penatalaksanaan cedera kepala setelah resusitasi dari henti jantung
DESCRIPTION
vcvcvcvvTRANSCRIPT
Journal reading
Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi dari
Henti Jantung
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Anestesiologi
Fakultas Kedokteran Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh
Disusun Oleh :
Naili rahmi (1207101030107)
Hafni Cia Masyitah (1107101030204)
Silvira Putri (1107101030214)
Denny Muchtar ( 1407101030185)
Pembimbing:
dr. Azwar Sp.An
BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RSUD Dr. ZAINOEL ABIDINBANDA ACEH
FEBRUARI, 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Adapun tugas Journal reading ini berjudul “Penatalaksanaan Cedera
Kepala Setelah Resusitasi dari Henti Jantung “ Diajukan Sebagai Salah Satu
Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF
ANESTESIOLOGI Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya
kepada dr. Azwar Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan
dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Banda Aceh, Februari 2015
Penulis
Fisiologi Jantung
Sistem Konduksi Jantung
Otot jantung hanya mengandung sedikit myofibril dan tersebar di seluruh
jantung. Daerah ini memulai dan mendistribusikan impuls melalui miokardium,
yang terdiri dari system konduksi jantung yang mengkoordinasikan siklus jantung.
Nodus sinoatrial merupakan jaringan khusus di bawah epikardium, di atrium
kanan. Terletak dekat pembukaan vena kava superior, dengan serat yang
bersambung dengan syncytium atrium. Sel-sel SA node dapat mencapai ambang
sendiri, memulai impuls melalui miokardium, merangsang kontraksi dari serat
otot jantung. Aktivitas berirama yang terjadi 70 sampai 80 kali per menit pada
orang dewasa normal. Karena menghasilkan kontraksi ritmik jantung, sering
disebut sebagai pacu jantung.1
Jalan impuls jantung perjalanan dari SA node ke syncytium atrium, dan
atrium mulai kontrak hamper bersamaan. Impuls melewati sepanjang serat
junctional dari system konduksi ke nodus atrioventrikular (AV node), yang
terletak diseptum interatrial rendah, di bawah endocardium. Selanjutnya, impuls
tersebut melewati berkas his lalu memasuki serabut purkinje. Serat Purkinje,
memperluas keotot-otot papiler. Stimulasi serat Purkinje menyebabkan dinding
ventrikel berkontraksi dalam memutar sebuah gerak, untuk memaksa darah ke
dalam aorta dan batang paru.1
Fungsi Jantung
Bilik jantung dikoordinasikan sehingga gerakan antara atrium dan
ventrikel efektif. Atrium berkontraksi dan ventrikel relaksasi setelah itu atrium
relaksasi dan ventrikel berkontraksi disebut sebagai satu siklus jantung. Satu
siklus jantung menyebabkan tekanan di bilik jantung untuk naik dan turun dan
katup untuk membuka dan menutup. Awal selama diastole, tekanan dalam
ventrikel rendah, menyebabkan katup AV membuka dan ventrikel untuk mengisi
dengan darah. Hampir 70% kembali darah memasuki ventrikel sebelum kontraksi.
Sebagai kontrak atrium, 30% sisanya didorong ke dalam ventrikel. Sebagai
kontrak ventrikel, tekanan ventrikel meningkat. Ketika tekanan ventrikel melebihi
tekanan atrium, katup AV menutup dan otot papiler kontrak, mencegah katup dari
katup AV dari membesar ke atrium berlebihan. Selama kontraksi ventrikel, katup
AV tertutup, dan tekanan atrium rendah. Darah mengalir ke atrium sedangkan
ventrikel berkontraksi, sehingga atrium siap untuk siklus jantung berikutnya.2
Kontraksi jantung disebut sistol, dan relaksasi yang disebut diastol.
Tekanan darah sistolik adalah angka pertama dalam pembacaan tekanan darah,
mengukur kekuatan kontraksi. Tekanan darah diastolic adalah yang kedua nomor
dalam pembacaan tekanan darah, mengukur kekuatan relaksasi. Ventrikel kanan
tidak perlu memompa darah dengan sebanyak berlaku ventrikel kiri. Hal ini
terjadi karena ventrikel kanan memasok darah ke paru-paru dan di dekatnya
pembuluh paru yang luas dan relative singkat. Ini berarti bahwa dinding ventrikel
kanan lebih tipis dan kurang berotot dibandingkan ventrikel kiri, yang harus
memompa darah keseluruh tubuh.2
Aliran jantung berawal dari vena cava superior dan inferior yang masuk ke
atrium kanan lalu masuk ke dalam ventrikel kanan yang akan dipompakan ke
arteri pulmonalis dan dialirkan ke paru-paru dan akan kembali melalui vena
pulmonalis dan masuk ke dalam atrium kiri yang selanjutnya akan masuk ke
ventrikel kiri yang akan diedarkan keseluruh tubuh melalui aorta.3
Patofisiologi Cardiac arrest3
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Penyebab secara umum,
• Penyakit jantung dan pembuluh darah
• Kehilangan darah dan cairan secara cepat
• Suhu tubuh yang terlalu tinggi ataupun rendah
• Kadar kalium darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
• Kekurangan oksigen
• Paru-paru tertusuk
• Bekuan darah pada paru-paru atau arteri koroner
• Keracunan• Tamponade jantung
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab dari cardiac
arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen
keotot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah material yang
terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk
sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh
suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi
jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat system konduksi langsung
dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.4
2. Stress fisik.
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan system konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
sengatan listrik
kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan
asma yang berat
Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang
memiliki gangguan jantung.
Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.4
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga
ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang
lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk (struktur)
jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.4
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnya dapat
mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran
jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari
jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.4
5. Obat-obatan
Anti depresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan
adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh
dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan
tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada
laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.5
6. Tamponade jantung
Cairan yang terdapat dalam pericardium dapat mendesak jantung sehingga
tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga
mengakibatkan kematian.5
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.
Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan
dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan
ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava
superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.5
Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi dari Henti Jantung
Sekitar 460.000 kematian mendadak akibat penyakit jantung dari total
728.743 kematian yang berkaitan dengan jantung dilaporkan pada tahun 1999 di
Amerika Serikat [1]. Tiga puluh enam persen dari kematian mendadak adalah
henti jantung yang terjadi di rumah sakit (in-hospital cardiac arrest) dan 64% dari
henti jantung yang terjadi luar rumah sakit (out hospital cardiac arrest) [1].
Sekitar 18% pasien dipulangkan dalam keadaan selamat dari serangan henti
jantung yang terjadi rumah sakit [2,3], sementara hanya 2% sampai 9% pasien
yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit yang selamat untuk
dipulangkan [4-6]. Outcome fungsional dari pasien yang selamat bervariasi,
namun kualitas keselamatan yang buruk biasa terjadi [7], dengan hanya 3%
sampai 7% yang mampu kembeli ke tingkat fungsi semula [8].
