skenario b blok 12 kelompok 5 (2)

69
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Skenario Panji (6th) diantar ibunya ke poliklinik THT RS Dr. M. Hoesin dengan keluhan sakit tenggorok dan demam sejak satu hari yang lalu. Sejak tiga hari yang lalu Panji sudah menderita batuk pilek. Keluhan nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal oleh ibu penderita. Keluhan serupa dialami Panji tiga bulan yang lalu, sembuh setelah berobat di puskesmas. Pemeriksaan fisik: Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernapasan normal, suhu 37,8oC Pemeriksaan status lokalis: Otoskopi dalam batas normal Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri : Mukosa hiperemis Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+ Sekret kental berwarna putih Orofaring: Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar Dinding faring hiperemis (+), granula (+) Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5g%, WBC : 12.000 /ul, trombosis 250.000/ul 2.2 Klarifikasi Istilah

Upload: nissa-shibly

Post on 09-Aug-2015

134 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skenario

Panji (6th) diantar ibunya ke poliklinik THT RS Dr. M. Hoesin dengan keluhan sakit

tenggorok dan demam sejak satu hari yang lalu. Sejak tiga hari yang lalu Panji sudah

menderita batuk pilek. Keluhan nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal oleh ibu

penderita. Keluhan serupa dialami Panji tiga bulan yang lalu, sembuh setelah berobat

di puskesmas.

Pemeriksaan fisik:

Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernapasan normal, suhu

37,8oC

Pemeriksaan status lokalis: Otoskopi dalam batas normal

Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri :

Mukosa hiperemis

Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+

Sekret kental berwarna putih

Orofaring:

Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar

Dinding faring hiperemis (+), granula (+)

Pemeriksaan laboratorium:

Hb: 12,5g%, WBC : 12.000 /ul, trombosis 250.000/ul

2.2 Klarifikasi Istilah

1. Sakit tenggorokan : Rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat dari

inflamasi.

2. Demam : Peningkatan suhu tubuh diatas normal (36,5-37 oC)

3. Batuk : Ekaspulsi udara tiba-tiba sambil mengeluarkan suara dari paru-paru

4. Otoskopi : Alat untuk memeriksa / auskultasi telinga

5. Pemeriksaan status lokalis : Pemeriksaan yang dilakukan pada suatu bagian

pada organ tertentu

Page 2: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

6. Rhinoskopi : Pemeriksaan lubang hidung dengan spekulum melalui

nasofaring / nares anterior

7. Hiperemis : Kelebihan darah pada suatu bagian

8. Detritus : Bahan partikular yang dihasilkan dengan sisa pengausan /

disintegrasi substansi / jaringan

9. Tonsil T3-T3 : Pembesaran tonsil dimana 50-70 % volume tonsil lebih banyak

dibandingkan volume orofaring.

10. Kripta melebar:

11. Granula : Partikel kecil bentuk massa jaringan kecil yang bulat

2.3 Identifikasi Masalah

1. Panji 6 tahun dibawa ibunya ke Poliklinik THT dengan keluhan sakit

tenggorok dan demam sejak 1 hari yang lalu

2. Sejak 3 hari yang lalu, Panji mengeluh batuk pilek, tetapi keluhan nyeri dan

keluar cairan telinga disangkal oleh ibunya. Keluhan serupa dialami Panji 3

bulan yang lalu, sudah berobat ke puskesmas dan sembuh.

3. Pemeriksaan fisik:

Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernapasan normal,

suhu 37,8oC

Pemeriksaan status lokalis: Otoskopi dalam batas normal

Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri :

Mukosa hiperemis

Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+

Sekret kental berwarna putih

Orofaring:

Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar

Dinding faring hiperemis (+), granula (+)

4. Pemeriksaan laboratorium:

Hb: 12,5g%, WBC : 12.000 /ul, trombosis 250.000/ul

Page 3: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

2.4 Analisis Masalah

1. a. Bagaimana etiologi dan patofisiologi sakit tenggorok ?

sakit tenggorokan , atau odinofagia terutama disebabkan oleh adanya mikroorganisme

yang menginfeksi faring sehingga terjadi faringitis. Adapun mikroba yang dapat

menyebabkan faringitis yaitu

1. Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) 15% kasus faringitis.

• Gambaran klinis berupa: demam lebih dari 101.5°F, tonsillopharyngeal eritem dan

eksudasi, pembengkakan limfonodi leher, sakit kepala, muntah pada anak-anak,

petechiae palatal, biasa terjadi pada cuaca dingin.

• Suatu ruam scarlatiniform juga dihubungkan dengan infeksi GABHS ruam

kemerahan pada ekstremitas dan lidah memerah (strawberry tongue)

2. Group C, G, F Streptococci ( 10%), mungkin secara klinis tidak bisa dibedakan

dari infeksi GABHS, namun Streptococcus jenis ini tidak menyebabkan sequelae

immunologic. Streptococci grup C dan G telah dilaporkan sebagai penyebab radang

selaput otak (meningitis), endocarditis, dan empyema subdural.

• Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M

pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada paru.

• Corynebacterium diphtheria

• Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia species,

Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium ulcerans.

• ( Corynebacterium) haemolyticus ( 5%) banyak terjadi pada dewasa muda,gejalanya

mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform. Pasien sering mengeluh

batuk.

• Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis, and

nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.

3. Viral pharyngitis

o Adenovirus (5%):.

o Herpes simplex (< 5%):

o Coxsackieviruses A and B (< 5%):

o Epstein-Barr virus (EBV):

o CMV.

Page 4: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

o HIV-1:

4. Penyebab lain

o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem imun.

Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.

o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia (Kazzi,

et.al.,2006).

Mekanisme Terjadinya Odinofagia dalam kasus ini

Bakteri melalui udara masuk ke saluran pernafasan menempel pada silia di

faring bakteri menembus silia ke tunica mukosa, pada daerah ini, bakteri dideteksi

oleh imun non spesifik histamin peradangan/inflamasi faringitis sakit

tenggorokan

b. Bagaimana etiologi dan mekanisme demam ?

Etiologi1. Infeksi, suhu mencapai 38`C, penyebab virus, bakteri2. Non infeksi, seperti kanker, tumor3. Demam fisiologis, penyebab: dehidrasi, suhu udara yang terlalu panas4. Demam tanpa penyebab yang jelas ( Fever of Unknown Origin / FUO )

Infeksi bakteri (droplet ludah atau kontak langsung) masuk ke saluran

pernafasan makrofag menyerang antigen mengeluarkan mediator inflamasi

seperti IL-1, IL-2, TNF-alpha proses inflamasi ,mediator inflamasi bersama

aliran darah menuju hypothalamus merangsang pelepasan as.arakhidonat

meningkatkan sintesis prostaglandin E2 meningkatkan set point demam

c. Bagaimana etiologi dan patofisiologi batuk pilek ?

Batuk

Etiologi:

batuk akut <3minggu ispa oleh virus (paling sering), pneumonia, dan eksaserbasi

inefektif pada ppok

Page 5: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Adanya rangsangan pada reseptor batuk (eksogen dan endogen) akan diteruskan oleh

saraf aferen ke pusat batuk di medula. Dari pusat batuk, impuls akan diteruskan oleh

saraf eferen ke efektor yaitu beberapa otot yang berperan dalam proses respiratorik.

Proses terjadinya batuk: Relaksasi – Kompresi- Ekspirasi(eksplusif)- Inspirasi

Pilek Etiologi: Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan berdasarkan komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti rinovirus, virus influenza, parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus.(2)

Patofisiologi terjadinya penyakit selesma dapat diuraikan sebagai berikut : virus melekat pada sel inang dan melakukan penetrasi asam nukleat ke dalam tubuh inang terjadi replikasi genom virus dan sintesis asam amino atau protein pembentuk tubuh virus penyusunan dan pengepakkan virus baru pelepasan dari sel inang, mengakibatkan sel inang lisis dan timbul peradangan.

Keterangan proses terjadinya selesma : cairan encer dan jernih yang mengalir dari epitel nasal yang teriritasi, kemudian secara cepat diikuti oleh lender yang lebih kental, yang sebagian besar terdiri dari sel-sel epitel yang mati dan sel darah putih. Tenggorokan terasa sakit karena adanya edema pada selaput lendir tenggorok, menyebabkan iritasi tenggorok. Batuk yang semula kering dapat berubah menjadi batuk basah karena adanya cairan nasal/ ingus yang menggumpal pada cabang tenggorok kemudian tak terbendung lagi mengalir ke dalam saluran nafas bagian bawah sehingga diperlukan batuk, untuk membersihkan saluran nafas dari ingus yang menggumpal biasanya disebut dengan batuk produktif..

2. Apa yang menyebabkan keluhan 3 bulan yang lalu terulang lagi ?

Mungkin secara laboratory belum sembuh sempurna, lalu karena beberapa faktor

seperti makanan,lingkungan, kelelahan, stress dan juga imunitas yang memburuk,

terjadilah eksaserbasi.

3. a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan rhinoskopi?

Page 6: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Pemeriksaan

Rhinoskopi anterior

hidung kanan dan kiri

Nilai Normal Interpretasi

Mukosa hiperemis Mukosa normal

berwarna merah muda

dan selalu basah (diliputi

palut lendir pada

permukaannya)

Infeksi pada hidung

yang mengenai mukosa

hidung

Konka inferior edema

+/+ hiperemis +/+

Tidak edema dan

warnanya merah muda

Tanda dari reaksi

radang dari common

cold

Sekret kental berwarna

putih

Tidak ditemukan sekret

dalam jumlah banyak

Rhinitis akut (infeksi

pada hidung)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan rhinoskopi ?

Mukosa hiperemis

terjadi dengan kemungkinan adanya suatu organisme yang masuk mallui hidung.

Hidung melakukan mekanisme pertahanan untuk mengeluarkan nya dengan berbagai

cara seperti bersin atopun dengan memfagositosis oleh makrofag2.

Dengan adanya reaksi imflamasi, maka terjadilah suautu peradangan dimana dapat

mengakbiatkan pembuluh2 darah disekitar peradangan dpat pcah sehingga tampak

mukosa berwarna kemerahan.

Infeksi saluran pernapasan atas (cavum nasi )→ mempengaruhi membran mukosa

hidung → aktivasi sel mast pada saluran napas → sekresi mediator inflamasi

(histamine, leukotrien, prostaglandin) → membrane mukosa membengkak dan merah

(konka inferior) → edema dan hiperemis sel mukosa

Konka inferior edema

mekanismenya itu sama kurang lebih mekanisme dari infeksi bakteri maupun virus

yang menyebabkan proses imflamasi yang dapat juga berakhir pada edemnya konka,

konka inferior pada umungnya yang sering terjadi edema.

Page 7: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Hiperemis itu menandakan pecahnya pembuluh darah kapiler dari percabangan a.

Facialis di daerah terjadinya reaksi imflamasi oleh bakteri maupun virus atopun

alergi.

Sekret berwarna kental

Infeksi saluran pernapasan atas (cavum nasi )→ mempengaruhi membran mukosa

hidung peningkatan jumlah mucus hasil inflamasi dan sel PMN secret kental,

berwarna putih

c. Apa interpretasi dari hasi pemeriksaan orofaring ?

Tonsil T3-T3

Klasifikasi Pembesaran Tonsil

T0 = (-) / sudah diangkat

T1 = Pembesaran ¼ dari arcus anteriro dan uvula

T2 = Pembesaran 2/4 dari arcus anteriro dan uvula

T3 = Pembesaran 3/4 dari arcus anteriro dan uvula

T4 = Pembesaran sama dengan arcus anteriro dan uvula

Dari kasus ini tonsil kiri dan kanan telah mengalami pembesaran ¾ dari arcus anterior

dan uvula.

Kripta melebar

Telah terjadi pelebaran kripta akibat akumulasi eksudat.

Page 8: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

d. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasi pemeriksaan orofaring?

Kripta melebar :

Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa

jaringanlomfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti

dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar.

Detritus (+):

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dapat menyebabkan terjadinya

reaksi radang, sehinnga keluarlah leukosit polimorfonuklear. Leukosit yang bersisa,

bakteri mati, dan epitel yang terlepas inilah yang disebut detritus.

Tonsil T3-T3 : pembesaran pada tonsil

Hal ini disebabkan oleh inflamasi, jejas stimulasi mediator endogen sel endotel

rusak kontraksi pada sel endotel intrerendothelial junction melebar

permeabilitas membrane meningkat protein pindah ke extravaskuler tekanan

osmotis intravena menurun cairan dan sel sel darah pindah ke intersisial

terbentuk eksudat bengkak

Dinding faring hiperemis

Hal ini disebabkan oleh inflamasi, jejas stimulasi mediator endogen sel endotel

rusak kontraksi pada sel endotel intrerendothelial junction melebar

premeabilitas membrane meningkat protein pindah ke extravaskuler dilatasi

pembuluh darah banyak darah masuk ke daerah faring hiperemi faring

4. a. Apa interpretasi hasil pemeriksaan lab?

pemeriksaan Kasus Normal InterpretasiHb 12,5g% 11.5-14.5 NormalWBC 12000/μl 5.000-14.500 Normal Trombosis 250000 250.000-550.000 Normal

5. Bagaimana anatomi dan fisiologi tonsil, faring, hidung ? sintesis

6. Bagaimana histologi tonsil, faring, hidung ?

Page 9: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Hidung

Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar

nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum

merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum

nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,

media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior

ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel

olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut

terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan

dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai

reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel

basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar

Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga

memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat.

Faring

Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum

mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.

Tonsil

Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:

1) jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,

2) folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan

3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.

7. Bagaimana gambaran histopatologi pada kasus ini ?

Tonsilitis

Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa

jaringanlomfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti

dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar.

Secara klinis kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga

menembus kapsul tonsil dan akhirnyamenimbulkan perlekatan dengan jaringan di

Page 10: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertaidengan pembeasran kelenjar limfe

submandibula.

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dapat menyebabkan terjadinya

reaksi radang, sehinnga keluarlah leukosit polimorfonuklear. Leukosit yang bersisa,

bakteri mati, dan epitel yang terlepas inilah yang disebut detritus.

8. Apa DD pada kasus ini ?

Kasus Tonsilopharingitis Tonsillitis diteri

Odinofagia + +Batuk + -

Demam + SubfebrisPem.kelenjar + +

Pharynx hiperemis + -Detritus (+) + +

Tonsil T3/T3 + +

9. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan WD pada kasus ini?

Cara penegakkan diagnosis dimulai melalui anamnesis dengan menanyakan keluhan

utama pasien. Pada pasien ini keluhan utama sakit tenggorokan dan demam sejak 1

hari yang lalu. Juga di tanyakan riwayat seperti penyakit ini apakah pernah di alami

sebelumnya atau baru pertamakali, disni riwayat pasien pernah mengalami gejala

serupa 3 bulan yang lalu.

