rubrik parenting majalah hidayatullah

7
JANUARI 2017/RABIUL TSANI 1438 67 Jendela Keluarga celah sebut, lebih banyak perempuan di- banding laki-laki. Analisa survei men- duga penyebab keinginan bunuh diri ini dipicu krisis komunikasi dengan orangtua atau keluarga. Dari perta- nyaan yang diberikan, beberapa ja- waban murid mengaku selalu merasa sendiri, kesepian, dan punya tekanan mental, bahkan ingin bunuh diri. Relasi dan keharmonisan antara orangtua dan anak memegang peran penting bagi perkembangan dan ke- sehatan mental anak. Pemicunya bisa antara ayah dengan anak atau ibu dengan anak. Pada kasus di atas, pe- nyebab utama adalah hubungan ibu dengan anak. Kehidupan di zaman sekarang dengan segala tuntutan dan kompetisi yang tinggi sering menjadi penyebab para ibu berperan ganda. Seorang istri sangat mulia jika turut membantu suami menopang kebutuhan keluarga. Namun, pastikan bahwa pekerjaan itu tidak menelantarkan kesehatan mental diri sendiri dan berdampak pada anak. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa orangtua yang mengalami depresi berpeluang tiga kali lipat untuk menghasilkan anak-anak yang juga mudah depresi dan rentan terhadap tekanan psikis serta fisik lainnya. Oleh karena itu, bagi para ibu, tiga hal penting ini ha- rus diperhatikan. Pertama, pastikan pekerjaan yang se- suai dengan perintah Allah Ta’ala. Kedua, pekerjaan yang digeluti adalah pekerjaan yang disukai. Capek karena melakukan yang kita sukai, akan menimbulkan rasa puas dan bahagia. Ketiga, ikhlas melakukannya. Banyak ibu yang mera- sa jadi korban dalam keluarga harus mengerjakan pe- kerjaan rumah tangga sekaligus mencari nafkah. Hal ini memicu depresi sehingga berdampak buruk bagi kese- hatan mental anak-anaknya. Penulis buku Serial Cata- tan Parenting Anak dari Surga Menuju Surga S eorang kakak perempuan berusia remaja mengajak berdialog pada adik laki- lakinya, yang terpaut dua tahun usianya. Yang diba- has adalah tentang masalah yang di- alaminya. Si kakak bertanya, “Apakah adik pernah merasa ingin bunuh diri?” Jawaban si adik sangat menga- getkan, “Gue pernah masukin pistol ke mulut, tinggal narik pelatuk, gue udah good bye.” Si kakak mengira selama ini hanya dirinya yang memiliki pikiran seperti itu. Ternyata orang lain juga. Kisah di atas terjadi di Indonesia. Di dalam keluarga yang tampak baik- baik saja. Orang luar tak akan mengira bahwa pikiran seperti itu ada di anak-anak tersebut. Lalu apa penyebab adik-kakak tersebut ingin bunuh diri? Ternyata masalahnya sama, yaitu ibunya. Mereka menganggap ibunya pemarah dan sering membentak. Menurut si kakak, ibunya bekerja. Namun, setiap pu- lang kerja sering mengeluh. Merasa capek sudah bekerja keras melakukan segalanya demi anak-anak. Ketika meli- hat perilaku anak yang tidak sesuai keinginannya, maka si ibu memarahi anak-anaknya. Ini membuat si anak me- rasa sedih, takut, bingung, dan serba salah. Para ibu mungkin berpikir, apakah anak-anak kita juga pernah punya pikiran seperti di atas? Mereka per- nah ingin pergi dari dunia ini karena kemarahan kita. Ada survei tentang bunuh diri pada murid di In- donesia yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pe- ngembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan. Hasilnya sebanyak 650 siswa SMP dan SMA di Indonesia punya keinginan bunuh diri. Survei tahun 2015 ini melibatkan 10.300 siswa sebagai sampel dari se- luruh provinsi di Indonesia. Dari 650 siswa yang punya keinginan bunuh diri ter- Kesehatan Mental Seorang Ibu OLEH IDA S. WIDAYANTI* FOTO: RIFAI FADHLY/SUARA HIDAYATULLAH