Prevalensi koma atau kondisi vegetatif persisten diantara mereka yang
selamat memberikan beban yang sangat besar terhadap pasien, keluarga, dan
anggota pemberi pelayanan kesehatan serta sumber daya. Pengaruh ekonomi
akibat henti jantung merupakan subjek penelitian keefektipan biaya yang
membandingkan antara melanjutkan resusitasi jantung paru (RJP) versus
mengentikan RJP dan dukungan ventilasi setelah 3 hari. Perkiraan biaya tambahan
dari strategi pelayanan yang lebih agresif adalah $140.000 (1998 dolar) per
penyesuaian kualitas hidup tahunan atau quality adjusted life year (QALY) untuk
pasien yang berisiko tinggi (tiga atau lima faktor risiko, 93% dengan mortalitas 2-
bulan) dan $87.000/QALY untuk pasien dengan risiko rendah (tidak ada atau dua
faktor risiko, 49% mortalitas) [9]. Beban ekonomi dari pasien yang selamat
dengan cedera anoksia otak juga besar, dengan rehabilitasi pasien berlangsung
rata-rata 41,5 hari dan biayanya mencapai $44.181 dolar per pasien [10].
Mekanisme cedera neuronal setelah henti jantung
Selama sirkulasi total berhenti oksigenasi serebral pun menurun sehingga
mengakibatkan berkurangnya produksi ATP dan disfungsi dari membran pompa
Na-K yang sangat bergantung kepada ATP. Kehilangan berikutnya dari integritas
selular menimbulkan pelepasan glutamate, yang menyebabkan cedera eksitotoksik
[15] yang sebahagian besar diperantarai oleh reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) [16]. Neurotransmiter lainnya yang mengurangi eksitotoksisitas
glutamate , seperti glycine dan g-aminobutyric acid (GABA) yang berkurang
secara bersamaan [17]. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate mengawali
masuknya kalsium ke dalam ruang intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler
mengatifkan rangakaian second messengers, yang akan mengamplifikasi cedera
dengan meningkatkan permeabilitas kalisum dan pelepasan glutamate [18].
Peningkatan kalsium intaseluler juga meningkatkan radikal bebas dengan
menganggu rantai respirasi mitokohondria [18,19]. Selama reperfusi,
eksitotoksisitas dapat di tingkatkan dengan menyediakan oksigen sebagai subtrak
untuk beberapa reaksi oksidasi enzimatik yang memproduksi radikal bebas dalam
memprakarsai disfungsi mitokondria [20].
Jenis oksigen reaktif ini diketahui mampu menyebabkan kerusakan
melalui lemak peroksidase, oksidasi protein dan fragmentasi DNA, yang mana
semuanya dapat menyebabkan kematian sel [21]. Kompleksitas dari kaskade
cedera ini tidak hanya terbatas dari proses di atas. Deskripsi yang lebih detail dari
mekanisme cedera neuron yang berhubungan dengan iskemia global disediakan
dalam beberapa tinjauan [22-25]. Kaskade cedera ini diawali dengan hipoksia dan
reperfusi, namun hal tersebut dapat berlangsung selama beberapa jam sampai
beberapa hari setelah paparan awal.
Beberapa penelitian klinis telah menguji coba terapi yang mengarahkan
kepada langkah spesifik dari kaskade cedera, dan telah gagal menunjukkan
outcome yang menguntungkan [12,13]. Sebaliknya, beberapa uji acak saat ini
menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik berkaitan dengan peningkatan
keselamatan hidup dan outcome fungsional akibat henti jantung. Meskipun
mekanisme yang mendasari efek neuroprotektif dari hipotermia masih belum
dipahami sepenuhnya, beragam hipotesis telah diusulkan [26]. Kemampuan
hipotermia dalam mempengaruhi beragam hal dari kaskade injuri berkontribusi
secara signifikan terhadap kesuksesan terapi tersebut sebagai sebuah intervensi.
Efek ini termasuk memperlambat kecepatan insial dari deplesi ATP [27,28],
mengurangi pelepasan neurotransmitter eksitotoksik [29], mengubah aktivitas
messenger intraseluler [30], membatasi pemecahan sawar darah otak [31],
mengurangi respon inflamasi [32], merubah ekspresi gen dan sintesa protein
[33,34], mengurangi kalsium intraselular, dan merupakan pengaturan reseptor
glutamate [35].
Cedera neurologis dan manifestasi klinis
Iskemia serebral global selama henti jantung menyebabkan cedera yang
heterogen pada otak. Proyeksi neuron skala besar dari korteks serebral, sel
purkinje serebral dan area CA-1 pada hipokampus merupakan area yang paling
rentan terkena [36]. Area subkortikal , seperti batang otak, thalamus, dan
hipotalamus lebih tahan terhadap cedera daripada korteks [37,38]. Jika kompleks
talamuskortikal atau region kortikal bilateral yang ekstensif mengalami cedera,
dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran [39]. Gangguan dalam hal
kesadaran masih merupakan masalah neurologis yang paling dominan dalam masa
pasca resusitasi awal. Tinjauan terhadap pertimbangan neuroanatomi dan fisiologi
dari koma yang berhubungan dengan cedera otak setelah henti jantung baru-baru
ini dipublikasikan oleh Hoesch dan teman-teman pada tahun 2008 [40]. Area
lainnya yang rawan untuk mengalami cedera iskemia termasuk ganglia basalis dan
serebellum, yang dapat menyebabkan gangguan pergerakan dan diskoordinasi
yang sering terjadi setelah henti jantung. Batang otak dapat tahan terhadap global
iskemia dalam derajat yang lebih besar. Hal ini termanifestasikan dengan
terpeliharanya saraf kranial dan refleks sensoris dan motorik. Gangguan yang
signifikan dari korteks dan thalamus dengan pemeliharaan yang relatif dari batang
otak menyebabkan terjadinya kondisi vegetatif dan koma.
Evaluasi Neurologis
Evaluasi klinis pada pasien yang selamat dari henti jantung pada artikel ini
berfokus pada pasien yang masih tidak respon atau mengikuti perintah verbal
setelah kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (RSOC).
Dengan pengecualian dari beberapa penelitian baru-baru ini, seluruh observasi
tersebut dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan penatalaksanaan dengan
hipotermia terapeutik ringan [42-45]. Karena kebanyakan mereka yang selamat
dari henti jantung tidak mendapatkan penatalaksanaan dengan hipotermia
terapeutik, penting juga untuk meninjau evaluasi pasien yang selamat yang tidak
diterapi dengan hipotermia. Evaluasi neurologis yang lengkap harus dilakukan
setelah terjadinya ROSC. Penting juga untuk mengekslusikan faktor-faktor yang
mungkin mengaburkan pemeriksaan neurologis, seperti medikasi dengan obat-
obat sedatif dan paralitik, obat-obat yang digunakan sebelum henti jantung, atau
hipoperfusi serebaral yang sedang berlangsung, kejang atau ensefalopati post-
ictal, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik. Evaluasi harus menilai status
mental dengan mendokumentasikan kemampuan pasien untuk bangun dan
berinteraksi secara penuh dengan pemeriksa.
