penatalaksanaan cedera kepala setelah resusitasi dari henti jantung

44
Journal reading Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi dari Henti Jantung Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Anestesiologi Fakultas Kedokteran Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh Disusun Oleh : Naili rahmi (1207101030107) Hafni Cia Masyitah (1107101030204) Silvira Putri (1107101030214) Denny Muchtar ( 1407101030185) Pembimbing: dr. Azwar Sp.An

Upload: herdianta-gs-perisai

Post on 08-Apr-2016

245 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

vcvcvcvv

TRANSCRIPT

Page 1: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Journal reading

Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi dari

Henti Jantung

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Anestesiologi

Fakultas Kedokteran Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh

Disusun Oleh :

Naili rahmi (1207101030107)

Hafni Cia Masyitah (1107101030204)

Silvira Putri (1107101030214)

Denny Muchtar ( 1407101030185)

Pembimbing:

dr. Azwar Sp.An

BAGIAN/SMF ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BLUD RSUD Dr. ZAINOEL ABIDINBANDA ACEH

FEBRUARI, 2015

Page 2: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah

menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis

syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena

berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi

kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar

Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.

Adapun tugas Journal reading ini berjudul “Penatalaksanaan Cedera

Kepala Setelah Resusitasi dari Henti Jantung “ Diajukan Sebagai Salah Satu

Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF

ANESTESIOLOGI Unsyiah BLUD RSUD dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya

kepada dr. Azwar Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan

dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh

dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman

akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan

pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, Februari 2015

Penulis

Page 3: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Fisiologi Jantung

Sistem Konduksi Jantung

Otot jantung hanya mengandung sedikit myofibril dan tersebar di seluruh

jantung. Daerah ini memulai dan mendistribusikan impuls melalui miokardium,

yang terdiri dari system konduksi jantung yang mengkoordinasikan siklus jantung.

Nodus sinoatrial merupakan jaringan khusus di bawah epikardium, di atrium

kanan. Terletak dekat pembukaan vena kava superior, dengan serat yang

bersambung dengan syncytium atrium. Sel-sel SA node dapat mencapai ambang

sendiri, memulai impuls melalui miokardium, merangsang kontraksi dari serat

otot jantung. Aktivitas berirama yang terjadi 70 sampai 80 kali per menit pada

orang dewasa normal. Karena menghasilkan kontraksi ritmik jantung, sering

disebut sebagai pacu jantung.1

Jalan impuls jantung perjalanan dari SA node ke syncytium atrium, dan

atrium mulai kontrak hamper bersamaan. Impuls melewati sepanjang serat

junctional dari system konduksi ke nodus atrioventrikular (AV node), yang

terletak diseptum interatrial rendah, di bawah endocardium. Selanjutnya, impuls

tersebut melewati berkas his lalu memasuki serabut purkinje. Serat Purkinje,

memperluas keotot-otot papiler. Stimulasi serat Purkinje menyebabkan dinding

ventrikel berkontraksi dalam memutar sebuah gerak, untuk memaksa darah ke

dalam aorta dan batang paru.1

Fungsi Jantung

Bilik jantung dikoordinasikan sehingga gerakan antara atrium dan

ventrikel efektif. Atrium berkontraksi dan ventrikel relaksasi setelah itu atrium

relaksasi dan ventrikel berkontraksi disebut sebagai satu siklus jantung. Satu

siklus jantung menyebabkan tekanan di bilik jantung untuk naik dan turun dan

katup untuk membuka dan menutup. Awal selama diastole, tekanan dalam

ventrikel rendah, menyebabkan katup AV membuka dan ventrikel untuk mengisi

dengan darah. Hampir 70% kembali darah memasuki ventrikel sebelum kontraksi.

Sebagai kontrak atrium, 30% sisanya didorong ke dalam ventrikel. Sebagai

kontrak ventrikel, tekanan ventrikel meningkat. Ketika tekanan ventrikel melebihi

tekanan atrium, katup AV menutup dan otot papiler kontrak, mencegah katup dari

Page 4: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

katup AV dari membesar ke atrium berlebihan. Selama kontraksi ventrikel, katup

AV tertutup, dan tekanan atrium rendah. Darah mengalir ke atrium sedangkan

ventrikel berkontraksi, sehingga atrium siap untuk siklus jantung berikutnya.2

Kontraksi jantung disebut sistol, dan relaksasi yang disebut diastol.

