skenario e blok 19 tahun 2013

109
Skenario E Blok 19 Tahun 2012 Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan kejang. Dari catatan rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan kejang saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rectal dua kali dan intravena satu kali kejang juga belum teratasi. Kejang berhenti setela diberikan drip fenitoin. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar. Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik, namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong. Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS penderita mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, mata mendelik ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung kurang lebih lima menit. Setelahnya penderita tidak sadar. Penderita kemudian dibawa ke RS. Sekitar 10 menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit, bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan rumah sakit lebih kurang 10 kilometer. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan di atas, kejang berhenti. Pasca kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai sadar. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering tersedak. 1

Upload: laode-m-hidayatullah

Post on 26-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

skenario E tutorial blok 19

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Skenario E Blok 19 Tahun 2012

Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan

kejang. Dari catatan rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan kejang

saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rectal dua kali dan intravena satu kali kejang

juga belum teratasi. Kejang berhenti setela diberikan drip fenitoin. Kejang tidak didahului atau

disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.

Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,

namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.

Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS

penderita mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, mata mendelik ke atas,

kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung kurang lebih lima

menit. Setelahnya penderita tidak sadar. Penderita kemudian dibawa ke RS. Sekitar 10 menit

setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit, bangkitan serupa

berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan rumah sakit lebih

kurang 10 kilometer. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan di atas, kejang

berhenti. Pasca kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai sadar.

Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering

tersedak.

Riwayat Penyakit Sebelumnya :

Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalai kejang dengan demam tinggi. Dilakukan

pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita meningitis. Penderita

dirawat di RS selama 15 hari.

Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak

dua kali. Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak

tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah enam bulan berobat,

orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang. Penderita sudah bisa

bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.

Pemeriksaan fisik :

1

Page 2: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi 100x/menit, laju

nafas 30x/menit.

Pemeriksaan neurologis :

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak mata

dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi deviasi

ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan nampak terbatas dan

kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit

diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai

kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan

tungkai kanan meningkat, serta ditemukan reflex Babinski di kaki sebelah kanan.

I. Klarifikasi Istilah

1. Kejang : Kontrasi otot secara mendadak keras dan involunter

2. Diazepam : Obat penenang golongan benzediazepin digunakan sebagai ansiolitik

agen antipanic, sedative, relaksan otot rangka, anti konvulsan, dan dalam penatalaksanaan

gejala-gejala akibat penghentian alkohol

3. Drip Fenitoin : Anti konvulsan yang digunakan untuk mengatasi berbagai bentuk

epilepsy dan kejang akibat bedah syaraf yang diberikan dalam benuk infuse cairan atau

tetesan

4. Bangkitan : Epileptic seizure merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa

(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa

perubahan kesadaran disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel syaraf di otak

yang bukan disebabkan oleh penyakit otak akut

5. Kelojotan : Rangkaian kontraksi dan relaksasi otot yang involunter serta pergantian

secara cepat

2

Page 3: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

6. Meningitis : Radang pada membran pembungkus otak dan medulla spinalis

(meningen)

7. Asam Valproat: Obat yang bekerja di jaringan otak untuk menghentikan kejang ; anti

konvulsan asam 2-proprilpentanoat yang digunakan untuk mengontrol kejang yang tidak

terlihat

8. Deviasi : Penyimpangan ke salah satu arah

9. Tonus : Kontraksi otot yang ringan dan terus menerus

10. Tremor : Gemetar atau menggigil yang involunter

11. Reflex Babinski: Tindakan reflex jari-jari kaki yang normal selama masa bayi tetapi

abnormal setelah usia 12-18 bulan

II. Identifikasi masalah

1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan

kejang.

2. Dari rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan kejang saat

datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan IV satu kali kejang juga

belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Kejang tidak didahului

atau disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.

3. Setelah 8 jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik, namun

masih malas bicara serta tatapan sering kali kosong.

4. Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar 20 menit sebelum masuk RS penderita

mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, mata mendelik ke atas,

kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung 5 menit.

Setelahnya penderita tidak sadar.

3

Page 4: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

5. Sekitar 10 menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit,

bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dan

rumah sakit lebih kurang 10 kilometer.

6. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan diatas, kejang berhenti. Pasca

kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar.

7. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita

sering tersedak.

8. Riwayat Penyakit Sebelumnya :

- Saat berusia 9 bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi. Dilakukan

pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita meningitis.

Penderita dirawat di RS selama 15 hari.

- Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam

sebanyak dua kali.

- Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak

tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah 6 bulan

berobat, orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.

- Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai

sepeda roda tiga.

9. Pemeriksaan fisik :

Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi

100x/menit, laju nafas 30x/menit.

10. Pemeriksaan neurologis :

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak

mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah

terjadi deviasi ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan

nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan

tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan

dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya.

Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan

reflex Babinski di kaki sebelah kanan.

4

Page 5: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

III. Analisis masalah

1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan

keluhan kejang.

a. Bagaimana etiologi dari keluhan diatas?

Secara umum etiologi kejang antara lain:

- Metabolik Sistemik

o Hipernatremia : Pada kondisi hipernatremia, air keluar dari intrasel ke

ekstrasel yang mengakibatkan volume otak mengecil sehingga

menimbulkan robekan pada vena. Robekan vena tersebut dapat

menyebabkan perdarahan lokal dan subarakhnoid, sehingga memicu

terjadinya kejang.

o Hiponatremia : Kondisi hiponatremia menyebabkan berpindahnya air dari

ekstrasel ke intrasel otak sehingga menimbulkan edema otak. Seperti

halnya pada perdarahan otak akibat hipernatremia, edema sel otak juga

dapat menimbulkan gejala kejang.

- Tumor

Pada dasarnya ruang kranium tidak mentolerir adanya tambahan massa atau tumor

sebab ruang kranium yang sempit dan terbatas. Sehingga dengan adanya tumor maka

tekanan intrakranial dapat meningkat. Selain itu, tumor intrakranial juga dapat

menimbulkan perdarahan setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor

menyebabkan jaringan otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa

diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor

terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.

Peningkatan tekanan intrakranial sendiri dapat memicu gejala kejang.

- Epilepsi (sesuai dengan kasus)

Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan

gejala tunggal yang khas, yaitu serangan kejang berkala yang disebabkan oleh lepas

muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya

gejala- gejala yang datang dalam serangan-serangan berulang-ulang yang disebabkan

lepas m/uatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel.

5

Page 6: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Trauma

Pada trauma kepala, sering kali didapatkan perdarahan yang menyebabkan hipoksia

otak dan peningkatan tekanan intrakranial otak, sehingga dapat menimbulkan kejang.

- Intoksikasi dan Efek obat

Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat depresan

trisiklik, obat tidur (sedatif) atau fenotiasin. Menghentikan obat-obatan

penenang/sedatif secara mendadak seperti barbiturat dan valium juga dapat

mencetuskan kejang.

- Infeksi

Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk

empiema epidural, subdural, atau abses otak. Infeksi biasanya disertai dengan demam.

b. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin, BB dengan keluhan?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dan mempengaruhi terjadinya kejang

pada anak, yaitu:

o Faktor Umur

o Faktor Jenis kelamin

Resiko serangan kejang demam lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada anak

perempuan, perbandingannya 2:1. Hal ini mungkin disebabkan karena pada

anak perempuan perkembangan otaknya lebih cepat.

o Faktor keturunan

Anak dengan riwayat anggota keluarga yang pernah mengalami kejang

demam memiliki kemungkinan mendapat serangan kejang demam dari pada

anak yang tidak memiliki riwayat keluarga kejang demam.

o Faktor Suhu badan

Kejang demam bisa terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah

relatif normal. Pemicu utama terjadinya kejang demam adalah kenaikan suhu

badan. Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai

ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar

antara 38.3 derajat Celcius hingga 41.4 derajat Celcius. Adanya perbedaan

ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang anak baru

6

Page 7: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak

lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.

c. Apa saja klasifikasi kejang?

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven,

Ozuna 2005).

- Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

Motorik

Sensorik

Otonom

Psikis

- Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

Gangguan kesadaran saat awal serangan.

- Serangan umum sekunder

Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

Parsial kompleks menjadi tonik klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

- Serangan umum.

Absans (lena)

Mioklonik

Klonik

Tonik

Atonik.

- Tak tergolongkan.

2. Dari catatan rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami serangan

kejang saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan

intravena satu kali kejang juga belum teratasi. Kejang berhenti setela diberikan drip

fenitoin. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Pasca kejang anak tidak sadar.

a. Apa makna klinis penderita sering mengalami kejang?

Penderita sering mengalami kejang karena

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami

7

Page 8: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

pengaktifan.

2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan

menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.

3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu

dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi

asam gama-aminobutirat (GABA).

4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau

elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi

kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan

peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter

inhibitorik.

b. Bagaimana pertolongan pertama untuk anak kejang?

0 - 5 menit:

- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik

- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen

- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan

neurologi secara cepat

- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 – 10 menit:

- Pemasangan akses intarvena

- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit

- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal

0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis

diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.

- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.

10 – 15 menit

- Cenderung menjadi status konvulsivus

- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%

8

Page 9: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis

30 mg/kgbb.

30 menit

- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg

dengan interval 10 – 15 menit.

- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,

elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda-

tanda depresi pernafasan.

- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan

intensif.

c. Apa indikasi pemberian diazepam per rectal dan IV dan mengapa kejang tidak

teratasi?

Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, serangan panik,

tambahan pada putus alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, tetanus dan

spasme otot.

