sejarah munculnya ilmu kalam dan kerangka berfikir aliran

Upload: indra-lukman

Post on 13-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

this

TRANSCRIPT

SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM DAN KERANGKA BERFIKIR ALIRAN-ALIRAN KALAMSunday, 10 February 20133komentar

A. Sejarah Munculnya Ilmu Kalam

Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).

Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).

Hal ini berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran Teologi dalam islam.

Ketauhidan di Zaman Bani Umayyah ( 661-750 M ) masalah aqidah menjadi perdebatan yang hangat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti Murjiah, Qadariah, Jabariah dan Mutazilah.

Pada zaman Bani Abbas ( 750-1258 M ) Filsafat Yunani dan Sains banyak dipelajari Umat Islam. Masalah Tauhid mendapat tantangan cukup berat. Kaum Muslimin tidak bisa mematahkan argumentasi filosofis orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat dan rasional pula. Untuk itu bangkitlah Mutazilah mempertahankan ketauhidan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut.

Namun sikap Mutazilah yang terlalu mengagungkan akal dan melahirkan berbagai pendapat controversial menyebabkan kaum tradisional tidak menyukainya.

Akhirnya lahir aliran Ahlussunnah Waljamaah dengan Tokoh besarnya Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Mansur Al-Maturidi.

Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orangorang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh?

Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut: Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Muawiyah ibn Abu Sufyan, dalam Peristiwa Shiffin di situ Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan de jure-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap Utsman, kaum Khawarij juga memandang Ali dan Muawiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh Ali dan Muawiyah, juga Amr ibn al-Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Muawiyah mengalahkan Ali dalam Peristiwa Shiffin tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya Ali, sedangkan Muawiyah hanya mengalami luka-luka, dan Amr ibn al-Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka Amr, karena rupanya mirip).

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mutazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ulama yang disebutnya Imam Abdullah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian: Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mutazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ray (temuan rasional).

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mutazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mutazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.

Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat (pengingkar [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Muaththilah (pembebas [Tuhan dari sifat-sifat])

Kaum Mutazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mutazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mutazilah disebut sebagai titisan doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mutazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mutazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mutazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya membawa kaum Mutazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Mamun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafa

Khalifah al-Mamun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mutazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Mamun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mutashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Quran, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Mamun dan kaum Mutazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Quran itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Mamun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Mamun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam,termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mutazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asyari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mutazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mutazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mutazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mutazilah. Ilmu Kalam al-Asyari itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asyariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.

Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa jalan keselamatan hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asyari. Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asyari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asyari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan system Ilmu Kalamnya dipandang sebagai jalan keselamatan, bersama dengan sistem al-Asyari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

(Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asyari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asyari tidak hanya terdiri dari kaum Mutazilah dan Syiah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mutazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsyari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian: Sesungguhnya para pengikut paham Asyari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidakmasuk akal Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mutazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah sehingga kaum Mutazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah dan mereka (kaum Asyariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada bendabenda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsyari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asyari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, salinan atau kutipan), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum liberal, seperti golongan Mutazilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum konservatif khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (tawil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asyari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan bi la kayfa (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asyari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asyari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mutazilah, Ilmu Kalam al-Asyari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil taaqqul (intelektualisasi).

Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategorikategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).

B. Kerangka Berfikir aliaran-aliran Kalam

Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan kerangka berfikir tradisional.

Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :

1. hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas di sebut dalam Al-Quran dan Hadist Nabi, yakni ayat yang gathi (tersayang tidak boleh disamakan dengan arti lain)

2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak

3. memberikan daya yang kuat kepada akal.

Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip berikut ini :

1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni (tersayang boleh mengandung arti lain).

2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.

3. Memberikan daya yang kecil kepada akal.

Aliran yang sering di sebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah mutazilah dan adapun yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asyariyah.

Disamping pengategorian teologi rasioanl dan tradisional dikenal pula pengkategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.:

1. Aliran Antroposentris

Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos baik ang natural maupun yang supra natural dalam arti unsurt-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya.

Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mutazilah dan Syiah.

2. Teolog Teosentris

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara mutlak dan manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.

Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.

Aliran teosentris menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori Jabbariyah.

3. Aliran Konvergensi Sintesis

Aliran konvergensi menganggap hakikat Realitas transenden besifat supra sekaligus intrekosms, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan tuhan saying dan jahat, lenyao dan abadi, tampak dan abstrak dan sifat lain yang di kotomik.

Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu selalu berada dalam abmbiu (serba ganda) baik secara subtansial maupun formal.

Aliran ini juga berkeyakinan bahwa daya manusia merupakan proses kerja sama antara daya yang transedental (Tuhan) dalam bentuk kebijasanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis.

Kebahagian bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuanya membuat pendalam agar selalu berada tidak jauh kekanan atau kekiri tetapi tetap ditengah-tengah antara berbagai ekstrimitas aliran teolog yang dapat di masukkan ke dalam kategori ini adalah Asyariyah.

4. Aliran Nihilis

Aliran Nihilis menganggap bahwa hakekat realitas transcendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi tuhan kosmos. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri sendiri manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang tebutuk. Idealnya manusia mempunyai kebahagian besifat fisik yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.

Read more:http://syafieh.blogspot.com/2013/02/sejarah-munculnya-ilmu-kalam-dan.html#ixzz2wgmesW75