skenario 3 emergency

15
R ADE MASYHUROH 1102008198 DEFINISI LARINGITIS AKUT Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga disebut juga dengan ‘croup’. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis. Epidemiologi Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki- laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya. 2,5,6 Anatomi Laring

Upload: corrywigati

Post on 31-Dec-2014

78 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

pbl emergency

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario 3 Emergency

R ADE MASYHUROH 1102008198

DEFINISI LARINGITIS AKUT

Laringitis akut merupakan penyakit yang umum pada anak-anak, mempunyai onset yang cepat dan biasanya sembuh sendiri. Bila laringitis berlangsung lebih dari 3 minggu maka disebut laringitis kronik. Laringitis didefinisikan sebagai proses inflamasi yang melibatkan laring dan dapat disebabkan oleh berbagai proses baik infeksi maupun non-infeksi. Laringitis sering juga disebut juga dengan ‘croup’. Dalam proses peradangannya laringitis sering melibatkan saluran pernafasan dibawahnya yaitu trakea dan bronkus. Bila peradangan melibatkan laring dan trakea maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeitis, dan bila peradangan sampai ke bronkus maka diagnosis spesifiknya disebut laringotrakeobronkitis.

Epidemiologi

Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12 bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan perempuan, dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin, tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai riwayat croup pada keluarganya.2,5,6

Anatomi Laring

Untuk mengerti patogenesis penyakit laringitis maka kita sebelumnya harus mengetahui anatomi dari laring. Laring terdiri dari 4 kartilago besar yaitu thyroid, krikoid, arytenoid, dan epiglotis, dihubungkan dengan otot, ligamen, dan membran fibroelastis dan membran mukus. Anatomi dari laring pada bayi berbeda dari orang dewasa, dan perbedaan tersebut membuat bayi lebih rentan pada infeksi saluran nafas atas. Laring pada neonatus terletak tinggi pada leher. Epiglotisnya lebih sempit, berbentuk omega, dan posisinya vertikal. Submukosa dari area subglotis merupakan daerah tersempit dari laring, tidak berserabut, menyebabkan ikatan yang lebih longgar dari membran mukus dibanding orang dewasa, memudahkan terjadinya akumulasi dari edema. Sebagai tambahan, kartilago yang menyokong saluran udara dari bayi bersifat lunak, sehingga dapat menyebabkan saluran nafas collapse selama inspirasi. Saluran nafas dari neonatus berukuran 5-6 mm di diameter pada titik tersempitnya, yaitu cincin krikoid, sehingga bayi berada pada resiko tinggi terhadap gagal nafas.5

Page 2: Skenario 3 Emergency

Etiologi

Etiologi dari laringitis akut yaitu penggunaan suara berlebihan, gastro esophago reflux disease (GERD), polusi lingkungan, terpapar dengan bahan berbahaya, atau bahan infeksius yang membawa kepada infeksi saluran nafas atas. Bahan infeksius tersebut lebih sering virus tetapi dapat juga bakterial. Jarang ditemukan radang dari laring disebabkan oleh kondisi autoimun seperti rematoid artritis, polikondritis berulang, granulomatosis Wagener, atau sarkoidosis.

Virus yang sering menyebabkan laringitis akut antara lain virus parainfluenza tipe 1 sampai 3 (75% dari kasus), virus influenza tipe A dan B, ‘respiratory syncytial virus’ (RSV). Virus yang jarang menyebabkan laringitis akut antara lain adenovirus, rhinovirus, coxsackievirus, coronavirus, enterovirus, virus herpes simplex, reovirus, virus morbili (measles), virus mumps

Bakteri walaupun jarang tetapi dapat juga menyebabkan laringitis akut, antara lain Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus, Corynebacterium diphtheriae, Streptococcus group A, Moraxella chatarralis, Escherichia coli, Klebsiella sp., Pseudomonas sp., Chlamydia trachomatis, Mycoplasma pneumoniae, Bordatella pertussis, dan sangat jarang Coccidioides dan Cryptococcus. C. diphtheriae harus dicurigai sebagai kuman penyebab terutama bila anak belum diimmunisasi, karena C. diphtheriae dapat meyebabkan membranous

Selain virus dan bakteri laringitis juga dapat disebabkan juga oleh jamur, antara lain Candida albicans, Aspergilus sp., Histoplasmosis dan Blastomyces. Histoplasma dan Blastomyces dapat menyebabkan laringitis sebagai komplikasi dari infeksi sistemik.3,5

