skenario b blok 12 kelompok 5 (2)
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Panji (6th) diantar ibunya ke poliklinik THT RS Dr. M. Hoesin dengan keluhan sakit
tenggorok dan demam sejak satu hari yang lalu. Sejak tiga hari yang lalu Panji sudah
menderita batuk pilek. Keluhan nyeri dan keluar cairan dari telinga disangkal oleh ibu
penderita. Keluhan serupa dialami Panji tiga bulan yang lalu, sembuh setelah berobat
di puskesmas.
Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernapasan normal, suhu
37,8oC
Pemeriksaan status lokalis: Otoskopi dalam batas normal
Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri :
Mukosa hiperemis
Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+
Sekret kental berwarna putih
Orofaring:
Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar
Dinding faring hiperemis (+), granula (+)
Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,5g%, WBC : 12.000 /ul, trombosis 250.000/ul
2.2 Klarifikasi Istilah
1. Sakit tenggorokan : Rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat dari
inflamasi.
2. Demam : Peningkatan suhu tubuh diatas normal (36,5-37 oC)
3. Batuk : Ekaspulsi udara tiba-tiba sambil mengeluarkan suara dari paru-paru
4. Otoskopi : Alat untuk memeriksa / auskultasi telinga
5. Pemeriksaan status lokalis : Pemeriksaan yang dilakukan pada suatu bagian
pada organ tertentu
6. Rhinoskopi : Pemeriksaan lubang hidung dengan spekulum melalui
nasofaring / nares anterior
7. Hiperemis : Kelebihan darah pada suatu bagian
8. Detritus : Bahan partikular yang dihasilkan dengan sisa pengausan /
disintegrasi substansi / jaringan
9. Tonsil T3-T3 : Pembesaran tonsil dimana 50-70 % volume tonsil lebih banyak
dibandingkan volume orofaring.
10. Kripta melebar:
11. Granula : Partikel kecil bentuk massa jaringan kecil yang bulat
2.3 Identifikasi Masalah
1. Panji 6 tahun dibawa ibunya ke Poliklinik THT dengan keluhan sakit
tenggorok dan demam sejak 1 hari yang lalu
2. Sejak 3 hari yang lalu, Panji mengeluh batuk pilek, tetapi keluhan nyeri dan
keluar cairan telinga disangkal oleh ibunya. Keluhan serupa dialami Panji 3
bulan yang lalu, sudah berobat ke puskesmas dan sembuh.
3. Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernapasan normal,
suhu 37,8oC
Pemeriksaan status lokalis: Otoskopi dalam batas normal
Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri :
Mukosa hiperemis
Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+
Sekret kental berwarna putih
Orofaring:
Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar
Dinding faring hiperemis (+), granula (+)
4. Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,5g%, WBC : 12.000 /ul, trombosis 250.000/ul
2.4 Analisis Masalah
1. a. Bagaimana etiologi dan patofisiologi sakit tenggorok ?
sakit tenggorokan , atau odinofagia terutama disebabkan oleh adanya mikroorganisme
yang menginfeksi faring sehingga terjadi faringitis. Adapun mikroba yang dapat
menyebabkan faringitis yaitu
1. Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) 15% kasus faringitis.
• Gambaran klinis berupa: demam lebih dari 101.5°F, tonsillopharyngeal eritem dan
eksudasi, pembengkakan limfonodi leher, sakit kepala, muntah pada anak-anak,
petechiae palatal, biasa terjadi pada cuaca dingin.
• Suatu ruam scarlatiniform juga dihubungkan dengan infeksi GABHS ruam
kemerahan pada ekstremitas dan lidah memerah (strawberry tongue)
2. Group C, G, F Streptococci ( 10%), mungkin secara klinis tidak bisa dibedakan
dari infeksi GABHS, namun Streptococcus jenis ini tidak menyebabkan sequelae
immunologic. Streptococci grup C dan G telah dilaporkan sebagai penyebab radang
selaput otak (meningitis), endocarditis, dan empyema subdural.
• Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M
pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada paru.
• Corynebacterium diphtheria
• Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia species,
Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium ulcerans.
• ( Corynebacterium) haemolyticus ( 5%) banyak terjadi pada dewasa muda,gejalanya
mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform. Pasien sering mengeluh
batuk.
• Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis, and
nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.
3. Viral pharyngitis
o Adenovirus (5%):.
o Herpes simplex (< 5%):
o Coxsackieviruses A and B (< 5%):
o Epstein-Barr virus (EBV):
o CMV.
o HIV-1:
4. Penyebab lain
o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem imun.
Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.
o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia (Kazzi,
et.al.,2006).