Pada orang normal, di otak ada reseptor GABA (asam gamma

aminobutirat). GABA adalah neurotransmitter yang berfungsi sebagai agen

“penenang saraf” alami. Ini membantu menjaga aktivitas saraf di otak seimbang,

dan terlibat dalam mendorong kantuk, mengurangi kecemasan dan relaksasi otot.

Sedangkan pada orang yang mengalami kejang reseptor GABA berkurang

sehingga kerja diazepam yang mengikat reseptor GABA tidak maksimal. Hal ini

lah yang menyebabkan kejang tidak teratasi pada kasus ini.

d. Apa indikasi pemberian fenitoin ?

Fenitoin adalah obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali

bangkitan lena. Adanya gugus fenil atau aromatik lainnya pada atom C5 penting

untuk efek pengendalian bangkitan tonik-klonik; sedangkan gugus alkil bertalian

dengan efek sedasi. Fenitoin berefek antikonvulsan tanpa menyebabkan depresi

umum susunan saraf pusat. Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal

menimbulkan rigiditas deserebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada

penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek

9

Page 10: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

stabilisasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi dan membran sel

lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung.

Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel; dalam hal

ini, khususnya dengan menggiatkan pompa Na+ neuron.

e. Bagaimana mekanisme kerja:

o Diazepam

agonis reseptor GABA à meningkatkan transmisi inhibitori dg mengaktifkan

kerja reseptor GABA à contoh: benzodiazepin, barbiturate

Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini

pada SSP dengan efek utama: sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap

rangsangan emosi/ ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek

saja yang merupakan kerja golongan ini pada jaringan perifer: vasodilatasi

koroner setelah pemberian dosis terapi secara IV dan blockade neuromuscular

yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi.

Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA. Reseptor ini

terdiri dari subunit α, β, dan γ dimana berkombinasi dengan lima atau lebih

dari membrane postsinaptik. Benzodiazepine meningkatkan efek GABA

dengan berikatan ke tempat yang spesifik dan afinitas tinggi. Reseptor

ionotropik ini, suatu protein heteroligometrik transmembran yang berfungsi

sebagai kanal ion klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA

inhibiotrik. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh

GABA. Pemasukan ion klorida tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil

yang menggerakkan potensial postsinaps menjauh dari threshold sehingga

menghambat kejadian potensial aksi. Dengan kata lain diazepam bersifat

GABA agonist.

Diazepam digunakan dalam jangka pengobatan jangka pendek untuk

ansietas berat, hypnosis untuk manajemen sementara insomnia, sebagai

sedative dan premedikasi, sebagai anti konvulsan, dalam pengontrolan spasme

otot, dan pada manajemen gejala putus obat.

o Fenitoin

10

Page 11: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

• Mempengaruhi perubahan fungsi membran saraf, misal pada pengaturan

perubahan voltase yang diatur melalui kanal ion. Fenitoin memblok kanal

Na pada saraf sehingga dapat mereduksi perulangan potensial aksi yang

sangat berguna untuk mengontrol serangan tonik-klonik

• Fenitoin menstabilkan membran sel saraf terhadap depolarisasi dengan

cara mengurangi masuknya ion-ion natrium dalam neuron pada keadaan

istirahat atau selama depolarisasi.

f. Mengapa kejang tidak disertai demam?

Suatu kondisi yang ditandai oleh adanya bangkitan kejang yang timbul

dua kali atau lebih secara spontan (unprovocated seizure) disebut epilepsi. Jadi,

pada skenario ini anak mengalami epilepsi pada umur 1 tahun. Epilepsi ini berasal

dari gangguan metabolisme pada fokal epileptogenik, yang timbul akibat lesi

pasca meningitis.

Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak

menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari

15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen

dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,

hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi

arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin

meningkat yang disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya

menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah

faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya

kejang yang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang

mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul

edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan

anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama didaerah yang peka

seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis

setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi

“matang” dikemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan.

Kejang demam dapat berkembang menjadi epilepsi diperkirakan melalui

11

Page 12: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

mekanisme biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan

efek kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya

kejang kembali). Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh

Raharjo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme

sebagai berikut6 :

1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA

dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat

menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-

eksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.

2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga rangsang

dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.

3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak

mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.

4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa

amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.

5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen,

dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak.

g. Mengapa pasca kejang anak tidak sadar?

o Kejang à metabolisme meningkat karena Natrium masuk ke CIS itu

membutuhkan ATP, sehingga pasien mengalami hipoksia, hipoglikemia dsb

sehingga pasien memerlukan waktu untuk sadar.

o Gangguan pada formatio retikularis di sepanjang batang otak menyebabkan

gangguan kesadaran menurun

3. Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,

namun masih malas bicara serta tatapan sering kali kosong.

Apa makna klinis dari keadaan tersebut?

Pada epilepticus dibagi menjadi 3 fase yaitu :

- Sebelum Ictus

a. Bukti yang sering dari penyakit neurologis.

b. Berbagai aura epilepsi.

12

Page 13: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

b. Jarang diinduksi kecuali kejang reaktif.

- Selama Ictus

a. Fit jenis kejang tertentu.

b. Pola kejang stereotip.

c. Sering terjadi tanpa saksi atau di malam hari.

d. Onset mendadak, durasi pendek.

e. Kekakuan tonik pada onset kejang GTC.

f. Inkontinensia, lidah tergigit pada epilesi general.

g. Reaktivitas autono terganggu,reflex cornea dan respon pupil.

h. Tidak dapat menghindar dari rangsangan yang berbahaya.

i. Vokalisasi tunggal,jika terdapat,saat onset.

j. EEG ictal normal.

- Setelah ictus

Pada fase setelah ictus dibagi menjadi 2 yaitu :

Fisiologi

Untuk fisiologi berupa :

1. Spesifik (kesadaran mulai membaik, malas bicara dan tatapan kosong)

2. Prolactin >1,000 IU/L, 10 sampai 20 menit pasca ictal.

3. EEG melambat pasca ictal.

4. Tidak ingat atau hanya ingat sebagian dari kejadian ictal.

5. Hilangnya frekuensi kejang dengan obat antiepilepsi.

Motorik

Pada fase motorik, pasien sulit untuk menggerakan anggota tubuh dikarenakan

setelah kejang suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot berkurang.

Jadi, setelah dilakukan perawatan intensif di RS, mulai terjadi kembali

perbaikan-perbaikan untuk status generalisata anak, metabolisme mulai membaik,

kesadaran membaik, pengaruh obat antikonvulsan yang diberikan juga memberi efek

13

Page 14: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

kembali normalnya transmitter muatan di neuron. Hal tersebut menandakan pasien

sudah masuk dalam fase setelah ictus.

4. Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS

penderita mengalami bangkitan dimana seluruh tubuh penderita tegang, meta

mendelik ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini

berlangsung lima menit. Setelahnya penderita tidak sadar.

a. Bagaimana mekanisme kejang ?

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang

berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel

neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut

diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron

untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh

neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];atau 3] meningkatnya eksitasi

sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang

berulang.

b. Apa makna klinis dari bangkitan yang berlangsung 5 menit dan setelahnya

penderita tidak sadar?

o Keluhan kejang yang dialami selama 5 menit tersebut akibat gangguan

membran sel yang skaligus juga mengganggu keseimbangan ion memacu

timbul depolarisasi dan mengaktifkan potensial aksi à pelepasan

neurotransmitter di ujung akson yang continued hingga timbul kejang à

mempengaruhi sistem metabolisme dan respirasi, dimana hipermetabolisme

yang terjadi à kebutuhan O2 dan ambilan glukosa juga meningkat ditambah

terjadi hambatan suplai O2 menyebabkan hipoksia sel-sel ditambah penurunan

ATP dan kesemuanya à melemahnya tubuh si pasien sampai kesadaran

menurun

o Gangguan pada formatio retikularis di sepanjang batang otak menyebabkan

gangguan kesadaran menurun

5. Sekitar sepuluh menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke

rumah sakit, bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak

antara rumah dan rumah sakit lebih kurang 10 kilometer.

14

Page 15: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

a. Apa dampak kejang berdasarkan durasi kejang?

Tidak ada patokan khusus antara durasi kejang dan dampak yang ditimbulkan,

tetapi hubungannya adalah semakin lama kejang itu terjadi maka akan semakin

besar juga kerusakan sistem saraf dan otak sehingga manifestasi klinik kerusakan

neurologis pun akan semakin berat. Contohnya Pada status epileptikus stadium 5 (

lebih dari 30 menit) akan menyebabkan kerusakan irreversible pada lima area dari

otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteksserebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).

Selain itu kejang yang lama juga dapat mengganggu fungsi kognitif, bahasa

dan memori anak karena terputusnya hantaran antara neuron yang satu dengan

yang lainnya, contohnya Kejang yang terjadi pada lobus temporal dan frontal dari

hemisfer kiri daerah yang bertanggung jawab terhadap kemampuan

bicaramenyebabkan gangguan bicara/ bahasa. Kejang yang tidak teratasi (lama)

juga dapat menimbulkan komplikasi diantara nya :

•Otak 

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Oedema serebri

Trombosis arteri dan vena otak 

Disfungsi kognitif 

•Gagal Ginjal

Myoglobinuria, rhabdomiolisis

•Gagal Nafas

Apnoe

Pneumonia

Hipoksia, hiperkapni

Gagal nafas

•Pelepasan Katekolamin

Hipertensi

Oedema paru

Aritmia

Glikosuria, dilatasi pupil

15

Page 16: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Hipersekresi, hiperpireksia

•Jantung

Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme

•Metabolik dan Sistemik 

Dehidrasi

Asidosis

Hiper/hipoglikemia

Hiperkalemia, hiponatremia

Kegagalan multiorgan

•Idiopatik 

Fraktur, tromboplebitis, DIC

6. Setelah mendapat obat kejang seperti yang telah disebutkan diatas, kejang berhenti.

Pasca kejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai

sadar.

