 Istilah sosiologi sastra hakikatnya adalah antardisiplin
antara sosiologi dengan sastra. Sosiologi secara etimologis berasal dari dua akar
kata dari bahasa Yunani, yaitu: 1) sosio/socius yang berarti masyarakat; 2) dan
logi/logos berarti ilmu.82 Pendapat lain dikemukakan Ritzer dalam Faruk yang
secara hakikat menganggap sosiologi sebagai disiplin ilmu tentang masyarakat
yang berlandasakan pada tiga paradigma, yaitu fakta sosial, definisi sosial dan
perilaku sosial yang menunjukkan proses sosial dalam suatu masyarakat.83
Sedangkan sastra sebagaimana halnya sosiologi, juga berhubungan dengan
manusia. Wellek dan Warren mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang
bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan.84 Sastra merupakan
hasil cipta berupa manifestasi pikiran dan perasaan manusia mewakili keadaannya
dalam kehidupan sosial masyarakat yang diinskripsikan dalam bentuk tulisan
sebagai perwujudan budaya. Karena sebagai produk budaya inilah, maka sastra
selain menggambarkan ide dan gagasan penulisannya, sastra juga menggambarkan
sistem sosial dan budaya sebagai tempat penulis itu hidup.85
81 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009),
h. 7. 82 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 1. 83 Faruk, Op. cit., h. 2. 84 Rene Wellek dan Austin Warren, Op. cit., h. 12. 85 Heru Kurniawan, Teori, Metode dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta, Graha Ilmu,
2012), h. 3.
36
Kekhasan sastra merepresentasikan sistem sosial dan budaya sebagai basis
kehidupan masyarakat menegaskan adanya hubungan antara sastra dan sosiologi
sebagai suatu disiplin ilmu. Antara sosiologi dan sastra menggarap masalah yang
sama, yaitu manusia dalam masyarakat yang berurusan dengan masalah sosial,
ekonomi dan politik.86 Adapula batasan yang turut membedakan keduanya adalah
sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi di masyarakat, sedangkan sastra
bersifat subjektif dan imajinatif. Perbedaan antara sosiologi dan sastra dapat
dilihat melalui perbedaan hakikat atau ciri, sebagaimana melihat perbedaan antara
rekaan dan kenyataan, fakta dan fiksi.87
Sosiologi sastra dengan sendiri mempelajari hubungan antara masyarakat
dengan sastra. Pandangan tentang sosiologi dan sastra yang kemudian berdisiplin
menjadi sosiologi sastra diterangkan Wolff dalam Faruk yang mengatakan bahwa:
Sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.88
Dalam pernyataan Wolff tersebut, pengertian sosiologi sastra tidak terdefinisikan
secara jelas. Adanya sosiologi sastra atas sejumlah telaah dari berbagai teori yang
berurusan pada hubungan sastra dengan masyarakat. Adapun menurut Kurniawan,
bahwa definisi sosiologi sastra mempresentasikan hubungan interdisiplin ini, yang
masuk dalam ranah sastra, meliputi: (1) pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya; (2) pemahaman terhadap
totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatannya yang
terkandung di dalamnya; (3) pemahaman terhadap terhadap karya sastra sekaligus
hubungan dengan masyarakat yang melatarbelakanginya; dan (4) hubungan
dialektik antara sastra dan masyarakat.
Pengertian lain tentang sosiologi sastra juga dilancarkan Wellek dan Warren
dalam Semi yang mengemukakan bahwa pendekatan sosiologis atau pendekatan
ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat
86 M. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung, Angkasa, 2013), h. 52. 87 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 7. 88 Faruk, Op. cit., h. 3.
37
bersifat sempit dan eksternal, yang biasanya mempersoalkan mengenai hubungan
sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat dan politik.89
Jadi, pemahaman sosiologi sastra mengarah pada telaah terhadap karya sastra
dengan mempertimbangkan aspek sosial yang melatarbelakangi penciptaannya.
Penggunaan pendekatan sosiologis dalam telaah sastra tidak kurang harus
melihat tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Paradigma sosiologi
sastra sebagaimana dikutip Sapardi dalam Faruk menunjukkan kesamaan antara
paradigma yang dikemukakan Wellek dan Warren dan Ian Watt dengan melihat
hubungan pengarang, karya sastra dan pembaca. Mengacu pada paradigma yang
dikemukakan Ian Watt, klasifikasi dalam sosiologi sastra mencakup tiga hal; (1)
(1) konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi pengarang dalam
masyarakat dan kaitannya dengan pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor
sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai individu di samping juga
mempengaruhi isi karya sastranya; (2) sastra sebagai cerminan masyarakat yang
menelaah sejauh mana sastra mencerminkan keadaan masyarakat pada zamannya;
dan (3) fungsi sosial sastra yang menelaah sejauh mana sastra berfungsi sebagai
pembaharu masyarakat yang mengajarkan suatu nilai dan sebagai penghibur.90
Dalam paradigma sosiologi sastra ini menunjukkan adanya hubungan antara
karya sastra dengan sosial masyarakat, yang memandang sastra sebagai cerminan
masyarakat atau dokumen sosial. Dengan kenyataan bahwa karya sastra terlahir
dalam konteks fenomena sosial masyarakat, maka analisis sosiologi sastra dapat
dilakukan dengan langkah berikut: Pertama, analisis sosial struktur karya sastra,
yang hakikatnya mengkaji struktur pembangun karya sastra dengan menguraikan
interaksi sosial yang terbangun antara tokoh dengan tokoh dalam suatu kondisi
sosial dan waktu tertentu; Kedua, analisis sosial masyarakat yang diacu karya
sastra, yaitu dengan menganalisis secara sosiologis kondisi sosial yang biasanya
membahas fakta sosial, perilaku sosial dll; Ketiga, merelasikan kenyataan sosial
karya sastra dengan kenyataan sosial yang diacunya meliputi: analisis peristiwa-
89 M. Atar Semi, Op. cit., h. 59. 90 Faruk, Op. cit., h. 4.
38
peristiwa sosial yang terjadi, fakta-fakta yang ada, perilaku-perilaku sosial tokoh-
tokohnya yang kemudian direlasikan dengan kenyataan sosial yang diacunya.91
Sebagaimana yang dikemukakan Ratna bahwa sosiologi sastra bertujuan
untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan.92
Sastra adalah dunia miniatur yang kompleks yang dikontruksikan secara imajinatif
menggambarkan kondisi sosial masyarakat tertentu. Kehidupan yang ditampilkan
dalam sastra mengacu pada kenyataan yang sebenarnya, yang telah dikreasikan
sesuai dengan tafsiran pengarang, dalam aspeknya tokoh, latar sosial dan waktu.
Konteks peristiwa yang dibangun dan disusun dalam karya sastra berhubungan
dengan budaya dan kondisi sosial yang menginternal dalam diri penulisnya.93
Berkaitan dengan itu, pengarang memiliki kemampuan untuk mengalihkan
pendangannya terhadap dunia ke dalam cerita fiksi, yang persamaan keduanya
terletak pada relasi kehidupan antara manusia-tokoh, ruang-latar dan waktu-alur.
Upaya ini sekaligus sebagai bentuk komunikasi pengarang kepada pembaca yang
ingin menyampaikan realitas suatu zaman tertentu. Dengan pernyataan bahwa
sastra adalah cerminan masyarakat, maka kehidupan sosial masyarakat akan selalu
mempengaruhi eksistensi karya sastra.
F. Pembelajaran Sastra Indonesia
Sastra dengan berbagai produknya menyimpan berjuta pesona di dalamnya.
Di dunia pendidikan, khususnya dalam pendidikan formal, sastra diyakini dapat
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pengembangan diri dan
kreativitas peserta didik. Hal ini sebagaimana fungsi sastra yang tidak hanya dapat
menghibur (dulce), tetapi juga dapat mendidik (utile) pembacanya dengan nilai-
nilai kehidupan yang tersirat di dalamnya. Dengan membaca karya sastra, peserta
didik diharapkan peka terhadap realitas kehidupan, memperoleh pengertian yang
baik mengenai manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, dan mendapatkan
91 Heru Kurniawan, Op. cit., h. 14-18. 92 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 11. 93 Heri Kurniawan, Op. cit., h. 7.
39
ide baru.94 Oleh karena itu, tak heran jika sastra dapat dijadikan sebagai bahan ajar
untuk membimbing dan membentuk peserta didik menjadi manusia utama.
Seberapa jauh pentingnya pembelajaran sastra sebenarnya dapat dilihat dari
tujuan pembelajaran sastra itu sendiri. Secara umum tujuan pembelajaran mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2004, ialah (1) peserta
didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa, dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan
sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.95
Sementara menurut Taufik Dermawan, pembelajaran sastra seharusnya bertujuan
membina apresiasi (sastra), mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, dan
menyuburkan sikap arif dalam menangkap isyarat-isyarat kehidupan kehidupan.
Untuk menumbuhkan pengertian, penghargaan, pikiran kritis, dan kepekaan rasa
yang baik terhadap karya sastra, yang harus dilakukan adalah memahami karya
sastra dengan sungguh-sungguh.96
Lebih dari itu, Brahmanto mengungkapkan sekurang-kurangnya ada empat
manfaat yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran sastra, yaitu membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
daya cipta dan rasa, dan pembentukan watak.97 Untuk bisa mencapai hal tersebut,
pengajaran sastra harus diterapkan bersamaan dengan pengajaran bahasa. Dengan
menyimak pembacaan karya sastra, peserta didik terlibat dalam proses berpikir
(keterampilan menyimak) yang memungkinkannya secara mandiri dapat membaca
karya sastra (keterampilan membaca). Selanjutnya peserta didik terlibat dalam
diskusi (keterampilan berbicara) dan memparafrasekan atau menganalisis karya
sastra (keterampilan menulis). Pelibatan secara sungguh-sungguh terhadap karya
sastra akan meningkatkan wawasan kompherensif tentang budaya sendiri, dan
94 M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung,
Angkasa, 1990), h. 152-153. 95 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 170. 96 Taufik Dermawan, “Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra di SMTA”, Ibnu
Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.
97 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta, KANISIUS, 1988), h. 16-25.
40
budaya-budaya lainnya, sehingga dalam diri peserta didik tertanam rasa bangga,
percaya diri, dan rasa memiliki (sense of belonging).98
Kejelasan tujuan pengajaran sastra penting, sebab dapat dijadikan pedoman
dalam mempertimbangkan cara mengajarkan sastra. Mengutip pernyataan Waluyo
bahwa “mengajarkan sastra adalah mengajarkan karya seni yang merupakan hasil
kreativitas pengarang.”99 Karena itu, pendidikan sastra hendaknya berangkat dari
karya itu sendiri, yang diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif sastra, kritik
sastra dan proses kreatif sastra. Pengembangan dimensi kreatif melalui pengajaran
dimungkinkan jika peserta didik dapat berkenalan dan menikmati secara langsung
karya sastra sebagai karya kreatif dari berbagai kurun waktu dan berbagai
pengarang.100 Peserta didik diberi keleluasaan untuk menikmati keindahan karya
sastra, menghargai pikiran menghargai pikiran dan karya cipta pengarang, dan
merasakan adanya proses kreatif yang dilakukan pengarang secara menyeluruh
sehingga dapat menafsirkan dan memahami kreativitas pengarang.
Pembelajaran mengapresiasi yang sastra tidak hanya mengajak peserta didik
untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam
dan kenyataan di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap
positif yang terhadap karya sastra dan menilai karya sastra. Penilaian karya sastra
dilakukan untuk menentukan kualitas dan nilai karya sastra, seperti bermutu
tidaknya karya sastra. Peserta didik juga dibelajarkan untuk mencari kelemahan
dan kekuatan karya sastra, serta memberikan saran konstruktif bagi perkembangan
sastra. Kegiatan apresiasi ini mengembangkan dan membiasakan peserta didik
untuk berpikir kritis, terbuka, dan bersikap jujur dalam memberikan suatu respons
mengenai karya sastra tersebut, menyangkut aspek kejiwaan, perasaan, imajinasi
dan daya kritis sehingga nantinya mampu merespons kehidupan ini secara artistik
dan imajinatif.101
98 Taufik Dermawan, Op. cit., h. 57. 99 Herman J. Waluyo, “Pengembangan Dimensi Kreativitas dalam Pengajaran Sastra”, Ibnu
Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.
100 Taufik Dermawan, Op. cit., h. 63. 101 Wahyudi Siswanto, Op. cit., h. 169.
41
Terkait kegiatan apresiasi ini dikatakan Wibowo, pembelajaran sastra harus
diarahkan pada tiga aspek pengajaran, yaitu pengetahuan tentang karya sastra
(kognitif), kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan kemampuan menghasilkan
karya sastra (psikomotorik). Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan
kemampuan motorik peserta didik dilatih dan dikembangkan. Misalnya dilakukan
melalui kegiatan (1) reseptif, seperti membaca dan mendengarkan karya sastra,
menonton pementasan karya sastra, (2) produktif, seperti mengarang, bercerita
dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi,
cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra.102
Implementasi proses pembelajaran sastra tersebut akan berjalan baik dan
efektif, jika dilaksanakan dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang
dapat membangkitkan kepekaan dan proses berpikir peserta didik. Di antaranya,
seperti lima pendekatan sastra yang dikemukakan Semi, yakni (1) Pendekatan
kesejarahan, yang memusatkan perhatian peserta didik pada aspek sejarah sastra,
proses perkembangan sastra, periode sastra, dan ciri-ciri yang menandai
perkembangan sastra dari zaman ke zaman. (2) Pendekatan sosiopsikologis, yang
memusatkan perhatian peserta didik pada masalah kejiwaan dan kemasyarakat
yang terdapat dalam karya sastra. (30 Pendekatan emotif, di mana guru berupaya
untuk memanipulasi emosi siswa dengan menentukan sendiri karya sastra yang
harus dinikamati peserta didik. (4) Pendekatan analitis, yang memusatkan pada
analisis unsur intrinsik karya sastra, di mana guru cenderung untuk menunjukan
komponen pembangun karya sastra. (5) Pendekatan didaktis, yang memusatkan
perhatian peserta didik pada aspek pendidikan dan moral yang terkandung dalam
karya sastra.103
Berdasarkan uraian tersebut peran sastra menunjukkan pertalian yang erat
dalam pembentukkan watak moral peserta didik di lembaga pendidikan. Sastra
dalam pendidikan dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik,
dan pribadi sosial. Peran sastra ini tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, namun juga dengan pembelajaran sastra yang bersifat
102 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-nilai Karakter
Melalui Pengajaran Sastra, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013), h. 136. 103 M. Atar Semi, Op. cit., h. 155-156.
42
apresiatif. Melalui penjelajahan yang intens peserta didik akan menemukan nilai-
nilai moral yang dapat dijadikan pegangan untuk memaknai kehidupan. Dengan
demikian, pengalaman bersastra akan memudahkan peserta didik menafsirkan dan
memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata.
G. Penelitian Relevan
Penelitian relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang mempunyai
relevansi dengan topik penelitian yang akan diteliti dengan memberi pemaparan
tentang penelitian-penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan sebagai referensi
untuk penelitian yang sedang dikerjakan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa
topik yang akan diteliti belum pernah diteliti sebelumnya. Dengan bersumber pada
makalah, skripsi, jurnal dan internet, beberapa penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan sebagai kajian pustaka dalam penelitian ini.
Penelitian terhadap novel Lingkar Tanah Lingkar Air pernah dilakukan oleh
Asep Jamaludin (1995), Universitas Indonesia dengan skripsinya dengan judul
“Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad
Tohari”. Dalam penelitian ini penulis sama-sama meneliti dari sumber yang sama,
namun objek kajian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Asep Jamaludin ini
menitikberatkan pada unsur kesejarahan dari pengamatan tokoh dan latar cerita.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa Ahmad Tohari berhasil untuk menampilkan
obsesinya dalam menuangkan gagasan-gagasannya tentang sejarah yang dikemas
dalam bentuk sastra. Dengan karyanya ini, Ahmad Tohari ingin mengajak
pembaca untuk lebih arif memaknai sejarah.104
Selanjutnya penelitian oleh Wahyudi Wijianto (2012), Universitas Negeri
Yogyakarya dengan skripsi berjudul “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari”. Penelitian yang dilakukan Wahyudi
Wijianto menfokuskan pada metode penggambaran tokohnya. Hasil penelitian
tersebut menjelaskan bahwa: Pertama, Amid adalah tokoh utama dilihat dari
keterlibatan dalam cerita. Sebagai tokoh utama (sentral), Amid lebih mendominasi
cerita dalam novel, dan lebih sering dimunculkan oleh pengarang, selain itu tokoh
104 Asep Jamaludin, “Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari”, Skripsi pada Universitas Indonesia, Jakarta 1995 tidak dipublikasikan.
43
Amid sangat berpengaruh terhadap jalanya cerita. Dilihat dari wataknya tokoh
Amid adalah tokoh yang kompleks karena wataknya berubah-ubah. Tokoh
tambahan dalam novel ini ada banyak dan tidak semuanya dapat dijelaskan,
karena hanya muncul beberapa kali dalam cerita. Tokoh tambahan tersebut adalah
Kiram, Suyud, Jun dan Kiai Ngumar yang dilihat dari keterlibatan dalam cerita
tidak begitu sering dimunculkan, selain itu tokoh tambahan ini mendukung watak
tokoh utama. Dilihat dari wataknya, tokoh tambahan ini merupakan tokoh statis,
yaitu tokoh yang dalam ceritanya sedikit sekali sifat yang berubah dan bahkan
hampir tidak pernah berubah. Kedua, metode penggambaran yang dilakukan
pengarang terhadap tokoh-tokoh dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari ini menggunakan dua metode sekaligus, yaitu metode langsung
dan metode tidak langsung, tetapi pengarang lebih dominan menggunakan metode
tidak langsung.105
Meskipun penelitian di atas mengkaji objek yang sama, yaitu novel karya
Ahmad Tohari yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air. Namun sepengetahuan
penulis, penelitian masalah sosial masyarakat pada novel Lingkar Tanah Lingkar
Air belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan ini, dalam penelitian ini penulis
akan membahas mengenai gambaran masalah sosial masyarakat yang terdapat
dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Persamaan penelitian ini dengan tinjauan pusataka di
atas terletak pada subjek penelitian yang sama, yaitu sama-sama mengkaji novel
Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Adapun perbedaan penelitian ini
terletak pada objek penelitian yang dikaji. Dalam penelitian ini, objek penelitian
penulis adalah masalah sosial masyarakat, skripsi yang menjadi relevan mengkaji
refleksi sejarah DII/TI dan metode penggambaran tokoh dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
105 Wahyudi Wijianto, “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air karya
Ahmad Tohari”, Skripsi pada Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2012, tidak dipublikasikan.
44
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
A. Biografi Ahmad Tohari
Sastrawan-budayawan, Ahmad Tohari, nama yang sebenarnya tidak asing
lagi dalam dunia penulisan novel Indonesia. Di tahun 70an, namanya pertama kali
dikenal lewat cerpennya Jasa-jasa Buat Sanwirya yang memenangkan sayembara
Kincir Emas Radio Nederland Wereldmroep. Terbitnya novel Ronggeng Dukuh
Paruk semakin melejitkan namanya, yang dianggap sangat sempurna oleh para
sastrawan karena mempunyai satu kesatuan unsur (trologi).1 Melihat keberhasilan
kepengarangannya, Ahmad Tohari tetap tidak merasa bangga menjadi pujangga.
Ia ingin menjadi punokawan saja, bagi rakyat bawah. “Tapi bukan punokawan
pesanan” kata alumnus SMA Negeri II Purwokerto pada Republika.2
Kegemaran Ahmad Tohari menulis cerpen dan artikel ketika masih duduk di
bangku SMA. Dari menulis cerpen dan artikel, ia mulai belajar menulis novel
yang semuanya dipelajari sendiri. Namun diakui Tohari proses menulisnya adalah
sebuah ketidaksengajaan, “ibaratnya saya terpeleset menjadi penulis” kata penulis
kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948.3 Ia merasa perlu mencari uang sendiri untuk
melanjutkan kuliahnya di sebuah Fakultas Kedokteran Ibnu Kaldun Jakarta (1967-
1970) karena seorang kakaknya yang menikah. Saat dalam keterdesakan itulah, ia
mulai mengarang cerita pendek dan memuatnya di redaksi koran dan majalah
terbitan ibu kota. Semangat menulis Ahmad Tohari kemudian menghasilkan novel
pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak yang diterbitkan sebagai cerita bersambung di
harian Kompas (1979).4
Dari seputar kehidupannya yang diceritakan kepada Suara Merdeka, Kang
Tohari, begitu ia senang dipanggil, mengaku masa kecilnya relatif kenyang, tidak
seperti anak-anak sekampungnya yang kelaparan. Kedua orang tuanya bekerja,
1 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk, Yogyakarta,
Eksponen, 9-15 September 1989, h. 9. (a) 2 Indra Wisnu, Ahmad Tohari: Punokawan Saja! Harian Republika, Jakarta, Minggu 17
September 1995, h. 12. 3 Arif Firmansyah, “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”,
Mingguan Koran tempo, Jakarta, Minggu 13 Januari 1994, h. 8. 4 Yudiono K.S, Ahmad Tohari Karya dan Dunianya, (Jakarta, Grasindo, 2003), h. 4.
45
ayahnya sebagai pegawai KUA dan ibunya pedagang kain, sehingga ada jaminan
untuk ia tidak kelaparan. Kondisi mengerikan ini menjadi traumatis sendiri
baginya, karena ketika musim kemarau ia harus melihat anak-anak lain bengkak
kelaparan sampai tidak sanggup bermain, sementara perutnya terisi, tetapi ia tetap
berusaha mengakrabi mereka. Ahmad Tohari mewarisi prinsip bapaknya yang tak
merasa kurang dengan memberi, sehingga tak pernah mempersoalkan rezeki yang
diterimanya, sebagaimana terminologi santrinya, hanya orang yang bersyukur
yang bisa menikmati ketentraman hidup.5
Ketua Badan Kesenian Banyumas ini pernah bekerja sebagai tenaga honorer
di BNI 1946 Jakarta. Tidak puas kemudian pindah sebagai redaktur ke Surat
Kabar Harian Merdeka, lantas menjadi staff redaksi majalah Keluarga dan timbul
rasa jemu, maka kembali ke Banyumas melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi
Universitas Sudirman Purwokerto, kemudian pindah ke Fakultas Sosial Politik di
universitas yang sama, namun tidak berhasil juga diselesaikannya. Ia akhirnya
kembali ke Jakarta menjadi dewan majalah Amanah.6
Meski menjadi novelis terkenal dan cukup mapan sebagai redaktur majalah
Amanah, sama sekali tidak mendorong Ahmad Tohari untuk pindah ke Jakarta.
Bapak lima anak yang punya hobi memancing ini, sangat mencintai kampung
halamannya dan mengaku tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan desa
kelahirannya, Tinggarjaya. Ia dibesarkan sebagai santri di lingkungan desa dan
pesantren, yang memudahkan pergaulannya dengan berbagai lapisan masyarakat
bawah. Apalagi corak kehidupan dan segala problematika sering menjadi inspirasi
bagi kerja kreatifnya untuk diolah ke dalam novel-novel, yang hampir seluruhnya
bertemakan sosial.7 Kehidupan di desa lebih menarik dan membuatnya puas lahir
dan batin tanpa harus terbebani perubahan hidup masyarakat kota.8
Di desa Tinggarjaya, Ahmad Tohari ingin menulis secara total, mengurus
pesantren Al Falah dan menghabiskan waktu bersama istrinya, Syamsiah, seorang
5 Prie GS, “Memagari Rumah dengan “Kotoran”, Suara Merdeka, Jakarta, Minggu 9
Januari 1994. 6 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a), Loc. cit. 7 Indra Wisnu, Loc. cit. 8 Arif Firmansyah, Loc. cit.
46
guru sekolah dasar yang dinikahinya pada tahun 1970. Bersama perempuan itu,
Ahmad Tohari dikaruniai lima orang anak, Listia, Widia, Ashar Saputra, Sita
Hidayah, Din Alfina. Dalam bincang-bincangnya dengan Yudioni K.S, Ahmad
Tohari mengaku sangat bersyukur bisa mendewasakan anak-anaknya sampai ke
jenjang perguruan tinggi, tiga anaknya di UGM Yogyakarta dan dua anaknya di
UNSUD Purwokerto untuk menebus kegagalan pendidikannya di perguruan
tinggi.9
B. Pemikiran Ahmad Tohari
Mengutip pandangan Dick Hartoko terhadap novelis Ahmad Tohari dalam
diskusinya “Berkenalan dengan Ahmad Tohari”, Ahmad Tohari memiliki tiga ciri
yang dikatakan bahwa “Dia itu orang Jawa, orang muslim alami. Dia amat dekat
dengan alam desa, dan lahir dari pengamatan dan pengalaman sekelilingnya.
Alam baginya merupakan guru yang arif dan bijaksana.”10 Ciri khas Ahmad
Tohari tersebut melekat dalam karya sastra yang dicipatakannya, baik berupa
novel maupun cerpen yang semua menampilkan aspek humanis yang kuat dengan
memotret kehidupan atau nasib masyarakat bawah. Kesadaran humanis yang
melekat pada dirinya sebagai pengarang menjadi awal untuk melakukan gerakan
penyadaran melalui sastra. Seperti diakuinya dalam Rubik “Bincang-Bincang”
oleh Suara Merdeka yang dikemukakan Yudiono, bahwa menurut Tohari:
“Sastra dan agama adalah wujud pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan Kitab Suci, sedangkan sastra merupakan akal budi manusia. Orang yang membaca sastra akan mendapatkan kearifan.
“Justru karena agama sedang dalam kondisi krisis itulah karya sastra harus berperan sebagai pencerah. Sastra justru harus sebagai komplemen. Sastra dibuat untuk melakukan pengingatan. Bahkan sastra yang berkesan menghujat Tuhan pun harus dihargai. Itu kan hanya cara lain untuk berdialog dengan Tuhan” 11
Melihat pernyataan itu, sastra dan agama dipandang Ahmad Tohari sebagai sarana
pencerahan. Keyakinannya tampak sangat jelas bahwa sastra menjadi pilihan lain
baginya untuk membangun moral masyarakat. Ketika agama sulit membangun
9 Yudiono K.S, Loc. cit. 10 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a), Loc. cit. 11 Yudiono K.S, Op. cit., h. 6-7.
47
pemikiran manusia, maka sastra menjadi caranya untuk membuka hati dan pikiran
manusia, sehingga berkembanglah masyarakat yang beradab. Lebih lanjut, dalam
wawancaranya dengan redaksi Pelita, Ahmad Tohari menilai sastra mempunyai
dimensi yang dapat menerobos garis formal. Sastra mengandung dongeng, tasauf,
dan ma’rifat yang harus mampu menggoyang titik pusat kesadaran dan perasaan
manusia. Perasaan dekat kepada Tuhan, serta melihat segala sesuatunya sebagai
refleksi keberadaan-Nya.12
Diakui Ahmad Tohari dalam Yudiono K.S, Tuhan harus dipahami dengan
membaca simbol-simbolnya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang
menderita, yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan.13 Berangkat dari
pandangan itulah, unsur religuitas turut mewarnai aspek humanis Ahmad Tohari
yang merupakan cerminan ideologi Islam yang dipahaminya. Konsep keislaman
menyatu dalam dirinya yang dibesarkan dalam lingkungan Jawa dan sejak kecil
akrab dengan surau dan masjid.14 Namun menurut Nur Sahid, pengungkapan
nilai-nilai islami Tohari dianggap berbeda dengan kecenderungan kepengarangan
Hamka, AA Navis, dan Jamil Suherman yang pengungkapannya sering kali terasa
formal, eksplisit, bahkan terkesan verbal dan eksplisit. Sebaliknya, Ahmad Tohari
mengimplemasikan nilai-nilai keislaman itu melalui simbol-simbol yang halus
sehingga terasa lebih sublimatis. Dimensi religius muncul dalam karyanya tidak
dari idiom-idiom islam yang verbal, melainkan dari setiap tindakan, peristiwa dan
nasihat-nasihat tokoh cerita. Seperti dikatakannya, dalam menyampaikan pesan-
pesan keislaman kepada pembaca hendaknya hanya membimbing sehingga tidak
berkhotbah atau menggurui.15
Komitmen Ahmad Tohari dengan keislamannya dalam bersastra yang sudah
berbaur dengan keprihatinannya menjadi caranya berdakwah, menyuarakan pesan
illahi dan misi kemanusiaan akan persoalan pelik kehidupan masyarakat yang
12 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Wawancara dengan Novelis Ahmad Tohari, Sastra
Meronggeng: Ihwal dan Pasal, Pelita, Senin 17 Maret 1086 (b), h. 10. 13 Yudiono KS, Op. cit., h. 7. 14 Restoe Prawironegoro Ibrahim, “Sasta religious Ahmad Tohari dalam Ideologi Islam”,
Harian Republika, Jakarta, Ahad 26 Oktober 2003, h. 8. 15 Nur Sahid, “Pesan Moral Islami dan Cerpen Ahmad Tohari”, Suara Karya, Jakarta,
Minggu 25 Pebruari 1996, h. 6.
48
tidak selalu disebabkan kekeliruan pada dirinya, melainkan disebabkan oleh faktor
lain di luar dirinya.16 Dengan maksud tersebut, Yudiono mengungkapkan bahwa
Ahmad Tohari sebagai pengarang senantiasa mengalami “hamil sastra”, di mana
ia mengalami kondisi batin yang memaksa harus menulis karya sastra agar tidak
tersiksa jiwanya. Semua itu berangkat dari kegelisahan atau kemarahan terhadap
para pemimpin yang belum juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang
kecil.17 Diakui Ahmad Tohari, karena posisinya sebagai sastrawan yang terlibat
langsung kepada manusia, ia melihat secara langsung borok-borok kemiskinan,
kebodohan dan ketidakadilan yang kalau dibiarkan akan menjadi penyakit kronis
masyarakat, merusak sendi-sendi bangsa dan negara.18 Realitas itulah yang
diangkat Ahmad Tohari ke permukaan dan menjadi konsep kepengarangannya
selama ini. Dengan berpegang teguh pada kejujuran, baginya manusia mempunyai
tanggung jawab besar untuk mengelola kehidupan. Kebodohan, kemelaratan dan
kerusakan alam adalah tanggung jawab kolektif manusia. Meski kenyataannya
sekarang tidak, sebab sistem seolah-olah terlalu slogan, membutuhkan orang-
orang miskin sebagai konsumen.19
Kekuatan dalam melukiskan latar yang sering kali menampilkan warna dan
setting lokal merupakan warna lain dari kepengarangan Ahmad Tohari. Bahkan
hal itu telah menjadi ‘cap’ tersendiri bagi karya-karya sastranya yang bertemakan
latar pedesaan beserta segala kompleksitasnya.20 Wilayah pedesaan yang lugu dan
jarang terjamah pengarang itulah menjadi dunia yang sering dimasuki pengarang
asal Banyumas ini. Warna daerah yang sangat hangat memperjelas unsur-unsur
budaya Jawa yang relatif dipahami dan dihayati sebagai bagian dari kesadarannya,
serta tidak lepas dari pengalaman hidupnya sebagai anak desa dengan lingkungan
budaya Jawa.
16 Ismet N. M. Haris, “Berkisar Merah” Ahmad Tohari: Menakar Harga Diri Wanita di
Tengah Kemiskinan, Mutiara, Jakarta, 4-10 Oktober 1994, h. 6. 17 Yudiono KS, Op. cit., h. 3-4. 18 Syahriel Mochtar, Wawancara Dengan Novelis Ahmad Tohari: Paman Dan Bibi Saya
Makan Tempe Bongkrek, Suara Pembaruan, Jakarta, Senin, 21 Maret 1988, h. 8. 19 Ibid. 20 Syahrial, Potret-Potret Ahmad, Majalah Berita Buku, Jakarta, 1989, h. 17.
49
Ahmad Tohari cenderung menempatkan dirinya sebagai penerjemah
kehidupan, yang mengungkapkan reaksinya terhadap kenyataan kehidupan dan
merekamnya ke dalam karya sastra. Ia memilih gugatan cara Jawa yang mau tak
mau harus masuk dalam konteks perikeberadaannya. Mengutip dari wawancara
dengan Suara Pembaruan, Ahmad Tohari beralasan gugatan Jawa selain lebih
sublim juga merupakan ‘kearifan’ dalam konteks keadaan sekarang. Lebih jelas
lagi, falsafah Jawa mengandrungi keselarasan hidup seperti yang tercermin dalam
konsep jagat agung dan jagat alit, yang tercermin dari idiom aja nggege mangsa.
Konsep-konsep keselarasan ini dinilai sangat relevan diterapkan ketika kehidupan
yang ingin serba dipercepat telah terbukti merusak keseimbangan alam yang pada
gilirannya merusak pasti akan merusak kehidupan manusia. Terlihat tiga unsur
falsafah Jawa yang sangat dominan dalam karya-karyanya, manusia, alam dan
kehidupan. 21
Sekali lagi bahwa medium karya sastra menjadi wahana dari proses kreatif
Ahmad Tohari, sekaligus satu perwujudan keprihatinan terhadap masalah-masalah
sosial. Sikapnya yang sederhana dalam mengolah materi ceritanya dan kedalaman,
serta kesungguhannya dalam menilai kehidupan menjadi salah satu kekuatan dari
novelis yang tabu menulis kata cinta ini. Dalam menulis, Ahmad Tohari mengakui
bahwa ia memang tidak suka dengan kata-kata yang vulgar, radikal, dan ambisus.
Ia lebih condong menulis dengan kalimat-kalimat yang tenang, dan membiarkan
para pembaca karyanya berpikir apa dan bagaimana komitmennya dibalik cerita
tersebut.22 Gaya kepengarangan demikian pun mendapat banyak apresiasi dari
para pengamat sastra. Menurut Emha Ainun Najib, bahwa Ahmad Tohari lebih
pantas disebut sebagai kritikus sosial daripada seorang novelis atau sastrawa
karena sebagaian besar karyanya dianggap sebagai kritik sosial.23 Bahkan diakui
Sapardi Djoko Damono, salah satu kekuatan Ahmad Tohari ialah menjelmakan
peristiwa sederhana menjadi lambang berbagai masalah yang rumit dan berharga
21 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari: Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif Untuk
Zaman Sekarang, Suara Pembaruan, Jakarta, Minggu, 5 Juni 1988 (c), h. 8. 22 Eko Widiyanto, Hidup Dalam Sehari ‘Si Ronggeng’ Ahmad Tohari, Republika, Jakarta
Minggu, 13 Juni 1993, h. 4. 23 Ibid.
50
untuk dihayati. Dengan demikian ia berhasil menaikan karyanya dari sebuah
jurnalisme informatif dan teknis ke tingkat karya sastra yang punya artistic
merk.24
C. Karya-Karya dan Penghargaan Ahmad Tohari
Karya-karya novelis Ahmad Tohari dengan segala kekhasan yang dimiliki
memberikan nuansa baru dalam jajaran karya sastra Indonesia. Karya-karyanya
yang bermuara pada kehidupan manusia dengan segala kompleksitasnya terhitung
berkualitas dan memperoleh banyak penghargaan, baik tingkat nasional maupun
internasional. Bahkan mendapat apresiasi di kalangan masyarakat dengan adanya
ratusan skripsi yang membahas karya-karyanya, salah satunya tesis tentang novel
Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis mahasiswa Universitas Lon di Swedia. Hal
ini menjadi bukti masih adanya secercah harapan bagi pemerdayaan karyanya
dalam konteks pencerahan batin masyarakat.25
Pada penghargaannya, cerpen pertamanya Jasa-jasa Buat Sawirya menang
dalam lomba cerpen yang diadakan Radio Nederland Wereldmroep tahun 1984
dan diterbitkan dalam antologi cerpen Dari Jodoh sampai Supiyah (1976). Di
Kaki Bukit Cibalak yang semula terbit sebagai cerita bersambung di harian
Kompas edisi 10 oktober – 6 Nopember 1979, kemudian dibukukan dan menjadi
novel pertama Ahmad Tohari. Novel itu meraih juara harapan pertama dalam
sayembara Mengarang DKJ tahun 1977. Sedangkan Kubah, novel keduanya,
langsung diterbitkan sebagai buku oleh Pustaka Jaya (1980) dan dianugerahkan
predikat fiksi terbaik oleh Yayasan Buku Utama, Depdikbud tahun 1981.26
Selang beberapa tahun kemudian, novelis asal Banyumas ini meluncurkan
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia, 1982) yang membuat namanya makin
diperhitungkan dalam khazanah sastra Indonesia. Novel yang sebelumnya terbit
sebagai cerita bersambung di lembaran Kompas Jakarta ini, banyak mengundang
tanggapan positif dari pengamat sastra. Bersama dua novel lanjutannya, Lintang
Kemukus Dini Hari (Gramedia, 1985) dan Jantera Bianglala (Gramedia, 1986)
24 Ansis Kleden, “Sebuah Lukisan Naturalis” Kompas, Jakarta, Minggu, 17 September
1989. 25 Yudiono KS, Op. cit., h. 3. 26 Pusat Dokumentasi HB. Jassin (a) , Loc. cit.