Patofisiologi

Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit saja dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar dan penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai dengan pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas akan berkurang. Sumbatan aliran udara pada saluran nafas atas akan berakibat terjadinya stridor dan kesulitan bernafas yang akan menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat. Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.1,4,5

Page 3: Skenario 3 Emergency

Gejala Klinis dan Diagnosis

Laringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi. Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi. Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan nafas terjadi.3,4,5,6

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.2,4,6

Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.1,2,3,4,5,6

Terapi

pasien dengan laringitis harus ditangani dengan tenang dan dengan sikap yang menentramkan hati, karena emosi atau marah akan memperburuk keadaan distress pernafasan anak. Kebanyakan pasien mengalami hipoksemia, sehingga oksigenisasi harus dilakukan dan diberikan oksigen yang dilembabkan. Oksigenisasi dapat dinilai pertama-tama dengan cara oximetry pulse noninvasif untuk meminimalkan ketidaknyamanan dan memaksimalkan ketenangan pasien.

Page 4: Skenario 3 Emergency

Bila distres pernafasan parah dan tidak responsif terhadap perawatan pertama makan harus diukur tekanan gas darah arteri untuk menilai hiperkapnia dan asidosis respiratori. Tetapi harus diingat bahwa PaCO2 normal dapat tidak menggambarkan keparahan penyakit karena sumbatan dapat terjadi tiba-tiba. Bila terjadi hiperkapnea maka kebanyakan pasien membutuhkan jalan nafas buatan.5

Pemberian makan pada pasien harus mempertimbangkan keparahan pernyakitnya. Pada pasien yang keadaannya gawat maka tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi.5

Nebulisasi epinefrin rasemic sementara dapat memperbaiki distres pernafasan, dengan efek dalam ½ jam dari pemberian aerosol dan hilang efeknya setelah 2 jam. Namun tidak ada bukti bahwa penggunaan epinefrin rasemic merubah dasar penyakit dari laringiti, tetapi penggunaannya telah memperkecil perlunya saluran nafas buatan. Epinefrin rasemic dapat diberikan sering, sampai setiap setengah jam bila diperlukan untuk melegakan distres pernafasan. Epinefrin resemic diberikan dalam dosis 0.25 ml dari larutan 2.25% untuk setiap 5 kg Berat badan, sampai dosis maksimum 1.5 ml. Epinefrin rasemic ini harus diberikan dengan nebulisasi dalam oksigen, karena dapat menyebabkan perburukan sementara dari ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi dalam paru-paru. Irama jantung dan nadi harus dimobitor dan obat harus dihentikan bila terjadi aritmia. Bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja dengan dosis 5 ml larutan 1:1000 ternyata manjur setara 0,5 efinefrin rasemic 2.25% yang dilarutkan dengan 4.5 ml normal saline dalam memperbaiki distres pernafasan pada laringitis. Efeknya juga hilang dalam 2 jam seperti resemic epinefrin.

Pengguanaan kortikosteroid dalam terapi laringitis menimbulkan kontroversi. Pada awalnya penelitian yang menilai kemanjuran steroid menggunakan metodologi yang salah dan menggunakan dosis yang kecil. Lalu bukti-bukti mucul bahwa dosis steroid setara dengan 100 mg kortisol atau 0,3 mg/kg dexametason dapat jadi efektif mengurangi keparahan laringitis dalam 12 dan 24 jam. Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa kemanjuran dari penggunaan dosis tunggal parenteral 0.6 mg/kg deksametason dalam mengurangi gejala dan mempercepat kesembuhan, juga mengurangi kebutuhan perawatan intensif dan intubasi endotrakeal. Pada pasien yang memerlukan intubasi, penggunaan prednisolon 2 mg/kg.hari telah menunjukan mempercepat extubasi. Dalam sebuah penelitian pada 120 pasien dengan laringitis yang sedang, penggunaan dexamethasone secara oral dengan dosis 0.15, 0.3 dan 0.6 mg/kg sama efektifnya untuk menghilangkan gejala dan kebutuhan nebulisasi epinefrin. Malah, pertimbangan untuk menggunakan dexamethasone pada pasien dengan laringitis yang parah sekarang direkomendasikan oleh ‘Committee of Infectious Disease of the American Academy of Paediatrics

Masih tidak diketahui apakah pemberian kortikosteroid berulang aman dan menguntungkan. Efek samping yang dapat terjadi pada pemakaian kortikosteroid jangka lama antara lain candidiasis.