Bagaimana tatalaksana saat pasien tidak sadar akibat kejang?

- Jangan panik, segera longgarkan pakaiannya dan lepas atau buang semua yang

menghambat saluran pernapasannya (pastikan jalan nafas baik). Jadi kalau sedang

makan tiba-tiba anak kejang, atau ada sesuatu di mulutnya saat kejang, segera

keluarkan.

- Miringkan tubuh anak karena umumnya anak yang sedang kejang mengeluarkan

cairan-cairan dari mulutnya. Guna memiringkan tubuh adalah supaya cairan-cairan ini

langsung keluar, tidak menetap di mulut yang malah berisiko menyumbat saluran

napas dan memperparah keadaan.

- Lender dihisap , beri oksigen 100%

- Lakukan resusitasi

- Atasi kejang dengan obat antikonvulsan

7. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan

penderita sering tersedak.

16

Page 17: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Bagaimana mekanisme lengan dan tungkai sebelah kanan tanpak lemah dan

mekanisme tersedak?

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi

maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari

korteksserebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Daerah

yang tersering mengalamo kerusakan adalah lobus temporal korteks serebri, sehingga

kemungkinna besar pada kasus ini terjadi kerusakan pada korteks motorik primer

lobus temporal cerebri sinistra yang menyebabkan hemiparese dextra tipe sentral

sehingga akan tampak sebagai kelemahan sisi tubuh sebelah kanan. Tersedak sendiri

terjadi akibat parese nervus VII yang menyebabkan penurunan tekanan cavum oris

untuk meneruskan saliva masuk ke esophagus selain itu parese nervus XII juga yang

menyebabkan tidak bisa mendorong saliva masuk ke esofagus, dan peningkatan

hasilan Co2 akibat kejang sehingga membuka epiglotis yang menyebabkan

terbukanya trakea, akibatnya saliva yang terkumpul akan masuk ke trakea dan

terjadilah gejala tersedak.

Selain itu kelumpuhan nervus VII dan XII juga akan menunjukkan gejala pada

pemeriksaan neurolgi yaiitu mulut tertarik pada sisi sehat ( kiri) dan lidah deviasi ke

kanan (tempat yang saiki) hal ini dikarenakan kedua nervus tersebut dipersarafi

secara ipsilateral, sehingga erusakan pada satu sisi akan berdampak pada daerah yang

dipersarafi, tetapi pada nervus VII bagian dorsal juga dipersarafi secara bilateral

sehingga pada pemeriksaan didapatkan kerutan dahi masih nampak.

8. Riwayat Penyakit Sebelumnya

- Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi.

Dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis menderita

meningitis. Penderita dirawat di RS selama 15 hari.

- Pada usia satu tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam

sebanyak dua kali.

- Pada usia 18 bulan penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak

tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah 6 bulan

berobat, orang tua meghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang.

17

Page 18: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Penderita sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai

sepeda roda tiga.

a. Bagaimana mekanisme kejang disertai demam tinggi?

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.

Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi

kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan

keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion

Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas

muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas

ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan

neurotransmiter sehingga terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang

yang berbeda, dan tergantung dari tinggi rendahnya nilai ambang kejang, seorang

anak menerita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan

ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C,

sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi

pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa

berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak dengan ambang kejang

yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak dengan ambang kejang

demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak tersebut akan

mendapat serangan.

b. Apa komplikasi dari meningitis?

Komplikasi meningitis pada anak dapat terjadi karena pengobatan yang

tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin

ditemukan ialah efusi subdural, empiema subdural, ventrikulitis, abses serebri,

paresis / paralisis, retardasi mental, epilepsi.

c. Apa hubungan meningitis dengan kejang?

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang

di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan

penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan

18

Page 19: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat

purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga

menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri

dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari

peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema

serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi

meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps

sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada

sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel

dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari

metabolisme glukosa melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses

oksidasi tersebut diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-

paru. Oksigen dari paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.

Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh

suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran

permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran

permukaan luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat

dengan mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium

( Na+ ) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya

konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di

luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi

ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut

potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini

diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada

permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya :

1) perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler

2) rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau

aliran listrik dari sekitarnya

19

Page 20: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

3) perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.

Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi

kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan

keseimbangan membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion

Kalium dan ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas

muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas

ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan

neurotransmiter sehingga terjadilah kejang

d. Apa hubungan penyakit dahulu dan keluhan yang diderita sekarang?

Kejang pada meningitis (9 bulan)

Kejang timbul karena adanya demam tinggi. Pada keadaan demam,

kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%

dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia 3

tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan

dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada

seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan

membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion

Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh

sel maupun ke membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter

sehingga terjadilah kejang.

=> kejang tidak disertai demam 2 kali (12 bulan/1 tahun)

Suatu kondisi yang ditandai oleh adanya bangkitan kejang yang timbul dua

kali atau lebih secara spontan (unprovocated seizure) disebut epilepsi. Jadi,

pada skenario ini anak mengalami epilepsi pada umur 1 tahun. Anak dengan

kejang demam mmepunyai resiko sebesar 30%-40% untuk berulangnya

kejang dan sebagian kecil mengalami epilepsi di kemudian hari. Faktor

20

Page 21: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia

sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial

lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama

dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi

yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan

kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi ( Ilmu Kesehatan Anak FK

UI, 2002).

Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Suwitra dan

Nuradyo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme

sbb:

1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan

DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini

dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan

inhibisieksitasi, sehingga mempermudah timbulnya kejang.

2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga

rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.

3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak

mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.

4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik

berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron.

5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,

oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya neuron

menjadi rusak.

Pada jejas otak terdapat lebih banyak acetycholine daripada dalam keadaan

otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikastriks setempat pada

permukaan otak sebagai gejala sisa dari meningitis,ensefalitis, kontusio

serebri atau trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari

acetycholine. Oleh karena itu pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan

listrik neuron-neuron.

21

Page 22: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

=> Kejang disertai demam tidak tinggi (18 bulan)

Pada pasien epilepsi didapatkan ambang kejang yang rendah. Kejang yang

berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga rangsang dibawah nilai

ambang sudah dapat menyebabkan kejang.

Pada bayi dan anak, selain sstem saraf yang belum matur, tetapi juga

variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi memainkan peranan

dalam menentukan ambang kejang. Jaringan saraf dapat hipereksitabel oleh

perubahan homeostats tubuh, seperti demam, hipoksia, hipoglikemia, dan

gangguan asam-basa. Pada kasus ini, karena ambang kejang menurun maka,

demam yang tidak tinggi dapa menjadi faktor presipitasi bangkitan kejang

pada epilepsi.

Status epileptikus (3 tahun)

Status epileptikus yang terjadi pada skenario, diakibatkan karena

menurunnya ambang batas kejang (seizure threshold), dan ketidak

seimbangan neurotransmitter eksitatorik>inhibitorik yang terjadi pada saat

perkembangan otak (imatur). Ditambah dengan konsumsi obat antiepileptik

yang tidak tepat.

e. Apa indikasi, kontraindikasi, dosis, aturan pakai, dan mekanisme kerja asam

valproat ?

Indikasi:

- Epilepsi / kejang

- Mania

- Migrain

Kontraindikasi : Penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam keluarga,

porfiria.

Dosis: Dosis Anak : 10-30 mg/kgBB/hari

Mekanisme kerja :

22

Page 23: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Valproate diyakini mempengaruhi fungsi neurotransmitter GABA dalam

otak manusia, sehingga alternatif untuk garam litium dalam pengobatan gangguan

bipolar. Prinsip mekanisme kerjanya diyakini penghambatan GABA transaminasi.

Valproate juga diyakini untuk membalikkan proses transaminasi untuk

membentuk lebih GABA. Oleh karena itu, secara tidak langsung Valproat

bertindak sebagai agonis GABA. Namun, beberapa mekanisme lain tindakan

dalam gangguan neuropsikiatri telah diusulkan untuk asam valproik dalam

beberapa tahun terakhir.

Asam valproik juga menghalangi saluran tegangan-gated sodium dan T-

jenis saluran Kalsium. Mekanisme ini membuat Asam valproat obat Spektrum

Luas anticonvulsant. Asam valproik adalah inhibitor dari enzim deacetylase

histon 1 (HDAC1) maka itu adalah inhibitor deacetylase histon.

f. Apa dampak dari penghentian konsumsi asam valproat ?

Penghentian konsumsi asam valproat yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan

dapat menyebabkan kambuhnya bangkitan karena pengobatan yang tidak adekuat.

g. Bagaimana tumbuh kembang anak usia 2 tahun?

Kemampuan fisik

Pada usia ini, tubuh anak mulai tumbuh dengan lebih kuat. Ia juga semakin aktif

dengan beragam gerakan. Seorang anak bisa naik turun tangga, memanjat, naik

sepeda roda tiga, melompat, serta semakin lincah untuk berlari

Kemampuan motorik

Anak akan mendapatkan kemampuan motorik yang cukup baik seperti memegang

pensil, memotong kertas, mampu menekan beragam tombol di mainannya, bisa

melepas pakaian sendiri, dan masih banyak lagi.