Ditanyakan juga pola hidup, aktivitas seperti bagaimana makanan yang di komsumsi

sehari hari. Sering melakukan aktivitas apa, dan juga dapat mengetahui lingkungan

dari kehidupan pasien dan status sosialnya

Pemeriksaan fisik dilihat keadaan umum kompos mentis lalu perlu pemeriksaan

pendengaran lalu rhinoskopi orofaring dan laboratorium.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilofaringitis

Kronis:

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman

patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi

organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi

Page 11: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari

dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita

Tonsilofaringitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa

kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis

yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilofaringitis Kronis tidak dapat dipercaya dan

juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus

diukuti Staflokokus aureus.

Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480

spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilofaringitis Kronis dapat

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi

yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi

limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi

lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilofaringitis Kronis.

WD : Panji 6 tahun menderita rhinotonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.

10. Bagaimana epidemiologi dari kasus ini?

Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, dengan insiden tertinggi pada anak-

anak usia 5-15 tahun.Pada anak-anak , grup A streptococcus menyebabkan sekitar 30

% kasus tonsilofaringitis akut sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar 5-10 %.

jarang terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan

bertambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7 yahun, dan berlanjut hingga

dewasa. Sebanding antara laki-laki dengan perempuan.

11. Apa etiologi dan faktor resiko dari kasus ini ?

Etiologi:

Biasanya virus (virus common cold seperti adenovirus, rhinovirus, influenza,

coronavirus, dan Respiratory Syncytial Virus. Tapi sering juga karena EBV,

herpes simplex virus, dan cytomegalovirus atau HIV)

Sekitar 30% kasus memiliki etiologi berupa bakteri

Bakteri yang paling sering adalah streptokokus grup A beta hemolitikus

Page 12: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Penyebab lainnya adalah stafilokokus aureus, streptokokus pneumonia,

mycoplasma pneumonia dan chlamydia pneumonia

Penyebab terjarang adalah pertussis, fusobacterium, diphteria, sifilis,

gonorrhea.

Faktor resiko:

Lingkungan yang kurang higienis

Pernah kontak dengan penderita

Malnutrisi

Anak-anak

Penurunan sistem imun

merokok

12. Bagaimana manifestasi klinis dari kasus ini?

a. Nyeri tenggorok

b. Nyeri telan

c. Sulit menelan

d. Demam

e. Mual

f. Anoreksia

g. Kelenjar limfa leher membengkak

h. Faring hiperemis

i. Edema faring

j. Pembesaran tonsil

k. Tonsil hyperemia

l. Mulut berbau

m. Otalgia ( sakit di telinga )

n. Malaise

13. Bagaimana patogenesis dari kasus ini?

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat

membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada

keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi

Page 13: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

(fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh

misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga

jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti

oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara

klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus

kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa

tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa

submandibula.

Tonsilofaringitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga

penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara

lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang

rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak

sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.

Bagan ada di sintesis

14. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?

penatalaksanaan medis

antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,

eritromisin dll

antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.

Note:

Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan

berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus

metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-

100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak

<5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus

group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis

tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada

dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari.

penatalaksanaan keperawatan

Page 14: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

kompres dengan air hangat

istirahat yang cukup

pemberian cairan adekuat, perbanyak minum

pemberian diit cair atau lunak sesuai kondisi pasien

15. Apa komplikasi dari kasus ini?

- otitis media akut

- abses peritonsil

- abses parafaring

- toksemia

- septicemia

- bronchitis

- nefritis akut

- miokarditis

- arthritis

- rheumatic fever

- post streptococcal glumerulonefritis

16. Apa prognosis dari kasus ini? Dubia ad bonam

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan

suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih

nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus

dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita

telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Pada kasus-kasus yang jarang,

Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau

pneumonia.

17. Apa KDU dari kasus ini? 4

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

tambahan (mis: labor sederhana dan x-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu

menangani problem sampai tuntas.

2.5 Hipotesis

Page 15: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Panji 6 tahun mengeluh sakit tenggorok dan demam karena menderita

rhinotonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.