Mekanisme Terjadinya Odinofagia dalam kasus ini
Bakteri melalui udara masuk ke saluran pernafasan menempel pada silia di
faring bakteri menembus silia ke tunica mukosa, pada daerah ini, bakteri dideteksi
oleh imun non spesifik histamin peradangan/inflamasi faringitis sakit
tenggorokan
b. Bagaimana etiologi dan mekanisme demam ?
Etiologi1. Infeksi, suhu mencapai 38`C, penyebab virus, bakteri2. Non infeksi, seperti kanker, tumor3. Demam fisiologis, penyebab: dehidrasi, suhu udara yang terlalu panas4. Demam tanpa penyebab yang jelas ( Fever of Unknown Origin / FUO )
Infeksi bakteri (droplet ludah atau kontak langsung) masuk ke saluran
pernafasan makrofag menyerang antigen mengeluarkan mediator inflamasi
seperti IL-1, IL-2, TNF-alpha proses inflamasi ,mediator inflamasi bersama
aliran darah menuju hypothalamus merangsang pelepasan as.arakhidonat
meningkatkan sintesis prostaglandin E2 meningkatkan set point demam
c. Bagaimana etiologi dan patofisiologi batuk pilek ?
Batuk
Etiologi:
batuk akut <3minggu ispa oleh virus (paling sering), pneumonia, dan eksaserbasi
inefektif pada ppok
Adanya rangsangan pada reseptor batuk (eksogen dan endogen) akan diteruskan oleh
saraf aferen ke pusat batuk di medula. Dari pusat batuk, impuls akan diteruskan oleh
saraf eferen ke efektor yaitu beberapa otot yang berperan dalam proses respiratorik.
Proses terjadinya batuk: Relaksasi – Kompresi- Ekspirasi(eksplusif)- Inspirasi
Pilek Etiologi: Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan berdasarkan komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti rinovirus, virus influenza, parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus.(2)
Patofisiologi terjadinya penyakit selesma dapat diuraikan sebagai berikut : virus melekat pada sel inang dan melakukan penetrasi asam nukleat ke dalam tubuh inang terjadi replikasi genom virus dan sintesis asam amino atau protein pembentuk tubuh virus penyusunan dan pengepakkan virus baru pelepasan dari sel inang, mengakibatkan sel inang lisis dan timbul peradangan.
Keterangan proses terjadinya selesma : cairan encer dan jernih yang mengalir dari epitel nasal yang teriritasi, kemudian secara cepat diikuti oleh lender yang lebih kental, yang sebagian besar terdiri dari sel-sel epitel yang mati dan sel darah putih. Tenggorokan terasa sakit karena adanya edema pada selaput lendir tenggorok, menyebabkan iritasi tenggorok. Batuk yang semula kering dapat berubah menjadi batuk basah karena adanya cairan nasal/ ingus yang menggumpal pada cabang tenggorok kemudian tak terbendung lagi mengalir ke dalam saluran nafas bagian bawah sehingga diperlukan batuk, untuk membersihkan saluran nafas dari ingus yang menggumpal biasanya disebut dengan batuk produktif..
2. Apa yang menyebabkan keluhan 3 bulan yang lalu terulang lagi ?
Mungkin secara laboratory belum sembuh sempurna, lalu karena beberapa faktor
seperti makanan,lingkungan, kelelahan, stress dan juga imunitas yang memburuk,
terjadilah eksaserbasi.
3. a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan rhinoskopi?
Pemeriksaan
Rhinoskopi anterior
hidung kanan dan kiri
Nilai Normal Interpretasi
Mukosa hiperemis Mukosa normal
berwarna merah muda
dan selalu basah (diliputi
palut lendir pada
permukaannya)
Infeksi pada hidung
yang mengenai mukosa
hidung
Konka inferior edema
+/+ hiperemis +/+
Tidak edema dan
warnanya merah muda
Tanda dari reaksi
radang dari common
cold
Sekret kental berwarna
putih
Tidak ditemukan sekret
dalam jumlah banyak
Rhinitis akut (infeksi
pada hidung)
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan rhinoskopi ?
Mukosa hiperemis
terjadi dengan kemungkinan adanya suatu organisme yang masuk mallui hidung.
Hidung melakukan mekanisme pertahanan untuk mengeluarkan nya dengan berbagai
cara seperti bersin atopun dengan memfagositosis oleh makrofag2.
Dengan adanya reaksi imflamasi, maka terjadilah suautu peradangan dimana dapat
mengakbiatkan pembuluh2 darah disekitar peradangan dpat pcah sehingga tampak
mukosa berwarna kemerahan.
Infeksi saluran pernapasan atas (cavum nasi )→ mempengaruhi membran mukosa
hidung → aktivasi sel mast pada saluran napas → sekresi mediator inflamasi
(histamine, leukotrien, prostaglandin) → membrane mukosa membengkak dan merah
(konka inferior) → edema dan hiperemis sel mukosa
Konka inferior edema
mekanismenya itu sama kurang lebih mekanisme dari infeksi bakteri maupun virus
yang menyebabkan proses imflamasi yang dapat juga berakhir pada edemnya konka,
konka inferior pada umungnya yang sering terjadi edema.
