skenario c b16
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
Bayu Ardianto0401111320006
1. Bagaimana penegakan Diagnose?
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang sesuai dengan gejala dan tanda
yang diuraikan sebelumnya dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela
iga.
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah
gelembung halus sampai sedang.
Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan Laboratorium
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3
dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan
dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain
kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat
swab).
Bayu Ardianto0401111320006
5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik
o Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau
beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke
arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,
karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan
kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan
pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman
tersebut pneumonia dibedakan berdasarkan :
Pneumonia sangat berat : → bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Pneumonia berat : → bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih
sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Pneumonia : → bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
- > 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
- > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
- > 40 x/menit pada anak usia 1 – 5 tahun
Bukan Pneumonia : → hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas,
tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika.
Bayu Ardianto0401111320006
2. Bagaimana patofisiologi Bronkopneumonia?
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara percikan
(droplet). Pneumokokus umumnya mencapai alveoli lewat percikan mukus atau
saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi. Agen-agen
mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi primer :
Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi pada orofaring
Inhalasi aerosol yang infeksius
Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang
terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi
mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah
menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai anti mikroba yang non spesifik.
Bayu Ardianto0401111320006
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli mementuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Bayu Ardianto0401111320006
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
3. Apa komplikasi dari diagnosis?
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.
Terkadang dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang
memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal
jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terjadi
komplikasi lain berupa acute respiratory distress syndrom (ARDS), gagal organ
jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumoni nosokomial.
4. Bagaimana penatalaksanaan?
Farmakologi :
Antibiotika pollfragmael selama 10-15 hari
- Aminofillin 100 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis
- Klorampenikol dengan dosis
Umur < 6 bulan : 25-50 mg/kg/hari
Bayu Ardianto0401111320006
Umur > 6 bulan : 50 – 75 mg/kg/hari (dosis dibagi dalam 3 dosis) atau
Gintamisin dengan dosis 3-5 mg/kg/hari diberikan dalam 2 dosis
Suportif
IVFD, oksigen, pembersih jalan nafas
Edukasi:
Asupan gizi yang cukup, jauhkan anak dari polusi udarar dan asap rokok
Learning Issue
1. Bronkopneumonia
Definisi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat
disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral.
Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu
bronkitis atau bronkiolitis.
Morfologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada
kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah
berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai
kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3
sampai 4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut
(florid) yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis
(abses) dapat terlihat di antara daerah yang terkena.
Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi dan
edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal. Pleuritis
Bayu Ardianto0401111320006
fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan pleura,
tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila
tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa
fokus fibrosis.
Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi bronki,
bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi
ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan,
abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.
Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan
Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus
influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum,
Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis,
Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia,
penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp
dan Pseudomonas aeruginosa. Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar
organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis
dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan
bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.
Patogenesis Bronkopneumonia
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya
bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi
penyakit.
Bayu Ardianto0401111320006
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel
mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi
oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Bayu Ardianto0401111320006
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Determinan Bronkopneumonia
Faktor Host
a. Umur
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara
sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan
kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua
pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir seluruh
kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi Saluran
Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan
balita yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir (2005)
di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan
menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11
bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi
pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan
determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan
atau dalam faktor risiko suatu penyakit.
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan desain
Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh
Bayu Ardianto0401111320006
nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia
kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.
c. Status gizi
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah
kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan
aktivitasnya.
Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan melihat
kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U),
Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering
mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan
terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan
tubuh balita terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit
infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan
mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah
terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh
nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia
kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan
gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin
baik status gizi makin baik daya tahan tubuh, sehingga memperkecil risiko
pneumonia.
Bayu Ardianto0401111320006
d. Status imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap
merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama
pneumonia.
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar
kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009),
dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar mempunyai status
imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.
Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi campak
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59
bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami
pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak
dibandingkan yang telah diimunisasi campak.
Gambaran Klinis Bronkopneumonia
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue,
Bayu Ardianto0401111320006
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,
anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue,
dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi
abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta
nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit,
hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit,
dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi : suara redup
pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia
akan terdengar stridor.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah
yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada
auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi
terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar
mengeras.
Klasifikasi ISPA Pada Balita dengan Gejala Batuk dan atau Kesukaran Bernafas
Berdasarkan Pola Tatalaksana Pemeriksaan, Penentuan Ada Tidaknya Tanda
Bahaya, Penentuan Klasifikasi Penyakit, Pengobatan dan Tindakan.
Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan
a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat (fast breating) yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.
Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 tahun
Bayu Ardianto0401111320006
a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai
nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing).
b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya
nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing) pada anak umur 2
bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 - <5
tahun adalah 40 kali atau lebih permenit.
c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding
dada.
Jumlah Kunjungan Berulang
Penentuan jumlah kunjungan berulang pasien dilihat dari kembalinya pasien ke
rumah sakit setelah dirawat inap pertama kali, termasuk bagi penderita
bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini bergantung dari status pasien, apabila
pasien berstatus sembuh dapat kembali lagi dikarenakan pasien tersebut menderita
kembali penyakit tersebut (rekurens), sehingga perlu dirawat inap kembali. Status
pulang berobat jalan dapat kembali lagi dikarenakan perlu memeriksa,
mengontrol, mengambil obat guna perbaikan keadaan pasien, namun setelah
pemeriksaan pasien dapat dirawat inap lagi dikarenakan tidak memungkinkan
unutuk berobat jalan. Status pulang atas permintaan sendiri dapat kembali dirawat
inap dikarenakan tidak dapat ditangani di rumah.
Lama Rawatan
Penentuan lama rawatan pada pasien rawat inap, termasuk bagi penderita
bronkopneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyakit,
tindakan medis rumah sakit dan sebagainya.
Menurut penelitian Irfan (2002) di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan
tahun 1999-2000 lama rawatan penderita pneumonia pada balita yang dirawat
inap adalah < 7 hari yaitu 101 orang (72,7%) dan ≥ 7 hari yaitu 38 orang
(27,3%).41 Menurut penelitian Marbun (2009) di Rumah Sakit Dr.Pirngadi
Medan Tahun 2004-2007 lama rawatan rata-rata penderita pneumonia pada balita
adalah 4,5 hari.42
Pencegahan Bronkopneumonia
Bayu Ardianto0401111320006
Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit.
Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan
pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali
(pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada
usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B
sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di
luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang
telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap
hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
Pencegahan Tersier
Bayu Ardianto0401111320006
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika
terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
Daftar Pustaka
Bagian anak rsmh. 2012. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak.Palembang
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20330/4/Chapter%20II.pdf diakses pada 17
maret 2015
Staf pengajar IKA FK UI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.
Suyono, Slamet ,dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI