sepuluh produk perikanan yang dalam pengolahannya memanfaatkan ph dan aw

10
Sepuluh produk perikanan yang dalam pengolahannya memanfaatkan pH dan Aw Memanfaatkan pH 1. Picungan Picungan adalah suatu produk unik yang hanya dapat ditemukan di Provinsi Banten. Pada dasarnya, picungan adalah produk fermentasi ikan tradisional yang diolah dengan menggunakan biji picung (Pangium edule) yang dapat memberikan flavor spesifik terhadap produk. Tujuan utama dari pengolahan menggunakan biji picung ini adalah untuk pengawetan dalam rangka menciptakan pasar produk yang lebih luas, pemasaran tidak terbatas hanya pada daerah tempat produk tersebut dibuat, tetapi juga menjangkau daerah pelosok yang jauh dari pantai. Produk ini banyak dipasarkan di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Daerah produsen utama ikan picungan adalah Labuhan dan Saketi di Kabupaten Pandeglang dan Binuangen di Kabupaten Lebak. Pengolah produk tersebut dapat dijumpai dengan mudah di sekitar tempat – tempat pendaratan ikan atau pasar – pasar tradisional. Bahan Mentah Semua jenis ikan, baik yang berukuran kecil maupun yang besar dapat digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan mentah yang digunakan adalah ikan laut, terutama ikan layang, ikan kembung, teri, layur, tiga wajah, pari dan cucut. Ikan harus dalam keadaan segar untuk menghindarkan terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki pada produk. Pengolah menginformasikan bahwa mutu picungan yang diolah dari ikan yang telah di-es tidak sebaik mutu produk yang diolah dari ikan yang tidak di-es. Biji picung yang digunakan sebaiknya yang masih mentah. Biji picung mengandung asam sianida yang berasal dari aktivitas ginokardase yang menstimulasi pelepasan sianida dari senyawa giniokardin glukosida. Peran dari biji picung pada pengolahan picungan masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan sebagai sumber kabohidrat untuk fermentasi bakteri asam laktat, yang diindikasikan dengan cukup rendahnya nilai pH produk ikan picungan, yaitu 5,26 (Tabel 14). Disamping itu, biji picung diduga memiliki efek disinfeksi terhadap bakteri pembusuk (Emmawati, 1998). Teknologi Pengolahan Biji picung harus dibebaskan dari asam sianida sebelum digunakan. Dua cara yang dapat diterapkan untuk membebaskan asam sianida dari biji picung. Cara pertama, picung dikupas kulitnya dan kemudian dibelah menjadi dua, setelah itu direndam dalam air mengalir atau pada sungai selama dua hari. Cara kedua dilakukan dengan menjemur picung yang telah dikupas dan