Hiperemis itu menandakan pecahnya pembuluh darah kapiler dari percabangan a.
Facialis di daerah terjadinya reaksi imflamasi oleh bakteri maupun virus atopun
alergi.
Sekret berwarna kental
Infeksi saluran pernapasan atas (cavum nasi )→ mempengaruhi membran mukosa
hidung peningkatan jumlah mucus hasil inflamasi dan sel PMN secret kental,
berwarna putih
c. Apa interpretasi dari hasi pemeriksaan orofaring ?
Tonsil T3-T3
Klasifikasi Pembesaran Tonsil
T0 = (-) / sudah diangkat
T1 = Pembesaran ¼ dari arcus anteriro dan uvula
T2 = Pembesaran 2/4 dari arcus anteriro dan uvula
T3 = Pembesaran 3/4 dari arcus anteriro dan uvula
T4 = Pembesaran sama dengan arcus anteriro dan uvula
Dari kasus ini tonsil kiri dan kanan telah mengalami pembesaran ¾ dari arcus anterior
dan uvula.
Kripta melebar
Telah terjadi pelebaran kripta akibat akumulasi eksudat.
d. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasi pemeriksaan orofaring?
Kripta melebar :
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa
jaringanlomfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar.
Detritus (+):
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dapat menyebabkan terjadinya
reaksi radang, sehinnga keluarlah leukosit polimorfonuklear. Leukosit yang bersisa,
bakteri mati, dan epitel yang terlepas inilah yang disebut detritus.
Tonsil T3-T3 : pembesaran pada tonsil
Hal ini disebabkan oleh inflamasi, jejas stimulasi mediator endogen sel endotel
rusak kontraksi pada sel endotel intrerendothelial junction melebar
permeabilitas membrane meningkat protein pindah ke extravaskuler tekanan
osmotis intravena menurun cairan dan sel sel darah pindah ke intersisial
terbentuk eksudat bengkak
Dinding faring hiperemis
Hal ini disebabkan oleh inflamasi, jejas stimulasi mediator endogen sel endotel
rusak kontraksi pada sel endotel intrerendothelial junction melebar
premeabilitas membrane meningkat protein pindah ke extravaskuler dilatasi
pembuluh darah banyak darah masuk ke daerah faring hiperemi faring
4. a. Apa interpretasi hasil pemeriksaan lab?
pemeriksaan Kasus Normal InterpretasiHb 12,5g% 11.5-14.5 NormalWBC 12000/μl 5.000-14.500 Normal Trombosis 250000 250.000-550.000 Normal
5. Bagaimana anatomi dan fisiologi tonsil, faring, hidung ? sintesis
6. Bagaimana histologi tonsil, faring, hidung ?
Hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar
nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum
merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum
nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,
media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior
ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel
olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut
terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan
dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel
basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar
Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum
mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Tonsil
Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu:
1) jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf, dan limfa,
2) folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda dan
3) jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
7. Bagaimana gambaran histopatologi pada kasus ini ?
Tonsilitis
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa
jaringanlomfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar.
Secara klinis kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnyamenimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertaidengan pembeasran kelenjar limfe
submandibula.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dapat menyebabkan terjadinya
reaksi radang, sehinnga keluarlah leukosit polimorfonuklear. Leukosit yang bersisa,
bakteri mati, dan epitel yang terlepas inilah yang disebut detritus.
8. Apa DD pada kasus ini ?
Kasus Tonsilopharingitis Tonsillitis diteri
Odinofagia + +Batuk + -
Demam + SubfebrisPem.kelenjar + +
Pharynx hiperemis + -Detritus (+) + +
Tonsil T3/T3 + +
9. Bagaimana cara penegakkan diagnosis dan WD pada kasus ini?
Cara penegakkan diagnosis dimulai melalui anamnesis dengan menanyakan keluhan
utama pasien. Pada pasien ini keluhan utama sakit tenggorokan dan demam sejak 1
hari yang lalu. Juga di tanyakan riwayat seperti penyakit ini apakah pernah di alami
sebelumnya atau baru pertamakali, disni riwayat pasien pernah mengalami gejala
serupa 3 bulan yang lalu.
Ditanyakan juga pola hidup, aktivitas seperti bagaimana makanan yang di komsumsi
sehari hari. Sering melakukan aktivitas apa, dan juga dapat mengetahui lingkungan
dari kehidupan pasien dan status sosialnya
Pemeriksaan fisik dilihat keadaan umum kompos mentis lalu perlu pemeriksaan
pendengaran lalu rhinoskopi orofaring dan laboratorium.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilofaringitis
Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari
dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita
Tonsilofaringitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis
yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilofaringitis Kronis tidak dapat dipercaya dan
juga valid. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus
diukuti Staflokokus aureus.
