s pkim 055548 bab 2 -...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Nabati Sebagai Bahan Baku Biofuel
Biofuel atau disebut juga bahan bakar hayati merupakan bahan bakar
yang bersumber pada biomassa. Dimana biomassa merupakan bahan biologis
hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Biomassa
yang dapat digunakan sebagai bahan bakar diantaranya kelapa sawit, biji
mahoni, jarak pagar, dan kanola. Persamaan dari semua bahan baku biofuel
tersebut adalah terkandungnya minyak yang merupakan suatu trigliserida
dengan asam lemak tertentu.
Adapun sebagai contoh, minyak kelapa sawit sebagai salah satu bahan
baku minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku biofuel. Minyak
kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak
inti kelapa sawit (palm kernel oil) dengan hasil sampingnya bungkil inti kelapa
sawit (palm kernel meal atau pellet) yang merupakan inti kelapa sawit, dengan
komposisi asam lemak yang tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit (Sukiwanto, Nurhadi. 1988).
Asam lemak Minyak kelapa sawit (%) Minyak inti sawit (%)
Asam kaprilat - 3-4 Asam kaproat - 3-7 Asam laurat - 46 – 52 Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17 Asam palmitat 40 – 46 6,5 - 9 Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 1,25 Asam oleat 39 – 45 13 – 19 Asam linoleat 7 – 11 0,5 - 2
7
Asam lemak adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat
tinggi (rantai C lebih dari 6). Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak
jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan
tunggal di antara atom-atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak
jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan rangkap di antara atom-atom karbon
penyusunnya (Wijanarko, Anondho. 2006).
Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi
sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27° Celsius).
Semakin panjang rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga
semakin sukar larut.
Beberapa aturan penamaan dan simbol telah dibuat untuk
menunjukkan karakteristik suatu asam lemak. Nama sistematik dibuat untuk
menunjukkan banyaknya atom C yang menyusunnya (lihat asam alkanoat).
Angka di depan nama menunjukkan posisi ikatan ganda setelah atom pada
posisi tersebut. Contoh: asam 9-dekanoat, adalah asam dengan 10 atom C dan
satu ikatan ganda setelah atom C ke-9 dari pangkal (gugus karboksil). Nama
lebih lengkap diberikan dengan memberi tanda delta (∆) di depan bilangan
posisi ikatan ganda. Contoh: asam ∆9-dekanoat. Simbol C diikuti angka
menunjukkan banyaknya atom C yang menyusunnya; angka di belakang titik
dua menunjukkan banyaknya ikatan ganda di antara rantai C-nya). Contoh:
C18:1, berarti asam lemak berantai C sebanyak 18 dengan satu ikatan ganda.
Lambang omega (ω) menunjukkan posisi ikatan ganda dihitung dari ujung
(atom C gugus metil).
8
Dengan struktur yang dapat dianalogiskan dengan hidrokarbon pada
umumnya, asam lemak yang tergabung dan membentuk trigliserida pada
minyak nabati dapat dijadikan sebagai bahan dasar biofuel melalui reaksi
hydrocracking. Yaitu suatu mekanisme gabungan atau kombinasi antara
perengkahan dengan katalis dan hidrogenasi untuk menghasilkan senyawa
yang jenuh. Reaksi tersebut dilakukan pada tekanan tinggi.
Adapun persamaan reaksi hidrogenasi trigliserida dengan
menggunakan katalis adalah sebagai berikut :
Propil yang menghubungkan tiga asam lemak akan di-cracking
menjadi propana, sedangkan rantai karbon yang membentuk gliserida akan di-
cracking menjadi alkana yang sesuai dengan jumlah karbon yang terkandung di
dalamnya (Hardian, Rifan. 2008).
Keuntungan dari proses hydrocracking trigliserida dengan
menggunakan katalis ini, dapat menghasilkan berbagai jenis alkana cair yang
H2
O C – R
O
HC
C H2 O
R – C
O
C H2
O
R – C
O
(Linnaila, 2005 ; Hubber, 2007)
katalis
H2
R’ – CH2 – CH3 + H2O
R’ – CH3 + CO + H2O
CH3 – CH2 – CH3 (propana)
R’ – CH3 + CO2
3 H2
katalis
Gambar 2.1. Jalur Reaksi Konversi Trigliserida Menjadi Alkana
9
dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar, maupun untuk aplikasi yang
lain. Alkana cair yang dihasilkan akan bergantung dari jenis trigliserida yang
digunakan sebagai bahan baku. Keuntungan lain menggunakan metode
hydrocracking ini adalah terdapatnya kesesuaian antara infrastruktur yang
digunakan dengan infrastruktur yang ada pada industri kilang minyak pada
umumnya, sehingga berpeluang untuk dapat memanfaatkan industri kilang
minyak yang telah ada sebelumnya tanpa harus harus berinvestasi besar pada
infrastrukturnya (Huber, 2007).