Upload: majalah-hidayatullah

Post on 15-Apr-2017

42 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2017/RABIUL TSANI 1438 67

JendelaKeluarga

celah

sebut, lebih banyak perempuan di­banding laki­laki. Ana lisa survei men­du ga penyebab keinginan bunuh diri ini dipicu krisis komunikasi de ngan orangtua atau ke luarga. Dari per ta­nya an yang diberikan, beberapa ja­wa ban murid mengaku selalu merasa sendiri, ke sepian, dan punya tekanan mental, bah kan ingin bunuh diri.

Relasi dan keharmonisan antara orang tua dan anak me megang peran pen ting bagi perkembangan dan ke­se hatan mental anak. Pemicunya bisa antara ayah dengan anak atau ibu dengan anak. Pada kasus di atas, pe­nye bab utama adalah hubungan ibu de ngan anak.

Kehidupan di zaman sekarang de ngan segala tun tutan dan kompetisi yang tinggi sering menjadi pe nye bab para ibu berperan gan da. Seorang istri sangat mulia jika turut membantu sua mi menopang kebutuhan ke luar ga. Namun, pastikan bah wa pekerjaan itu tidak me ne lan tarkan kesehatan men tal diri sendiri dan berdampak pa da anak.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa orangtua yang mengalami depresi berpeluang tiga kali lipat untuk menghasilkan anak­anak yang juga mudah depresi dan rentan terhadap tekanan psikis serta fisik lainnya.

Oleh karena itu, bagi para ibu, tiga hal penting ini ha­rus diperhatikan. Pertama, pastikan pekerjaan yang se­suai dengan perintah Allah Ta’ala.

Kedua, pekerjaan yang digeluti adalah pekerjaan yang disukai. Capek karena melakukan yang kita sukai, akan me nim bulkan rasa puas dan bahagia.

Ketiga, ikhlas melakukannya. Banyak ibu yang mera­sa jadi korban dalam keluarga harus mengerjakan pe­ker jaan rumah tangga sekaligus mencari nafkah. Hal ini memicu depresi sehingga berdampak buruk bagi ke se­hatan mental anak­anaknya. Penulis buku Serial Ca ta­tan Pa renting Anak dari Surga Menuju Surga

S eorang kakak perempuan ber usia remaja me ngajak ber dialog pada adik laki­la kinya, yang ter paut dua tahun usia nya. Yang di ba­

has ada lah ten tang masalah yang di­ala minya.

Si kakak bertanya, “Apakah adik per nah me ra sa ingin bunuh diri?”

Jawaban si adik sangat me nga­get kan, “Gue pernah ma sukin pistol ke mu lut, tinggal narik pelatuk, gue udah good bye.”

Si kakak mengira selama ini hanya dirinya yang me mi liki pikiran seperti itu. Ternyata orang lain juga.

Kisah di atas terjadi di Indonesia. Di dalam keluarga yang tampak baik­baik saja. Orang luar tak akan mengira bah wa pikiran seperti itu ada di anak­anak tersebut.

Lalu apa penyebab adik­kakak tersebut ingin bunuh diri? Ternyata masalahnya sama, yaitu ibunya. Mereka menganggap ibunya pemarah dan sering membentak.

Menurut si kakak, ibunya bekerja. Namun, setiap pu­lang kerja sering mengeluh. Merasa capek sudah bekerja ke ras melakukan segalanya demi anak­anak. Ketika me li­hat perilaku anak yang tidak sesuai keinginannya, maka si ibu memarahi anak­anaknya. Ini membuat si anak me­ra sa sedih, takut, bingung, dan serba salah.

Para ibu mungkin berpikir, apakah anak­anak kita juga pernah punya pikiran seperti di atas? Mereka per­nah ingin pergi dari dunia ini karena kemarahan kita.