Upload: putri-amaldani-pasukan-armada

Post on 14-Jul-2016

35 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

PERIKANAN

TRANSCRIPT

Page 1: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

Sepuluh produk perikanan yang dalam pengolahannya memanfaatkan pH dan Aw

Memanfaatkan pH

1. Picungan

Picungan adalah suatu produk unik yang hanya dapat ditemukan di Provinsi Banten. Pada dasarnya, picungan adalah produk fermentasi ikan tradisional yang diolah dengan menggunakan biji picung (Pangium edule) yang dapat memberikan flavor spesifik terhadap produk. Tujuan utama dari pengolahan menggunakan biji picung ini adalah untuk pengawetan dalam rangka menciptakan pasar produk yang lebih luas, pemasaran tidak terbatas hanya pada daerah tempat produk tersebut dibuat, tetapi juga menjangkau daerah pelosok yang jauh dari pantai. Produk ini banyak dipasarkan di daerah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Daerah produsen utama ikan picungan adalah Labuhan dan Saketi di Kabupaten Pandeglang dan Binuangen di Kabupaten Lebak. Pengolah produk tersebut dapat dijumpai dengan mudah di sekitar tempat – tempat pendaratan ikan atau pasar – pasar tradisional. Bahan Mentah Semua jenis ikan, baik yang berukuran kecil maupun yang besar dapat digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan picungan. Sebagian besar bahan mentah yang digunakan adalah ikan laut, terutama ikan layang, ikan kembung, teri, layur, tiga wajah, pari dan cucut. Ikan harus dalam keadaan segar untuk menghindarkan terbentuknya flavor yang tidak dikehendaki pada produk. Pengolah menginformasikan bahwa mutu picungan yang diolah dari ikan yang telah di-es tidak sebaik mutu produk yang diolah dari ikan yang tidak di-es. Biji picung yang digunakan sebaiknya yang masih mentah. Biji picung mengandung asam sianida yang berasal dari aktivitas ginokardase yang menstimulasi pelepasan sianida dari senyawa giniokardin glukosida. Peran dari biji picung pada pengolahan picungan masih belum diketahui secara pasti, tetapi diduga berperan sebagai sumber kabohidrat untuk fermentasi bakteri asam laktat, yang diindikasikan dengan cukup rendahnya nilai pH produk ikan picungan, yaitu 5,26 (Tabel 14). Disamping itu, biji picung diduga memiliki efek disinfeksi terhadap bakteri pembusuk (Emmawati, 1998). Teknologi Pengolahan Biji picung harus dibebaskan dari asam sianida sebelum digunakan. Dua cara yang dapat diterapkan untuk membebaskan asam sianida dari biji picung. Cara pertama, picung dikupas kulitnya dan kemudian dibelah menjadi dua, setelah itu direndam dalam air mengalir atau pada sungai selama dua hari. Cara kedua dilakukan dengan menjemur picung yang telah dikupas dan dibelah dua selama dua hari. Sebelum digunakan, picung yang telah bebas dari sianida dicacah atau diparut. Metoda pengolahan picungan dapat dilihat pada Gambar 7. Pada pengolahan picungan, insang dan isi perut ikan dibuang. Ikan yang telah disiangi dicuci. Ikan yang berukuran besar, seperti ikan pari dan ikan cucut, dibelah atau dipotong menjadi beberapa potong dengan ukuran sesuai yang diinginkan. Untuk mendapatkan proses fermentasi yang efektif, ikan difillet dengan ketebalan 1 – 1,5 cm. Untuk ikan yang panjang, seperti ikan layur, dapat diolah dalam bentuk ikan utuh atau potongan. Gambar 7. Proses Pengolahan Picungan Pada proses fermentasi, ikan dicampur secara merata dengan picung dan garam. Perbandingan antara ikan, picung dan garam adalah 4 : 2 : 1. Garam berfungsi untuk memberikan rasa produk picungan dan bila produk tidak segera dijual garam juga berperan pada penurunan aW yang membantu dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Bila picungan diolah dari ikan utuh, seperti ikan kembung, tiga wajah dan bentong, campuran picung dan garam dimasukkan ke dalam insang dan rongga perut. Setelah itu pada bagian permukaan ikan ditaburi dengan campuran picung dan garam. Jika picungan diolah dari potongan ikan, seperti ikan pari dan cucut, potongan ikan langsung ditaburi dengan campuran picung dan garam. Ikan yang telah dicampur dengan picung dan

