bahan makalah ilmu kalam
DESCRIPTION
Ilmu KalamTRANSCRIPT
A. PendahuluanAjaran Islam, yang sumber ajarannya berasal dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh perputaran zaman. Pada dasarnya Islam itu satu, tetapi pada kenyataannya bahwa tampilan Islam itu beragam, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, perubahan jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang senang pemerintahan republik. Bahkan, ada yang ingin kembali ke pemerintah bentuk khilafah Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadis dalam memahami ajaran Islam.Tidak bisa dihindari lagi, semua merasa pemikirannyalah yang paling benar antara sesama Muslim yang terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan ketuhanan dapat ditangkap, fanatik buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselengaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasai-generasi berikutnya dapat dipahami. Alasan kebijakan para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernis.Di antara tokoh yang ada di era kontemporer ini adalah Ismail Al-Faruqi dan Hasan Hanafi. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang ilmu kalam masa kini tentang pemikiran tokoh yang telah disebutkan di atas.
B. Ismail Al-Faruqi1. Riwayat Singkat Ismail al FaruqiIsmail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.[1]Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.[2]
2. Pemikiran Kalam Ismail Al-FaruqiPemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa:
a. Tauhid sebagai inti pengalaman agamaInti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung.[3] Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.[4]
b. Tauhid sebagai pandangan duniaTauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
c. Tauhid sebagai intisari IslamEsensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.[5]
d. Tauhid sebagai prinsip sejarahTauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi[6]
e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuanBerbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran[7]
f. Tauhid sebagai prinsip metafisikaDalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.[8]
g. Tauhid sebagai prinsip etikaTauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di
atasnya.[9]
h. Tauhid sebagai prinsip tata sosialDalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.[10]
i. Tauhid sebagai prinsip ummahDalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.[11]
j. Tauhid sebagai prinsip keluargaAl-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.[12]
k. Tauhid sebagai tata politikAl-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan[13]
l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomiAl-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.[14]
m. Tauhid sebagai prinsip estetikaDalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.[15]
C. Hasan Hanafi1. Riwayat Singkat Hasan HanafiHasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.[16]Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafia. Kritik terhadap teologi TradisionalDalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.[17]Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.[18]Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.[19]Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[20]Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia
sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.[21]
b. Rekontruksi TeologiMelihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan saran rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.[22]Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi zaman saat itu.[23] Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan global anatar berbagai ideologi.2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde[24]Menurut Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu pertama-tama untuk mentranformasikan teologgi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tenntang kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:1) Analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.2) Analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis
munculnya teologi di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis realitas ini berguna untuk menentukan stressing kea rah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.[25]
D. PenutupDari peembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi terletak pada inti pengalaman agama adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, waktu,sejarah manusia dan takdir. Tauhid ummah terdiri dari tiga identitas yaitu Etnosentrisme, Universalisme, Totalisme dan Kemerdekaan. Tauhid tidak menentang kreatifitas seni, kenikmatan, dan keindahan.Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.Sementara Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Lamya, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya: Al-Fikr, 1991
Al-Faruqi, Ismail Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988
Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta:Logos, 1999
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka Setia, 2006
Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998
[1] Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Al-Fikr, 1991), hlm. Vii-x
[2] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 229
[3] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Jakarja: Pustaka, 1988), hal. 1
[4] Ibid, hal. 13
[5] Ibid, hal. 16,17,18
[6] Ibid, hal. 35, 37
[7] Ibid, hal. 42
[8] Ibid, hal. 51
[9] Ibid, hal. 61,64
[10] Ibid, hal. 102
[11] Ibid, hal. 109-112
[12] Ibid, hal. 137
[13] Ibid, hal. 149-153
[14] Ibid, hal. 176
[15] Ibid, hal. 207
[16] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yohyakarta: Ittaqa Press, 1998), hal. 96
[17] E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, (Jakarta:Logos, 1999), hal. 63-64
[18] Ridwan, Reforamsi Intelektual Islam…hal. 45
[19] Ibid, hal. 46
[20] Ibid, hal. 47
[21] Ibid, hal. 48
[22] Ibid, hal. 49
[23] Ibid
[24] Ibid, hal. 50
[25] Ibid, hal. 50-51
Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/05/ilmu-kalam-kontemporer-ismail-raji-al.html#ixzz3VMgIt9v5
http://syafieh.blogspot.com/2013/05/ilmu-kalam-kontemporer-ismail-raji-al.html
Makalah Pemikiran Ilmu Kalam KontemporerSumbangan oleh : As’ad Afifi
BAB IPENDAHULUAN
Imu Kalam atau Theologi Islam di Indonesia masih sebatas dikaji di Perguruan Tinggi Islam dan hanya diberikan di Madrasah Aliyah dengan sedikit pembahasan. Berbeda dengan kajian fiqih atau ilmu “syariat” yang berdimensi ibadah sering disampaikan di setiap lembaga pendidikan, baik formal maupun informal. Demikian pula di majelis-majelis ta’lim, materi ilmu kalam (bukan ilmu tauhid, atau usuhuludin) jarang bahkan tidak pernah disampaikan kepada para jama’ah. Hal ini dikarenakan beberapa hal, pertama persoalan pembahasan ilmu kalam akan menimbulkan penafsiran yang beragam, kedua ilmu kalam memerlukan kapasitas penerima dan pemberi materi yang memadai, ketiga ada unsur perdebatan yang berkepanjangan yang melibatkan emosional, keempat dalam forum-forum umum seringkali harus dihindari persoalan khilafiyah dengan kaidah “berbicaralah kepada umat manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka (para Audiens)” [1]
Di sisi lain ajaran Islam yang universal ternyata menyangkut berbagai bidang kehidupan, mulai dari persoalan yang pelik dalam bidang studi Islam seperti fiqih, akhlak-tasawuf, filsafat dan - tentunya - Ilmu kalam, juga kajian kemasyarakatan baik bidang politik, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, hidup berbangsa dan bernegara sampai kepada masalah-masalah praktis, masalah rumahtangga, makanan, minuman, lingkungan, kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya. Keuniversalan ajaran Islam bisa dilihat juga dari berbagai konsep tentang ibadah yang mencakup ibadah mahdhoh (sepesifik) beraitan dengan Allah langsung, maupun ghoiru mahdhoh (umum) yaitu ibadah yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Dan kalam sebagai sebuah keilmuan merupakan salah satu aspek yang dikaji dalam studi Islam. Pembahasan Ilmu kalam memerlukan ekstra kehati-hatian, karena di dalamnya penuh sekali dengan “pengurasan” energi otak, akal pikiran, sehingga hampir seluruhnya pendekatan yang digunakan adalah pemakaian “aqliyah” dengan Tuhan dan manusai sebagai obyek kajian utamanya[2].
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional, dan inilah yang sekaligus menjadi obyek formanya. Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam, yang biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Ilmu Kalam berada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam.
Secara ilmiah, Ilmu Kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, Ilmu Kalam klasik teoritik yang hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi Islam. Kedua, Ilmu Kalam kontemporer praktik, yang secara praktik membahas ayat-ayat Allah dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Bagian kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Transformatif dan ketiga Teologi Sosial.[3]
Teologi Lingkungan, adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan lingkungan alam semesta. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi pemeliharaan lingkungan, teologi sampah, teologi banjir, dan yang sebangsanya. Teologi transformative adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi pembebasan, teologi post modernisme, teologi sains, dan yang sebangsanya. Sedangkan teologi sosial adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi populis, teologi perdamaian, teologi kaum tertindas, teolog gender, teologi feminis, teologi persamaan hak, dan yang sebangsanya.
Ilmu Kalam atau teologi Islam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sedangkan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah. Adapun Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dan lingkupnya seluas-luasnya. Sementara Ilmu Kalam mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia sebagaimana dalam agama Kristen. Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai teologia dialektis atau teologia rasional.[4]
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah ilmu kalam atau teologi Islam masih tetap relevan untuk menjawab pelbagai tantangan dunia modern? dan mengapa teologi Islam harus menjawab segala tantangan dunia modern yang secara ontologis sangat berbeda?. Pertanyaan ini muncul karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa dunia modern menyodorkan pelbagai permasalahan yang mau tidak mau kalangan Islam juga ditantang untuk menjawabnya.
Oleh karena itu ketika ditulis “teologi Islam dan dunia modern”, tidak berarti terdapat dua entitas. Kata “dan” merupakan kopula dalam konteks tersebut. Penolakan bahwa krisis atau permasalahan dunia modern tidak harus dijawab oleh teologi Islam menjadi salah tempat. Jawaban teologi Islam atas tantangan dunia modern lebih merupakan soal sinaran atau lokus peristiwa persemaian teologi Islam dalam menjawab persoalan yang ada. Sehingga perbincangan diskursus teologi dalam dunia Islam kontemporer menyentuh banyak atau beragam dimensi dan permasalahan, yang secara historis merupakan suatu hal yang berkembang. Ia turut ditentukan oleh faktor relasi sosial dan infrastruktur-suprastruktur yang ikut berubah.[5]
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam atau Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan berragam nama. Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar. Imam Syafi’ie, Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam (tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-Bagdady, dan beberapa tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam. M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution memberi nama dengan istilah Teologi Islam.
Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[6]
Dari beberapa nama yang menjadi istilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya. Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam sebagai diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen. Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd. Al-Raziq memberikan definisi “Ilmu kalam adalah sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.[7]
Seolah-olah kalam dipahami sebagai ilmu bahasa dan kata-kata karena memang kalam berasal dari kalimat Arab ” كالم “ yang artinya “kata-kata”, percakapan atau kalimat”. Tetapi sebenarnya “kalam” bukanlah membahas tentang kata-kata dalam konteks kebahasaan walaupun ada keterkaitannya dengan asal-usul pemberian nama ini. Sebab latar belakang pemberian nama kalam didasarkan kepada sejarah awalnya mengenai pembahasan “kata-kata Tuhan” dan juga “kata-kata manusia”, karena kata-kata Tuhan, Sabda Tuhan tepatnya kalamullah menjadi pembahasan yang sangat serius di awal-awal kemunculan pemikiran kalam. Alasan kedua dinamakan “kalam” karena dalam pembahasannya, para “mutakalimin” sering menggunakan kata-kata (berdebat) untuk mempertahankan pendapat dan pendiriannya masing-masing. Mereka menggunakan logika (mantiq) yang disampaikan dengan susunan kata-kata yang penuh dengan argumentasi rasional dalam mempertahankan dalil-dalil nash.
Defenisi Ilmu kalam oleh beberapa ilmuwan Islam telah dirangkum oleh Al-khendra yaitu bahwa menurut Abu Zahroh ilmu kalam membahas segala macam persoalan sekitar dzat, nama, dan
sifat Tuhan serta masalah yang pelik, seperti persoalan qodar, ikhtiar, atau kebebasan kemauan manusia, dan dengan itu terbawalah pembicaraan tentang bermacam-macam golongan filsafat dan agama yang meluas dan mendalam. Menurut Thabathaba’i kalam ialah pencarin kebenaran dengan jalan pemikiran dialektika. Menurut Abu Bakar Aceh kalam ialah pembahasan tentang perbincangan-perbincangan menyangkut soal ketuhanan. Kontowijoyo mengungkapkan bahwa kalam adalah kajian-kajian keislaman yang memiliki dua model, pertama kajian ulang tentang ajaran-ajaran mormatif dalam berbagai karya klasik, kedua cenderung perlunya orientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Sedangkan Nurcholis Majid menguraikan pengertian ilmu kalam sebagai berikut : Secara harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi istilah kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika, maka ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani “logos” yang juga secara harfiyah berarti “pembicaraan”, tetapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Dari proses perdebatan ilmiyah yang dibarengi emosional (apologis) ini lama-lama menjadi terstruktur, tersistematis kemudian menjadi sebuah ilmu tersendiri yang dikenal dengan istilah “ilmu kalam. Sehingga apabila kalam dijadikan sebagai ilmu maka tentunya harus memiliki obyek kajian dan metodologi. Obyek kajian ilmu kalam yang sering dipersolankan adalah Tuhan, Wahyu, akal, Manusia sedangkan metodologinya dengan menggunakan dialektika.[8]
B. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam[9]
Bila mengikuti alur pemikiran Ahmad Hanafi dalam “Theologi Islam”, bahwa sebab musabab munculnya ilmu kalam terdiri dari aspek, intern dan ekstern. Penyebab intern karena memang di dalam Islam sendiri (al-Quran) banyak peluang penafsiran terhadap persoalan ilmu kalam, mengajak kepada tauhid, mempercayai kenabian, kemudian ada semangat mengkaji al-Qura’n dari umat Islam itu sendiri sehingga muncul persoalan-persoalan baru dalam kajian keimanan yang melibatkan aqal sebagai pemberi alasan. Disamping itu ada pergolakan politik yang bergeser ke persoalan aqidah. Sedangkan penyebab ekstern ditandai dengan pertama, banyaknya pemeluk-pemeluk agama lain yang masuk Islam sehingga terjadi pergesekan pemikiran agama-agama. kedua , berawal dari gerakan dakwah untuk membantah alasan-alasan yang memusuhi Islam maka menggunakan senjata mereka (filsafat) untuk mengimbangi argument-argument keagamaan. Ketiga, para intelektual muslim banyak yang mempelajari filsafat sehingga masuklah unsur filsafat dalam kajian ilmu kalam.
Berbeda dengan Ahmad Hanafi, Harun Nasution mengungkapkan bahwa persoalan aqidah dalam Islam sebagai agama pertama-pertama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan-persoalan politik itu segera bergeser dan meningkat dalam bidang-bidang teologi. Dengan kata lain pembahasan teologi itu berasal dari persoalan politik.11 Dalam kajian Harun Nasution, awal kemunculan ilmu kalam bermula dari persoalan pergesekan politik pada waktu itu. Pergesekan politik yang dimaksud adalah ketika terjadi pembunuhan kholifah Usman yang disebut dalam sejarah dengan “Fitnatul Qubro”. Pihak Ustman yang diwakili oleh Muawiyah kerabat dekat Usman bin Affan (waktu itu sudah menjadi gubernur Damaskus) menuntut balas kematian saudaranya. Muawiyah menuntut agar kholifah Ali Bin Abi
Tholib menyerahkan pelaku pembunuhan terhadap Ustman Sehingga terjadilah pertempuran ( perstiwa shiffin). Penyelesaian sengketa antara Ali Bin Abi Tholib dan Muawiyah Bin Abi Sofyan dengan jalan arbitrase (tahkim) oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam terutama surat Al-Maidah ayat 44.
Penggunaan term kafir lama-kelamaan menjadi perdebatan yang sangat serius sehingga kemudian bergesar menjadi persoalan siapa yang kafir, kalau kafir berarti murtad dan jika murtad berarti boleh dibunuh dan akhirnya mereka yang kafir, murtad akan masuk neraka. Term kafir, murtad, surga, neraka merupakan istilah yang digunakan dalam agama. Hal ini sudah memasuki wilayah aqidah. Sehingga tidak berlebihan bila Harun Nasution mengatakan bahwa berkembangnya “aliran teologi” dalam Islam dimulai dari persoalan dan pergolakan politik.
Berawal dari peristiwa perang Shiffin itulah muncul berbagai kelompok (belum menjadi sekte). Pertama adalah kelompok Ali bin Abi Tholib yang selalu setia mengikuti, membela Ali yang kemudian dinamakan aliran “Syiah”. Kelompok kedua adalah pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya proses “tahkim” atau “arbitrase”, sehingga kemudin memisahkan diri dan bahkan dengan kalimat yang ekstrim “keluar” (khoroja) yang terkenal dengan kelompk “Khawarij” . Kelompok ketiga adalah pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai kelompok pemenang dalam politik praktis karena kelompok Ali bin Abi Tholib kalah dalam proses perundingan, mereka dinamakan “Al-Jami’ah”.
Dari keempat kelompok ini kemudian berkembang untuk saling memperkuat posisi masing-masing dengan berbagai cara dan strategi. Salah satunya adalah dengan menggunakan “dalil agama”. Agama sebagai kendaraan politik dipakai untuk memberikan dukungan oleh masing-masing kelompok. Sehingga pada masa ini berkembang juga selain penafsiran-penafisran wahyu, muncul juga hadits-hadits maudlu yang intinya upaya penguatan terhadap kelompoknya.
Perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok tersebut berubah menjadi paham atau sekte. Muncul aliran “Khawarij” yang dipelopori oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasyidi. Sebagai reaksi timbul aliran “Murjiah” yang dipelopori oleh Ghilan Al-Dimasyqi. Pengikut Ali yang selalu dipojokan dengan persoalan tahkim maka muncul pula pengikut setia bahkan fanatik Ali bin Abi Tholib yaitu kaum “Alawi” atau terkenal denagn “Syiah”. Ketika terjadi gesekan-gesekan ideology persoalan “Ketuhanan” maka tampil Wasil Bin Atho dengan tidak sependapat denagn konsep keputusan diserahkan seluruhnya kepada Tuhan. Maka Wasil keluar dari pengajian Hasan Basri (ahli Hadits) dengan panggilan “Mu’tazilah”. Aliran Qodariyah sebenarnya kelanjutan dari efek penggunaan rasio sebagai alat untuk membedah ideology ketuhanan maka muncul free will dan free act (kebebasan kehendak dan perbuatan). Jabariyah adalah kebalikan dari Qodariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan dalam kehendak dan perbuatan. Hidup manusia itu terpaksa dalam bingkai “Kehendak Tuhan”. Dari pergolakan pemikiran ini maka bermunculanlah tokoh-tokoh pembanding, penganalisis, bahkan penentang dari berbagai paham yang muncul pada waktu itu maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Maturidi, Al-Asy-’Ari yang kemudian membentuk sebuah komunitas faham yang bernama “Ahli Sunnah wal Jama’ah”. Ahlis Sunnah maksudnya golongan yang mengembalikan Sunnah atau tradisi sedangkan “Jama’ah” karena pada waktu itu pemikirannya berada di pihak mayoritas yang terdiri dari masyarakat luas.