2.6 Kerangka Konsep

Melalui udara

Faktor predisposisi

2.7 Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues

faringitissss

Jaringan mengerut, kripta melebar diisi detritus

Tonsil membesar (T3-T3)

Tonsilitis

Rhinotonsilofaringitis

Sakit tenggorokan

Dinding faring hiperemis

Terbentuk detritus (kumpulan leukosit, bakteri, & epitel yg lepas)

Inflamasi

Rhinitis

Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut

Aktivasi pusat batuk

Membran mukosa bengkak dan merah

Reaksi radang/inflamasi

Dideteksi imun non spesifik

Sekret kental berwarna putih

Konka inferior edema dan hiperemis

Jaringan limfoid superfisial bereaksi

Pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit PMN

demam

Iritasi pada reseptor batuk

Pengeluaran mediator inflamasi

Menembus tunika mukosa

↑ sekresi mukus dari mukosa hidung

Epitel terikis

Infeksi bakteri/ virus

Invasi mukosa hidung

Menempel di silia faring

Menginfiltrasi lapisan epitel tonsil

Page 16: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

No Learning

Objective

What I

know

What I don’t

know

What I have to

prove

Source

1. Anatomi dan

fisiologi hidung,

faring dan tonsil

Letak

faring,

tonsil

Vaskularisasi

Persarafan

Lokasi

terjadinya

peradangan

IT,

buku,

internet

2. Rhinitis Definisi Etiologi,

klasifikasi,

patofisiologi,

tatalaksana

Hubungan

penyakit

dengan

berbagai gejala

yang timbul

3. Faringitis Definisi,

Kalsifikasi

batu

Saluran

Kemih dan

ginjal

Etiologi,

klasifikasi,

patofisiologi,

tatalaksana

Hubungan

penyakit

dengan

berbagai gejala

yang timbul

4. Tonsilitis Definisi

Gejala khas

Etiologi,

klasifikasi,

patofisiologi,

tatalaksana

Hubungan

tonsilitis

dengan

faringitis dan

rhinitis, serta

hubungannya

dengan gejala

yang dialami

pasien

5. Pemeriksaan

THT

Definisi Teknik dan

prosedur

Pemeriksaan

THT pada

kasus ini

BAB III

Page 17: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

SINTESIS

1. Anatomi dan fisiologi hidung, faring dan tonsil

1.1. a Anatomi hidung

Gambar 2.7 : Anatomi hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih

dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung

dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas,

struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang

yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat

digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.

Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari

apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung

dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks,

yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago

septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung.

Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah

yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau

Page 18: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi

dan sebelah inferior oleh dasar hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang

membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang

memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi

berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian

tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi

bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior

(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares

anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior,

konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah

konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi

konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar

hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior

disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah

yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari

sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian

anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah

yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau

fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan

infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial

Page 19: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

prosesus unsinatus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas

sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus

paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya

menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os

maksilla.

Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap

cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale.

Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang

berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat

saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus

cranialis I olfaktorius.

Perdarahan hidung

Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:

1. Arteri Etmoidalis anterior

2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari

arteri karotis eksterna.

Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri

maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri

Page 20: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina

dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan

hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri

sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,

yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

Persyarafan hidung

Gambar 2.9 :PersarafanHidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang

berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari

cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus

trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang

kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior

dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina

kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior

Page 21: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis

internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion

sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut

sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.

Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior

konkha media.

Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa

olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

1.1.b Fisiologi hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar

dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki

epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga

macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,

memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas

dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -

90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas

beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,

(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut

membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.

1.2. Anatomi dan fisiologi tenggorokan

1.2.a Anatomi Tenggorokan

Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,

terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini

menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut

terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.

Page 22: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang

dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel

skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum

oris.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal

prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole,

dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat

garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian

depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus

lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa

dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari

sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang

bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai

kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting.

Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada

kelenjar parotis.

Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring

adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di

bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus

menyambung ke esophagus setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,ke depan berhubungan dengan

rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah

berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan

esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat

belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.

Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot

dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan

laringofaring (hipofaring).

Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,

kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.

Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior,

Page 23: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius

kartilaginosa terdapat didepan lekukan yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor

velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba

eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.

Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal

dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan

tonsila, arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari

arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu

menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.

Vaskularisasi.

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang

utama berasal daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna

yakni cabang palatine superior.

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang

ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus

dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus

faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang

dipersarafi langsung oleh cabang n.glossofaringeus.

Kelenjar Getah Bening

Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media

dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan

kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar

getah bening jugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas,

sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam

bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

Nasofaring

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan

limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa

rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis

Page 24: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba

eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus

vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian

petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.

Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya

Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan

kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah

dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan

posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

a. Dinding Posterior Faring

Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang

akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut.

Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan

dengan gangguan n.vagus.9

b. Fosa tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya

adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper

pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi

jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila

terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia

Page 25: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang

sebena-benarnya.

c. Tonsil

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan

tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin

waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa

tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan

sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar

lidah.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah

yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga

meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit,

epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut

kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah

dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,

a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan

a.lingualis dorsal.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini

kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik

merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista

duktus tiroglosus.

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan

dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.

Laringofaring (hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula

epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian

Page 26: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan

dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak

di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring,

batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke

bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara

esofagus.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring

tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka

struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini

merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika

medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga

kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan

pil akan tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega

dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil

(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat

menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak

langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi

(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus

tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan

dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk

diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan

laringoskopi langsung.