Page 2: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

garam telah siap untuk dipasarkan. Tetapi bagi picungan yang tidak untuk dijual pada hari pengolahan atau akan dijual ke daerah lain harus dikemas dan disusun berlapis – lapis dalam keranjang yang telah dilapisi dengan daun pisang. Diantara lapisan ikan diberi taburan campuran picung dan garam. Sisa campuran picungan dan garam ditaburkan pada lapisan paling atas. Produk ikan picungan yang setelah diproses langsung dijual dan dikonsumsi proses fermentasi belum sempat terjadi. Fermentasi terjadi bila produk tersebut tidak segera dipasarkan atau dijual. Selama proses fermentasi, keranjang ditutup yang rapat untuk menghindarkan dari lalat, karena lalat kemungkinan dapat menyebabkan proses fermentasi gagal. Aroma dan rasa spesifik picungan berkembang selama fermentasi. Picungan dapat mengawetkan ikan sampai dua minggu tergantung kepada jenis ikan yang digunakan. Bagi pengolah, lama fermentasi tidak menjadi masalah, karena proses fermentasi akan dihentikan begitu ikan terjual. Berdasarkan pengalaman pengolah dan konsumen, lama fermentasi yang optimum adalah 3 – 7 hari. Selama waktu tersebut, tekstur ikan masih dalam keadaan kenyal. Cara penyiapan picungan yang akan dikonsumsi tergantung kepada kegemaran dari konsumen. Pada dasarnya, picungan adalah produk mentah yang memerlukan perlakuan pemasakan sebelum dikonsumsi. Sebelum dimasak, beberapa konsumen membuang picung yang melekat pada ikan, terutama pada insang dan rongga perut, dengan cara mencucinya, tetapi sebagian konsumen yang lain tidak melakukan cara tersebut. Biasanya sebelum dikonsumsi picungan digoreng atau dipepes terlebih dahulu. 1.3. Mikrobiologi Ikan Picungan Hasil pengamatan Irianto et al. (2003) pada pembuatan ikan picungan dari ikan pari , ikan kembung dan ikan layur menunjukkan bahwa total jumlah koloni bakteri asam laktat cenderung meningkat selama fermentasi sembilan hari. Hasil ini mengindikasikan bahwa lingkungan produk picungan sesuai untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Diantara 24 isolat yang diperoleh dari produk picungan, delapan adalah merupakan koloni bakteri asam laktat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa koloni bakteri asam laktat tersebut adalah termasuk dalam genus Lactobacillus dan dua dinataranya diyakini sebagai Lactobacillus murinus. Sedangkan untuk koloni bakteri asam laktat yang lain belum dapat ditentukan, tetapi dapat dipastikan sebagai Lactobacillus sp. 1.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Karakteristik kimia dan nilai gizi dari picungan sangat dipengaruhi oleh bahan mentah, jumlah picungan yang ditambahkan dan lama fermentasi. Oleh karena itu, karakteristik produk akhir sangat spesifik menurut jenis ikan yang digunakan sebagai bahan mentah dan kondisi pengolahan. Sebagai contoh, Tabel 14 memperlihatkan komposisi proksimat picungan yang dibuat dari ikan bentong yang difermentasi selama 6 hari. Tabel 14. Karakteristik kimia dan nilai gizi picungan dari ikan bentong yang difermentasi selama 6 hari Parameter Analisis Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar abu (%) Kadar asam laktat (%) pH 66,35 21,69 3,08 6,17 0,36 5,26

2. Bekasam

Bekasam adalah produk ikan fermentasi tradisional yang pada awalnya diolah oleh penduduk bermukim di Muara Sungai Bengawan Solo dan Surabaya, tetapi kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Produk tersebut di Kalimantan Tengah disebut dengan wadi (Moeljanto, 1992). Pengolahan bekasam dilakukan dengan menambahkan sumber karbohidrat dan dalam kondisi anaerobik. Karbohidrat didekomposisi melalui proses fermentasi menjadi gula-gula sederhana dan kemudian dikonversi menjadi alkohol dan asam yang berperan sebagai pengawet dan memberikan rasa dan bau spesifik pada bekasam. Bekasam disajikan dengan membumbuinya menggunakan cabai dan gula (Murtini, 1992). 2.1. Bahan Mentah Pada dasarnya, semua ikan air tawar dapat diolah menjadi bekasam, tetapi setiap daerah mempunyai pertimbangan tersendiri di dalam memilihi jenis ikan air tawar yang digunakan sebagai bahan mentah. Ikan