Evaluasi dari batang otak termasuk menilai fungsi saraf kranialis dan
refleks, yang paling penting adalah refleks cahaya pupil, refleks kornea, refleks
terhadap stimulasi yang berbahaya, refleks batuk dan muntah, dan adanya
pernapasan spontan. Pada pasien koma, pemeriksaan motorik dan sensorik
bergantung pada respon pasien terhadap stimulasi yang berbahaya, yang dapat
memiliki makna tersendiri (menghindari stimulus), reflektif (posisi ekstensor atau
fleksor), atau tidak ada sama sekali. Hal tersebut juga sangat membantu dalam
mencatat respon otonom seperti pola pernapasan, ketidakstabilan temperatur dan
variabilitas laju jantung dan tekanan darah. Uji diagnostik mungkin dilakukan
untuk meningkatkan penilaian neurologis pada pasien ini. Uji diagnostik yang
telah diteliti dengan baik termasuk elektoensefalografi (EEG), somatosensory
evoked potentials (SSEP) saraf median, uji serum untuk meningkatkan enolase
neuron yang spesifik, dan neuroimaging [43]. Baru-baru ini, American Academy
of Neurology mempublikasikan tinjauan berdasarkan bukti (evidence-based) dan
menghasilkan parameter praktis terhadap prediksi dari outcome yang buruk pada
pasien selamat yang mengalami koma akibat henti jantung [43].
Parameter praktis ini menjelaskan indikator spesifik dari outcome yang
buruk dari pemeriksaan langsung : tidak adanya respon pupil terhadap cahaya dan
tidak adanya refleks kornea dan ektensor atau tidak ada respon motorik terhadap
nyeri setelah observasi selama tiga hari (level A), dan status epileptikus mioklonik
(level B). Berdasarkan uji neuroelektrofisiologi, hilangnya respon dari kortikal
secara bilateral (N20 potensial) dalam rekaman somatosensory evoked potential
(SSEPs) juga memprediksikan outcome yang buruk (level B).. Serum enolase
neuron yang spesifik lebih besar dari 22 mg/L juga spesifik menunjukkan
outcome yang buruk (level B). Prognosis neurologis tidak dapat hanya ditentukan
oleh kondisi RJP saja. Meskipun neuroimaging (pencitraan neurologi) mungkin
membantu dalam mengelompokkan cedera otak struktural, peranannya dalam
memprediksikan outcome pada pasien yang selamat dari henti jantung masih
belum pasti [43]. Data dari prediksi outcome yang telah ditunjukkan
mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh dokter dan keluarga mengenai
keputusan dalam menarik bantuan hidup pada pasien dengan outcome yang buruk
setelah dilakukan resusitasi akibat henti jantung [46].
Uji neuroprotektif setelah henti jantung
Petunjuk uji klinis terkontrol yang secara utama mentargetkan rentang
cedera otak setelah henti jantung dari Brain Resuscitation Clinical Trial (BRCT)
(uji coba klinis resusitasi otak) terhadap barbiturate pada tahun 1986 [47].
Thiopental barbiturate adalah agen pertama yang digunakan dalam uji coba klinis
terkontrol. Thiopental mengurangi metabolisme, pembentukan edema, dan
tekanan intrakranial (TIK), aktivitas kejang dan kerusakan oleh iskemia fokal atau
iskemia sebahagian [47]. Meskipun sukses pada model primata dengan iskemia
global [50] dan sukses pada penelitian awal terhadap manusia [51], namun obat
tersebut gagal menunjukkan keuntungan terapeutik di bandingkan plasebo pada
uji coba pertama BRCT 1. Uji BRCT 1 juga memperkenankan tambahan
pengobatan glukokortikoid terhadap agen penelitian (thiopental dan plasebo)
tergantung kebijaksanaan dokter yang menanggani. Dosis pengobatan
glukokortikoid tidak menunjukkan keuntungan tambahan [52]. Penelitian lanjutan
(BRCT 2) menemukan tidak ada keuntungan dalam pengobatan dengan obat
penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker (CCB)) lidoflazine [53].
Berdasarkan pengamatan bahwa nimodipine mengurangi kematian pada defisit
iskemia berat pada perdarahan subarachnoid, uji klinis menggunakan nimodipine
telah dilakukan [54,55]. Penelitian ini menemukan tidak ada perbedaan mortalitas
atau outcome lainnya antara pengobatan dengan nimodipine dan pengobatan
dengan plasebo selama 1 tahun [54]. Pengamatan berikut ini dilakukan oleh
Longstreh dan kawan-kawan [56] bahwa hiperglikemia berkaitan dengan proses
penyembuhan yang buruk setelah henti jantung, uji coba acak terkontrol yang
dilakukan pada grup yang sama tidak menemukan perbedaan outcome antara
pasien yang diresusitasi dengan larutan yang mengandung glukosa (5% glukosa)
atau tidak mengandung (0,45% NaCl). Uji coba klinis terkontrol lainnya
menemukan tidak ada outcome yang menguntungkan dengan magnesium
intravena, meskpipun efek antiaritmianya dan kemampuan untuk memblokir
neurotransmitter eksitator [57]. Penelitian selanjutnya yang mengkombinasikan
magnesium dengan diazepam, sebuah penghambat cedera neuroeksitotoksik, juga
melaporkan outcome yang tidak berbeda dengan penatalaksanaan dengan plasebo
[58]. Kebanyakan dari agen ini menunjukkan keuntungan preklinik pada model
hewan terhadap iskemia fokal dan global atau keuntungan klinis dalam penelitian
terhadap manusia terhadap penelitian neurologis lainnya. Dengan catatan
pengecualian dalam penelitian terhadap manusia, tidak satupun dari percobaan ini
menunjukkan outcome neurologis atau fungsional yang menguntungkan.
Kegagalan uji klinis tersebut menyediakan tilikan kritis mengenai
epidemiologi, patofisiologi, modeling preklinis, dan desain uji klinis yang dapat
berkontribusi terhadap suksesnya uji coba baru-baru ini dalam hal hipotermia.
Uji klinis dalam hal hipotermia dan henti jantung
Induksi hipotermia sebagai terapi untuk cedera otak akut dijelaskan pada
tahun 1940 an oleh fay [59]. Pada tahun 1950, Bigelow dan kawan-kwan [60]
melaporkan kegunaan dari hipotermia selama bedah jantung. Setelah beberapa
dekade berikutnya Rosomoff [61] mendesain pedoman model penelitian
eksperimental dari hipotermia terapeutik terhadap cedera otak. Pada tahun 1980,
peneliti di Pittsburgh [24,25] dan Miami [26,62] melakukan pendekatan terhadap
induksi hipotermia untuk cedera otak setelah henti jantung dengan cara yang lebih
sistematis. Hal ini mengawali penelitian preklinik yang luas yang menunjukan
keuntungan fungsional dan kelangsungan hidup pada hewan pengerat [63,64] dan
model hewan sejenis anjing [65,66]. Penelitian klinis pertama pada manusia
terhadap induksi hipotermia pada pasien yang selamat dari henti jantung yang
terjadi di luar rumah sakit dilakukan oleh Bernard dan kawan-kwan [67] pada
tahun 1997. Dalam penelitian dengan tuntunan yang aman dan yang dikerjakan
ini, hipotermia diinduksi pada 22 pasien menggunakan permukaan pendingin
dengan bungkusan es dan diawasi selama 12 jam di ICU. Pada tahun 1998,
Yanagawa dan kawan-kawan [68] melaporkan sebuah penelitian terhadap 13
pasien yang selamat dari henti jantung yang didinginkan denga target suhu adalah
33oC selama 48 jam menggunakan selimut pendingin dan alat konveksi
penghilang panas melalui evaporasi alkohol. Kedua penelitian menyarankan
keuntungan terapetik yang potensial dari hipotermia terhadap henti jantung dan
membuka jalan untuk percobaan definitif.