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilofaringitis Kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi
limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi
lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilofaringitis Kronis.
WD : Panji 6 tahun menderita rhinotonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.
10. Bagaimana epidemiologi dari kasus ini?
Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, dengan insiden tertinggi pada anak-
anak usia 5-15 tahun.Pada anak-anak , grup A streptococcus menyebabkan sekitar 30
% kasus tonsilofaringitis akut sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar 5-10 %.
jarang terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7 yahun, dan berlanjut hingga
dewasa. Sebanding antara laki-laki dengan perempuan.
11. Apa etiologi dan faktor resiko dari kasus ini ?
Etiologi:
Biasanya virus (virus common cold seperti adenovirus, rhinovirus, influenza,
coronavirus, dan Respiratory Syncytial Virus. Tapi sering juga karena EBV,
herpes simplex virus, dan cytomegalovirus atau HIV)
Sekitar 30% kasus memiliki etiologi berupa bakteri
Bakteri yang paling sering adalah streptokokus grup A beta hemolitikus
Penyebab lainnya adalah stafilokokus aureus, streptokokus pneumonia,
mycoplasma pneumonia dan chlamydia pneumonia
Penyebab terjarang adalah pertussis, fusobacterium, diphteria, sifilis,
gonorrhea.
Faktor resiko:
Lingkungan yang kurang higienis
Pernah kontak dengan penderita
Malnutrisi
Anak-anak
Penurunan sistem imun
merokok
12. Bagaimana manifestasi klinis dari kasus ini?
a. Nyeri tenggorok
b. Nyeri telan
c. Sulit menelan
d. Demam
e. Mual
f. Anoreksia
g. Kelenjar limfa leher membengkak
h. Faring hiperemis
i. Edema faring
j. Pembesaran tonsil
k. Tonsil hyperemia
l. Mulut berbau
m. Otalgia ( sakit di telinga )
n. Malaise
13. Bagaimana patogenesis dari kasus ini?
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat
membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada
keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi
(fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.
Tonsilofaringitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara
lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang
rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak
sama antara permukaan tonsil dan jaringan tonsil.
Bagan ada di sintesis
14. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?
penatalaksanaan medis
antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,
eritromisin dll
antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.
Note:
Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan
berkumur dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus
metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
<5tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus
group A diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal atau amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari.
penatalaksanaan keperawatan
kompres dengan air hangat
istirahat yang cukup
pemberian cairan adekuat, perbanyak minum
pemberian diit cair atau lunak sesuai kondisi pasien
15. Apa komplikasi dari kasus ini?
- otitis media akut
- abses peritonsil
- abses parafaring
- toksemia
- septicemia
- bronchitis
- nefritis akut
- miokarditis
- arthritis
- rheumatic fever
- post streptococcal glumerulonefritis
16. Apa prognosis dari kasus ini? Dubia ad bonam
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Pada kasus-kasus yang jarang,
Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau
pneumonia.
17. Apa KDU dari kasus ini? 4
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan (mis: labor sederhana dan x-ray). Dokter dapat memutuskan dan mampu
menangani problem sampai tuntas.
2.5 Hipotesis
Panji 6 tahun mengeluh sakit tenggorok dan demam karena menderita
rhinotonsilofaringitis kronik eksaserbasi akut.
2.6 Kerangka Konsep
Melalui udara
Faktor predisposisi
2.7 Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues
faringitissss
Jaringan mengerut, kripta melebar diisi detritus
Tonsil membesar (T3-T3)
Tonsilitis
Rhinotonsilofaringitis
Sakit tenggorokan
Dinding faring hiperemis
Terbentuk detritus (kumpulan leukosit, bakteri, & epitel yg lepas)
Inflamasi
Rhinitis
Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut
Aktivasi pusat batuk
Membran mukosa bengkak dan merah
Reaksi radang/inflamasi
Dideteksi imun non spesifik
Sekret kental berwarna putih
Konka inferior edema dan hiperemis
Jaringan limfoid superfisial bereaksi
Pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit PMN
demam
Iritasi pada reseptor batuk
Pengeluaran mediator inflamasi
Menembus tunika mukosa
↑ sekresi mukus dari mukosa hidung
Epitel terikis
Infeksi bakteri/ virus
Invasi mukosa hidung
Menempel di silia faring
Menginfiltrasi lapisan epitel tonsil
No Learning
Objective
What I
know
What I don’t
know
What I have to
prove
Source
1. Anatomi dan
fisiologi hidung,
faring dan tonsil
Letak
faring,
tonsil
Vaskularisasi
Persarafan
Lokasi
terjadinya
peradangan
IT,
buku,
internet
2. Rhinitis Definisi Etiologi,
klasifikasi,
patofisiologi,
tatalaksana
Hubungan
penyakit
dengan
berbagai gejala
yang timbul
3. Faringitis Definisi,
Kalsifikasi
batu
Saluran
Kemih dan
ginjal
Etiologi,
klasifikasi,
patofisiologi,
tatalaksana
Hubungan
penyakit
dengan
berbagai gejala
yang timbul
4. Tonsilitis Definisi
Gejala khas
Etiologi,
klasifikasi,
patofisiologi,
tatalaksana
Hubungan
tonsilitis
dengan
faringitis dan
rhinitis, serta
hubungannya
dengan gejala
yang dialami
pasien
5. Pemeriksaan
THT
Definisi Teknik dan
prosedur
Pemeriksaan
THT pada
kasus ini
BAB III
SINTESIS
1. Anatomi dan fisiologi hidung, faring dan tonsil
1.1. a Anatomi hidung
Gambar 2.7 : Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas,
struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang
yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan.