Kemampuan berbicara

Seorang anak mampu mengucapkan beberapa kata dengan baik dan bahkan

mereka bisa memperkenalkan nama lengkap dengan percaya diri.

Perkembangan imajinasi

Anak bisa merencanakan sesuatu, membat konstruksi dengan mainan mereka, dan

ikut campur dalam pembicaraan yang kita lakukan.

23

Page 24: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

9. Pemeriksaan fisik :

Anak nampak sadar, suhu 370C, TD : 90/45 mmHg (normal untuk usia), nadi

100x/menit, laju nafas 30x/menit.

Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?

Status Generalisata pasien masih dalam batas normal

- Nadi usia anak 3 tahun normal sekitar 100-140x/menit

- Laju nafas masih dalam batas normal 20-30 menit

10. Pemeriksaan neurologis :

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua

kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta

mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan

dan tungkai kanan nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah

kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat

melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan

kuat sewajar usianya. Tonus otot dan reflex fisiologis lengan dan tungkai kanan

meningkat, serta ditemukan reflex Babinski di kaki sebelah kanan.

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan neurologis?

Dari hasil pemeriksaan neurologis dapat disimpulkan bahwa penderita

mengalami hemiparesis dextra tipe spastic , paresis N.VII dan N.XII dextra tipe

sentral karena didapatkan penurunan kekuatan pada lengan dan tungkai kanan ,

peningkatan tonus dan reflex fisiologis pada lengan dan tungkai kanan , reflex

babinsky pada kaki kanan , lipatan nasolabialis kanan yang menghilang , sehingga

mulut Nampak mengot kekiri , namun otot – otot wajah sebelah atas dan kelopak

mata belum terganggu , serta kelumpuhan otot lidah sebelah kanan. Deficit

neurologis kemungkinan karena disebabkan oleh status epileptikus karena deficit

tersebut tidak dijumpai sebelum kejang dan timbulnya segera setelah kejang.

b. Jelaskan cara pemeriksaan neurologis untuk kasus ini!

N.VII = N. Facialis

Pemeriksaan N. Facialis ini meliputi fungsi:

24

Page 25: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Motorik, yang mempersarafi semua otot wajah kecuali M. Levator

palpebra superior

- Sensorik khas, pengecap 2/3 anterior lidah

- Visceromotorik, mengatur sekresi kelenjar lakrimalis, lingualis, dan

submaxillaris.

Motorik

Otot wajah

Perhatikan lipatan nasolabialis simetris atau tidak. Pada sisi parese lipatan

tersebut datar atau hampir datar. Sudut mulut simetris atau tidak. Hasil

pemeriksaan akan tampak lebih jelas pada saat penderita diajak berbicara.

Gerakan abnormal: ada tidaknya tic facialis.

Otot dahi

Penderita disuruh mengerutkan dahinya, mengangkat kedua alis mata atau melihat

ke atas tanpa menggerakkan kepalanya. Kemudian perhatikan apakah kerutan

dahinya simetris atau tidak.

M. Orbicularis oculi

Perhatikan apakah ada LAGOPHTALMUS atau tidak dengan menyuruh penderita

menutup matanya pelan-pelan. Adanya lagophtalmus bila celah mata masih tetap

terbuka. Didapat pada lesi N.VII tipe perifer.

Kemudian penderita disuruh MEMEJAMKAN MATANYA kuat-kuat dan

pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut. Pemeriksa membandingkan

kekuatan mata tersebut. Bila sama kuat kanan dan kiri berarti normal, tapi bila

salah satu lebih mudah dibuka maka berarti M. Orbicularis oculi mata tersebut

parese.

M. Orbicularis oris

Penderita disuruh MENUNJUKKAN GIGINYA/MERINGIS, lalu perhatikan

sudut mulut kanan dan kiri. Bila salah satu sudut mulut tertinggal pada

pergerakkan tersebut berarti terdapat parese di sisi tersebut.

N.XII = N. Hypoglossus

25

Page 26: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Bersifat motorik yang mempersarafi otot-otot penggerak lidah

Cara pemeriksaan:

Penderita diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya lurus ke depan.

Perhatikan:

Deviasi lidah (lidah membelok ke arah mana)

Fasikulasi (gerakan kecil-kecil pada otot lidah secara terus-menerus)

Papil lidah: ada atrofi atau tidak (pada atrofi lidah tampak licin)

Selanjutnya penderita diajak bicara atau disuruh mengucapkan kata-kata yang

banyak mengandung huruf R dan L. Misalnya: ular loreng-loreng lari di lorong-

lorong. Tujuannya adalah untuk mengetahui disartria atau tidak.

Gerakan

Mengukur range of motion (luasnya bidang gerak). Penderita disuruh

menggerakkan lengan setinggi mungkin sampai ke belakang dan

mempertahankan posisi waktu diangkat. Bila tidak dapat menggerakkan sendi

besar disuruh menggerakkan sendi-sendi kecil ataupun disuruh menggeser saja di

tempat tidur. Bandingkan dengan yang sehat. Nilai: cukup, kurang, tidak ada

Kekuatan

Penderita disuruh menggerakkan sendi-sendi lalu kita berikan tahanan/beban

mulai tahanan ringan, lalu tahanan diperbesar, dan terakhir diberi tahanan penuh.

0 bila tidak ada gerakan sama sekali

1 bila dapat menggerakkan sendi kecil atau bisa bergerak tanpa mengangkat

anggota (tidak dapat melawan gaya berat)

2 bila dapat menggerakkan sendi besar (dapat melawan gaya berat)

3 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan ringan

4 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan sedang

5 bila dapat melawan gaya berat dan dapat melawan tahanan penuh

Pemeriksaan ini sifatnya sangat subjektif, sehingga pembandingnya adalah

bagian yang sehat dari penderita. Bila keempat ekstremitas lumpuh perneriksaan

dengan membandingkan dengan orang ain yang kondisi fisiknya sama.

26

Page 27: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Tonus

Dilakukan dengan meraba otot penderita, mula-mula pada sisi yang sehat

kemudian baru ke sisi yang sakit. Dalam penilaian tonus ini penderita harus

tenang dan relax. Bila tonus menurun otot terasa lebih lembek sedangkan tonus

otot yang meningkat akan terasa lebih tegang. Kemudian lakukan gerakan fleksi

dan ekstensi maksimal pada sendi siku secara perlahan kemudian cepat.

Perhatikan adanya tahanan yang terasa oleh pemeriksa pada waktu mulai fleksi

atau setelah fleksi ekstensi. Bandingkan dengan yang sehat.

Refleks fisiologis

Pada lengan ada 2 macam refleks yaitu : refleks tendo dan refleks periost

Cara menilai refleks:

- Dengan intensitas pukulan

Lakukan ketukan pada tendo/periost dengan refleks hammer dari intensitas

kuat ke intensitas lemah

- Dengan memeriksa zona refleksogen

Yaitu mengetuk daerah sekitar tendo yang masih dapat dibangkitkan

reflex. Suatu refleks dikatakan meningkat kalau Dengan intensitas yang

kecil refleks tersebut sudah dapat dibangkitkan (bandingkan dengan sisi

yang sehat). Perhatikan dengan intensitas yang sama bahwa yang

refleksnya tinggi akan berkontraksi lebih kuat.

Zona refleksogennya lebih luas

Pada lengan refleks fisiologis yang diperiksa adalah:

1. Refleks tendo biceps

Lengan dalam posisi sedikit fleksi pada sendi siku, lakukan ketukan pada

tendo M. Biceps brachii, perhatikan kontraksi M. Biceps brachii.

2. Refleks tendo triceps

Lengan dalam posisi fleksi 90", ketuk tendo M. Triceps, perhatikan

kontraksi M. Triceps brachii.

27

Page 28: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

3. Refleks periost radius Posisi lengan dan tangan sedikit supinasi, lalu

ketuk processus styloideus radii. Positif jika terjadi fleksi jari-jari terutama

jari I dan II disertai supinasi lengan.

4. Refleks periost ulna

Posisi seperti refleks periost radius, lalu ketuk ujung os ulnaris pada

circumferentia ulnaris. Positif jika terjadi fleksi jari-jari terutama jari III,

IV, dan V disertai pronasi lengan.

Refleks patologis

Refleks patologis yang diperiksa pada lengan adalah refleks Hoffman Tromner. Sendi

siku dan pergelangan tangan dalam keadaan fleksi membentuk sudut 90°. Jan III diangkat

dan diberi rangsangan dengan menjentikkan kuku pemeriksa pada kuku penderita. Positif

jika terjadi fleksi jari-jari lain dan adduksi jari I.

Tungkai

a. Gerakan

Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan gerakan lengan.

b. Kekuatan

Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan kekuatan lengan. Yang dinilai otot-otot

fleksor dan ekstensor.

c. Tonus

Cara dan penilaian sama dengan pemeriksaan tonus lengan.

d. Refleks fisiologis

Berbeda dengan lengan, di tungkai hanya ada refleks tendo saja.

Refleks tendo patella

Posisi tungkai dalam keadaan sedikit fleksi pada sendi lutut, lalu ketuk tendo patella.

Perhatikan kontraksi M. Quadriceps femoris.

Refleks tendi Achilles

Posisi tungkai dalam keadaan fleksi sendi lutut dan lakukan dorsofleksi maksimal

kaki dan beri sedikit tahanan, lalu ketuk tendo achilles. Perhatikan kontraksi

M.Gastrocnemius. Posisi tungkai lurus pada tempat tidur, lalu pegang kulit di atas

28

Page 29: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

patella dan sentakkan tiba-tiba ke arah distal dan ditahan. Positif bila

terlihat/terasa kontraksi klonik M.Quadriceps femoris.