C. Pertumbuhan dan Perkembagan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Secara historis, teologi islam bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.[10]
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sehingga sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu. Dan sebagai sebuah disiplin ilmu di dunia islam, Ilmu Kalam berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, dan para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya adalah Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.
Pada akhir-akhir ini Ilmu Kalam atau Teologi Islam telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial atau menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang -- secara tematik -- mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.
Klik show Untuk melihat selanjutnya
Daftar Pustaka dan Footnote
SHARE THIS ARTICLE : ✚ Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
http://www.anekamakalah.com/2013/04/pemikiran-ilmu-kalam-kontemporer.html
Enter your email....
MAKALAH PEMIKIRAN KALAM KONTEMPORER
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian banyak ilmu-ilmu
di dunia ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan tokoh-tokoh Islam mengenai ilmu ini.
Begitu pula sebab-sebab penamaan serta berbagai nama lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian
keterangan dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah
ketuhanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat memeperkuat akan
keyakinan terhadap-Nya dan mampu memberikan hujjah dan argumentasi.
Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam dalam Islam dengan pemikiran
dan konsep masing-masing. Diantaranya adalah Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, al-Qadariyah,
Jabariyah, Al-Asyariyah dan Al-Maturidiyah. Adapula pemikiran kontemporer yang merupakan
campuran antara pemikiran klasik dan modern yang disertai dengan pendekatan tokohnya yang
akan dibahas dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari judul yang telah diketahui yaitu pemikiran kontemporer dan pendekatan tokohnya, tentu
akan menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pemikiran kalam kontemporer ?
2. Siapa saja tokohnya ?
3. Bagaimana sejarah perkembangannya ?
4. Apa saja pendekatan pemikirannya ?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini tiada lain adalah untuk memberikan jawaban serta penjelasan dari
setiap pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, yaitu :
1. Untuk mengetahui apa itu pemikiran kalam kontemporer.
2. Untuk mengenal siapa saja tokohnya.
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangannya.
4. Untuk mengetahui pendekatan pemikirannya.
1.4 Kegunaan Makalah
Adapun kegunaan dari makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari
mata kuliah ILMU KALAM, juga sebagai sarana pelatihan dalam mengembangkan sifat sosial
dan keterampilan dalam membuat suatu karya ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN
(ABDUH, AHMAD KHAN, DAN IQBAL)
Pemikiran kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran pada masa klasik seperti
pemikiran yang dikemukakan berbagai golongan aliran seperti Khawarij, Jabariyah dan
sebagainya yang masih bisa dipakai sesuai perkembangan zaman yang berlaku dengan pemikiran
pada masa modern seperti pemikiran Syekh Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dsb.
Gabungan pemikiran ini terlahir pada saat umat Islam dalam masa kemunduran sehingga ketika
pemikiran Syekh Muhammad abduh terpublikasi, banyak orang yang tersadar akan monotonnya
perkembangan pemikiran yang memotivasi dan menimbulkan berbagai perubahan dalam cara
pandang umat Islam.
`
A. SYEKH MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bi Hasan Khairullah,
dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. Saat itu
kondisi tempat dilahirkannya penuh kecemasaan, banyak penduduk yang berpindah-pindah
dikarenakan kekerasan penguasa-penguasa dalam memungut pajak. Walau bukan berasal dari
keturunan bangsawan, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.
Saat kecil, ayahnya sempat mengirimnya ke mesjid Al-Ahmadi Tantan yang kini menjadi
pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namiun karena system pengajarannya kurang disukainya, ia
memilih untuk pulang kembali ke desa dan bertani sampai akhirnya ia dikawinkah ayahnya pada
saat berusia 16 tahun. Semula ia enggan untuk melanjutkan studinya, namun karena dorongan
pamannya, Syekh Darwish, ia kembali belajar dalam bimbingan pamannya sampai lulus dan
melanjutkan ke Universitas Al-Azhar. Dan disanalah ia dipertemukan dengan Jamaluddin Al-
Afghani yang merupakan guru serta motivator keaktifannya dalam bidang politik dan ekonomi.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar dengan gelar “alim” ia mengajar di Al-Azhar, di
Dar al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ia juga sempat mengalami pengusiran karena dituduh ikut
campur dalam mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufik dan pengasingan
selama 3 tahun karena dituduh terlibat dalam revolusi besar Urabi. Dalam pengasingannya,
selama satu tahun tinggal di Suriah, kemudian mengikuti gurunya, Syekh Jamaluddin Al-
Afghani ke Paris. Disanalah mereka menerbitkan surat kabar Al-Urwah Al-Wutsqa, yang
bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat ,khususnya Inggris. Tahun 1885
Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang
bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan
tinggi itu dipegangnya sampai ia meninngal dunia pada tahun 1905.
2. Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran utama Abduh, sebagaimana
diakuinya sendiri, yaitu :
1. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang meghambat perlkembangan
pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulam sebelum abad ke-3 Hijriyah),
sebelum timbulnya perpecahan; yakni memehami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat
besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal
daripada Mu’tazilah. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini :
1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
2. Keberadaan hidup di akhirat;
3. Kebahagiaan jiwa bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan
kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan untuk kebahagiaan di akhirat;
6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih,
yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan
dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan
dengan kemauannya sendiri, selamjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada
dalam dirinya.
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam
menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan
manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia,
menurutnya, mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak
memiliki kebebasan absolute. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c. Sifat-Sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu
termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan
manusia. Sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada
pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.
d. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak
bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak
Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari
sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan
kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya
untuk mengatur ala mini.
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai
kecendrungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak
Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini
diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilah Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari
segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan
tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan
aturan alam semesta.
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat
bahwa tidak mungkin esensi-esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh
makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai
dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-
arsy
dalam Al-Qur’an berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti pengetahuan.
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang besifat rohani itu dapat
dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan
bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang
menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata-kata. Kesanggupan melihat TUhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang
tertentu di akhirat.
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah
dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
B. SAYYID AHMAD KHAN
1. Riwayat Singkat Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut salah satu keterangan, ia
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad saw. melalui Fatimah dan Ali. Neneknya,
sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II(1754-1759). Sejak kecil, Ahmad
Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga
bahasa Persia. Ia rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia
delapan belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian bekerja pula sebagai hakim,
tetapi pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk belajar.
Di kota Delhi inilah ia dapat melihat langsung peningggalan-peninggalan kejayaan Islam dan
bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa
Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, ia mulai mengarang.
Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1855, ia pindah ke Bijnore. Di tempat
ini, ia tetap mengarang buku-buku penting Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi
pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap
orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, ia sempat berfikir untuk meninggalkan India
menuju Mesir, tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan umat Islam india agar menjadi
maju. Ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari
pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya. Padatahun 1861 ia mendirikan
sekolah Inggris di Muradabad. Hingga akhir hayatnya ia selalu mementingkan pendidikan umat
Islam India. Pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglom Oriental college
(MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk
memajukan umat Islam India.
2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir –
setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat
penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam
yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat akal bukanlah segalanya dan
kekuatan akalpun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas
untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai faham
yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya manusia telah dianugerahi Tuhan berbagai
macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan
kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan
konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika datang ke India
pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagi tanggapan atas tuduhan
tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban
Bagi Kaum Materialis).
Sejalan dengan faham Qadariyah yang di anutnya, ia menentang keras faham taklid. Khan
berpendapat bahwa Umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan
zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari
bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan berdasar pada
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang
Barat.
Selanjutnya, Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature
(sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak berubah. Menurutnya, Islam adalah
agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan
Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada
pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak mau
pemikirannya terganggu otoritas Hadits dan Fiqih. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik
rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau
mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain hanya bersifat
membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakannya terhadap hadits adalah karena Hadits
berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits
tersebut dikumpulkan. Sedangkan hukum Fiqh, menurutnya, berisi moralitas masyarakat
berikutnya sampai saat timbulnya madzhab-madzhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-
Qur’an untuk menguraikan relevansinyadengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu
diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
C. MUHAMMAD IQBAL
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta brahmana
khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama Iqbal adalah
ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Quran.
Setelah itu dimasukkan ke Scottish mission school. Dibawah bimbingan Amir Hasan, ia diberi
pelajaran agama, bahasa arab, dan bahasa Persia.