51
yang sebelumnya juga dimuat di harian pagi Kompas, Ahmad tohari memperoleh
penghargaan Fellowship International Writers Program di Iowa, Amerika Serikat
pada tahun 1990 dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (Southeast Asian Writers
Award) di tahun 1995. Bahkan trilogi itu telah diterjemahkan ke dalam lima
bahasa, Inggris, Jepang, Belanda, Spanyol dan Jerman.27
Selain trilogi berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi masterpiece
kepenulisannya, beberapa novel dan kumpulan cerpen juga diciptakan dari tangan
dingin novelis Ahmad Tohari, di antaranya kumpulan cerpen Senyum Karyamin
(Gramedia, 1989), Berkisar Merah (1993), Mas Mantri Gugat (Bentang, 1994),
Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Dari Jodoh Sampai Supiyah (1996), Belantik
(2001), Orang-orang proyek (2002), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000),
Kiai Sudrun Gugat (kumpulan esai,1995).28
27 Eko Widiyanto, Loc.cit. 28 Yudiono KS, Op. cit., h. 2.
52
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Struktur Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari
Sebuah novel sebagai cerita fiksi menawarkan sebuah dunia, yang berisikan
tentang kehidupan manusia dalam panjang tertentu dengan menyuguhkan tokoh-
tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dalam suatu alur dan latar secara
tersusun. Di dalam novel mengandung struktur yang terdiri atas berbagai unsur
pembangunnya, yang bersifat intrinsik dan saling berkaitan satu dengan yang lain
secara erat. Unsur-unsur inilah yang kemudian secara bersama membentuk sebuah
totalitas yang membuat novel berwujud.1
Melihat hal itu, maka perlu dilakukan analisis struktur novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Analisis intrinsik ini merupakan langkah awal
untuk memahami novel ini sebelum menganalisis masalah sosial masyarakat yang
terdapat dalam novel. Analisis unsur intrinsik dilakukan dengan mengidentifikasi,
mendeksripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik yang bersangkutan,
seperti bagaimana tema, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan gaya
bahasa yang tergambar dalam novel. Dengan demikian, dapat dilihat pentingnya
pemahaman terhadap unsur intrinsik sebagai unsur utama yang secara langsung
membangun karya sastra, dan secara faktual juga akan dijumpai pembaca ketika
menikmati sebuah novel. Untuk penjelasan unsur intrinsik dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, sebagaimana berikut.
1) Tema
Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita bersifat umum, luas dan abstrak
yang menopang keseluruhan cerita. Kemunculan tema biasanya terimplisit lewat
berbagai peristiwa, konflik dan situasi tertentu yang dialami tokoh cerita. Lebih
sederhana, tema merupakan inti cerita yang ingin dikemukakan pengarang kepada
pembacanya. Jika dilihat dari kepengarangannya, sastrawan Ahmad Tohari sering
kali mengangkat tema sosial yang menunjukkan kritik sekaligus keprihatinannya
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, 2007), h. 30.
53
terhadap permasalahan hidup masyarakat bawah yang tertindas oleh struktur dan
sistem, atau bahkan kemelut sosial politik yang melibas orang-orang kecil. Hal itu
tampak jelas dalam beberapa novel yang diciptakan, seperti dua novel besarnya
terdahulu, Ronggeng Dukuh Paruk dan Kubah yang memotret kehidupan wong
cilik dengan kekhasan lokal yang sangat kuat.
Sama halnya novel lainnya, dalam Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) yang
diterbitkan kembali oleh Hikayat Publishing di tahun 2007, Ahmad Tohari belum
beranjak dari permasalahan masyarakat bawah yang secara tematis menyiratkan
keberpihakannya. Bersetting di periode revolusi Indonesia, tema besar novel ini
adalah kacaunya situasi sosial politik yang membuat pemuda santri terjebak dalam
orientasi hidup pasca kemerdekaan. Pemuda kala itu serta merta menunjukkan
semangat juang dan rela berkorban untuk melawan kolonialisme Barat. Akan
tetapi, pertanyaannya untuk apa dan siapa tidak sepenuhnya dipahami pemuda.
Hal itu dikarenakan perubahan yang relatif cepat dan tanpa diimbangi kematangan
mental dan wawasan yang luas, yang akhirnya menyebabkan para pemuda sulit
menyesuaikan diri dengan situasi revolusi. Problematika ini ditampilkan Ahmad
Tohari melalui pengalaman hidup tokoh utama yang penuh liku, di mana tujuan
awalnya hanya ingin melawan berjuang melawan Belanda, namun harus terlibat
dalam gerakan pemberontakan sebagai akibat kemelut sosial politik saat itu.
Aku kembali berpandang-pandangan dengan Kiram. Ya, kukira aku sudah mendengar bahwa di Surabaya terjadi perang besar. Sebelumnya kudengar bahwa Indonesia sudah merdeka dan Bung Karno menjadi presiden. Tetapi terus terang aku tak sepenuhnya paham karena di desaku belum terjadi perubahan nyata, kecuali waktu itu kulihat Jepang tiba-tiba pergi dari kota kecamatan kami. Hal itu pun aku tak melihatnya sendiri.2
Penggalan kutipan di atas dapat dijadikan pengantar untuk memahami novel
ini, di mana pengarang ingin mengajak pembaca melihat kenyataan yang terjadi di
tahunawal kemerdekaan Indonesia. Lewat penceritaan tokoh “Aku”, seorang
santri bernama Amid, bahwa kemerdekaan Indonesia dari Jepang tidak begitu saja
memberikan kebebasan. Ancaman kolonialisme kembali dihadapi segenap bangsa
Indonesia yang ditandai dengan adanya perang besar di kota Surabaya. Perang
2 Ahmad Tohari, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Yogyakarta, HIKAYAT Publishing, 2007),
h. 16-17.
54
yang terjadi di kota besar secara tidak langsung berpengaruh pada pemahaman
Amid sebagai santri yang tinggal di desa kecil, di Banyumas. Ia tidak sepenuhnya
paham dengan apa yang terjadi, maka dapat dikatakan Amid tidak memiliki
banyak pengetahuan terkait situasi sosial politik saat itu. Dengan keterbatasan itu,
apa yang dipahami tokoh Amid tentang situasi sekitarnya akan berpengaruh pada
cara pandang dan sikap ke depannya.
Bila sedikit mengulas judul novel ini, kata ‘Lingkar’ merujuk pada KBBI
memiliki arti ‘terkurung’ atau lebih jelasnya ‘masalah yang tidak ada ujungnya’,
sedangkan ‘Tanah Air’ mengacu pada ‘permukaan bumi yang ditempati suatu
bangsa atau pemerintahan negara’.3 Dari makna itu, dapat dijelaskan bahwa arti
Lingkar Tanah Lingkar Air sebagai judul novel ini merujuk pada ‘terbelitnya pada
suatu masalah di suatu bangsa yang sulit dicari jalan keluarnya’. Artian tersebut
menggambarkan bagian penting dari tema besar novel ini, bahwa siapa saja dapat
terbelenggu dalam permasalahan di masa revolusi Indonesia. Dan sebagai tokoh
sentral, Amid selalu mendapat masalah seiring perjuangannya berperang melawan
Belanda. Ia harus merasakan kesalahpahaman dan kekecewaan dari sikap tentara
Republik. Terlebih situasi itu dimanfaatkan oleh oknum komunis untuk mencapai
kepentingan golongaan mereka. Di tengah kacaunya kondisi saat itu, maka sulit
bagi Amid untuk bersikap, sebagaimana tercermin dalam kutipan berikut.
“Atau kamu mau menyerahkan diri? Percuma, Mid. Kamu sudah dianggap pengkhianat dan bila menyerahkan diri kamu akan dikenai hukum perang. Artinya, pasti kamu akan ditembak mati.”
Aku masih diam. Dua kali ini aku sungguh bisa membenarkan kata-kata Kang Suyud.4
Pergolakan revolusi secara cepat telah membuat Amid kehilangan orientasi.
Bukan hal yang mudah bagi Amid karena pada saat bersamaan ia juga mengalami
konflik batin. Keinginannya untuk menjadi tentara Republik terhalang oleh stigma
negatif sebagai pemberontak. Hal yang tidak mudah diterima tentunya oleh siapa
pun. Maka, bagi Amid, menjadi Darul Islam adalah pilihan yang tepat untuk bisa
melindunginya dari ancaman pihak Republik. Amid paham mengaku kalah hanya
3 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang, Widya
Karya, 2016), h. 295-523. 4 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 75.
55
akan membawanya pada kesia-siaan, sebab bukan kebebasan melainkan kematian
yang akan diterimanya. Kondisi demikianlah yang membuat hidup Amid semakin
terombang-ambing. Terjebak dalam dalam arus politik yang tidak dipahaminya,
seperti terbaca dalam nada kutipan berikut.
“….Terus terang lagi, aku sudah jenuh. Aku sudah lelah karena karena sudah hampir sepuluh tahun aku hidup selalu diburu seperti ini, bahkan sebenarnya boleh dibilang kita kehilangan harapan. Maka tolonglah dimengerti bila mulai berpikir tentang hidup normal hidup biasa di desa, menjadi petani atau pedagang. Istriku dan anak yang dikandungnya tentu lebih menyukai aku hidup wajar, hidup yang biasa-biasa saja.”5
Sebagaimana tergambar disorientasi yang dialami Amid berpengaruh pada
kehidupannya yang tidak menentu dan terus menerus menderita. Hal ini terlihat
dari caranya menjalani hidup dengan perasaan tidak aman dan hampir putus asa.
Muncul keinginan untuk hidup normal sebagaimana mestinya, akan tetapi tidak
mudah untuk menyerahkan diri karena hukuman yang diterima tidak hanya dari
Republik, tetapi juga Darul Islam karena dianggap mengkhianati gerakan tersebut.
Lebih dari itu, sanksi sosial dari masyarakat karena dianggap sebagai pengacau.
Melalui kisah Amid inilah, dapat dilihat berbagai persoalan yang dihadapi para
pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Ahmad Tohari
secara spesifik menunjukkan ketidakberdayaan pemuda santri dalam menghadapi
kekacauan sosial politik saat itu.
Untuk menegaskan tema besar di atas, perlu adanya tema tambahan yang
disebut tema minor. Dalam hal ini, terdapat beberapa tema tambahan yang dinilai
dapat mendukung tema mayor di atas, antara lain:
1. Pergeseran Nasionalisme
Latar belakang sejarah revolusi mempengaruhi adanya tema nasionalisme
dalam novel ini. Tentang nasionalisme, Ir. Soekarno sebagai salah satu founding
father menempatkan nasionalisme tidak hanya sebagai kesadaran rakyat yang
disatukan ke dalam satu kelompok atau satu bangsa, tetapi juga sebagai kesatuan
antara rakyat dengan tanah airnya.6 Konsep nasionalisme tersebut terwujud dalam
5 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 13-14. 6 Faisal Ismail, Panorama Sejarah Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta, IRCiSoD,
2017), h. 41.
56
sikap pemuda yang terlibat dalam perjuangan fisik melawan Belanda demi sebuah
kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan tuntutan zamannya, di mana dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan, nasionalisme memang erat kaitannya dengan semangat
perjuangan melawan penindasan yang dilakukan kaum kolonialis selama beratus-
ratus tahun lamanya.7 Dengan kata lain, nasionalisme dan kolonialisme adalah dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Melihat hubungan keduanya, Sartono Kartodirjo
menganggap nasionalisme dalam dimensi historis sebagai hasil yang paling
penting, yang muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi
yang ditimbulkan oleh situasi kolonial.8
Namun agak berbeda seperti yang digambarkan Ahmad Tohari, tindakan
nasionalisme dalam meraih kemerdekaan melalui tokoh Amid dan Kiram tidak
semata-mata sebagai bentuk pengabdian terhadap bangsa dan negara, tetapi juga
wujud kepatuhan mutlak seorang santri terhadap kiainya. Terlebih adanya fatwa
dari seorang ulama besar yang mewajibkan pemuda untuk berperang melawan
Belanda yang dianggap kafir.
“Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan?”
“Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”9
Nasionalisme yang menjadi bagian dari kesadaran para pemuda perlahan
mengalami pergeseran yang ditandai dengan berbagai peristiwa. Pergeseran nilai
nasionalisme disisipkan Ahmad Tohari dengan sangat cerdas pada konflik ketiga
ketika Kiram dan Kang Suyud menolak perintah Kiai Ngumar untuk bergabung
dengan Republik, yang klimaksnya memilih menjadi Darul Islam. Penolakan itu
dilatarbelakangi oleh kekecewaan Kiram terhadap perilaku tentara Republik yang
memandangnya rendah karena buta huruf. Alasan lain terkait cara pandang Kang
Suyud sebagai muslim ortodoks yang ingin menerapkan syariat Islam dalam
kesehariannya. Karena itu, ia menolak adanya komunis dan “… ingin membentuk
7 Anggraeni Kusumawardani & Faturochman, Nasionalisme, Buletin Psikologi, Tahun XII,
No. 2, Desember 2004, h. 62. 8 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional
Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2, (Jakarta, Gramedia, 1990) h. 41. 9 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.
57
barisan sendiri yang anggotanya semua mau sembahyang”10, sedangkan nyatanya
banyak tentara Republik yang tidak melakukannya. Semua gejala ini menguatkan
adanya pergeseran nasionalisme yang dialami pemuda, terutama pada kalangan
santri di periode revolusi Indonesia. Nasionalisme yang semua berorientasi pada
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan berubah pada kepentingan pribadi untuk
mewujudkan cita-cita politik, yang membuka kemungkinan terjadinya perpecahan
di kalangan rakyat indonesia, seperti halnya konflik antara kelompok pemuda dan
tentara Republik.
Sebaliknya, dalam pandangan berbeda, arahan Kiai Ngumar agar pemuda
mengabdi pada bangsa dan negara dengan menjadi tentara Republik menyiratkan
makna nasionalisme yang sesungguhnya. Menurut pendapatnya, hal ini sesuai
dengan keahlian yang dimiliki pemuda dan jaminan dari pemerintah, dibanding
menjadi Darul Islam yang ideologinya jelas sekali bersebrangan dengan Pancasila
sebagai dasar negara.
“… Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tentang masa depan kalian sendiri. Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”11
“Kalau tak salah, terhadap pertanyaan ini aku pun dulu sudah memberikan jalan keluar. Kalian meletakkan senjata dan kembali ke tengah masyarakat, atau kalian bergabung dengan tentara resmi Pemerintah.12
Dengan menjadi tentara Republik, pemuda diharapkan memiliki pekerjaan
yang layak untuk kelangsungan hidup mereka, sebab tidak ada perang yang tanpa
akhir. Pada bagian ini jelas, konsep nasionalisme yang ditanamkan Ahmad Tohari
sejalan dengan gagasan nasionalisme yang dikemukakan Soekarno. Lebih dari itu,
nasionalisme yang diterangkan tidak hanya pada upaya menumpas kolonialisme
dan menumbuhkan integritas bangsa, tetapi juga terwujudnya suatu keadilan dan
kemakmuran bangsa di tengah kemiskinan yang terjadi saat itu, baik akibat dari
kekacauan revolusi maupun tatanan perekonomian negara sendiri yang tidak stabil
akibat penjajahan yang relatif panjang.
10 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 37. 11 Ibid., h. 38. 12 Ibid., h. 57.
58
2. Pertentangan Ideologi
Seperti dikemukakan Ratna, dalam perkembangan selanjutnya, nasionalisme
di Indonesia berpengaruh pada konflik antargolongan dan berbagai kepentingan
personal lainnya.13 Kenyataan itu seiring dengan menguatnya tensi konflik dalam
novel LTLA yang tidak terlepas dari persaingan ideologis di tingkat elit nasional
tentang dasar negara Indonesia. Perdebatan diwarnai oleh kelompok nasionalis,
Islam dan komunis, di mana masing-masing kekuatan politik mempunyai ideologi
yang berkontradiktif dan dianggap tepat untuk menjalankan pemerintahan. Semua
itu didasarkan kepentingan kekuasaan yang dibangun dari kepentingan yang ada
di masyarakat. Dengan mengatasnamakan nasionalisme, akan tetapi diekspresikan
dengan cara dan medium yang berbeda.
Namun begitu, isu perdebatan ideologis ini menjadi persoalan sosial yang
krusial karena berpengaruh pada pemikiran orang-orang desa yang turut menerima
ataupun menentang ideologi tersebut, sebagaimana terjadi pada Kiai Ngumar dan
Kang Suyud. Ahmad Tohari secara intensif mendeskripsikannya seperti berikut.
“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.”14
“Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka menyusun kekuasaan pemerintah atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa serta dasar-dasar lain yang semuanya merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan lebih dari itu, kekuasaan yang mereka sudah diakui keabsahannya oleh masyarakat. Pengakuan ini akan membuat kekuasaan lain yang muncul belakangan menjadi tidak sah.”
“Namun mereka berkerja sama dengan orang di luar Islam. Sementara Karosuwiryo tidak.”15
Antara Kiai Ngumar dan Kang Suyud mewakili pandangan elit politik dari
kelompok tersebut, sehingga perbedaan yang tajam tampak dalam orientasi nilai
agama keduanya. Dengan pemahaman Islam yang absolut, Kang Suyud secara
pasti mengikuti ideologi Kartosuwiryo, seorang militan Islam yang menginginkan
Indonesia berdasarkan syariat Islam sebagaimana cita-cita politiknya. Pandangan
13 Nyoman Kutha Ratna, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008) h. 1. 14 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 59. 15 Ibid.
59
ini jelas berlawanan dengan kaum nasionalis seperti Kiai Ngumar dan Soekarno,
yang mengharapkan Indonesia berdasarkan ideologi non agama, sehingga tidak
menghendaki Islam sebagai dasar negara. Akibatnya, ketegangan antara keduanya
terus meningkat seiring dengan pertarungan ideologis di tingkat pusat.
Melalui pertentangan ideologi itu, Ahmad Tohari tidak hanya menjelaskan
persoalan elit politik dalam membangun pemerintahan pasca kemerdekaan, tetapi
juga mengkritisi bahwa tidak ada perbedaan jauh antara Islam dan Republik dalam
menyusun suatu pemerintahan karena kekuasaan yang dibangun pun berangkat
dari syariat Islam sebagai dasarnya.
3. Kemiskinan
Masyarakat yang berhasil memanfaatkan kesempatan yang tersedia akan
membuat hidup mereka sejahtera, namun bagi mereka yang tidak mampu akan
membuat mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan, di mana sulit bagi mereka
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sama halnya yang terjadi pada Kiram dan Jun
karena memiliki pendidikan yang rendah. Rendahnya pendidikan menunjukkan
adanya masalah kemiskinan dalam hal pendidikan karena penjajahan yang relatif
panjang sehingga belum ada kesempatan untuk negara membenahi diri. Terlebih
kembalinya kolonialisme Barat setelah kemerdekaan. Akibatnya, sulit bagi Kiram
dan Jun menjadi tentara Republik karena syarat utama harus berijazah sekolah
rakyat.
Kiai, ada selentingan hanya mereka yang punya ijazah dapat menjadi tentara.”
“Kamu punya?” “Ya, Kiai,” aku menjawab.“Ijazah sekolah rakyat. Tetapi Kiram dan
Jun tidak.”16
Munculnya masalah kemiskinan sebagai tema minor juga merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan pejuang seperti tokoh Amid rentan terjebak dalam
orientasi hidup pasca kemerdekaan. Selain pendidikan rendah, faktor situasional
juga menjadi penyebab lain sulitnya pemuda merealisasikan tujuan mereka. Hal
ini disebabkan karena penyerangan yang dilakukan kelompok komunis, sehingga
menimbulkan kesalahpahamannya antara kelompok pemuda dan tentara Republik.
16 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 57.
60
Akibatnya, mereka menjadi musuh Republik dan tidak lagi memiliki kesempatan
untuk bergabung dengan Republik. Padahal untuk wong cilik seperti Amid, Kiram
dan Jun, hal ini menjadi peluang baik untuk memberikan jaminan kehidupan yang
layak setelah berakhirnya jihad perang melawan tentara Belanda.
Dalam kondisi demikian, berkembangnya masalah yang dihadapi pemuda,
terlebih setelah menjadi Darul Islam semakin membuat pemuda kesulitan dalam
menjalani hidup. Hal ini karena faktor pekerjaan yang tidak dimiliki, serta stigma
negatif sebagai pemberontak yang menempatkan mereka dalam situasi ancaman
dan tekanan. Karenanya mereka harus bersembunyi di hutan dan sulit berinteraksi
dengan masyarakat luar. Situasi dan kondisi seperti ini semakin membuat pemuda
kesulitan mencapai kebutuhan hidup mereka yang menjadi tolak ukur kemiskinan.
4. Bertahan Hidup
Dalam kondisi tertentu pemuda harus memiliki strategi untuk dapat bertahan
hidup. Permasalahan ancaman dan tekanan dari tentara Republik akibat kekacauan
yang dibuat oleh gerombolan komunis membuat mereka terancam dengan tuduhan
sebagai pemberontak. Keadaan ini menuntut kelompok pemuda untuk bertindak
sesuatu agar kehidupan mereka tetap berlangsung. Untuk Amid, Kiram dan Jun
mereka cenderung memilih menjadi Darul Islam, mengikuti langkah Kang Suyud
yang sejak awal sangat ingin menjadi anggota kelompok tersebut. Kecenderungan
mengingat situasi mereka yang selalu terdesak, sehingga hal ini dianggap tepat
untuk melindungi mereka dari ancaman tentara Republik.
“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kami sudah resmi menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara Islam Indonesia.”17
Untuk dapat mempertahankan hidup, kelompok pemuda juga harus mampu
bertingkah laku sesuai tuntutan lingkungan di mana mereka tinggal. Kondisi hutan
Jati sebagai tempat persembunyian yang serba terbatas, terlebih dengan ancaman
yang tidak pasti membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan
untuk sekedar kebutuhan sandang dan pangan. Mereka harus memanfaatkan
sumber daya di tempat mereka tinggal untuk memenuhi hal tersebut. Sering kali
17 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 76.
61
mereka juga terpaksa mencegat bus-bus yang lewat hanya sekedar “….bermaksud
merampas belanjaan yang mereka bawa.”18 Kondisi ini tidak terlepas dari masalah
kemiskinan yang dialami mereka. Dari persoalan ini dapat dilihat bagaimana para
pemuda sebagai Darul Islam mempunyai strategi sendiri untuk bertahan hidup
selama bersembunyi di hutan Jati. Jadi, apapun dilakukan oleh mereka, termasuk
melakukan tindakan kejahatan demi kelangsungan hidup mereka dari kemiskinan
dan ancaman pihak-pihak tertentu.
Konklusi dari cerita ini bahwa perubahan yang muncul setelah kemerdekaan
mempengaruhi kondisi sosial politik hingga menimbulkan kekacauan. Persoalan
ini tidak hanya berdampak secara individu pada pemuda, tetapi juga kelompok
yang menjadi masalah sosial seperti yang dapat dilihat dari tema-tema tersebut.
Hal inilah yang sengaja ingin diperlihatkan pengarang, di mana dengan tema ini
pembaca bisa memahami permasalahan sosial yang dialami bangsa Indonesia di
masa lalu yang akibatnya amat merugikan masyarakat saat itu.
2) Plot
Penafsiran tema di atas sebenarnya sangat bergantung pada unsur cerita lain,
salah satunya plot yang berisikan sederet peristiwa dengan berbagai konflik yang
turut mempengaruhi perubahan orientasi tokoh utama. Karena sebagai gagasan
umum, tema tidak disampaikan secara eksplisit. Tema hadir dalam cerita dibentuk
oleh plot yang menyajikan berbagai peristiwa yang dialami tokoh utama. Diilihat
dari tatanan penceritaannya, peristiwa-peristwa dalam novel ini terbagi dalam dua
bagian yang tersusun secara progresif regresif dengan urutan waktu yang tidak
linier. Peristiwa yang terjadi dituturkan oleh tokoh “Aku” sebagai pelaku utama.
Dari narasi “Aku” inilah, cerita lebih dulu dimulai dengan plot maju, selanjutnya
maju bercampur mundur dengan sorot balik yang cukup panjang. Untuk melihat
lebih jauh, maka akan dijelaskan pada tahapan plot berikut.
1. Tahap penyituasian
Pada awal kisah ini, tokoh Aku (Amid) sebagai pencerita tidak membuka
cerita dari tahap awal peristiwa, melainkan pelukisan latar yang mengimplisitkan
kegelisahannya sebagai laskar Darul Islam yang seharusnya berada di pertengahan
18 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 11.
62
cerita. Cerita dimulai sekitar tahun 1957 ketika Amid sendirian menyusuri hutan
Jati setelah meloloskan diri dari kepungan tentara Republik saat menjenguk Kang
Suyud di salah satu rumah ilalang. Amid dengan jelas dan lugas menggambarkan
suasana alam hutan Jati yang sepi dan menyimpan banyak binatang dan tumbuhan
di dalamnya. Pengenalan latar hutan yang relatif panjang pada awal penceritaan
ini menunjukkan betapa kuat kepekaan dan pelukisan latar yang menjadi kekhasan
Ahmad Tohari sebagai pengarang, seperti diperlihatkan dalam kutipan berikut.
Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hujan jati adalah kelengangan yang tetap terasa purba. Senyap selalu membuat aku merasa ateman yang hidup dan bertahan. Sepi yang terasa menyimpan ketidakpastian membuat aku dan teman-temanku harus selalu waspada. Atau kewaspadaan adalah darah kami sendiri; sebab tanpa kewaspadaan yang tinggi aku dan teman-temanku bisa habis oleh tembakan para penyergap yang tersembunyi di balik batang-batang jati dan belukar. Malah lebih dari itu, tanpa kewaspadaan yang terus melekat, bahkan ular bedudak yang banyak berkeliaran bisa merampas nyawa kami dengan cara yang begitu mudah. Sudah dua orang teman kami mati sia-sia karena patuka ular yang sangat berbisa itu.19
Di samping itu, sebagai kutipan pembuka pada bagian pertama, pemaparan
tentang latar hutan Jati yang menyiratkan kondisi tokoh utama dapat pula menjadi
acuan pembaca untuk memahami perasaan dan posisi Amid sebagai Darul Islam
yang selama bertahun-tahun menjadi buruan tentara Republik. Pelukisan suasana
latar sebagaimana kutipan di atas menguatkan gambaran kehidupan Amid yang
selalu merasa sepi, asing, tidak aman dan tidak pasti sesuai dengan situasi hutan
Jati sebagai tempatnya bertahan hidup. Kondisi ini membuat Amid harus selalu
berhati-hati akan bahaya dan ancaman yang dirasa begitu dekat dan bisa datang
kapan saja. Lewat permulaan inilah, pembaca secara emosional dapat merasakan
pengalaman Amid dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan
terjadi pada Amid nantinya sebagai Darul Islam.
2. Pemunculan konflik
Dari pengenalan latar dan tokoh, plot berlanjut diikuti kilas balik Amid yang
menceritakan berbagai peristiwa tertentu di masa lalu yang terjadi selama hampir
sepuluh tahun. Amid menceritakan pengalamannya setelah kejadian yang dialami
19 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1.
63
berdasarkan ingatan-ingatan. Lamunan Amid melompat jauh ke belakang di tahun
1946 saat di usia 18 tahun ia mendapat perintah untuk membantu tentara Republik
berperang melawan Belanda. Kedatangan Belanda setelah kemerdekaan menjadi
ancaman besar bagi bangsa Indonesia karena akan kembali menduduki Indonesia,
sehingga muncul fatwa berjihad oleh seorang Hadratus Syekh dari Jawa Timur
yang mewajibkan seluruh orang Islam untuk menjaga negerinya sendiri yang baru
merdeka. Amid yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang situasi revolusi
merasa terkejut dan tidak mengira akan mendapat perintah berperang membantu
tentara Republik melawan Belanda karena melihat desa baik-baik saja selama ini.
Peristiwa itu merupakan konflik awal cerita ini yang dihadapi bangsa Indonesia,
yang juga berpengaruh pada kehidupan Amid sebagai santri yang terjebak ke
dalam arus revolusi Indonesia.
“Siap berperang, Kiai?” “Ya.” “Apa perang akan sampai ke desa kita?” Kiram menyodok igaku dengan sikunya. “Kiai, tetapi soal perang urusan tentara, bukan? “Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh
siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan khusus untuk para tentara. Nah, bagaimana?
”Ya, Kiai. Kami sami’na waatha’na. asal kiai memberi kami restu.”20
Sebagaimana alur campuran yang digunakan pengarang, peristiwa itu tidak
tersusun kronologis dengan peristiwa di tahap awal. Peristiwa di atas menjelaskan
mengenai bagaimana Amid bisa terlibat di dalam situasi revolusi yang seharusnya
berada di awal cerita sesuai dengan urutan waktu peristiwa. Meski merasa sangsi,
namun Amid bersama Kiram, tetap menerima perintah berjihad. Kesediaan Amid
untuk berperang bukan sebatas pada kepatuhan mutlaknya sebagai seorang santri,
melainkan rasa nasionalisme yang ditunjukannya sebagai pemuda. Fisik yang kuat
merupakan jaminan baginya bahwa ia mampu berperang melawan Belanda untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Maka dengan siap, ia menerima fatwa
jihad itu tanpa memikirkan akan seperti apa nantinya.
20 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.
64
Konflik-konflik lainnya dialami oleh Amid setelah ia terlibat dalam perang
kemerdekaan. Banyak tokoh yang memicu terjadinya konflik sampai akhirnya
Amid mengalami disorientasi. Konflik muncul bermula dari kesempatan Kiram
menyandang senjata, yang kemudian mengajak Amid untuk membentuk barisan
pemuda. Perubahan pun muncul dari tingkah laku mereka yang menjadi nakal dan
urakan sehingga sangat meresahkan warga. Karena sikap itu juga mereka menjadi
musuh tentara Belanda karena berhasil membalas dendam dengan membunuh
mantri Karsum, seorang mata-mata Belanda.
Dengan modal satu bedil itu Kiram, aku, Jun dan Jalal membentuk barisan pemuda. Orang kampung menyebut kami “pemuda” saja, sebutan baru yang secara ajaib membuat kami merasa bangga. Tetapi sebutan itu juga membuat kami menjadi urakan. Kiai Ngumar menyebut kami Hizbullah. Tak tahulah, pokoknya kami senang sebab merasa dianggap penting.21
Peristiwa tersebut sebenarnya dinarasikan dalam sembilan halaman, namun
penggalan kutipan di atas dapat menunjukkan bagaimana senjata menjadi simbol
kejantanan dan harga diri pemuda. Pengisahan yang cukup panjang memusatkan
cerita pada usaha Kiram mempengaruhi Amid agar bisa menyandang senjata dan
kenakalan-kenakalan yang keduanya lakukan setelah membentuk barisan pemuda.
Dengan menyandang senjata, Amid dan Kiram tampak sekali ingin menunjukkan
kegagahan dan kemampuan mereka yang sudah sepadan dengan tentara Republik.
Bahkan dengan keberanian yang dimiliki bahwa posisi mereka ikut menentukan
dalam perang melawan tentara kolonial sehingga lebih dihormati oleh masyarakat.
Perubahan inilah yang menjadi landasan munculnya konflik yang dialami Amid.
3. Peningkatan konflik
Bagian ini adalah kelanjutan dari paparan pada tahap pemunculan konflik,
di mana konflik yang dialami Amid meningkat kadar intesitasnya ada pada bagian
ke dua novel. Setelah barisan pemuda, Amid membentuk Hizbullah di tahun 1948
atas desakan Kiram dan Kang Suyud yang secara resmi ingin memisahkan diri
dari pasukan Republik. Hal ini memicu perdebatan antara Kang Suyud dan Kiai
Ngumar. Kiai Ngumar menginginkan para pemuda berperang di bawah pimpinan
21 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 26.
65
tentara Republik agar tetap bersatu dan kehidupan mereka terjamin. Sedangkan
Kang Suyud secara tegas menolak hal itu karena kecewa dengan perlakuan tentara
Republik yang tidak menyenangkan dan sebagian dari mereka beraliran komunis.
Perdebatan kedua kiai itu pun menimbulkan pergolakan di hati Amid yang harus
memilih antara kesetiakawanan pada teman-temannya atau keinginannya menjadi
tentara Republik sebagaimana harapan Kiai Ngumar.
“Suyud, sudah ku bilang Bung Karno dan Bung Hatta pun orang Islam. Mereka memimpin negeri ini di atas landasan yang telah disepakati para pemimpin, termasuk para pemimpin Islam. Maka pertanyaan seperti yang kamu ajukan tidak perlu ada. Kita tidak perlu memperhadapkan Islam dan Republik.”
“Jawab dengan jelas, Kiai!”Kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas.“Kiai memilih Islam atau Republik?”22
Ketegangan antara Kang Suyud dan Kiai Ngumar sebenarnya dikisahkan
dua kali selama sorot balik. Kedua peristiwa itu muncul di waktu yang berbeda
dengan interval sekitar satu tahun, namun dalam situasi yang hampir sama, yaitu
ketika Kang Suyud dengan tentu dan pasti menolak bergabung dengan Republik.
Dari bentuk pengulangan dan fokus penceritaan itu, Ahmad Tohari tampak ingin
memperlihatkan adanya perbedaan pandangan dalam perjuangan melawan tentara
kolonial. Perbedaan cara pandang yang cukup tajam antara keduanya disebabkan
oleh pemikiran dan pemahaman keagamaan keduanya yang bersebrangan. Hal ini
menimbulkan konflik dan sikap tidak toleren dari Kang Suyud sebagai muslim
ortodoks yang menuntut harus berkerja sama dengan orang Islam.
Setelah membentuk kelompok Hizbullah, perubahan yang signifikan lagi-
lagi dirasakan Amid. Hal ini merupakan konflik lain yang dihadapi Amid karena
hubungan dengan sekitarnya menjadi renggang. Tidak hanya dengan masyarakat
yang membuat Amid sulit mendapat pasokan logistik, tetapi juga dengan tentara
Republik yang semakin memburuk. Antara Hizbullah dan tentara Republik resmi
memiliki garis-garis komando sendiri-sendiri dalam melawan Belanda yang sering
kali memicu bentrokan akibat kesalahpahaman.
22 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 60.
66
Perubahan yang terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil jarak dengan kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri. Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga hampir terjadi baku tembak.23
4. Klimaks
Permasalahan hidup yang senantiasa dihadapi Amid, serta pengaruh orang-
orang di sekitarnya membawa Amid semakin jauh dari tujuan awalnya selama ini.
Beranjak ke tengah cerita, konflik batin yang Amid alami mengalami pasang surut
bersamaan dengan peluang menjadi tentara Republik setelah kemunduran Belanda
di tahun 1949. Dalam perjalanan ke Kebumen, Amid dan kawan-kawannya justru
serangan senjata mendadak, yang berkecamuk dan berubah menjadi pertempuran.
Dugaan penyerangan mengarah pada gerombolan komunis yang tidak suka jika
Hizbullah masuk ke dalam pasukan pemerintah, dan sengaja ingin memperburuk
hubungan Hizbullah dan tentara Republik. Konflik pada diri Amid terus terjadi
hingga pada klimaksnya, Amid dianggap sebagai pemberontak karena tuduhan
sebagai dalang penyerangan. Peristiwa itu berpengaruh pada konflik batin Amid
sebab harapannya untuk menjadi tentara Republik bertolakbelakang dengan fakta
yang terjadi bahwa ia sudah menjadi musuh tentara Republik. Ia pun berada dalam
situasi yang sangat sulit, sebagaimana diungkapnya pada Kiai Ngumar.
“Tetapi, Kiai, diam-diam saya mengakui kebenaran kata-kata Kiram. Keadaan memang terlanjur jadi serba sulit. Tentara Republik sudah terlanjur menganggap kami pembemberontak, atau lebih buruk lagi.”24
“Kiai, saya tidak ingin mengikuti Kiram dan Jun. Saya mau meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih memerlukan perlindungan Kiai, sebab seperti kata Kiram, sangat memungkinkan tentara Republik akan menangkap saya.”25
Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana kecemasan Amid setelah tuduhan
pemberontak. Hal ini diperburuk dengan ancaman dari tentara Republik yang akan
menangkap dan menghukumnya. Di sisi lain, keyakinan Amid untuk meletakkan
senjata menunjukkan bahwa keinginannya untuk hidup normal masih terus ada,
23 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 46. 24 Ibid., h. 68. 25 Ibid., h. 69.
67
meskipun situasi tidak mendukung karena hubungannya dengan tentara Republik
semakin buruk. Apa yang terjadi pada Amid ini jelas memperlihatkan bagaimana
tekanan-tekanan revolusi berpengaruh pada kehidupan pemuda seperti Amid yang
tidak paham dengan situasi sosial politik yang terjadi. Karenanya ketidakamanan
dan kegelisahan terus dirasakan Amid. Keadaan ini yang kemudian dimanfaatkan
Kang Suyud dengan menyarankan Amid supaya bergabung dengan Darul Islam,
yang tidak lain untuk mendukung cita-cita politiknya.