2. Klonus kaki

Posisi fleksi sendi lutut dan melakukan dorsofleksi maksimal secara tiba-tiba dan

ditahan. Positif bila terlihat/terasa kontraksi M. Triceps surae.

f. Refleks patologis

Babinsky group

Positif bila terjadi dorsofleksi ibu jari dan fanning jari-jari lainnya (gerakan membuka

seperti kipas). Menggores telapak kaki sepanjang sisi lateral ke atas lalu ke sebelah

medial seperti huruf J terbalik.

Refleks Chaddock

Menggores sepanjang bagian bawah maleolus lateralis.

Refleks Oppenheim

Menggosok dengan keras sepanjang tibia dari arah proksimal ke distal.

Refleks Gordon

Memijit dengan kuat M.Gastrocnemius.

Refleks Schaeffer

Mencubit tendo achilles.

Mendel-Bechterew-Rossolimo

Positif bila terjadi plantar fleksi jari-jari kaki.

Mendel-Bechterew

Memukul bagiian kaki pada dorsum pedis.

Rossolimo

Memukul bagian kaki pada plantar pedis.

11. Apa DD dari kasus ini?

- Sinkop

- Drop attack

- Narcolepsi

29

Page 30: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Kelainan psikiatrik

- Breath holding spells

- Tics

- Sindrom neurologis periodic tanpa gangguan kesadaran

-

12. Bagaimana cara penegakan diagnosis untuk kasus ini?

Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan

penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari riwayat

perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan

adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. 2 Ditanyakan riwayat kejang

sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obatobatan, trauma, gejala-gejala

infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut

kepala dan adanya kelainan sistemik, 2 terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya

kelainan neurologis fokal. 8 Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan

lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Untuk menentukan faktor penyebab dan

komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu:

laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi. Pemilihan

jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemeriksaan yang

dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa darah, elektrolit,

dan hitung jenis.

13. Apa WD dari kasus ini?

Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis

berupa hemiparese tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.

14. Apa etilogi dari kasus ini?

Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

- Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik

30

Page 31: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Kriptogenik :  Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui, termasuk

disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik, gambaran klinik

sesuai dengan ensefalopati difus

- Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat misalnya

trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro

degenerative.

Faktor pencetus Status Epileptikus :

- Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai

- Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT

- Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres psikis, atau

stres fisik.

- Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi

Pada kasus ini etiologinya termasuk ke dalam simptomatik .

15. Apa epidemiologi dan faktor resiko dari kasus ini?

Epidemiologi:

Prevalensi epilepsi bervariasi antara 0,5%1% populasi umum (Neville, 1997;

Schachter, 2004). Insiden epilepsi pada anak di negara maju secara umum

diperkirakan sebesar 40 per 100.000 penduduk pertahun, dan di negara berkembang

sebesar 50100 per 100.000 penduduk pertahun (Schachter, 2004; Covanis, 2003).

Tingginya insiden epilepsi di negara berkembang diduga karena tingginya faktor

risiko gangguan atau infeksi saraf pusat yang dapat menjadi fokus epileptik, seperti

penatalaksaan persalinan yang tidak optimal, kebersihan diri dan lingkungan yang

buruk, infeksi otak, dan infestasi parasit (Manford, 2003; deBoer dkk, 2008). Insiden

epilepsi tertinggi dijumpai pada umur 1 tahun pertama, yaitu 120 per 100.000

populasi, dan menurun secara dramatis pada umur 1 – 10 tahun yaitu sebesar 40 per

100.000 populasi (Sagraves, 1998; Schachter, 2004).

Faktor resiko:- Faktor prenatal

a. Umur saat ibu hamil

31

Page 32: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi.

c. Kehamilan primipara atau multipara

d. Pemakaian bahan toksik

- Faktor natal

a. Asfiksia.

b. Berat badan lahir

c. Partus lama

d. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, seksio sesaria ).

e. Perdarahan intracranial

Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang biasanya

bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan

menimbulkan gangguan struktur serebral dengan epilepsi sebagai salah satu

manifestasi klinisnya.

- Faktor postnatal

a. Kejang Demam

b. Trauma kepala/ cedera kepala

c. Infeksi susunan saraf pusat.

d. Epilepsi akibat toksik

e. Gangguan Metabolik

- Faktor heriditer ( keturunan )

a. Kelainan genetik ion channelopathies

Perkembangan terbaru menunjukkan telah diketahuinya kelainan yang

bertanggung jawab atas epilepsi yang diwariskan termasuk masalah-masalah

Iigand-gated (saluran natrium dan kalium) yang pewarisannya secara autosom

dominan. Sebagai contoh adalah autosomal-dominant noctumal frontal lobe

epilepsy telah diketahui sebabnya yaitu mutasi sub unit alfa 4 yang terdapat di

reseptor nikotinat, benign neonatal familial convulsions disebabkan oleh mutasi

saluran kalium dan epilepsi umum (grand mal) dengan febrile convulsions plus

yang disebabkan oleh kelainan pada saluran natrium.

16. Bagaimana patofisiologi dari kasus ini?

32

Page 33: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Otak terdiri dari sekian miliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan

bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik

dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau

dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi

secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini

adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil

kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine,

serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy

belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area

otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut

sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil

neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron

di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena

dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang

berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan

hal ini yaitu:

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal

sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi

GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung

konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA

ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

17. - Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan

impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi

33

Page 34: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh

meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan

peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga

kejadian yang saling terkait :

- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis

(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron

akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu

sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,

kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi

neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan

kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia,

hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya

eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia

basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran

EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang

makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya

serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan

34

Page 35: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa

terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)

depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan

yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi

pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik

yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron

bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah

dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion

Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan

konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat

diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan

potensial membran. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat

merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membran  mudah

dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan

mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak

teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron

secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan

epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.

Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain

itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-

neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang

dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron

akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

Ada dua jenis neurotransmiter, yakni neurotransmiter eksitasi yang memudahkan

depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmiter inhibisi yang menimbulkan

hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.

Diantara neurotransmitter-neurotransmiter eksitasi dapat disebut glutamat, aspartat

dan asetilkolin sedangkan neurotransmiter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino

butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik

35

Page 36: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan

fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran

neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi.

Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan

melepas muatan listrik.

18. Apa saja manifestasi klinik dari kasus ini?

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan.

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status

Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan

potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-

klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik

umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang

tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan

peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang

melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.

Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.

Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin

berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang

mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.

Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak

tertangani.

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status

Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum

mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

36

Page 37: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan

kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik

dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

D. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus

adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat

kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia

berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan

toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

E. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia

pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status

presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang

lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam

waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau

kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz

monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap

status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

F. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial

kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-

konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai

perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi,

tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada

beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike

wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan

jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi

dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang

37

Page 38: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG

sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform

discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering

berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari

status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau

gangguan berbahasa (status afasik).

19. Bagaimana tatalaksana untuk kasus ini?

Tujuan utama dari terapi epilepsi antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi

frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal

mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Dalam farmakoterapi, prinsip penatalaksanaan epilepsi yaitu :

A. OAE mulai diberikan apabila diagnosis epilepsy sudah dipastikan. Selain itu,

pasien dan keluarga pasien harus diberi tahu tentang tujuan pengobatan dan

efek samping dari obat

B. Terapi dimulai dengan monoterapi

C. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secarabertahap

sampai dengan dosis efektif tercapai

D. Apabila OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka

ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi maka OAE

dosis pertama diturunkan perlahan

E. Pemberian OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak

terkontrol setelah pemberian OAE pertama dan kedua.

38

Page 39: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Pada kasus ini, apabila bangkitan telah teratasi, obat rumatan dapat diganti

dengan obat jangka panjang. Pasien ini mempunyai riwayat mengkonsumsi

asam Valproat dan responnya baik sehingga dapat diberikan asam valproat

mulai dari dosis terakhir atau dari dosis terendah. Selain itu pasien juga harus

mendapatkan terapi fisik guna memperbaiki defisit neurologis yang timbul.

20. Bagaimana tindakan preventif untuk kasus ini?

Mencegah timbulnya epilepsi ini merupakan sebuah upaya sosial luas yang

menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko

epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi yang

digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab

utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan

tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga

mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.

39

Page 40: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang

sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di

identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera

akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan

persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,

dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti

konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari

rencana pencegahan ini.

21. Apa komplikasi untuk kasus ini?

- Radang paru

- Cedera atau luka saat melakukan sesuatu

- Gangguan pada otak sehingga anak sulit untuk belajar dan memahami sesuatu

- Gangguan otak yang permanen

-

22. Bagaimana prognosis nya?

Prognosis tergantung pada:

- Tipe syndrom epilepsi

- Ada tidak kelainan neurologi dan psikiatri

- Cepat/tidaknya bangkitan teratasi

- Umur awitan saat bangkitan

- Jumlah bangkitan kejang

- Tipe banyaknya bangkitan kejang

- EEG menentukan prognosis

Prognosis kasus ini : dubia ad malam

23. Apa KDU dari kasus ini?

3B

40

Page 41: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

IV. Hipotesis

Aanak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis berupa hemiparese

tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.