Ada survei tentang bunuh diri pada murid di In­do nesia yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pe­ngem bangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Ke se hatan. Hasilnya sebanyak 650 siswa SMP dan SMA di Indonesia punya keinginan bunuh diri. Survei tahun 2015 ini melibatkan 10.300 siswa sebagai sampel dari se­lu ruh provinsi di Indonesia.

Dari 650 siswa yang punya keinginan bunuh diri ter ­

Kesehatan Mental Seorang IbuOleh Ida S. WIdayantI*

fOTO

: RIf

AI f

AD

HLY

/Su

ARA

HID

AYAT

uLL

AH

Page 2: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

tarbiyah

godaan dari lingkungan saya berada.”“Setelah tumbuh dewasa,

saya mengetahui sebabnya, yaitu pengalaman saya menyaksikan ibu berwudhu, shalat, dan shaum sangat berbekas di hati sehingga saya menyukai untuk melakukannya. Pengalaman juga bahwa doa-doa, shalat, dan shaum saya lihat dan dengar dari ibu, diterima oleh jiwa dan fitrah yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia. Ya Allah, ampunilah kedua orangtua saya dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya di waktu kecil.”

AnAk, Peniru ulungSegala gerak-gerik orangtua dalam

menapaki hari-hari di tengah keluarga akan mendapat pengamatan dari buah hatinya. Tak hanya mengamati, ternyata anak juga meniru segala sesuatu yang diamatinya.

Demikianlah cara belajar anak-anak kita. Dalam kebersamaannya dengan orangtua, mereka akan belajar tentang kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh, perilaku, norma, keyakinan agama, prinsip dan nilai-nilai luhur. Seorang anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan orangtuanya. Tidak hanya dalam hal yang terkait dengan perilaku dan emosi, bahkan selera makan pun si anak akan mengikuti.

Mildred Horodynski, peneliti dari Michigan, Amerika Serikat, mengatakan bahwa sesuatu yang dimakan oleh anak-anak mencerminkan pola makan ibunya. Apabila ibu tidak suka makan

sayur dan buah-buahan, anak juga mengikuti kebiasaan itu.

Supaya anak mencintai makanan sehat, ibu atau ayahnya hendaknya tak hanya menghidangkan, tapi juga bersama-sama memakannya. Bila orangtua mencoba sesuatu makanan, anak akan tertarik mencobanya juga.

Karena anak adalah peniru ulung, maka orangtua patut berhati-hati dalam bertutur kata, bersikap, dan bertindak. Kesalahan yang diperbuat orangtua akan menjadi pengetahuan dan pada akhirnya si anak akan melakukan kesalahan yang sama.

Sabda Rasulullah di bawah ini patut untuk kita renungi:

“Barang siapa memulai dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik, maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk, maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang mengikutinya setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun.” (Riwayat Muslim No 1016).

TelAdAn kebAikAnOrangtua semestinya tak hanya

pintar memerintah, tapi harus cerdas memberi uswatun hasanah. Ada beberapa keteladanan yang mesti dibangun oleh setiap orangtua ketika membersamai anak-anak, di antaranya:

Pertama, taat kepada Allah .

Pakar parenting dari Madinah al-Munawwarah, Khalid Ahmad asy-Syantut, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Daurul-Bait

fii Tarbiyatil-Athfalil-Muslim berkisah tentang masa kecilnya.

“Ketika kecil saya menghafal doa ini, ‘Dengan kuasa-Mu ya Allah, aku bangun di Shubuh ini, dan hanya milik-Mu-lah segala kerajaan. Segala puji bagi Allah, tiada Tuhan selain Allah, bagi-Nya segala kerajaan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, putihkanlah wajahku ketika menghadap-Mu. Ya Allah, berikanlah catatan amalku dengan tangan kananku dan jadikanlah Muhammad sebagai syafaatku di hari kiamat. Ya Allah, permudahlah urusanku ketika menghadap-Mu dan jadikanlah beserta kesulitan ada kemudahan. Ya Allah, teguhkanlah aku dan orang tuaku pada jalan-Mu yang lurus.’”