Page 3: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

yang telah umum digunakan untuk pengolahan bekasam adalah ikan lele, ikan mas, bader, nila, mujahir (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Gambar 8. Alur Proses Bekasam 2.2. Teknologi Pengolahan Murtini (1992) secara rinci telah menjelaskan prosedur pengolahan bekasam. Pertama-tama, ikan dibuang kepala, sisik dan isi perutnya. Ikan kemudian dibelah menjadi bentuk kupu-kupu dan dicuci. Ikan yang telah dicuci selanjutnya direndam dalam larutan garam 16% selama 48 jam dan diusahakan agar ikan tidak mengambang dengan menempatkan pemberat. Ikan kemudian ditiriskan dan ditambah dengan nasi biasa dan nasi ketan sebanyak masing-masing 50% dan 25% dari berat ikan. Campuran ikan dan nasi ditempatkan dalam wadah plastik yang kemudian ditutup rapat. Campuran ikan dan nasi tersebut diperam selama satu minggu atau lebih agar terjadi proses fermentasi. Afrianto dan Liviawaty (1989) menyarankan penggaraman dilakukan dengan menaburkan garam pada permukaan ikan. Metoda ini akan menghasilkan proses penetrasi garam ke dalam daging ikan yang lebih cepat. Garam yang digunakan sebaiknya tidak lebih dari 20% dari berat ikan, kalau lebih akan dihasilkan bekasam yang sangat asin. Secara tradisional, proses fermentasi dilakukan dalam kuali. Penelitian penggunaan berbagai jenis karbohidrat telah dilakukan. Tiga jenis sumber karbohidrat, yaitu beras sangrai (ditambahkan 50% dari berat ikan), campuran nasi dan fermentasi beras ketan (tapai ketan), serta campuran beras sangrai, gula, nenas dan jahe (ditambahkan 50%, 10%, 15% dan 0,5% dari berat ikan). Bekasam yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki rasa asam dan bau alkohol yang spesifik. Produk dapat disimpan selama tiga bulan tanpa ada tanda-tanda kebusukan. Secara organoleptik, bekasam yang baik adalah yang diolah dengan menggunakan campuran nasi dan tapai ketan sebagai sumber karbohidrat. Penggunaan nenas dan jahe menyebabkan warna merah kecoklatan pada produk. Warna ini menyebabkan penurunan penerimaan oleh konsumen. Sumber karbohidrat tidak secara nyata mempengaruhi nilai pH dan kadar NPN (non-nitrogen protein) dari produk, tetapi secara nyata mempengaruhi kadar air, amonia, asam laktat dan TVB dari produk. Lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar amonia, NPN, asam laktat dan TVB dari produk (Murtini, 1991). Selain itu di Palembang juga ditemukan bahwa produk sejenis bekasam yang diolah dengan menggunakan beras sangrai sebagai sumber karbohidrat yang disebut dengan ikan pede. Mutu bekasam dapat diperbaiki dengan menambahkan kultur starter bakteri asam laktat. Murtini et al. (1997) menggunakan bagian cairan dari asinan sawi dan kubis sebagai sumber bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan gurami. Penggunaan kedua jenis cairan asinan sebagai sumber bakteri asam laktat secara nyata mempengaruhi jumlah bakteri asam laktat dan total koloni bakteri anaerob awal, dimana cairan tersebut menyebabkan jumlah koloni kedua jenis bakteri lebih tinggi. Kadar asam laktat bekasam meningkat tajam pada fermentasi minggu kedua dan kemudian cenderung menurun. Nilai pH bekasam cenderung konstan sampai fermentasi minggu keempat dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan peningkatan nilai pH produk yang mungkin disebabkan oleh penurunan kecepatan pembentukan asam laktat dan meningkatnya kecepatan senyawa bersifat basa. Penambahan asinan sawi menghasilkan produk yang secara organoleptik lebih baik, khususnya dalam hal warna. Selama penyimpanan delapan minggu, bekasam yang diolah dengan menggunakan metoda ini masih tetap disukai sampai akhir penyimpanan. Dari uraian di atas diketahui bahwa proses fermentasi pada produk bekasam terjadi pada ikan dan sumber karbohidrat yang meibatkan bakteri (terutama bakteri asam laktat), kapang dan khamir. Peranan kapang dan khamir dapat dilihat pada penggunaan tapai ketan sebagai sumber karbohidrat. Tapai di dalam pengolahannya melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi. Mikroorganisma yang terdapat pada ragi tapai adalah Amylomyces rouxii, Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtonii, Mucor sp., Candida utilis, Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomyces cerevisiae dan beberapa bakteri seperti Pediococcus sp., dan Bacillus sp. (Gandjar, 2003). 2.3. Mikrobiologi Bekasam Isolasi bakteri dari produk bekasam ikan lampan, bekasam ikan