2.2 Reaksi Hydrocracking
Hydrocracking merupakan kombinasi antara cracking dan hidrogenasi
untuk menghasilkan senyawa yang jenuh. Reaksi tersebut dilakukan pada
tekanan tinggi dan suhu yang lebih rendah daripada thermal cracking.
Keuntungan lain dari hydrocracking ini adalah bahwa reaksi berlangsung
bertahap, mulai dari hidrogenasi hingga dilanjutkan proses cracking.
Cracking merupakan reaksi pemutusan ikatan tunggal antar C-C yang
melibatkan katalis. Katalis yang digunakan biasanya berupa padatan asam
semisal zeolit atau silika alumina. Reaksi ini terjadi melalui mekanisme
perengkahan ion karbonium. Mula-mula katalis yang bersifat asam
menambahkan proton ke molekul olevin atau menarik ion hidrida dari alkana
sehingga menyebabkan terbentuknya ion karbonium:
10
Secara umum, reaksi perengkahan menggunakan katalis padatan asam ini
melibatkan l tahapan reaksi, yaitu:
1. Reaksi Inisiasi
Reaksi dimana satu buah molekul terpecah menjadi dua radikal bebas.
2. Abstraksi Hidrogen
Reaksi dimana radikal bebas tersebut melepaskan atom hidrogen dari
molekul yang lain, sehingga menjadi netral sedangkan molekul lainnya
menjadi radikal bebas.
3. Dekomposisi Radikal
Reaksi dimana radikal bebas terpecah menjadi dua molekul, yaitu alkena
dan radikal bebas yang lebih kecil.
4. Adisi Radikal
Reaksi kebalikan dari abstraksi hidrogen, dimana radikal bebas bereaksi
dengan alkena untuk membentuk radikal bebas yang lebih besar. Berkat
reaksi ini, memungkinkan terjadinya reaksi siklisasi.
5. Reaksi Terminasi
Reaksi ini merupakan reaksi penutup dari rangkaian reaksi cracking, karena
pada reaksi ini radikal-radikal bebas akan saling bereaksi sehingga
menghasilkan produk yang tidak radikal.
Hidrogenasi adalah reaksi adisi hidrogen (H2) pada gugus etilenik atau
ikatan rangkap. Reaksi hidrogenasi ini dilakukan dengan menggunakan gas
hidrogen dan penambahan serbuk nikel sebagai katalis. Kegunaan reaksi
11
hidrogenasi adalah untuk menjenuhkan ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal
pada rantai karbonnya.
Laju hidrogenasi tergantung pada temperatur, jenis bahan yang
dihidrogenasi, aktivitas katalis, konsentrasi katalis, dan laju alir gas hidrogen
dipermukaan katalis. Agar hidrogenasi dapat berlangsung, gas hidrogen, bahan
yang akan dihidrogenasi, dan katalis padat harus ada pada temperatur yang
sesuai.
Reaksi hidrogenasi pada umumya menggunakan logam-logam transisi
sebagai katalis. Pemilihan logam sebagai katalis disesuaikan pada senyawa
yang akan direduksi dan kondisi reaksi hidrogenasinya. Aktivitas dan
selektivitas logam sebagai katalis sangat berhubungan dengan struktur dan
komposisi logamnya.
Logam-logam seperti platina, nikel, palladium, dan molibdenum
merupakan jenis katalis yang sering digunakan untuk reaksi hidrogenasi.
Namun karena harga platina dan paladium yang sangat mahal, maka
penggunaan nikel akan lebih menguntungkan.
Katalis nikel mampu mengadsorpsi gas hidrogen pada permukaannya
saja dan mengaktifkan ikatan hidrogen-hidrogennya, sehingga gas hidrogen
menjadi lebih mudah bereaksi. Semakin luas permukaan logam katalis, maka
akan semakin banyak gas hidrogen yang diserap (gambar 2.2). Demikian pula
dengan semakin besar luas permukaan, maka kontak yang terjadi antara zat-zat
yang bereaksi juga bertambah banyak, sehingga kecepatan reaksi juga
bertambah besar pula (Hart, 2004).