Pada taun 1905 setelah mendapat gelar M.A di government college. Di sini ia bertemu
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar di bidang filsafat pada
universitas tersebut. Setelah mendapat gelar tersebut ia pergi ke inggris untuk belajar filsafat
pada universitas Cambridge. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas
ini, ia memperoleh gelar Ph.D dalam tasawuf. Dengan desertasinya yang berjudul Perkembangan
Metafisika di Persia.
Iqbal tinggal di Eropa kurang lebih tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi advokat
dan juga sebagai dosen. Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua
konfereni tahunan liga muslim di Allahabab, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut
dalam konferensi meja bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi india. Pada bulan
Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan universitas
Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia
pada tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 april 1935.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai filosof
eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandangannya mengenai wacana-
wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan tuhan, perbuatan manusia, dan
kewajiban-kewajiban tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak menyinggung beberapa
aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan
pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan
kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad. Mereka, seperti kaum
konservatif, menolak kebiasaan berfikir rasional kaum Mu’tazilah karena hal tersebut
dianggapnya membawa disintegrasi umat Islam dan membahayakan kesetabilan politik mereka.
Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat islam, semangat dinamis dan
kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad
tidak pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri-ciri dari dinamika yang harus dilambangkan
dalam islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi
merupakan alat untuk merespon kebutuhan individu dan masyarakat karena islam selalu
mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengikuti adanya gerak perubahan
dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus
menciptakan perubahan.
Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis
tentang Al-Quran dan hukum islam. Tujuan diturunkannya Al-Quran adalah membangkitkan
kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Quran yang
masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika
masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusn fiqh disebut ijtihad yang oleh iqbal
disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam dan membuang kekakuan
serta kemujudan hukum islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif . Menurut Iqbal,
peralihan kekuasaan ijtihad individu yang memiliki madzhab tetentu kepada lembaga legislative
islam adalah satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistim hukum
islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan maenyerukan kepada kaum muslimin agar
mmenerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
a. Hakikat Teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada
esensi tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa kesetiaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan. Pandanganya tentang ontology teologi membuatnya berhasil membuat
anomaly (penyimpangan) yang melekat pada literature ilmu kalam klasik. Teologi asy’ariyah,
umpamanya, menggunakan cara dan pola piker ortodoksi islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu
jauh bersandar pada kal, yang akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah
pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman konkrit
merupakan kesalahan besar.
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Ia
juga menolak teleoligis yang berusaha membuktikan eksistensi tuhan yang mengatur
penciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima landasan teologis yang
imanen. Untuk menompang hal ini, Iqbal menolak pandangan tentang matter serta menerima
pandangan whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak
berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan oleh Iqbal dalam jangka waktu murni-nya
Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada perubahan,
tetapi tidak ada suksesi(pergantian). Kesatuannya terdapat seperti kesatuan kuman yang ada di
dalamnya terdapat pengalaman-pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu
kumpulan, tetapi suatu kesatuan yang ada di dalamnya mendorong setiap pengalaman untuk
menyerap keseluruhannya.
c. Jati Diri Manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap
pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat konsepnya tentang ego, ide sentral dalam
pemikiran filosofnya. Kata “itun” diartikan sebagai kepribadian. Manusia hidup untuk
mengetahui kepribadiannya seta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan
sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan para sufi yang menundukan
jiwa sehingga fana dengan alla. Pada hakikatnya menafikan diri bukanlah ajaran islam karena
ajaran hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampaknya
merupakan reaksi terhadap kondisi umat Islam yang ketika itu telah dibawa oleh kaum Sufi
semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudinya ia
mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d. Dosa
Iqbal secara tegas mengatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Quran menampilkan ajaran
tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan
cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi
pelajaran tentang kebangkitan manusia dari kon disi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi
kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang
memiliki kemampuan untuk memilih.
e. Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat gambaran-gambaran tentang
keduanya di dalam Al-Quran adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, dan
sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Quran adalah api Allah yang menyala-nyala dan yang
membumbung ke atas hati, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga
adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang
menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam islam. Neraka, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan tuhan.
ILMU KALAM MASA KINI: ISMAIL FARUQI, HASAN HANAFI, RASYIDI DAN HARUN
NASUTION.
A. ISMAIL AL-FARUQI
1. Riwayat Singkat Isamil Al-faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan
dasarnya di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freres St. Joseph,
dengan bahasa pengantar Perancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di
American University, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts. Ia kemudian
bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas
Palestina ketika saat itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24
tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada tahun 1948, Palestina dijarah Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya, terusir
dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina.
Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya, 1949, Faruqi hijrah ke AS untuk
melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun
kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan finansial itu sulit.
Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang US$1.000 (dari
American Council of Learned Sociates hasil dari menerjemahkan dua buku Bahasa Arab) ia
memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan
untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya.
Akan tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas
Indiana pada 1952 ia meraih gelar Ph.D filsafat dengan desertasi berjudul On Justifiying the
God: Metaphysics and Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar doctor Faruqi lalu
pergi ke Mesir selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Al-Azhar. Karena kuat
dorongan belajarnya itu pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C.Smith untuk bergabung
dengan Institut of Islamic Studies di Universitas McGill, Canada. Ia disana selama dua tahun,
yaitu pada 1959-1961. Selain mengajar, ia mempelajari etika yahudi dan Kristen.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama yang dia kerjakan adalah menjadi
guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate professor bidang agama pada
Universitas Syracuse. Lalu pada tahun 1968 hingga wafatnya ia menjabat guru besar agama pada
Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi keislaman pada
Central Institute of Islamic Research, Karachi.
2. Pemikiran Kalam Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri melalui karyanya yang berjudul,
Tahwid : Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tuahid). Sesuai
dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam. Al-Faruqi menjelaskan
hakikat tauhid sebagai berikut.
a. Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama
Inti pengalaman agama,kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat Syahadat menempati posisi sentral
dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi
kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan benar-benar merupakan
obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam tidak lain adalah realisasi prinsip
bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
b. Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, dan waktu,
sejarah manusia, dan takdir.
c. Tauhid Sebagai Intisari Islam
Dapat dipastikan bahwa esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi Islam adalah
tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan
dari tauhid. Tanpa tauhid Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang
patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.
d. Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu ketika keberhagaan
manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi
aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap
dalam Al-Quran, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa
kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu
klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi.
e. Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
Berbeda dengan “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran,
bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran, atau proposisi
iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal,
melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian
keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
Dalam Islam, Islam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna,
dan teratur. Sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang
disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan
mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, bertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan
meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g. Tauhid Sebagai Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat
yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh
ketakutan. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsure etika dari
kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan,
dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika
tidak dpat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
h. Tauhid Sebagai Prinsip Ummah
Al-Faruqi menjelaskan tentang prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas: pertama, menentng
etnosentrisme. Maksudnya, tata sosial Islam adalah Universal, mencakup seluruh umat manusia
tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua Universalisme. Maksudnya Islam
bersifat universal dalam arti meliputi seluruh umat manusia.cita-cita komunitas universal adalah
cita-cita Islam yang diungkapkan dalam ummah dunia. Ketiga, Totalisme. Maksudnya, Islam
relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme sosial Islam tidak hanya
menyangkut aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh
aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan. Maksudnya, tata sosial Islam adalah
kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, Islam akan
kehilangan sifatnya yang khas.
i. Islam Sebagai Prinsip Tata Sosial
Dalam Islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat Islam adalah
masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap
atapun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus berusaha mengembangkan
dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim
keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai komunitas Islam yang lain, atau
oleh komunitas non-islam.
j. Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan
komunisme dan ideology-ideologi barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan
tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar
untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminasi oleh hubungan erat
dengan tauhid.
k. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan didefinisikan
sebagai kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma ar-ru’yah), kehendak (ijma
al-iradah) dan tindakan( ijma al-amal). Wawasan yang dimaksuf Al-Faruqi adalah pengetahuan
akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi juga apa
yang disebutnya ashabiyyah, yakni kepedulian kaum muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa
dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan.
Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari
kesepakatan.
l. Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi
Al-Faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi melahirkan dua
prinsip utama: pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompok pun boleh memeras yang lain.
Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia
lainnya dengan tujuan untuk membatasi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m. Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreativitas seni; juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan.
Sebaliknya, Islam memberkati keindahan islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada
dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
B. HASAN HANAFI
1. Riwayar Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan
melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, kairo yang diselesaikannya selama
empat tahun. Semasa di Tsanawiyah, ia aktif mengikuti dislusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin.
Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan kelompok itu dan
aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang
keadilan dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan social.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan
salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru
memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu
kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi
kesejahteraan umat manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan
konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika
inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan
budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara
kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami
berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode klonialisasi. Oleh karena
itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi
kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.
Selanjutnya Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam
kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh karena itu,
kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai produk pemikiran
manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi, teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang
Tuhan, yang secara etimologis berasal dari kata Theos dan Logos, melainkan ilmu tentang kata
(ilm al-kalam).