“Ternyata tidak mudah menemukan Kiram dan Jun. Tetapi tanpa sengaja aku malah bertemu Kang Suyud pada hari ketiga, di surau kecil di sebuah desa di pinggir hutan, jauh dari kampung asal kami. Dan entahlah, pada pertemuan dengan Kang Suyud aku merasa tak sanggup lagi melepaskan diri pengaruhnya.”26
Seperti pada kutipan di atas, selain dari faktor situasional, disorientasi Amid
juga dipengaruhi tokoh lainnya, yaitu Kang Suyud yang berkeinginan mengikuti
organisasi Darul Islam. Meskipun bukan tokoh tipikal yang diakui keberadaannya
seperti Kiai Ngumar, akan tetapi Kang Suyud dengan perannya sebagai kiai muda
dianggap memiliki kapabilitas yang dinilai mampu memberikan jalan keluar untuk
Amid. Telebih di tengah kegalauannya saat itu hanya Kang Suyus yang ditemui
Amid. Dengan mengikuti Kang Suyud, Amid percaya menjadi Darul Islam adalah
pilihan tepat melindungi diri dari kekacauan situasi sosial politik saat itu.
Walaupun sudah menjadi Darul Islam, tidak lantas membebaskan Amid dari
masalah-masalah hidupnya. Sering kali ia merasakan pertentangan dalam dirinya
karena serangan tentara Republik dan aturan Darul Islam untuk menculuti siapa
saja yang menentang keberadaannya. Kegelisahan Amid semakin menguat ketika
muncul keraguan akan gerakannya tersebut. Ia mulai mempertanyakan faedah dari
aksinya selama ini, dan dalam situasi terdesak ia juga mempertanyakan ke mana
arah hidupnya kemudian.27 Kebimbangan, harapan-harapan, dan kerinduan untuk
untuk hidup normal muncul secara bersamaan. Dalam situasi terbelenggu inilah,
dapat ditegaskan betapa besarnya masalah-masalah yang dihadapi Amid sebagai
26 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 75. 27 Ibid., h. 12-13.
68
Darul Islam, yang mengalami perubahan nasib harus hidup terombang ambing di
tengah tekanan dan ancaman di negeri sendiri.
5. Penyelesaian
Selanjutnya cerita beralih lagi ke masa kini yang mengindikasi alur ke akhir
cerita, di mana konflik-konflik yang terjadi mulai mendapat penyelesaian. Pada
tahap akhir ini, lebih dulu klimaks dileraikan dengan berita tertangkapnya khalifah
Darul Islam, yaitu Kartosuwiryo di tahun 1962. Kabar itu disampaikan oleh salah
seorang Darul Islam bernama Toyib dengan penuh gembira dan semangat. Hal ini
sekaligus menunjukkan akhir penantian panjang laskar Darul Islam terkait adanya
penyelesaian dari masalah yang mereka dihadapi selama bertahun-tahun ini.
“Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu, telah menempuh perjalanan yang bahaya untuk memberi kabar sesuatu yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam, penglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik.28
Peristiwa pada kutipan di atas secara logika bertalian erat dengan peristiwa
di tahap penyituasian. Dari waktu definitif yang ditunjukkan dapat dilihat bahwa
peristiwa tersebut terjadi setelah peristiwa di awal penceritaan ketika Amid lolos
dari serangan tentara Republik di tahun 1957. Peristiwa ini sekaligus berfungsi
menjawab pertanyaan pembaca di awal cerita bagaimana kehidupan Amid pada
akhirnya yang saat itu sebagai anggota Darul Islam. Ahmad Tohari menampilkan
peristiwa ini sebagai akhir dari penderitaan Amid dan kawannya, di mana dengan
tertangkapnya Kartosuwiryo hidup Amid tidak lagi terdesak, karena secara resmi
sudah tidak lagi menjadi laskar Darul Islam dan kembali ke masyarakat meskipun
harus melewati sanksi sosial dari masyarakat.
Di bagian akhir cerita, Ahmad Tohari memberikan penyelesaian yang tegas
dengan meninggalnya Amid pada peristiwa di tahun 1965, yang berkaitan dengan
peristiwa G 30 September di tahun yang sama. Peristiwa tersebut ditandai dengan
terbunuhnya beberapa Jenderal Angkatan Darat yang dilakukan oknum komunis.
Amid, Kiram dan Jun pun diminta oleh komandan militer untuk membantu tentara
28 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 118.
69
Republik menumpas gerombolan komunis yang berdiam di hutan Jati Cigobang.
Mereka menjadi pembantu dan penunjuk jalan karena pengalaman mereka yang
pernah berdiam di hutan itu sewaktu menjadi Darul Islam. Perang kali ini dirasa
berbeda oleh Amid. Ia merasakan keharuan sebab kesempatannya bertempur atas
nama Republik. Namun, ini juga menjadi perang terakhir Amid. Tembakan tentara
Republik menjadi tragedi baginya karena harus mengakhiri perjuangannya.
“… Namun tak lama kemudian aku merasa pundak dan belikatku panas. Lalu aku tak kuasa lagi menggerakkan tangan kananku. Dan tiba-tiba kepalaku terasa pening dan mataku mulai berkunang-kunang.29
“…. Lalu duniaku bergoyang dan dalam rongga mataku hanya ada warna biru gelap dengan taburan ribuan bintang. Semuanya jadi terasa enteng dan melayang. Telingaku mendengar suara denging yang lembut dan datar. Kemudian entahlah, aku merasa diriku larut dan lenyap.30
Seperti dilihat dalam kutipan kedua, meninggalnya Amid dikisahkan sendiri
dengan penuh ketenangan. Dengan penceritaan yang lancar dan puitis, serta narasi
tempo yang lambat menekankan bagaimana Amid merasakan proses kematiannya
yang perlahan-lahan alam sadarnya hilang. Pengisahan demikian secara langsung
menarik perhatian dan mempertajam kesadaran pembaca untuk dapat merasakan
secara detail setiap hal yang dirasakan Amid dalam prosesnya menghembuskan
nafas terakhirnya. Dalam hal ini, penyelesaian cerita seperti itu merupakan bentuk
penyelesaian tertutup. Cerita sepenuhnya diselesaikan pengarang, sehingga tidak
ada kesempatan bagi pembaca untuk ikut mengimajinasikan atau mengkreasikan
bagaimana penyelesaiannya.
Pengaluran dengan alur campuran membuat cerita yang dikisahkan tidak
sejalan dengan tatanan cerita seharusnya. Hampir sebagian peristiwa diceritakan
melalui kilas balik yang dilihat dari latar waktu yang disebutkan secara konkret.
Hal ini dilakukan tokoh Amid sebagai bentuk perenungan atas masalah yang terus
dihadapi, sehingga peristiwa penting lebih banyak ada di sorot balik. Sementara
peristiwa awal dan akhir berfungsi sebagai kerangka untuk membicarakan masa
silam Amid yang menyebabkan dirinya bisa terjebak dalam pergolakan revolusi.
Dengan penceritaan demikian, maka dapat dilihat bagaimana masalah Amid yang
29 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 134. 30 Ibid., h. 136-137.
70
dihadapinya begitu rumit mempengaruhi karakternya yang berkembang seiring
dengan peristiwa yang dialami.
3) Tokoh dan Penokohan
Keberadaan tokoh menempati kedudukan yang sangat penting, sebab peran
tokoh menggerakkan serangkaian peristiwa dan konflik yang dikisahkan. Hal ini
memperlihatkan kerterkaitan antara unsur alur dengan tokoh yang berperan dalam
cerita. Dalam novel ini, Ahmad Tohari menyuguhkan beberapa tokoh cerita untuk
mengembangkan peristiwa dengan perwatakan yang berbeda-beda berdasarkan
pandangan tokoh utama. Tokoh utamanya adalah “Aku” yang terlibat utuh dalam
cerita. Sedangkan tokoh tambahan lainnya seperti Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai
Ngumar dan Umi bertindak sebagai tokoh tambahan yang mendukung penokohan
tokoh utama. Kejelasan penokohan dari tokoh-tokoh tersebut dapat dilihat melalui
sikap, cara berpikir, dialog ataupun tindakan-tindakan yang digambarkan Ahmad
Tohari, yang merujuk pada kualitas pribadinya, sebagaimana dalam pemaparan
berikut.
1. Tokoh Aku (Amid)
Tokoh “Aku” dalam cerita ini adalah Amid, tokoh utama yang mengalami
banyak permasalahan sosial sampai akhirnya mengalami disorientasi hidup. Pada
awalnya, Amid adalah seorang pemuda santri, yang pada usia 18 tahun ia turut
berjuang melawan Belanda di awal revolusi sekitar tahun 1946. Amid mempunyai
seorang istri bernama Umi dan anak perempuan yang oleh paraji diberi nama Sri
Sengsara karena terlahir dalam kondisi penuh kesulitan hidup. Dengan perannya
yang dominan sebagai tokoh sentral sekaligus pencerita, Amid dengan bijaksana
menceritakan pengalaman hidupnya dalam sejumlah peristiwa, sehingga menjadi
sorotan di sepanjang cerita.
Proses pengenalan watak Amid sebenarnya sudah dipaparkan di awal cerita,
yang dipersonifikasikan Ahmad Tohari lewat pelukisan suasana hutan yang sunyi
dan terpencil sebagai gambaran kondisi yang dihadapinya sebagai Darul Islam.
Karakter itu berbeda ketika di awal keterlibatannya dalam revolusi kemerdekaan.
Dilihat dari kilas baliknya, karakter Amid digambarkan secara dramatik sebagai
santri yang taat, patuh dan lugu. Sifat Amid yang taat dan patuh tercermin dari
71
namanya sendiri yang dalam bahasa arab “Hamid” berarti memuji. Ketika Amid
mendapat perintah dari Kiai Ngumar untuk berperang membantu tentara Republik
melawan tentara Belanda, ia dengan siap menerima perintah itu. Hal itu dilakukan
sebagai bentuk kepatuhan terhadap kiai yang dihormatinya,31 karena seorang
santri wajib menerima dan mematuhi apapun perintah kiainya.
Terkait perang, Amid tidak memiliki banyak pengetahuan, ataupun keadaan
yang terjadi saat itu, di mana masyarakat ramai-ramai berperang melawan tentara
Belanda. Hal ini karena memang di desanya belum mengalami banyak perubahan,
yang ia diketahuinya hanya Indonesia sudah merdeka dari jajahan Jepang. Perang
diibaratkan Amid seperti perkelahian yang bisa dihadapi dengan ilmu silat yang
dimiliki. Anggapan ini muncul karena perang yang dilihatnya dulu di tahun 1942
tidak begitu mengerikan, maka bayangan Amid tentang perang berubah cepat saat
ia mulai mengalaminya. Amid merasakan takut dan gentar karena suasana perang
yang makin mencekam, seperti diungkapnya secara langsung berikut.
…. Aku hanya bisa meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan menggunakan berbagai senjata. Nah bila perang memang seperti berkelahi, aku merasa siap karena sudah belajar silat.32
Namun siang ini aku terbawa arus ketegangan yang kian mencekam. Orang-orang tak putus-putusnya memandang ke sebuah bukit kecil agak jauh di utara…”33
… Aku benar-benar takut. Kiram menekan punggungku agar aku lebih rendah bertiarap, namun tindakannya malam membuat aku takut. Mataku berkunang-kunang. Terasa ada air hangat mengucur diselangkanganku. Samar, karena mataku makin berkunang-kunang, dari balik semak-semak aku melihat dua truk mendekat.34
Ketakutan Amid boleh dikatakan merupakan hal yang wajar untuk pemuda
seusianya yang belum pernah berperang secara langsung. Dilihat dari situasi yang
getir dan penampilan fisik Amid selama terjadinya perang menunjukkan intesitas
ketakutan yang mendalam, sehingga sulit untuk Amid mengontrol dirinya. Hal ini
sekaligus turut menggiring pembaca untuk merasakan kegelisahan yang dihadapi
Amid dalam melawan tentara Belanda.
31 Lihat catatan kaki nomor 8. 32 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17. 33 Ibid., h. 21. 34 Ibid., h. 24.
72
Karakter lain yang tampak dari seorang Amid adalah sosoknya yang tidak
tegas dan sulit menentukan suatu hal. Ia tidak mampu mengungkapkan pikirannya
atau menolak secara tegas hal apapun yang bertentangan dengan dirinya. Hal ini
terjadi ketika Kiram, Jun dan Kang Suyud ingin membentuk barisan pemuda dan
kemudian membentuk Hizbullah di tahun 1948, di mana sebenarnya Amid lebih
ingin bergabung dengan Republik.
“Mid, kamu ingin punya senjata seperti aku, bukan? Di zaman seperti ini, seorang pemuda yang tidak punya senjata adalah
anak bawang. Pemuda seperti itu bukan apa-apa. Iya, kan? Aku ciut. Senyumku pahit karena penghinaan yang tidak bisa
kusanggah.35
“Ya, saya setuju,” jawabku.“Sebaiknya kita bergabung dengan mereka karena jumlah kita tak banyak.”
“Mid, kamu jangan macam-macam. Kalau tak kuberi, kamu tak akan punya bedil. Kamu akan tetap jadi anak bawang,” kata Kiram.36
Ekspresi yang diperlihatkan Amid secara tidak disadari menyiratkan adanya
penolakan dari dalam dirinya, namun tidak mampu mengatakannya secara nyata.
Karena sifat itu pula, Amid sering kali dianggap seperti anak bawang yang tidak
mengerti apa-apa. Terlebih dengan sikap ketergantungan Amid pada Kiram, sebab
hanya Kiram yang meminjamkan Amid senjata, sehingga tidak mudah bagi Kiram
mempengaruhinya. Amid hanya mengikuti apapun yang dikatakan dan dilakukan
kawan-kawannya, meski sering kali bertentangan dengan batinnya dan merubah
kecenderungannnya. Sifat itulah yang banyak berpengaruh pada krisis kejiwaan
Amid dalam menentukan pilihan hidupnya.
Karakter Amid dikuatkan dengan beberapa peristiwa yang dialaminya dan
turut merubah orientasinya. Terbentuknya Hizbullah dan serangan di lokomotif
semakin memperburuk hubungannya dengan pasukan tentara Republik. Peristiwa
itu membakar emosi Amid karena merasa dikhianati oleh tentara Republik yang
tidak ingin Hizbullah masuk ke dalam pasukan pemerintahan.
Sungguh membingungkan. Yang jelas apapun latar penyerangan itu, di antara ratusan anak Hizbullah yang seluruhnya bersenjata lengkap
35 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 30. 36 Ibid., h. 37.
73
meletup: perasaan yang sama: dikhianati. Aku, Kiram dan Jun pun merasa yang sama: dikhianati.
Nada suara Amid menunjukkan kemarahan dan kekecewaan yang sangat
dalam sebab peluangnya menjadi tentara Republik harus pupus. Karena ini, sulit
bagi Amid untuk mempercayai tentara Republik. Peristiwa ini bersifat fungsional
yang berpengaruh pada perubahan orientasi Amid, di mana setelah peristiwa itu
Amid bingung harus bertindak apa. Pertemuannya dengan Kang Suyud memaksa
mengikuti Darul Islam sebab tidak ada pilihan lain baginya. Peristiwa ini menjadi
titik awal Amid bergabung dengan Darul Islam.
Dengan cerita kehidupannya yang kompleks, terlihat pula perkembangan
watak Amid sebagai tokoh utama. Setelah menjadi laskar Darul Islam, pengarang
menjadikan Amid pribadi yang berani dari sebelumnya yang selalu merasa takut
untuk melakukan hal-hal kekerasan ataupun kejahatan. Perubahan watak Amid ini
dipengaruhi oleh keadaan latar cerita. Hidup di hutan Jati Cigobang yang penuh
ancaman dan tekanan memaksa Amid untuk bertahan hidup dengan caranya
sendiri. Amid harus berani merampok untuk memenuhi kebutuhan pokok. Hal
tersebut sebagai cara untuk menghidupi dirinya sebagai wong alasan yang tampak
secara analitik seperti berikut.
“…Yang kami harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa.”37
Bertahan-tahun hidup dalam ancaman dan tekanan Republik mengharuskan
Amid melindungi dirinya sendiri, yang ditunjukkan ketika Amid berada dalam
situasi ancaman yang pilihannya ditembak atau menembak. Hal ini semakin Amid
dilematis dengan perasaan keraguan, kebingungan dan rasa tidak berdaya terus
meningkat. Perasaan itu digambarkan secara analitik oleh Amid sendiri setelah ia
menembak seorang militer yang ternyata selalu ingin dekat Tuhannya.
“….Sementara itu, aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu diingatnya melalui tasbih dan Qurannya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa Gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan
37 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 11.
74
khidmatnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit ku mengerti.”38
Cara Amid berbicara dengan dirinya sendiri menunjukkan kesangsian Amid
terhadap gerakan Darul Islam yang selama ini diikutinya. Dapat dilihat bagaimana
Amid mempertanyakan manfaat dari aksi gerakannya selama ini. Bila Darul Islam
menerapkan pesan Islam, lalu mengapa harus membedil dan membunuh seorang
ulama yang dapat dikatakan menjalankan hukum Islam secara sempurna hanya
karena tidak mendukung Darul Islam. Lantas atas dasar apa gerakan Darui Islam
dilakukan. Hal ini menjadi klimaks perasaannya setelah menjadi Darul Islam atas
konflik yang tidak dipahaminya.
Penggambaran Amid sebagai tokoh utama menunjukkan bahwa ia tidak
hanya memiliki satu kualitas pribadi. Di awal cerita, pengarang menggambarkan
Amid sebagai pemuda santri yang lugu, polos yang tidak paham situasi dan arti
revolusi kemudian menjadi sosok yang berani melawan. Sikap, tindakan dan
keputusan Amid banyak dipengaruhi orang-orang di sekitarnya yang di antara
mereka mempunyai cita-cita sendiri sehingga membawa pada permsalahan sosial,
selain faktor situasional saat itu. Hal ini menjadikan Amid sebagai tokoh dinamis
dan kompleks yang mengalami perubahan sikap seiring dengan konflik-konflik
yang dialami.
2. Kiram
Kiram adalah teman Amid sejak masa kanak-kanak. Ia juga murid silat Kiai
Ngumar. Bersama Amid, Kiram mendapat perintah berperang membantu tentara
Republik melawan Belanda. Dalam cerita ini, Kiram adalah tokoh yang senatiansa
bersama dengan Amid mulai dari berjuang melawan Belanda sampai bersembunyi
di hutan Jati selama terjebak dalam kemelut revolusi.
Melalui penuturan tokoh Amid, karakter Kiram sangat kuat sebagai pemuda
yang ambisius, meskipun tidak banyak pengetahuan yang diketahuinya. Dari awal
tekadnya kuat untuk bisa menyandang senjata layaknya tentara Republik. Hal ini
dapat dilihat dari penuturan Kiram secara langsung kepada Amid, yang dikuatkan
dengan beberapa sikap yang diperlihatkannya berikut.
38 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 13.
75
“Mid, dalam perang juga ada acara menebang pohon? Bila hanya mengayun kapak seperti di rumah sendiri aku pun bisa melakukannya.”
“Kamu jangan berisik.” “Mid, aku ingin menyandang senjata seperti mereka.” “Jangan berisik. Kamu mungkin akan mereka beri senjata bila kamu
sudah menggunakannya.”39
“... Mata Kiram hampir tak pernah lepas dari senjata yang disandang setiap tentara yang lewat di dekatnya.”40
… Aku terkejut ketika melihat Kiram bersikukuh hendak memiliki senjata itu. Kukira ketegangann akan segera terjadi apabila Kiai Ngumar tidak turun tangan.41
Selain kekecewaan karena perang tidak terjadi sesuai harapannya, semangat
Kiram saat melihat senjata tentara Republik yang secara analitik dituturkan Amid
makin menunjukkan cita-citanya memiliki senjata. Hal ini karena selain untuk
berperang, peran penting senjata saat itu juga dapat menunjukkan kegagahan dan
harga diri pemiliknya. Namun, posisi Kiram yang hanya sebagai pemuda yang
diperbantukan membuat dirinya tidak diperbolehkan menyandang senjata. Kiram
merasa dianggap remeh. Terlebih dengan perlakuan tentara Republik yang pernah
menghinanya buta huruf, seperti diceritakan Kiram berikut: “Dan mereka pernah
menghina saya karena saya buta huruf.” Penghinaan tersebut mendorong Kiram
untuk berani mencuri senjata milik tentara Belanda. Dalam hal ini, apapun akan
dilakukan Kiram untuk mewujudkan keinginannya, maka tampak perubahan dan
kualitas mental Kiram ketika sudah berhasil menyandang senjata, yang secara
analitik dituturkan Amid seperti kutipan berikut.
“Kiram tampak Bingar. Dan jadilah dia anak muda pertama di desaku yang menyandang senjata, sebuah Lee Enfield buatan Amerika. Kiram sangat bangga, dan memang Kiram sangat gagah.”42
“…. Tetapi Kiram, mungkin karena sudah punya senjata sehingga merasa paling gagah, sering nakal. Kiram sering menggoda Asui, gadis cina pemilik toko di depan pasar. Ulah Kiram ini mengundang kebencian Hianli, paman Asui. Kata orang, karena kebencian itu Hianli membalas dendam kepada Kiram.”43
39 Ahmad Tohari, Op. cit., 20. 40 Ibid., h. 21 41 Ibid., h. 25. 42 Ibid., h. 26. 43 Ibid.
76
Tidak hanya perubahan secara fisik sebagai pemuda pertama di desa yang
menyandang senjata buatan Amerika, perubahan Kiram juga tampak pada tingkah
lakunya yang menjadi urakan. Kenakalan Kiram karena adanya motivasi untuk
membuktikan dirinya akibat kekecewaan dan perlakuan tidak menyenangkan yang
diterimanya. Hal itulah yang mempengaruhi pola pikir Kiram sehingga melakukan
tindakan di luar rasionalnya sebagai wujud luapan jiwa mudanya yang dipenuhi
emosi dan hawa nafsu.
Sifat keberanian dan kenakalan Kiram menjadikannya sosok yang dominan
diantara kawannya, Amid dan Jun. Ia memiliki power untuk mengatur jalannya
barisan pemuda. Namun, hal itu tidak menutup sifat baik Kiram yang memberikan
Amid kesempatan untuk menyandang senjata. Kebaikan Kiram sebenarnya bukan
tanpa maksud. Selain memang kesetiakawanannya, hal ini dimanfaatkan Kiram
untuk mengendalikan Amid agar dapat mengikuti perintah atau keinginannya,
yang dapat buktikan pada kutipan berikut.
“…. Tapi kiram juga baik hati, setidaknya terhadap aku dan Jun. Ia memberi kesempatan kepadaku dan Jun untuk mengenal senjatanya dan berlatih menggunakan meski tanpa peluru. Dalam beberapa kali pencegatan terhadap pasukan Belanda, kami menggunakan senjata Kiram itu secara bergantian.”44
“Mid, kamu jangan macam-macam. Kalau tak kuberi, kamu tak akan punya bedil. Kamu akan tetap anak bawang,” kata Kiram tajam.45
Penggambaran Kiram yang cenderung statis dengan perannya sebagai tokoh
tambahan tidak menunjukkan perubahan yang tajam sebagaimana terlihat. Akan
tetapi, betahun-tahun mengalami banyak peristiwa dan tanpa kepastian bukanlah
persoalan yang mudah. Dapat dipastikan sebagai manusia Kiram juga merasakan
lelah dan bosan dengan situasi yang terus dihadapi.
“Begini, Mid. Aku bukan tidak memahami hal-hal yang kamu katakan tadi. Tetapi masalahnya tidak gampang. Bahkan seandainya kamu mau menyerahkan diri dengan cara baik-baik pun, masalahnya tetap tidak akan gampang. Kamu lupa dengan cerita teman-teman kita yang tertangkap?
44 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 26. 45 Ibid., h. 37.
77
Mereka dibunuh. Bahkan yang menyerahkan diri pun tetap tidak lebih baik nasibnya.46
Kiram menginginkan kehidupan yang pasti, namun sebagaimana dijelaskan
ada banyak alasan dan pertimbangan untuk tidak menyerahkan diri. Kiram paham
bahwa tidak mudah begitu saja menyerahkan diri pada Republik, sebab akan ada
konsekuensi yang tidak mudah diterimanya. Tidak ada jaminan yang pasti untuk
laskar Darul Islam dapat hidup bebas meskipun sudah meletakkan senjata, maka
Kiram konsisten pada prinsipnya untuk tetap berdiam di hutan Jati yang menjadi
tempat persembunyiannya.
3. Jun
Sama halnya Amid dan Kiram, Jun adalah salah satu pemuda yang terbawa
arus sosial politik di masa revolusi. Jun hanyalah tokoh tambahan dalam cerita ini.
Sosok Jun sendiri tidak digambarkan secara detail oleh narator, terlebih intensitas
kemunculannya yang tidak banyak terlihat dibanding dengan Amid dan Kiram.
Namun dari sepintas kemunculannya, karakter Jun digambarkan secara dramatik
oleh tokoh Amid melalui tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa Jun adalah
pribadi yang penurut. Gambaran sikap penurut Jun dapat dilihat dari beberapa
penggalan kutipan berikut.
“Kamu tolol. Jun dan Jalal sudah ku ajak bicara dan mereka setuju.”47
Kiram keluar dengan wajah sangat pahit dan Jun mengikutinya. Aku memperlihatkan mereka dengan hati amat masgul. Aku tetap tegak sampai dua temanku itu lepas dari halaman dan menempuh jalan kampung ke arah barat. Dugaanku sangat kuat, pastilah Kiram dan Jun akan menemui Kang Suyud.48
Karakter Jun yang penurut membuatnya mengikuti siapa saja yang mampu
menyakinkan dirinya, yang dalam hal ini cenderung lebih mengikuti Kiram. Hal
tersebut karena kesamaan latar pendidikan keduanya yang rendah, yang membuat
Kiram dan Jun memiliki pemahaman yang sama. Selain itu, bahwa Kiram
memilki power yang lebih dibanding Amid dalam kelompok pemuda, sehingga
kecenderungan Jun mengikuti setiap langkah Kiram menjadi hal yang wajar.
46 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 14. 47 Ibid., h. 34. 48 Ibid., h. 68.
78
Selain sifat-sifat tersebut, Jun adalah sosok pemuda yang tegas dan lugas.
Sifat itu dapat dilihat dari perilaku Jun yang secara dewasa meminta Amid untuk
menikahi Umi. Sikap Jun ini berdasarkan penilaiannya secara objektif bahwa usia
Amid yang sudah dewasa dan Umi yang tidak lagi anak-anak, sehingga bila ingin
menjadi walinya Amid harus menikahi Umi, seperti diungkap Jun dalam dialog
berikut.
“Mid, aku menghargai kemauan baikmu. Namun Umi tidak bisa lagi dibilang anak-anak dan kalian bukan muhrim.
“Maksudmu?” “Jangan pura-pura tak tahu maksudku,” jawab Jun. “Kalau kamu bersungguh-sungguh ingin melindungi Umi sebaiknya
kalian menikah. Aku bilang Umi bukan anak-anak lagi, apalagi kamu.”49
Dari pelukisan yang singkat, Ahmad Tohari menghadirkan tokoh Jun untuk
melengkapi Kiram. Kehadiran Jun dengan karakternya yang begitu sama dengan
Kiram pun semakin mendukung dan menekankan sifat Amid yang lemah. Berada
di antara teman-temannya yang keras, lugas dan tidak sepemikiran dengannya,
membuat Amid tidak mampu menentang perintah atau keputusan yang dibuat
mereka sehingga terjebak dalam disorientasi.
4. Kang Suyud
Kang Suyud merupakan seorang imam di sebuah mesjid besar. Sosok Kang
Suyud adalah gambaran kiai muda yang sangat kental dengan pemikiran agama
yang kolot. Pandangan seperti itu membawanya pada sikap keras yang terlihat
ketika Kang Suyud menolak arahan bergabung dengan Republik dan menentang
pemikiran Kiai Ngumar dalam memandang Islam, sebagaimana dalam beberapa
penggalan dialog berikut.
“Ya. Kami tidak ingin bergabung dengan tentara republik,” jawab Kang Suyud.“Kami ingin membentuk pasukan sendiri yang semua anggotanya sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara yang tidak melakukannya. Malah saya tahu dengan jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung adalah adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938.”50
49 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 94. 50 Ibid., h. 37.
79
“Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.”51
“Namun mereka juga bekerja sama dengan orang-orang di luar Islam, sementara Kartosuwiryo tidak.”52
Penolakan Kang Suyud tersebut tidak lain karena pemahaman agama yang
dianggapnya benar. Pemahaman ini diperoleh dari gurunya sewaktu di pesantren,
yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir Kang Suyud yang sempit,
sehingga sulit menerima ajaran-ajaran lain yang diberikan kepadanya. Dengan
kebenaran yang dipahaminya, ia bisa menentang siapapuun yang tidak sepaham
dengannya.
Keinginan Kang Suyud yang sangat kuat untuk mengedepankan ajaran
Islam yang dipahaminya menunjukkan bahwa ia juga memiliki ambisi yang tinggi
dengan perannya sebagai kiai. Dan adanya gerakan Darul Islam menjadi peluang
Kang Suyud untuk mewujudkan tujuannya tersebut. Maka apapun dilakukannya,
termasuk ketika harus meninggalkan keluarganya dan memengaruhi Amid untuk
mengikuti Darul Islam dengan mengatasnamakan agama. Dalam situasi seperti
itu, tampak bahwa agama untuk Kang Suyud bukan lagi soal ajaran keimanan
melainkan sebuah cita-cita, seperti kutipan berikut.
“Mid, sekarang kamu mau apa? Kamu tak punya jalan lain kecuali ikut aku. Dulu aku pun sudah bilang, selama ada anak-anak komunis dalam pasukan Republik, aku tak mau bergabung dengan mereka. Sekarang kejahatan mereka terbukti, bukan?”53
“Tunggu mereka di sini. Malah Jalal sudah bergabung. Kami resmi menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara Islam Indonesia.”54
Peran yang ditampilkan Kang Suyud menjadikan tokoh ini tipikal karena
dianggap mewakili kaum muslim ortodoks di masa revolusi Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi ajaran Islam. Tokoh ini sangatlah berpengaruh di zamannya
karena mampu menggerakkan dan menyatukan kelompok dalam Islam dengan
51 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 59. 52 Ibid., h. 59. 53 Ibid., h. 75. 54 Ibid., h. 75-76.
80
tujuan menentang pemerintahan yang ada. Hal yang sama dilakukan Kang Suyud
ketika membentuk kelompok Hizbullah dan kemudian bergabung dengan Darul
Islam karena tidak sepaham dengan tentara Republik. Akan tetapi, hidup yang
sepenuhnya diberikan untuk Darul Islam justru membawa Kang Suyud pada nasib
yang tidak diharapkan. Bertahun-tahun ia harus hidup terlunta dan menjadi buruan
tentara, bahkan meninggal dan dimakamkan dalam kondisi memprihatinkan.
Dalam kebisuan yang mencekam, aku dan Kiram mengurus mayat Kang Suyud. Semua serba sahaja. Sempat kubayangkan andai Kang Suyud meninggal di tengah suasana normal di kampung; pasti ratusan orang akan mendoakan dan mengiringi mayatnya sampai ke kubur. Tapi pagi ini kami akan kubur dia dengan cara seadanya, bahkan hanya dengan doa yang masih bisa kami ingat.55
Kematian Kang Suyud sebagaimana kutipan di atas menunjukan ambisinya
selama ini berakhir dengan kesia-siaan dan kesengsaraan. Apa yang terjadi pada
Kang Suyud tentu akan berbeda jika ia lebih terbuka dan menerima, serta tidak
berambisi untuk mengemukakan ajaran Islam menjadi sebuah dasar negara, sama
halnya yang dicita-citakan gerakan Darul Islam. Maka dalam hal ini, pengarang
tampak tidak hanya menggambarkan Kang Suyud dengan kualitas pribadi yang
dimilikinya, tetapi konsekuensi yang mungkin terjadi pada tokoh seperti Kang
Suyud.
Sebagaimana kemunculannya, peran Kang Suyud cukup berpengaruh dalam
perubahan orientasi Amid. Sebagai tokoh tambahan, porsi penceritaan Kang
Suyud tidaklah banyak, namun kefanatikannya terhadap Islam menjadi salah satu
faktor yang berhasil membuat Amid mengikuti gerakan Darul Islam yang pada
akhirnya membawa Amid pada kesengsaraan.
5. Kiai Ngumar
Kiai Ngumar termasuk dalam tokoh tambahan yang digambarkan secara
sederhana melalui penuturan Amid. Ia merupakan seorang kiai dan guru silat yang
sangat dihormati Amid. Di usia mudanya, Kiai Ngumar pernah menjadi anggota
Sarekat Islam (SI) sebelum perkumpulan itu pecah menjadi SI Putih dan SI Merah
55 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 7.
81
karena mendapat pengaruh paham komunis. Meski begitu, ia tidak sama sekali
membenci ataupun menjauhi orang-orang komunis.
Dalam cerita ini, Kiai Ngumar memainkan peran tipikal sebagai kiai yang
tidak hanya kharismatik, tanggung jawab, dan bijaksana, tetapi juga memberikan
ilmu, membimbing dan menasehati terutama dalam masalah kehidupan. Sebagai
penasihat spiritual Amid, ia selalu menasihati Amid untuk bergabung dengan
tentara Republik agar tidak terombang ambing sebagai wong alasan dan memiliki
kehidupan yang lebih baik dengan adanya jaminan dari pemerintah, sebagaimana
diungkapnya berikut.
“Kalau hanya itu pertimbangan kamu, apakah tidak bisa dipikirkan lagi? Pertama, karena sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran komunis. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tentang masa depan kalian sendiri. Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”56
Secara dramatik sikap Kiai Ngumar menunjukkan tanggung jawabnya yang
ingin kehidupan Amid agar terus pada kebaikan. Ia menginginkan kelompok
pemuda bisa berkerja sama dengan siapa saja tanpa membedakan golongan Islam
atau bukan. Apa yang dilakukan Kiai Ngumar berbanding terbalik dengan sikap
Kang Suyud yang juga sebagai kiai, yang diam-diam justru lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya. Sikap Kiai Ngumar ini secara implisit menunjukan
bahwa ia memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap santri-santrinya.
Pengalaman Kiai Ngumar, serta pengetahuannya yang dimiliki selama ia
berorganisasi menjadikannya sosok kiai yang memiliki intelektual. Kiai Ngumar
mampu berpikir tajam menggunakan akal budinya melihat suatu permasalahan.
Hal ini terbukti dari pemikirannya dalam memandang orang Islam dan pribumi
dahulu, yang secara analitik dikatakan sebagaimana kutipan berikut.
“Artinya, selam adalah sebutan untuk yang tinggal dari Aceh sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dul, di mata orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi mata uang, seperti Pandawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam.57
56 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 38. 57 Ibid., h. 38.
82
… Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya. Ya kewajiban sembahyang tidak datang dari seseorang untuk orang lain. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa kepada orang lain karena aku tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan suatu hak Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?”58
Pemikiran Kiai Ngumar yang terangkum dalam kutipan di atas jelas sekali
bertolak belakang dengan latar belakangnya dulu sebagai anggota SI Putih yang
seharusnya lebih mendukung Amid membentuk kelompok Hizbullah, menjunjung
semangat Islam dalam membentuk suatu negara. Bila dipahami, pandangan ini
menyiratkan pemikiran Ahmad Tohari sebagai pengarang yang nasionalis. Lewat
tokoh Kiai Ngumar, pengarang mencoba menanggapi permasalahan yang sering
kali terjadi di masyarakat, di mana sebagian orang masih tampak membedakan
dan menilai sesuatu yang tidak berhak dinilainya. Dalam hal ini, ibadah atau tidak
untuk mereka tetap sama sebagai masyarakat pribumi dan orang Islam.
Tidak hanya itu sosok Kiai Ngumar juga tampak ketika Hizbullah gagal
melebur ke Republik karena serangan yang dilakukan kelompok komunis. Karena
peristiwa ini juga, Amid mendapat tuduhan pemberontak dan buronan Republik.
“Kiai, sekarang apa yang pantas kami lakukan?” aku bertanya. “Istirahatlah di sini sampai suasana agak jernih. Dan yang terpenting
jangan teruskan permusuhan kalian dengan tentara Republik. Jangan.” “Tetapi mereka memusuhi kami?” potong Kiram.
“Kini kami mereka sebut pemberontakan. Malah saya juga sangat yakin mereka akan mengejar sampai ke sini.”
“Ya aku mengerti,” kata kiai Ngumar mencoba meredam kemarahan Kiram. “Namun aku ingin berusaha menjadi perantara buat kalian dan mereka.”
“Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?” “Bismillah, akan kucoba.”59
Kebijaksanaan dan tanggung Kiai Ngumar memang sudah menjadi sifat
yang melekat pada dirinya. Secara dramatik terlihat pula kesabaran Kiai Ngumar
menyikapi masalah yang terus-menerus dihadapi Hizbullah, meskipun ia sendiri
juga merasa kesedihan karena dialah yang memberikan peluang tersebut.
58 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 42. 59 Ibid., h. 67.
83
Sejauh penceritaannya, Kiai Ngumar adalah sosok orang tua yang hormati
meskipun beberapa sarannya sempat diabaikan. Meskipun begitu, tanggung jawab
Kiai Ngumar tidak pudar begitu saja bahkan ketika Hizbullah membentuk diri
menjadi Darul Islam. Dalam situasi sulit yang dialami Amid ia tetap memberikan
rasa aman atau perlindungan kepada Amid meskipun tubuhnya sudah ringkih.