12
Gambar 2.2 Mekanisme Katalisis Heterogen Pada Reaksi Hidrogenasi Ikatan Rangkap Pada Etena, (Rifan Hardian, 2008)
Pada proses hidrogenasi ini, katalis berfungsi untuk mengganggu
kestabilan hidrogen sehingga mudah terdisosiasi menjadi ion H radikal. Katalis
nikel paling banyak digunakan karena kereaktifannya besar
(Pd>Ni>Co>Fe>Cu), dan tidak mudah mengalami perubahan (Gerhartz, 1986).
2.3 Peran Katalis dalam Proses Hydrocracking
2.3.1 Reaksi Katalitik Katalis
Katalis merupakan suatu zat yang dapat meningkatkan kecepatan
reaksi terhadap suatu kesetimbangan tanpa adanya zat katalis yang dikonsumsi,
setelah proses selesai katalis dapat diperoleh kembali (Satterfield, 1991).
13
Meskipun suatu katalis tidak mengalami perubahan di akhir reaksi, bukan
berarti katalis tidak memiliki andil dalam reaksi tersebut. Pada kenyataannya,
suatu katalis berpartisipasi aktif dalam raksi, hanya saja pada akhir reaksi
katalis tersebut dibentuk kembali (Smith, 1981).
Konsep energi akivasi menyatakan bahwa keberadaan suatu katalis
dalam mekanisme katalisa akan menurunkan energi aktivasi. Katalis efektif
meningkatkan laju reaksi karena memungkinkan terjadinya mekanisme
alternatif yang pada satu tahapannya memiliki energi aktivasi yang lebih
rendah dibandingkan proses tanpa katalis (Smith, 1981).
2.3.2 Sifat Katalis
Untuk mendapatkan suatu katalis yang baik maka harus diperhatikan
beberapa faktor, diantaranya:
1. Aktivitas, yaitu kemampuan katalis untuk mengonversikan reaktan
menjadi produk yang diinginkan.
2. Selektivitas, yaitu kemampuan mempercepat suatu reaksi diantara
beberapa reaksi yang berlangsung dengan demikian yang akan diperoleh
adalah produk yang diinginkan dan produk samping yang dihasilkan dapat
ditekan seminimal mungkin.
3. Kestabilan, yaitu lamanya katalis memiliki aktivitas dan selektivitas pada
keadaan seperti semula. Untuk memperoleh katalis yang memiliki
kestabilan yang tinggi, diantaranya katalis harus bersifat tahan terhadap
racun, perlakuan panas, dan erosi.
14
4. Kemudahan regenerasi, suatu katalis akan menurun baik aktivitas maupun
selektivitasnya setelah diguakan pada beberapa reaksi. Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya racun katalis yang menutupi sebagian sisi aktif
katalis, seperti misalnya dengan adanya kokas atau arang.
Untuk memenuhi sifat-sifat katalis, umumnya katalis dibentuk oleh
beberapa komponen yaitu (Othmer, 1993):
1. Penyangga (Support Material)
Komponen utama dari katalis yang biasa digunakan adalah
penyangga. Sebagian besar penyangga berupa benda padat kuat yang dapat
dibuat dengan berbagai macam bidang permukaan dan juga berbagai
macampenyebaran ukukuran pori.
Sifat padatan yang dipertimbangkan dalam pemilihan penyangga:
a. Kekuatan mekanik (keras dan tahan korosi)
b. Kestabilan pada rentang kondisi reaksi dan regenerasi.
c. Luas permukaan yang cukup luas untuk katalis
d. Porositas yang cukup banyak.
e. Harga yang tidak terlalu mahal
2. Pengikat (Binder)
Untuk mendapatkan katalis dengan kekuatan fisik yang kuat, maka
perlu ditambahkan suatu bahan yang disebut sebagai pengikat. Bahan pengikat
yang umum digunakan adalah suatu mineral tanah liat seperti kaolinit.
15
3. Promotor
Pada kebanyakan industri, katalis yang digunakan mengandung
promotor, dan umumnya berupa promotor kimia. Promotor kimia digunakan
dalam jumlah kecil dan promotor tersebut mempengaruhi kimia permukaan.
Fungsi promotor dapat meningkatkan aktivitas, selektivitas, dan kestabilan
katalis. Promotor digunakan dalam jumlah yang relatif sedikit pada katalis.
Bahan yang digunakan sebagai promotor diantaranya CaO dan K2O.
4. Fasa Aktif
Fasa aktif adalah pengemban fungsi utama katalis, yaitu mempercepat
dan mengarahkan reaksi. Fasa akif yang banyak digunakan pada umumnya
beripa metal, oksida logam, maupun sulfida metal. Kadang-kadang material ini
digunakan secara luas pada permukaan sebuah penyangga dan persentasi metal
sebagai fasa aktif tersebut mungkin saja hanya sekitar 1%.