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk
kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahtu. Ilmu kata adalah
tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan
saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni
pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan,
yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya yakni bukan
pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja
secara taken of granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi
dan falsifikasi, baik secara historis mapun eidetis.
Secara praxis, Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
“pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit
umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideology yang sungguh-
sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional
disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni
dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik
dengan amal praktisnya dengan kalangan umat. Ia menyatakan, baik secara individual maupun
social, umat ini dilanda keterceraiberaikan dan terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran
manusia terputus dengan kesadaran, perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah
melahirkan sikap-sikap moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme kepribadian
(muzawij: assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan umat islam saat ini:
sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan
modern (peradaban), antara Timur dan Barat (politik), antara konservatisme dan progresivisme
(sosial) dan antara kapitalisme dan sosialisme (ekonomi).
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat
dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat
teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, dan kedua, pada tingkat praxis,
yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.
b. Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi
teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistemilogi lama yang rancu dan palsu menuju epistimologi baru yang shahih dan
signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-
dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik
dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu. Sistem
kepercayaan menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (
al-aglabiyah assfimitah: the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena
memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial.
Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat
dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal
berikut
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan
global antara berbagai ideology.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak
pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology sebagai gerakan dalam
sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di
Negara-negara muslim.
Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata
diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki
adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu
orde.
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh
jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkrit bagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi
menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara
eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu
dalam teologi Islam, yaitu:
Pertama, analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah warisan
nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi
ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki istilah-istilah khas seperti Allah¸ iman¸
akhirat. Menurut Hanafi, semuanya ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode
keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis
seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-
sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi
bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap
perilaku para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk menentukan stressing ke arah
mana teologi kontemporer harus diorientasikan.
C. H. M RASYIDI
1. Sekilas Tentang H. M Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan H. M Rasyidi, lembaga lulusan pendidikan Islam di Mesir yang melanjutkan
ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalam mengajar di Kanada. Ia adalah orang Indonesia
memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan intelektual dari
gudang oreantalis. Dialah yang berpengaruh dalam usaha pengiriman para lulusan IAIN atau
sarjana lain ke Montreal sehingga banyak orang yang benar-benar berterima kasih padanya.
2. Pemikiran Kalam H. M Rasyidi
Pemikiran kalam rasyidi dapat ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada
Harun Nasution dan Nurcolis Madjid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukaan
sebagai berikut:
a. Tentang Perbedan Ilmu Kalam dan Teologi
Rasyidi berkata,” ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu
kalam Kristen, selanjutnya Rasyidi menelusuri sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang
barat memakai istilah teologi untuk menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tidak memiliki
istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataan, yaitu teo(theos) artinya tuhan, dan logos, artinya
ilmu. Jadi teologi adalah ilmu ketuhanan. Adapun timbulnya teologi dalam kristen ketuhanan
nabi Isa, sebagai salah satu tri-tunggal atau trinitas. Namun,kata teologi mengandung beberapa
aspek agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar),sehingga teologi Kristen tidak sama
dengan tauhid atau ilmu kalam.
b. Tema-Tema Ilmu Kalam
Salah satu ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam
yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia.
untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah
akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal
seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan
wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolut-universal.berarti
meremehkan ayat-ayat Al-Quran seperti, wallahu ya’lamu wa antumla ta’lamun(dan Allah lah
yang maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui),” Q.S. Al-baqarah[2]:232. Rasyidi
menegaskan pada saat ini, di barat sudah dirasakn bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan
buruk. Buktinya kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionallisme.
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu,
masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada juga yang sudah tidak relevan untuk
masa sekarang. Yang masih dirasakn pada umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.
c. Hakikat Iman
Rasyidi menyatakan bahwa,”iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan tuhan,
tetapi dapat dilihat dari dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia, yakni
hidup dalam masyarakat. Perlu dijelaskan disini bahwa bersatunya seseorang dengan tuhan tidak
merupakan aspek yang mudah untuk tercapai, mungkin seorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang
penting dari aspek penyatuan itu adalah keprcayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.
D. HARUN NASUTION
1. Riwat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari selasa 23 september 1919 di Sumatera. Ayahnya, Abdul
Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya
dimulai di sekolah HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (modern
islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan di
Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah pula di Universitas Amerika
di Mesir. Pendidikannya lalu di lanjutkan di Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk
dikawasan IAIN Ciputat sejak paruh kedua dasarwasra 70-an. Sentralitas Harun Nasution
didalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh
kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas
akhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan
pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan anatara
Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan Akal
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi dalam suatu aliran sangat menentukan dinamis
tidaknya pemaham seorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini Harun Nasution
menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai
kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal
manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah
lemah akal manusia bertambah rendah pulalah kesanggupan menghadapi kekuatan-kekuatan
yang lain.
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun
Nasution , terutama dalam buku akal dan wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Alir an-aliran,
Sejarah, Analisis Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi rasional Muhammad
Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-
ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakain akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri.
Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun
dikalangan non Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan Teologi
Pembahruan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun diatas
asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam indonesia (juga di mana saja) adalah
disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Retorika ini mengandung pengertian bahwa
umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah
membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika
hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaknya mengubah
teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika
teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni
teologi Mu’tazilah.
c. Hubungan Akal dan Wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan
bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyan, tetapi keduanya tidak
menimbulkan pertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang
yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal
tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
Akal hanya untuk memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai kecenderungan dan
kesanggupan pemberi interpretasi. Yang menjadi pertentangan dalam sejarah pemikiran islam
sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran
lain dari teks wahyu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal
ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemikiran kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran klasik yang masih
relevansi dan sesuai dengan perkembangan zaman dengan pemikiran modern yang baru
dikemukakan oleh para tokoh-tokoh guna memberikan kontribusi bagi kemajuan umat Islam
yang semakin lemah dan kurang termotivasioleh karena kemudnduran yang dialami umat Islam.
Adapun tokoh-tokoh serta pendekatannya adalah sebagai berikut :
a. Syekh Muhammad Abduh
Pendekatan tokoh dan fungsi wahyu
Kebebasan manusia dan fatalisme
Sifat-sifat Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan
Keadilan Tuhan
Antropomorfisme
Melihat Tuhan
Perbuatan Tuhan
b. Sayyid Ahmad khan
Akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas, dsb.
c. Muhammad Iqbal
Hakikat Teologi
Pembuktian Tuhan
Jati diri manusia
Dosa
Surga dan neraka
d. Ismail Al-Faruqi
Tauhid sebagai inti pengalaman agama
Tauhid sebagai pandangan dunia
Tauhid sebagai intisari islam
Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Tauhid sebagai prinsip metafisika
Tauhid sebagi prinsip etika
Tauhid sebagai prinsip ummah
Tauhid sebagai prinsip tata sosial
Tauhid sebagi prinsip keluarga
Tauhid sebagai tata politik
Tauhid sebagai tata ekonomi
Tauhid sebagai prinsip estetika
e. Hasan Hanafi
Kritik terhadap teologi tradisional
Rekontruksi Teologi
f. H. M Rasyidi
Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Tema-tema ilmu kalam
Hakikat iman
g. Harun Nasution
Peranan akal
Pembaharuan Teologi
Hubungan akal dengan wahyu
3.2 Kritik dan Saran
Dengan segala kekurangan yang ada dalam penyusunan dan penjelasan dalam makalah
ini, hati dan tangan senantiasa terbuka untuk menerima kritik dan saran.
Semoga kita bisa mengambil manfaat serta mampu mengamalkan apa yang telah kita
dapat dari makalah ini. Dan semoga Allah senantiasa membimbing dan meridhoi setiap gerak
langkah kita. Aamiin.
Diposkan oleh Aliya Sofyani di 02.50 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berb
http://lalaaliya.blogspot.com/2011/12/makalah-pemikiran-kalam-kontemporer.html
Disusun Oleh:
Uli Alfiyani (14121110130)
Fakultas: Tarbiyah
Jurusan: PAI
Kelas: PAI- A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2012/2013
Jl. Perjuangan By Pass (0231) 480242 Fax. (0231) 481264
Kata Pengantar
Segala puji hanya untuk Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Sholawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis berharap agar semua pengetahuan dan pengalaman yang telah penulis peroleh selama penyusunan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bekal dikemudian hari.
Akhirnya, atas segala keterbatasan yang dimiliki oleh penulis apabila terdapat kekurangan dan kesalahan mohon maaf, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang hendak menambah wawasan dan pengetahuan, kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselesaikan dengan baik, penulis menyampaikan terima kasih .
Cirebon, 02 Desember 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian banyak ilmu-ilmu di dunia
ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan tokoh-tokoh Islam mengenai ilmu ini. Begitu pula sebab-
sebab penamaan serta berbagai nama lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian keterangan dapat
disimpulkan bahwa ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah ketuhanan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat memeperkuat akan keyakinan terhadap-Nya dan
mampu memberikan hujjah dan argumentasi.
Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam dalam Islam dengan pemikiran dan
konsep masing-masing. Diantaranya adalah Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, al-Qadariyah, Jabariyah, Al-
Asyariyah dan Al-Maturidiyah. Adapula pemikiran kontemporer yang merupakan campuran antara
pemikiran klasik dan modern yang disertai dengan pendekatan tokohnya yang akan dibahas dalam
makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari judul yang telah diketahui yaitu pemikiran kontemporer dan pendekatan tokohnya, tentu akan
menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Teologi Transformati?
2. Siapa saja tokohnya ?
3. Bagaimana Karakteristik Muslim Kontemporer ?
4. Apa saja Metodologi Kalam Kontemporer?
5. Bagaimana Orientasi Visi Kalam Kontemporer?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Teologi Transfformatif
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Kalam Kontemporer
3. Untuk mengetahui karakteristik Muslim Kontemporer
4. Untuk mengetahui metodologi kalam kontemporer
5. Untuk mengetahui visi kalam kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teologi TransformatifDalam pengamatan John Obert Voll, seorang sejarawan University of New Hampshire yang memiliki
spesialisasi dalam bidang kebudayaan dan sejarah Timur tengah bahwa sejarah umt Islam merupakan bagian yang dinamis dari pengalaman Islam. Keberhasilan Islam pada masa-masa awal dan selanjutnya memberikan penegasan kepada umat Islam akan misi wahyu, dan titik permulaan untuk memahami Islam dalam dunia modern harus dilihat dari pengalaman histtoris umat Islam. Oleh karena itu, dalam dunia Kontemporer, islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis.
Pengamatan tersebut mendorong kita, tidak hanya untuk melihat Islam sekarang dan kedepan saja, tetapi Islam dalam konteks sejarah pun adalah penting. Sebab, pengalaman Islam dalam konteks sejarah, baik masa lalu, sekarang,, dan masa yang akan dating tidak dapat dipisahkan, terlebih karena prinsip-prinsip Islam yang bersumber pada Al-Quran yang memiliki konsistensi dan universalitas dalam pesan-pesannya, sebagaimana lebih lanjut Voll mengatakan bahwa interaksi yang panjang antara kondisi yang berubah-ubah dengan pesan Al-Quran yang bersifat permanen telah memberikan pola-pola dan ideal-ideal serta pengaruh yang berkelanjutan, dan interaksi tersebut telah pula memberikan dasar bagi dimensi islam dari suatu analisis islam modern.
Untuk itulah, pemikiran-pemikiran Kalam memiliki kepentingan yang sama alam pengembangan ajaran Islam. Menurut Amin Abdullah bahwa dalam bangunan pemikiran Islam Klasik, ilmu kalam mempunyai tempat yang cukup sentral. Sedemikian sentralnya, sehingga segala persoalan keagamaan Islam terlebih-lebih yang berhubungan langsung dengan persoalan ketuhanan selalu saja ditelaah melalui perspektif ilmu kalam. Tiga aliran kalam seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah merupakan tonggal sejarah pemikiran yang tidak dapat dihapus dari khazanah intelektual Islam Klasik, sampai sekarang masih dikaji diberbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam baik dipesantren, madrasah Tsanawiyah/aliyah, IAIN maupun program-program Islamic Studies seperti program Pascasarjana. Akan tetapi, mengapa corak pemikiran kalam klasik dapat bertahan sedemikian kookoh hingga sekarang, padahal hamper semua rumusan pemikiran warisan alam pemikiran Yunani baik di daratan Eropa baik diwilayah budaya, ilmu, filsafat, maupun agama telah mengalami perubahan yang cukup foundamental sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman yang dilaluinya.
Atas dasar itu sekarang perkembangan pemikiran teologi baru sejalan dengan perkembangan baru pula, yakni bahwa kita memerlukan teologi yang bervisi Transformatif. Yakni suatu rumusan normative tentang bagaimanakah seharusnya (rumusan teologi transformative) agama-agama terlibat dalam masalah-masalah social, sesuai dengan perkembangan zaman.
Sebuah pemikiran baru, teologi Islam transformative melalui cara berteologinya dengan memperanyakan dasar asumsi dan isu ideologis dari :
Pertama, teologi yang konformis, yaitu kelompok-kelompok agamawan yang prihatin terhadap masalah kemiskinan dan keterblakangan, tetapi pola kerjanya dalam mengatasi masalah tersebut dilakukan secara pragmatis, tanpa analisis social.
Kedua, teologi yang modernis, yang melihat masalah kemiskinan dan keterblakangan sebagai sebagai masalah mentalitas.
Obsesi teologi informative adalah ingin menganalisis penyebab kemiskinan dan keterblakangan juga kemunduran umat dari sudut pandang structural. Berkenaan dengan itu, perubahan orientasi dan visi pemikiran kalam yang lebih transformative dengan perkembangan kontemporer, sedikitnya ada dua alas an;
Pertama, alasan politis, misalnya dikemukakan oleh Arkoun bahwa teologi islam ortodoks selalu bernasib baik, sehubungan corak pemikirannya selalu dimanfaatkan oleh para penguasa sejak abad keduabelas Miladiyah untuk menjaga stabilitas Negara. Dalam hall ini, teologi Asy’ariyah jauh lebih diutamakan daripada usaha-usaha yang bersifat inofatif reformatif-transformatif. Salah satu implikasi langsung dari pola kebijaksanaan stabilitas politik tersebut adalah tumbuhnya sikap menerima apa adanya bentuk dan isi teologi islam klasik tanpa adanya usaha evaluasi kritik terhadap bentuk teologi yang sudah telanjur mapan tersebut.
Kedua, alasan social cultural, sangat erat dengan alasan pertama. Alasan tersebut untuk situasi dan perkembangan pola berpikir umat islam, tentu saja mendorong kita untuk melakukan kritik ulang terhadap pemikiran kalam sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman.
B. Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporera. Ismail Al-Faruki1) Riwayat Singkat Ismail Al-Faruqi
Ismail Raji Al-faruqi, lahir pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freres St. Joseph, dengan bahasa pengantar Prancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil kuliah filsafat di American University, Bairut. Setelah taat dan meraiih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian bekerja sebagai pegawai negri sipil pada pemerintahan Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.
Pada tahun1948, Palestina dijarah Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya, terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke As untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar Master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian gelar master filsafat kembali ia dapatkan di Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan financial itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang US$ 1.000 dari American Council of Learned Sociates (honornya menerjemahkan buku bahasa Arab), ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka lebar baginya.
Akan tetapi, harkat dan bakat bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke universitas Indiana, dan pada tahun 1952 meraih Ph.D filsafat dengan disertasi berjudul On Justifying the God: Metaphysics and Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun sudah bergelar Doktor, Faruqi lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan Pascasarjana di universitas Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itulah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C.Smith untuk bergabung dengan Institute Of Islamic Studies di Universitas McGill, Canada. Ia disana selama dua tahun, yaitu pada 1959-1961. Selain mengajar ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen.
Keaktifan Faruqi diberbagai kelompok studi Islam dan keterlibatannya dalam gerakan-gerakan Islam amat menonjol. Ia adalah tokoh dibalik pembentukan MSA, ISNA, AJIIS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS.
Ia juga kerap diundang sebagai tutor oleh para pemimpin muda Muslim yang terlibat dalam gerakan-gerakan muda Islam. Faruqi juga duduk sebagai penasihat diberbagai Universitas didunia Islam dan ikut mendisain program studi Islam di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Libya, Saudi Arabia, mesir. Juga tempat-tempat terpencil di Mindanao State University, Filipina dan Universitas Islam Kum, Teheran.
Dia menjadi dewan editorial pada sejumlah jurnal, menulis lebih dari 100 artikel diberbagai jurnal ilmiah, disampinng mengarang dua puluh lima judul buku, antara lain: Tahwid: Its Implications for Though and Life, Trialogue of the Abrahamic Faiths, dan lainnya. Adapun The Cultural Atlas of Islam adalah salah satu karyanya yang merupakan hasil kerja sama dengan Prof. Lamya, istrinya.
Pasangan bahagia ini telah menempuh perjalanan hidupnya yang penuh arti. Jasa mereka bagi dunia keilmuan, masyarakat luas dan dakwah agama demikian besar. Semoga benar adanya apa yang dikatakan oleh Hisnam Thalib dari masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) melaluui eunologinya yang menyentuh. Meskipun kita tidak dapat melihat jasa mereka lagi, tetapi mereka tetap hidup dan tidak boleh mati.