6. Umi
Umi berperan sebagai tokoh tambahan yang diceritakan sebagai istri Amid,
seorang Darul Islam. Ia merupakan anak seorang imam Darul Islam bernama Kiai
Had yang meninggal dalam persembunyian di Goa saat usia umi beranjak lima
belas tahun. Kematian ayahnya menjadikan Umi gadis malang karena harus hidup
sebatang kara di tengah tekanan revolusi. Kesedihan dan ketakutan dialami Umi
tergambar dari “tatapan matanya yang kekanak-kanakan selalu mengundang rasa
iba.”60 Kondisi ini menimbulkan rasa kasihan Amid untuk memberinya rasa aman
dengan menikahinya.
Kehadiran Umi sebagai istri Amid cukup berpengaruh pada penokohan
Amid sebagai tokoh utama yang selalu gelisah dan ingin hidup normal berkumpul
bersama keluarganya. Setelah menikah, Umi sengaja ditinggalkan Amid di tempat
kerabat Umi agar ia tidak mendapat kesulitan seperti suaminya, terlebih saat ini
Umi tengah hamil besar. Namun hal ini menjadi beban tersendiri bagi Umi yang
harus jauh dari suaminya. Umi ingin selalu di dekat Amid, seperti diperlihatkan
dalam kutipan berikut.
“Aku mau melahirkan di mana saja, asal kamu ada di dekatku.” Umi terisak. Hatiku makin pepet karena aku merasa tak mudah
mengabulkan permintaan Umi, betapapun permintaan itu sangat wajar.61
Kutipan tersebut menyiratkan bahwa Umi membutuhkan perlindungan di
tengah kondisi yang dialaminya. Sikap tersebut juga menunjukkan kesetiaan Umi
sebagai seorang istri, bahwa di mana pun suaminya berada, ia ingin selalu
menemani dan berbakti. Meski begitu tidak mudah menghadirkan Umi di tengah
kelompok Darul Islam yang hidup terlunta-lunta. Namun dengan kepolosannya,
60 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 100. 61 Ibid., h. 104.
84
Umi mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan laskar Darul Islam lainnya
sehingga cukup menenangkan hati Amid, seperti diungkapkan Amid berikut.
“…. Untung Umi tak pernah mengeluh. Ia bisa tidur nyenyak di atas rumput kering yang kulapisi sehelai kain. Siang hari Umi boleh tinggal di pos untuk menanak nasi dan menyiapkan minuman kami. Dan tak kuduga sebelumnya, Kiram dan Jun berubah sikap. Mereka bisa ramah dan santun terhadap istriku.”62
Penuturan Amid secara langsung memperlihatkan keikhlasan dan kesabaran
Umi hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Kehadiran Umi juga mampu
mengisi kekosongan di dalam kelompok Hizbullah. Sikap keibuan Umi dalam
mengurus keperluan kelompok berhasil melunturkan sikap Kiram dan Jun yang
sebelumnya menolak keberadaan Umi. Mereka seolah mendapat keteduhan
seorang ibu rumah tangga di dalam sebuah rumah.
Seperti yang ditakutkan Amid, Umi melahirkan dalam kondisi yang tidak
diharapkan. Kondisi ini justru semakin menguatkan sosok Umi yang mungkin
berbeda dengan perempuan seusianya, di mana terlihat ketabahan Umi yang harus
melahirkan di tengah hutan yang penuh kesulitan. Tampak dirinya sangat tenang
sampai akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang dinamai Sri Sengsara.
Apa boleh buat, ku harus siap melayani kelahiran bayi Umi seorang diri. Kalaulah ada sesuatu yang membesarkan hati, itulah sikap Umi. Ia kelihatan tabah. Ia menggigit bibirnya ketika perutnya terasa melilit.63
Penamaan Sri Sengsara sebenarnya lebih ditujukan pada bayi perempuan
Umi yang harus lahir dalam situasi kesengsaraan. Namun, kehadiran Sri Sengsara
setidaknya dapat menjadi bukti gambaran kehidupan Umi seperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya bahwa Umi tidak pernah menikmati ketentraman. Ia
menerima semua yang dihadapkan padanya termasuk ketika harus melahirkan di
tengah hutan. Hal ini karena Umi terbiasa hidup dalam kesulitan sejak mengikuti
ayahnya sewaktu menjadi laskar Darul Islam.
Tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dalam novel ini memiliki peran dan
karakter yang kuat. Antara tokoh utama dan tokoh tambahan memang memiliki
peran yang berbeda, namun keberadaan tokoh utama tidak bisa dipisahkan dari
62 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 105. 63 Ibid., h. 112.
85
dukungan tokoh tambahan. Hubungan keduanya dapat dilihat dari bagaimana
tokoh cerita saling membentuk dan mempengaruhi tokoh lainnya, seperti halnya
Kiram dan Kang Suyud yang membangun konflik dan mempengaruhi orientasi
Amid sebagai tokoh utama, yang dapat dilihat melalui pemilikiran, sikap, dan
tindakan yang dilukiskan pengarang. Penciptaan tokoh-tokoh yang berbeda
4) Latar
Tidak hanya dengan plot, antara tokoh dan latar cerita memiliki keterkaitan
erat, yang sebenarnya jika ketiga unsur ini dirangkum menjadi satu dinamakan
fakta cerita yang membentuk suatu karya sastra. Dalam relevansinya, pengarang
menghadirkan tokoh cerita dengan segala persoalan kehidupannya memerlukan
latar sebagai pijakan berlangsungnya peristiwa yang dialaminya. Peristiwa yang
terjadi akan diperjelas kapan, di mana dan seperti apa suasana atau kondisi sosial
budaya yang melingkupinya. Penggambaran latar secara jelas dan konkret akan
mengesankan cerita menjadi realistis, seolah-seolah apa yang dialami tokoh cerita
benar-benar ada dan terjadi. Dalam analisis ini, deskripsi latar akan dibataskan
pada latar waktu, tempat dan sosial yang mendukung jalannya cerita.
1. Latar tempat
Secara garis besar peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita, berlatar di
tanah Jawa, meliputi beberapa kota diantaranya Banyumas Purwokerto, Bumiayu,
Somalungu, Cirebon, Cilacap, Wangon, Gunung Ceremai, Muara Citandui, dan
Hutan Jati Cigobang. Latar tempat berpindah-pindah, namun tidak semua bersifat
fungsional dan sama pentingnya. Beberapa tempat hanya disebutkan atau sekadar
menjadi pijakan peristiwa, yang apabila dipindahkan ke tempat lain tidak cukup
merusak keutuhan cerita. Dengan ini, pemaparan latar tempat hanya difokuskan
pada latar tempat-tempat yang mendominasi dan mempengaruhi jalannya cerita.
Dalam lingkup yang lebih kecil latar tempat bermula dari kota Banyumas
yang menjadi daerah kediaman Amid ketika ia diperintahkan berjihad oleh Kiai
Ngumar. Di awal perjalanannya, Amid sampai di kota Purwokerto, sebagai kota
pertama yang ditempati ketika membantu tentara Republik di tahun 1946. Secara
geografis kota ini berada di selatan yang menjadi kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah. Penggambaran latar tidak secara menunjukkan ciri-ciri yang dimiliki kota
86
tersebut. Latar tersebut hanya menunjukkan tempat persinggahan Amid dan para
pemuda yang nantinya akan mereka mendapat latihan kententaraan, sebagaimana
kutipan berikut.
Sampai di Purwokerto kami dihimpun di sebuah gedung madrasah milik Al Irsyad. Kulihat kira-kira ada dua ratus pemuda berkumpul di sana. Kami beristirahat sejenak dan ketika magrib aku mendengar berita bahwa besok pagi kami akan mulai mendapat latihan ketentaraan. Namun selepas isya berita itu berubah cepat; kami harus berangkat untuk membantu pasukan Brotosewoyo yang sedang berusaha merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Dalam suasana yang berjarak 43 kilometer dari Purwokerto.64
“Ya. Mencegat iring-iringan tentara Belanda yang hendak masuk ke Purwokerto dari arah tegal.”65
Perjalanan Amid berlanjut ke kota Bumiayu yang berjarak 43 kilometer dari
Purwokerto. Di kota Bumiayu ini, Amid mendapat perintah membantu pasukan
Brotoswoyo, yaitu pasukan tentara Republik resmi untuk mencegat jalan pasukan
tentara Belanda yang akan menduduki wilayah Purwokerto dari arah Tegal.
Seperti dalam kutipan di atas, kekhasan kedua kota itu sebagai latar cerita tidak
digambarkan pengarang secara detail sehingga menjadikan latar bersifat netral.
Latar tempat selanjutnya adalah kota Somalangu, sebuah desa di daerah
Kebumen, Jawa Tengah. Daerah ini menjadi tempat pelarian Amid dan pasukan
Hizbullah lainnya ketika mendapat serangan dalam perjalanan ke Kebumen untuk
bergabung ke Republik pasca Belanda mundur di tahun 1949. Terjadi perdebatan
di antara pasukan Hizbullah terkait dalang penyerangan itu. Dalam hal ini, latar
tempat hanya hanya disebutkan secara fisik nama, sehingga tidak mempengaruhi
pemplotan ataupun karakter tokoh Amid, seperti tergambar dalam kutipan berikut.
“Seluruh pasukan Hizbullah kemudian mengundurkan diri ke Somalangu, di sana terjadi perdebatan, tentang siapa sebenarnya mereka yang menyerang .Ada yang percaya, pasukan Republik tak mungkin punya perilaku sekotor itu.”
Dari semua latar tempat yang sudah dikemukakan sebelumnya, hutan Jati
Cigobang merupakan latar paling dominan dan terpenting dalam perjalanan hidup
tokoh utama. Penggambaran hutan Jati Cigobang sebenarnya sudah dijelaskan di
64 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 18. 65 Ibid., h. 19.
87
awal cerita dengan karakteristik hutan yang sepi, sunyi dan penuh bahaya sebagai
pengenalan cerita. Secara geografis, lokasi hutan Jati Cigobang terletak di wilayah
timur Cirebon, di dekat sungai Cisanggarun yang membatasi Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Latar hutan ini bersifat fungsional karena menjadi tempat persembunyian
dan bertahan hidup selama menjadi Darul Islam, sekaligus pusat penceritaan
Amid dalam mengisahkan permasalahannya.
“Aku berjalan sendiri, menanjak bukit yang tertutup kelebatan hutan jati, menyusuri jalan tikus yang biasa dilewati para pencuri kayu. Segala inderaku siap menangkap setiap suara atau gerakan yang paling halus sekalipun. Bahkan perasaanku sudah sangat terbiasa mengenali datangnya suasana yang berbahaya. Sekelilingku tetap remang karena sinar matahari hampir tak mampu menembus kelebatan hutan. Hanya pada bagian-bagian tertentu tampak serpih cahaya jatuh lurus dan membuat pendar pada daun-daun kering yang berserakan di tanah. Selebihnya adalah teduh atau bahkan remang.”66
Deskripsi hutan Jati secara visual dengan memperlihatkan realitas alam dan
sifat-sifat hutan yang khas menjadikan latar hutan Jati terlihat realistis. Kekuatan
pelukisan latar dapat dilihat dari beragam tumbuhan dan binatang yang diangkat
Ahmad Tohari. Penggambaran demikian secara tidak langsung memperlihatkan
keselarasan tokoh dengan lingkungan hidup, serta citra-citra yang menunjukkan
suasana hati tokoh utama yang terbiasa dengan dengan kondisi hutan Jati yang
menjadi tempatnya bersembunyi selama bertahun-tahun. Bahkan semua ancaman
dan serangan dialami Amid terjadi di hutan Jati Cigobang. Keadaan ini pun turut
mempengaruhi pembentukan karakter Amid. Seperti dalam penokohan Amid,
hidup di hutan Jati dengan segala kondisinya berhasil membentuk karakter Amid
dari yang sebelumnya penakut berubah menjadi sosok yang berani. Hal ini karena
kondisi hutan tersebut mengharuskan Amid siap melindungi diri terhadap bahaya
yang datang kapan pun. Karena inilah Amid terbiasa dengan situasi hutan yang
tidak pasti.
Latar hutan Jati sebenarnya tidak hanya dijadikan pengarang sebagai basis
pertahanan Darul Islam, tetapi juga sebagai pangkalan gerombolan komunis. Latar
hutan yang luas, sepi dan tidak banyak hunian menjadi tempat yang tepat sebagai
66 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1-2.
88
tempat persembunyian, terutama untuk kelompok-kelompok buruan atau yang
melakukan tindak kejahatan agar mereka aman dari serangan atau penangkapan.
Hal ini menjadikan latar hutan dominan di antara latar tempat lainnya, karena
selain menjadi pusat penceritaan latar hutan juga menjadi pusat peristiwa yang
dialami tokoh cerita.
2. Latar waktu
Sehubungan dengan latar waktu, Ahmad Tohari dalam LTLA mengaitkan
beberapa peristiwa dengan fakta sejarah masa itu yang terjadi pada masa revolusi
Indonesia dalam rentang tahun 1946 sampai 1965. Identifikasi waktu dapat dilihat
dari penyebutan tahun secara definitif yang sekaligus menegaskan plot campuran
yang digunakan pengarang untuk memaparkan peristiwa, di mana cerita tidak
dimulai dari awal terjadinya peristiwa melainkan dengan kegelisahan Amid yang
hidup terpencil dan terasing sebagai Darul Islam. Dalam hal ini, penyebutan tahun
tertentu lebih banyak menceritakan kilas balik Amid sebagai tokoh sentral tentang
pengalaman dan perasaannya dari berperang melawan tentara Belanda sampai
akhirnya terlibat dalam gerakan Darul Islam yang dianggap sebagai pemberontak.
Maka demikian, latar waktu akan dipaparkan secara berurutan dari awal terjadinya
peristiwa.
Berawal di tahun 1942, Ahmad Tohari menunjukkan waktu ini melalui kilas
balik Amid yang muncul ketika membantu tentara Republik berperang melawan
tentara Belanda di tahun 1946. Ingatan tersebut muncul sebagai gambaran dan
renungan Amid tentang perang yang diketahuinya karena dirasa berbeda ketika
terlibat secara langsung dalam peperangan.
Dulu di tahun 1942, kota kecil Wangon di bom Jepang dari udara. Sebuah rumah kena, tetapi akibatnya tidak begitu mengerikan. Namun siang ini aku terbawa arus ketegangan yang kian mencekam.67
Seperti diungkap Amid dalam kutipan tersebut, perang yang dilihatnya dulu
tidak begitu menakutkan, berbeda ketika Amid mengalaminya. Seketika dapat
dirasakan bagaimana perubahan perasaan Amid yang terbawa situasi perang yang
menegangkan dan mencekam. Terlebih waktu siang hari, di mana pandangan para
67 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 21.
89
tentara sangat fokus untuk menembaki lawan. Dengan pelukisan seperti itu, latar
tahun terkesan realistis karena mampu memberikan kesan kepada pembaca seolah
peristiwa itu faktual.
Maret tahun 1946, muncul dipertengahan bagian pertama. Masih dalam
kilas balik Amid, tahun itu mengisahkan masa remaja Amid sekaligus merupakan
tahun awal keikusertaan Amid berperang melawan Belanda sesuai perintah Kiai
Ngumar. Ketika itu, Amid berusia 18 tahun tidak memiliki wawasan yang luas
tentang revolusi karena belum merasakan adanya perubahan di desanya mendapat
perintah berperang sebagai kewajiban umat Islam untuk melawan Belanda.
Maret 1946. Ketika itu usiaku 18 atau 19, sudah empat tahun tamat Vervolk School.
Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwa. Isinya, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam.68
Ketipikalan waktu itu berkaitan dengan sejarah kembalinya Belanda pasca
kemerdekaan Indonesia. Keinginan Belanda untuk kembali menduduki Indonesia
mendapat reaksi keras dari ulama-ulama besar saat itu, sehingga mengeluarkan
fatwa jihad untuk rakyat Indonesia berperang melawan tentara Belanda agar tidak
lagi mendapat penindasan dari bangsa yang dianggap kafir. Maka tahun itu pun
menjadi awal keterlibatan Amid dalam situasi revolusi Indonesia dengan tujuan
ingin mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai wujud kepatuhan dan rasa
nasionalismenya.
Selanjutnya di Tahun 1948, Amid dan tiga pemuda lainnya membentuk
kelompok Hizbullah, yaitu kelompok perlawanan rakyat yang sifatnya sukarela
setelah mereka menolak bergabung dengan tentara Republik. Peresmian kelompok
Hizbullah bertempat di kediaman Kang Suyud yang dilakukan dalam suasana
sederhana dan kekeluargaan, mengingat tentara kolonial yang masih melakukan
penyerangan sehingga tidak banyak persiapan yang dilakukan.
Di pertengahan tahun 1948, Barisan Pemuda, nama asal-asalan yang kami berikan buat kelompok kecil pasukan sendiri, sah menjadi Hizbullah.69
68 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16. 69 Ibid., h. 45.
90
Tepat di desember tahun 1949, peran Amid dan pemuda lainnya melawan
tentara Belanda berakhir karena Belanda secara resmi mengakui kedaulatan
Indonesia. Hal ini yang secara resmi juga membuat Amid dan pemuda lainnya
tidak lagi menjadi musuh Belanda, seperti diungkapnya dalam kutipan berikut.
Pada bulan Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik dan kami anggota Hizbullah, secara resmi tak punya musuh lagi.70
Bila dikaitkan dengan peristiwa sejarah, latar waktu tersebut bersifat tipikal
yang menandai berakhirnya penjajahan Belanda di era revolusi Indonesia. Seperti
kutipan di atas, Ahmad Tohari menjadikan latar tahun itu sebagai penyelesaian
konflik pemuda dengan tentara Belanda, serta penghubung untuk memunculkan
masalah baru yang dihadapi Amid yang berujung pada perpecahan internal bangsa
Indonesia terkait sistem pemerintahan yang akan diberlakukan.
Tahun 1954-1957. Tahun 1954 masih menceritakan kilas balik Amid terkait
kondisi laskar Darul Islam yang masih banyak pengikutnya. Di tahun itu, masih
banyak orang yang bergabung dengan Darul Islam ketika menempati wilayah
Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui. Akan tetapi tiga tahun
berikutnya, Amid harus kehilangan setengah dari kawannya di Darul Islam yang
cukup berpengaruh pada perasaannya, sebagaimana dalam kutipan berikut.
Tiga tahun lalu, di tahun 1954, ketika kami mulai bergerak dari timur untuk menempati wilayah segitiga Gunung Slamet-Gunung Ceremai-Muara Citandui, kukira jumlah kami dari seribu orang.….Dalam waktu kuang dari tiga tahun berikutnya kami kehilangan lebih dari setengahnya.71
Pada kutipan di atas tidak disebutkan secara konkret tahunnya, namun pada
potongan kalimat dalam waktu kuang dari tiga tahun berikutnya menunjukkan
cerita berlanjut ke tahun 1957, yang mana Amid mulai merasakan berkurangnya
laskar Darul Islam karena sebagian dari mereka lebih memilih melarikan diri.
Kondisi ini mempengaruhi penokohan Amid sekaligus membawa pembaca untuk
melihat bagaimana perubahan perasaan Amid yang merasa cemas dan gelisah
melihat laskar Darul Islam yang semakin menipis dalam waktu singkat.
70 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 55. 71 Ibid., h. 9.
91
Tahun 1962, menjadi tahun pembebasan Amid dan pemuda lainnya sebagai
laskar Darul Islam. Di tahun itu, Amid tidak lagi menjadi laskar Darul Islam dan
kembali ke masyarakat setelah ada kabar tertangkapnya pemimpin tertinggi Darul
Islam, yaitu Kartosuwiryo.
Akhir Juni 1962 seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu, telah menempuh perjalanan yang bahaya untuk memberi kabar sesuatu yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam, penglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik.72
Secara faktual, tahun tersebut menjadi akhir dari kasus Darul Islam di Jawa
Barat, maka hal yang sama juga ditunjukkan Ahmad Tohari dalam novel LTLA.
Sebagaimana dalam ulasan plot, waktu peristiwa itu dijadikan pengarang sebagai
pemecahan masalah yang dihadapi tokoh Amid yang secara resmi tidak lagi
menjadi Darul Islam. Hal ini sekaligus menunjukan sifat fungsional latar waktu
tersebut yang digunakan sebagai penyelesaian konflik yang dialami Amid sebagai
Darul Islam yang harus menjadi buruan tentara Republik selama bertahun-tahun.
Terakhir tahun 1965 menjadi titik akhir cerita LTLA sekaligus juga titik
akhir masa revolusi Indonesia. Ahmad Tohari menggambarkan tahun ini dengan
mengangkat peristiwa penembakan beberapa jenderal angkatan darat di Jakarta
yang diduga dilakukan kelompok komunis.
Dan puncak kekisruhan terjadi pada tahun 1965, ketika aku mendengar berita yang simpang siur bahwa ada makar di Jakarta. Beberapa Jenderal Angkatan Darat terbunuh.Berita itu terus berkembang. Akhirnya radio memberitakan bahwa yang berada di belakang gerakan itu adalah orang-orang komunis.73
Pelukisan latar waktu di tahun itu memiliki kesesuaian dengan peristiwa
sejarah sekitar pemberontakan G30 September di tahun 1965. Tahun itu menjadi
puncak kekisruhan revolusi yang dipicu aksi-aksi dari kelompok komunis yang
berusaha menjatuhkan pemerintahan. Para tentara Indonesia berusaha menumpas
kelompok komunis, tidak terkecuali yang di daerah, seperti yang dilakukan Amid,
Kiram dan Jun. Mereka diminta membantu menumpas gerombolan komunis di
72 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 118. 73 Ibid., h. 130.
92
hutan Jati yang menjadi tempat persembunyian selama ini. Latar waktu tersebut
menjadi tipikal sekaligus fungsional, karena tidak hanya menunjukan peristiwa
sejarah tetapi juga menjadi tumpuan untuk mematikan tokoh Amid sebagai akhir
cerita ini yang tertembak dalam perang melawan gerombolan komunis di hutan
Jati Cigobang, tempat persembunyian Darul Islam dan kelompok komunis selama
menjadi buruan tentara Republik.
3. Latar sosial
Di lain hal, novel ini memberikan gambaran yang kuat dan detail pada suatu
keadaan atau peristiwa dan pada proses-proses yang konkret yang berlangsung di
dalamnya. Hal ini tampak dalam gambaran mengenai cara hidup, adat istiadat,
kebiasaan, kedudukan tokoh-tokoh dan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang melatarbelakangi novel LTLA. Keadaan masyarakat yang
digambarkan merupakan keseluruhan latar cerita, yang tentunya berhubungan
dengan latar waktu dan tempat. Mengenai hal itu, dalam masyarakat muslim Jawa
mengenal adanya pembedaan status sosial antara kiai dan santri yang juga melekat
dalam cerita ini. Pembedaan status sosial tersebut umumnya berada dalam struktur
sosial pesantren. Seorang kiai dianggap memiliki pengetahuan yang lebih tentang
agama yang tidak dimiliki orang biasa. Dengan kelebihan yang dimiliki, seorang
kiai akan lebih dihormati dan dianggap menjadi panutan bagi santrinya. Adanya
status sosial itu ditandai dengan pemakaian bahasa arab antara Amid dan Kiai
Ngumar, seperti dalam dialog berikut.
“Benar. Tetapi soal melawan tentara Belanda bisa dilakukan oleh siapa saja. Dan fatwa yang diucapkan Hadratus Syekh berlaku untuk semua orang yang sehat, bukan?”
“Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”74
Latar lokal novel ini diperjelas oleh sikap Amid sebagai santri yang patuh
melaksanakan sepenuhnya perintah Kiai Ngumar untuk berperang melawan
tentara Belanda. Sikapnya itu tentu tidak lepas dari segala yang telah diajarkan
pesantren yang menganggap bahwa perintah kiai akan menuntun santri pada
kebaikan. Seorang santri dituntut untuk mematuhi apapun yang diperintahkan kiai
tanpa bertanya lebih jauh apalagi menolak, sebagai bentuk penghormatan dan
74 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17.
93
ketaatan seorang santri terhadap kiainya. Ketaatan santri ini dipandang sebagai
suatu manifestasi ketaatan mutlak, yang juga dipandang sebagai ibadah,75 serta
timbal balik kepada kiai yang bertahun-tahun mengabdi untuk mengajarkan santri
pengetahuan agama.
Perihal yang menyatakan kehidupan sosial masyarakat Jawa, yang juga
digambarkan Ahmad Tohari adalah cara hidup dan tradisi atau kebiasaan yang
dilakukan. Sebagian masyarakat Jawa terutama kaum wong cilik masih bermata
percaharian sebagai petani untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini karena
kurangnya pendidikan dan keahlian yang dimiliki, serta sistem feodalisme yang
masih diterapkan.
….Humanya, yang sesungguhnya merupakan bagian tanah kehutanan, digarapnya dengan sangat baik. Makdisan menanam singkong, jagung dan palawija. Pada masa panen, istri dan anak-anaknya yang tinggal di kampung sering dibawanya ke huma. Dan sebagai ganti uang sewa kepada pemangku tanah kehutanan, Madiksan memberikan sebagian hasil panennya kepada mandor jati.76
Bagi petani yang tidak memiliki tanah sendiri seperti tokoh Makdisan, ia
memilih memanfaatkan lahan hutan dengan sistem sewa atau bagi hasil dengan
pengelolan hutan. Hasil panen akan dijual dan dibagikan kepada pengelola
sebagai biaya sewa pemakaian lahan. Melalui tokoh Makdisan ini, Ahmad Tohari
tidak hanya menggambarkan cara hidup orang Jawa, tetapi juga menunjukkan
realitas sosial bahwa masih adanya kaum petani yang harus hidup dalam
kemiskinan, meskipun secara resmi negara sudah merdeka dari kaum penjajah.
Sementara itu, tradisi masyarakat Jawa yang tergambar dalam novel LTLA
ialah masih mempercayai paraji, sebutan untuk dukun yang membantu proses
kelahiran, seperti yang dialami Umi. Di tengah kondisi hutan yang terbatas, paraji
dipercayai dapat menolong kelahiran Umi, terlebih dengan biaya yang tidak
murah dan peran paraji yang tidak sekedar membantu tetapi juga mendampingi.
….Ucapan pertama Mbok Nikem setelah melihat keadaan Umi segera membuktikan bahwa dia adalah seorang paraji sejati. Kemarahannya kepada kami yang telah menculiknya dengan kasar segera hilang setelah dia
75 Iva Yulianti Umadatuh Izzah, Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri Pada
Masyarakat Muslim, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No.2, Oktober 2011. 76 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 96.
94
berhadapan dengan seorang perempuan yang sangat mengharapkan pertolongannya.77
Dapat dilihat bahwa laskar Darul Islam memiliki cara dan kebiasaan sendiri
untuk mendapatkan paraji. Mereka turun langsung ke desa untuk menculik paraji
dan memasukan ke dalam karung. Cara ini dilakukan agar pos rahasia Darul Islam
tidak diketahui siapapun, sehingga tempat persembunyian mereka di hutan tetap
aman, baik dari tentara Republik ataupun gerombolan komunis.
Selain unsur-unsur di atas, kondisi sosial LTLA juga diwarnai pergolakan
revolusi dimulai dengan terjadinya perang besar di kota Surabaya, yang menjadi
simbol perlawanan nasional. Kembalinya Belanda tak lama setelah proklamasi
kemerdekaan membuat rakyat dicekam ketakutan bahwa Belanda akan kembali
menduduki Indonesia. Keadaan ini belum sepenuhnya dirasakan rakyat Indonesia
karena pergolakan revolusi pada mulanya hanya terjadi di kota besar, namun
secara cepat kekacauan itu juga dialami masyarakat pedesaan. Hampir seluruh
rakyat Indonesia saat itu mengobarkan semangat perlawanan membela tanah air.
Dari ulama bahkan mengeluarkan fatwa jihad yang hukumnya fardlu ‘ain bagi
orang-orang Islam yang dinilai efektif untuk membakar semangat juang mereka.78
Siang dan malam rakyat Indonesia berjuang menunjukkan kekuatan berperang
dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan dari tangan bangsa kolonial.
“Ya. Dalam rapat itu Hadratus Syekh dari Jawa Timur mengeluarkan fatwa.Isinya, berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan negeri sendiri yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam.”79
Pada waktu yang sama, muncul beberapa gerakan pemberontakan, seperti
Darul Islam dan komunis yang sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Indonesia
merdeka. Masing-masing kelompok ini memiliki ideologi dan tujuan tersendiri
yang awalnya untuk menentang keberadaan kolonial Belanda perlahan berusaha
meruntuhkan pemerintahan untuk menggantikan otoritas Republik. Isu ini yang
77 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 114. 78 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan
Meneggakkan Indonesia (1945-1949), (Ciputat, Pustaka Kompas, 2014), h. 205. 79 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16.
95
kemudian memunculkan beragam aksi pemberontakan yang akhirnya berlanjut
pada konflik internal di dalam tubuh Republik Indonesia.
“Begini, Kiai. Ada berita di seberang Citandui bahwa Kartosuwiryo dan kawan-kawannya bermaksud membangun sebuah negara Islam.”80
…. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif.81
Penggambaran kondisi sosial masyarakat pada waktu itu sungguh terlihat
nyata. Konflik-konflik yang terjadi pasca kemerdekaan membuat situasi semakin
tidak stabil. Kondisi ini berpengaruh pada sikap pemuda seperti Amid yang tidak
paham dengan makna revolusi harus terseret dalam gejolak arus revolusi. Amid
terpaksa menjadi laskar Darul Islam untuk melindungi diri dari ancaman tentara
Republik akibat kerusuhan yang dibuat kelompok komunis. Ketika menjadi laskar
Darul Islam, ia harus mengikuti aturan Darul Islam termasuk melakukan bertindak
jahat dan brutal kepada orang-orang yang menentang gerakan Darul Islam.
Sebagai akibatnya, Amid harus hidup dengan pergolakan batin dan terombang-
ambing karena ancaman dari pihak Republik yang akan menangkap para laskar
Darul Islam. Sebab, selain kelompok komunis, Darul Islam menjadi gerakan yang
berpengaruh dalam menciptakan kekacauan dengan permberontakan dilakukan,
yang bertujuan menggantikan kekuasaan dengan bentuk Negara Islam Indonesia.
Secara keseluruhan penggambaran latar menggambarkan situasi masyarakat
pasca kemeredekaan Indonesia yang dikonkretkan dengan penyebutan latar waktu.
Pelukisan latar waktu itu sekaligus menunjukan waktu kesejarahan yang dialami
bangsa Indonesia di periode revolusi sekitar tahun 1946-1965. Hal ini menjadikan
latar waktu bersifat dominan dibanding latar tempat. Dari latar yang dikemukakan
Ahmad Tohari, dapat dilihat pula berbagai peristiwa sejarah dan kekisruhan yang
terjadi akibat perebutan kekuasaan pemerintahan yang akibatnya berpengaruh
pada kehidupan wong cilik seperti Amid yang terjebak dalam pergolakan revolusi.
80 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 58. 81 Ibid., h. 65.
96
5) Sudut Pandang
Tokoh “Aku” dalam cerita LTLA mengacu pada dua peran, yaitu bertindak
sebagai pencerita dan tokoh utama. Sebagai keduanya, ia menempatkan dirinya di
dalam cerita yang mengisahkan berbagai peristiwa yang dialaminya, baik bersifat
maupun fisik dalam dirinya maupun hubungan sesuatu di luar dirinya, sehingga
terlibat secara langsung di dalam cerita. Seperti yang sering kali dijelaskan, cerita
dikisahkan dari kaca mata “Aku”, seorang pemuda santri bernama Amid yang ikut
terlibat dalam gerakan Darul Islam. Hal ini dikarenakan pengetahuan Amid yang
terbatas tentang masalah sosial politik yang terjadi dan makna perjuangan, apalagi
makna revolusi. Dengan perannya sebagai pencerita yang terlibat secara langsung
dalam cerita, semua cerita akan berkonsentrasi pada diri tokoh Amid sendiri dan
hal-hal diluar dirinya yang dianggap penting.
“Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik menarik, suatu pertentangan yang mulai mengembang dalam hatiku.Seorang lelaki, militer baru kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia ku habisi nyawanya. Sementara itu, aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu diingatnya melalui tasbih dan Qurannya itu pastilah Tuhanku juga, yakni Tuhan kepada siapa Gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmatnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit ku mengerti.”82
Pemilihan “Aku” sebagai pencerita sekaligus tokoh sentral memungkinkan
dirinya secara terbuka menceritakan pengalaman hidup dari apa yang dilihat dan
dipahaminya. Bahkan melalui sudut pandang “Aku”, pembaca dapat merasakan
pergulatan batin yang dirasakan tokoh Amid yang mungkin hanya diketahui dan
dirasakan oleh Amid sendiri. Seperti pada kutipan di atas, Amid dihadapkan pada
konflik batin yang sulit dipahaminya. Ia membunuh seorang militer yang ingin
selalu dekat dengan Tuhannya, sementara ia juga menyembah Tuhan yang sama
dengan militer itu. Maka Amid pun mulai mempertanyakan kepada dirinya sendiri
atas dasar apa gerakan Darul Islam yang dilakukannya selama ini. Perasaan Amid
ini dapat dipastikan merupakan rahasia dirinya dan tidak diketahui tokoh lain.
Sebagai pencerita, perasaan Amid itu merupakan hal wajar bila diceritakan, sebab
82 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 12.
97
ia seperti berbicara dengan dirinya sendiri, berbeda ketika perasaan itu diceritakan
dengan sudut pandang “Dia”.
Dalam batas tertentu, penuturan dengan sudut pandang “Aku” sebenarnya
tidak membebaskan tokoh utama masuk ke dalam batin atau perasaan tokoh-tokoh
lainnya dan menceritakannya secara gamblang. Hal ini menjadi keterbatasan dari
tokoh utama sebagai pencerita. Akan tetapi, tokoh “Aku” masih memiliki peluang
untuk bercerita tentang tokoh lain sebatas pada apa yang dilihat dan pandangan
subjektifnya. Kutipan di bawah ini misalnya, menunjukan bagaimana pendapat
Amid sebagai pencerita sekaligus tokoh utama mengenai kematian Kang Suyud
sebagai salah satu kiai yang dihormatinya.
…. Ya, sia-sia meskipun aku tahu dalam kelompok kecil laskar gerakan kami, Kang Suyud akan menjadi martir tanpa keraguan. Maka mungkin aku hanya seorang yang diam-diam menganggap kematian Kang Suyud kesia-siaan. Juga, diam-diam aku mulai meragukan hak kemartiran atas kematian orang-orang dari gerakan kami, termasuk Kang Suyud.83
Pendapat Amid mengenai Kang Suyud merupakan pandangan subjektifnya
berdasarkan apa yang diketahuinya, dilihatnya, diamatinya dan dipahaminya, yang
menunjukkan ketidakberdayaan dan kesengsaraan seorang kiai. Hal itu dirasakan
Amid yang mana sebagai seorang kiai desa di sebuah mesjid besar kematian Kang
Suyud seharusnya mendapat penghormatan yang layak dengan ratusan doa
mengiringnya sampai ke liang kubur. Namun, pada kenyataannya Kang Suyud
harus dikuburkan serba sahaja dan hanya iringian doa dari Amid, Kiram dan Jun.
Dengan kata lain, kemartiran Kang Suyud yang selama ini sepenuhnya diberikan
untuk gerakan Darul Islam justru yang membawanya pada ketidakberdayaan dan
kesia-siaan.
Dari sudut pandang “Aku” melalui penuturan tokoh Amid dapat diketahui
bagaimana para pemuda atau pejuang bisa terseret arus politik di masa revolusi,
sampai terlibat dalam dalam gerakan pemberontakan seperti Darul Islam. Bahkan
lebih mendalam dapat merasakan pengalaman dan pergolakan orang-orang Darul
Islam yang sebenarnya mengingikan kehidupan yang normal. Pengisahan seperti
ini hanya dituturkan dengan sudut pandang “Aku”, di mana pencerita adalah
83 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 7.
98
tokoh cerita yang terlibat langsung dalam peristiwa sehingga memiliki kebebasan
untuk mengisahkan kesadaran dirinya sendiri.