2.3.3 Penggolongan Katalis
Secara umum katalis dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu:
1. Katalis Homogen
Katalis homogen adalah katalis yang berada pada fasa yang sama
dengan reaktannya, sehingga sukar dipisahkan dari media reaksi. Katalis
homogen hanya digunakan pada industri yang menghasilkan produk tertentu.
Pada tekanan yang tinggi katalis homogen dapat digunakan pada beberapa
aplikasi, seperti alkilasi propilen tetramer dengan benzen.
16
2. Katalis Heterogen
Katalis heterogen adalah katalis yang mempunyai fasa yang berbeda
dengan reaktannya. Persyaratan dari suatu katalis heterogen adalah bahwa
pereaksi gas diadsorpsi oleh katalis. Pada umumnya katalis heterogen
berbentuk padatan dan memiliki permukaan metal aktif. Pada proses
hydrocracking yang komersial, bahan-bahan yang digunakan sebagai bahan
aktif adalah nikel, molibdenum, kobal, dan lain sebagainya.
2.3.4 Perlakuan Terhadap Katalis
Aktivitas katalis berlangsung pada sisi aktif katalis, yang berupa inti
metal aktif katalis. Aktivitas metal murni sebagai inti metal aktif pada
permukaan katalis heterogen lebih tinggi dibanding dengan oksida metal atau
metal sulfida.
Inti metal aktif katalis dapat rusak atau menurun aktivitasnya apabila:
1. Luas permukaan inti metal berkurang karena penggabungan inti-inti metal
tersebut.
2. Permukaan inti metal tertutup oleh racun seperti sulfur.
3. Inti metal bereaksi dan bersatu dengan logam lain, misalnya Ni + Pb.
Selektivitas katalis dapat dipengaruhi oleh luas permukaan katalis,
ukuran pori katalis, dan perubahan kondisi reaksi. Selektivitas pada reaksi
hidrogenasi akan meningkat jika terjadi isomerisasi ikatan rantai rangkap dari
cis ke trans.
17
2.3.5 Pembuatan Katalis
Tujuan utama dari suatu metode preparasi adalah untuk
mendistribusikan fasa aktif (metal) dengan cara yang paling efisien (misalnya
dalam bentuk terdispersi, yaitu untuk memperoleh luas permukaan spesifik
yang besar dan juga aktivitas maksimum persatuan berat dari senyawa aktif).
Pada permukaan padatan penyangga (Figueras, 1988).
Secara garis besar, pembuatan katalis yang banyak digunakam adalah
metode impregnasi dan metode presipitasi (moulijn, 1993).
1. Proses pembuatan katalis dengan metode impregnasi
Menurut teknik pembuatannya, preparasi katalis dengan metode
impregnasi dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Impregnasi Basah
Pada metode ini penyangga dibasahi dengan sejumlah larutan yang
mengandung senyawa logam yang sesuai dengan volume pori-pori penyangga,
setelah itu dikeringkan. Keuntungan cara ini adalah proses pembuatannya
sederhana, murah, dan pemuatan logam dapat dilakukan berulang kali.
Sedangkan kelemahannya adalah jumlah logam yang terimpregnasi sangat
tergantung pada kelarutan senyawa logam tersebut.
b. Impregnasi Rendam
Pada metode ini penyangga dicelupkan dalam suatu larutan senyawa
logam. Larutan diaduk selama beberapa waktu tertentu, disaring, dan hasilnya
dikeringkan. Sedangkan cairan induknya dapat dimanfaatkan kembali. Cara ini
sering digunakan pada jenis prekursor yang berinteraksi dengan penyangga.
18
Secara industri, proses ini lebih mahal karena produktivitasnya rendah dan
sistem daur ulang cairan induknya cukup rumit.
2. Proses pembuatan katalis dengan metode Presipitasi
Secara umum prosedur presipitasi adalah mengontakkan larutan
garam logam dengan larutan alkali, ammonium hidroksida atau natrium
karbonat untuk mengendapkan logam hidroksida atau logam karbonat. Dasar
pemilihan senyawa yang akan digunakan dalam metode presipitasi berdasarkan
pada kemudahan perolehannya dan sifat kelarutannya dalam air.