Penggunaan helium-oksigen telah berhasil meningkatkan aliran udara pada pasien dengan obstruksi saluran nafas atas. Kepadatan helium yang rendah mengurangi hambatan aliran udara yang turbulen

Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Intubasi harus dilakukan dengan perhatian penuh, sehingga meminimalkan cedera dan inflamasi saluran nafas. Tube endotrkea harus ½ sampai 1 ukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya berdasarkan usia pasien

Page 5: Skenario 3 Emergency

(atau seukuran dengan jari kelingking pasien) dan tube dipotong untuk memperpendek panjangnya dan mengurangi resistensi aliran udara. Setelah diintubasi pasien jarang memerlukan bantuan ventilator mekanik. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Penghisapan harus diminimalkan untuk mengurangi cedera saluran nafas. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit untuk 24 jam sampai seminggu atau lebih, dan kriteria pemulangan pasien harus terjadi perbaikan distres pernafasan dan tidak diperlukan terapi spesifik dalam 24 jam.5

Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus, dimana penicillin adalah obat pilihannya.3

Laringitis akut merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada laring dan dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab. Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah virus parainfluenza.

pasien dengan keadaan gawat tidak boleh diberikan makan dan harus diberikan cairan intravena untuk mempertahankan rehidrasi. Nebulisasi epinefrin rasemic dapat memperbaiki distres pernafasan, tetapi bila tidak terdapat epinefrin rasemic maka dapat digunakan epinefrin saja. Anak yang menderita laringitis harus menerima minimal 0.15 sampai 0.6 mg/kg deksametason dosis tunggal secara peroral, intramuscular, maupun intravena. Dan bukti sekarang menunjukkan perlunya nebulisasi bunesonide, dengan dosis 2 mg terutama pada keadaan darurat. Selain pengobatan kadang pasien memerlukan juga intubasi endotrakeal. Pasien harus diberi oksigen lembab selama diintubasi. Anak dengan laringitis memerlukan perawatan di rumah sakit. Pemberian antibiotik tidak disarankan kecuali hasil kultur menunjukkan adanya streptococcus.

SINDROMA STEVEN JOHNSON

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.

Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.

Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu. 

ETIOLOGI

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.

Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),

Page 6: Skenario 3 Emergency

obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat),

fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),

lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

Faktor penyebab timbulnya Sindrom Stevens-Johnson

Infeksivirus

jamur

bakteri

 

parasit                

 Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, vaksinia

koksidioidomikosis, histoplasma

streptokokus, Staphylococcs haemolyticus, Mycobacterium tuberculosis, salmonela

malaria

Obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik

Makanan Coklat

Fisik udara dingin, sinar matahari, sinar X

Lain-lain penyakit kolagen, keganasan, kehamilan

(Dikutip dengan modifikasi dari SL Moschella dan HJ Hurley, 1985)

Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.

Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.

Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.

 PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

PATOFISIOLOGI

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum  jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat

Page 7: Skenario 3 Emergency

(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.

Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.

Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

 

 GEJALA KLINIK 

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.

 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.

Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.  

 Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab.

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .

Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks

Page 8: Skenario 3 Emergency

imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.

Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.

Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan.

Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil.

Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.

DIAGNOSIS BANDING

Nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.

Erythema Multiforme

Burns, Chemical

Burns, Ocular

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

Toxic Epidermal Necrolysis

Burns, Thermal

Dermatitis, Exfoliative

Toxic Shock Syndrome

PENATALAKSANAAN

Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.

Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Page 9: Skenario 3 Emergency

Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).

Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.

Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.

Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia  3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.  Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;  > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya

klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari

DAFTAR PUSTAKA

McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunolo and Allergy Clin North Am 2004;24:399-423.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.

Page 10: Skenario 3 Emergency

Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 1164–73.

Yawalkar N, Egli F, Hari Y. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30 : 847-55.

http://www.emedicine.com/ent/topic353.htm

Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Indonesia: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. h 388-392.

Kasper, Dennis L. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw Hill. 2005. h 192.

E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408.

http://www.visualsunlimited.com

http://www.akh-wien.ac.at/hno/kkentz_de.htm

http://www.entorg.net/laryngitis_2.htm