6) Gaya Bahasa
Dalam memandang tema dan meninjau persoalan, Ahmad Tohari memiliki
cara khas dengan pengungkapan yang komunikatif, lugas dan sederhana, sehingga
mudah dipahami pembaca. Kelugasan dapat dilihat dari cara narator, yakni “Aku”
mengisahkan berbagai peristiwa dan permasalahan yang dihadapinya dan tokoh
cerita lainnya tanpa berbelit-belit dan apa adanya, tanpa ada yang ditutup-tutupi
sesuai dengan kehidupan para tokohnya yang penuh pergolakan. Cara bercerita ini
sebagaimana karakter orang Banyumas yang cablaka, yaitu berbicara apa adanya
tanpa pretensi.84
“… Ada sepasang bayan hinggap dekat sarang mereka dalam lubang kayu kapuk. Mereka cerewet, tetapi paruh merah dan bulu hijau mereka sangat enak dipandang. Dan, aku melihat seekor dadali tiba-tiba menukik dari langit. Tubuhnya yang gagah melesat ke bawah dan sekejap hilang terhalang pepehonan. Ketika naik lagi, kulihat burung perkasa itu membawa seekor ular pada cakarnya. Aku teringat ular-ular bedudak sangat biasa yang selalu membuatku bergidik. Tetapi dadali itu malah memakannya.85
Di samping tegas dan suasana cerita yang penuh pergolakan, sebagaimana
pada kutipan di atas, Ahmad Tohari juga sangat komunikatif melukiskan pelataran
hutan dengan bahasa yang sederhana, sopan, dan teratur, sehingga memudahkan
pembaca memahami dan mendalami apa yang dipaparkan. Sama halnya dengan
beberapa novel lainnya, pelukisan latar dan suasana alam menjadi kekuatan novel
ini. Pelukisan hutan semakin dikuatkan dengan cara pengarang melukiskan hal-hal
kecil secara, jelas, lembut, lancar dan mengalir dengan menghimpun berjenis-jenis
binatang dan tumbuhan yang menunjukan adanya keserasian dan keakraban antara
tokoh cerita dengan lingkungan hutan sebagai latar cerita, serta membuat latar
hutan menjadi hidup dan berarti. Hal ini menjadi menarik, seperti diungkapkan
Mahayana seorang kritikus sastra, bahwa sastrawan Ahmad Tohari tampak benar-
84 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Ahmad Tohari “Dikondisikan sebagai ‘Bahasa Babu”
Dialek Banyumas Diambang Kepunahan”, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, Kamis, 17 Oktober 2002, h. 10 (c).
85 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 95.
99
benar memanfaatkan pengetahuannya mengenai dunia flora dan fauna86 untuk
menguatkan latar lokal kedaerahan dalam beberapa novelnya, termasuk LTLA.
Selain itu, Ahmad Tohari menggunakan campur kode dalam novel ini. Hal
itu pada pilihan kata yang beraneka ragam yang menunjukkan kekhasan lain dari
novel LTLA. Penggunaan diksi yang variatif dapat dilihat dari kosa kata bahasa
Jawa dan Arab yang bertebaran dalam cerita. Di samping memberikan efek
keindahan, hal itu juga dimaksudkan untuk menegaskan latar sosial. Penggunaan
kosa kata bahasa Jawa dapat dilihat pada kutipan berikut.
(1) “Sabar. Dan biarkan aku menjamin senjata yang dipegang Kiram hanya akan digunakan untuk membantu tentara Republik, ya sampean-sampean itu.87
(2) “Oalah, jenganten, kamu akan melahirkan di tempat seperti ini? Oalah, Gusti, kasihan betul kamu, jenganten…”88
Penggunaan kosa kata Jawa yang khas tampak jelas pada kedua kutipan di
atas. Pada kutipan pertama (1) kata sampean merupakan kata sapaan khas dalam
masyarakat Jawa yang berarti “kamu, anda” yang sering digunakan untuk sebutan
kata ganti orang kedua. Penggunaan kata sampean dengan gaya repetisi tidak lain
untuk menekankan penuturan dan emosi Kiai Ngumar terhadap tentara Republik.
Pada kutipan kedua (2), penggunaan kosa kata Jawa terbaca pada kata seru oalah
dan kata sapaan jenganten yang ditujukan bagi seorang perempuan, yang dalam
novel ini adalah Umi. Pemanfaatan diksi Jawa mengesankan nuansa kedaerahan
dan kultural yang sangat kental, sekaligus menunjukkan suasana keakraban dan
kesantunan masyarakat Banyumas dalam berinteraksi.
Pada kutipan lain, pemanfaatan bahasa Arab tampak untuk mengekspresikan
tentang banyak hal dan mencapai efek tertentu. Hal tersebut sebagaimana dalam
kutipan berikut.
(1) “Ya. Kiai. Kami sami’na waatha’na, asal kiai memberi restu kami.”89
86 Pusat Dokumentasi HB. Jassin, “Diskusi Sastra: Trilogi Ahmad Tohari”, Gramedia,
Jakarta, Agustus 1987, h. 6 (d). 87 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 17. 88 Ibid., h. 114. 89 Ibid., h. 7
100
(2) “Sabar, Nak. Innallaha ma’as shabirin. Kalian sendiri punya praduga adanya pengkhianatan oleh orang-orang yang mencatut nama tentara Republik.90
Penggunaan bahasa Arab dalam kedua kutipan di atas sengaja dimanfaatkan
Ahmad Tohari untuk menekankan dan menegaskan gagasan tertentu. Hal itu dapat
dilihat dari jawaban Amid lewat kalimat sami’na waatha’na yang berarti “kami
mendengar dan kami taat” (1). Dengan pengucapan yang tanpa ragu menegaskan
kepatuhan Amid sebagai santri bahwa apapun yang diperintahkan kiainya ia harus
taat. Sedangkan pada kutipan (2), kalimat Innallaha ma’as shabirin memiliki arti
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” yang dalam konteks ini
menegaskan keprihatinan Kiai Ngumar akan masalah yang sedang dihadapi Amid.
Dari kedua kalimat itu, gagasan yang disampaikan lebih jelas maknanya dan lebih
mengesankan. Penggunaan bahasa Arab ini sekaligus memberikan kesan religuitas
untuk menciptakan dan menguatkan setting dunia pesantren sesuai latar belakang
tokoh cerita.
Dalam novel ini Ahmad Tohari juga menggunakan beberapa perumpamaan
untuk memberikan kesan keindahan, sehingga cerita menjadi lebih hidup, menarik
dan tidak membosankan untuk dibaca. Perumpamaan yang dominan adalah majas
personifikasi yang disusul dengan majas metafora dan majas asosiasi.
1. Majas Personifikasi
Majas personifikasi diartikan sebagai gaya bahasa yang memberi sifat-sifat
benda mati seperti sifat kemanusiaan.91 Benda mati yang tidak memiliki nyawa
seolah dapat hidup dengan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Personifikasi dalam
novel ini digunakan untuk menggambarkan kondisi dan suasana latar hutan Jati
yang menjadi tempat persembunyian laskar Darul Islam (1). Hal ini dapat dilihat
dari penggambaran kilat yang bertingkah laku seperti halnya manusia yang dapat
membelah dan mengusir, sebagaimana berikut.
(1) “… Kilat kembali membelah langit dan sedetik mengusir kegelapan….92
90 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 67. 91 A. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, (Malang, Yayasan Asah
Asih Asuh, 1990), h. 3. 92 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 90.
101
(2) “… Kelengangan masih menyelimuti hutan jati, tetapi aku melihat seekor cicak terbang melayang dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Aku juga melihat sepasang burung kacer terbang berkejaran dalam kebisuan….”93
Sementara itu pada kutipan kedua, kelengangan merujuk pada suatu suasana
yang digambarkan seakan-akan hidup karena dapat menyelimuti yang merupakan
tindakan manusia. Suasana hutan yang lengang menggambarkan betapa sunyi dan
sepi situasi hutan yang tidak banyak dihuni banyak manusia. Sunyinya hutan yang
hanya mungkin terusik oleh suara hewan ataupun gesekan daun akibat hembusan
angin. Kecapakan Ahmad Tohari memvisualiasikan keadaan hutan dengan majas
personifikasi mampu menggerakkan imaji pembaca sehingga pelukisan keadaan
hutan Jati yang masih asri menjadi lebih hidup dan mengesankan pembaca. Secara
implisit, ungkapan itu menguatkan kondisi batin Amid selalu merasa terpencil dan
asing karena situasi hutan sepi dan ancaman yang selalu dihadapinya.
Tidak hanya itu, majas personifikasi juga ditemukan dalam ungkapan lain
untuk menunjukkan latar waktu. Ungkapan itu dapat dilihat dalam kutipan berikut
ketika Amid menunggu serangan tentara Belanda.
Semua orang tampak kesal karena sampai matahari tergelincir bendera di atas bukit itu tetap kuning. Banyak anggota pasukan mulai uring-uringan dan mengendorkan kesiagaan.94
Pada kutipan tersebut, penggalan kalimat matahari tergelincir menunjukkan
bentuk personifikasi yang mengumpamakan matahari seperti manusia yang dapat
tergelincir. Dengan memanfaatkan objek realitas alam, pengarang menggunakan
perumpamaan itu untuk menggambarkan matahari tenggelam yang menunjukkan
waktu sore hari. Selain untuk menekankan latar waktu peristiwa, Ahmad Tohari
menggunakan majas personifikasi untuk menghidupkan penuturan suasana dan
kekecewaan pasukan tentara yang sudah bersiaga sejak lama untuk mencegat laju
tentara Belanda.
2. Majas Metafora
Matafora merupakan majas perbandingan yang bersifat tidak langsung atau
implisit. Tidak ada kata-kata penunjuk secara eksplisit antara yang dibandingkan
93 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 8 94 Ibid., h. 21.
102
dengan pembandingnya. Sesuatu yang dibandingkan itu sendiri dapat berupa ciri-
ciri fisik, sifat, keadaan, aktivitas, atau sesuatu yang lain yang kesemuanya harus
ditemukan untuk dapat memahami makna yang ditunjuk.95 Penggunaan metafora
dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“… Di tengah tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil yang merayap tanpa daya dalam kegelapan yang sungguh pekat. Namun demikian aku terus berjalan. Gerimis makin deras….96
Bentuk metafora di atas menggambarkan keadaan psikis Amid yang sedang
merendahkan dirinya dan menganggap dirinya tidak berarti jika dibandingkan
dengan kehebatan alam. Secara tersirat, Ahmad Tohari memanfaatkan ungkapan
metaforis tersebut untuk menekankan kegelisahan hati Amid sebagai wong cilik
yang tidak mampu bertindak di tengah kekacauan revolusi yang diciptakan elit
politik pusat. Dengan mempersamakan aku dengan semut kecil membuat suasana
cerita menjadi lebih hidup, lebih mendalam maknanya dan ekspresif.
3. Majas Asosiasi
Asosiasi merupakan majas perbandingan terhadap suatu benda yang sudah
disebutkan, sehingga akan dapat menimbulkan asosiasi atau tanggapan dengan
benda yang diperbandingkan.97 Dalam novel ini, pernyataan yang merujuk pada
majas asosiasi tergambar dalam kutipan berikut.
“… Padahal ibarat ikan, hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan….98
Secara langsung kehidupan Amid diasosiasikan pengarang seperti ikan yang
hidup di air. Ikan yang hidup di air memiliki sifat mengitari air yang merupakan
tempat tinggalnya. Pemanfaatan asosiasi pada kutipan tersebut mempercepat dan
mengkonkretkan pemahaman pembaca mengenai kehidupan Amid yang selama
bertahun-tahun tidak dapat dipisahkan dari hutan Jati Cigobang sebagai tempatnya
bertahan hidup, yang mana serba terbatas dan jauh dari kehidupan bermasyarakat.
95 Burhan Nurgiantoro, Op. cit., h. 401. 96 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 90. 97 A. Hayati dan Winarno Adiwardoyo, Op. cit, h. 1. 98 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 1.
103
Pemanfaatan gaya bahasa yang menarik dan beragam secara tidak langsung
mengesankan pembaca akan cerita yang disajikan. Dengan penggunaan ungkapan
yang didominasi personifikasi, cerita juga menjadi lebih hidup dan bermakna. Hal
ini tidak lepas dari kekhasaan pengarang dalam menampilkan keindahan alam dan
campur kode, yang selain untuk menguatkan latar lokal juga untuk menegaskan
ketidakberdayaan Amid menghadapi pergolakan revolusi Indonesia.
7) Amanat
Dari cerita LTLA yang memperlihatkan ketidakberdayaan pemuda santri di
masa revolusi Indonesia, terdapat banyak amanat atau pesan moral yang hendak
disampaikan Ahmad Tohari kepada pembaca. Amanat yang terkandung berisikan
pesan-pesan kehidupan yang nilai-nilainya diharapkan dapat diterapkan di dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, amanat juga dapat diinterpretasikan berbeda-beda
oleh setiap pembaca. Lewat tindakan, tingkah laku, konflik dan pikiran tokoh-
tokoh cerita di dalamnya, pesan moral dalam sebuah cerita fiksi dapat ditafsirkan,
sehingga pembaca dapat merenungkan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan
pengarang, sepeti pada kutipan-kutipan di bawah ini.
“Kalau itu pertimbangan kamu, apakah tidak bisa dipikirkan lagi? Pertama, karena sepanjang yang aku tahu, tidak semua anggota tentara Republik beraliran komunis. Kedua, aku ingin mengajak kamu berpikir tantang masa depan kalian sendiri. tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.”99
“Kang, aku hanya melihat komandan mereka bukan komunis. Dia baik dan kini malam minta bantuan kepada kita. Apa ini bukan pertanda itikad baik dia? Juga, Kiram pernah mendapat penghinaan. Apabila permintaan mereka dapat kita penuhi, Kiram bisa membuktikan diri bahwa seharusnya dia dipuji, bukan dihina.”100
…. Tasbih dan Quran itu juga seakan selalu mengingatkan aku bahwa pemiliknya, Letnan yang sudah kubunuh itu, adalah orang yang tak seharusnya kuhabisi nyawanya.101
Amanat yang terkandung dalam novel LTLA disampaikan dengan baik dan
tersirat. Dari cerita perjalanan kelompok pemuda yang berjuang di masa revolusi,
di mana krisis yang mereka dihadapi disebabkan faktor mentalitas pemuda yang
99 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 38. 100 Ibid., h. 47. 101 Ibid., 13.
104
lebih mengdepankan egoisme dan idealisme sehingga tidak mengindahkan norma-
norma kehidupan dan agama, serta perintah atau saran orang tua, yang hal itu
justru menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan fiksi ini, bahwasanya Ahmad
Tohari menekankan kepada pemuda saat ini agar mampu menahan ego dan lebih
mengedepankan kepentingan bangsa. Patuh pada nasihat yang diberikan oleh guru
atau ulama terlebih untuk kebaikan di masa depan. Bahwa dalam hidup kita juga
harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan agar segala perilaku dapat terkendali
sehingga tidak akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dengan konflik sosial yang juga digambarkan dalam novel LTLA, melalui
ujaran Kiai Ngumar, Ahmad Tohari ingin memberikan amanat bagaimana dalam
kehidupan masyarakat harus dapat hidup rukun dan saling menghargai perbedaan,
yang hal itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama sehingga perlu dilestarikan.
“Artinya, selam adalah sebutan untuk semua orang yang tinggal dari Aceh sampai Sunda Kecil tadi. Ya, pribumi itulah. Dulu, di mata orang asing, juga dalam perasaan kita semua, Selam dan Tanah Air adalah dua sisi dari satu mata uang, seperti Pendawa dan Amarta. Orang-orang tua kita di sini, yang sembahyang atau yang tidak, yang santri atau yang abangan, bahkan juga orang dul-dulan sama-sama merasa sebagai orang Selam. Mereka bersaksi bahwa Gusti Allah adalah Tuhan Yang Esa, Kanjeng Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Mereka sejak lama hidup rukun dan bergotong royong. Jadi aku tak paham mengapa si Suyud kini tak mau bergabung dengan tentara resmi hanya karena di sana banyak anggota yang tidak sembahyang.”102
Dalam kutipan tersebut yang menggambarkan kehidupan masa lalu bangsa
Indonesia, dapat dipahami bahwa dalam sebuah negara mempunyai keberagaman
budaya, ras, organisasi, kelas, ideologi dan bahkan agama. Dalam hal ini sudah
seharusnya masyarakat menumbuhkan sikap toleransi untuk saling menerima dan
menghargai keberagaman itu. Terlebih hidup di negara dengan paham demokrasi,
tidak seharusnya melakukan tindak kejahatan atau kekerasan terhadap masyarakat
lain hanya karena pemahaman atau keyakinan yang berbeda. Sebab kepercayaan
atau agama seseorang adalah hak pribadi. Bukan urusan manusia dengan manusia,
melainkan urusan manusia dengan Tuhannya.
102 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 41.
105
B. Analisis Masalah Sosial Masyarakat dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari
Potret kehidupan bangsa Indonesia di masa revolusi Indonesia tampak jelas
dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Mengingat sebagai
sebuah rekaan, sastra merekam banyak peristiwa, termasuk peristiwa sejarah yang
terjadi di tahun awal kemerdekaan Indonesia. Secara garis besar, novel pendek ini
menyuguhkan gambaran sejarah kehidupan yang terilhami dari peristiwa revolusi
Indonesia yang menempatkan novel ini sebagai produk budaya yang menawarkan
nilai-nilai universal bagi pembacanya.
Teks novel Lingkar Tanah Lingkar Air menyinggung persoalan revolusi dan
pengaruh revolusi terhadap manusianya. Dibuat berdasarkan realitas di periode itu
(1946-1965), novel ini mencerminkan pergolakan sosial politik bangsa Indonesia
dalam membangun sebuah negara yang memberi dampak secara langsung pada
kondisi sosial secara fisik dan psikologis masyarakatnya. Dengan kepekaannya
terhadap sekitarnya, Ahmad Tohari memperlihatakan nasib bangsa Indonesia yang
selalu dirundung masalah sosial hingga menyebabkan duka yang berkepanjangan.
Masalah sosial terus menerus datang, seolah tidak memberi kesempatan untuk
bernafas. Lebih dari ratusan tahun dijajah oleh kolonial Barat, bangsa Indonesia
kembali dihadapkan pada peperangan dengan negara lain untuk mempertahankan
kemerdekaan yang membuat kekacauan di berbagai daerah.
Di tengah perjuangan membela negara itu, novel ini tidak hanya memotret
suasana peperangan dengan tentara Belanda, tetapi juga peperangan antarsaudara.
Dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari berbicara tentang konflik
antarsaudara yang sudah mendarah daging dan masih terus saja menjadi ancaman.
Konflik melibatkan ideologis dari beberapa partai politik yang menentang sistem
pemerintahan berdasarkan pancasila. Bahkan satu di antaranya mengatasnamakan
agama dengan aksi kekerasan yang mengecam siapa saja yang tidak mendukung
gerakan tersebut. Padahal sejatinya agama mengandung nilai suci dan kebaikan
yang membawa keselamatan, bukan menampakkan diri sebagai sistem peradaban
ke arah radikal yang justru mengancam keselamatan, baik individu atau kelompok
dalam masyarakat, sebagaimana yang dikritisi Ahmad Tohari dalam novel ini.
106
Melihat polemik tersebut, tidak heran jika Ahmad Tohari sebagai pengarang
dengan sifat humanisnya mengkritik kehidupan revolusi Indonesia yang sebagian
masalah sosialnya tertutup oleh peristiwa-peristiwa besar. Maka dalam penelitian
ini, penulis menekankan pada analisis masalah sosial masyarakat yang terdapat
dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari sebagai kelanjutan
dari analisis struktural pada tahap sebelumnya yang merujuk pada unsur intrinsik
sebagai pembangun karya sastra. Analisis ini menggunakan pendekatan sosiologi
sastra untuk memperoleh gambaran mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi
dan dialami tokoh pemuda sehingga terjebak dalam kemelut revolusi Indonesia.
Gambaran masalah sosial dianalisis dengan melihat kenyataan sosial yang terjadi
selama periode revolusi Indonesia sebagaimana latar cerita.
1) Konflik Indonesia-Belanda
Setelah kemerdekaan Indonesia diikuti peralihan kekuasaan sepenuhnya dari
Jepang ke tangan pemerintahan Republik, bangsa Indonesia kembali dihadapkan
pada permasalahan ancaman dari pihak sekutu yang membonceng pasukan tentara
NICA. Kedatangan Belanda diakui sebagai ancaman besar terkait isu kekuasaan.
Sebagaimana yang diketahui, proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1945 yang resmi menyatakan bebas dari belenggu penjajahan bangsa asing secara
tegas tidak diakui oleh Belanda, yang hendak kembali mengukuhkan kekuasaan.
Keinginan Belanda ini mendapat pertentangan keras, dan yang mendorong rakyat
Indonesia untuk melakukan perlawanan karena tidak ingin lagi dijajah pihak
kolonial Belanda.
Berlatarkan di waktu yang sama, kisah tersebut kembali diangkat Ahmad
Tohari sebagai persoalan awal yang dihadapi bangsa Indonesia dalam memotret
kekisruhan di periode revolusi Indonesia. Konflik yang digambarkan cenderung
bersifat kekerasan, yaitu berupa konflik bersenjata atau pertempuran yang banyak
terjadi di wilayah Jawa. Pihak Belanda ingin menduduki pulau-pulau di Indonesia,
terutama di Jawa dan Sumatera. Antusiasme rakyat Indonesia dalam mendukung
kemerdekaan sangat tinggi, dapat dilihat dari banyaknya pihak yang ikut terlibat
secara langsung dalam perang kemerdekaan, termasuk kelompok pemuda santri,
yaitu Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud. Bersama pasukan Republik, kelompok
107
pemuda terlibat dalam pertempuran berusaha mencegat laju tentara Belanda yang
hendak menduduki daerah Purwokerto dari arah Tegal.103 Perpindahan tentara
Belanda setelah terjadinya peristiwa tiga daerah, di mana Tegal merupakan bagian
dari wilayah Keresidenan Pekalongan yang berada di wilayah pesisir utara Jawa
Tengah.104 Daerah ini merupakan salah satu daerah di Jawa yang mengalami
pergolakan revolusi di bulan-bulan awal kemerdekaan. Maka dalam latar cerita,
daerah itu menjadi tempat pertama yang didatangi para pemuda untuk membantu
tentara Republik berperang melawan tentara kolonial Belanda.
Di lain hal, peran santri dalam perang kemerdekaan tidak semua dilakukan
atas kesadaran sendiri, melainkan didorong oleh fatwa yang beredar. Para tokoh
Islam kala itu menentang keras kedatangan Belanda dengan mengeluarkan fatwa
yang dijadikan kebijakan untuk semua umat muslim berperang mempertahankan
tanah air Indonesia. Fatwa berjihad dikeluarkan oleh Hadratus Sykeh asal Jawa
Timur yang mewajibkan seluruh umat Islam berperang melawan tentara kolonial
Belanda yang dianggap kafir.105 Fatwa yang dikeluarkan seperti halnya dengan
Muktamar NU ke 16 di Purwokerto, yang ringkasannya dimuat dalam Harian
Kedaulatan Rakyat pada 20 November 1945, ditandatangani oleh seorang ulama
besar, yaitu Hadratus Syeikh Asy’ari pada tanggal 17 September 1945.
Fatwa tersebut di antaranya berbunyi: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang kafir; (2) hukumnya orang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.106
Berpijak pada fatwa inilah bahwa peran serta ulama dan kiai dalam perang
kemerdekaan melawan Belanda sangat berarti dalam membakar semangat dan
memberikan dukungan moril pada pejuang kemerdekaan. Selain itu, tercetusnya
resolusi jihad menyatakan bahwa para ulama dan santri siap menghadapi berbagai
ancaman. Hal ini menunjukkan kiprah ulama dan santri yang secara tidak disadari
103 Lihat catatan kaki nomor 43. 104 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional
Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip, (Jakarta, Grafiti, 1990), h. 29. 105 Lihat catatan kaki nomor 57. 106 Zainul Milal Bizawie, Op. cit., h. 205.
108
berperan penting dalam usaha mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia
dari tangan kolonial Belanda.
Baik dari fatwa yang tergambar dalam LTLA ataupun dalam kenyataannya,
semakin menegaskan bahwa perang dilakukan sebagai bentuk perlawanan rakyat
Indonesia terhadap kolonialisme, selain jalan diplomasi yang dilakukan kaum elite
politik nasional. Dengan karakteristik perang yang melibatkan banyak pasukan
dan senjata, hal ini jelas memudahkan rakyat Indonesia untuk secara langsung dan
cepat menghalau pergerakan pasukan tentara Belanda yang berusaha menempati
beberapa wilayah di Indonesia. Sebagaima dinyatakan Clausewitz, bahwa perang
sebagai penggunaan kekerasan untuk memaksa lawan melakukan apa yang kita
inginkan. Keinginan itu dapat bermula dari banyak hal atau faktor, sebagaimana
yang dirumuskan para ahli, dari gejolak nasionalisme (Mazzini), keharusan untuk
menjaga hargadiri (Bismarck), kecintaan kepada tanah air (Fichte), naluri untuk
memusnahkan (Freud), atau bahkan apapun yang dianggap sebagai "kepentingan
nasional" suatu negara.107 Dalam konteks ini, semua faktor itu dapat dibenarkan
sebagai alasan kelompok pemuda berperang. Semangat kemerdekaan yang masih
memuncak dan dorongan pro Republik menumbuhkan suatu keharusan untuk ikut
mempertahankan kemerdekaan dari siapa pun dan dengan cara apapun. Maka dari
itu, diciptakannya perang dengan mengerahkan banyak pemuda di dalamnya
dinilai sangat tepat dan efektif untuk menghentikan dan memusnahkan kekuasaan
Belanda.
Perihal perang pada esensinya tidak hanya pada pertanyaan mengapa perang
itu terjadi sebagai sumber konflik, tetapi juga bagaimana perang itu dilakukan.
Perang yang terjadi saat itu merupakan perang gerilya yang dilakukan tentara
Republik dan para pemuda sebagai strategi berperang melawan tentara Belanda,
mengingat usaha tentara Belanda yang ingin sekali menduduki wilayah di Jawa.
Penerapan perang gerilya secara nyata dideskripsikan oleh Ahmad Tohari sebagai
berikut.
107 Clausewitz dalam Kusnanto Anggoro. “Perang, Tentara dan Senjata.” Makalah
disampaikan dalam Pengantar diskusi dalam Focus Goup Discussion Propatria, Hotel Santika. http://happyslide.top/doc/23113/perang--tentara-dan-senjata. Jakarta, 29 Oktober 2003. Di akses pada tanggal 17 Juni 2016 pada pukul 15.13 WIB.
109
.... Dengan muatan orang-orang berseragam loreng, kedua kendaraan itu terlihat sangat berwibawa. Aku juga masih bisa melihat tentara Republik di depan sana bangkit dari tempat pesembunyiannya lalu melemparkan sesuatu ke arah truk yang kedua. Ledakan yang sangat kuat menggema. Baru sekali itu aku mendengar ledakan yang demikian keras. Asap membumbung.108
Taktik perang gerilya dapat dilihat dari cara pasukan Republik yang berbaur
di lingkungan masyarakat dengan melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda
secara sporadis. Secara bebas dan terbuka pasukan Republik saling berhamburan
dan kemudian keluar dari persembunyian, lalu secara membabi buta melemparkan
senjata dengan tujuan melumpuhkan tentara Belanda. Sehingga seperti dinyatakan
oleh Sapto, tidak ada lagi ketidakadilan, penekanan, dan eksploitasi, khususnya
mengarah pada gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan.109
Di pihak lain, adanya peperangan sebagai bagian dari konflik ini, sekaligus
bentuk masalah sosial memperlihatkan betapa kacaunya situasi Indonesia di awal
kemerdekaan saat itu. Isu yang kemudian muncul ialah bagaimana dampak perang
kemerdekaan terhadap situasi masyarakat. Ahmad Tohari menggambarkan perang
yang begitu mengerikan berdampak pada fisik dan psikis mereka yang terlibat di
dalam perang tersebut. Dampak secara psikis biasanya terjadi pada orang-orang
yang baru menghadapi peperangan. Keterlibatan Amid di awal peperangan tanpa
pengetahuan dan pengalaman cenderung mengalami ketakutan saat perang terjadi.
Hal ini berpengaruh pada sikapnya yang tidak melakukan perlawanan saat di awal
berperang. Bagi Amid, yang terpenting hanya bagaimana menyelamatkan diri dari
bahaya peluru lawan.
Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh dengan kunang-kunang serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, meleset ke tengah jalan. Ya Tuhan.Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya, serdadu Belanda. Kemudian semuanya baur kembali.Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!110
108 Ahmad Tohari, Op. cit., hal. 20. 109 Ari Sapto. “Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa Revolusi
dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini. http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/4734. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2017.
110 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 24-25.
110
Sebuah pertempuran yang meminta banyak korban. Banyak sekali anak-anak Hizbullah. Tetapi ku kira tentara Belanda pun banyak yang mati. Maka aku heran mengapa kami berempat: aku, Kiram, Jun dan Kang Suyud dapat bertahan dan kembali ke kampung halaman dengan selamat. Kami mundur dan siap bertembur kembali sewaktu-waktu.111
Selain ketakutan dan menghalangi kebebasan masyarakat, terjadinya perang
juga menyebabkan kerugian dan penderitaan secara fisik. Perang yang melibatkan
orang banyak dapat saja merenggut nyawa yang tidak mungkin bisa digantikan.
Meskipun tidak dijelaskan secara langsung oleh Ahmad Tohari dalam kutipan,
pada kenyataannya perang akan berpengaruh pada kerugian dalam hal lingkungan
dan kenegaraan, sehingga akibat terjadinya peperangan pun sebenarnya tidak bisa
diperhitungkan.
Berbeda dengan penjajahan Belanda sebelumnya, empat tahun kemudian di
tahun 1949, pertentangan antara Indonesia dan Belanda berakhir singkat di jalur
diplomasi. Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintaah Republik lewat
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag menghasilkan kesepakatan bahwa
Belanda menyerahkan kedaulatan kepada federasi Indonesia, Republik dari segi
politik yang masih tetap utuh.112 Pengakuan ini secara langsung dan definitif
mengakhiri revolusi bersenjata melawan tentara Belanda, sehingga Belanda secara
resmi tidak lagi menjadi musuh, dan sekaligus membebaskan rakyat Indonesia
dari tekanan kolonialisme.
Melihat situasi konflik yang terjadi selama kurun tahun 1946-1949, dapat
dikatakan bahwa perang dan perlawanan rakyat merupakan simbol dari konflik
Indonesia dan Belanda di periode revolusi. Perjuangan senjata dilakukan rakyat
termasuk pemuda di dalamnya untuk mempertahankan kemerdekaan, selain jalur
diplomasi dilakukan pemerintah. Meskipun dilakukan sebagai bentuk pengabdian,
pada faktanya perang yang bersifat kekerasan membawa dampak yang luas. Selain
disorganisasi, juga penderitaan rakyat tidak hanya secara fisik tetapi juga mental,
sehingga menjadi masalah sosial yang sulit dipecahkan pada saat itu.
111 Ahmad Tohari, Op. cit, h. 55. 112 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara
Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949 oleh Hasan Basri, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 194.
111
2) Kemiskinan
Keadaan Indonesia selama pergolakan revolusi berada dalam situasi krisis
yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial di dalam masyarakat. Keadaan
ini terlihat dari masalah kemiskinan yang semakin meluas dalam berbagai aspek
kehidupan. Jika melihat situasi saat itu, di mana sedang terjadi perubahan secara
besar-besaran dan peperangan membuat pejuang seperti Amid harus hidup serba
kekurangan dan terbatas. Dengan kecenderungan ini bahwa kekurangan dalam diri
yang membuat seseorang tidak mampu memelihara dan memanfaatkan dirinya
sebagaimana mestinya, sehingga mengalami kemiskinan di masyarakat.
Terkait isu ini, gambaran kemiskinan dalam berbagai hal pun tidak lepas
dari pengamatan Ahmad Tohari yang direpresentasikan oleh beberapa tokoh cerita
di dalam novel ini. Di awal keikutsertaan Amid dalam perang kemerdekaan sudah
dapat dilihat kemiskinan dalam hal kurangnya pengetahuan atau wawasan tentang
situasi sosial politik, tentang kembalinya pemerintah Belanda menjajah Indonesia.
Pengetahuan Amid hanya sebatas bahwa Indonesia sudah merdeka dari penjajahan
Jepang dan terjadi perang besar di Surabaya.113 Dari latar sosial, Ahmad Tohari
memberikan gambaran adanya perbedaan yang nyata antara situasi di kota dan di
desa pasca kemerdekaan Indonesia, di mana masyarakat di desa belum merasakan
perubahan yang berhubungan dengan revolusi. Perbedaan Situasi ini ditegaskan
oleh Adnan dalam artikelnya Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat
Sejarah, bahwa pada mulanya kekacauan revolusi hanya terasa di kota-kota pusat
penduduk sekutu, sementara di daerah pedesaan boleh dikatakan perjuangan telah
selesai lantaran di desa merasa secara tidak langsung bersentuhan dengan agresi
militer asing.114 Meskipun demikian, kemelut revolusi tetap dirasakan masyarakat
pedesaan karena begitu hebatnya masalah ini menggetarkan bangsa Indonesia.
Kurangnya pemahaman Amid yang ditunjukkan Ahmad Tohari dalam novel
ini sebenarnya tidak hanya terbatas pada situasi sosial politik, tetapi juga terkait
pengetahuan perang itu sendiri. Meski disimbolkan sebagai pemuda yang tidak
113 Lihat catatan kaki nomor 2. 114 Adnan, Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah.
https://www.scribd.com/document/354560872/Wajah-Revolusi-Indonesia-Dalam-Perspektif-Filsafat-Sejarah-pdf. Diakes pada tanggal 12 Juni 2016 pukul 20.45 WIB.
112
paham revolusi dan berperang, namun Amid digambarkan memiliki kemampuan
silat yang umumnya banyak dipelajari kaum santri. Maka secara rasional, perang
diibaratkan Amid seperti perkelahian.115 Namun pandangan Amid berubah ketika
secara langsung berperang. Dalam hal ini, Amid mengalami perubahan pandangan
bahwa perang yang diketahuinya bukan lagi sebatas perkelahian, melainkan
menggunakan senjata api yang bisa mematikan lawan.
Bahkan tentang perang pun aku sulit membayangkan. Aku hanya bisa meraba-raba, perang adalah perkelahian yang melibatkan orang banyak dan menggunakan senjata. Nah, bila perang memang seperti berkelahi, aku merasa kami siap karena kami sudah belajar silat. Anehnya, aku merasa ngeri ketika membayangkan bedil yang dulu pernah kulihat disandang para tentara jepang.116
Sebagaimana dalam kutipan itu, pengetahuan yang minim membuat Amid
tidak mampu berperan dalam peperangan karena tidak memiliki keahlian militer.
Yang terjadi adalah Amid hanya diam dan bersembunyi dan tidak ikut berperang
ketika masing-masing pasukan saling melemparkan serangan. Dengan kata lain,
kurangnya pengetahuan akan berdampak pada sulitnya pemuda beradaptasi dan
berpartisipasi dalam peperangan.
Rendahnya pendidikan merupakan persoalan lain dari masalah kemiskinan
yang dialami kelompok pemuda dalam novel ini. Kiram dan Jun merupakan tokoh
tambahan yang memiliki pendidikan rendah dibanding tokoh Amid.117 Adanya
perbedaan tingkat pendidikan dari masing-masing tokoh ini menunjukkan belum
meratanya pendidikan pada masyarakat pedesaan saat itu. Salah satu penyebab
dasarnya adalah karena pembangunan yang belum matang dan menyeluruh, serta
kurangnya kesadaran pemuda akan pentingnya pendidikan itu sendiri, sehingga
tidak semua pemuda memiliki tingkat pendidikan yang sama. Dijelaskan Nyoman
Kutha Ratna dalam bukunya Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, bahwa
dikaitkan dengan lamanya masa kolonialisme, proses dimulainya pendidikan bagi
pribumi sangat lambat.118 Merangkum pernyataan Brugmans dan Kartodjirjo, dari
statistik penduduk tahun 1930, ternyata 93% bangsa Indonesia masih buta huruf,
115 Lihat catatan kaki nomor 31. 116 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 16-17. 117 Lihat catatan kaki nomor 6. 118 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 48
113
jadi hanya 7% yang melek huruf. Keterlambatan ini sengaja disebabkan adanya
politik antikulturasi di satu pihak, dorongan untuk memperbodoh pribumi dengan
tujuan mencegah gerakan kebangsaan di pihak lain.119 Oleh karena itu, pendidikan
pada awalnya hanya diutamakan bagi anak-anak Belanda. Kondisi demikian pada
gilirannya memperlihatkan pendidikan Indonesia belum menunjukkan kemajuan
yang berarti.
Dalam kutipan yang sama, Ahmad Tohari menaruh perhatian pada nasib dan
peluang pemuda akibat rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Baik Kiram
dan Jun, keduanya tidak dapat memanfaatkan peluang menjadi tentara Republik
karena tidak memiliki ijazah sekolah rakyat sebagai ketentuan utama menjadi
tentara Republik resmi. Padahal peluang itu merupakan kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk memberikan jaminan kepada para pemuda setelah usaha mereka
berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, Ahmad
Tohari menekankan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan generasi muda
yang dapat pula dikaitkan dengan konteks saat ini. Pendidikan rendah akan
menghambat dan mempersempit peluang seseorang dalam mendapatkan pekerjaan
untuk menjamin kesejahteraan hidup. Bahkan sampai saat ini, pendidikan masih
menjadi syarat utama dalam pemenuhan tenaga kerja. Semakin baik pendidikan
seseorang, maka akan semakin besar peluang mereka untuk mencapai mobilitas ke
level atas.