2.3.6 Katalis Nikel
Katalis nikel, mempunyai aktivitas dan selektivitas yang baik dalam
suatu reaksi. Fasa aktif katalis nikel tidak memiliki permukaan yang luas
sehingga dalam bentuk butiran yang besar tidak seluruh pusat aktifnya dapat
mengadakan kontak dengan reaktan. Pada keadaan ini fasa aktif perlu
ditebarkan di permukaan padatan penyangga berpermukaan luas dengan tujuan:
1. Memperluas permukaan kontak antara fasa aktif dengan reaktan.
2. Keaktifan katalis persatuan berat fasa aktif meningkat.
3. Fasa aktif yang biasanya mahal dapat dihemat.
Tahap-tahap katalis ditinjau dari pergerakan molekul didalam
prosesnya adalah:
1. Perpindahan massa reaktan, yaitu transportasi reaktan ke permukaan
katalis.
2. Difusi pori, yaitu transportasi reaktan melalui pori katalis.
19
3. Adsorpsi reaktan pada pusat aktif di permukaan katalis.
4. Reaksi tidak hanya berlangsung pada permukaan, melainkan juga pada
permukaan yang terbentuk dari pori-pori katalis.
5. Desorspsi produk dari permukaan katalis.
6. Difusi produk keluar pori yaitu transportasi produk melalui permukaan
luar katalis.
7. Transportasi produk (perpindahan massa produk)
Adapun fungsi katalis dalam suatu reaksi kimia adalah:
1. Mempercepat jalannya reaksi.
2. Menurunkan energi aktivasi
3. Mengarahkan produk yang dihasilkan, sehingga dapat meminimalkan
produk samping.
2.4. Bentonit Sebagai Material Penyangga Katalis
Bentonit adalah nama dagang untuk jenis lempung yang mengandung
mineral monmorilonit antara 65-85 %. Sehingga bentonit juga dikenal dengan
sebutan monmorillonit. Sedangkan sisa umumnya merupakan campuran dari
mineral-mineral pengotor seperti kuarsa, kristobalit, feldspar, dan mineral-
mineral lempung lain, tergantung pada daerah geologisnya. Menurut kamus
geologi, bentonit adalah endapan karang yang dibentuk dari perubahan tempat
dari abu vulkanis, komposisi terbesar dari tanah liat monmorillonit yang pada
umumnya mempunyai kemampuan cukup besar untuk menyerap air, juga
dipakai secara komersil dalam cairan drilling, katalis, cat, dan sebagainya.
20
2.4.1. Karakteristik Bentonit
Berdasarkan proses terbentuknya di alam, bentonit dibagi menjadi dua
golongan, yaitu :
1. Natrium Bentonit (Swelling Bentonite)
Bentonit jenis ini mempunyai kandungan kation Na+
relatif lebih
banyak dibandingkan dengan kandungan kation Ca2+
dan Mg2+
, selain itu
bentonit ini juga memiliki sifat mengembang apabila terkena air, dan memiliki
pH 7,5- 8,5. Bentonit jenis Na banyak digunakan sebagai adsorben, pencampur
pembuatan cat, perekat pasir cetak dalam industri pengecoran dan sebagainya.
2. Kalsium Bentonit (Non Swelling Bentonite)
Bentonit jenis ini memiliki kandungan kation Ca2+
dan Mg2+
yang
relatif lebih banyak dibandingkan kandungan kation Na+-nya, mempunyai sifat
sedikit menyerap air, dan bila didespersikan ke dalam air akan cepat
mengendap (tidak membentuk suspensi), serta memiliki pH 4 -7. Ca-bentonit
digunakan untuk bahan cat warna dan sebagai bahan perekat pasir cetak.
(Sukandarrumidi, 1999). Perbedaan dan perbandingan sifat-sifat lainnya antara
Na-bentonit dengan Ca-bentonit dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2. Sifat-sifat Na-bentonit dan Ca-Bentonit
Sifat fisik Na Bentonit Ca Bentonit Daya mengembang Baik Kurang baik
Kekuatan tekan Sedang Baik pH (keasaman) 7,5 – 8,5 (basa) 4-7 (asam)
Daya tahan panas Kurang baik Baik Daya alir Kurang baik Baik Daya ikat Cepat Sedang
(Sukaandarrumidi, 1999)
21
Karakteristik bentonit ditinjau dari kegunaannya dibedakan menjadi
dua (Mulyadi, 1992), yaitu:
1. Bentonit sebagai adsorben
Kristal bentonit berkemampuan menyerap sejumlah molekul yang
berukuran lebih kecil dari pori-porinya dan memiliki bentuk geometri yang
tepat. Ukuran pori-pori tersebut merupakan sifat unik dari bentonit.