Penelitian hipotermia di Australia
Di Australia penelitian dilakukan oleh Bernard dan kawan-kawan [49]
mendaftarkan pasien koma setelah resusitasi berhasil dengan irama jantung awal
adalah fibrilasi ventrikel. Penelitian ini secara acak dilakukan pada 77 pasien yang
menerima keadaan hipotermia atau normotermia menggunakan metodologi
pertukaran hari. Pengobatan hipotermia melibatkan 43 pasien dan normotermia
melibatkan 34 pasien. Paramedis di lapangan menginisiasikan hipotermia dini
dengan memberikan bungkusan es yang dingin pada bagian kepala dan badan
pasien. Pada saat pasien tiba di rumah sakit, pendinginan yang nyata dilakukan
dengan mengaplikasikan bungkusan es disekitar kepala, leher, tubuh dan tungkai
untuk mengurangi temperatur inti sampai 33oC, dan dimonitor dengan
menggunakan termometer timpani atau kandung kemih. Target suhu
dipertahankan selama 12 jam dan pasien disedasi dan dilumpuhkan dengan bolus
berulang dari midazolam dan vecuronium seperlunya untuk mencegah mengigil.
Pasien secara aktif dihangatkan ulang dengan selimut yang berisi udara yang
dihangatkan dimulai pada saat 18 jam setelah pasien tiba di rumah sakit, dengan
tetap melanjutkan sedasi dan blokade neuromuskular untuk menekan proses
mengigil. Protokol sedasi dan paralisis yang serupa diterapkan pada pasien yang
terdaftar dalam kelompok normotermia, namun target temperatur inti
dipertahankan pada suhu 37oC. Penghangatan yang pasif digunakan pada pasien
ini jika terdapat hipotermia spontan ringan saat pasien tiba. Penentuan dari
outcome yang utama adalah tempat pasien dipulangkan : rumah, fasilitas
rehabilitasi, atau fasilitias perawatan jangka panjang. Dipulangkan ke rumah atau
fasilitas rehabilitasi dianggap sebagai outcome yang baik, sedangkan mortalitas di
rumah sakit atau pemulangangan pasien ke fasilitas perawatan jangka panjang
dianggap sebagai outcome yang buruk. Deretan outcome neurologis tidak
dianalisa sebagai ukuran outcome. Peneliti menemukan bahwa 21(49%) dari 43
pasien yang diobati dengan hipotermia memiliki outcome yang baik dibandingkan
dengan 9(26%) dari 34 pasien pada grup normotermia (risiko relatif [RR]
outcome yang baik, 1,85 ; interval kepercayaan (confidence interval)(CI), 0,97-
3,49;). Mortalitas saat dipulangkan adalah 51% (22 dari 43) pada kelompok
hipotermia dan 68% (23 dari 34) pada kelompok normotermia (RR, 0,76;95% CI,
0,52-1,10;).
Penelitian di Eropa : Hipotermia setelah henti jantung
Penelitian yang lebih besar dan berpusat di Eropa dilakukan oleh
kelompok Hypothermia After Cardica Arrest (HACA) [48]. Penelitian tersebut
menyaring dari 2551 subjek yang potensial dan melibatkan 273. Penelitian
tersebut mengacak pasien dalam menginduksi hiopotermia yang dimulai setelah
kedatangan pasien di rumah sakit versus normothermia standar setelah resusitasi.
Terdapat 135 pasien yang mendapatkan prosedur hipotermia dan 138 pasien
dengan prosedur normothermia. Pasien dengan kelompok yang didinginkan pada
temperature target 32oC sampai 34oC. Hipotermia didapatkan dengan pendingin
eksternal oleh matras dan selimut yang mengirimkan udara dingin pada tubuh.
Tujuannya adalah untuk mencapai target temperatur dalam waktu 4 jam setelah
resusitasi. Temperature inti dimonitor dengan thermometer kandung kemih dan
dipertahankan pada rentang target suhu tersebut selama 24 jam. Pasien
dihangatkan kembali secara pasif dalam waktu di atas 8 jam. Sedasi dengan
midazolam dan paralisis dengan vecuronium digunakan untuk mencegah
peningkatan temperature akibat proses mengigil. Lima puluh lima (55%) dari 136
pasien pada kelompok hipotermia memiliki outcome neurologis yang baik dalam
waktu 6 bulan dibandingkan dengan 54(395) dari 137 pada kelompok
normothermia (RR, 1,40: 95% CI, 1.08-1.81). Dalam waktu 6 bulan, terdapat 56
kematian pada 137 peserta 941%) pada kelompok hipotermia dan 76 kematian
diantara 138 pasien (55%) dari kelompok normotermia (RR 0,74; 95% CI, 0,58-
0,95).
Mengikuti dua penelitian ini, Internasional Liaison Committee on
resuscitation (ILCOR) dan American heart Association menerbitkan pernyataan
ilmiah sementara dengan rekomendasi penggunaan hipotermia terapetik pada
pasien henti jantung yang selamat yang mengalami koma [69]. Hal ini kemudian
diikuti pada tahun 2005 oleh Pedoman American Heart Association untuk RJP
dan pelayanan kegawatdaruratan kardiovaskular, yang mencakup rekomendasi
pengobatan berikut [70,71]: Pasien dewasa yang tidak sadar diresusitasi setelah
mengalami henti jantung diluar rumah sakit harus didinginkan pada suhu 32oC
sampai 34 o C (89,6 oF – 93,2 o F) selama 12 sampai 24 jam saat irama awal adalah
fibrilasi ventrikel (Kelas IIa) Terapi yang serupa mungkin menguntungkan untuk
pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit atau mengalami henti jantung
di luar rumah sakit berkaitan dengan irama jantung awal bukan fibrilasi ventrikel
(kelas IIb).
Dampak klinis dari hipotermia terapetik
Untuk penilaian lebih lanjut terhadap dampak hipotermia terhadap
outcome neurologis, tinjauan sistematik pada hipotermia untuk neuroproteksi
setelah henti jantung dijalankan oleh Holzer dan kawan-kawan [72]. Tinjauan ini
mengevaluasi tiga uji klinis terkontrol terhadap dewasa yang selamat dari henti
jantung yang diterapi dengan hipotermia selama 6 jam saat tiba pada unit gawat
darurat. Sebagai tambahan terhadap penelitian Bernard dan kawan-kawan [49]
dan percobaan oleh HACA [48], penelitian yang dikerjakan oleh Hachimi-Idrissi
dan kawan-kawan [73] dimasukkan. Penelitian ini memasukkan 30 pasien yang
selamat dari henti jantung dan mengalami koma dengan irama awal adalah asistol
dan pulseless electrical activity (PEA) yang telah diacak untuk mencapai target
suhu kandung kemih yaitu 34oC seacara maksimum dalam waktu 4 jam
menggunakan peralatan berupa helm yang mengandung larutan aqueous gliserol.
Kajian meta analisis dari tiga penelitian, menggunakan sebuah metodologi tujuan
dalam pengobatan, menunjukkan proses penyembuhan neurologis yang baik lebih
sering terjadi pada kelompok hipotermia (RR, 1.68; 95% CI, 1,29-2,07) [72].