“Doa-doa ini saya hafal sejak usia empat tahun, meski tiada seorangpun yang mengajarkan. Saya hanya mendengar ketika ibu membacanya. Semoga Allah memberi pahala kepada ibu atas doa yang saya hafal sepanjang hidup, begitu juga semua anak-anak.”

“Sejak kecil saya selalu terpanggil untuk melakukan wudhu, shalat, dan shaum, walau tidak diperintah oleh seorangpun. Dari lubuk hati yang paling dalam, seolah-olah ada dorongan yang kuat untuk melakukannya. Dan saya selalu berhasil menghadapi godaan-

Dahsyatnya Keteladanan

Page 3: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2017/RABIUL TSANI 1438 69

Jendela keluarga

ini, bahkan dianggap biasa, bisa jadi semua ini karena bermula dari sikap dusta yang dibiasakan dari lingkungan keluarga. Anak-anak ketika dewasa terbiasa melakukannya.

Rasulullah mengingatkan agar orangtua tidak berdusta, misalnya ketika berjanji hendak memberikan sesuatu. “Barangsiapa yang mengatakan kepada seorang anak kecil, ‘Kemarilah aku beri sesuatu’ namun dia tidak memberinya, maka itu adalah sesuatu kedustaan.” (Riwayat Ahmad).

Ketiga, beradab Islami. Tempat un tuk mendidik adab yang paling baik ada lah keluarga. Di sinilah anak-anak per tama kali belajar. Orangtua adalah guru pertama, sebelum anak belajar kepada guru di sekolahnya.

Orangtua perlu meneladankan adab sejak anak usia dini. Misalnya adab ketika berbicara kepada orangtua, guru, teman sebaya, maupun teman yang di bawah usianya. Juga adab ketika ma kan, minum, belajar di majelis ilmu, dan lainnya.

Sungguh memprihatikan melihat anak di zaman ini yang krisis adab. Me-reka tak canggung berbicara kasar mes-ki kepada orangtuanya sendiri. Me reka meremehkan dan tak sopan di ma jelis ilmu. Agar krisis adab ini tak te rus-menerus menimpa generasi ini, ma ka kiranya setiap orangtua mesti me ne la-dankan adab yang Islami sejak dini.

Keempat, cinta ilmu. Hal ini bisa ditempuh dengan melazimkan beriteraksi dengan buku, hadir di majelis ilmu, atau membuat perpustakaan keluarga. Dengan begitu diharapkan anak akan tumbuh kecintaan terhadap ilmu.

Rasanya sulit generasi ini menjadi ahli ilmu, jikalau dari lingkungan keluarga tidak terbangun suasana keilmuan. Untuk itu, orangtua berperan penting dalam mendorong putra-putrinya untuk terus bersemangat dalam belajar. Dan sebelum memerintahkan hal itu, orangtua perlu menjadi teladan dalam hal semangat menuntut ilmu. Masrokan/Suara Hidayatullah

Teladankan cinta ibadah dan patuh pa da syariah. Dengan demikian, anak akan senang dan ringan untuk ber iba dah dan melaksanakan syariah. Sung guh sikap yang tak tepat bila orang tua mengharapkan anak-anaknya men-jadi ahli ibadah dan taat syariah tapi orangtua sendiri justru jauh dari ke bia-saan itu.

Contoh keteladan ibadah adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah seperti dikisahkan oleh Ibnu Abbas RA:

“Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, Nabi Muhammad biasa bangun untuk shalat malam. Suatu

FOTO

: RIF

A’I F

AD

HLY

/SU

ARA

HID

AYAT

ULL

AH

malam, Nabi bangun, kemudian berwudhu dengan wudhu yang ringan dengan kendi yang digantung. Setelah itu, beliau shalat. Aku pun berwudhu seperti berwudhu beliau. Kemudian aku berdiri di samping kiri beliau, namun beliau menarikku dan meletakkanku di samping kanan beliau. Kemudian beliau shalat beberapa rakaat...” (Riwayat Bukhari).