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari
apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung
dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks,
yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago
septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung.
Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah
yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau
nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi
dan sebelah inferior oleh dasar hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi
bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior,
konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar
hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior
disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari
sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os
maksilla.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap
cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale.
Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang
berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat
saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus
cranialis I olfaktorius.
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.
Gambar 2.8 : Sistem Vaskularisasi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan
hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.
Persyarafan hidung
Gambar 2.9 :PersarafanHidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut
sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior
konkha media.
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
1.1.b Fisiologi hidung
Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar
dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki
epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga
macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,
memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas
dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -
90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas
beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,
(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut
membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.
1.2. Anatomi dan fisiologi tenggorokan
1.2.a Anatomi Tenggorokan
Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra,
terdiri dari faring dan laring. Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini
menutup jika ada makanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah.
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang
dipersarafi oleh nervus fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel
skuamosa. Ruangan diantara mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum
oris.
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesusnasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum mole,
dibentuk olehgabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat
garis tengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian
depan terutamaberasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus
lingualis dengan cabang kordatimpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa
dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari
sepertiga lidah bagian belakang. Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang
bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher. Kelenjar liur tumbuh sebagai
kantong dari epitel mulut yang terletak dekat sebelah depan saraf-saraf penting.
Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada
kelenjar parotis.
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang mulut. Faring
adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggivertebra servikalis ke enam. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui isthmus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah
berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan dengan
esophagus.Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih empat
belas centimeter; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot
dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring).
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput inferior,
kemudianbagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra servikalis lain.
Nasofaring membuka kearah depan hidung melalui koana posterior. Superior,
adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping, muara tuba eustachius
kartilaginosa terdapat didepan lekukan yangdisebut fosa rosenmuller. Otot tensor
velipalatini, merupakan otot yang menegangkan palatum dan membuka tuba
eustachius masuk ke faring melalui ruangan ini.
Orofaring kearah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal
dalamkapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga mulut. Didepan
tonsila, arcus faring anterior disusun oleh otot palatoglossus, dan dibelakang dari
arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus, otot-otot ini membantu
menutupnya orofaring bagian posterior. Semua dipersarafi oleh pleksus faringeus.
Vaskularisasi.
Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal daricabang a. Karotis ekstern serta dari cabang a.maksilaris interna
yakni cabang palatine superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus
dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus
faring yang ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glossofaringeus.
Kelenjar Getah Bening
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media
dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas,
sedangkan saluran limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa
rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba
eustachius, konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian
petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.
Gambar 2.11. Anatomi faring dan struktur sekitarnya
Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan
posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.
a. Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.9
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya
adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi
jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila
terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan merupakan kapsul yang
sebena-benarnya.
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan
sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit,
epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,
a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan
a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini
kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista
duktus tiroglosus.
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan
dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak
di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring,
batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke
bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara
esofagus.
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
kantong pil´ ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan
pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.
1.2.b Fisiologi Tenggorokan
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan
untuk artikulasi.
Proses menelan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut
ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan
tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter.
Langkah yang sebenarnya adalah: pengunyahan makanan dilakukan pada
sepertiga tengah lidah. Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke
orofaring. Otot supra hiod berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik
berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan
yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan
superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis
inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh
gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.
Proses Berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan
penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas
belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi
oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat
2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor
faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara
cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
1.3. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil
1.3.a Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal
(Ruiz JW, 2009).
A) Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan
pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral – muskulus konstriktor faring superior
Anterior – muskulus palatoglosus
Posterior – muskulus palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat
retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal (Anggraini D, 2001).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan
dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke
IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina
desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil
adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit
B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen
komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling
DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ
utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik
(Hermani B, 2004).
B) Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid
terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-
7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).
C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata
(Kartosoediro S, 2007).
2. Rhinitis
Rinitis Non-Alergika
Rinitis Non-Alergika adalah suatu peradangan pada selaput lendir Hidung tanpa latar
belakang alergi.
Jenis-jenis rinitis non-alergika:
1. Rinitis Infeksiosa
Rinitis infeksiosa biasanya disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan bagian
atas, baik oleh bakteri maupun virus.
2. Rinitis Non-Alergika Dengan Sindroma Eosinofilia
Penyakit ini diduga berhubungan dengan kelainan metabolisme prostaglandin.
Pada hasil pemeriksaan apus hidung penderitanya, ditemukan eosinofil sebanyak 10-
20%.
Gejalanya berupa hidung tersumbat, bersin, hidung meler, hidung terasa gatal dan
penurunan fungsi indera penciuman (hiposmia).
3. Rinitis Okupasional
Gejala-gejala rinitis hanya timbul di tempat penderita bekerja.
Gejala-gejala rinitis biasanya terjadi akibat menghirup bahan-bahan iritan (misalnya
debu kayu, bahan kimia).
Penderita juga sering mengalami Asma karena pekerjaan.
4. Rinitis Hormonal
Beberapa penderita mengalami gejala rinitis pada saat terjadi gangguan
keseimbangan hormon (misalnya selama kehamilan, hipotiroid, pubertas, pemakaian
pil KB).
Estrogen diduga menyebabkan peningkatan kadar asam hialuronat di selaput hidung.
Gejala rinitis pada kehamilan biasanya mulai timbul pada bulan kedua, terus
berlangsung selama kehamilan dan akan menghilang pada saat persalinan tiba.
Gejala utamanya adalah hidung tersumbat dan hidung meler.
5. Rinitis Karena Obat-obatan
Obat-obatan yang berhubungan dengan terjadinya rinitis adalah:
- ACE inhibitor
- reserpin
- guanetidin
- fentolamin
- metildopa
- beta-bloker
- klorpromazin
- gabapentin
- penisilamin
- aspirin
- obat Anti peradangan non-steroid
- kokain
- estrogen eksogen
- pil KB.
6. Rinitis Gustatorius
Rinitis gustatorius terjadi setelah mengkonsumsi makanan tertentu, terutama makanan
yang panas dan pedas.
7. Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor diyakini merupakan akibat dari terganggunya keseimbangan sistem
parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan sehingga terjadi
pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang timbul berupa
hidung tersumbat, bersin-bersin dan hidung meler.
Gejala biasanya dipicu oleh:
- Cuaca dingin
- bau yang menyengat
- stres
- bahan iritan.
Gejala
Gejala yang khas untuk rinitis adalah:
- hidung terasa gatal
- hidung meler
- hidung tersumbat.
Ciri khas dari rinitis infeksiosa adalah lendir hidung yang bernanah, yang disertai
dengan nyeri dan tekanan pada wajah, penurunan fungsi indera penciuman serta
batuk.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil tes kulit alergen yang negatif
(tidak ditemukan IgE).
Pengobatan
Pengobatan rinitis non-alergika berdasarkan penyebabnya:
# Infeksi karena virus biasanya akan membaik dengan sendirinya dalam waktu 7-10
hari; sedangkan infeksi bakteri memerlukan terapi antibiotik.
# Untuk status hipotiroid perbatasan, bisa diberikan ekstrak tiroid.
# Rinitis karena kehamilan biasanya akan berakhir pada saat persalinan tiba.
# Untuk mengatasi rinitis akibat pil KB sebaiknya pemakaian pil KB dikurangi atau
diganti dengan kontrasepsi lainnya.
Obat-obatan yang bisa diberikan untuk meringankan gejala rinitis:
# Obat tetes hidung yang mengandung corticosteroid (untuk mengurangi peradangan)
# Obat tetes hidung yang mengandung simpatomimetik (untuk mengurangi
pembengkakan dan penyumbatan hidung).
3. Faringitis
A. Akut
1. Etiologi
Kuman Streptokokus beta hemolitikus, streptokokus viridans, dab streptokokus
pyogenes adalah penyebab terbanyak. Namun dapat juga disebabkan oleh virus.
2. Patofisiologi
Kuman masuk melalui droplet menginfiltrasi epitel epitel terkikis aktivasi
jaringan Limfoid Superficial reaksi inflamasi
3. manifestasi Klinis
Demam, suhu naik 40o C
Rasa gatal dan kering di tenggorokan.