Selain itu, varian kemiskinan dideskripsikan Ahmad Tohari juga mengenai
tidak terpenuhinya kebutuhan primer yang direpresentasikan oleh semua tokoh
laskar Darul Islam, yaitu Amid, Kiram, Jun, dan Kang Suyud. Pada masa revolusi,
gerakan Darul Islam yang sempat menjadi ancaman, kini berada dalam ancaman
karena operasi militer yang dilakukan Republik. Hal ini membuat kondisi pasukan
yang semakin menipis. Kelompok Darul Islam harus bersembunyi di hutan Jati
untuk melindungi diri dari buruan tentara Republik dan gerombolan komunis yang
berusaha memanfaatkan nama mereka. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk
memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan dan karena lokasi hutan yang
119 Nyoman Kutha Ratna, Op. cit., h. 48-49.
114
terpencil dan tidak banyak hunian, serta hubungan dengan petinggi Darul Islam
yang sudah lama terputus.
“….Yang kami harapkan lewat waktu itu adalah bus tua yang biasa membawa orang-orang pulang dari pasar. Kami bermaksud merampas belanjaan yang mereka bawa.Jadi hanya kebetulan bahwa yang datang pertama ternyata sebuah jip militer.120
Ketidakmampuan kelompok Darul Islam memenuhi kebutuhan dasar pada
akhirnya menimbulkan perilaku sosial, yaitu tindakan kejahatan yang merupakan
masalah sosial. Mereka yang terjebak dalam situasi ini tidak mudah memperoleh
kebutuhan primer, maka merampok menjadi pilihan untuk mendapat memenuhi
kebutuhan pangan agar tetap bisa bertahan hidup di tengah hutan.
Kehidupan hutan yang jauh dari hunian dan hal-hal yang dibutuhkan
membuat seseorang harus mampu melakukan apa saja meski harus bertentangan
dengan norma sekalipun. Ahmad Tohari kembali menggambarkan ini pada laskar
Darul Islam ketika menculik seorang paraji untuk membantu kelahiran Umi di
hutan Jati.121 Betapa sulitnya kehidupan yang dialami laskar Darul Islam bukan
hanya pada masalah kebutuhan pangan, tetapi juga pelayanan kesehatan yang juga
merupakan kebutuhan esensial bagi manusia. Dalam bagian ini jelas, pemilihan
hutan sebagai latar tempat mempengaruhi timbulnya masalah kemiskinan yang
dialami laskar Darul Islam. Kondisi hutan Jati yang serba terbatas mempengaruhi
keterbatasan laskar Darul Islam dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tidak
tercapainya kesejahteraan hidup selama mereka bertahan di hutan Jati.
Munculnya masalah kemiskinan sebenarnya didasari oleh banyak faktor
yang menghambat, selain faktor internal dari individu itu sendiri, hal lain karena
faktor eksternal yang berkaitan dengan struktur sosial di masyarakat. Kemiskinan
demikian cenderung dialami oleh seseorang yang tidak mampu memanfaatkan
sumber daya yang tersedia dengan baik karena kebijakan pemerintah yang tidak
seimbang, sehingga menurunnya tingkat kesejahteraan. Karena kondisi itu, maka
muncullah masalah kemiskinan struktural umumnya terjadi pada petani miskin
yang tidak memiliki tanah sendiri.
120 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 10-11. 121 Lihat kutipan nomor 56.
115
Dalam novel LTLA, bentuk kemiskinan struktural yang menjadi perhatian
Ahmad Tohari diperlihatkan melalui tokoh Makdisan, seorang petani huma yang
tinggal di hutan Jati. Makdisan tidak memiliki aset tanah untuk diproduksi, maka
ia menggarap tanah hutan dengan sistem sewa atau bagi hasil, di mana sebagian
hasil penenya diberikan kepada pemangku tanah kehutanan sebagai uang ganti
sewa atas tanah yang digarapnya.122 Potret kemiskinan ini menjadi sangat kontras
karena petani miskin seperti tokoh Makdisan tidak memiliki alternatif lain untuk
menentukaan pilihan yang lebih baik, selain bergantung pada orang-orang yang
kelas ekonomi di atasnya. Meskipun kehadiran tokoh ini tidak berpengaruh pada
permasalahan yang dihadapi Amid sebagai tokoh utama, akan tetapi apa yang
dialami Makdisan ini menunjukkan adanya masalah kemiskinan yang disebabkan
struktur sosial pada masa itu. Kebijakan yang ada masih bersifat feodal, sehingga
menimbulkan ketidakadilan dan ketidakberdayaan masyarakat miskin karena terus
dieksploitasi, yang secara tidak langsung hal ini dapat menghambat kesejahteraan
masyarakat.
Dari dimensi kemiskinan ini, dapat dikatakan bahwa kemiskinan merupakan
masalah sosial yang dihadapi bangsa Indonesia sudah sejak lama, bahkan sebelum
dan setelah Indonesia merdeka. Tekanan kolonialisme yang sekian lama kemudian
revolusi membawa pemuda Indonesia pada keadaan serba kekurangan, dalam hal
pendidikan, kebutuhan primer dan lainnya. Adanya masalah ini membuat pemuda
sulit menyesuaikan diri dengan kondisi sosial politik yang terjadi, memperoleh
peluang baik, serta memenuhi kebutuhan hidup yang berakibat munculnya tindak
kejahatan yang juga menjadi bagian dari masalah sosial.
3) Kesenjangan Sosial
Fenomena kemiskinan yang ada membawa perbedaan kelas sosial yang
menyebabkan terjadinya masalah kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat.
Ketika seseorang memiliki sesuatu yang berharga, maka ia akan menempati kelas
yang lebih tinggi dibanding pihak lain. Adanya perbedaan mencolok itu karena
tidak sesuainya nilai-nilai dengan tindakan sosial yang nyata ini, yang kemudian
memunculkan masalah kesenjangan sosial di masyarakat, yang turut disinggung
122 Lihat kutipan nomor 55.
116
Ahmad Tohari dalam novel LTLA. Isu ini difokuskan pada perbedaan status sosial
antara pemuda dan tentara Republik, yang menjadi perhatian pengarang sebagai
latar belakang terjadinya kesenjangan. Ketidakseimbangan keuntungan diperoleh
Amid dan Kiram yang sering kali diperlakukan tidak adil oleh tentara Republik,
terutama dalam pembagian kerja karena posisi mereka yang hanya sebagai
pemuda yang diperbantukan. Maka dari tindakan diskriminatif ini memperlihatkan
sikap dominasi tentara Republik yang ditunjukkan Amid sebagai berikut.
“Hei, kamu berdua! Cari kapak dan tebang pohon trembesi di sana.”Seseorang berseragam dril dan menyandang pistol memberi perintah kepada kami. Tentara itu memakai peci hitam yang dipasang agak miring, aku dan Kiram kebingungan.
“Kalian dengar? Cari kapak! Itu di sana ada kampung. Pinjam kapak di sana dan tebang pohon trembesi itu. Rintangan deket jembatan masih terlalu tipis. Hayo! Hayo!123
Dari suasana yang tergambar dalam kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana
perlakuan tentara Republik yang sewenang-wenang terhadap kelompok pemuda.
Peran pemuda yang hanya membantu segala keperluan perang memberikan kesan
tentara Republik mengintimidasi dan menekan pemuda dengan memaksa dan
memanfaatkan tenaga pemuda, sehingga bertendensi tentara Republik menguasai
kelompok pemuda. Hal ini amat merugikan kelompok pemuda, bahkan membuat
semakin tertindas karena sebagai golongan yang lemah mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan tentara Republik.
Di lain hal, Ahmad Tohari menekankan bagaimana persoalan kesenjangan
yang melebar berpengaruh pada penghormatan yang diterima kelompok pemuda.
Pendidikan formal yang dimiliki tentara Republik dihubungkan dengan jabatan
menempatkan posisi tentara Republik berada di kelas yang lebih tinggi dibanding
para pemuda. Karena posisi itulah, tentara Republik sering kali mendiskreditkan
pemuda sebagai kelompok yang berada di kelas bawah yang dianggap bukan
bagian dari pemerintah. Pembagian kelas ini berakibat buruk pada kesempatan
kelompok pemuda, terlebih saat pendidikan dijadikan standarisasi untuk merekrut
pemuda menjadi pasukan tentara Republik resmi. Kiram yang mengalami hal ini
memang mempunyai pendidikan rendah dibanding Amid, juga kekurangannya
123 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 20.
117
karena buta huruf. Jadi, dengan latar belakangnya sebagai pemuda desa yang tidak
mengecam pendidikan, membuat Kiram sering kali dicela karena tidak memiliki
kemampuan membaca ataupun menulis, seperti yang diungkapkan Kiram berikut.
Kiai Ngumar menganguk-angguk. “Dan mereka pernah menghina saya karena saya buta huruf,” sela Kiram.124
Penghinaan tentara Republik membuat Kiram merasa terhina dan sakit hati,
sehingga sulit untuk bergabung dengan tentara Republik. Apa yang dialami Kiram
menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dapat menentukan posisi seseorang di
dalam masyarakat. Orang yang berpendidikan relatif rendah akan menempati
posisi kelas bawah yang memungkinkan mengalami penindasan dari orang-orang
kelas atas. Permasalahan kesenjangan sosial inilah yang akhirnya akan memicu
kebencian yang berimbas pada konflik antarkelas sosial sebagai konsekuensi dari
adanya diskriminasi sosial terhadap kelompok pemuda.
4) Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern
Kontribusi pemuda dalam perang kemerdekaan memperlihatkan eksistensi
pemuda dalam pergolakan revolusi. Namun, perubahan yang relatif cepat di masa
itu tidak jarang menimbulkan permasalahan di kalangan pemuda sebagai akibat
penyesuaian dengan situasi yang baru. Isu pemuda ini menjadi salah satu bagian
di periode revolusi Indonesia yang juga dibicarakan Ahmad Tohari dalam novel
LTLA. Dalam masalah ini, Kiram dan Kang Suyud merupakan tokoh yang paling
banyak mendapat sorotan pengarang, sebab keduanya memiliki ambisi yang tinggi
terhadap sesuatu yang akhirnya turut menyeret tokoh utama, yakni Amid dalam
masalah-masalah generasi muda.
Seperti yang tergambarkan, potret masalah pemuda dalam novel ini berawal
dari perlawanan fisik yang tidak terima bangsanya kembali mendapat tekanan dari
tentara kolonial Belanda. Dorongan pro Republik muncul di kalangan pemuda
santri untuk terlibat dalam perang kemerdekaan bersama tentara Republik,125
meskipun tanpa pengetahuan yang jelas dan konsekuensi dari sikap ini.126 Adanya
keterbatasan ini membuat Amid dan Kiram sering kali tidak mampu bersikap
124Ahmad Tohari, Op. cit., h. 37. 125 Lihat kutipan nomor 4. 126 Lihat kutipan nomor 75.
118
positif karena sulit menyesuaikan diri dengan aturan dan sikap tentara Republik
yang kurang menyenangkan dan terkadang sewenang-wenang. Terutama Kiram
yang selalu mengeluh ketika mendapat perintah dari tentara Republik. Meskipun
begitu, kesediaan mereka untuk tetap berperang melawan Belanda menunjukkan
adanya sikap nasionalisme pemuda, bahwa mempertahankan kemerdekaan negara
merupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai rakyat Indonesia, di
samping peran mereka yang memang sangat dibutuhkan.
Peran penting pemuda dalam perang kemerdekaan pun diakui Onghokham,
dengan pernyataan bahwa yang tergolong pemuda umumnya mereka yang berusia
di bawah 30 tahun, di mana semangat dan tenaga fisik pemuda dibutuhkan saat
perang dan revolusi.127 Namun dalam konteks ini, di usia demikian segala sesuatu
yang dialami pemuda bersifat seketika, cenderung dinamis dan bergejolak. Hal ini
muncul sebagai respon terhadap perubahan yang relatif cepat, sekaligus pencarian
identitas. Berbagai gejolak itu dapat berupa semangat yang berkobar dan ambisi
terhadap sesuatu, sebagaimana yang diperlihatkan Amid pada tokoh Kiram yang
“bersikukuh hendak memiliki senjata,128 sehingga berani merampas senjata milik
tentara Belanda. Keberanian Kiram ini tidak terlepas dari minimnya pendidikan,
tetapi diimbangi dengan ambisi yang kuat, akhirnya membuat pemuda cenderung
akan melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Karena ambisinya ini, Kiram
mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang nakal, sebab merasa bangga dan
gagah dapat menyandang senjata. Maka kenakalan-kenakalan Kiram ditunjukkan
seperti berikut.
… Kiram menunggu sesaat, lalu melompat dari tempat persembunyiannya dan bersicepat menodongkan senjatanya ke perut Hianli. Paman Asui itu, yang masih berdiri memegangi sepeda, terpaku. Anjingnya menggonggong dan terus menggonggong. Kiram menyuruhku mengambil bedil Hianli yang sudah diletakkan di tanah atas perintahnya. Tanganku gemetar. Anjingnya tak henti-hentinya berbalik.129
Dari kutipan di atas tampak bahwa masalah kelompok pemuda meluas pada
perilaku menyimpang. Sifat ambisius yang dimiliki, tidak hanya membuat Kiram
127 Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 142. 128 Lihat catatan kaki nomor 41. 129 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 31-21.
119
berani mencuri, tetapi melakukan penganiayaan yang jelas melanggar norma yang
ada. Tindakan yang dilakukan Kiram ini merupakan bentuk pelampiasan atas rasa
kecewa, tersisih dan bencinya kepada tentara Republik yang bertindak sewenang-
wenang dan juga Hianli sebagai mata-mata Belanda. Dengan ini, dapat dikatakan,
tekanan situasional yang ada terjadi itu sangat berpengaruh dalam membentuk
pribadi dan tingkah laku Kiram, sehingga menjadikannya pemuda delikuen yang
sering kali berperilaku buruk
Pada bagian ini, Ahmad Tohari juga memberikan gambaran bahwa peran
senjata selama perang kemerdekaan bukan sekedar sebagai alat pertempuran. Bila
muncul anggapan senjata memainkan peran yang lebih kecil dibanding semangat
juang,130 hal ini justru tidak tergambar dalam cerita LTLA. Peran penting senjata
tidak hanya dideskripsikan sebagai alat peperangan, tetapi juga simbol keberanian,
kejantanan dan harga diri pemiliknya.131 Melalui tokoh Kiram ini, Ahmad Tohari
memberikan gambaran bahwa tidak semua pemuda menaruh ambisi mereka untuk
kepentingan nasional. Sebagian pemuda dapat saja memiliki ambisi tersembunyi,
yang menempatkan senjata di atas semangat juang mereka untuk kepentingan
pribadi, seperti mendapat penghargaan dan pengakuan bahwa pemuda merupakan
sosok yang gagah berani, hebat, dan memiliki kesetaraan dengan pasukan tentara
Republik, bahkan peran mereka penting dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dalam menghadapi perubahan, aspirasi pemuda sering kali bertentangan
dengan golongan tua menjadi permasalahan lain yang dihadapi pemuda saat itu.
Muncul perdebatan terkait jalan yang ditempuh pemuda dalam mempertahankan
kemerdekaan. Selain masalah kesenjangan, penolakan pemuda bergabung dengan
tentara Republik juga merujuk pada tujuan mempertahankan kemerdekaan dengan
barisan sendiri yang semua anggotanya Islam.132 Reaksi ini muncul melihat
realitas sebagian pasukan Republik yang tidak beribadah. Sementara dipaparkan
Amid, fanatisme terhadap Islam menjadikan Kang Suyud sebagai tokoh pemuda
revolusioner yang menginginkan kehidupan berasaskan Islam, sehingga akan
130 Kusnanto Anggoro, Op. cit., h. 1 131 Lihat catatan kaki nomor 13. 132 Lihat catatan kaki nomor 14.
120
membandingkan konsep perjuangan itu dengan ilmu agama yang dipahaminya.133
Persoalan ini menjadi serius manakala terjadi kekeliruan dalam menginterpretasi
pandangan nasionalis Kiai Ngumar, bahwa siapapun harus dapat saling bekerja
sama karena semuanya merupakan pribumi, yang dianggap Kang Suyud tidak
sesuai dengan kebenaran Islam. Dengan kebenaran mutlak itu, maka sulit untuk
Kang Suyud menerima paham atau ajaran lain, yang akhirnya memicu terjadinya
konflik antara kedua generasi itu sebagai akibat ketidakpatuhan pemuda terhadap
orang tua.
Dalam konteks ini, pandangan Kiai Ngumar menggarisbawahi pentingnya
pemuda bergabung dengan tentara Republik sebagai faktor untuk menyatukan
bangsa di tengah menurunnya nasionalisme. Tersirat keinginan agar pemuda lebih
membuka diri dan bertoleransi kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang
kehidupannya. Di samping itu, sikap pemuda mengeksklusifkan diri tidak dapat
menjamin kehidupan para pemuda karena Hizbullah bersifat sukarela, sedangkan
tentara Republik merupakan bagian dari pemerintah. Pandangan ini disampaikan
secara langsung sebagai saran, terlebih fase pemuda yang masih dalam proses
pendewasaan. Apa yang dipikirkan masih berhubungan dengan sifat emosional,
sehingga perlu bimbingan dan arahan yang jelas agar tujuannya tidak menjadi
lain. Perbedaan antara Hizbullah dan tentara Republik ditekankan Ahmad Tohari
sebagai berikut.
…. Mekskipun sama-sama bertempur melawan Belanda, ada perbedaan yang cukup mendasar antara Republik dan Hizbullah. Tentara Republik adalah pasukan resmi. Artinya, mereka adalah bagian sah Republik. Maka selama Republik berdiri mereka mutlak diperlukan kehadirannya. Republik pun wajib memberi gaji, setidaknya kelak bila negeri sudah normal.134
… “Tak ada perang yang tanpa akhir, dalam hal ini aku cenderung lebih suka kalian bergabung dengan tentara resmi.” 135
Dalam kutipan di atas, perbedaan yang disampaikan merujuk pada jaminan
kehidupan kelompok pemuda kedepannya. Bahwa perang akan terus terjadi, maka
menjadi tentara Republik merupakan pilihan tepat di tengah situasi revolusi yang
133 Lihat catatan kaki nomor 50. 134 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 36 135 Ibid., h. 38.
121
tidak stabil. Menjadi tentara Republik resmi akan menjamin kelangsungan dan
meningkat taraf hidup kelompok pemuda, serta hak-hak mereka akan dilindungi
pemerintah. Jadi bisa ditafsirkan, pentingnya nilai nasionalisme yang ditekankan
pengarang lewat Kiai Ngumar tidak hanya berorientasi pada eksistensi kesatuan
bangsa, tetapi juga masa depan kelompok pemuda dalam mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan mereka.
Bisa dipahami dalam ketidakstabilan situasi revolusi, perubahan sikap dan
pola pikir yang ditunjukkan pemuda cenderung berhubungan dengan keyakinan
mereka terhadap persoalan yang menjadi perhatiannya. Orientasi untuk mencapai
kemerdekaan perlahan bergeser pada kepentingan pribadi untuk mewujudkan cita-
cita sendiri. Di sini Ahmad Tohari menekankan bahwa peranan pemuda tidaklah
sendiri, melainkan dipengaruhi oleh gerakan politik yang banyak berkembang saat
itu, salah satunya gerakan Darul Islam yang bertujuan mendirikan negara Islam.136
Kepentingan yang sama untuk memajukan Islam, sangat mudah bagi kelompok
pemuda berpartisipasi dalam gerakan Darul Islam, apalagi jika tidak diimbangi
pengetahuan yang jelas. Motif ini tidak semata-mata karena doktrin Islam yang
sejalan, melainkan anggapan gerakan Darul Islam dapat membantu merefleksikan
nilai-nilai Islam. Maka adanya kesempatan ini menjadi suatu keharusan bagi Kang
Suyud sebagai muslim ortodoks mendukung gerakan Darul Islam sebagai gerakan
sosial politik yang mendukung pelaksanaan syariat Islam dalam masyarakat.
Mengikuti pernyataan Onghokham, idealisme pemuda menjadi faktor para
pemuda bisa dengan mudah bergerak dan bertindak mencapai cita-cita mereka.
Namun, idealisme yang umumnya dibarengi ambisi dan emosi yang besar justru
menjadikan pemuda sebagai umpan peluru yang paling cocok dalam revolusi itu
sendiri, terlebih bila tidak didukung pengetahuan yang jelas.137 Maka dari itulah,
peran mereka banyak dimanfaatkan oleh segelintir kelompok untuk memobilisasi
politik semata. Bagi pemuda dalam novel ini, kecenderungan mereka lebih kepada
aksi tanpa mencari tahu seberapa besar fungsi mereka dalam kelompok itu. Hal ini
membuat mereka terjebak dan terdesak dalam gerakan pemberontakan yang tidak
136 Lihat catatan kaki nomor 36. 137 Onghokham, Op. cit., h. 142.
122
dikehendaki. Perjuangan Islam yang dilakukan Amid dan kawannya tidak lebih
dari perjuangan yang hampa karena tidak pernah ada faedah yang mereka terima.
“Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat aku. Aku, dan tentu kamu juga, sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan surut.138
“Aku sudah perkirakan, tidaklah mudah bagi para laskar DI untuk kembali ke masyarakat. Kebencian mereka, terutama orang-orang komunis, terhadap kami tentulah tidak serta merta hilang karena kami telah mendapat pengampunan Pemerintah. Apalagi kami tahu, semua perampokan dan pembunuhan terhadap warga masyarakat menjadi beban dosa kami.139
Dengan stigma sebagai pemberontak, konsekuensi yang diterima kelompok
pemuda tidak hanya hukuman resmi dari pemerintah Republik, tetapi juga sanksi
sosial dari masyarakat. Sanksi sosial jauh lebih besar, sebab penilaian masyarakat
sangat berpengaruh pada kehidupan kelompok pemuda di dalam bermasyarakat.
Kebanyakan laskar Darul Islam akan sulit diterima masyarakat karena dipandang
sebagai pengacau yang membuat keresahan dan kekacauan, sehingga tidak mudah
bagi mereka mengintegrasi dan berpartisipasi di dalam masyarakat.
5) Konflik Antarkelompok revolusioner
Bersamaan dengan revolusi nasional saat itu, konflik meluas pada pertikaian
internal di dalam Republik yang banyak terjadi di daerah Jawa. Perselisihan saling
terkait melibatkan kaum revolusioner yang bukan hanya menentang kembalinya
Belanda, tetapi juga tatanan sosial politik pemerintahan. Dalam hal ini, perbedaan
pandangan mengenai dasar paham dan strategis memicu terjadinya perdebatan dan
persaingan di antara elite alternatif atau kelompok kemasyarakatan yang berujung
pada bentrokan antarkelompok revolusioner.
Pihak berkonflik yang digambarkan Ahmad Tohari dalam LTLA melibatkan
kelompok pemuda dalam kalangan santri dan tentara Republik, yang keduanya
berada dalam satu pimpinan melawan Belanda. Seperti yang sudah dikemukakan,
munculnya pertikaian dilatarbelakangi oleh sikap dan prasangka terhadap tentara
Republik. Perilaku tentara Republik sering kali membedakan kedudukan pemuda
138 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 13. 139 Ibid., h. 123.
123
karena tidak memiliki pendidikan umum140 dan militer yang layak,141 sehingga
menimbulkan kebencian dan kekecewaan di kalangan kelompok pemuda. Hal lain
mengenai perselisihan paham terkait kebijakan dan prasangka terhadap tentara
Republik yang dinilai kafir karena tidak sembahyang.142 Pendapat ini didasarkan
pada penilaian Kang Suyud sebagai seorang muslim ortodoks yang menerapkan
syariat Islam dalam kehidupannya. Ketika praktik keagamaan ini tidak ditemukan
dalam kalangan tentara Republik yang juga merupakan kaum muslim, maka
muncul rasa antipati terhadap tentara Republik. Akumulasi kekecewaan itu yang
akhirnya mendorong kelompok pemuda membentuk barisan militer sendiri untuk
lepas dari sistem yang berlaku dibanding menyatu dengan tentara Republik, akan
tetapi tetap satu tujuan melawan kolonialisme. Akibatnya, kelompok pemuda dan
pasukan tentara Republik yang semula bersatu menjadi terpisah-pisah, bahkan
menimbulkan ketegangan yang berkepanjangan.
Ketegangan antara santri dan abangan di masa revolusi sebenarnya bukan
persoalan baru. Pada faktanya sebagaimana dikemukakan Ricklefs, ketegangan
antara dua kelompok itu meningkat karena desakan untuk menjalani kehidupan
beragama yang lebih taat.143 Banyak dari mereka sengaja tidak bergabung dengan
tentara Republik dan lebih memilih membentuk laskar di luar Republik. Hal ini
menimbulkan pandangan miring dari masing-masing kelompok revolusioner.
Laskar Hizbullah yang terlahir kuat dari dalam masyarakat cenderung memandang
tentara Republik sebagai tentara bayaran. Di pihak lain, tentara Republik dengan
pendidikan militer dan status mereka yang resmi di bawah pemerintahan
cenderung memandang Hizbullah bukan kelompok yang sah, amatir dan sangat
mengganggu.144
Dalam konflik ini, keputusan membentuk Hizbullah berhasil membebaskan
kelompok pemuda dari diskriminasi tentara Republik, akan tetapi tidak dengan
konflik yang justru semakin intens. Ketegangan berpengaruh pada pergerakan dua
140 Lihat kutipan nomor 79. 141 Lihat kutipan nomor 78. 142 Lihat kutipan nomor 32. 143 M.C. Ricklefs, Op. cit., h. 441. 144 Robert Bridson Cribb, Op. cit., h. 61.
124
kelompok tersebut dalam kelompok itu dalam melawan Belanda, di mana masing-
masing kelompok memiliki aturan penyerangan sendiri. Selain itu, keterlibatan
emosional yang besar dari masing-masing kelompok dengan mudah menimbulkan
bentrokan fisik. Perubahan-perubahan itu tampak dirasakan Amid seperti berikut.
Perubahan yang terasa terjadi pada segi yang menyangkut hubungan dengan kelompok-kelompok tentara resmi. Jelas sekali mereka seperti mengambil jarak dengan kami. Masing-masing bertempur dalam garis komando sendiri-sendiri. Bahkan beberapa kali terjadi salah pengertian antara kami dan mereka, sehingga hampir terjadi baku tembak.145
Isu konflik antara Hizbullah dan tentara Republik dalam novel LTLA dapat
dikatakan mengalami perkembangan yang sangat amat cepat. Konflik berkembang
dengan kecenderungan kedua belah pihak yang saling bermusuhan. Kondisi ini
kian kompleks dengan adanya pihak lain yang terlibat, yaitu kelompok komunis
yang sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di masa revolusi, keberadaan kelompok
komunis yang diwakili partai PKI yang mendapat larangan keras karena berusaha
mengembangkan paham komunis yang jelas bersebrangan dengan sila kesatu
Pancasila dan usaha pemberontakan untuk meruntuhkan kekuasaan pemerintahan
Republik.146 Dalam konflik ini, gerombolan komunis yang menamai diri mereka
Gerakan Siluman berusaha melakukan pemberontakan di Kebumen dengan tujuan
menghalangi perpindahan laskar Hizbullah ke pemerintahan Republik. Kekacauan
dilakukan sebagai bentuk balas dendam terkait peristiwa Madiun di tahun 1948.147
.... Mereka adalah pengkhianat yang mencatut nama pasukan Republik yang tidak suka terhadap masuknya anak-anak bekas Hizbullah ke pasukan Pemerintah. Pendapat ini sebenarnya gamblang dan mengarah pada tuduhan
145 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 46. 146 Samsuri, Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi,.
https://www.researchgate.net/publication/307182052_Komunisme_dalam_Pergumulan_Wacana_Ideologi_Mastumi. Diakses pada tanggal 15 November 2017 pada pukul 22.50 WIB.
147 Pengangkatan Gubernur Militer mempersempit gerakan komunis membangun kekuasaan di Solo, maka pasukan komunis keluar dari solo dan bergerak ke Madiun untuk merancang untuk pembentukan sebuah RRI. Pada 18 September, PKI menyatakan diri tidak terikat lagi pada Republik Indonesia Soekarno-Hatta. Dan malam harinya usai menjawab pernyataan Soekarno, pasukan komunis mengadakan pembersihan di kota Madiun dan daerah-daerahnya yang diduduki. Pasukan komunis membunuh prajurit-prajurit yang tidak ingin mau menyerah. Pembersihan juga terjadi di kalangan partai politik, di mana semua pimpinan dan pembantu dibabat abis.Tak terkecuali pemuka agama dibunuh dalam usaha melaksanakan amanat revolusi marhaen. Hari-hari itu menjadi hari berdarah dan menjadikan Madiun seperti kota mati karena banyak mayat yang bergeletakan. Lihat di K.M.L Tobing, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville (Jakarta, PT. Gunung Agung, 1986) h. 113-117.
125
terhadap oknum-oknnum komunis. Dan semua orang tahu bahwa pembersihan terhadap oknum-oknum itu, terutama setelah terjadi makar Madiun di tahun 1948, belum sempat dilaksanakan secara intensif.148
Kutipan di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai keterlibatan
gerombolan komunis dalam konflik ini. Penyerangan yang dilakukan gerombolan
komunis dengan mencatut nama Republik bertujuan untuk semakin memperburuk
hubungan Hizbullah dengan tentara Republik, karena pasukan Republik dari awal
sudah menghalangi gerakan komunis. Apabila laskar Hizbullah menyatu ke dalam
Republik, maka akan semakin menghambat pergerakan kelompok komunis untuk
melebarkan kekuasaan komunisme. Akibat serangan itu, perpecahan antara laskar
Hizbullah dan tentara Republik pun menjadi definitif dan sulit dihindarkan lagi
karena saling dianggap sebagai pengkhianat dan pemberontak.
Dalam novel ini, Ahmad Tohari menghubungkan dinamika konflik internal
dengan konflik ideologis di tingkat pusat, yang kemudian memicu pemberontakan
Darul Islam. Kekacauan yang terjadi akibat serangan pihak komunis memaksa
Hizbullah bergabung dengan Darul Islam untuk melindungi diri dari ancaman
tentara Republik, selain juga ideologi karena ideologi Kang Suyud yang sejalan
dengan gerakan tersebut. Hal ini memunculkan polemik baru manakala ideologi
gerakan itu berseberangan dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara saat itu.
Dalam kontradiksi ini, Ahmad Tohari menekankan bahwa ideologi agama yang
dimanfaatkan Darul Islam sebagai kekuasaan tidak diakui keabsahannya, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, sehingga tetap berada di luar pemerintahan
Republik.149 Penolakan terhadap Pancasila kemudian berlanjut pada perlawanan
terhadap pemerintah oleh Darul Islam. Dengan keterlibatan Darul Islam, konflik
yang sebelumnya mengenai persaingan status sosial berkembang ke ranah politik,
di mana kelompok pemuda sebagai laskar Darul Islam memposisikan diri mereka
sebagai lawan tentara Republik untuk menentang pemerintah Republik yang sah.
Selama berlangsungnya konflik, serangkaian aksi kekerasan dan terorsime
dilakukan kekuatan Darul Islam untuk merebut kekuasaan dan membentuk Negara
Islam Indonesia dengan syariat Islam sebagai asas negara, sebagaimana cita-cita
148 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 65. 149 Ibid., h. 76.
126
hakiki S. M. Kartosuwiryo. Tekanan berupa intimidasi dan ancaman fisik menjadi
senjata politik gerakan Darul Islam untuk mencari dukungan dan menyebarkan
doktrin Islam di masyarakat. Darul Islam dapat menyerang tentara Republik dan
kelompok-kelompok yang dianggap kafir ataupun mereka yang membantu tentara
Republik. Selain itu, Darul Islam juga melucuti siapapun yang tidak mendukung
atau menentang gerakannya. Menurut Al Chaidar, kegigihan Darul Islam dalam
struktur politik inilah sebab kebertahan gerakan tersebut dan memperluas jaringan
teritorialnya.150
Melihat sifat Darul Islam yang dikaitkan dengan pendapat Al Chaidar, dapat
dipahami bahwa penekanan agama dalam konteks ini bukan lagi sebatas ajaran,
melainkan sebagai ideologi politik untuk memegang kendali kekuasaan negara.
Hal ini semakin mempertajam konflik yang mengarah pada benturan ideologis
antara Islam dan nasionalis yang sulit dielakkan lagi, seperti yang terjadi berikut.
…. Aku sempat berbincang dengan imam masjid di sana. Ternyata kiai itu tak mau mendukung kami. Ia berkeyakinan pemerintah Bung Karno sah kerena di dukung pemimpin Islam dan tidak menganjurkan kekufuran bahkan mengupayakan kemaslahatan serta kesejahteraan umum. Pemerintah Bung Karno juga dianggap sah sebab, kata kiai itu lebih baik ada pemerintahan sama sekali setelah Belanda meninggalkan Tanah air. “Taat kepada pemerintahan yang sah itu kewajibanku, kewajiban menurut imanku,” kata kiai itu.
Ya. Maka kiai itulah yang pertama kali kami tembak dalam penyerbuan kami bulan-bulan berikutnya. Waktu itu kami sudah sungguh-sungguh bertempur. Entah dari mana beberapa pemuda di kampung itu mempunyai senjata untuk melawan kami. Mereka bertahan dalam masjid. Ya. Kami bertempur di dalam tempat suci itu. Dan mereka benar-benar menguji ketangguhan kami. Seorang teman mati karena ledakan granat yang dilemparkan orang dari langit-langit kubah masjid. Bukan main!151
Kutipan di atas menegaskan pendapat sebelumnya bagaimana doktrin Islam
yang ditanamkan Darul Islam pada pengikutnya sangat kuat untuk menegakkan
hukum Islam. Ancaman dan paksaan fisik terhadap orang-orang yang menolak
gerakan Darul Islam dilakukan Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud tanpa melihat
latar belakang, sekalipun itu seorang Kiai hanya karena memiliki ideologi yang
150 Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan Moro
National Liberation Front, (Jakarta, Darul Falah, 1998) h. 57. 151 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 10.
127
bersimpangan. Dalam hal ini jelas, sekat antara kawan dan lawan bagi Darul Islam
adalah kesamaan ideologis. Mereka yang dikatakan kawan, jika memiliki ideologi
yang sama, serta mendukung dan mengakui mengakui eksistensi Negara Islam
Indonesia. Sedangkan jika berseberangan, maka dikatakan musuh dan Darul Islam
tidak segan untuk menindas dan membunuh. Di samping itu, berbagai aksi teror
juga dilakukan gerakan Darul Islam untuk mendapat pembekalan makanan dan
amunisi untuk mereka bertahan hidup. Namun, hal ini justru dimanfaatkan oknum
komunis untuk menjangkau kepentingan komunis dalam merebut kekuasaan.
Beberapa kali bertempur melawan orang-orang GS untuk memperebutkan suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama menjadi basis pertahanan kami, tetapi mereka ingin menguasainya.
Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang GS ibarat tombak bermata dua. Ke arah kami, mereka membuka garis permusuhan, sementara ke arah lain mereka menggunakan nama kami untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap dusun. Semula aku kurang yakin, akan kabar ini; bahwa nama kami mereka catut untuk kepentingan mereka, sekaligus untuk memojokan kami, terutama di mata masyarakat.152
Melihat orientasi politik keduanya, antara gerakan Darul Islam dan komunis
pada dasarnya memiliki kesamaan sebagai gerakan pemberontakan yang bertujuan
menentang dan mengganti sistem pemerintahan yang ada berlandaskan ideologi
mereka yang dipahami. Dalam konteks ini, taktik gerombolan komunis kembali
mencatut nama Darul Islam untuk meneror masyarakat dipandang efektif untuk
melemahkan kekuatan gerakan Darul Islam. Hal ini akan menyulutkan kemarahan
dan kebencian dari rakyat yang mengakibatkan nama Darul Islam semakin buruk
karena dianggap penyebab keresahan dan kekisruhan yang terjadi di masyarakat.
Dengan demikian, pergerakan gerombolan komunis tetap aman dalam melebarkan
kekuasaan.
Sementara itu, perlawanan dan pertahanan tentara Republik terhadap Darul
Islam terus menerus dilakukan demi mempertahankan sistem pemerintahan yang
sudah ada dan menghalangi melebarnya kekuasaan Darul Islam. Aksi kekerasan
yang dilancarkan Darul Islam mendorong pemerintah melalui tentara Republik
menggunakan cara kekerasan dan paksaan untuk menumpas Darul Islam. Strategi
152 Ahmad Tohari, Op. cit., h. 79.
128
ini digunakan untuk mengendalikan konflik agar tidak berkepanjangan karena aksi
kekerasan dan terorisme Darul Islam yang dapat merusak tatanan sosial. Dalam
usaha pembersihan itu, pasukan tentara Republik bergerak maju secara tiba-tiba
menyerang dan menghancurkan pos-pos pertahanan Darul Islam di hutan Jati.
…. Ada operasi massal. Aparat keamanan, dengan mengerahkan ratusan penduduk kampung, menyisir hutan jati Cigobang untuk menangkap kami. Beruntung Jun, yang sedang berburu balam, melihat gelagat mereka dan lari memberi tahu kami.153
Operasi massal makin mendekat. Dalam gerakan bersama dalam menyisir menuju puncak bukit, pasti mereka akan melewati kami. Kami sudah bisa mendengar kentongan-kentongan yang mereka pukul. Kemudian mereka masuk setelah memberondongkan senjata ke dalam pos yang kami telah kosongkan itu. mereka mengobrak-abrik peralatan masak kami yang tak seberapa jumlahnya.154
Keikutsertaan masyarakat dalam penyelesaian konflik ini menguatkan upaya
tentara Republik untuk menghentikan pemberontakan Darul Islam di masyarakat.