V. Kerangka Konsep

41

usia meningitis

Kejang dengan demam

Fokal epileptikus

Epilepsy unprovocated

Kejang berulang (epilepsy)

Status epileptikus

Peningkatan suhu badan &

Penurunan ambang kejang

Penghentian penggunaan

as. valproat

Defisit neurologis

(hemiparese dextra tipe sentral & paresis

N.VII&XII)

Page 42: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

VI. Sintesis

1. Anatomi dan fisiologi sistem syaraf

Susunan saraf terdiri dari 3 bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan

otonom. Ketiga susunan saraf ini saling terkaitan satu dengan yang lain nya. Adanya

gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang

berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan

tetapi keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan

manifestasi klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan

bermanifestasi lebih dari satu topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan

manifestasi klinik yang berbeda-beda dari satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang

penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit yang topisnya berbeda sehingga

ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan yang berbeda pula atau

memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena nya diperlukan

pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya dalam

melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf.

Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex,

peningkatan tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang

menurun dan reflex yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis

penyakit secara bersamaan misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya

seorang penderita polineuropati diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka

akan ditemukan manifestasi kelainan yang bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu

kita dalam menegakkan diagnose apabila pengetahuan mengenai neuroanatomi dan

neurofisiologi.

Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan

neurotransmitter sebagai mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls

tersebut. Diketahui neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam

susunan saraf ada kalanya neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang

sama pada tempat yang berbeda. Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah

42

Page 43: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

norepineprin, tetapi untuk produksi keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan

neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian keberadaan neurotransmitter mempunyai

peran yang sangat penting untuk dapat diketahui dengan jelas sehingga gangguan

manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat mungkin.

Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui

suatu sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak

merupakan suatu sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan

strukturnya dengan pembuluh darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia.

Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif

yang merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi

kerja berlebih sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik,

sensorik maupun otonom yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik

yang memberikan respon kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik,

motorik maupun otonom.

Untuk mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan mengenai neuroanatomi tersebut

selanjutnya akan dijelaskan mengenai neuroanatomi susunan saraf pusat.

Anatomi Susunan Saraf Pusat

Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.

Otak

Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum,

diencepahalon dan batang otak atau brainstem.

Cerebrum atau Otak besar.

Cerebrum atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer

yaitu otak kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu

corpus calosum. Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek

serebri , jaringan masa putih atau white matter dan ganglia basalis.

43

Page 44: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda,

di mana otak kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-

fungsi lain. Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping

fungsi fungsi lainnya. Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere

otak yaitu otak kanan dan otak kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu

mendapatkan kontrol balik penuh baik dari otak kanan maupun otak kiri.

Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut

sulkus dan apabila sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau

fissura ialah untuk memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative

kecil. Di antara dua sulkus terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai

nama-nama spesifik yang berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus

presentralis, girus post sentralis dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu

sehingga disebut subtansia grisea, warna abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak

tersebut mengandung badan sel saraf seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini

disebut sebagai cortex, sedangkan bagian dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai

subtansia alba dikarenakan mengandung serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam

bangunan berwarna putih yang disebut sebagai subtansia alba ini akan ditemukan

kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai komponen sel neuron dan

disebut sebagai ganglia basalis.

Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang

disebut dengan lobus antara lain :

- Lobus frontal

- Lobus parietal

- Lobus oksipital

- Lobus temporal

- Insula

- Rhine-Encephalon

Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus

atau fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut

44

Page 45: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

sulkus centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus

paritooksipitalis. Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain

disebut sulkus lateralis .

Lobus frontalis

Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari

belakang orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini

mempunyai peran penting sebagai pusat dari perintah gerak, pusat pergerakan, pusat

bicara (broka), pusat emosi, pusat berfikir, pusat pengatur gerak mata, pusat perilaku,

pusat inisiatif, pusat reaksi terhadap jatuh, pusat untuk mengatur kondisi tubuh, dan

pusat-pusat lainnya.

Lobus Parietalis

Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh

sulkus paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini

yang paling menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post

sentralis yang mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik

yang meliputi untuk perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian

kecil yang bersebelah dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara

(speech).

Lobus Temporalis

Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran

dalam sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan

(speech), memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada,

mengerti nama, mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya.

Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis

dari bagian samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus

temporalis media, dan gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam

akan terdapat gyrus parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan

gyrus occipito-temporal media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus

45

Page 46: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

occipito-temporal dipisahkan dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan

dari gyrus parahypocampus terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini

memisahkan gyrus parahypocampus dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus.

Sedangkan bagian belakang dari gyrus parahypocampus disebut gyrus lingual.

Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian

media) dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan

dibagian samping atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures

(lekukan halus). Lobus oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan

analisa penglihatan dikenal sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta

warna. Dikenalsebagai area 17 sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai

pusat penglihatan sekunder dan tersier dengan peran utama sebagai pusat memori

penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area 18,19 akan menimbulkan aura penglihatan

dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis, sedangkan kerusakan daerah ini akan

menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan pengenal obyek, bentuk dan

ukuran benda (optical agnosia, alexia)

Insula

Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus

frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus

centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak

diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada

insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan.

Rhineencephalon (bulbus olfactorius)

Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam

penciuman. Terdapat sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan

neuron pertama dalam sistim penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral

dan tuftel yang berada pada bulbus olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam

proses penciuman, selanjutnya axan dari sel sel ini akan membentuk traktus olfaktorius,

46

Page 47: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial olfactory striae dan lateral olfactory

striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat penciuman Brodmann’s area

28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan medial olfaktori striae akan

menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai bagian dari system

limbic.

Kommisura (Commisura)

Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia

alba dari jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi

sebagai penghubung neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan

sesuai dengan funsi penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu kommisura transversal,

kommisura assosiasi, dan kommisura proyeksi.

Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang

menghubungkan satu hemisphere dengan hemisphere lainnya contohnya corpus calosum,

commissura anterior, commissura hyppocampal . Sedangkan kommisura assosiasi adalah

kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan

lainnya dalam satu hemisphere contohnya serabut intracortical, serabut subcortical, dan

serabut assosiasi panjang.(FLS untuk menghubungkan lobus frontal dengan lobus

occipital, FLI untuk menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal, uncinate

Fasc untuk menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior, Arcuate

Fasc untuk menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis, dan

Cingulum Yang mengitari cortex gyrus cingulated.

Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang

menghubungkan satu bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah

(bawah keatas atau sebaliknya) contohnya serabut corticipetal atau serabut afferent,

serabut corticifugal atau serabut efferent.

Ganglia Basal

Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa

putih). Terdiri dari nucleus Caudatus, nucleus Lentiformis/Lenticularis (Putamen+

47

Page 48: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Globus palidus ), dan amygdale. Sedangkan Globus Pallidus masuk dalam diencephalon

(subthalamus). Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis

kecuali claustrum. Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum

oleh capsula externa.

2. Kejang

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.

Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang

selama hidupnya.1 Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan

tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan

sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau

cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara

baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat

menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah

awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bu kan.

Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.

PATOFISIOLOGI

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat

berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus

adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa

disertai pemulihan kesadaran.

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang

berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain

secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1]

kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang

berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA];

atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui

jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang

berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.

48

Page 49: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

KRITERIA KEJANG

Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat

penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang

menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel 1:

Keadaan Kejang Menyerupai kejang

OnsetLama seranganKesadaranSianosisGerakan ekstremitasStereotipik seranganLidah tergigit atau luka lainGerakan abnormal bola mataFleksi pasif ekstremitasDapat diprovokasiTahanan terhadap gerakan pasifBingung pasca seranganIktal EEG abnormalPasca iktal EEG abnormal

Tiba-tibaDetik/menitSering tergangguSeringSinkronSelaluSeringSelaluGerakan tetap adaJarangJarangHampir selaluSelaluselalu

Mungkin gradualBeberapa menitJarang tergangguJarangAsinkronJarangSangat jarangJarangGerakan hilangHampir selaluSelaluTidak pernahHampir tidak pernahjarang

KLASIFIKASI

Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan

jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan

Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981,

yaitu dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi kejang

I. Kejang parsial (fokal, lokal)

A. Kejang fokal sederhana

B. Kejang parsial kompleks

C. Kejang parsial yang menjadi umum

II. Kejang umum

A. Absens

B. Mioklonik

C. Klonik

49

Page 50: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

D. Tonik

E. Tonik-klonik

F. Atonik

III. Tidak dapat diklasifikasi

ETIOLOGI

Langkah selanjutnya, setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang

adalah mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan

untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi.

Adapun etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Penyebab tersering kejang pada anak

- Kejang demam

- Infeksi: meningitis, ensefalitis

- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan

elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan

- Trauma kepala

- Keracunan: alkohol, teofilin

- Penghentian obat anti epilepsi

- Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik

DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih

pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dari riwayat

perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya

faktor pencetus atau penyebab kejang.

Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-

obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut

kepala dan adanya kelainan sistemik, 2 terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan

neurologis fokal. 8 Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan

untuk mencari faktor penyebab.

50

Page 51: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan

beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal,elektroensefalografi,

dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan

kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah

kadar glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.

TATALAKSANA

Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang mengancam jiwa

dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama kejang berlangsung makin

sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit

adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.

Penghentian kejang:

0 - 5 menit:

- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik

- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen

- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan

neurologi secara cepat

- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 – 10 menit:

- Pemasangan akses intarvena

- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit

- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rectal 0,5

mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam

intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit..

- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.

10 – 15 menit:

- Cenderung menjadi status konvulsivus

- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%

- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30

mg/kgbb.

51

Page 52: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

30 menit

- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan

interval 10 – 15 menit.

- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula

darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda -tanda depresi pernafasan.

- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.