1.2.b Fisiologi Tenggorokan

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan

untuk artikulasi.

Proses menelan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut

ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan

Page 27: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter.

Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada

sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke

orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik

berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan

yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui

orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan

superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis

inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh

gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.

Proses Berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum

dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah

dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan

melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator

veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan

penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas

belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi

oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat

2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan

m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor

faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,

tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara

cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

1.3. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil

1.3.a Anatomi Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin

Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang

terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal

(Ruiz JW, 2009).

Page 28: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

A) Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil

pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan

pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,

masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan

tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong

diatasnya dikenal

sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral – muskulus konstriktor faring superior

Anterior – muskulus palatoglosus

Posterior – muskulus palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat

dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat

retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting

mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur

pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan

pusat germinal (Anggraini D, 2001).

Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot

palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding

Page 29: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan

dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke

IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri

maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri

palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina

desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri

faringeal asenden. Kutub bawah tonsil

bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri

palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.

Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina

desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus

dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan

pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal

profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus

torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan

pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).

Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus

glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Imunologi Tonsil

Page 30: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B

membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil

adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit

B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen

komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling

DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu

epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat

germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005).

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan

proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu

1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ

utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik

(Hermani B, 2004).

B) Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid

yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun

teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong

diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian

tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid

terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama

ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa

Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-

masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-

7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).

C) Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata

(Kartosoediro S, 2007).

Page 31: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

2. Rhinitis

Rinitis Non-Alergika

Rinitis Non-Alergika adalah suatu peradangan pada selaput lendir Hidung tanpa latar

belakang alergi.

Jenis-jenis rinitis non-alergika:

1. Rinitis Infeksiosa

Rinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan bagian

atas, baik oleh bakteri maupun virus.

2. Rinitis Non-Alergika Dengan Sindroma Eosinofilia

Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme prostaglandin.

Pada hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan eosinofil sebanyak 10-

20%.

Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung meler, hidung terasa gatal dan

penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).

3. Rinitis Okupasional

Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja.

Gejala-gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan (misalnya

debu kayu, bahan kimia).

Penderita juga sering mengalami Asma karena pekerjaan.

4. Rinitis Hormonal

Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi gangguan

keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas, pemakaian

pil KB).

Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di selaput hidung.

Gejala rinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan kedua, terus

berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang pada saat persalinan tiba.

Gejala utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung meler.

Page 32: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

5. Rinitis Karena Obat-obatan

Obat-obatan yang berhubungan dengan terjadinya rinitis adalah:

- ACE inhibitor

- reserpin

- guanetidin

- fentolamin

- metildopa

- beta-bloker

- klorpromazin

- gabapentin

- penisilamin

- aspirin

- obat Anti peradangan non-steroid

- kokain

- estrogen eksogen

- pil KB.

6. Rinitis Gustatorius

Rinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu, terutama makanan

yang panas dan pedas.

7. Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya keseimbangan sistem

parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi

pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa

hidung tersumbat, bersin-bersin dan hidung meler.

Gejala biasanya dipicu oleh:

- Cuaca dingin

- bau yang menyengat

- stres

Page 33: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

- bahan iritan.

Gejala

Gejala yang khas untuk rinitis adalah:

- hidung terasa gatal

- hidung meler

- hidung tersumbat.

Ciri khas dari rinitis infeksiosa adalah lendir hidung yang bernanah, yang disertai

dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan fungsi indera penciuman serta

batuk.

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil tes kulit alergen yang negatif

(tidak ditemukan IgE).

Pengobatan

Pengobatan rinitis non-alergika berdasarkan penyebabnya:

# Infeksi karena virus biasanya akan membaik dengan sendirinya dalam waktu 7-10

hari; sedangkan infeksi bakteri memerlukan terapi antibiotik.

# Untuk status hipotiroid perbatasan, bisa diberikan ekstrak tiroid.

# Rinitis karena kehamilan biasanya akan berakhir pada saat persalinan tiba.

# Untuk mengatasi rinitis akibat pil KB sebaiknya pemakaian pil KB dikurangi atau

diganti dengan kontrasepsi lainnya.

Obat-obatan yang bisa diberikan untuk meringankan gejala rinitis:

# Obat tetes hidung yang mengandung corticosteroid (untuk mengurangi peradangan)

# Obat tetes hidung yang mengandung simpatomimetik (untuk mengurangi

pembengkakan dan penyumbatan hidung).

3. Faringitis

A. Akut

Page 34: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

1. Etiologi

Kuman Streptokokus beta hemolitikus, streptokokus viridans, dab streptokokus

pyogenes adalah penyebab terbanyak. Namun dapat juga disebabkan oleh virus.

2. Patofisiologi

Kuman masuk melalui droplet menginfiltrasi epitel epitel terkikis aktivasi

jaringan Limfoid Superficial reaksi inflamasi

3. manifestasi Klinis

Demam, suhu naik 40o C

Rasa gatal dan kering di tenggorokan.