Kerja sama keduanya menunjukkan adanya tujuan yang sama, yaitu keinginan
untuk Darul Islam menyerahkan diri. Oleh karena itu, serangan demi serangan
gencar ditingkatkan tentara Republik dan masyarakat menggunakan strategi Pagar
Betis, dengan cara mengepung tempat pertahanan Darul Islam.155 Diakui Jackson,
taktik pagar betis secara psikologis dapat mematahkan semangat lawan dan
sekaligus secara militer efektif,156 sebab dengan mengepung dari segala arah dan
tempat membuat laskar Darul Islam sulit melawan.
“Ya, terus terang aku mulai kehilangan semangat aku. Aku, dan tentu kamu juga, sudah mendengar bahwa di mana-mana kita terdesak. Di mana-mana kita kalah dan surut. Apalagi sekarang orang-orang kampung beramai-ramai ikut melawan dengan menggunakan gerakan pagar betis. Jadi, bagaimana pun juga aku merasa keadaan kita demikian sedang surut. Bukan aku yang mengatakan demikian melainkan kenyataan.
153 Ahmad Tohari., Op. cit., h. 106. 154 Ibid., h. 109. 155 Menyarankan pada usaha pemerintah menumpas Darul Islam. Dalam taktik pagar betis,
rintangan dibentuk oleh betis-betis orang-orang sipil yang dipakai untuk mengepung gunung-gunung yang diduduki pemberontak. (Karl D Jackson. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Terj. dari Traditional Authority, Islam dan Rebellion. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990). h. 27.
156 Karl D Jackson. Op. cit., h. 27.
129
Di lain hal, penekanan tentara Republik dan warga telah membatasi gerak
gerakan Darul Islam, yang menempatkan mereka dalam kondisi yang tidak stabil.
Krisis kepemimpinan Darul Islam dan ancaman, serta situasi hutan Jati Cigobang
yang sangat terbatas mempengaruhi keadaaan ekonomi Amid dan kawannya, di
mana mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup. Terlebih pandangan-pandangan
skeptis masyarakat membuat Darul Islam semakin terasingkan. Dengan ini dapat
dikatakan, ketidakpastian dan kesengsaraan yang dialami kelompok Darul Islam
menjadi fakta yang tidak dapat dibantahkan, sebagai kondisi yang timbul akibat
konflik ideologis.
Kendati persaingan ideologis antarkelompok revolusioner mewarnai suasana
revolusi menjadi puncak masalah sosial yang dihadapi kelompok pemuda, namun
hal itu tidak terlepas dari krisis sosial politik yang terjadi saat itu. Adanya faktor
lain yang mempercepat terjadinya perpecahan adalah karena masalah kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan rendahnya pendidikan, serta pemahaman agama yang
keliru. Secara sederhana kelompok pemuda mempunyai ambisi yang kuat untuk
menunjukkan eksistensi mereka di tengah perang mempertahankan kemerdekaan.
Namun faktor pendidikan dan pemahaman terbatas yang diklaim benar membuat
pemuda sulit menerima pandangan lain. Akibatnya, kelompok pemuda bertindak
irasional yang cenderung negatif, seperti prasangka negatif, tindak kejahatan, dan
mengeksklusifkan Islam yang persoalan tersebut justru semakin mendisharmoni
hubungan antarindividu di Indonesia.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah
Dalam bagian ini akan dijelaskan bagaimana implikasi novel Lingkar Tanah
Lingkar Air (LTLA) karya Ahmad Tohari dalam pembelajaran sastra Indonesia di
SMA. Pembelajaran sastra dinilai penting untuk memperkaya wawasan dan ruang
batin peserta didik. Karya sastra banyak dipengaruhi oleh kenyataan sosial yang
terjadi di masyarakat, sehingga dengan membacanya akan membuat peserta didik
lebih peka dan peduli terhadap realitas kehidupan. Peserta didik tidak hanya
diajak untuk menikmati, tetapi juga menghayati dan memahami nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Nilai-nilai dalam karya sastra diterapkan sebagai suatu
pengalaman baru bagi peserta didik, yang nantinya tidak sekedar dipikirkan tetapi
130
juga dihayati untuk menemukan makna yang ingin disampaikan pengarang dalam
karya sastra tersebut.
Melihat pentingnya pembelajaran sastra, novel LTLA dapat dijadikan media
atau bahan ajar untuk mengembangkan pengetahuan dan kreativitas peserta didik
dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Pemanfataan novel LTLA sebagai materi
pelajaran mampu menarik peserta didik untuk mengetahui persoalan sosial politik
di periode revolusi Indonesia melalui perjalanan tokoh utama yang terjebak dalam
kemelut revolusi. Berdasarkan kurikulum 2013, novel LTLA dapat dimanfaatkan
dalam pembelajaran bahasa dan sastra di SMA kelas XII semester genap. Dalam
rumusan inti kurikulum 2013, menggunakan kompetensi inti, yang mengarah pada
kompetensi sikap spiritual (KI-1 ) dan sikap sosial (KI-2) terkait dengan konsep
kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar
terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti pengetahuan (KI-3)
dan keterampilan (KI-4) berhubungan langsung dengan konsep kebahasaan yang
berkaitan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks).
Pada kompetensi sikap, (KI-2) dan (KI-2) peserta didik diharapkan menjadi
insan yang berakhlak mulia, jujur, mandiri, menghargai, bertanggung jawab dan
bertoleransi kepada sesama; sedangkan pada (KI-3) dan (KI4) diharapkan peserta
didik dapat memahami dan menyusun berbagai teks novel; tidak sekedar sebagai
pengetahuan, tetapi juga aktualisasi diri peserta didik pada konteks sosial.
Pencapaian kompetensi inti di atas dikembangkan pada proses pembelajaran
dalam kompetensi dasar: KD 3.1 memahami struktur dan kaidah teks novel baik
melalui lisan maupun tulisan; dan KD 4.1 menginterpretasi makna teks novel baik
lisan maupun tulisan. Kompetensi dasar ini tidak hanya mengarahkan pemahaman
peserta didik pada struktur tema, alur, tokoh dan latar, tetapi hal-hal lain di luar
karya sastra, seperti pembahasan masalah sosial masyarakat yang dapat membantu
peserta didik memahami novel secara keseluruhan. Ketercapaian KD ditentukan
dengan penguasaan peserta didik terhadap sub kompetensi dasar yang dipelajari,
yang dirumuskan lebih rinci dalam indikator pencapaian kompetensi, yaitu pada
KD 3.1 peserta didik: (a) mampu mengindetifikasi struktur intrinsik dan ekstrinsik
teks novel; dan (b) mampu mengindetifikasi isi teks novel. Pada KD 4.1 peserta
131
didik (a) mampu menjelaskan makna/isi teks novel; dan (b) mampu menemukan
keterkaitan isi teks novel dengan kehidupan sehari-hari.
Di dalam implementasinya, pembelajaran novel LTLA pada kurikulum 2013
menitikberatkan pada pembelajaran berbasis teks dengan memandang teks novel
sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual. Pembelajaran mencakup
pada kemampuan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh
peserta didik. Seperangkat kompetensi itu diperoleh dengan menggali materi atau
informasi melalui aktivitas 5M, yaitu mengamati teks yang berhubungan dengan
struktur dan makna teks novel; menanya tentang berbagai hal terkait teks yang
diamati; mengeksplorasi dengan mencari melalui berbagai informasi tentang teks
novel dalam konteksnya, mengasosiasi melalui diskusi tentang struktur dan makna
teks novel konteksnya; dan mengkomunikasikan dengan menyimpulkan struktur
teks novel dan menginterpretasi makna teks novel secara lisan maupun tulisan.
Dengan kegiatan pembelajaran semacam itu, peserta didik banyak pendapat
pengalaman dan ilmu yang secara langsung akan menjadikannya pribadi yang
memiliki kompetensi mampu berpikir kritis, kreativitas, produktif, komunikasi,
dan kolaborasi. Lebih dari itu, semua kompetensi itu diharapkan dapat tertanam
secara seimbang dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengembangan nilai-nilai karakter bermaksud membentuk karakter peserta
didik sebagai fondasi dirinya. Hal itu sejalan dengan tujuan Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) dan fungsi Pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang UUPSN Pasal 3, yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi individu yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.157 Dengan
karakter dan potensi yang kuat, peserta didik diharapkan dapat berkontribusi pada
157 Sri Haryati, Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013, http://lib.untidar.ac.id/wp-
content/uploads/2017/01/Pendidikan-Karakter-dalam-kurikulum.pdf. Diakses pada tanggal 24 April 2017 pukul 15.35 WIB.
132
kehidupan, sehingga mampu menghadapi setiap tantangan dan permasalahan di
dalam masyarakat secara global.
Penguatan nilai karakter terintegrasi dalam pembelajaran sastra, khususnya
pembelajaran novel LTLA bertujuan menumbuhkan kesadaran diri sehingga dapat
tercipta peserta didik yang nasionalis, tangguh, bertaqwa, mandiri dan mampu
menghadapi berbagai tantangan global. Peserta didik menginternalisasi informasi
yang diterima menjadi nilai-nilai dan diwujudkan menjadi perilaku di keseharian.
Ketika membaca novel LTLA, peserta didik akan melihat banyak peristiwa yang
pernah terjadi dan menjadi sejarah bangsa Indonesia dengan memotret kekacauan
sosial politik di awal kemerdekaan Indonesia sampai peristiwa G 30 September di
tahun 1965. Permasalahan sosial yang dihadapi rakyat Indonesia saat revolusi itu
sangat kompleks. Terjadi pergolakan akibat kolonialisme yang dibarengi dengan
semangat revolusi kelompok pemuda untuk mempertahankan kemerdekaan, serta
persoalan internal di beberapa daerah, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan
perdebatan ideologis yang melibatkan kelompok masyarakat dan berujung pada
perpecahan bangsa.
Permasalahan sosial yang digambarkan dalam novel memiliki mengandung
nilai-nilai kehidupan yang dapat dikembangkan dan dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Perjuangan membela negara mencerminkan nilai nasionalis
dan cinta tanah air yang diharapkan peserta didik dapat menempatkan kepentingan
bangsa di atas kepentingan pribadi. Selain itu, perpecahan antarkelompok yang
menjadi masalah besar saat itu relevan dengan realitas yang terjadi sekarang itu.
Banyak kelompok sosial berasaskan agama mendapat pertentangan di masyarakat
yang menolak kelompok tersebut, bahkan sampai terjadi perpecahan. Dari hal ini,
peserta didik diharapkan dapat bersikap toleransi, cinta damai, anti diskriminasi
dan menghargai berbagai perbedaan, serta keberagaman sosial, kultural, agama,
etnis dan ideologis masyarakat. Adanya perbedaan dalam masyarakat harus bisa
disikapi secara positif sehingga tidak terjadi perpecahan bangsa di Indonesia.
Pembelajaran sastra dengan pendekatan sosiopsikologis dirasa sangat tepat
dan efektif untuk membantu peserta didik lebih dalam memahami novel LTLA.
Pendekatan sosiopsikologis menitiberaktkan perhatian peserta didik pada masalah
133
kejiwaan dan kemasyarakatan dalam karya sastra, sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna bagi peserta didik. Peserta didik akan lebih peduli terhadap
lingkungan sosial dan masalah-masalah yang dialami bangsa Indonesia, baik pada
masa lampau maupun situasi sekarang. Selama ini peserta didik hanya mengetahui
berbagai peristiwa dan tokoh–tokoh seperti yang diajarkan pada pelajaran sejarah,
tanpa tahu apa saja yang dirasakan masyarakat. Sementara itu, novel LTLA tidak
sekedar menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi, tetapi juga memberikan
gambaran perasaan dan konflik batin tokoh utama dalam menghadapi kekacauan
sosial politik saat itu. Pemahaman dari sudut pandang tokoh utama inilah yang
diharapkan dapat menumbuhkan sikap simpati dan empati peserta didik. Peserta
didik seolah-seolah masuk diri sebagai tokoh utama, sehingga bisa memahami dan
merasakan sebagaimana yang dialami tokoh utama.
Demikian pentingnya penelitian novel LTLA karya Ahmad Tohari terhadap
pembelajaran apresiasi sastra haruslah didukung oleh peran guru sebagai pendidik
professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, membimbing
dan menilai peserta didik. Kerberhasilan pembelajaran tergantung pada kualifikasi
seorang guru dalam menguasai ilmu dan keterampilan mengajar, sehingga mampu
merancang kegiatan pembelajaran melalui strategi dan model pembelajaran yang
beragam. Ketika seorang guru mampu menciptakan suasana belajar yang kreatif,
aktif, inspiratif, kontekstual dan menyenangkan, maka proses pembelajaran sastra
akan lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Peserta didik tidak hanya terhibur
dengan keindahan sebuah cerita fiksi, tetapi mendapat pengalaman bermakna dari
nilai-nilai kehidupan yang dipahami, untuk nantinya dapat hidup bermasyarakat
dan berkontribusi pada kesejahteraan hidup manusia. Tujuan pembelajaran pun
akan terpenuhi sesuai dengan KI, KD, dan IPK yang hendak dicapai oleh peserta
didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
134
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis tentang “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat
dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di sekolah”, maka dapat disimpulkan,
yakni:
1. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari adalah novel sosial
dan sejarah yang mengisahkan pergolakan revolusi yang berpengaruh pada
munculnya masalah sosial di dalam masyarakat. Akibatnya dapat dilihat dari
tema besar novel ini, yakni permasalahan sosial politik yang menyebabkan
pemuda terjebak dalam orientasi hidup setelah kemerdekaan. Tema tambahan
yang mendukung antara lain, pergeseran nasionalisme, pertentangan ideologi,
kemiskinan, dan bertahan hidup. Alur cerita menggunakan alur campuran
yang tersusun secara progresif regresif. Ada banyak tokoh cerita dalam novel,
namun tokoh dominannya adalah Amid yang bertindak sebagai tokoh utama
sekaligus pencerita. Sedangkan Kiram, Jun, Kang Suyud, Kiai Ngumar dan
Umi adalah tokoh tambahan yang mendukung penokohan Amid. Latar tempat
keseluruhan berada di wilayah Jawa, meliputi kota Purwokerto, Bumiayu,
Wangon, Banyumas, dan Hutan Jati Cigobang. Sementara latar waktu terjadi
di tahun awal kemerdekaan Indonesia sekitar tahun 1946-1965. Seluruhnya
peristiwa dikisahkan berdasarkan sudut pandang tokoh utama dengan bahasa
yang lugas, lancar, santun dan komunikatif, serta penggunaan gaya bahasa
yang didominasi personifikasi dan asosiasi yang mengesankan cerita indah,
menarik dan faktual.
2. Permasalahan sosial yang terjadi dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari di analisis berdasarkan masalah-masalah yang terjadi di
masa revolusi Indonesia, yang terdiri dari: (1) Konflik Indonesia-Belanda.
Dalam periode ini konflik berlangsung singkat dan bersifat kekerasan dengan
terjadinya perang di mana-mana yang dampaknya selain disorganisasi, juga
135
penderitaan rakyat, tidak hanya secara fisik tetapi juga mental masyarakat; (2)
Kemiskinan yang terjadi pada kelompok pemuda akibat faktor situasional, di
mana mereka serba kekurangan dalam hal pendidikan, kebutuhan primer, dan
lainnya, sehingga sulit memperoleh peluang baik dan tingkah laku pemuda
yang disfungsional. (3) Kesenjangan sosial terjadi antara kelompok pemuda
dan tentara Republik terkait perbedaan status dan latar belakang pendidikan,
memungkinkan pemuda mengalami diskriminasi. (4) Masalah generasi muda
dalam masyarakat modern dalam novel ini dipicu oleh sifat ambisius untuk
menunjukkan eksistensi pemuda karena sebelumnya diperlakukan sewenang-
wenang. Pemuda dijadikan alat politik oleh beberapa gerakan pemberontakan
yang akibatnya membuat mereka terjebak dalam kemelut revolusi. (5) konflik
antarrevolusioner terjadi pada Darul Islam dan komunis yang berkeinginan
masing-masing mengukuhkan ideologi partai mereka agar dapat memegang
kekuasaan. Pemberontakan yang dilakukan mendapat ancaman keras tentara
Republik yang memicu pertempuran sepanjang revolusi sosial.
3. Implikasi dari gambaran masalah sosial masyarakat yang termuat dalam novel
Lingkar Tanah Lingkar Air dapat dipraktikkan dalam pembelajaran sastra di
tingkat SMA kelas XII semester genap. Berdasarkan kurikulum 2013, dengan
melihat Kompetensi Inti yang sesuai, KD yang ingin dicapai dalam kegiatan
pembelajaran, yakni mengindetifikasi struktur dan menginterpretasi makna/isi
teks novel baik lisan maupun tulisan. Pencapaian KD ini diharapkan peserta
didik dapat mengusai materi yang diindikasikan dalam Indikator Pencapaian
Kompetensi, yaitu pada KD 3.1 peserta didik: (a) mampu mengindetifikasi
struktur intrinsik dan ekstrinsik teks novel; dan (b) mampu mengindetifikasi
isi teks novel. Pada KD 4.1 peserta didik (a) mampu menjelaskan makna/isi
teks novel; dan (b) mampu menemukan keterkaitan isi teks novel dengan
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra dilaksanakan berbasis teks dengan
pendekatan sosiopsikologis menekankan pada tercapainya kemampuan sikap,
pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan intelektual dan kualitas
karakter peserta didik. Dengan memanfaatkan novel LTLA sebagai media
pembelajaran, peserta didik diharapkan mampu memahami realitas sosial di
136
masa lampau dari sudut yang berbeda dan di masa sekarang ini, sekaligus
memperkuat pengetahuan tentang pejuangan bangsa Indonesia. Hal demikian
dimaksudkan untuk menanamkan sikap sosial dan kesadaran diri peserta didik
terhadap bangsa dan negara sebagai insan yang cinta tanah air, jujur, mandiri,
bertanggung jawab, betoleransi, serta menghargai dan keberagaman sosial,
kultural, agama, etnis dan ideologis masyarakat.
B. Saran
Berdasarkan analisis dan simpulan yang telah diuraian, ada beberapa saran
diajukan penulis, yakni:
1. Guru dalam pembelajaran sastra sudah semestinya memaksimalkan proses
pembelajaran dengan memilihkan karya sastra yang bermutu. Meningkatkan
minat baca peserta didik untuk mengetahui dan membandingkan fenomena-
fenomena yang terdapat di dalam karya sastra dengan hal-hal di kehidupan
nyata. Salah satu karya sastra dapat dijadikan rujukan dalam pembelajaran
adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
2. Peserta didik dalam proses pembelajarannya diharapkan sungguh-sungguh
memahami isi cerita novel, sehingga dapat mengambil hal-hal positif dan
menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Dari realitas dan permasalahan
yang terjadi pada tokoh pemuda, seperti Amid, bersikap positif terhadap
suatu persoalan atau orang lain sangat penting untuk terciptanya hubungan
yang damai di masyarakat.
137
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. Sosiologi: Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2012.
Atmazaki. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya, 1990.
Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan
Meneggakkan Indonesia (1945-1949). Ciputat: Pustaka Kompas, 2014.
Chaidar, Al. Wacana Ideologi Negara Islam: Studi Harakah Darul Islam dan
Moro National Liberation Front. Jakarta: Darul Falah, 1998.
Cribb, Robert Bridson. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara
Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Revolution 1945-1949
oleh Hasan Basri. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Djik, Cornelis Van. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Terj. dari Rebellion
Under the Banner of Islam oleh J. Moliono. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995.
Dermawan, Taufik. “Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra di SMTA”,
Ibnu Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai Sastra,
(Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.
Elly M. Setidai dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta:
Kencana, 2011.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Imran, Amrin., dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid 6. Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2012.
Hayati, A dan Winarno Adiwardoyo. Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan
Asah Asih Asuh, 1990.
Herman J. Waluyo, “Pengembangan Dimensi Kreativitas dalam Pengajaran
Sastra”, Ibnu Wahyudi (ed.), Konstelasi Sastra: Bunga Rampai Esai
Sastra, (Depok, Devisi Penerbitan HISKI Pusat, 1990), h. 57.
Ismail, Faisal. Panorama Sejarah Islam dan Politik Di Indonesia: Sebuah Studi
Komprehensif. Yogyakarta: iRCiSoD, 2017.
Jackson, Karl D. Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus
Darul Islam Jawa Barat. Terj. dari Traditional Authority, Islam dan
Rebellion. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
138
Junus, Umar. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra Dan Budaya Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia, 1985.
Kahin, Audrey R. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari
Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip.
Jakarta: Grafiti, 1990.
Kahin, Geroge McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Nasional, Terj. dari
Nationalism and Revolution in Indonesia oleh Tim Komunitas Bambu,
Depok: Komunitas Bambu 2013.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta:
Gramedia, 1990.
Kurniawan, Heri. Teori, Metode dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012
K.S, Yudiono. Ahmad Tohari Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2003.
Luxemburg, Jan Van dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inlelding in de
Literatuurweteschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1992.
Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007.
Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Pawardi, Redatin. Sosiologi Pembangunan. Pontianak: Untan Press, 2011.
Philipus, Ng dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Pujiharto. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra: Yogyakarta: KANISIUS, 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Pendekatan Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
---------------------------- Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
--------------------------- Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2008.
139
Retnoningsih, Suharso dan Ana Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya, 2016.
Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2007.
Santosa, Wijaya Heru., dan Sri Wahyuningtyas. Pengantar Apresiasi Prosa.
Surakarta: Yuma Puskata, 2010
Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara
Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
Semi, M. Atar. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 2013.
Semi, M. Atar. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung,
Angkasa, 1990.
Seokanto, Soerjono. Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: Refika Aditama, 2008.
Soetomo. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Jakarta, Pustaka Jaya,
1995.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Terj. dari An Introduction to Fiction
oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Sumardjo, Jakob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977. Bandung: ALUMI,
1999.
--------------------. Pengantar Novel Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1991.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia,
1986.
Suharso dan Ana Retnoningsih. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya, 2016.
Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1989.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 2011.
Tobing, K.M.L. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta: PT.
Gunung Agung, 1986.
Tohari, Ahmad Lingkar Tanah Lingkar Air. Yogyakarta: HIKAYAT Publishing,
2007.
140
Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Wellek, Renne dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Terj. dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,
1993.
Wibowo, Agus Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Internalisasi Nilai-nilai
Karakter Melalui Pengajaran Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013.
Jamaludin, Asep. “Refleksi sejarah DI/TII dalam novel Lingkar Tanah Lingkar
Air karya Ahmad Tohari”. Skripsi pada Universitas Indonesia. Jakarta:
1995. Tidak dipublikasikan.
Wijianto, Wahyudi. “Metode Penggambaran Tokoh Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari”. Skripsi pada Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta, 2012. Tidak dipublikasikan.
Damono, Sapardi Djoko. “Pengarang Ronggeng dari Pesantren”. Koran Tempo,
Jakarta, 19 Februari 1983.
Firmansyah, Arif. “Ahmad Tohari Menatap Kota dengan Kacamata Wong Cilik”.
Mingguan Koran tempo. Jakarta, Minggu, 13 Januari 1994.
Santosa, Arief “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, Surabaya, Minggu 2
Februari 1993.
Haris, Ismet N. M. “Berkisar Merah” Ahmad Tohari: Menakar Harga Diri Wanita
di Tengah Kemiskinan.” Mutiara, Jakarta, 4-10 Oktober 1994.
Ibrahim, Restoe Prawironegoro. “Sastra religious Ahmad Tohari dalam Ideologi
Islam”. Harian Republika, Jakarta, Ahad 26 Oktober 2003.
Kleden, Ansis. “Sebuah Lukisan Naturalis” Kompas, Jakarta, Minggu, 17
September 1989.
Marsudi, Rey Mardianto. “Ronggeng Dukuh Paruk: Kekhilafan Yang Benar.”
Suara Karya, Jakarta, Jumat, 28 Juni 1985.
Mochtar, Syahriel. “Wawancara Dengan Novelis Ahmad Tohari: Paman Dan Bibi
Saya Makan Tempe Bongkrek.” Suara Pembaruan, Jakarta, Senin, 21
Maret 1988.
Mohammad, Yadhie. “SOSOK: Ahmad Tohari Sang ‘Punokawan’ yang Holistik
dari Tinggarjaya”. Media Indonesia, Jakarta, Minggu 16 Januari 1994.
141
Pusat Dokumentasi HB, Jassin. “Kolom-kolom Seorang Novelis”. Suara Karya,
Jakarta, Jumat 2 Desember 1994.
-----------------------------------. Ahmad Tohari “Dikondisikan sebagai ‘Bahasa
Babu” Dialek Banyumas Diambang Kepunahan.” Harian Pikiran Rakyat.
Bandung, Kamis, 17 Oktober 2002.
-----------------------------------. “Ahmad Tohari Novelis dari Desa Tinggarjaya”.
Yudha Minggu, Jakarta, Minggu 9 Desember 1984.
-----------------------------------. Ahmad Tohari: Gugatan Gaya Jawa Lebih Arif
Untuk Zaman Sekarang, Suara Pembaruan, Jakarta, Minggu, 5 Juni 1988.
-----------------------------------. “Diskusi Sastra: Trilogi Ahmad Tohari”, Gramedia,
Jakarta, Agustus 1987.
--------------------------------. “Wawancara dengan Novelis Ahmad Tohari, Sastra
Meronggeng: Ihwal dan Pasal.” Pelita, Senin 17 Maret 1986.
Sahid, Nur. “Pesan Moral Islami dan Cerpen Ahmad Tohari.” Suara Karya,
Jakarta, Minggu 25 Pebruari 1996.
Syahrial. “Potret-Potret Ahmad.” Majalah Berita Buku, Jakarta, 1989.
Tobing, K.M.L. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia Renville. Jakarta, PT.
Gunung Agung, 1986.
Widiyanto, Eko Hidup. Dalam Sehari ‘Si Ronggeng’ Ahmad Tohari, Republika,
Jakarta, Minggu, 13 Juni 1993.
Syawie, Mochamad. “Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial.” Jurnal Informasi,
Vol. 16 No. 03 Tahun 2011.
Kusumawardani, Anggraeni dan Faturochman. “Nasionalisme.” Buletin Psikologi,
Tahun XII, No. 2, Desember 2004.
Izzah, Iva Yulianti Umadatuh. “Perubahan Pola Hubungan Kiai dan Santri Pada
Masyarakat Muslim.” Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 1, No.2, Oktober 2011.
Adnan, “Wajah Revolusi Indonesia dalam Perspektif Filsafat Sejarah.”
https://www.scribd.com/document/354560872/Wajah-Revolusi-Indonesia-
Dalam-Perspektif-Filsafat-Sejarah-pdf. Diakses pada tanggal 29 Maret
2016.
Haryati, Sri. “Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013”.
http://lib.untidar.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/Pendidikan-Karakter-
dalam-kurikulum.pdf Diakses pada tanggal 24 April 2017 pukul 15.35
WIB.
142
Kusnanto Anggoro. “Perang, Tentara dan Senjata.” Makalah disampaikan dalam
Pengantar diskusi dalam Focus Goup Discussion Propatria, Hotel Santika.
http://happyslide.top/doc/23113/perang--tentara-dan-senjata. Jakarta, 29
Oktober 2003. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2015 pada pukul 15.13
WIB.
Samsuri. “Komunisme dalam Pergumulan Wacana Ideologi Masyumi”.
https://www.researchgate.net/publication/307182052_Komunisme_dalam_
Pergumulan_Wacana_Ideologi_Mastumi. Diakses pada tanggal 15
November 2017 pada pukul 22.50 WIB.
Sapto, Ari. “Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa
Revolusi dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini”.
http://journal.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/4734.
Diakses pada tanggal 3 Oktober 2017.
Sinopsis Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari
Kemerdekaan sejatinya memberikan kebebasan dari tekanan apapun dan siapapun.
Kenyataannya, hal itu tidak dirasakan Aku. Aku adalah Amid, yang terperangkap
dalam dilema hidup atau mati. Tanpa dikehendaki, perjuangan membela negara
sendiri pasca kemerdekaan Indonesia bukan menjadikan aku sebagai pahlawan,
melainkan sebagai pengacau masyarakat yang harus siap dimatikan oleh Republik
kapanpun itu.
Berbagai masalah melingkari kehidupan Amid selama masa revolusi karena
ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi
saat itu. Ini bukan tanpa alasan, karena sebelumnya Amid adalah seorang pemuda
santri biasa tanpa banyak pengetahuan yang dimiliki. Setelah empat tahun tamat
Vervolk School, Amid menghabiskan waktu dengan belajar silat bersama beberapa
temannya, satu di antaranya adalah Kiram di bawah bimbingan Kiai Ngumar.
Keterlibatan Amid dalam situasi revolusi Indonesia berawal di Maret tahun
1946, ketika di suatu malam, Kiai Ngumar memanggil Amid dan Kiram. Saat itu
usia Amid 18 atau 19 tahun. Hati Amid berdebar karena mengira kiai sepuh itu
akan memberinya rahasia-rahasia ilmu silat. Namun bukan itu, Amid dan Kiram
justru mendapat perintah berperang membantu tentara Republik melawan tentara
Belanda yang kembali ingin menguasai Indonesia. Perintah ini berdasarkan fatwa
jihad yang dikeluarkan oleh seorang Hadratus Syeckh dari Jawa Timur dalam
rapat besar di alun-alun kota Purwokerto yang dihadiri banyak ulama dan kiai.
Dalam fatwanya, “berperang melawan tentara Belanda untuk mempertahankan
negara yang baru merdeka, wajib hukumnya bagi semua orang Islam. Dan siapa
yang mati dalam peperangan melawan tentara Belanda yang kafir, dialah syahid.”
Amid berpandangan dengan Kiram. Rasa tegang yang sebelumnya berubah
menjadi keraguan. Amid tidak sepenuhnya paham. Sebab ia mengetahui Indonesia
sudah merdeka dan tidak melibat perubahan yang nyata di desanya. Ia juga sulit
membayangkan perang. Amid meraba perang seperti perkelahian. Dan bila benar,
ia merasa siap karena sudah belajar silat. Keesokan harinya dengan dari restu Kiai
Ngumar dan tanpa persiapan apapun, Amid dan Kiram berangkat ke Purwokerto
untuk mendapat pelatihan ketentaraan. Namun kabar itu berubah menjadi perintah
untuk merintangi laju tentara Belanda di daerah Bumiayu. Di sana ratusan tentara
Republik tampak benar-benar siap berperang dan menyadang senjata, bersiaga di
atas bukit di kiri dan kanan jalan.
Selama membantu tentara Republik banyak hal yang terjadi pada Amid dan
Kiram yang menimbulkan konflik di antara para pemuda dan pasukan Republik.
Pada faktanya, Amid dan Kiram tidak dilibatkan dalam perang, melainkan hanya
disuruh mecari kayu bakar, menebang pohon, meninta ransum ke para penduduk
dan ikut mengangkat beberapa peralatan senjata tentara Republik. Amid melihat
kekecewaan yang dalam pada diri Kiram karena Kiram sangat ingin menyandang
senjata layaknya tentara Republik. Paginya, Amid dan Kiram bergerak ke jalan
besar untuk mencegat tentara Belanda. Ketegangan mulai terasa dan terjadi perang
singkat. Dalam kesadaran yang kurang penuh, Amid menjadi saksi ledakan yang
sangat kuat menggema hingga asap membumbung.
Setelah perang singkat itu, Kiram berkeinginan membentuk barisan pemuda
karena merasa sudah bersenjata dan menjadi musuh tentara Belanda. Amid tidak
mampu menolak sebab Kiram selalu menghinanya anak bawang dan hanya Kiram
yang bisa meminjamkan Amid senjata. Barisan yang terbentuk hanya dengan satu
senjata yang dicuri Kiram dari tentara Republik itu secara ajaib membuat mereka
menjadi urakan. Karena dengan nama itu jugalah, Amid dan Kiram menjadi bebas
melakukan apapun yang mereka suka, seperti menyerang tentara Belanda bahkan
meminta bahan makanan ke masyarakat.
Merasa tidak puas dengan barisan pemuda, selang beberapa lama Amid dan
pemuda lainnya, Kiram, Jun dan Kang Suyud membentuk barisan Hizbullah yang
diketuai Kang Suyud sebagai kiai muda. Hal ini mendapat pertentangan dari Kiai
Ngumar yang tidak sependapat dengan alasan Kang Suyud dan Kiram tidak ingin
bergabung dengan tentara Republik. Kang Suyud kecewa melihat realitas banyak
tentara Republik beraliran komunis, sedangkan Kiram merasa sakit hati karena ia
pernah dihina buta huruf. Amid melihat situasi ini menjadi kaku. Dari hati yang
dalam, Amid setuju pada saran Kiai Ngumar dan ingin bergabung dengan tentara
Republik. Namun atas saran Kiai Ngumar juga Amid mengikuti teman-temannya.
Di rumah Kang Suyud, mereka membentuk Hizbullah secara sederhana di tahun
1948. Banyak perubahan dirasakan Amid menyangkut hubungannya dengan
masyarakat yang membuat mereka sulit meminta bantuan atau pasokan logistik.
Tidak hanya itu, hubungan merenggang juga dengan pasukan tentara Republik
hingga sering kali menyebabkan baku tembak karena kesalahpahaman.
Satu tahun kemudian tepat Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui
kedaulatan Indonesia. Peperangan dengan tentara Belanda seketika berhenti. Hal
lain yang muncul adalah pilihan membubarkan Hizbullah atau melebur ke tentara
Republik. Amid lulusan Vervolk School dapat masuk ke Republik, tapi tidak untuk
Kiram dan Jun karena mereka tidak bersekolah sehingga tidak memiliki ijazah. Di
sisi lain, Amid melihat Kiram, Jun dan Kang Suyud yang sebenarnya tidak ingin
menjadi tentara Republik karena tidak melepaskan senjata mereka. Bahkan Amid
mendengar selentingan bahwa Kang Suyud memiliki cita-cita sendiri. Kiai muda
itu hendak bergabung dengan Darul Islam yang ingin mendirikan negara Islam.
Suasana menegang karena Kang Suyud bersikeras tidak ingin menjadi bagian dari
Republik. Sementara dari wajahnya yang terlihat tegang, Kiai Ngumar tidak suka
terlibat dalam perdebatan. Amid cemas apakah kiai memilih Islam atau Republik.
Amid melihat Kiai Ngumar berusaha keras untuk menembus batas peraturan
itu demi masa depan kelompok pemuda. Namun, harapan itu musnah ketika dalam
perjalanan ke Kebumen Amid dan ratusan pemuda yang bergabung di dalam rel
kereta api diserang oleh gerombolan komunis yang berusaha ingin memperburuk
hubungan Hizbullah dan pasukan tentara Republik. Seketika terjadi pertempuran
berkecamuk tanpa tahu siapa lawan dan siapa kawan. Masing-masing kelompok
saling menyerang, melancarkan tembakan dan melawan. Suara tembakan berhenti
setelah hampir dua jam. Kereta api benar-benar lumpuh. Tak ada lagi tanda-tanda
kehidupan dari mereka yang bertahan.
Amid merasakan adanya pengkhianatan. Namun masih dipertanyakan siapa
yang berbuat sekotor itu. Mencatut nama pasukan Republik untuk mencegah anak
Hizbullah dilebur menjadi tentara resmi. Kemarahan memuncak sebab kini Amid,
Kiram dan Jun tidak hanya gagal menjadi tentara Republik, tetapi juga dianggap
sebagai pemberontak. Amid bersembunyi di rumah Kiai Ngumar atas jaminan kiai
itu. Kiram memilih pergi dengan wajah yang sangat pahit dan Jun mengikutinya.
Amid merasa karena untuk melindungi dirinya Kiai Ngumar terpaksa ditangkap
tentara Republik dan diperlakukan kasar. Ia memutuskan untuk menyusul Kiram
dan Jun di mana pun mereka berada karena baginya pasukan Republik tidak hanya
menutup pintu melainkan sudah menghendaki kematiannya.
Ternyata tidak mudah mencari Kiram dan Jun. Tanpa sengaja Amid bertemu
dengan Kang Suyud di surau kecil. Selama pertemuan itu, Kang Suyud berusaha
mempengaruhi Amid tentang kekacauan itu dan kemungkinan-kemungkinan yang
akan diterimanya. Bila Amid menyerahkan diri, ia tetap akan ditembak mati oleh
tentara Republik. Amid masih diam. Ia merasa tidak sanggup melepaskan diri dari
pengaruh Kang Suyud dan perlahan sungguh bisa membenarkan kata-kata Kang
Suyud. Bersama Kiram dan Jun, Amid pun mengikuti langkah Kang Suyud yang
sebelumnya sudah menjadi laskar Darul Islam.
Selama menjadi laskar Darul Islam, mereka harus mengikuti aturan Darul
Islam untuk menyebarkan doktrin dan mencari dukungan ke pedesaan. Bila tidak
mendukung, maka akan dilucuti. Aksi mereka ini dimanfaatkan oknum komunis
yang menggunakan nama Darul Islam untuk melakukan perampokan-perampokan
demi kepentingan mereka. Situasi semakin kacau dan nama Darul Islam semakin
buruk di mata masyarakat.