3. Epilesi

DEFINISI

Epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanien” yang berarti “serangan” dan

menunjukan bahwa “sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh”.

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure) yang

terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang

disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara

paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa

(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan

kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan

oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan

gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan

etiologi, umur, awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.

KLASIFIKASI EPILEPSI

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan

menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi.

Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

1. Bangkitan Parsial

Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,

A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

3. Dengan gejala autonom

52

Page 53: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

4. Dengan gejala psikis

B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran

2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan

C. Parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum

A. Absence / lena / petit mal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam

beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa

reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun.

Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak

jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar

ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan,

penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya.

Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang

berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.

B. Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal

dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik,

terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase

tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada

bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

C. Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan

ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi

lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

D. Tonik-klonik /Grand mal

53

Page 54: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti

sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-

klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak

sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca

serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan

biasanya akan tertidur setelahnya.

E. Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot

skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran

klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak

yang berulang dan terjadinya cepat.

F. Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot

dan terjatuh secara tiba-tiba.

3. Tak Tergolongkan

Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,

1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)

A. Idiopatik (primer)

B. Simtomatik (sekunder)

C. Kriptogenik

2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan

usia

A. Idiopatik (primer)

B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome

lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)

C. Simtomatik

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum

A. Bangkitan umum dan fokal

B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.

54

Page 55: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

A. kejang demam

B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)

C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik

non ketotik.

D. Epilepsi refrektorik

ETIOLOGI EPILEPSI

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi

simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan

peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai

simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox

Gastaut syndrome.

Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain   ;

1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu

mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-minuman

alkohol atau mendapatkan terapi penyinaran.

2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :

- Brain malvormation

- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)

- Gangguan elektrolit

- Gangguan metabolisme janin

- Infeksi

3. Saat usia bayi – anak-anak

- demam (kejang demam)

- tumor otak (jarang)

- infeksi

4. Saat usia anak – dewasa

- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.

55

Page 56: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka

kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka

kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

- Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)

- Trauma kepala

5. Saat usia tua/lanjut

- Stroke

- Penyakit Alzeimer

- Trauma

PATOFISOLOGI EPILEPSI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan

daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,

pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan

aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang

ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos

membran neuron. Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada

korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon

depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi

Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang

memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan

aktivitas kejang.

3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal

pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai

tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah

potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas

elektrik.

56

Page 57: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon

NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren

dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi

secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila

cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersama-sama,

membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan

bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung

pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian epilepsi dapat

tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya

terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat

dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat

diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED

dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi

pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF

dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion

klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian

konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium

dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup

mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama

halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan

57

Page 58: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari

impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara

serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA

(gamma aminobutyric acid ) tidak normal.  Pada otak manusia yang menderita epilepsi

ternyata kandungan GABA rendah.  Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi

potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor

GABA.  Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang

atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik

utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang

disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya

bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi

dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron

otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan

manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu

fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls

epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat )

berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan

keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,

kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat

mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,

sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan

terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena

setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan

kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas.

Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan

58

Page 59: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi

parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan

merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih

imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi,

infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel

glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron

glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,

gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan

tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik

dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal

epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui

mekanisme yang sama.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui

anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun

demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi

(klinis) sudah dapat ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan

perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi

gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan

kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan

kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler

dan obat-obatan tertentu.

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

59

Page 60: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan

neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya

serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-

anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal

gangguan pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer

otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya

misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat

yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang

khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit

mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi

60

Page 61: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku

majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami

serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman

video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi

kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal

ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,

serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi

parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur

otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih

sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk

membandingkan hipokampus kanan dan kiri

 

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang

optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan

bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek

samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni,

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,

terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya

harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping

dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai

dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

61

Page 62: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol

bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,

maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak

terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada

reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin :  Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan

neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas

glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan

kalsium (T) dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin :  Modulasi kalsium channel tipe N

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin :  Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi

aktivitas chanel.

9. Topiramat :  Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride,

modulasi efek reseptor GABAA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan

tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan

secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang

dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat

yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana

penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

62

Page 63: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam

jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang

bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

- Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan

selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan

menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

4. Status Epileptikus

Pendahuluan

Status epileptikus merupakan keadaan kedaruratan neurologik medik utama dalam kaitannya

dengan morbiditas dan mortalitas. Istilah SE (status epileptikus) digunakan sebagai gambaran

bangkitan yang berlangsung terus menerus atau SE didefinisi sebagai suatu kondisi dimana

terjadinya aktivitas epileptik yang menetap selama 30 menit atau lebih. Bangkitan dapat

berlangsung berkepanjangan atau berulang tanpa pulih kesadaran diantara waktu tersebut.

Berbagai variasi klasifikasi SE yaitu berdasarkan asal bangkitan (partial convulsion status

epilepticus = PCSE dan generalized convulsion status epilepticus = GCSE), obsevasi klinik

(konvulsif dan non konvulsif) dan berdasarkan usia ( neonatal, infant, anak dan dewasa).

Penyebab terjadinya bangkitan antara lain sepsis, penyakit kardiovaskuler, gangguan

metabolik, infeksi SSP, tumor otak, putus obat atau rendahnya kadar obat anti kejang dan

intoksikasi akut akibat obat-obatan maupun alkohol. Komplikasi status epileptikus antara lain

adalah aritmia kardiak, gangguan metabolik dan fungsi otonom, edem paru neurogenik,

63

Page 64: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

hipertermia, rhabdomiolisis dan aspirasi paru. Gangguan neurologik menetap terjadi akibat

berkepanjangannya aktivitas bangkitan yang tak terkontrol. Penanganan status epileptikus

membutuhkan kecepatan dalam mengakhiri aktivitas bangkitan, proteksi jalan napas,

pencegahan aspirasi, komplikasi, bangkitan berulang dan pengobatan terhadap penyebab.

Adanya kegagalan terapi dengan anti konvulsan lini pertama selanjutnya akan digunakan

terapi dengan dosis anastesi umum.

Bagaimanapun juga terapi emergensi harusnya dimulai sesegera mungkin pada bangkitan

yang berlangsung lebih dari 5 menit atau ada 2 bangkitan tanpa pulih kesadaran diantaranya.

Kegagalan dengan terapi anti kejang lini pertama untuk mengatasi SE membutuhkan

penanganan terapi dosis anestesi umum. Tulisan ini membicarakan status epileptikus pada

dewasa khususnya mengenai generalized convulsive status epilepticus (GCSE) yang banyak

dijumpai dalam praktek sehari-hari.

Definisi

Status Epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan umum yang berlangsung 30

menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang yang terjadi lebih dari 30 menit

tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan. Definisi operasional status epileptikus yang

dipakai saat ini untuk dewasa dan anak, yaitu bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih

dari 5 menit atau terdapat 2 atau lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya.

Yang dimaksud dengan SE refraktorik adalah bangkitan berulang walaupun kadar terapi OAE

dalam satu tahun terakhir setelah bangkitan telah tercapai. Bangkitan tersebut benar-benar

akibat kegagalan OAE untuk mengontrol fokus epileptik, bukan karena dosis yang tidak tepat,

ketidaktaatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. Namun

klinik lebih menyukai untuk mempertimbangkan SE refraktorik sebagai pasien yg tidak

berespons terhadap terapi lini pertama.

Klasifikasi

Banyak variasi pendekatan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Salah satu versi

klasifikasi terbagi atas status epileptikus general (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik,

64

Page 65: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

akinetik) dan status epileptikus parsial (simpleks atau kompleks).Versi lain membagi dalam

kondisi status epileptikus yang konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif (parsial

simpleks, parsial kompleks, absens). Versi ketiga mengambil pendekatan yang berbeda, yaitu

berdasarkan usia (periode neonatal, bayi dan kanak-kanak, kanak – kanak dan dewasa, hanya

dewasa).

Marik PE (2004) mengklasifikasi SE berdasarkan gambaran elektroklinikal atas SE konvulsif

( konvulsi motorik) dan SE non konvulsif. Kemudian membagi lagi atas SE generalized

( mempengaruhi seluruh otak) dan SE partial ( sebagian otak).

Diperkirakan ada lebih dari 150.000 kasus status epileptikus dan mengakibatkan 55.000

kematian yang terjadi setiap tahun di US. Dari berbagai tipe SE ditemukan GCSE merupakan

tipe terbanyak. Geografi, jenis kelamin, usia dan ras dapat mempengaruhi epidemiologi status

epileptikus. Dilaporkan insiden diantara 6,2 sampai 18,3 per 100.000 populasi (US). Wanita

dan pria tidak ada perbedaan bermakna. Menurut geografi, SE tampak lebih sering pada pria

kulit hitam dan lanjut usia. Insiden pada orangtua dua kali lebih sering dari populasi

umumnya.SE pada lanjut usia mendapat perhatian besar karena berbarengan dengan kondisi

medis pasien sendiri, dan adanya terapi komplikasi serta buruknya prognosis.

Pada suatu studi epidemiologis lain ditemukan mayoritas adalah SE partial. Terdapat

sebanyak 69% kasus pada orang dewasa dan 64% kasus pada anak – anak. Sedangkan status

epileptikus general didapatkan 43 % pada orang dewasa dan 36% pada anak-anak.11 Insidens

status epileptikus terjadi paling sering dalam tahun pertama kehidupan dan setelah 60 tahun.