Kedua, tampilkanlah kejujuran. Bila anak menyaksikan kedustaan, maka besar kemungkinan si anak akan menirunya. Patut menjadi renungan, ketika kedustaan merajalela di zaman

Page 4: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70

mar’ah

“Assalamu‘alaikum Mbak.”“Wa‘alaikum salam wa

rahmatullahi wa barakatuh. Ada apa dik, kok kelihatan panik?”

“Iya, suamiku suka betul makan pakai sambel. Pekan lalu minta dibuatkan sambel kacang, kemarin sambel tomat, dan tadi pesan agar dibuatkan sambel terasi. Aku bingung gimana cara membuat sambel terasi?”

“Alhamdulillah, bagus kalau suamimu seperti itu.”

“kok, bagus?”“Iya, itu artinya kepercayaan dan

kesempatan untuk menyenangkan hati suami. sungguh pahala besar bagi istri yang bisa membahagiakan suaminya.”

***

P engalaman seperti di atas biasa dialami oleh pasangan yang baru menikah. Terkadang yang sudah lama juga merasakan. Sebenarnya

tidak ada masalah ketika seorang istri memahami tentang mulianya tugas memasak untuk suami. Oleh karena itu, penting bagi seorang istri membekali diri dan meningkatkan keterampilannya dalam memasak.

Memasak merupakan pekerjaan rutin harian dan tidak pernah berhenti, bahkan sehari bisa tiga kali. Peran itu sejak dulu sudah melekat pada seorang istri atau wanita.

Memang di era modern seperti

sekarang ini banyak tempat kuliner. Di rumah pun ada pembantu. Peralatan juga canggih, resep bisa dicari di internet. Seolah memasak menjadi hal yang ringan dan sepele. Ternyata kenyataannya tidak semudah itu.

Banyak wanita yang mengaku pintar memasak terkadang dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya dicicipi orang lain. Tidak sedikit istri yang bingung kalau ada tamu atau acara makan­makan di rumah, “Mau menu apa? Masak apa ya?”

Begitu pentingnya memasak, karena memang makan adalah kebutuhan primer. Tidak mungkin wisata kuliner terus atau selalu pesan

ADA BAU

sURGAdI dAPUR

Page 5: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2017/RABIUL TSANI 1438 71

Jendela keluarga

dan membutuhkan banyak biaya perawatan.

Oleh karena itu, istri harus memastikan bahwa makanan yang dimasak adalah halal dan thayyib. Hal ini amat berpengaruh pada ibadah seseorang.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Maka Allah berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik-baik dan beramallah dengan amalan yang shalih…” (Riwayat Muslim).

Kodrat, BuKan SeKadar BaKat

Hari ini banyak wanita yang termakan provokasi program emansipasi sehingga banyak istri yang lebih memilih meniti karier di luar rumah. Dengan berbagai dalih untuk aktualisasi diri, pengabdian kepada masyarakat atau membantu suami dianggap tak penting lagi.

Betapa ruginya yang berpikir bah­wa dapur bukanlah tempat wanita mo dern dalam berkarier. Banyak yang membuang kesempatan emas ini dan mem berikannya kepada pembantu atau katering. Padahal salah satu karir istri yang menjanjikan surga adalah di dapur.

Masakan yang disiapkan dengan penuh keikhlasan dan dedikasi dari istri akan menjadi sebab terwujudnya suasana sakinah, mawadah, rahmah, dan berkah. Sebaliknya, keretakan rumah tangga bisa saja bermula dari istri yang tidak pandai memasak.

Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar dan berlatih agar lihai memasak. Ini bukanlah soal bakat, tapi kodrat bagi seluruh wanita. Apalagi ada motivasi keimanan untuk membahagiakan suami. Tunggu apa lagi? Abdul Ghofar Hadi, Ketua Lembaga Pendidikan Pengkaderan Hidayatullah Balikpapan/Suara Hidayatullah

MeMAsAk AdAlAH IbAdAHDapur bukan hanya tempat

untuk meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Memasak bisa bernilai ibadah jika diniatkan untuk menyenangkan suami dan agar anggota keluarga bisa khusyu’ beribadah. Bahkan memasak bisa dikatagorikan wajib untuk menguatkan ibadah.

Memang istri akan repot dan kelelahan. Dari mulai mempersiapkan segala sesuatunya, perapian, peralatan, sampai bahan. Belum nanti jika sudah selesai harus membereskan semuanya. Namun kelelahan itu tidak ada yang sia­sia melainkan ada ganjaran berkah serta pahala.

Bunyi dentingan peralatan dapur, setiap keringat yang jatuh akibat panas kompor, atau terkadang tangan sedikit lecet. Sendok, garpu, pisau, panci, dan peralatan dapur yang tersentuh saat seorang istri memasak untuk suami dan keluarganya menjadi saksi cinta dan ketulusan. Oleh karena itu, memasak di dapur itu orientasinya harus akhirat. Dengan demikian, akan terasalah aroma surga.

dapur, awal KeSehatanAda yang mengatakan bahwa

“sehat dapat dimulai dari dapur”. Tampaknya tidak salah.

Jika seorang istri memiliki pengetahuan tentang bumbu, nutrisi, dan khasiat dari setiap bumbu dan bahan yang akan dimasak, maka makanan yang masuk ke dalam tubuh anggota keluarganya akan menjadi bekal kesehatan yang tidak ternilai harganya. Sementara makanan yang dibeli di warung atau restoran tidak bisa dijamin. Baik dari segi bumbu, perasa, pewarna, pengawet, dan berbagai bahan kimia buatan yang berbahaya bagi kesehatan.

Kesehatan sangat mahal. Gaya hidup serta pola makan sembarangan akibat malas memasak sendiri bisa mendatangkan malapetaka di kemudian hari. Ketika tua sakit­sakitan

katering. Memasak adalah bagian dari tugas istri yang berdimensi ibadah.

BumBu CintaIstri dengan keahliannya dalam

me masak akan membuat suaminya betah di rumah. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta se orang suami kepada istri atau sebagai per wujudan cinta seorang istri kepada suami.

Tentu sangat berbeda rasa masakan istri dengan koki restoran ternama. Mungkin sepertinya makanan di restoran lebih mewah, lezat, dan mahal, tapi sesungguhnya masakan istri di dapur jauh lebih nikmat karena ada keikhlasan bercampur doa dalam bumbu masaknya. Masakan istri berasa cinta, kasih sayang, penghormatan, pemuliaan, dan pelayanan yang bermula dari dasar hati.

Hendaknya istri memasak apa yang menjadi kesukaan suami dan anak­anak serta keluarga. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kepada Allah SWT. Cobalah tanya atau perhatikan makanan apa yang disukai dan yang tidak.

Makanan memang seringkali bukan untuk mengenyangkan atau semata pengisi perut. There’s love in the food. Orangtua dulu berpesan kepada anak perempuannya yang baru menikah, “Cinta suami bermula dari perut.” Konon banyak suami yang senang dimanjakan istri dengan masakan istimewa kesukaannya.

Ketekunan seorang istri dalam memberikan hidangan makanan yang memanjakan lidah, tidak hanya akan memuaskan suami. Lebih dari itu juga terbukti bisa menghidangkan kebahagiaan dalam rumah tangga.

Pada banyak hal, makanan terkadang mencerminkan rasa cinta pada orang­orang terkasih. Istri terkadang sudah merasa kenyang ketika melihat suami dan keluarga lahap menyantap masakannya.