Hampir satu dasawarsa Amid, Kiram dan Jun terpaksa bertahan di hutan Jati
untuk menghindari serangan tentara Republik dan gerombolan komunis. Keadaan
hutan yang serba memaksa mereka merampok untuk mendapatkan bahan pangan.
Sampai di suatu malam, Amid, Kiram, Jun dan Kang Suyud mencegat jip militer.
Seketika perasaan Amid tergerus ketika ia menemukan seuntai tasbih dan sebuah
Quran milik seorang militer Republik, yang seharusnya tidak dibunuh. Ini bukan
pertama, sebab sebelumnya Amid merasakan kepiluan ketika menatap mayat para
pencuri kayu bersama istri dan anak mereka. Adilkah melibatkan mereka dalam
kejahatan meskipun tak sengaja. Kematian orang-orang itu terasa menggerus jiwa
Amid dan ia mulai mempertanyakan manfaat gerakannya selama ini. Dalam ironi
yang sulit dimengerti ini, Amid mulai menginginkan tentang hidup normal. Hidup
di desa bersama istrinya, Umi. Terlebih kondisi Umi yang sedang hamil dan selalu
hidup susah membuat merasa selalu tidak tenang selama berdiam di hutan.
Kekuatan Darul Islam semakin melemah. Merosotnya jumlah anggota dan
makin kuatnya perlawanan terhadap Darul Islam membuat Amid semangat Amid
terus menurun. Amid merasa kelompok sudah terpencil karena hubungan dengan
pemimpin tertinggi Darul Islam sudah lama terputus. Dan kematian Kang Suyud
membuat Amid merasa semakin kehilangan pegangan dan berpikir akan nasibnya
ke depan.
Di akhir Juni 1962, seorang anggota Darul Islam bernama Toyib membawa
kabar penting mengenai tertangkapnya Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam oleh
pasukan tentara Republik. Kabar lain berisi seruan agar semua anggota Darul
Islam meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada aparat keamanan dengan
jaminan pengampunan yang dikeluarkan pemerintah Republik. Di lain hal ada
pertentangan yang dirasakan Amid dan kawan-kawannya terkait pandangan
masyarakat. Mereka pun kembali ke masyarakat dan secara terpaksa menerima
cacian dan ejekan masyarakat atas apa yang mereka lakukan selama menjadi
laskar Darul Islam. Meskipun bergitu, yang lebih penting dari kembalinya mereka
adalah bisa berkumpul dengan keluarga.
Selang tiga tahun kebebasannya, Amid, Kiram dan Jun kembali mendapat
panggilan dari komandan pasukan militer untuk membantu penumpasan pasukan
komunis di hutan Jati Cigobang. Melihat kesempatan ini mereka berharap dapat
membantu tentara Republik secara nyata dengan berada digaris terdepan melawan
pasukan komunis. Amid merasakan keharuan yang dalam. Air matanya menetes.
“Kini aku akan berperang atas nama Republik yang pernah sangat kurindukan dan
gagal terlaksana…. Ya, yang tak pernah kuduga akhirnya aku mendapat peluang
bertempur atas nama negara.”
Pertempuran terjadi sangat sengit. Amid beberapa kali sempat melancarkan
senjata. Namun tak lama kemudian tembakan melukai bahunya. Mata Amid terasa
berkunang-kunang. Dalam kesadaran yang masih tersisa, Amid mendengar suara
dan melihat wajah Kiai Ngumar yang perlahan menuntunnya. Samar-samar, Amid
masih mengingat wejangan Kiai Ngumar yang dulu pernah diberikan kepadanya,
bahwa “memerangi kekuatan yang merusak ketentraman masyarakat hukumnya
wajib”.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Materi Pokok : Teks Novel
Kelas/Semester : XII/Genap
Tahun Pelajaran : 2017/2018
Alokasi Waktu : 4JP (2Pertemuan)
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong
royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan
sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural
pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)
Kompetensi Dasar (KD) Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK)
1.1. Mensyukuri anugerah Tuhan akan
keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannnya sesuai dengan
kaidah dan konteks untuk
mempersatukan bangsa.
1.1.1. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
benar yang baik dan benar.
2.1. Menunjukkan perilaku jujur,
peduli, santun, dan tanggung jawab
dalam penggunaan bahasa
Indonesia untuk memahami dan
menyajikan novel.
2.1.1 Terbiasa berinisiatif dalam bahasan
memecahkan masalah.
2.1.2 Terbiasa memberi pendapat dalam bahasan
pemecahan masalah.
2.1.3 Terbiasa menggunakan pilihan kata yang
menunjukkan sikap yang santun.
3.1. Memahami struktur dan kaidah teks
novel baik lisan maupun tulisan.
3.2. Menginterpretasi makna teks novel
baik lisan maupun tulisan.
3.1.1 Mengidentifikasi struktur dan kaidah teks
novel.
3.1.2 Mengindentifikasi ciri bahasa teks novel.
3.1.3 Menjelaskan makna/isi pokok teks novel.
3.1.4 Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai
dengan latar cerita.
3.1.5 Menemukan keterkaitann isi novel dengan
kehidupan sehari-hari.
C. Tujuan Pembelajaran
Melalui kegiatan pembelajaran menggunakan model Genre-based-Approach yang dipadukan
dengan metode Numbered Heads Together, CTL (Contextual Teaching and Learning), dan
pendekatan sosiopsikologis yang menuntun peserta didik untuk mengamati permasalahan,
menuliskan penyelesaian dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Selama dan setelah
mengikuti proses pembelajaran ini peserta didik diharapkan dapat:
Kompetensi Sikap
1. Terbiasa berinisiatif dalam bahasan memecahkan masalah
2. Terbiasa memberi pendapat dalam bahasan pemecahan masalah
3. Terbiasa toleran dalam memecahkan masalah
4. Terbiasa membantu teman sejawat dalam memecahkan masalah
5. Terbiasa menggunakan gesture dengan santun
Kompetensi Pengetahuan dan Keterampilan
Pertemuan Pertama
Selama dan setelah mengikuti pembelajaran ini peserta didik dapat:
1. Mengidentifikasi isi teks novel dengan baik
2. Mengidentifikasi struktur dan kaidah teks novel dengan baik
3. Mengidentifikasi ciri bahasa teks novel dengan baik
Pertemuan Kedua
Selama dan setelah mengikuti pembelajaran ini peserta didik dapat:
1. Menjelaskan isi makna/isi pokok teks novel dengan baik,
2. Menjawab pertanyaan literal yang terkait dengan novel dengan baik
3. Menjelaskan keterkaitan isi novel dengan kehidupan sehari-hari dengan baik
dengan rasa rasa ingin tahu, tanggung jawab, displin selama proses pembelajaran, bersikap
jujur, santun, percaya diri dan pantang menyerah, serta memiliki sikap responsif (berpikir
kritis) dan pro-aktif (kreatif), serta mampu berkomukasi dan bekerjasama dengan baik.
Focus nilai-nilai Sikap
1. Religious
2. Disiplin
3. Mandiri
4. Kerja keras
5. Integritas
D. Materi Pembelajaran
Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-2
Isi novel Meringkas isi teks novel
Struktur atau kaidah novel Menemukan pokok peristiwa dalam novel
Ciri bahasa novel Keterkaitan keadaan sosial novel dengan
konteks sosial peserta didik
E. Metode Pembelajaran
Pendekatan : Sosiopsikologis
Model Pembelajaran : Pembelajaran Berbasis Teks (Genre-based-Approach)
Metode Pembelajaran : Ceramah, diskusi, penugasan, Numbered Heads Together, dan
CTL (Contextual Teaching and Learning)
F. Media/alat, Bahan, dan Sumber Belajar
Pustaka rujukan Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari
Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nurgiantoro, terbitan Gadjah
Mada University Press tahun 2013.
E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, terbitan Yrama
Widya tahun 2012.
Kamus Istilah Sastra karya Abdul Razak Zaidan dkk, terbitan Balai
Pustaka tahun 2007.
Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia karya Maman S Mahayana
terbitan PT RajaGrafindo Persana 2007.
Konteks Sosial Novel Indonesia 1930-1977 karya Jacob Sumardjo,
terbitan ALUMNI tahun 1999.
Sumber lain yang relevan.
Material: VCD,
kaset, poster Foto Ahmad Tohari
Media cetak dan
elektronik
Cerpen Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari yang
dimuat dalam harian Republika dan Artikel tentang kehidupan
Ahmad Tohari
Website internet -
G. Langkah-langkah Pembelajaran
1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu
Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan ini guru:
Orientasi (Menunjukkan sikap disiplin sebelum memulai proses pembelajaran,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut (Karakter) serta
membiasakan membaca dan memaknai (Literasi)).
Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa untuk memulai
pembelajaran (PPK : religious)
Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan
pembelajaran.
Apersepsi
Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan
10
menit
1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu
dengan pengalaman peserta didik pada materi/kegiatan sebelumnya,
Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang
akan dilakukan.
Motivasi
Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari
Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan berlangsung.
Pemberian Acuan
Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan
berlangsung.
Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan
KKM pada pertemuan yang berlangsung
Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan
langkah-langkah pembelajaran.
Kegiatan Inti
Kegiatan Pembelajaran
Mengamati
Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian
pada topik:
Memahami struktur novel Lingkar Tanah Lingkar Air
Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Mengindetifikasi ciri bahasa novel
Menyimpulkan unsur-unsur novel Lingkar Tanah Lingkar Air
Peserta didik melihat gambar atau wujud novel yang ditampilkan guru
sebagai gambaran tentang novel Indonesia.
Peserta didik menyimak penjelasan guru tentang hakikat novel untuk
membangun konteks.
Peserta didik melakukan tanya jawab untuk membangun pemahaman tentang
materi novel yang akan dipelajari,
Setelah menjawab pertanyaan, peserta didik menyimak guru menjelaskan
novel Lingkar Tanah Lingkar Air sambil mencermati hal-hal menarik dari
novel tersebut
Menanya
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan novel dan penjelasan yang
diberikan, yang akan dijawab melalui kegiatan belajar.
Peserta didik menanyakan hal-hal yang belum dipahami terkait tentang
hakikat novel.
Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang hal-hal menarik dan
menonjol yang terdapat dalam novel “Lingkar Tanah Linkar Air”.
Mengajukan pertanyaan tentang :
Memahami struktur novel Lingkar Tanah Lingkar Air
Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
10
menit
1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu
Mengindetifikasi ciri bahasa novel
Menyimpulkan unsur-unsur novel Lingkar Tanah Lingkar Air
yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi tambahan untuk mengembangkan kreativitas, rasa
ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran
kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.
Mengumpulkan informasi
Peserta didik mengumpulkan berbagai informasi yang dapat mendukung jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang diidentifikasi melalui kegiatan:
Peserta didik diminta membaca teks novel berjudul “Lingkar Tanah Lingkar
Air” kemudian mengerjakan tugas-tugas.
Dengan dipandu guru, peserta didik mengenali struktur cerita novel pendek
“Lingkar Tanah Lingkar Air”, khususnya tema.
Dengan dipandu guru, peserta didik mengenali struktur cerita novel pendek
“Lingkar Tanah Lingkar Air”, khususnya alur, tokoh, latar, sudut pandang,
dan gaya bahasa.
Peserta didik diminta untuk menemukan gagasan pokok dalam novel yang
diyakini dijadikan sumber cerita pada novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
Peserta didik dengan bantuan guru mengenali struktur dan ciri bahasa novel
“Lingkar Tanah Lingkar Air”.
Mengasosiasi
Peserta didik mendiskusikan data/informasi yang diidentifikasi melalui diskusi
kelompok guna saling bertukar informasi dan menemukan masalah terkait materi
pokok yang dibahas.
Peserta didik mengindetifikasi hal-hal menarik dari novel “Lingkar Tanah
Lingkar Air”.
Peserta didik secara berkelompok berdiskusi bersama untuk mengidentifikasi
struktur novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
Peserta didik secara berkelompok berdiskusi bersama untuk mengidentifikasi
ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
Peserta didik bersama kelompoknya berdiskusi bersama untuk menjelaskan
struktur novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
Peserta didik bersama kelompoknya berdiskusi bersama untuk menjelaskan
ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
Peserta didik bersama kelompoknya menuliskan simpulan hasil diskusi
tentang isi, struktur novel dan ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar
Air”.
dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga
diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi
kelompok kemudian, dengan menggunakan metode ilmiah yang terdapat pada
buku pegangan peserta didik atau pada lembar kerja yang disediakan dengan
cermat untuk mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat
orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan
belajar dan belajar sepanjang hayat.
1. Pertemuan Ke-1 ( 2 x 45 menit ) Waktu
Mengkomunikasikan
Peserta didik menyajikan dan menyampaikan hasil data/informasi yang diperoleh
dari kegiatan diskusi secara lisan maupun tulisan .
Peserta didik bersama kelompoknya mempersentasikan hasil diskusi secara
klasikal tentang isi, struktur dan ciri bahasa novel “Lingkar Tanah Lingkar
Air”.
Peserta didik mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan dan
ditanggapi oleh kelompok yang mempresentasikan
Bertanya atas presentasi yang dilakukan dan peserta didik lain diberi
kesempatan untuk menjawabnya.
Peserta didik menyimpulkan tentang point-point penting yang muncul
dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan berupa laporan hasil
pengamatan secara tertulis tentang isi, struktur bentuk, dan ciri bahasa teks
cerpen. Simpulan yang dibangun dari simpulan kelompok kecil, kini menjadi
lebih sempurna, menjadi simpulan kelas.
Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru
melemparkan beberapa pertanyaan kepada peserta didik.
Catatan :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap peserta didik
dalam pembelajaran yang meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri,
berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin
tahu, peduli lingkungan)
Kegiatan Penutup
Peserta didik:
Membuat rangkuman/simpulan pelajaran.tentang point-point penting yang
muncul dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan.
Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
Guru:
Memeriksa pekerjaan siswa yang selesai langsung diperiksa. Peserta didik
yang selesai mengerjakan projek dengan benar diberi paraf serta diberi
nomor urut peringkat, untuk penilaian projek.
Memberikan penghargaan kepada kelompok yang memiliki kinerja dan
kerjasama yang baik
Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugas kelompok/
perseorangan (jika diperlukan).
Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya
70
menit
2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu
Kegiatan Pendahuluan
Dalam kegiatan ini guru:
Orientasi (Menunjukkan sikap disiplin sebelum memulai proses pembelajaran,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianut (Karakter) serta
membiasakan membaca dan memaknai (Literasi)).
10
menit
2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu
Melakukan pembukaan dengan salam pembuka dan berdoa untuk memulai
pembelajaran (PPK : religious)
Memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin
Menyiapkan fisik dan psikis peserta didik dalam mengawali kegiatan
pembelajaran.
Apersepsi
Mengaitkan materi/tema/kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan
dengan pengalaman peserta didik pada materi/kegiatan sebelumnya,
Mengingatkan kembali materi prasyarat dengan bertanya.
Mengajukan pertanyaan yang ada keterkaitannya dengan pelajaran yang
akan dilakukan.
Motivasi
Memberikan gambaran tentang manfaat mempelajari novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari
Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan berlangsung.
Pemberian Acuan
Memberitahukan materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan
berlangsung.
Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan
KKM pada pertemuan yang berlangsung
Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan
langkah-langkah pembelajaran.
Kegiatan Inti
Kegiatan Pembelajaran
Mengamati
Peserta didik diberi motivasi atau rangsangan untuk memusatkan perhatian
pada topik:
Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr
Menjelaskan makna/isi pokok teks novel
Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita
Menemukan keterkaitan keadaan sosial novel dengan kehidupan
sehari-hari
didik membaca kembali novel pendek yang berjudul “Lingkar Tanah
Lingkar Air” secara sekilas dan menikmati kekhasan imajinasinya.
Guru menjelaskan makna novel “Lingkar Tanah Lingkar Air” dalam konteks
sosialnya.
Peserta didik menangkap dan mencatat hal-hal penting dari penjelasan guru
tentang konteks sosial yang menjadi fokus pembelajaran.
Menanya
Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengidentifikasi
sebanyak mungkin pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang disajikan dan
akan dijawab melalui kegiatan belajar:
Peserta didik dengan bimbingan guru bertanya jawab untuk mengingat
70
menit
2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu
kembali isi, struktur, ciri bahasa teks novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”.
Pertanyaannya dapat berupa hal-hal yang sudah diketahui pada
pembelajaran sebelumnya atau pertanyaan lanjutan tentang informasi setelah
membaca novel.
Peserta didik bertanya jawab dengan guru bertanya jawab tentang pokok-
pokok peristiwa yang berkaitan dengan latar cerita dalam “Lingkar Tanah
Lingkar Air”.
Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang keterkaitan realitas sosial
dalam novel “Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan realitas sekarang yang
terjadi di dalam kehidupan peserta didik.
Mengajukan pertanyaan tentang :
Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr
Menjelaskan makna/isi pokok teks novel
Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita
Menemukan keterkaitan keadaan sosial novel dengan kehidupan
sehari-hari
yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk
mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati untuk
mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan
pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas
dan belajar sepanjang hayat.
Mengumpulkan informasi
Peserta didik mengumpulkan berbagai informasi yang dapat mendukung jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui kegiatan:
Guru memberi tugas secara berkelompok untuk menguatkan informasi yang
telah didapat berupa lembar tugas. Misalnya:
Temukanlah pokok-pokok peristiwa sesuai latar cerita dalam novel
“Lingkar Tanah Lingkar Air”!
Kaitkanlah keadaan sosial masyarakat dalam novel “Lingkar Tanah
Lingkar Air” dengan realitas sosial sekarang!
Dalam diskusi kelompok peserta didik saling bertukar informasi dan
memikirkan jawaban dari lembar tugas.
Dalam kelompok peserta didik secara aktif membaca sumber-sumber lain
untuk menambah pemahaman tentang keterkaitan peristiwa dalam novel
dengan realitas di kehidupan sehari-hari.
Mengasosiasi
Peserta didik mendiskusikan data/informasi yang diidentifikasi melalui diskusi
kelompok guna saling bertukar informasi dan menemukan masalah terkait materi
pokok yang dibahas.
Peserta didik mengerjakan beberapa soal mengenai:
Menginterpretasi makna teks novel Lingkar Tanah Lingkar AIr
Menjelaskan makna/isi pokok teks novel
Menjelaskan pokok-pokok peristiwa sesuai dengan latar cerita
Menemukan keterkaitan isi novel dengan kehidupan sehari-hari
Dengan dipandu oleh guru, peserta didik bersama kelompoknya mengaitkan
2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu
isi dan pokok peristiwa yang dibaca dalam novel “Lingkar Tanah Lingkar
Air” dengan realitas sosial peserta didik.
Peserta didik bersama kelompoknya mencari contoh keadaan sosial dalam
kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan konteks sosial dalam novel
“Lingkar Tanah Lingkar Air”.
Peserta didik menemukan keterkaitan keadaan sosial yang ada dalam novel
“Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan realitas di kehidupan.
Mengkomunikasikan
Peserta didik menyajikan dan menyampaikan hasil data/informasi yang diperoleh
dari kegiatan diskusi secara lisan maupun tulisan .
Peserta didik bersama kelompoknya/sharing hasil diskusi kepada kelompok
seluruh kelas tentang keterkaitan peristiwa dan keadaan sosial novel
“Lingkar Tanah Lingkar Air” dengan kehidupan nyata peserta didik
Dalam diskusi kelas, peserta didik menjelaskan dan memberi contoh
keterkaitan peristiwa dan keadaan sosial novel “Lingkar Tanah Lingkar Air”
dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam diskusi kelas, peserta didik dari kelompok lain sebagai pengamat
mengemukakan pendapat atas presentasi yang dilakukan dan ditanggapi oleh
kelompok yang mempresentasikan.
Secara bergantian, peserta didik dari tiap kelompok melaporkan hasil
diskusi kepada seluruh kelompok kelas.
Peserta didik menyimpulkan tentang point-point penting yang muncul dalam
kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan berupa laporan hasil
pengamatan secara tertulis tentang isi, struktur bentuk, dan ciri bahasa teks
cerpen. Simpulan yang dibangun dari simpulan kelompok kecil, kini menjadi
lebih sempurna, menjadi simpulan kelas.
Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru
melemparkan beberapa pertanyaan kepada peserta didik.
Catatan :
Selama pembelajaran berlangsung, guru mengamati sikap peserta didik
dalam pembelajaran yang meliputi sikap: disiplin, rasa percaya diri,
berperilaku jujur, tangguh menghadapi masalah tanggungjawab, rasa ingin
tahu, peduli lingkungan)
Kegiatan Penutup
Peserta didik:
Membuat rangkuman/simpulan pelajaran tentang point-point penting yang
muncul dalam kegiatan pembelajaran yang baru dilakukan.
Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
Guru:
Memeriksa pekerjaan peserta didik yang selesai langsung diperiksa. Peserta
didik yang selesai mengerjakan projek dengan benar diberi paraf serta diberi
nomor urut peringkat, untuk penilaian projek.
Memberikan penghargaan kepada kelompok yang memiliki kinerja dan
kerjasama yang baik
Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugas kelompok/
10
menit
2. Pertemuan Ke-2 ( 2 x 45 menit ) Waktu
perseorangan (jika diperlukan).
Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya
F. Penilaian
TEKNIK
DAN
BENTUK
Tugas:
Peserta didik diminta membaca novel Lingkar Tanah Lingkar Air
karya Ahmad Tohari.
Peserta didik berdiskusi memahami unsur intrinsik (tema, alur, tokoh,
latar dan sudut pandang) yang ada dalam novel Lingkar Tanah
Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
Peserta didik secara berkelompok diminta untuk menjelaskan unsur-
unsur intrinsik dalam novel
Peserta didik berdiskusi memahami unsur ekstrinsik terkait keadaan
sosial dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari.
Peserta didik secara berkelompok mengungkapkan kaitannya keadaan
sosial di masa Revolusi Indonesia yang terdapat dalam novel Lingkar
Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dengan realitas sosial
sekarang.
Observasi kinerja/Demonstrasi:
Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi secara bergantian.
Kelompok lain menyimak dan menanggapi setiap presentasi
kelompok.
Tes tulis:
Peserta didik menjawab “Kuis Uji Benar-Salah” untuk mengukur
pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari.
Mengetahui, Jakarta, April 2018
Kepala SMA/MA Guru Bidang Studi
.................................. ...................................
NIP./NIK. NIP./NIK
PENILAIAN KERJA KELOMPOK
A. Penilaian Tugas kelompok
Nama Kelompok : …………. Kelas : ……… Tanggal : ………
No. Aspek Penilaian Bobot Nilai
1
Kejelasan saat menjelaskan pengertian unsur intrinsik
dan ekstrinsik novel.
a. Sesuai (5)
b. Kurang sesuai (3)
c. Tidak sesuai (1)
5
2
Kemampuan mendiskusikan dan menjelaskan unsur
intrinsik novel.
a. Sesuai (5)
b. Kurang sesuai (3)
c. Tidak sesuai (1)
5
3
Kemampuan menjelaskan keadaan sosial masyarakat
dalam novel.
a. Sesuai (5)
b. Kurang sesuai (3)
c. Tidak sesuai (1)
5
4
Kemampuan menyimpulkan hasil diskusi.
a. Sesuai (5)
b. Kurang sesuai (3)
c. Tidak sesuai (1)
5
Nilai =
B. Penilaian Sikap
Nama Kelompok :
Anggota Kelompok :
Kelas :
Tanggal Penilaian :
No. Aspek-aspek yang dinilai Nilai
A B C D
1. Antusiasme peserta didik di setiap kelompok
dalam penyusunan tugas.
2. Kemampuan bekerjasama atau berdiskusi.
3. Ketuntasan menyelesaikan tugas.
4. Keberanian dalam mengemukakan pendapat.
5. Tingkat perhatian pada keolmpok lain yang
sedang mempresentasikan hasil diskusi.
6. Terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar.
7. Terbiasa berinisiatif dalam bahasan
memecahkan masalah.
8. Terbiasa toleran dalam memecahkan masalah
9. Terbiasa membantu teman sejawat dalam
memecahkan masalah
10. Terbiasa menggunakan gesture dengan yang
santun.
Pedoman penskoran:
1 → Kurang 2 → Cukup 3 → Baik 4 → Sangat Baik
Nilai =
LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
Nama Kelompok :
Nama Anggota Kelompok
1. ………………… 4. …………………
2. ………………… 5. …………………
3. …………………
Analisislah unsur tema, alur, tokoh, latar dan sudut pandang, serta jelaskanlah
keadaan sosial dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari!
Ringkasan diskusi :
Nama :
Kelas :
Hari/Tanggal :
“KUIS BENAR-SALAH”
Lingkarilah huruf B jika benar dan huruf S jika salah untuk setiap pernyataan berikut:
No Pernyataan Benar/Salah
1. Novel menceritakan kehidupan manusia dalam durasi yang
panjang, lebih detail dan kompleks. B S
2. Unsur intrinsik secara langsung membangun cerita yang
membentuk sebuah karya sastra. B S
3. Fakta dalam sebuah cerita melingkupi tema, alur, latar, dan
sudut pandang. B S
4.
Unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung membangun cerita mempengaruhi teks
sastra disebut unsur ekstrinsik. B S
5. Tokoh cerita yang hanya memiliki satu watak tertentu saja,
maka dinamakan tokoh utama. B S
6.
Tahapan alur meliputi tahap penyituasian, tahap tengah,
tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, dan
tahap akhir. B S
7. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. B S
8. Adat istiadat, tradisi, dan cara bersikap di suatu tempat
menunjukkan latar tempat suatu novel. B S
9. Tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan
menunjuk pada teknik pengembangan tokoh cerita. B S
10.
Pengisahan dengan sudut pandang “Dia” memungkinkan
untuk membeberkan berbagai pengalaman tokoh cerita ke
hal yang paling dalam dan rahasia sekalipun. B S
JAWABAN “KUIS BENAR-SALAH”
Lingkarilah huruf B jika benar dan huruf S jika salah untuk setiap pernyataan berikut:
No Pernyataan Benar/Salah
1. Novel menceritakan kehidupan manusia dalam durasi yang
panjang, lebih detail dan kompleks.
S
2. Unsur intrinsik secara langsung membangun cerita yang
membentuk sebuah karya sastra. B
S
3. Fakta dalam sebuah cerita melingkupi tema, alur, latar, dan
sudut pandang. B
S
4.
Unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung membangun cerita mempengaruhi teks
sastra disebut unsur ekstrinsik.
B S
5. Tokoh utama adalah tokoh cerita yang hanya memiliki satu
watak tertentu saja. B
S
6.
Tahapan alur meliputi tahap penyituasian, tahap tengah,
tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, dan
tahap akhir.
S
7. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. B
S
8. Adat istiadat, tradisi, dan cara bersikap di suatu tempat
menunjukkan latar tempat suatu novel. B
S
9. Tokoh merujuk pada pelaku cerita, sedangkan penokohan
menunjuk pada teknik pengembangan tokoh cerita.
B S
10.
Pengisahan dengan sudut pandang “Dia” memungkinkan
untuk membeberkan berbagai pengalaman tokoh cerita ke
hal yang paling dan rahasia sekalipun. B S
Jumlah benar x 10 = 100
B
B
S
B
S
S
B
B
S
S
URAIAN MATERI
A. Pengertian Novel
Novel adalah suatu bentuk sastra yang di dalamnya mengandung dua unsur, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang mana keduanya saling berpengaruh dalam
sebuah karya sastra. Pengertian novel dikemukakan Kosasih sebagai karya imajinatif
yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa
orang tokoh. HB. Jassin secara lebih rinci menjelaskan novel merupakan suatu
karangan prosa bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari
kehidupan tokoh cerita, luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu
pertikaian, yang mengalihkan urusan nasib mereka.1 Dalam sebuah novel, cerita akan
lebih luas, kompleks dan lebih panjang dibanding cerpen, dan di dalamnya
menggambarkan kondisi dan situasi yang kemungkinan berangkat dari kenyataan di
masyarakat.
Untuk mengetahui perbedaan antara cerpen dan novel, maka perhatikan tabel di
bawah ini.2
No. Cerpen Novel
1 Alur lebih sederhana.
Alur lebih rumit dan lebih panjang.
Ditandai oleh perubahan nasib pada
sang tokoh.
2 Tokoh yang dimunculkan hanya
beberapa orang.
Tokoh yang dimunculkan lebih banyak
dalam berbagai karakter.
3 Latar yang dilukiskan hanya
sebentar dan sangat terbatas.
Latar meliputi wilayah geografi yang
luas dan dalam waktu yang lebih lama.
4 Tema mengupas masalah yang
relatif sederhana.
Tema lebih kompleks, ditandai oleh
adanya tema-tema bawahan.
B. Unsur Intrinsik Novel
Novel sebagai sebuah karya fiksi secara langsung dibangun oleh unsur-unsur
intrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur utama yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur yang dimaksud meliputi: tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa. Berikut penjelasannya.
a. Tema
Tema adalah ide pokok yang menjalin struktur isi cerita secara keseluruhan.
Baldic dalam Nurgiantoro mengartikan tema sebagai gagasan abstrak utama yang
terdapat dalam karya sastra dan dimunculkan secara berulang-ulang, baik secara
1 Suroto, Apresiasi Sastra Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 1989), h. 19.
2 E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung, Yrama Widya, 2012),
h. 60.
eksplisit maupun implisit lewat pengulangan motif.3 Biasanya tema tersembunyi pada
unsur penokohan, alur ataupun latar. Untuk mengetahui tema tersebut, maka
diperlukan apresiasi menyeluruh dengan membacanya sampai tuntas. Tema-tema
karya sastra banyak dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat, menyangkut segala
persoalan, berupa kemanusiaan, persahabatan, perjuangan, percintaan, kekuasaan, dan
sebagainya.
b. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah cerita. Menurut E.
Kosasih pola pengembangan cerita dalam suatu alur terbentuk oleh hubungan sebab
akibat.4 Serangkaian peristiwa yang muncul disebabkan atau menyebabkan berbagai
peristiwa lain. Kekuatan alur dalam sebuah novel terlihat dari bagaimana pengarang
membawa pembacanya mengikuti terjadinya konflik, memuncaknya konflik, dan
berakhirnya konflik. Hal ini karena novel bersifat kompleks dengan persoalan
tokohnya yang rumit.
Secara umum, dalam novel tahapan alur atau jalan cerita terbagi ke dalam bagian-
bagian berikut.
1) Pengenalan situasi cerita, yang mana pengarang memperkenalkan para tokoh,
menata adegan dan hubungan antartokoh;
2) Pemunculan konflik, dalam bagian ini peristiwa awal yang menimbulkan
berbagai masalah, pertentangan, dan kesulitan bagi para tokohnya.
3) Peningkatan konflik, terjadi peningkatan konflik yang mana konflik di tahap
sebelumnya semakin meningkat kadar intensitasnya yang akibatnya
bertambahnya kesukaran tokoh.
4) Klimaks, menjadi puncak konflik yang dialami tokoh. Inilah bagian cerita
paling besar yang mana ditentukannya perubahan nasib beberapa tokoh.
5) Penyelesaian sebagai akhir cerita berisi jalan keluar atau penjelasan nasib yang
dialami tokohnya setelah mengalami puncak konflik.
c. Tokoh dan Penokohan
Antara tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang sangat berkaitan dalam
sebuah novel. Tokoh merupakan pelaku dalam cerita fiksi, sedangkan penokohan
merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-
tokoh dalam cerita.5 Untuk mengembangan karakter seorang tokoh tersebut dapat saja
melalui: 1) penggambaran fisik dan perilaku tokoh; 2) penggambaran jalan pikiran
tokoh; 3) penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; 4) penggambaran oleh tokoh
lain; dan 5) penggambaran tata kebahasan tokoh.
3 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 115.
4 E. Kosasih, Op.cit, h. 63.
5 E. Kosasih, Op.cit, h. 67.
d. Latar/ Setting
Latar merupakan gambaran tentang waktu dan tempat terjadinya peristiwa. Latar
dalam hal ini harus dilihat secara keseluruhan untuk memperkuat pembaca memahami
jalannya cerita, yang secara tidak langsung mendukung tokoh untuk menggerakan
peristiwa-peristiwa. Ketika membaca suatu cerita rekaan, pembaca mempunyai
persepsi lokasi, waktu dan suasana yang dialami tokoh. Ketepatan pelukisan latar akan
membantu memperjelas peristiwa yang sedang diceritakan.
Mengutip pada Aminuddin dan Nurgiantoro, latar dikelompokkan dalam tiga
unsur mencakup: (1) latar tempat, yang mengarah pada di mana atau lokasi konkret
terjadinya peristiwa yang diceritakan; (2) latar waktu, merujuk pada masalah kapan
terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita rekaan. Penetapan waktu peristiwa
biasanya dapat dihubungankan dengan waktu faktual atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah. (3) latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan,
mencakup seperti tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap serta
status sosial tokoh yang bersangkutan. Apsek-aspek itu dapat menentukan apakah latar
cerita khususnya tempat menjadi khas, fungsional, tipikal ataupun netral untuk
menyakinkan pembaca terhadap suasana daerah yang menjadi latar cerita.6
e. Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, merupakan cara sebuah cerita dikisahkan, yang
berkaitan dengan posisi pengarang dalam membawakan cerita. Pemilihan posisi
pengisahan cerita pada hakikatnya menunjuk pada teknis bercerita agar apa yang
dikisahkan lebih efektif. Posisi pengarang dalam menyampaikan cerita dapat saja
berperan secara langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang ikut terlibat
dalam cerita. Ia menggunakan istilah “Aku” mengisahkan peristiwa dan tindakan yang
diketahuinya, dilihatnya, didengar, dialami dan dirasakannya. Dalam cerita, pengarang
dapat pula menyampaikan cerita dengan cara bercerita orang ketiga. Ia menggunakan
kata dia, ia atau memakai nama orang. Pengarang seakan berada di luar cerita dan
tidak memegang peranan apapun. Ia hanya menceritakan apa yang terjadi di antara
tokoh-tokoh cerita yang dikarangnya.
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa menunjuk pada cara pengucapan bahasa dalam karya sastra, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.
Penggunaan bahasa pada cerita fiksi berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau
suasana bagi pembaca. Kecerdasan dan ketepatan mempergunakan bahasa secara
langsung dapat menjelmakan suatu suasana keindahan, simpatik atau emosional yang
menyentuh hati pembaca.
6 Burhan Nurgiyantoro, Op.cit, h. 314-325.
g. Amanat
Amanat merupakan pesan moral atau didaktis yang hendak disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca melalui karya sastra. Amanat biasanya tersimpan rapi dan
tersembunyi dalam keseluruhan isi cerita. Seperti halnya tema, maka untuk
menemukan itu, perlu membaca secara tuntas agar dapat mengetahui amanat apa yang
hendak disampaikan pengarang.
C. Unsur Ekstrinsik Novel
Di sisi lain, unsur ekstrinsik merupsksn unsur-unsur yang berada di luar teks
sastra. Meski tidak ikut di bagian dalam teks sastra, namun secara tidak langsung
mempengaruhi penciptaan teks sastra. Pemahaman unsur ekstrinsik didasarkan bahwa
karya sastra tidak muncul dari kekosongan budaya, sehingga harus tetap dipandang
sebagai sesuatu yang penting.
Seperti halnya unsur intrinsik, dalam hal ini unsur ekstrinsik juga terdiri dari
sejumlah unsur, antara lain: latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan
pandangan hidup pengarang, adat-istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik,
persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain.7 Dalam rumusan yang
tidak jauh berbeda, Wellek & Warren memaparkan unsur-unsur ekstrinsik meliputi: 1)
biografis dalam hal sikap, keyakinan dan ideologi pengarang sebagai orang yang
menciptakan karya sastra; 2) psikologi baik psikologi pengarang sebagai pribadi dan
proses kreatifnya; 3) keadaan lingkungan di sekitar pengarang seperti sistem politik,
ekonomi, dan situasi sosial; 4) dan pemikiran suatu bangsa yang turut mempengaruhi
penciptaan karya sastra.8
Referensi
Kosasih, E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007.
Suroto. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1989.
7 Suroto, Op.cit, h. 138.
8 Renne Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1993), h. 77-153.
PROFIL PENULIS
Marcita Fajarwati, lahir di Jakarta pada 29 Maret
1993. Anak kedua dari empat bersaudara ini
memulai pendidikan dasar di SDN Ciracas 13
Jakarta, lalu meneruskan pendidikannya di SMP
Negeri 174 Jakarta Timur. Kemudian melanjutkan
pendidikan ilmu Pariwisata di SMIP Mahadhika 3
Jakarta Timur. Dan setelah lulus pada tahun 2011,
memilih meneruskan pendidikannya ke perguruan
tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif (UIN)
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
Dunia perkuliahan memberi penulis banyak pelajaran dan pengalaman. Mengenal sastra
bukan lagi sebagai sebuah cerita dalam coretan aksara, melainkan rekam kehidupan.
Mengenal seorang guru tidak hanya sebagai pendidik, tetapi juga penuntun bagi
muridnya. Di akhir, penulis berharap semoga skripsi yang dibuat dapat bermanfaat bagi
pembacanya.