Diantara orang dewasa, pasien yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki risiko paling tinggi

untuk berkembang menjadi status epileptikus, dengan insidens 86 per 100.000 orang per

tahun. Diantara anak-anak berusia 15 tahun atau lebih muda, bayi kurang dari 12 bulan

memiliki insidens dan frekuensi paling tinggi. Banyak variasi etiologi terhadap kondisi ini.

Pada orang dewasa, penyebab utama adalah rendahnya kadar obat anti epilepsi (34%) dan

penyakit serebrovaskuler (22%), termasuk stroke akut atau stroke lama dan perdarahan.

Tingkat mortalitas status epileptikus (didefinisikan sebagai kematian dalam 30 hari status

epileptikus) adalah 22% (studi Richmond). Tingkat mortalitas pada anak – anak sebanyak 3

65

Page 66: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

%, sebaliknya pada orang dewasa 26%. Populasi yang lebih tua memiliki tingkat mortalitas

tertinggi, yaitu 38%. Penyebab utama mortalitas adalah lamanya kejang, usia saat serangan,

dan etiologi.

Pasien dengan anoksia dan stroke memiliki mortalitas yang lebih tinggi, tidak tergantung pada

variabel – variabel lain. Status epileptikus yang terjadi akibat penghentian tiba-tiba

penggunaan alkohol, atau rendahnya kadar obat antiepilepsi memiliki tingkat mortalitas yang

rendah. Kematian pada SE refraktorik sebanyak 76% pada lanjut usia.

Etiologi

Bangkitan merupakan konsekuensi dari suatu penyakit kritis. Penyebab terbanyak bangkitan

yang dirawat ICU adalah sepsis dan penyakit kardiovaskuler. Penyebab bangkitan lainnya

dengan angka kejadian yang tinggi adalah akibat gangguan metabolik dan intoksikasi akut

akibat obat-obatan ( antibiotik, gagal ginjal, hepar, CHF, obat-obat anestesi, atau akibat

penghentian obat psikotropik, alkohol).

Penyebab gangguan neurologik primer adalah akibat stroke iskemik, intraserebral hemoragik,

AVM, infeksi SSP, trauma dan tumor otak dan metastasis dengan angka kejadian bangkitan

relatif tinggi. Insiden bangkitan sebagai komplikasi trauma kapitis sangat bervariasi, dengan

perkiraan 2%-12% pada orang biasa dan 53% pada populasi militer. Presentasi dapat

meningkat sampai lebih 22% dengan menggunakan monitor EEG secara terus menerus.

Patofisiologi

Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai GCSE. Terbanyak diantaranya adalah

respons sistemik yang merupakan lonjakan katekolamin yang terjadi saat serangan. Respon

sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi, aritmia, dan hiperglikemia. Suhu

badan dapat meningkat mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat serangan GCSE

berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah bangkitan motorik umum tunggal

yang akan menghilang seiring berakhirnya bangkitan. Kebutuhan metabolik otak meningkat

seiring bangkitan GCSE, akan tetapi oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga bahkan

meningkat saat awal serangan GCSE. Percobaan pada hewan yang dilumpuhkan dan diberi

66

Page 67: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

ventilasi artificial menunjukkan bahwa kehilangan neuron yang terjadi setelah status

epileptikus baik yang umum maupun fokal berhubungan dengan abnormal neuronal discharge

dan bukan merupakan respon sistemik dari GCSE. Hipokampus tampaknya paling rentan

terhadap kerusakan dalam mekanisme sistemik ini.

Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan

dan kurangnya inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamate

dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtype NMDA (N-methyl-D-aspartate).

Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid

(GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus.

Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam normalnya terminasi bangkitan .

Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam

perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler

yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian

menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol.

Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABAergik inhibisi yang inadekuat

ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan.

Pada manusia dan hewan percobaaan, bangkitan yang terus menerus menyebabkan

kehilangan/kerusakan neuron selektif pada area yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan

thalamus. Derajat beratnya cedera neuron berhubungan erat dengan lamanya bangkitan, hal ini

menegaskan betapa pentingnya penanganan yang cepat pada status epileptikus. Meldrum dkk

telah membuktikan walaupan tanpa adanya hipoksia, asidosis, hipertermia, atau hipoglikemia,

bangkitan yang berkepanjangan pada hewan percobaaan dapat menyebabkan kematian

neuron.

Wasterlain dkk melaporkan bahwa terdapat kehilangan/kerusakan neuron pada hipokampus

dan area otak lain pada penderita status epileptikus nonkonvulsif yang tidak mengalami

bangkitan atau kelainan sistemik sebelumnya. Enolase neuron –spesifik merupakan suatu

petanda cedera akut neuron, dilaporkan meningkat pada penderita status epileptikus

nonkonvulsif yang tanpa mengalami bangkitan sebelumnya ataupun mengalami cedera otak

67

Page 68: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

lain. Thom dkk menunjukkan adanya cedera akut neuron pada penderita yang meninggal tiba-

tiba akibat epilepsi. Kematian neuron kemungkinan disebabkan oleh pelepasan

neurotransmitter eksitasi. Mikati dkk membuktikan peningkatan aktivasi NMDA

meningkatkan kadar ceramide yang diikuti kematian sel terprogram pada hewan percobaan.

Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan bangkitan

umum tonik klonik. Status epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah

memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor

twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk

memeriksa 236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di antaranya

mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dari gambaran EEG. Oleh karena itu,

pemeriksaan EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak jelas.

Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonik-klonik umum

yang berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan hipertensi,

hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan

aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik otak. Sekitar 30 menit

sesudahnya, penderita memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi

otak, penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik.

Selama fase ini terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan

elektrik di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa hanya berupa minor

twitching.

Penanganan

Status epileptikus merupakan kegawat daruratan yang memerlukan penanganan segera dan

agresif untuk mencegah kerusakan neurologik dan komplikasi sistemik. Semakin lama mulai

diberikan terapi, semakin besar kerusakan neurologik yang terjadi. Di sisi lain, semakin

panjang suatu episode status berlangsung, maka semakin refrakter terhadap pengobatan dan

semakin besar kemungkinan terjadinya epilepsi kronik.

68

Page 69: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Penanganan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan sesegera mungkin, perlindungan

jalan napas, pencegahan aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial, penanganan

komplikasi, pencegahan serangan ulang, dan penanganan penyakit yang mendasari.

Penanganan dibagi dalam 2 tahap-yaitu penanganan di luar dan di dalam rumah sakit. Sebagai

terapi lini pertama di luar rumah sakit adalah benzodiazepine. Penanganan dalam rumah

sakit / gawat darurat adalah bantuan hidup dasar (basic life support) (0-10 menit) dan terapi

farmakologik (10-60 menit). Obat-obat yang digunakan antara lain diasepam, lorazepam,

midazolam, propofol, phenobarbital, phenytoin, fosphenytoin, valproate IV dan lain-lain.

Sebagai terapi awal pada Status Epileptikus digunakan obat lini pertama yaitu dari golongan

benzodiazepine ( diazepam 0.1–0.4 mg/kg, lorazepam 0.05–0.1 mg/kg atau midazolam 0.05–

0.2 mg/kg). Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT) 0.05–0.2 mg/kg, fosphenytoin

(fPHT) 15–20 mg/kg PE, valproate (VPA) 15–20 mg/kg, levetiracetam 1000–1500 mg tiap 12

jam.

Protokol Penanganan SE konvulsif

Stadium PenatalaksanaanStadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardiorespirasi

Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen, resusitasi

Stadium II (1-60 menit)

Pemeriksaan status neurologik Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu EKG Pemasangan infus Mengambil 50-100  darah untuk pemeriksaan

lab Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20

mg IV (kecepatan pemberian ≤ 2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian)

Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg  intravena

Menangani asidosisStadium III (0-60/90 menit)

Menentukan etiologi Bila kejang berlansung terus selama 30 menit

setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin IV 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit

69

Page 70: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan

Mengoreksi komplikasiStadium IV (30-90 menit)

Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU, beri propofol (2 mg/kgBB bolus IV, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg bolus IV dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tappering off.

Memantau bangkitan dengan EEG, tekanan intrakranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan.

Tindakan Anestesi untuk status epileptikus refrakter

Obat Dosis DewasaMidazolam 0,1-0,1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit dilanjutkan

dengan pemberian 0,05-0,4 mg/kgBB/jam melalui infusThiopentone 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20 detik, kemudian dilanjutkan

dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai bangkitan teratasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian infus 3-5 mg kgBB/jam

Pentobarbital 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit, kemudian 0,5-1 mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3 mg/kgBB/jam

Propofol 2mg/kgBB kemudian ditingkatkan menjadi 5-10 mg/kgBB/jam

Prognosis

Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.

Kesimpulan

Pasien dengan bangkitan umum terus menerus lebih dari 5 menit sudah seharusnya

dipertimbangkan mengalami SE. Sangat penting untuk mempunyai kemampuan

mengenali dan menangani bangkitan secara cepat dan agresif oleh karena SE sangat

potensial terhadap kerusakan neurologis. Dalam penanganan bangkitan juga dibutuhkan

pertimbangan cermat terhadap penyebabnya, ketepatan pilihan obat dan efek toksiknya.

70

Page 71: Skenario E Blok 19 Tahun 2013

VII. Kesimpulan

Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami epilepsi dengan defisit neurologis berupa

hemiparese tipe sentral dan paresis nervus VII & XII akibat status epileptikus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Utama H., Gan VHS., Sunaryo. Anti Konvulsan. Dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 4.

Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1995:

163 – 74.

2. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam: Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1 – 32.

3. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Epilepsi. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf.

Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 179 – 86.

71