2) Pemikiran Kalam FaruqiPemikiran Faruqi tentang kalam dapat dijumpai dalam bukunya yang berjudul: Tahwid: Its
Implications for though and Life (edisi Indonesia berjudul Tauhid). Sesuai judulnya, buku ini mengupas sev\cara mendalam. Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai beriikut:
a. Tauhid sebagai inti pengalam agamab. Tauhid sebagai pandangan duniac. Tauhid sebagai intisari Islamd. Tauhid sebagai prinsip sejarahe. Tauhid sebagai prinsip pengetahuanf. Tauhid sebagai prinsip metafisikag. Tauhid sebagai prinsip etikah. Tauhid sebagai prinsip tata sociali. Tauhid sebagai prinsip ummahj. Tauhid sebagai prinsip keluargak. Tauhid sebagai prinsip tata polotik, tata ekonomi, dan prinsip estetika.b. Hasan Hanafi1.) Riwayat Singkat hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkann studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah ia aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwan Al-muslimin. Oleh karena itu, sejak kecil ia mengetahui pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hannafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan social dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan social.
Dengan sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1905. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema
pokok dari proyek besar hanafi, karya ini telah memformulasikan kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.
2.) Pemikiran Kalam Hanafi1. Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual system kepercayaan ( teologi) sesuai denga perubahan konteks politik yang terjadi. Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejahraan melainkan merefeklisasikan konflik-konflik social politik. Teologi demikian, lanju Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk terhadap ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu kalam adalah tafsir yaitu ilmu heuritik yang mempelajari analisis percakapan, bukan saja dari bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk pada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
2. Rekonstruksi teologiMmenurutnya adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi imu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakkan rekonstruksi dan refisi serta membangun kembali epistemology lama rancu dan palsu menuju epistemology baru yang shahih dan lebih signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi itu tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara actual sebagai landasan etik dan motivasi manusia. Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu puertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kogntif, maupun kesejarahan.
c. H.M. Rasyidia.) Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh kesempatan mengajar di Kanada. Lepas dari retorika-retorika anti Baratnya, orang tak akan luput mendapati bahwa hamper keseluruhan konstruksi akademiknya dibangun atas dasar unsure-unsur yang ia dapatkan dari barat. Ia adalah intelektual Indonesia yang banyak menerima tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam mengirimkan lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke ontreal sehingga banyak orang yang benar-benar harus berterimakasih kepadanya. Dan apa yang telah dirintisnya itu kemudian diteruskan dalam skala yang lebih besarr dan penuh harapan oleh Munawir Sjadzali.
b.) Pemikiran Kalam H.M. Rasyidi Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada Harun
Nasution dan Nurcholis Madjid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dengan teologi. Menurutnya, orang barat memakai istilah teologi untuk menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
2. Tema-tema ilmu kalamSalah satu tema-tema ilmu kalam Harun nasution yang dikritik Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat antara Asy;ariyah dan Mu’tazilah sebagaimana dilakukan Harun Nasution akan melemahkan iman para mahasiswa.
3. Hakikat ImanBagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap diskripsi iman yangdiberikan Nurcholis Madjid, rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya seseorang dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungna manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat.
d. Harun Nasution1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari selasa,23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai disekolah belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannnya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
Setiba ditanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencelupkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional.
Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution didalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rector sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiwanya.
2. Pemikiran Kalam Harun Nasutiiona.) Pemikiran akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika adal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertsinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Harun Nasution menulis demikian “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuuk menaklukan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
b.) Pembaharuan teologiYang menjadi predikat harun Nasution, pada dasarnya dbangun diatas asumsi bahwa keterblakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaknya mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, mandiri.
c.) Hubungan akal dan wahyuIa menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran. Orang yang beriman, tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
C. Karakteristik Muslim KontemporerPemikiran tentang Islam selalu berkembang sesuai dengan perkembangan umat Islam itu sendiri.
Umat Islam berkembang karena situasi dan kondisi yang mengelilinginya berkembang pula. Dengan demikian, konsepsi-konsepsi kalam yang muncul sekitar seribu tahun yang lalu, sekalipun pandangan-pandangannya dapat dicerna dan dipahami oleh generasi muslim era sekarang, tetapi perlu adanya rekonstruksi system sesuai dengan perkembangan zamannya.
Gagasan itu memang tidak muncul pada akhir-akhir ini, terutama dilontarkan oleh para pemikir Muslim kontemporer, tetapi Muhammad Iqbal, seorang filosof muslim terkemuka abad keduapuluh telah menyarankan bahwa teologi muslim memang dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan rohaniah komunitas, tetapi apalah artinya kalau kebutuhan-keutuhan rohaniah itu berubah, sejalan dengan meluasnya pandangan komunitas itu terhadap kehhidupan, sementara teologi tidak member kepuasan.
Dengan demikian, pemikiran muslim kontemporer berhadapan dengan situasi dan kondisi zaman yangsedang berkembang, yang pada umumnya sering dicirikan sebagai masa modern atau bahkan sudah memasuki masa postmodern. Tentu saja, situasi ini menuntut kita untuk melakukan evaluasi kritis terhadap visi dan metode kalam.
D. Metodologi Kalam KontemorerMetode yang dimaksud adalah berkaitan dengan masalah epistemology atau teori pengetahuan. Jika
teori pengetahuann kalam klasik dibentuk dari suatu peradaban masanya, demikian pula kalam kontemporer harus dikembangkan berdasarkan peradaban masanya pula. Untuk itulah kita perlu memahami betul pemikiran muslim kontemporer sekarangini, sebagai wujud dari suatu peradaban kontemporer pula. Namun demikian, pemikiran yang dimunculkan itu tetap tidak keluar dari prinsip-prinsip kerangka mutlak, yakni Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam tradisi Intelektual Islam, adanya suatu hierarki dan kesinambungan antarberbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itum dalam membahas metodologi ke-kalam-an, tidak menutup kemungkinan adanya saling hubungan dan keterkaitan antara disiplin iilmu keislaman dalam masalah metodologi. Al-farabi tampaknya memasukkan kalam dalam
wacana filsafat. Ia membagi filsafat kepada dua jenis: pertama, filsafat popular diterima secara umum dan eksternal, kedua, filsafat esoteric yang ditunjukan bagi kaum elite yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenankan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan spiritual. Menurutnya, kalam termasuk kepada jenis filsafat pertama.
Al-Farabi menggunakan istilah mitra filosofis bagi ilmu-ilmu agama, terutama berkaitan dengan masalah-masalah metafisika dan politik. Kalam kontemporer yang akan digulirkan tentu harus beradaptasi dengan lingkungan yang sedang berjalan. Para pemikir muslim kontemporer seperti Hassan Hanafi, Fazlur Arkoun, Sayyed Hossein Nasr belum memberikan metode yang jelas yang harus diterapkan oleh semua disiplin ilmu keislaman pada masa kontemporer ini. Hanya, pada ummumnya mereka mempertanyakan tentang mengapa ilmu-ilmu agama Islam, seperti fiqh, tafsir, kalam, dan tasawuf seperti itu adanya, baik dari segi bentuk, muatan, maupun metodolinya. Padahal, kehidupan manusia telah berubah begitu fantastisnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dari segi intensitas, maupun ekstentitasnya.
Pembicaraann masalah metodologi, sebenarnya berkaitan dengan masalah hierarki keilmuan, sebagaimana diperkuat oleh sayyed Hossein Nasr, bahwa pada kenyataannya dunia pendidikan Islam sekarang, kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di kebanyakan Negara Islam sekarang ini, dalam banyak hal disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam system pendidikan Islam tradisional, tentu saja tak terkecuali didalamnya masalah ilmu kalam. Metodologi ini adalah berkaitan dengan pendekatan atau prinsip-prinsip metode kalam yang pantas untuk diterapkan pada era muslim sekarang.
Pendekatan atau model tertentu untuk mengkaji kritik tradisi keilmuan Islam dapat dijadikan alternative dalam mengembangkan kalam kontemporer. Dengan demikian, tradisi keilmuan Islam klasik dapat dikupas, dibahas, dikritik, dan dianalisis, sehingga tampak mana aspek normativitasnya dan mana aspek historisnya; mana aspek tujuan, mana aspek alat, mana aspek universalitas dan mana dimensi partikularitasnya.
Secara metodologis, untuk mengambil contoh model atau pendekatan atau rumusan baru kalam era kontemporer ini, memang menemui keksulitasn. Kalaupun ada, seperti Sayyed Hosein Nasser misalnya, makin cenderung termasuk kepada trend pemikiran kalam pertama, sebab karya-karyanya masih menitik beratkan pada sisi metafisik dari rancangan bangun keutuhan pemikiran manusia serta penekanan pada konsepsi idea plato yang tidak berubah-ubah, yang masih tetap mengilhaminya. Tampaknya, model pemikiran Islam kedua agak tepat ditunjukan kepada Fazlur Rahman Mohammad Arkoun, Hassan hanafi, dan juga Bassan tibbi. Mereka sebenarnya sepakat dengan trend pemikiran Islam pertama, tetapi mereka menggarisbawahi peran historisitas kekhalifahan manusia dimuka bumi ini. Mereka melihat, bahwa tradisi keilmuwan Islam sebagai suatu gugusan pemikiran yang taken for granted. Mereka lebih melihat ttradisi keilmuwan Islam sebagai hasil akumulasi pengalaman sejarah kemanusiaan biasa yang selalu terikat oleh keadaan ruang dan waktu.