Page 4: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

saluang, bekasam ikan sepat, dan bekasam ikan betino yang dibeli di Palembang dan dibuat di laboratorium diperoleh 27 isolat bakteri asam laktat (Sugiyono et al., 1999). Identifikasi lebih lanjut terhadap isolat tersebut diperoleh bahwa bakteri asam laktat yang terdapat pada bekasam yang dibeli dari pengolahan adalah Lactobacillus coryneformis dan Lactobacillus spp. Sedangkan bakteri asam laktat yang diidentifikasi dari bekasam yang dibuat di labpratorium adalah Lactobacillus spp., Pediococcus sp., Lactobacillus coryneformis dan Pediococcus damnosus. Indiati et al (1999) melakukan isolasi dan identifikasi bakteri asam laktat dari ikan pede, yaitu bekasam yang diolah dengan menggunakan beras sangrai sebagai sumber karbohidrat. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa bakteri asam laktat yang dominan pada produk ikan pede adalah Lactobacillus coryneformis. 2.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Kandungan asam laktat bekasam meningkat setelah melalui proses fermentasi dan kecepatan peningkatannya secara nyata dipengaruhi oleh sumber karbohidrat yang digunakan. Kandungan asam laktat bekasam hasil penelitian Murtini et al. (1991) adalah 0,60 – 5,33%. Komposisi proksimat bekasam yang dibuat dari ikan mas dapat dilihat pada Tabel 15. Kadar garam dan nilai pH bekasam masing-masing adalah 14,95-17,20% dan 4,57-4,89. Tabel 15. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Bekasam dari Ikan Mas Parameter Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Kadar Protein (%) Kadar Lemak (%) Kadar Garam (%) PH Kadar Asam Laktat (%) 58,40 – 66,95 6,11 – 8,67 4,80 – 6,91 5,00 – 5,72 14,95 – 17,20 4,57 – 4,89 0,60 – 5,33 Sumber: Murtini et al. (1991)