Pengamatan ini menerjemahkan jumlah yang dibutuhkan dalam menanggani 6
pasien, bahkan setelah mengontrol beberapa variabel, seperti usia, gender, durasi
henti jantung, waktu RJP, dan tehnik RJP. Pada tahun 2006, sebuah metaanalisis
oleh Cheung dan kawan-kawan [74] menambahkan penelitian lainnya dari tiga
penelitian di atas untuk total 436 pasien, dengan 232 didinginkan mencapai suhu
inti antara 32oC sampai 34oC. Analisa mereka menunjukkan bahwa hipotermia
ringan mengurangi mortalitas di rumah sakit (risiko relatif [RR] 0,75 ; 95% CI,
0,62-0,92) dan mengurangi inisiden dari outcome neurologis yang buruk (RR
0,74; 95% CI; 0,62-0,84). Hal ini menunjukkan jumlah yang dibutuhkan untuk
mengobati adalah 7 pasien untuk menyelamatkan 1 nyawa, dan 5 pasien untuk
meningkatkan outcome neurologis. Mereka tidak menemukan bukti efek samping
sebagai keterbatasan dalam pengobatan.
Pengalaman dalam hal uji coba post-klinis
Setelah penyelesaian uji coba hipotermia terapetik di Eropa, European
Resuscitation Council Hypotermia After Cardiac Arrest Registry (ERC HACA-R)
dibentuk untuk mengawasi perkembangan dalam hal praktik medis setelah
rekomendasi ILCOR terhadap hipotermia pada henti jantung dipublikasikan [75].
Data terhadap 650 pasien henti jantung dengan berhasil kembalinya sirkulasi
darah spontan dari 19 lokasi di Eropa di masukkan antara bulan Maret 2003 dan
Juni 2005. Keputusan untuk mendinginkan pasien dilakukan oleh dokter yang
menanggani pada 462 (79%) pasien. Metode pendinginan pada 347 (59%)
dilakukan dengan peralatan endovascular, dan cairan dingin. Efek yang
menguntungankan dari hipotermia ini pada uji klinis direfleksikan pada hasil
daftar hasil ini. Mereka yang memiliki outcome yang tidak baik , 55% nya berasal
dari kelompok yang diterapi dengan hipotermia dibandingkan dengan 68%
kelompok yang tidak diterapi dengan hipotermia (P = .02). Pasien yang meninggal
selama rawat inap di rumah sakit, 43 berasal dari kelompok yang diterapi dengan
hipotermia dibandingkan dengan 68% dari kelompok yang tidak diterapi dengan
hipotermia (P < .001). Peristiwa yang merugikan dilaporkan adalah minimal
dengan 15 (3%) episode perdarahan dan 28 pasien (6%) dengan satu episode
aritmia dalam waktu 7 hari setelah didinginkan. Tidak ada kejadian fatal yang
disebabkan oleh proses pendinginan yang dilaporkan [75]. Data registrasi ini
menunjukkan bahwa hipotermia terapetik dapat dilakukan dan dapat digunakan
secara aman dan efektif diluar dari uji acak klinis.
Waktu Pendinginan dan Penghangatan Ulang
Waktu yang terbaik untuk memulai hipotermia setelah resusitasi dan
durasi optimal dilakukan hipotermia belum ditentukan. Hal tersebut cukup masuk
akal untuk mempercayai bahwa keuntungan akan lebih besar jika hipotermia
diawali sesegera mungkin setelah resusitasi. Pada penelitian di Eropa, interval
antara resusitasi dan pencapaian target suhu memiliki jarak antar kuartil yaitu 4
sampai 16 jam, dengan rata-rata sekitar 8 jam [48,69,76]. Meskipun beberapa
mengalami keterlambatan, hipotermia masih memberikan keuntungan.
Penghangatan ulang harus dilakukan perlahan untuk menghindari perburukan
cedera neurologis, vasodilatasi mendadak, dan syok [77,78]. Penelitian yang
dilakukan di Eropa menghangatkan ulang poasien secara pasif di atas 8 jam
setelah 24 jam dalam kondisi hipotermia, sementara penelitian di Australia
melaporkan penghantan ulang aktif selama 6 jam menggunakan selimut berisi
udara panas, dimulai 18 jam setelah ROSC [48,49]. Penelitian preklinik telah
menunjukkan penundaan pendinginan menghilangkan efek yang menguntungkan
dari hipotermia [79], dan efek yang menguntungkannya mungkin meningkat
bahkan jika hal tersebut diawali dalam masa resusitasi selama kondisi henti
jantung [80,81] atau sesegera mungkin setelah resusitasi spontan kembali [82].
Terdapat kebutuhan dalam menerjemahkan penelitian pre klinis ini ke dalam
penelitian manusia untuk membantu menentukan onset optimal dan durasi
hipotermia terapeutik dan kecepatan dari proses pendinginan dan penghangatan
ulang itu sendiri.
Komplikasi Hipotermia
Komplikasi potensial dari induksi hipotermia ringan mencakupan
insufisiensi ginjal, perdarahan, sepsis dan pancreatitis; bagaimanapun, komplikasi
ini telah diamati dalam kelompok kontrol. Penelitian oleh Bernard dan kawan-
kawan [49] dan kelompok HACA [48] melaporkan tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statisktik terhadap komplikasi antara kelompok-kelompok
percobaan tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh HACA, terdapat
kecenderungan kearah peningkatan perdarahan dan sepsis pada kelompok
hipotermia, namun hal tersebut tidak begitu signifikan secara statistik. Dalam
peneltian oleh Bernard dan kawan-kawan [49], kelompok hipotermia memiliki
kecenderungan terhadap indeks kardiak yang lebih rendah, resistensi vaskular
sistemik yang lebih tinggi dan lebih hiperglikemia. Proporsi dari pasien dengan
komplikasi adalah tinggi pada kedua kelompok: 70% pada kelompok
normotermia dan 73% pada kelompok hipotermia. Hipokalemia relatif dan
asidosis metabolik adalah gangguan metabolik yang potensial yang berhubungan
dengan hipotermia [83]. Pengawasan ketat dan koreksi yang sesuai pada kondisi
ini adalah penting, dengan pemahaman bahwa potassium meningkatkan fase
penghangatan sebagaimana perpindahannya ke ruang ekstraselular. Dari
perspektif neurologis, kejang telah dicatat pada pasien normotermia dan pasien
yang diterapi dengan hipotermia, dan kemungkinan besar adalah komplikasi
sekunder terhadap cedera iskemia global yang terus terjadi selama henti jantung
dan reperfusi [84,85]. Oleh sebab itu disarankan untuk memiliki ambang yang
rendah dalam melaksanakan tindakan elektroensefalografi (EEG) pada pasien
yang dicurigai mengalami kejang, khususnya pada mereka yang mengalami
paralisis atau dalam keadaan sedasi berat, karena hal ini dapat menyamarkan
manifestasi klinik.