Page 6: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72

kita untuk berubah. Jika ada komunitas kecil yang dapat dipercaya, saling terbuka dalam hal mendidik anak terhadap sesama anggota komunitas dan sekaligus saling menjaga rahasia dengan tidak menceritakan kepada orang lain, akan lebih bagus lagi.

Menjadi orangtua ideal memang luar biasa hebat. Tetapi banyak dari kita yang tidak bisa tiba-tiba ideal. Kita melakukan kesalahan, bahkan yang sangat tidak kita harapkan, dalam mengasuh anak-anak. Itu merupakan hal yang lumrah. Yang paling penting, hati kita harus tetap jernih; berusaha untuk senantiasa berbenah. Ingatlah perkataan yang ditulis oleh Hisham Attalib dan kawan-kawan tersebut, “Keep parenting lighthearted. Tell yourself that although we may commit ‘stupid’ mistakes innocently, you cannot spell ‘STUPID’ without U & I.”

Kerapkali kita mendengar nasehat baik yang kadang bikin orangtua justru serasa berputus asa; menguburkan cita-cita memiliki anak yang bahagia

Oleh MOhaMMad fauzil adhiM

kolom parenting

berlimpah kebaikan. Kita mendengar nasehat bijak yang mengatakan, “Kalau ingin mempunyai anak yang rakus membaca, kita sendiri yang lebih dulu harus rakus membaca. Kalau kita ingin mempunyai anak hafal al-Qur’an, kita sendiri harus hafal al-Qur’an. Kalau kita ingin mempunyai anak yang hebat, maka kita harus memantaskan diri dengan menjadi orangtua yang hebat.”

Kalimat di atas maksudnya barang-kali untuk memotivasi orangtua. Te tapi adakalanya justru membuat ciut nyali. Padahal kita melihat betapa banyak anak-anak hebat yang lahir dari keluarga buta huruf. Kita mendengar be tapa banyak anak-anak yang sangat ting gi keluhurannya, padahal salah satu atau kedua orangtuanya memiliki masa lalu yang kelam.

Lalu mengapa bisa demikian? Teladan berupa semangat, kecintaan, serta dorongan kepada kebaikan itu sama pentingnya dan bahkan bisa lebih penting daripada kebaikan itu sendiri, sebagaimana niat lebih menentukan

Menikmati Beban Mengeluh Kemudahan

P ada edisi lalu kita telah berbincang tentang bagaimana orangtua yang berpengaruh. Sekarang kita akan membahas

bahwa mengasuh anak itu merupakan perjalanan panjang. Parenting is a journey, not travelling. Mengapa demikian?

Banyak yang ingin menjadi orangtua ideal, tetapi yang dilakukan saat mengasuh dan mendidik anak justru sering bikin kesal. Orangtua belajar banyak hal, tetapi rasanya jauh sekali dari kenyataan. Ingin sekali sabar, tetapi yang kerap keluar justru ekspresi gusar. Ingin sekali lembut, tetapi yang dirasakan oleh anak justru orangtua yang kerap bikin cemberut.

Jika sekiranya kita termasuk yang mengalami kondisi tersebut, mari kita buka buku Parent-Child Relations: A Guide to Raising Children (2013) karya Hi sham Attalib dan kawan-kawan. Buku ini menyarankan agar orangtua le bih sering bertemu dan berbagi de-ngan orangtua lain yang lebih ber pe-nga laman.

Belajar dari orangtua sukses yang berpengalaman sangat bermanfaat untuk memberi gambaran kepada kita bagaimana menerapkan ilmu yang sudah kita miliki dalam mengasuh anak setiap hari. Pengalaman dan cara pandang kita bukan ada yang berbeda, dan itu sangat wajar, tetapi pengalaman mereka sangat bermanfaat bagi upaya

Kita perlu memperhatikan apakah anak telah merasa kita cintai atau belum. Ada anak yang sangat dicintai orangtua, tetapi ia tidak merasa dicintai atau bahkan merasa tidak dicintai orangtuanya.