E. Orientasi Visi Kalam KontemporerTradisi keagamaan yang sudah ada itu dapat dikembangkan sdemikian rupa sesuai dengan
perkembangan wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Mereka sadar bahwa muatan pengalaman manusia beragamaabad pertenganhan dan abad modern sangat jauh berbeda,, dalam aspek normativitasnya boleh jadi tidak banyak berbeda. Mereka lebih banyak melihat aspek etika social
dan spiritualitas keberagamaan Islam yang bersifat Inklusif terbuka, bukan aspek legal formal yang lebih menonjolkan ekslusifitas tertutup.
Pada situasi sekarang ini, tidak ada satupun kekuasaan spiritual, criteria objektif, karya yang dimuliakan, yang memungkinkan untuk menentukan secara tegas Islam yang sebenarnya. Ini berarti bahwa segala masalah teologis yang ditelaah oleh Ulama zaman dahulu harus dibuka kembali dan ditelaah kembali sesuai dengan perubahan cara memandang yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, tantangan kalam dan teologi Islam kontemporer adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keagamaan, kemiskinan structural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi dalam agama apapun yang hanya berbicara tentang Tuhan dan tidak mengaitkan diskursusnya dengan persoalan kemanusiaan universal, maka urusan teologinya lambat laun akan terjadi out of date.
Dengan melihat orientasi baru kalam, baik dari visi maupun metode, maka semakin tampak kelemahan-kelemahan kalam yang selama ini kita pelajari. Dari sisi visi, tradisi keilmuwan Islam klasik, khususnya kalam, sangat sarat diwarnai oleh interes-interes politik. Sehubungan dengan teologi Islam atau Kalam sudah tidak dapat dipisahkan dari dominasi kekuasaan politik, maka esensi dan substansi pemikiran ketuhanan yang termanifestasikan dalam etika social dan spiritualitas keberagamaan kurang mendapat porsi yang menggigit dalam tradisi keilmuwan kalam.
Padahal pemikiran kama sebenarnya lebih kaya nuansa daripada hanya didominasi konspirasi politik. Begitupun kajian-kajian kita tentang aliran-aliran kalam, tampak sekali kurang nuansa pemikran sejarah dan pendekatan social. Dua pendekatan ini penting digunakan sebagai telaah kritik terhadap aliran-aliran kalam untuk memungkinkan munculnya muatan baru kekalaman yang lebih kontemporer. Di Indonesia, ada upaya pengembangan teologi Islam klasik sesuai dengan konteks zamannya, sekalipun baru individual, belum menjadi rumusan teologi yang dapat diseppakati atau menjadi paradigm keilmuan kalam kontemporer.
BAB IIIPENUTUP
KESIMPULAN
pengalaman Islam dalam konteks sejarah, baik masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang tidak dapat dipisahkan, terlebih karena prinsip-prinsip Islam yang bersumber pada Al-Quran yang memiliki konsistensi dan universalitas dalam pesan-pesannya.Tokoh penting dalam perkembangan kalam kontemporer antara lain :Ismail Al-faruki, Hasan hanafi, H.M Rasyidi, Harun Nasution.
DAFTAR PUSTAKAAnwar, Rosihon. 2011. Ilmu Kalam. Pustaka Setia: BandungGhazali, Adang Muchtar. 2005. Perkembangan Ilmu Kalam. CV. Pustaka Setia: Bandung
Diberdayakan oleh Terjemahan
MAKALAH TOKOH ILMU KALAM KONTEMPORER "FAZLUR RAHMAN"
BAB IPENDHULUAN
A. LATAR BELAKANGIlmu kalam biasa di sebut dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu
tauhid, fiqih al-akbar, teologi islam.[1][1] Oleh sebab itu sangatlah wajar kalau terjadi banyak sekali perbedaan dalam pemikiran tokoh-tokoh ilmu kalam, baik itu dari tokoh ilmu kalam klasik, modern, ataupun tokoh ilmu kalam kontemporer.
Sehingga dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang beberapa materi dari tokoh ilmu kalam kontemporer khususnya tenttang Fazlur Rahman, baik itu biograpinya, pemikiranya dan lain-lain.
B. RUMUSAN MASALAH1. jelaskan biograpi Fazlur Rahman2. sebutkan pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman3. bagaiman karakteristik pemikiran fazlur rahman4. sebutkan karya-karya Fazlur Rahman
BAB IIPEMBAHASAN
A. Biografi Fazlur RahmanFazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu derah yang
sekarang terletak di barat laut Pakistan. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius.
Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.[2][2]
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang
bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab.
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar berbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu. Penguasaan berbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran berbagai literatur.[3][3]
Dan pada saat berumur 32 tahun Fazlur Rahman meraih gelar dotornya, di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat.
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah.
Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman
mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal, kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.
Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan.[4][4]
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam. Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya, yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara. Dari konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.
Selama kurang lebih 18 tahun menetap di Chicago, rahman telah menampilkan sebagai pigur pemikir modern yang bertanggung jawab dan senantiasa berfikir untuk mencari solusi-solusi dari problema yang dihadapi islam dan umatnya. Ada sejumlah buku yang berhasil dia tulis dan puluhan artikel lainnya yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasionala. Itulah sebagai peninggalnnya yang smpai kini pemikiran-pemikirannya masih terus di kaji banyak kalangan. Pada tanggal 26 juli 1998, setelah lama terserang dibetes, Fazlur Rahma meninggal dunia.[5][5]
B. POKOK-POKOK PEMIKIRAN FAZLUR RAHMANFazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari
kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain.Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :
a. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an.
b. Seseorang harus mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.
c. Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah.
d. Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.[6][6]
C. KARAKTERISTIK PEMIKIRANNYA Perlu di kemukakan bahwa konsep teologi Fzlur Rahman bukan merupakan kajian
tersendiri yang di tulis dalam suatu karya khusus, tetapi lebih merupkan refleksi pemikiran sebgai hasil dari proses dialetika berfikirnya. Memang dalam beberpa buku dan sejumlah artikel yang di tulis, Rahman sering membicarakan doktrin-doktrin teologi yang pernah di kembangkan oleh aliran-aliran terdahlu dan kemudian dia mengkritisinya sehingga dri sinilah dpat di lacak pola-pola pemikiran teologi rahman.[7][7]
Jadi karakteristik pemikiran Fazluz Rahman adalah dalam pemikiran teologi-teologi terdahulu sejauh hal-hal yang positif harus di pertahankan dan sebaliknya terhadap doktrin-doktrinnya yang kuran lurus dan tidak dapat di ketemukan akar-akarnya dalam ajaran Qur’an, maka perlu di rekonstruksi. Hal demikian tidak lain mengingat sebuah sistem teologi bis saja secar logiskoheren, namun bisa juga sama sekali palsu terhadp agama yang di katakayna sebagai di rumuskannya. Dari sinilah upaya rekonstruksiteologi di anggap penting.[8][8]
Dan salah satu karakeristik pemikiranya juga adalah bahwa manusia dengan kekuatan moralnya, tema tentang ketuhanan dan alam semesta sekan hanya bagianpelengkap dari tema besar moralitas manusia, krena tujuan sentrala agama tidak lain adalahmembentuk pribadi manusia yang luhur dan bermoral.[9][9]
D. KARYA-KARYA FAZLUR RAHMANKarya-karya yang mula di tulis, selain disertai doktralnya tentang Ibnu sina adalah teks
terjemahan ke dalam bahasa inggris di karya monumental IbnuSIna kitab an-Najat denagn judul Avicenna’s psychology (1952). Beberapa tahun kemudian Rahman menyunting karya Ibnu Sina lainnya Kitab An-Nafs dan di terbitkan dengan judul Avicenna’s De Anima (1959).
Karya lain menjelang tahun 1960-an adalah propechy in Islam: philosophy Ortodoxy and (1956), Islamic Methodology in History (1965), Major Themes Of The Qur’an (1980), Islam and Modernitiy; Transpormation of an Intllectual Tradition (1982).[10][10]
BAB III
PENUTUPA. KESIMPULAN
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.
Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain.
[1][1] Abdul razak dan rosihun anwar, ilmu kalam, CV. Pustaka setia, Bandung, 2001,hal.13[2][2] Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz, Teologi islam modern, Gitamedia Press, Surabaya, 1999, hal 133[3][3] Ibid, hal.134[4][4] Ibid, hal.138[5][5] Ibid, hal.137[6][6] Fazlur Rahaman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal.6-9[7][7] Muktafi Fahal dan Ahamad Amir Aziz, Teologi islam…..hal.139[8][8] Ibid, hal.142[9][9] Ibid, hal.154[10][10] Ibid, hal.137-139
http://forendy.blogspot.com/2012/10/makalah-tokoh-ilmu-kalam-kontemporer.html