Lesu

Nyeri sendi

Odinofagia

Anoreksia

Otalgia

Faring hiperemis

Tonsil membengkak

Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan

4. Komplikasi

Otitis media akut

Abses peritonsil

Abses faring

Toksemia

Septikemia

Bronkitis

Nefritis akut

Miokarditis

Atritis

5. Pemeriksaan Penunjang

Tes kultus dan uji resistensi (bila perlu)

6. Diferensial Diagnosis

Page 35: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Angina plaut vincent

Tonsilitis difteri

Scarlett fever

Angina granulositosis

7. penatalaksanaan

Antibiotik golongan penisilin/sulfonamida 5 hari

Antipiretik

Obat kumur/obat isap dengan desinfektan

Bila alergi penisilin, diberikan eritromisin/klindamisin

B. kronik

1. Etiologi

Kuman penyebab sama dengan penyebab pada tonsilitis akut.

2. Faktor Predisposisi

Rangsangan kronik (rokok, makanan)

Pengaruh cuaca

Pengobatan radang akut yang tidak adekuat

Higiene yang buruk

3. Patofisiologi

Proses radang yang berulang epitel mukosa dan jaringan Limfoid terkikis

proses inflamasi berbentuk jaringan parut pengertuan jaringan ruang antar

kelompok melebar yang diisi dengan detritus proses meluas menembus kapsul

perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.

4. Manifestasi Klinis

Keluhan ada penghalang di tenggorokan

Terasa kering

Pernapasan berbau

Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata

Kriptus membesar dan terisi detritus

5. Komplikasi

Page 36: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Perikontinuitatum ( rhinitis kronik, sinusitis, dan otitis media)

Hematogen/Limfogen (endokarditis, artritis, miositis, nefritis, dermatitis,

piuritis, urtikaria, furunkulosis)

6. Pemeriksaan Penunjang

Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil

7. penatalaksanaan

Lokal obat kumur/obat isap

Radikal tonsilektomi bila konservatif. Medikamentosa tidak berhasil.

4. Tonsilitis

Tonsillitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di

dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, tonsil lingual

( tonsil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring /

Gerlanch’s tonsil ). Penyebaran infeksi melalui udara ( air borne droplets ), tangan

dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.

Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama

yang tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian

dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti

dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4

bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis

yang merupakan infeksi fokal

Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh

cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman

penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah

menjadi kuman golongan Gram negatif 3.

Klasifikasi ukuran Tonsil Palatina

Page 37: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Gambar 2. Klasifikasi Ukuran Tonsil

Besar tonsil ditentukan sebagai berikut:—  T0        : tonsil di dalm fosa tonsil atau telah diangkat —  T1        : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula—  T2        : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula—  T3        : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula—  T4        : bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih Patologi

Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan keadaan patologis

akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ

lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri atau

produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya 4.

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga

jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti

oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara

klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus

kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa

tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe

submandibula.

Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus dapat merupakan

sumber autoantibodi terhadap sejumlah sistem organ sehingga tonsil memainkan

peranan penting terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh virus

atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang mirip dengan bagian lain

tubuh yang dapat memacu imunitas seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral

Page 38: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

sehingga terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit, mesangium

ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur tonsil dengan banyak tampaknya

merupakan pintu gerbang bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil

Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau rekuren karena

tonsil tersebut telah dekompensata dari segi imunologis. Pemeriksaan radioautografi

elektron pada limfosit tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata,

menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi limfosit T dan B dengan

differensiasi jelek. Proses ini ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine

berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi prekursor radioaktif pada

limfosit B menunjukkan terjadinya diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini.

Esensinya bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi maksimal substrat

protein aktif yang memperantarai imunitas humoral pada tonsilitis kronik 3.

Gejala dan tanda

Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi 1) gejala

lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai

sakit menelan, 2) gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri

kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan

debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis

parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika

tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional 7.

Terapi

Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,

obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan

hasil. Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu

diberikan selama sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah

golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat

diberikan eritromisis atau klindamisin.

Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi

Page 39: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis,

miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, utrikaria dan furunkulosis 3.

Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah

operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila

dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar

sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak

tepat (seharusnya). Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk

tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk

kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust,

halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis 8.

Tonsilektomi merupakan terapi pembedahan berupa tindakan pengangkatan

jaringan tonsil (tonsila palatina) yang merupakan salah satu organ imun dari fossa

tonsilaris, dimana tonsil merupakan massa jaringan berbentuk bulat kecil, terutama

jaringan limfoid.

The American Academy of Otolaringology – Head and Neck Surgery Clinical

Indicator Compendium tahun 1995 menetapkan:

1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.

2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofasial

3. Sumbatan jalan nafas yang beupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan

nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara,dan cor

pulmonale.

4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

berhasil hilang dengan pengobatan.

5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus β

hemolitikus.