Lesu
Nyeri sendi
Odinofagia
Anoreksia
Otalgia
Faring hiperemis
Tonsil membengkak
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan
4. Komplikasi
Otitis media akut
Abses peritonsil
Abses faring
Toksemia
Septikemia
Bronkitis
Nefritis akut
Miokarditis
Atritis
5. Pemeriksaan Penunjang
Tes kultus dan uji resistensi (bila perlu)
6. Diferensial Diagnosis
Angina plaut vincent
Tonsilitis difteri
Scarlett fever
Angina granulositosis
7. penatalaksanaan
Antibiotik golongan penisilin/sulfonamida 5 hari
Antipiretik
Obat kumur/obat isap dengan desinfektan
Bila alergi penisilin, diberikan eritromisin/klindamisin
B. kronik
1. Etiologi
Kuman penyebab sama dengan penyebab pada tonsilitis akut.
2. Faktor Predisposisi
Rangsangan kronik (rokok, makanan)
Pengaruh cuaca
Pengobatan radang akut yang tidak adekuat
Higiene yang buruk
3. Patofisiologi
Proses radang yang berulang epitel mukosa dan jaringan Limfoid terkikis
proses inflamasi berbentuk jaringan parut pengertuan jaringan ruang antar
kelompok melebar yang diisi dengan detritus proses meluas menembus kapsul
perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
4. Manifestasi Klinis
Keluhan ada penghalang di tenggorokan
Terasa kering
Pernapasan berbau
Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata
Kriptus membesar dan terisi detritus
5. Komplikasi
Perikontinuitatum ( rhinitis kronik, sinusitis, dan otitis media)
Hematogen/Limfogen (endokarditis, artritis, miositis, nefritis, dermatitis,
piuritis, urtikaria, furunkulosis)
6. Pemeriksaan Penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil
7. penatalaksanaan
Lokal obat kumur/obat isap
Radikal tonsilektomi bila konservatif. Medikamentosa tidak berhasil.
4. Tonsilitis
Tonsillitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine, tonsil lingual
( tonsil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring /
Gerlanch’s tonsil ). Penyebaran infeksi melalui udara ( air borne droplets ), tangan
dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama
yang tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian
dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti
dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4
bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis
yang merupakan infeksi fokal
Faktor Predisposisi Tonsilitis Kronis
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah
menjadi kuman golongan Gram negatif 3.
Klasifikasi ukuran Tonsil Palatina
Gambar 2. Klasifikasi Ukuran Tonsil
Besar tonsil ditentukan sebagai berikut:— T0 : tonsil di dalm fosa tonsil atau telah diangkat — T1 : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula— T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula— T3 : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula— T4 : bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih Patologi
Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan keadaan patologis
akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ
lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri atau
produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya 4.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini diisi oleh detritus. Proses ini berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.
Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus dapat merupakan
sumber autoantibodi terhadap sejumlah sistem organ sehingga tonsil memainkan
peranan penting terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh virus
atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang mirip dengan bagian lain
tubuh yang dapat memacu imunitas seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral
sehingga terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit, mesangium
ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur tonsil dengan banyak tampaknya
merupakan pintu gerbang bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil
Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau rekuren karena
tonsil tersebut telah dekompensata dari segi imunologis. Pemeriksaan radioautografi
elektron pada limfosit tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata,
menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi limfosit T dan B dengan
differensiasi jelek. Proses ini ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine
berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi prekursor radioaktif pada
limfosit B menunjukkan terjadinya diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini.
Esensinya bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi maksimal substrat
protein aktif yang memperantarai imunitas humoral pada tonsilitis kronik 3.
Gejala dan tanda
Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi 1) gejala
lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai
sakit menelan, 2) gejala sistemis, berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri
kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan
debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis
parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional 7.
Terapi
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan
hasil. Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu
diberikan selama sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah
golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat
diberikan eritromisis atau klindamisin.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi
jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis,
miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, utrikaria dan furunkulosis 3.
Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar
sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak
tepat (seharusnya). Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk
tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk
kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust,
halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis 8.
Tonsilektomi merupakan terapi pembedahan berupa tindakan pengangkatan
jaringan tonsil (tonsila palatina) yang merupakan salah satu organ imun dari fossa
tonsilaris, dimana tonsil merupakan massa jaringan berbentuk bulat kecil, terutama
jaringan limfoid.
The American Academy of Otolaringology – Head and Neck Surgery Clinical
Indicator Compendium tahun 1995 menetapkan:
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan nafas yang beupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara,dan cor
pulmonale.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptococcus β
hemolitikus.