(Rouquorol, Fraincoise. 1999).
2. Bentonit sebagai penukar kation
Bentonit juga dapat memiliki kemampuan untuk berikatan dengan
anion-anion dan kation-kation. Proses pertukaran ion adalah proses
penggantian ion-ion dengan suatu anion atau kation yang lain. Ion-ion yang
ditukar berada di sekeliling bagian luar lapisan alumina silika dari struktur
mineral bentonit tanpa mempengaruhi struktur dari bentonit itu sendiri.
Kemampuan menukar ion pada bentonit tidak hanya ditentukan oleh
jenis dan jumlah ion, tetapi juga oleh gerakan kisi-kisi kristal monmorillonit.
Sifat bentonit sangat tergantung pada dominasi pertukaran ion. Bentonit dapat
digunakan untuk penghilangan ion Pb, Cd, Cu, Zn dari suatu larutan (Inel et
al., 1997). Kemampuan bentonit dalam mengadsorpsi logam berat ini juga
memungkinkan untuk terjadinya proses interkalasi terhadap bentonit.
Untuk meningkatkan kemampuan daya tukar ionnya, bentonit harus
diaktivasi melalui modifikasi dengan asam agar porositas, luas permukaan dan
keasamannya meningkat.
22
2.4.2. Komposisi dan Struktur Bentonit
Bentonit memiliki komposisi berbeda-beda satu sama lainnya,
tergantug pada letak dimana bentonit tersebut ditemukan. Sebagai contoh,
bentonit dimana Na bentonit menjadi elemen mineral utama biasanya
mempunyai kapasitas pengembangan yang tinggi. Na bentonit tersebut banyak
terdapat di South Dakota, Wyoming. Sedangkan jika bentonit dimana Ca
bentonit menjadi elemen utama, maka bentonit tersebut akan memiliki
kapasitas pengembangan yang relatif rendah. Ca bentonit ini banyak terdapat di
Texas dan Mississippi. Jika bentonit dianggap belum mengalami distribusi
apapun pada ksi-kisinya maka bentonit dirumuskan dengan (Mg,Ca)
O.Al2O3.5SiO2.nH2O.
Struktur bentonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua
silikon oksida tetrahedral dan satu aluminium oksida oktahedral. Pada
tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur.
Empat ikatan silikon terkadang disubstitusi oleh tiga ikatan aluminium. Pada
oktahedral, atom aluminium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau
gugus-gugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al3+ dapat
digantikan oleh Mg2+, Fe2+, Zn2+, Ni+, Li+, dan katiion lainnya. Substitusi
isomorphous dari Al3+ untuk Si4+ pada tetrahedral dan Mg2+ dan Zn2+ untuk
Al 3+ pada oktahedral menghasilkan muatan negatif pada permukaan lempung.
Hal ini diimbangi dengan adsorpsi kation di lapisan interlayer.
23
Gambar 2.3 Struktur monmorillonit
2.4.3. Proses Interkalasi Bentonit
Interkalasi adalah suatu penyisipan spesies tamu (ion, atom, atau
molekul) ke dalam antarlapis senyawa berstruktur lapis. Schubert (2002)
mendefinisikan interkalasi adalah suatu penyisipan suatu spesies pada ruang
antarlapis dari padatan dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya.
Atom-atom atau molekul-molekul yang akan disisipkan disebut sebagai
interkalan, sedangkan yang merupakan tempat yang akan dimasuki atom-atom
atau molekul-molekul disebut sebagai interkalat. Metode ini akan memperbesar
pori material, karena interkalan akan mendorong lapisan atau membuka antar
lapisan untuk mengembang. Interkalan yang digunakan dapat berupa zat
organik, logam oksida, maupun ion keggin.
24
Menurut ogawa dan Rusman (1999), mekanisme pembentukan
interkalasi dapat dikelompokan menjadi lima golongan, yaitu :
1. Senyawa interkalasi yang terbentuk dari pertukaran kation
Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk dari pertukaran kation tamu
dengan kation yang menyetimbangkan muatan lapis. Jumlah kation tamu
yang dapat terinterkalasi tergantung pada jumlah muatan yang terkandung
pada lapisan bahan inang. Lempung terpilar adalah salah satu contoh
senyawa terinterkalasi yang diperoleh dari pertukaran kation. Spesies tamu
dalam hal ini berperan sebagai pilar yang akan membuka lapisan-lapisan
lempung.
2. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol dan pembentukan
ikatan hidrogen.