7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

Page 40: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

8. Otitis media efusa/ otitis media supuratif

5. Pemeriksaan THT

5.1 Pemeriksaan telinga

Pada keadaam normal daun telinga berukuran :

1. tinggi : lebih kurang 6,5 cm

2. lebarnya : 50-60% dari tingginya

Pemeriksaan dengan mengunakan otoskopi

Pada saat pemeriksaan daun telinga harus di tarik ke belakang atas (dewasa)

atau ke belakang bawah (anak-anak) dan pencahayannya harus bagus

Pemeriksaan ini berfungsi untuk melihat liang telinga dan membran timpani

Page 41: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Keadaan liang telinga

Pada keadaan normal di liang telinga hanya terdapat serumen dengan ukuran

kecil dengan warna dindingnya sama seperti warna kulit.

Pada keadaan tidak normal dapat di jumpai tanda-tanda peradangan,nanah

berdarah,benda asing,bisul ,eksotouse(tonjlan tulang keliang telinga) dan

sebagainya .

Membran timpani

pada keadaan normal membrana timpani :

1. warna : putih mutiara

2. Bentuk : berbentuk seperti kerucut dengan umbo (puncaknya) mengarah ke

cavum timpani

3. Reflek cahaya : mengarah ke pukul 7 (telinga kiri) atau pukul 5 (telinga kanan)

Page 42: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Contoh kelainan membran timpani

Perforasi membran timpani

Otitis media akut

5.2 Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan dengan spekulum hidung

Spekulum hidung dapat digunakan dengan memengan badian bwah spekulum

degan jari ke3-5 dan ibu jari memengan bagian atas spekulum

jari telunjuk menyentuh bagain tepi hidung pasien

Spekulum dimasukkan ke dalam lubang hidung dan membukan lubang hidung

berlahan dan pelan

Page 43: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Pada saat mengeluaraknnya spekulum dalam keadaan terbuka

Dengan menggunakan spekulum dapat melihat vestiblum nasi, konka nasi,

septum nasi serta meatus nasi inferior dan media

Vestibulum nasi

Pada keadaan normal pada vestibulum nasi dapat di jumapai bulu hidung dan

kelenjar seacea dengan warna pink kemerahan

Pada saat pemeriksaan perhatikan ada tidaknya krusta,sekret,radang dan

lainnya

Kavum nasi

Page 44: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Perhatikan

a. septum nasi : dengan gambaran yang tidak terlalu lurus atau aak bengkok dengan

warna pink kemerahan .

b. konka nasi : pada pemerikasaan hayan tampak konka nasi inferior dan media

dengan warna pink kemerahan

c. Meatus nasi : pada peneriksaanhanya tampakmeatus nasi inferior dan media

meatus nasi terletak di antara konka.

Pada saat pemeriksaan kita haris memperhatikan ada tidaknya

pembengkakan,sekre(serouse,mucous pus),darah,arofi ,hipertrofi dan lainnya

5.3 Pemeriksaan mulut dan faring

Page 45: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan :

1. Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak

dan gerakan arkus faring.

2. Tonsil : besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan

dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas

Ukuran tonsil

- To Tonsil sudah diangkat

- T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris

-T2 Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis

para Median

-T3 Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median(

pertengahan uvula)

-T4 Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor

Page 46: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

3. Mulut :bibir, bukal, palatum, gusi dan gigi geligi

4. Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput

5. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.

6. Palpasi kelenjar liur mayor (parotis dan mandibula)

Pemeriksaan hipofaring dan laring

Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah pasien

dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa( dengan jari

tengah dibawah dan jempol diatas lidah di pegang, telunjuk di bawah hidung, jari

manis dan kelingking di bawah dagu). Pasien diminta bernafas melalui mulut

denggan tenang. Kaca tenggorok no 9 yang telah dihangatkan dipegang dengan

tangan kanan seperti memegang pensil, diarahkan ke bawah, dimasukkan ke dalam

mulut dan diletakkan di muka uvula.

Diperhatikan :

- Epiglotis yang berberbentuk omega

- Aritenoid berupa tonjolan 2 buah

- Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan

Epiglottis

- Rima glottis

- Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor.

- Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan

abduksi pada waktu inspirasi, tumor dan lain-lain

- Valekula : adakah benda asing

- Sinus piriformis : apakah banyak secret

DAFTAR PUSTAKA

Page 47: Skenario B Blok 12 KELOMPOK 5 (2)

1. Rusmardjono & Soepardi, 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal.

223-224. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

2. Amarudin,Tolkha dan Christanto, Anton. 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi.

CDK THT vol. 34 no. 2/155 Tahun 2007. Hal.61-68. Available from :

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_155_THT.pdf (Diakses pada 7 April

2011)

3. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the Ear, Nose

and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 – 170.

4. Hermani, Bambang. 2004. Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Available from:

http://buk.depkes.go.id/index.php?

option=com_docman&task=doc_download&gid=266&Itemid=53.

5. Shah, K. Udayan. 2009. Tonsolitis and Peritonsilar abcess. Available from :

http://emedicine.medscape,com/article-overview.