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/ otitis media supuratif
5. Pemeriksaan THT
5.1 Pemeriksaan telinga
Pada keadaam normal daun telinga berukuran :
1. tinggi : lebih kurang 6,5 cm
2. lebarnya : 50-60% dari tingginya
Pemeriksaan dengan mengunakan otoskopi
Pada saat pemeriksaan daun telinga harus di tarik ke belakang atas (dewasa)
atau ke belakang bawah (anak-anak) dan pencahayannya harus bagus
Pemeriksaan ini berfungsi untuk melihat liang telinga dan membran timpani
Keadaan liang telinga
Pada keadaan normal di liang telinga hanya terdapat serumen dengan ukuran
kecil dengan warna dindingnya sama seperti warna kulit.
Pada keadaan tidak normal dapat di jumpai tanda-tanda peradangan,nanah
berdarah,benda asing,bisul ,eksotouse(tonjlan tulang keliang telinga) dan
sebagainya .
Membran timpani
pada keadaan normal membrana timpani :
1. warna : putih mutiara
2. Bentuk : berbentuk seperti kerucut dengan umbo (puncaknya) mengarah ke
cavum timpani
3. Reflek cahaya : mengarah ke pukul 7 (telinga kiri) atau pukul 5 (telinga kanan)
Contoh kelainan membran timpani
Perforasi membran timpani
Otitis media akut
5.2 Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan dengan spekulum hidung
Spekulum hidung dapat digunakan dengan memengan badian bwah spekulum
degan jari ke3-5 dan ibu jari memengan bagian atas spekulum
jari telunjuk menyentuh bagain tepi hidung pasien
Spekulum dimasukkan ke dalam lubang hidung dan membukan lubang hidung
berlahan dan pelan
Pada saat mengeluaraknnya spekulum dalam keadaan terbuka
Dengan menggunakan spekulum dapat melihat vestiblum nasi, konka nasi,
septum nasi serta meatus nasi inferior dan media
Vestibulum nasi
Pada keadaan normal pada vestibulum nasi dapat di jumapai bulu hidung dan
kelenjar seacea dengan warna pink kemerahan
Pada saat pemeriksaan perhatikan ada tidaknya krusta,sekret,radang dan
lainnya
Kavum nasi
Perhatikan
a. septum nasi : dengan gambaran yang tidak terlalu lurus atau aak bengkok dengan
warna pink kemerahan .
b. konka nasi : pada pemerikasaan hayan tampak konka nasi inferior dan media
dengan warna pink kemerahan
c. Meatus nasi : pada peneriksaanhanya tampakmeatus nasi inferior dan media
meatus nasi terletak di antara konka.
Pada saat pemeriksaan kita haris memperhatikan ada tidaknya
pembengkakan,sekre(serouse,mucous pus),darah,arofi ,hipertrofi dan lainnya
5.3 Pemeriksaan mulut dan faring
Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan :
1. Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak
dan gerakan arkus faring.
2. Tonsil : besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan
dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas
Ukuran tonsil
- To Tonsil sudah diangkat
- T1 Tonsil masih di dalam fossa tonsilaris
-T2 Tonsil sudah melewati pilar posterior belum melewati garis
para Median
-T3 Tonsil melewati garis paramedian belum lewat garis median(
pertengahan uvula)
-T4 Tonsil melewati garis median, biasanya pada tumor
3. Mulut :bibir, bukal, palatum, gusi dan gigi geligi
4. Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput
5. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.
6. Palpasi kelenjar liur mayor (parotis dan mandibula)
Pemeriksaan hipofaring dan laring
Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah pasien
dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa( dengan jari
tengah dibawah dan jempol diatas lidah di pegang, telunjuk di bawah hidung, jari
manis dan kelingking di bawah dagu). Pasien diminta bernafas melalui mulut
denggan tenang. Kaca tenggorok no 9 yang telah dihangatkan dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil, diarahkan ke bawah, dimasukkan ke dalam
mulut dan diletakkan di muka uvula.
Diperhatikan :
- Epiglotis yang berberbentuk omega
- Aritenoid berupa tonjolan 2 buah
- Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan
Epiglottis
- Rima glottis
- Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor.
- Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan
abduksi pada waktu inspirasi, tumor dan lain-lain
- Valekula : adakah benda asing
- Sinus piriformis : apakah banyak secret
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmardjono & Soepardi, 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Hal.
223-224. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Amarudin,Tolkha dan Christanto, Anton. 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi.
CDK THT vol. 34 no. 2/155 Tahun 2007. Hal.61-68. Available from :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_155_THT.pdf (Diakses pada 7 April
2011)
3. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the Ear, Nose
and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 – 170.
4. Hermani, Bambang. 2004. Tonsilektomi pada anak dan dewasa. Available from:
http://buk.depkes.go.id/index.php?
option=com_docman&task=doc_download&gid=266&Itemid=53.
5. Shah, K. Udayan. 2009. Tonsolitis and Peritonsilar abcess. Available from :
http://emedicine.medscape,com/article-overview.