ritme listrik jantung penyebab henti jantung

5
Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu pulseless ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric activity (PEA), dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung tidak dapat memompa untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-penyebab terjadinya henti jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai the H’s dan the T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia (hipovolemik), hydrogen ion/asidosis (asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T: Toxins (racun), tamponade jantung, tension pneumothorax, thrombosis pulmonary, thrombosis coronary. Meski jantung berhenti, penderita belum lah dikatakan meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk mendapatkan kembali sirkulasi darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan circulation (ROSC). Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin berkurang seiring dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus segera dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga. Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada dan pemberian ventilasi dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status infeksi pasien tidak diketahui sehingga penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit saat melakukan pemberian napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit- menit awal terjadinya henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien masih memiliki cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak lebih terbatasi oleh karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen dalam arteri. Bahkan, jika penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan untuk tidak perlu diberikan pada menit-menit awal henti jantung. Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam satu menit. Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul Staying Alive

Upload: hyoluro

Post on 05-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

FV, PEA, ASISTOL

TRANSCRIPT

Page 1: Ritme Listrik Jantung Penyebab Henti Jantung

Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu

pulseless ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric

activity (PEA), dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung

tidak dapat memompa untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-

penyebab terjadinya henti jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris

disebut sebagai the H’s dan  the T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia

(hipovolemik), hydrogen ion/asidosis (asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T:

Toxins (racun), tamponade jantung, tension pneumothorax, thrombosis pulmonary,

thrombosis coronary. Meski jantung berhenti, penderita belum lah dikatakan

meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk mendapatkan kembali sirkulasi

darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan circulation (ROSC).

Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin berkurang seiring

dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus segera

dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga.

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera

dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada

dan pemberian ventilasi dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan

kompresi dada sebanyak 30 kali, kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas

buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status infeksi pasien tidak diketahui sehingga

penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit saat melakukan pemberian

napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit-menit awal terjadinya

henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien masih

memiliki cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak

lebih terbatasi oleh karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen

dalam arteri. Bahkan, jika penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan

untuk tidak perlu diberikan pada menit-menit awal henti jantung.

Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam

satu menit. Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul

Staying Alive sehingga untuk mempermudah dalam melakukan kompresi dada

sebanyak 100x per menit, banyak praktisi kesehatan yang melakukan kompresi

dada sembari membayangkan lagu tersebut. RJP tidak boleh mengalami interupsi.

Berhentinya RJP secara sementara hanya boleh dilakukan saat menilai ritme

jantung (dengan EKG atau monitor jantung), melakukan shock dengan defibrilator

pada kasus VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis (dilakukan jika ritme

jantung teratur sudah terdeteksi), atau saat melakukan pemasanganadvanced

airway (alat untuk membantu mempertahankan jalan napas tetap terbuka, seperti

endotracheal tube atau supraglotic airway). Saat pergantian penolong (bisa karena

kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal mungkin.

Page 2: Ritme Listrik Jantung Penyebab Henti Jantung

Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya

diberikan sebanyak dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali

setiap menit. Jadi, pemberian ventilasi (dengan bagging) dilakukan setiap 6 hingga 8

detik.  Namun, perlu diperhatikan bahwa ventilasi tidak boleh dilakukan secara

berlebihan. Pada saat RJP, perfusi sistemik dan paru berkurang sehingga hubungan

perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga dengan ventilasi yang jauh lebih rendah

daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian ventilasi, tekanan dalam rongga

dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung terhambat padahal

yang sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-organ

penting.

Selain interupsi minimal, kecepatan kompresi dada minimal 100x/menit, hindari

ventilasi berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah

kedalaman yang cukup saat melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa

dan 3 cm pada anak), dan membiarkan dada mengalami complete recoil atau

relaksasi secara sempurna setiap kali kompresi dada. Untuk kedalaman yang cukup

serta efektifitas tenaga, kita tidak mengandalkan kekuatan lengan melainkan

menggunakan berat badan kita dalam melakukan kompresi dada. Posisi lengan

lurus, tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan diatas tangan kiri.

Kemudian, kita mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan melalui

lengan kita menuju dada penderita.

Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain

menjalankan RJP yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan

survival adalah defibrilator. Oleh karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian

defibrilator terintegrasi dalam siklus RJP. Selain itu, meskipun pada awal

pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme jantung pasien PEA atau asystole,

defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung dapat mengalami evolusi.

Bagaimana algoritma penatalaksanaan henti jantung pada

dewasa?

Situasi di luar rumah sakit: Pada saat melihat korban tidak sadarkan diri, pastikan

bahwa korban tidak sadar seperti dengan mengguncang-guncang bahu dan

memanggil namanya (atau dengan panggilan umum seperti pak, bu, mas, dsb).

Panggil pertolongan sesegera mungkin bahwa ada korban tidak sadarkan diri.

Amankan lingkungan sekitar, jangan sampai penolong dan korban justru mengalami

bahaya lain, misalnya korban tidak sadar di tengah jalan sehingga ada bahaya dari

kendaraan yang lewat. Cek pulsasi karotis. Jika tidak ada nadi teraba, segera

lakukan kompresi dada. Minta bantuan pada orang di sekitar untuk meminta

Page 3: Ritme Listrik Jantung Penyebab Henti Jantung

pertolongan medis (menelepon ambulans atau RS). RJP dilakukan hingga ada

orang yang lebih kompeten atau ambulans datang.

Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban

diberikan oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah

monitor siap, lakukan pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat

dilakukan shock dengan defibrilator atau tidak. Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme

listrik jantung PEA atau asistol, RJP dilanjutkan kembali selama dua menit. Sembari

melakukan RJP, jika belum dipasang, akses intravena dipasang. Pertimbangkan

juga untuk melakukan pemasangan advanced airway (endotracheal tube atau

supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali pengecekan ritme yang

ditampilkan pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan.

Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg.

Namun, untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4

menit, yaitu tiap kali dua sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak

dapat dishock memang hanya RJP yang berkualitas ditambah dengan pemberian

epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan sampai pasien ROSC atau memenuhi

kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak ada, epinefrin dapat diganti

dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi, penyebab dari

henti jantung juga perlu dicari dan ditangani.

Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, segera lakukan shock

dengan defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan

monofasik. Pada bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi

pembuat alat,misalnya dosis inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi

maksimal yang mungkin. Jika alat monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J.

Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit,

sembari melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan

kembali pemeriksaan ritme jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator

kembali dilakukan. Epinefrin 1 mg diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada

kasus PEA atau asistol. Tiap kali shock dengan defibrilator selesai dilakukan, RJP

dilanjutkan selama dua menit.  Setelah tiga kali shock dengan defibrilator dilakukan

korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat dilakukan dengan dosis 300 mg,

bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah 2 kali shock lagi

setelah pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat diberikan

sebesar 150 mg, bolus. Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali

itu saja. Jika tidak ada amiodarone, lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis

inisial adalah 1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau pulseless VT, dapat

Page 4: Ritme Listrik Jantung Penyebab Henti Jantung

ditambahkan dosis 0.5-0.75 mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10 menit

hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB.

Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT atau VF. Jika

ritme berubah menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja

yang dilakukan. Jika epinefrin, vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara

intravena karena aksesnya tidak bisa didapatkan, pemberian dapat dilakukan

melalui endotracheal tube. Dosis optimal pemberian obat melalui ETT belum

diketahui secara pasti, tetapi dosis yang diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali

pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan dalam air steril atau normal

saline 5-10 cc.

Reference:Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010; 122:S729-S767