Senyawa terinterkalasi jenis ini terbentuk jika spesies tuan rumah (host)
bersifat isolator dan tidak memiliki muatan permukaan. Interaksi antara
spesies tamu dan lapisan spesies tuan rumah hanya berupa interaksi dipol
dan ikatan hidrogen, oleh karena itu jenis interkalasi ini tidak stabil dan
senyawa yang terinterkalasi ini dengan mudah dapat digantikan.
3. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari interaksi dipol antara spesies tamu
dan ion-ion di dalam antar lapis.
Senyawa interkalasi jenis ini dapat terjadi melalui pertukaran molekul-
molekul solven. Pertukaran tersebut terjadi antara molekul-molekul solven
yang mensolvasi ion-ion dalam antarlapis dengan molekul-molekul tamu.
Hal tersebut terjadi, jika molekul tamu mempunyai polaritas yang tinggi.
25
Pada material lempung, molekul monomer dapat terinterkalasi melalui
penggantian dengan molekul air.
4. Senyawa interkalasi yang dibentuk dengan ikatan hidrogen
Bila dibandingkan dengan senyawa interkalasi yang lain, maka spesies tamu
akan terikat lebih kuat di dalam spesies induk, sehingga deinterkalasi lebih
sulit terjadi.
5. Senyawa interkalasi yang dibentuk dari transfer muatan
Senyawa interkalasi yang terbentuk jika lapisan bahan induk bersifat
konduktif. Reaksi interkalasinya dapat dinyatakan sebagai berikut :
xA+ + xe
- + [Z] A
+x[Z]
x-
xA- + [Z] Ax
-[Z]
x+ + e
-
dimana A adalah ion tamu dan Z adalah spesies induk.
2.4.4. Bentonit Terpilar Sebagai Katalis
Kemampuan katalis bentonit, selektif terhadap bentuk dan ukuran zat
yang terlibat pada reaksinya. Bentonit yang terinterkalasi adalah jenis bahan
yang didalamnya terdapat distribusi mikropori yang lebih homogen dengan
lubang-lubang pori yang bervariasi menurut jenis-jenis pilar yang ada.
Fenomena dasar yang digunakan dalam pembuatan bentonit termodifikasi
adalah pertukaran ion dari kation-kation yang terdapat pada bentonit yang
dilakukan oleh spesies-spesies kationik yang berfungsi sebagai penyangga agar
struktur interlayernya tetap stabil. Ukuran pori dalam struktur yang ideal
26
ditentukan oleh ukuran pilar-pilar dan ruang-ruang di antara pilar yang ada di
dalam lapisan (gambar 2.4) (Augutine, 1996).
Gambar 2.4. (a). struktur lapisan bentonit sebelum pilarisasi
(b). struktur lapisan bentonit setelah pilarisasi
Reaksi yang terjadi pada bentonit termodofikasi adalah pertukaran
kation. Kemudian dapat diprediksi bahwa faktor-faktor kimia dan fisika akan
mempengaruhi derajat pertukaran kation-kation yang ada di dalam partikel
bentonit. Faktor-faktor tersebut adalah konsentrasi dan pH larutan, keberadaan
kation lain, dan batasan difuskational. Proses pertukaran kation tersebut
digambarkan sebagai sebuah kompetisi yang terjadi diantara kation-kation
tersebut dan kation-kation yang ada di dalam bentonit. Selektifikas pertukaran
kation tergantung pada muatan dan ukuran kation (Figueras, 1988).
Pada suhu 105 0C air yang terserap oleh bentonit akan hilang, dan
pada suhu 650 0C gugus hidroksilnya hilang. Akibat hilangnya gugus hidroksil,
maka struktur bentonit akan mejadi tidak beraturan. Sehingga perlu dilakukan
suatu mekanisme tertentu yang dapat mempertahankan kestabilan struktur dari
bentonit ini.
Metode pilarisasi dapat digunakan untuk untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan menggantikan air dan kation dengan suatu kation lain
27
yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih baik sehingga secara keseluruhan
bentonit ini akan memiliki kestabilan suhu yang lebih baik. Metode pilarisasi
ini melibatkan perubahan kation-kation dalam stukturnya (Sutha Negara, I. M.
2008). Pilarisasi dihasilkan dengan mengontakkan antara bentonit dengan
larutan ion keggin. Larutan ion keggin merupakan suatu polioksokation yang
berfungsi untuk membentuk reaksi awal yang diperkirakan akan menggantikan
kationnya dengan suatu agen pemilar, semisal Al3+, Ni2+, Mo6+. dan sebagainya
(Katdare, 1999).