Efek hipotermia terapetik pada fungsi kognitif dan outcome
neurofisiologis baru-baru ini juga dipelajari pada sejumlah pasien pada penelitian
HACA [48,86]. Pada penelitian kohort ini, pemeriksaan neuropsikologis
dilakukan pada 45 dari 47 pasien yang sadar setelah henti jantung (27 adalah
kelompok pasien hipotermia dan 18 adalah kelompok normotermia) 3 bulan
setelah cedera. Pemeriksa menemukan tidak adanya perbedaan dalam variabel
demografi, tekanan atau keterlambatan yang berkaitan dengan resusitasi. Mereka
juha menemukan tidak terdapatnya perbedaan pada setiap fungsi kognitif yang
diuji, dengan 67% pasien dalam kelompok hipotermia dan 44% pasien dalam
kelompok normotermia adalah secara kognitif utuh dan hanya memiliki gangguan
yang sangat ringan. Defisit kognitif berat ditemukan pada 15% pada kelompok
hipotermia dan 28% pada kelompok normotermia [86]. Penelitian ini
menunjukkan bahwa penggunaan hipotermia terapetik tidak berhubungan dengan
penurunan fungsi kognitif atau defisit neurofisiologis pada sejumlah pesien yang
diteliti.
Penatalaksanaan saat menggigil
Menggigil adalah respon terhadap hipotermia yang dapat menyebabkan
gangguan signifikan terhadap terapi oleh pembangkitan panas yang menyebabkan
peningkatan suhi inti dan meningkatnya konsumsi oksigen [69,76]. Menggigil
adalah kondisi yang paling menonjol selama induksi, meskipun lebih banyak
perhatian yang dibutuhkan untuk disediakan dalam menggunakan sedatif atau
paralitik selama periode ini. Penelitian yang dilakukan oleh Eropa dan Autralia
menggunakan vecuronium sebagai agen paralitik dan midazolam intravena untuk
sedasi [48,49]. Penggunaan sedasi dan paralisis membutuhkan dukungan
ventilaski mekanik secara penuh, bagaimanapun pasien dalam kondisi koma dan
kemungkinan membutuhkan bantuan ventilasi pada level ini. Evaluasi neurologis
yang detail penting sebelum mengawali proses paralisis dan sedasi, dan hal
tersebut harus diulang saat obat-obatan telah dihentikan, mengingat pasien akan
membersihkan agen ini dalam batas waktu yang bervariasi. Meskipun tidak
terdapat perbandingan penelitian yang secara formal membandingkan derajat
menggigil dengan metode yang berbeda dalam menginduksi hipotermia,
sebahagian pasien tercatat mengalami mengigil dengan sistem pendinginan
permukaan yang cepat [87]. Agen lainnya yang telah efektif dalam mengontrol
menggigil adalah meperidine [88-90] dan buspirone, yang memiliki khasiat yang
sinergis dengan meperidine; bagaimanapun, efek samping dari profil obat yang
terakhir membuatnya menjadi kandidat yang buruk untuk digunakan pada pasien
yang mengalami gangguan neurologis [91]. Pada penelitian lainnya kombinasi
dari dexmedetomidine dan meperdine juga menunjukkan penurunan ambang
menggigil [92].
Metode untuk mendapatkan kondisi hipotermia
Proses pendinginan dapat diterima secara ekstrenal ataupun internal, dan
metode bervariasi dari tehnik yang sederhana menggunakan kantung es atau
lavase es, sampai ke peralatan yang di desain secara spesifik untuk menginduksi,
mempertahankan dan mengembalikan kondisi hipotermia. Teknologi yang
digunakan untuk menginduksi hipotermia baru-baru ini telah ditinjau [93].
Tekhnologi mencakup peragam peralatan pendingin luar dan kateter pendingin
intravaskular. Peralatan pendingin luar dapat dibagi menjadi pendingin otak
regional dan pendinginan keseluruhan yang melibatkan hampir seluruh tubuh
dengan respon suhu sistemik. Beberapa peneltian telah dilakukan untuk
membandingkan keefektifan dari tekhnologi terbaru sebagai standar pendingin
luar. Salah satu penelitian prospektif membandingkan bantalan khusus untuk
pendingin luar [94] dan penelitian retrospektif lainnya menggunakan kateter
pendingin endovascular. [95] menemukan stabilitas yang signifikan dalam
mempertahankan suhu dalam rentang terapeutik. Kedua penelitian, bagaimanapun
tidak menyediakan laju pendinginan pasti yang lebih cepat dibandingkan proses
pendinginan luar standar. Dengan tidak adanya penelitian pasti yang menunjukkan
metode terbaik dalam menginduksi hipotermia, keputusan terhadap rata-rata
pendinginan tergantung dari tim yang menanggani. Faktor-faktor dalam
mempertimbangkan penggunaan metode untuk mencapai kondisi hipotermia dan
hubungannya dengan teknologi adalah sebagai berikut : tempat diinisiasikannya
hipotermia (di lapangan, IGD, atau ICU), kapasitas penolong pertama dalam
menginisiasi hipotermia, kecepatan induksi dan stabilitas temperature selama
pengobatan, kemampuan untuk mengontrol penghangatan ulang, portabilitas dari
olat, efek merugikan yang spesifik, apakah peralatan tersebut menghambat
ketentuan pelayanan dalam keadaan lingkungan pelayanan kritis, dan biaya.
Kemampuan terhadap infus dengan cairan intravena dingin dalam
mengurangi suhu inti memberikan kesempatan yang baru dalam menginduksi
hipotermia. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa infuse cairan dingin
aman dan dapat dilakukan untuk mengurangi suhu inti setelah resusitasi dari henti
jantung. Bernard dan kawan-kawan [96] memberikan infusa 20 mL/kg larutan
Ringel laktat dingin ( 4 oC) untuk pasien yang selamat dari henti jantung, dengan
pengurangan suhu inti rata-rata dari 35,5oC sampai 33,8oC. Pemeriksa melaporkan
tidak ada komplikasi hemodinamik, ginjal atau asam basa. Tidak ada pasien yang
mengalami edema pulmonal. Kim dan kawan-kawan [97] menunjukkan bahwa
infusa 2 L normal saline pada suhu 4oC pada 17 pasien yang salemat yang
mengalami henti jantung diluar rumah sakit adalah aman dan efektif dalam
mengurangi suhu tubuh secara cepat sebanyak 1,4oC dalam waktu 30 menit
setelah diinisiasi dengan pemberian infus. Infus yang cepat tidak mempengaruhi
ejeksi fraksi atau meningkatkan tekanan vena sentral, tekanan pulmonal atau
tekanan pengisian atrium kiri. Infus intravena dari saline yang dingin adalah
efektif dalam mengurangi suhu inti, namun tidak seefektif dalam proses
pemeliharaannya sepanjang waktu; oleh sebab itu metode cadangakan dalam
mempertahankan kondisi hipotermia dibutuhkan. Penelitian yang melibatkan 134
pasien oleh Polderman dan kawan-kawab [98] memeriksa efek kombinasi dari
sirkulasi air dari selimut pendingin dan infuse intravena sebanyak 2,3 L (rata-rata)
dari 4oC saline di atas 50 menit. Mereka mencatat bahwa pengurangan rata-rata
dari suhu inti dari 36,9oC dengan batasnya mencapai 32,9oC selama 1 jam.
Penelitian ini menunjukan bahwa induksi dan pemeliharaan hipotermia dengan
maksud mengkombinasikan infusa cairan dingin dan selimut pendingin berisi air-
es adalah cepat, aman dan manjur.