3. CINCALOK

Cincalok adalah produk fermentasi ikan tradisional yang telah dikenal dari generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu di Provinsi Riau, khususnya Bengkalis. Cincalok juga ditemukan di Penang, Malaysia dan masyarakat di sana menyebutnya dengan nama yang sama. Produk tersebut di Pontianak disebut dengan mencalok. Di Bangka terdapat produk yang mirip dengan cincalok disebut dengan rusip yang terbuat dari ikan ukuran kecil. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri skala kecil atau industri rumah tangga. 3.1. Bahan Mentah Pada umumnya bahan mentah yang digunakan untuk pembuatan cincalok adalah udang kecil yang biasanya disebut oleh masyarakat setempat udang pepai atau udang rebon (Schizopodes dan Mytis sp.). Bahan mentah harus dalam keadaan segar. Gambar 9. Alur Proses Cincalok 3.2. Teknologi Pengolahan Tidak ada metoda pengolahan yang baku untuk cincalok. Pada metoda yang diterapkan oleh pengolah di Bengkalis, udang segar ditambah dengan nasi dan garam yang dicampur secara merata dalam wadah plastik. Untuk satu kilogram udang ditambah nasi sebanyak 200-300g, sedangkan garam sebanyak 300g. Selanjutnya wadah tersebut ditutup untuk menghindarkan kontak dengan udara dan diinkubasi selama 4 hari sampai cairan dilepaskan. Setelah itu campuran tersebut dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat. Selanjutnya produk telah siap untuk dipasarkan. Cara pengolahan cincalok yang lain adalah dengan mencampur udang ukuran kecil dengan tepung tapioka, garam dan gula, dengan perbandingan 20:1:1:1. Pada cara ini udang dibuang kulitnya dan kemudian dicuci. Tepung tapioka dilarutkan dalam air, digelatinisasi dan kemudian dibiarkan sampai dingin. Udang dicampur sampai merata dengan garam, gula dan tepung tapioka yang telah digelatinisasi. Campuran tersebut kemudian dimasukkan dalam botol dan ditutup rapat. Akhirnya campuran difermentasi pada suhu kamar selama 1-2 minggu (Irianto dan Irianto, 1998). 3.3. Mikrobiologi Cincalok Isolasi bakteri asam laktat yang dilakukan terhadap cincalok yang dibeli dari pengolah di Bengkalis, Riau didapat tiga isolat. Setelah dilakukan identifikasi diperoleh informasi bahwa bakteri asam laktat yang beperan di dalam fermentasi produk cincalok adalah Lactobacillus coryneformis, Pediococcus damnosus dan Pediococcus sp. (Sugiyono et al., 1999) 3.4. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Hasil analisis kimia cincalok yang diolah dengan

Page 5: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

menggunakan metoda yang menambahkan nasi dan garam seperti pada alur proses Gambar 9. dapat dilihat pada Tabel 16. Nilai pH cincalok relatif rendah, yaitu 4,82. Sedangkan kandungan garam dan kadar asamnya cukup tinggi, yaitu masing-masing 10,11% dan 2,34%. Tabel 16. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Cincalok Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar garam (%) Kadar asam laktat (%) pH 69,76 12,43 16,23 1,57 10,11 2,34 4,82 Sumber: Irianto (1999) 4. NANIURA Naniura adalah produk tradisional ikan fermentasi yang berasal dari daerah Batak Toba, Sumatera Utara. Naniura dapat digolongkan sebagai produk pangan semibasah dengan nilai aW 0,8 (Silalahi, 1994). 4.1. Bahan Mentah Bahan mentah yang biasa digunakan untuk pengolahan naniura adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Masyarakat Batak Toba secara tradisional mengawetkan ikan secara fermentasi dengan mengolahnya menjadi naniura. Silalahi (1994) menggunakan ikan gabus (Chana striatus) sebagai bahan mentah pada pembuatan naniura dan dapat menghasilkan produk yang secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen. 4.2. Teknologi Pengolahan Pada pengolahan naniura, ikan pertama-tama disiangi dengan membuang isi perut dan insang. Selanjutnya ikan dicuci dengan air bersih untuk membuang darah. Ikan yang telah bersih direndam dalam air jeruk nipis dan kemudian dilumuri dengan tumbukan beras. Cara lain adalah ikan yang telah dibersihkan diberi tumbukan beras dan direndam dalam asam asetat selama tiga jam. Setelah itu ikan dikemas dan siap untuk dipasarkan (Gambar 9). Gambar 9. Alur Proses Naniura Silalahi (1994) mengolah naniura dari ikan gabus. Ikan gabus disiangi, dibuang tulangnya dan kemudian dicuci. Bumbu-bumbu ditumbuk sampai halus dan homogen. Bumbu yang telah halus tersebut dicampurkan pada ekstrak jeruk nipis dan dicampur sampai merata. Selanjutnya ikan direndam dalam ekstrak jeruk nipis yang telah dicampur dengan bumbu tersebut selama tiga jam. Kemudian ikan ditiriskan dan difermentasi selama empat hari. Bumbu yang digunakan pada pengolahan naniura adalah kunyit, jahe, kencur, kemiri, bawang putih, bawang merah, ekstrak jeruk nipis dan laos (Napitupulu 1989 dalam Silalahi, 1994). Silalahi (1994) melakukan modifikasi metoda pengolahan dengan menggunakan larutan asam asetat sebagai pengganti ekstrak jeruk nipis pada pengolahan naniura dari ikan gabus (Ophiocephalus striatus). Penggunaan larutan asam asetat 2% ternyata menghasilkan naniura yang lebih baik dan umur simpan yang lebih lama dibandingkan bila menggunakan larutan asam asetat 1%. Naniura yang diolah dengan menggunakan larutan asam asetat 1% telah ditolak oleh panelis pada fermentasi hari keempat. Nilai pH naniura yang diolah dengan menggunakan larutan asam asetat 2% relatif konstan selama proses fermentasi, yaitu 5,5. Jumlah bakteri yang dinyatakan sebagai total plate count (TPC) dari naniura yang difermentasi selama 8 hari meningkat dari 5.1x103 cfu/g menjadi 7,5x105 cfu/g.