2.5 Pilarisasi Bentonit
Langkah pertama pada proses pemilaran adalah mempreparasi agen
pemilarnya. Pada pembuatan polioksokation Ni, metode yang biasa digunakan
adalah pencampuran larutan prekursor Ni ke dalam suatu larutan basa pada
larutan sehingga terhidrolisis dan membentuk suatu polioksokation.
Gambar 2.5. Skema interkalasi dan pilarisasi
28
Langkah selanjutnya adalah mencampurkan suspensi lempung ke
dalam larutan polioksokation. Hal ini memungkinkan kation interlayer pada
lempung bertukar dengan polioksokation pada larutan melalui reaksi
pertukaran kation atau interkalasi (Gil dan Gandfa, 2000). Setelah proses
interkalasi selesai dilanjutkan dengan proses pemanasan interkalat (pada suhu
kalsinasi, 500-6500C) hingga menghasilkan pilar, dan proses ini lebih dikenal
dengan proses pilarisasi. Sifat struktur terpilar yang stabil ini sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lempung yang digunakan, kondisi
pencampuran dan pengeringan, dan polioksokation yang digunakan.
2.6 Rancangan Reaktor Batch Sebagai Tempat Berlangsungnya Reaksi
Hydrocracking
Batch reactor merupakan reaktor yang dirancang dengan sistem
tertutup, sehingga tidak terjadi aliran zat-zat dari luar kedalam reaktor, maupun
sebaliknya. Semua zat yang akan direaksikan berada didalam tanki reaktor
(Coker, A. Kayode. 2001).
29
Gambar 2.6. Rancangan Reaktor Batch
Kelebihan dari reaktor batch ini, diantaranya adalah :
a. untuk reaksi gas, membutuhkan konsumsi gas yang lebih sedikit.
b. waktu kontak antara zat-zat yang bereaksi lebih lama sehingga reaksi dapat
berlangsung lebih efektif.
c. Tidak adanya aliran gas membuat penggunaan reaktor batch ini relatif
lebih aman dari reaktor tipe flow.
(Rifan Hardian, 2008)
2.7 Penelitian Terkait Sebelumnya
Pada jurnalnya, Bayu Arifianto dan Setiadi (2007) menjelaskan
metode perengkahan molekul trigliserida minyak kelapa sawit menjadi
hidrokarbon fraksi gasoline menggunakan katalis B2O3/Al2O3. Perengkahan
dilakukan di dalam reaktor fixed bed dengan tekanan 1,5 atm, dan temperatur
reaksi 350 – 5000C dan laju alir 10 ml/menit. Katalis Al2O3 dengan
penambahan 5–25% B2O3 digunakan untuk mempelajari pengaruh temperatur,
30
jenis umpan, dan penambahan B2O3 terhadap yield fraksi bensin yang
dihasilkan. Jenis umpan yang digunakan adalah minyak sawit, minyak sawit
hasi oksidasi, Palm Oil Methyl Ester (POME), dan minyak sawit yang
ditambahkan metanol. Temperatur optimum dicapai pada temperatur 4500C
dengan yield 58% menggunakan umpan POME dan 21% dengan umpan
minyak yang ditambah metanol, dengan katalis 10% B2O3/ Al2O3. Hasil fraksi
menurun seiring dengan penambahan B2O3 diatas 10%.
D. Setiawan memaparkan dalam jurnalnya bahwa konversi dilakukan
dengan menggunakan reaktor sistem flow fixed bed dan katalis Ni/zeolit serta
alkohol sebagai inisiator. Sebelum direaksikan dengan katalis, minyak jelantah
ditambahkan terlebih dahulu dengan natrium metoksida sehingga menjadi metil
ester minyak goreng jelantah (MEWCO). Dengan suhu reaksi 350-4500C,
dihasilkan fraksi gasoline dan diesel, dengan persen konversi mencapai
50,43%. Kondisi optimum katalis dalam menghasilkan fraksi solar adalah pada
suhu 400 dan 4500C dengan menghasilkan 36,08% fraksi solar, sedangkan
untuk fraksi bensin membutuhkan suhu 4500C dengan persentase 27,50%.
Pertamina dalam seminar hydrocracking process technology di Dumai
pada tahun 2000 menuturkan bahwa pengilangan minyak sekunder di
Pertamina dilakukan secara kimia, yaitu melalui hydrocracking. Dengan
menggunakan katalis berbahan dasar NiMo berpenyangga alumina silika
termodofikasi pada suhu reaksi 350-450 0C dengan tekanan reaksi mencapai
175 kg/cm2.