Hipotermia terapetik dan prognosis neurologis
Parameter praktis baru-baru ini yang dikeluarkan oleh American Academy
of Neurology fokus pada prediski outcome yang buruk pada pasien yang tidak
diterapi dengan hipotermia [43]. Meskipun publikasi ini adalah merupakan salah
satu klarifikasi dari kesimpulan yang penting, aspek kritis dalam pelayanan
terhadap pasien ini masih belum dipecahkan. Apakah cara yang terbaik untuk
menilai cedera otak selama periode awal ketika hal tersebut masih diterima untuk
dilakukan pengobatan dengan hipotermia? Apakah parameter neurologis yang
dapat menentukan pasien manakah yang kemungkinan paling mendapat
keuntungan dari terapi? Apakah indikator prognostik yang didiskusikan pada
parameter praktis diterapkan pada pasien yang diterapi dengan hipotermia? Untuk
pasien yang diterapi dengan hipotermia, penelitian-penelitian yang muncul
mengenai indikator prognostik telah fokus pada marker biokimia dan Evoked
Potential. Penelitian yang lebih dalam dari uji coba HACA membandingkan dua
marker serum, neuron-spesific enolase (NSE) dan S-100b, pada 34 pasien
hipotermik dan 32 pasien nomotermik setelah henti jantung [99]. NSE adalah
enzim spesifik terhadap neuron dan sel neuroektodermal yang tidak biasanya
ditemukan pada serum. Enzim itu memiliki waktu paruh kira-kira 24 jam. Protein
W-100 b adalah protein pengikat kalsium yang ditemukan secara dominan pada
sel astroglia dan sel Schwann. Protein tersebut memiliki sebuah waktu paruh
serum berkisar 0,5 jam. Peneliti melaporkan bahwa konsentrasi NSE lebih rendah
pada pasien yang diterapi dengan hipotermia, namun tidak ada perbedaan dengan
level S-100b. Angka keselamatan hidup, pulihnya kesadaran dan outcome yang
baik berhubungan secara signifikan dengan berkurangnya kadar NSE dalam
waktu 24 dan 48 jam. Meskipun peneliti mengidentifikasikan batas nilai dari
konsentrasi NSE yang merupakan nilai prediktif dari outcome yang buruk, nilai
ini berbeda secara signifikan antara kelompok hipotermia dan kelompok
normotermia [99].
Efek hipotermia terhadap SSEPs dipelajari sebelumnya pada pasien yang
tidak mengalami henti jantung, karena SSEP sering digunakan dalam pengawasan
intra-operatif pada pasien yang diterapi dengan hipotermia selama menjalani
prosedur pembedahan saraf [72]. Lebar potensial dari saraf median kortikal (N20)
tidak berpengaruh, namun masa laten lebih panjang pada pasien hipotermik
dibandingkan dengan pasien normotermik. Penelitian lanjutan oleh uji coba
HACA di Eropa memeriksa keakuratan prognosis terhadap SSEP pada 57 pasien
24 sampai 28 jam setelah henti jantung [100]. Tiga puluh pasien yang diterapi
dengan hipotermia, dan masa laten N20 menjadi lebih lama pada seluruh pasien
ini. Sebelas pasien tidak mengalami respon N20 (Tiga pasien hipotermik dan 8
pasien normotermik ), tidak ada satupun dari mereka yang kembali sadar.
Meskipun jumlah pasiennya kecil, penelitian ini menunjukkan bahwa SSEP yang
dilakukan dalam waktu 24 sampai 28 jam setelah henti jantung menguatkan
spesifisitasnya sebagai outcome yang buruk, bahkan pada pasien yang mengalami
hipotermia [100]. Kemampuan untuk memprediksikan outcome yang buruk
setelah hipotermia terapetik dengan menggunakan SSEPs butuh untuk
dikonfirmasi dalam penelitian yang lebih besar dengan desain prospektif.
Meningkatkan pengawasan fungsi neural pada pasien yang selamat dari
henti jantung
Hipotermia terapeutik menunjukkan bahwa cedera otak setelah henti
jantung dapat diperbaiki. Implementasi hipotermia sebagai terapi otak langsung
mungkin diperlambat oleh ketidaksediaan monitor yang dapat
menginterpretasikan fungsi otak secara nyata. Penurunan suhu yang ditetapkan
secara empiris diamati dari kandung kemih atau jantung; efek aktual pada otak
sebagai organ target tidak diawasi secara langsung. Hal tersebut sangat berbeda
dengan ketersediaan dan kemudahan interpretasi fungsi jantung dengan
menggunakan EKG atau fungsi paru dengan menggunakan pulse oximetry di ICU.
Sementara ketersediaan, alat uji neurologis, seperti EEG dan SSEP, terbatas pada
pusat dengan para ahli yang memiliki keahlian khusus di bidang
neuroelektrofisiologi. Pentingnya cedera otak dan kebutuhan terhadap
penerjemahan dari uji ini memerlukan kerjasama yang baik dengan pakar
neurologis atau spesialis saraf. Untuk meningkatkan secara nyata pelayanan
terhadap pasien ini , tehnologi harus dikembangkan untuk mengizinkan mereka
yang bukan ahli saraf dan pekerja kesehatan lainnya untuk mengevaluasi evolusi
dari cedera otak tersebut. Meskupun demikian, tehnologi SSEP dan EEG butuh
disederhanakan, diotomatisasi, dan diukur dengan suatu cara sehingga lebih
mudah diinterpretasi. Baru-baru ini, kemampuan dari EEG kuantitatif dalam
melacak pemulihan otak dengan terapi hipotermia telah diinvestigasi dalam
penelitian yang dilakukan pada binatang [101,102] dan pada masuia [103,105].
Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk menentukan apakah indikator prognosis
memberikan nilai akurat pada pasien yang diterapi dengan hipotermia. Baru-baru
ini, banyak yang telah memusatkan minat pada SSEP untuk menilai prognosis
pada pasien yang diterapi dengan kondisi normotermia dan hipotermia setelah
henti jantung, dan menyarankan kebutuhan untuk mengadaptasi dan
menyederhanakan tehnologi ini utnuk aplikasi yang lebih luas.
Tindakan neuroprotektif lainnya di ICU
Perfusi serebral
Hipotensi setelah ROSC dapat memperburuk iskemia serebral, dan hal
tersebut harus dihindari [70]. Disfungsi mikrovaskular dan kegagalan autoregulasi
merupakan dua faktor utama yang menganggu perfusi serebral setelah henti
jantung. Identifikasi tombrus dari mikrovaskular serebral setelah kejadian henti
jantung telah menunjukkan kemungkinan keuntungan dari terapi trombolitik, dan
hal ini telah diuji dalam uji klinis [106,107]. Perfusi serebral dapat mengalami
gangguan lebih lanjut dengan berubahnya autoregulasi dari pembuluh darah
serebral, yang telah dijelaskan sebagai tidak adanya fase akut atau bergeser ke
kanan pada pasien yang selamat dari henti jantung [108]. Implikasi klinis dari
penemuan ini adalah bahwa tekanan arteri rata-rata pasien atau mean arterial
blood pressure (MAP) mungkin dibutuhkan untuk dipertahankan pada level yang
lebih tinggi untuk memastikan aliran darah otak yang adekuat [108]. Meskipun,
terdapat sedikit data yang menyatakan bahwa target tekanan darah optimal untuk
memeliharan perfusi otak pasca henti jantung. Salah satu penelitian
mengindikasikan bahwa MAP lebih besar dari 65 mmHg, yang mampu
mendukung perfusi koroner yang adekuat, mungkin tidak cukup untuk
menyediakan suplai darah otak yang adekuat, kecuali terapi lain yang di desain
untuk menurunkan permintaan metabolic otak diimplementasikan (contohnya
sedasi, hipotermia)[108]. MAP sebesar 80 hingga 100 mm Hg dinyatakan
bermanfaat, paling kurang dalam 24 jam pertama setelah henti jantung [109].
Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial
Biasanya , TIK tidak meningkat setelah henti jantung [110], namun
tekanan intra kranial yang tinggi dapat mengganggu aliran darah, dan herniasi
serebri dapat menyebabkan kerusakan otak serta kematian. Pada pasien yang
mengalami koma dengan kejadian peningkatan tekanan intrakranial, seperti tanda-
tanda klinis adanya herniasi atau edema serebri pada CT scan, pengawasan
terhadap TIK mungkin bermanfaat dalam mengarahkan terapi dalam
mengoptimalisasikan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi otak [111].
Hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia dapat memperburuk kerusakan otak dan
harus dihindari [70]. Pada kondisi dimana tidak adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang sedang berlangsung, profilaksis dan hiperventilasi jangka
panjang dapat memperburuk luas jangkauan dari cedera otak [70,221]. Oleh sebab
itu, disarankan pada pasien koma untuk dilakukan ventilasi secara mekanis untuk
mendapatkan keadaan normocapnia [70].
Penatalaksanaan Demam
Demam dapat memperburuk cedera otak sekunder setelah henti jantung.
Setiap derajatnya diatas 37oC berhubungan dengan peningkatan risiko terhadap
kecacatan berat, koma dan kondisi vegetatif yang persisten [113]. Bukti bahwa
peningkatan temperature dapat memperburuk outcome menjadikan kebutuhan
untuk melakukan hipotermia terapeutok setelah henti jantung menjadi lebih
penting. Pada pasien yang tidak dipertimbangkan sebagai kandidat untuk
hipotermia terapeutik sebagai sebuah mekanisme untuk memproteksi otak,
antipiretik dan tindakan pendinginginan invasif atau permukaan harus digunakan
secara agresif untuk memastikan bahwa suhu tubuh di bawah 38 oC
Penatalaksanaan Hiperglikemia
Hiperglikemia setelah cedera otak iskemi telah dikaitkan dengan
perburukan outcome [56,114]. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
kontrol glukosa yang ketat pada pasien kritis dapat mengawali terjadinya outcome
yang lebih baik [115]. Penelitian saat ini menemukan hubungan yang kuar antara
level gula darah pada waktu 12 jam setelah kembalinya sirkulasi spontan (RSOC)
dan perbaikan neurologis di atas 6 bulan (Losert dan kawan-kawan, 2008)(116).
Outcome neurologis yang baik tercatat tidak hanya pada rentang glukosa 67
sampai 115 mg/dl, namun juga pada mereka dengan rentang kadar glukosa dari
116 sampai 143 mg/dk [116]. Sebagaimana diperlukan lebih banyak uji coba
klinis untuk mengklarifikasi pengaruh dari kontrol glukosa ini, penting juga untuk
menyadari bahwa juga terdapat efek yang merugikan dari hipoglikemia pada saat
kita mengontrol kadar glukosa darah pada pasien yang selamat dari henti jantung
Mengontrol Kejang
Kejang dan mioklonus biasa terjadi setelah henti jantung [117] dan
munculnya status epileptikus merupakan dugaan kuat akan terjadinya kematian
[118}. Kejang dapat mengganggu pemulihan otak karena dapat meningkatkan
beban metabolik dan meningkatkan tekanan intrakranial. Kejang juga dapat
memperlambat pulihnya kesadaran setelah resusitasi. Obat-obat antiepileptik
profilaksis umumnya tidak diberikan; bagaimanapun jika aktivitas kejang terus
berkembang pada pasien, maka hal tersebut harus diterapi dengan medikasi
antiepilepsi standar [117]. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada setiap pasien
yang dicurigai mengalami kejang, dan harus dipertimbangkan apakah pasien
gagal untu dipulihkan kesadarannya setelah resusitasi untuk mengekslusikan
status epileptikus non konvulsif.
Kesimpulan
Cedera otak masih merupakan penyebab utama kecacatan setelah henti
jantung, meskipun telah adanya kemajuan dalam terapi dalam perawatan intensif
dan terapi kardiovaskular beberapa dekade yang lalu. Pelayanan terhadap pasien
dapat menjadi suatu tantangan, dan hal tersebut membutuhkan usaha yang besar
dari sumber daya medis serta biaya. Sebagai tambahan beberapa uji klinis
mengenai strategi neuroprotektif yang menunjukkan sesuatu yang menjanjikan
dalam penelitian preklinis namun memberikan hasil yang mengecewakan dalam
uji klinis.. Hipotermia terapeutik emergensi sebagai tindakan neuroprotektif yang
sukses pada pasien selamat dari henti jantung yang mengalami koma dengan tipe
irama fibrilasi ventrikel menunjukkan manfaat dalam hal keselamatan hidup dan
pengukuran outcome fungsional telah menciptakan antusiasme baru untuk
perbaikan cedera otak pada pasien-pasien ini.
Beberapa tantangan dan ketidakpastian terus berlangsung mengenai
hipotermia terapuetik, termasuk pemahaman dasar terhadap keuntungan dari
mekanisme, kedalaman yang optimal dari hipotermia, waktu mengawali terapi,
durasi pengobatan, dan mekanisme terbaik dalam memperoleh kondisi hipotermia
(pendinginan internal atau eksternal), dan ketersediaan indikator langsung untuk
respon otak terhadap hipotermia. Pertanyaan ini butuh untuk dijawab oleh serial
uji klinis dalam skala yang lebih besar dan laporan data registrasi. Penerapan
rekomendasi American Heart Association dan ILCOR untuk menginisiasi
hipotermia sesegera mungkin setelah resusitasi dari henti jantung tipe fibrilasi
ventrikel pada pasien diluar rumah sakit masih lambat, bahkan pada pusat
akademi medis. Dengan jumlah yang dibutuhkan untu melakukan terapi pada
sekitar enam orang untuk mendapatkan keselamatan hidup dan manfaat
fungsional, hipotermia membuktikan mampu menjadi terapi yang sangat penting
dan sehat untuk pasien yang selamat dari henti jantung. Rumah sakit mungkin
harus menetapkan protokol dan sistem hipotermia untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap rekomendasi pengobatan.
DaftarPustaka
- Guyton and Hall. 2008. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Jakarta:
PenerbitBukuKedokteran.
- Jones and Bartlett. 2014. Anatomy and Physiology of the Cardiovascular System.
http://samples.jbpub.com/9781449652609/99069_ch05_6101.pdf.
- British Heart Foundation. 2008. Cardiac Arrest.
http://www.nwas.nhs.uk/media/229797/BHF%20Cardiac%20Arrest.pdf
- Irdi, Cardiac Arrest, available at: http://www.irwanashari.com/2009/09/
cardiac-arrest.html.
- American Heart Association. 2014. Cardiac Arrest. www.heart.org