4. PUDU

Pudu adalah produk ikan fermentasi yang diolah dengan menggunakan bahan mentah ikan air tawar dan berasal dari daerah kepulauan Riau. Produk ini memiliki kandungan protein, lemak dan serat rendah, tetapi kandungan karbohidratnya tinggi (Maamoen et al., 2003). 5.1. Bahan Mentah Ikan mujair (Tilapia sp.) dengan ukuran 100-150 gram/ekor adalah ikan air tawar yang sering digunakan sebagai bahan mentah pada pengolahan pudu. Sedangkan bahan lain yang biasa ditambahkan adalah air, nasi dan asam kandis (Carcinia parvifoli). 5.2. Teknologi Pengolahan Cara pengolahan pudu menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh

Page 6: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

Maamoen (2003) dapat dilihat pada Gambar 11. Di dalam pengolahannya, ikan mujair yang telah dicuci ditambah dengan 20% garam dan 5% nasi, serta asam kandis dan air secukupnya sampai merata. Setelah itu dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat. Selanjutnya difermentasi pada suhu kamar selama dua hari dan produk yang dihasil dari proses ini siap untuk dijual ke konsumen. Gambar 10. Alur Proses Pudu 5.3. Karakteristik Kimia dan Nilai Gizi Hasil penelitian Maamoen et al. (2003) menunjukkan bahwa nilai pH produk pudu adalah 4.4. Sedangkan kadar garam produk adalah 17%. Komposisi proksimat dari pudu dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kadar Air, Protein dan Lemak Pudu Ikan Mujair Parameter Pudu dari Pasar Pudu Produksi Laboratorium Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) 59 15.7 1`.2 58 13.5 1.1 Sumber: Maamoen et al. (2003) PENUTUP Dari uraian di atas diketahui bahwa produk ikan fermentasi tradisional memiliki kekhasan dalam teknologi pengolahan, bahan mentah yang digunakan, dan flavor yang dimiliki. Karena kebanyakan produk tersebut hanya dapat diperoleh pada suatu daerah tertentu, maka produk ikan fermentasi tradisional dapat dipakai sebagai identitas suatu daerah, terutama bila produk dengan mutu terbaik dihasilkan oleh daerah tersebut, sebagai contoh kota terasi Puger di Jember, Jawa Timur. Dari gambaran cara pengolahan yang diterapkan diketahui bahwa pproduk ikan fermentasi sebagai produk tradisional memiliki citra baran yang kurang baik, yaitu diolah dengan tingkat sanitasi dan higiene yang rendah, menggunakan bahan mentah dengan tingkat mutu atau kesegaran yang rendah, keamanan pangannya tidak terjamin, dan teknologi yang digunakan secara turun temurun. Pengembangan produk olahan ikan fefementasi tradisional dapat diarahkan untuk membuat produk olahan tersebut lebih dikenal luas, tidak hanya bersifat kedaerahan, tetapi dikenal di tingkat nasional atau mungkin juga di tingkat internasional. Secara keilmuan, beberapa produk – produk ikan fermentasi telah dikenal secara Internasional, karena telah menarik para peneliti manca