(Bagian terakhir)

Page 7: RUBRIK PARENTING MAJALAH HIDAYATULLAH

JANUARI 2017/RABIUL TSANI 1438 73

Jendela keluarga

Ini dibangun dengan tiga hal: berbicara dengan qaulan sadiidan (bukan sekadar jujur), acuan nilai yang jelas, dan konsistensi terhadap nilai yang dipegangi dan diajarkannya.

Kualitas berikutnya yang harus dimiliki orangtua adalah respect (penghormatan) dari anak terhadapnya. Kita tidak dapat memerintahkan anak agar hormat dan menghargai kita. Penghormatan (hurmat, takzim) itu lahir dalam diri anak. Itu lebih baik daripada ketaatan.

Anak yang memiliki sikap takzim akan cenderung taat kepada orangtua, meskipun sedang tidak ada. Itu sebabnya, menyemai rasa hormat dalam diri anak terhadap orangtua merupakan hal yang sangat penting. Apa yang diperlukan?

Tiga hal, yaitu kedekatan orangtua dengan anak, perhatian dan kesungguhan orangtua menyayangi anak, serta komitmen orangtua terhadap kebenaran dan perbaikan diri. Khusus mengenai perhatian serta kesungguhan orangtua menyayangi anak, kita perlu memperhatikan apakah anak telah merasa kita cintai atau belum. Ada anak yang sangat dicintai orangtua, tetapi ia tidak merasa dicintai atau bahkan merasa tidak dicintai orangtuanya.

Jika dua hal ini ada pada orangtua, akan lebih mudah baginya untuk me-num buhkan penerimaan diri yang baik pada anak. Inilah bekal penting yang perlu kita perhatikan. Yang menjadikan bahagia itu bukan ketampanan atau dapat mencapai sesuatu yang tidak dapat diraih oleh orang lain, tetapi yang paling awal adalah menerima diri sendiri apa adanya, kemudian mensyukuri keadaan diri. Kita perlu menanamkan keinginan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap kebaikan, termasuk di dalamnya soal agama.

Sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya perbincangkan. Ini adalah sebagian hal-hal pokok yang perlu kita perhatikan sebagai orangtua, sebelum melangkah kepada aspek yang lebih praktis. FO

TO: R

IFA’

I FA

DH

LI/S

UA

RA H

IDAY

ATU

LLA

H

dibandingkan amal kita. Keinginan kuat orangtua kepada kebaikan, kemuliaan, dan kecemerlangan beserta kerinduan untuk berbenah dapat memberi pengaruh yang lebih besar dibandingkan kebaikan itu sendiri. Inilah pelajaran lain yang dapat kita petik dari buku Parent-Child Relations.

Jadi, kalau hari ini kita masih teramat jauh dari kriteria minimal sebagai orangtua yang baik, itu bukanlah pertanda kiamat. Ingatlah, mengasuh anak merupakan perjalanan panjang. Parenting is a journey, not travelling. Parenting adalah perjalanan panjang, bukan jalan-jalan.

Jika ada yang mengatakan, sekali berbuat salah selamanya tidak dapat kita perbaiki, maka ingatlah bahwa dia bukan Tuhan. Kita bukan ingin

memudah-mudahkan diri berbuat salah. Bukan pula meremehkan kesalahan. Tetapi kita perlu ingat bahwa jika Allah senantiasa membuka pintu kesempatan untuk berbenah bertaubat, maka apa hak manusia untuk menutup pintu perbaikan? Mengapa kita harus berputus asa?

Kualitas OrangtuaKecakapan berkomunikasi dengan

anak adalah hal yang sangat penting. Tetapi ada yang jauh lebih penting, yak ni seberapa besar orangtua memiliki trus-twor thiness (kepatutan untuk di per caya).

Anak yang betul-betul tsiqah (percaya) kepada orangtuanya akan lebih mudah menerima nasehat, lebih mendengarkan perkataan orangtua.