negara untuk ikut mempelajari hal – hal yang terkait dengan proses fermentasi dan flavor khas yang dimiliki. Perbaikan citra produk ikan fermentasi tradisional dapat dilakukan dengan memperbaiki faktor-faktor yang mencirikan citra kurang baik dari produk tersebut. Pengolahan produk ikan fermentasi tradisional sebaiknya dilakukan dengan cara (a) menggunakan bahan mentah yang segar dan bermutu baik atau sesuai dengan persyaratan untuk menghasilkan produk bermutu baik, (b) pengolahan dilakukan pada tempat yang memenuhi persyaratan minimal sanitasi dan higiene supaya terjamin keamanan konsumsinya, serta (c) teknologi yang digunakan efisien dan efektif, bila diperlukan dapat menambahkan kultur starter atau enzim komersial pada awal fermentasi. Pengembangan produk perikanan tradisional harus dilakukan dengan berinovasi secara kreatif untuk menciptakan image (citra) indrawi produk yang berkesan terhadap konsumen. Disamping penampakan, warna, dan tekstur; rasa sering menjadi image yang sulit dilupakan setelah mengkonsumsinya. Dengan demikian rasa khas dari produk ikan fermentasi ntradisional sebaiknya tetap ditonjolkan. Penampilan produk ikan fermentasi tradisional dapat dioptimalkan dengan mengemasnya dalam kemasan yang memiliki disain, logo dan label menarik yang merangsang konsumen untuk melihat, menyentuh dan membelinya, serta dapat menghulangkan kesan sebagai produk murahan. Bila diperlukan kesan sebagai produk tradisional dapat ditonjolkan melalui kemasan, misalnya dengan mengemasnya menggunakan bahan seperti dari daun pisang kering, anyaman bambu, anyaman enceng gondok dan anyaman tikar. Pengembangan produk ikan fermentasi tradisional juga dapat dikaitkan dengan kegiatan wisata. Bagi sebagian kalangan, terutama turis mancanegara, melihat dan mengamati proses pengolahan produk yang berkonotasi tradisional merupakan suatu petualangan yang menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Sehingga pengembangan produk ikan fermentasi tradisional yang mengarah dengan menjadikannya sebagai obyek dalam paket wisata merupakan hal menarik yang dapat dilakukan. Untuk menjamin keamanan pangan dan keberlangsungan usaha, pembinaan dan pengawasan

Page 7: Sepuluh Produk Perikanan Yang Dalam Pengolahannya Memanfaatkan PH Dan Aw

terhadap pengolah produk ikan fermentasi tradisional perlu dilakukan secara terus menerus, misalnya tentang proses pengolahan yang baik dan tidak menggunakan bahan-bahan yang dilarang atau membahayakan kesehatan konsumen. Produk ikan fermentasi tradisional sebagai warisan budaya nenek moyang perlu dilakukan upaya – upaya untuk melindungi kepemilikannya oleh bangsa Indonesia untuk menghindarkan klaim atau bahkan dipatenkan oleh bangsa lain. 

5. KECAP IKAN6. Naniura7. PEDA8. TERASI9. KERUPUK OPAK10. BAKASANG11. IKAN BUDU12. PETIS UDANG/IKAN13.