Tekanan darah sistolik adalah angka pertama dalam pembacaan tekanan darah,

mengukur kekuatan kontraksi. Tekanan darah diastolic adalah yang kedua nomor

dalam pembacaan tekanan darah, mengukur kekuatan relaksasi. Ventrikel kanan

tidak perlu memompa darah dengan sebanyak berlaku ventrikel kiri. Hal ini

terjadi karena ventrikel kanan memasok darah ke paru-paru dan di dekatnya

pembuluh paru yang luas dan relative singkat. Ini berarti bahwa dinding ventrikel

kanan lebih tipis dan kurang berotot dibandingkan ventrikel kiri, yang harus

memompa darah keseluruh tubuh.2

Aliran jantung berawal dari vena cava superior dan inferior yang masuk ke

atrium kanan lalu masuk ke dalam ventrikel kanan yang akan dipompakan ke

arteri pulmonalis dan dialirkan ke paru-paru dan akan kembali melalui vena

pulmonalis dan masuk ke dalam atrium kiri yang selanjutnya akan masuk ke

ventrikel kiri yang akan diedarkan keseluruh tubuh melalui aorta.3

Patofisiologi Cardiac arrest3

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.

Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat

dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah

mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.

Penyebab secara umum,

• Penyakit jantung dan pembuluh darah

• Kehilangan darah dan cairan secara cepat

• Suhu tubuh yang terlalu tinggi ataupun rendah

• Kadar kalium darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah

• Kekurangan oksigen

• Paru-paru tertusuk

• Bekuan darah pada paru-paru atau arteri koroner

• Keracunan• Tamponade jantung

Page 5: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

1. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyebab dari cardiac

arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen

keotot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah material yang

terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk

sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh

suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat

terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi

jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat system konduksi langsung

dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.4

2. Stress fisik.

Stress fisik tertentu dapat menyebabkan system konduksi jantung gagal

berfungsi, diantaranya:

perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam

sengatan listrik

kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan

asma yang berat

Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah

Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang

memiliki gangguan jantung.

Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks

akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.4

3. Kelainan Bawaan

Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.

Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga

ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang

lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk (struktur)

jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.4

Page 6: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

4. Perubahan struktur jantung

Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat

menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnya dapat

mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran

jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari

jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.4

5. Obat-obatan

Anti depresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,

kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan

adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh

dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan

tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada

laboratorium toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.5

6. Tamponade jantung

Cairan yang terdapat dalam pericardium dapat mendesak jantung sehingga

tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga

mengakibatkan kematian.5

7. Tension pneumothorax

Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura.

Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan

dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan

ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava

superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.5

Page 7: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi dari Henti Jantung

Sekitar 460.000 kematian mendadak akibat penyakit jantung dari total

728.743 kematian yang berkaitan dengan jantung dilaporkan pada tahun 1999 di

Amerika Serikat [1]. Tiga puluh enam persen dari kematian mendadak adalah

henti jantung yang terjadi di rumah sakit (in-hospital cardiac arrest) dan 64% dari

henti jantung yang terjadi luar rumah sakit (out hospital cardiac arrest) [1].

Sekitar 18% pasien dipulangkan dalam keadaan selamat dari serangan henti

jantung yang terjadi rumah sakit [2,3], sementara hanya 2% sampai 9% pasien

yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit yang selamat untuk

dipulangkan [4-6]. Outcome fungsional dari pasien yang selamat bervariasi,

namun kualitas keselamatan yang buruk biasa terjadi [7], dengan hanya 3%

sampai 7% yang mampu kembeli ke tingkat fungsi semula [8].

Prevalensi koma atau kondisi vegetatif persisten diantara mereka yang

selamat memberikan beban yang sangat besar terhadap pasien, keluarga, dan

anggota pemberi pelayanan kesehatan serta sumber daya. Pengaruh ekonomi

akibat henti jantung merupakan subjek penelitian keefektipan biaya yang

membandingkan antara melanjutkan resusitasi jantung paru (RJP) versus

mengentikan RJP dan dukungan ventilasi setelah 3 hari. Perkiraan biaya tambahan

dari strategi pelayanan yang lebih agresif adalah $140.000 (1998 dolar) per

penyesuaian kualitas hidup tahunan atau quality adjusted life year (QALY) untuk

pasien yang berisiko tinggi (tiga atau lima faktor risiko, 93% dengan mortalitas 2-

bulan) dan $87.000/QALY untuk pasien dengan risiko rendah (tidak ada atau dua

faktor risiko, 49% mortalitas) [9]. Beban ekonomi dari pasien yang selamat

dengan cedera anoksia otak juga besar, dengan rehabilitasi pasien berlangsung

rata-rata 41,5 hari dan biayanya mencapai $44.181 dolar per pasien [10].

Mekanisme cedera neuronal setelah henti jantung

Selama sirkulasi total berhenti oksigenasi serebral pun menurun sehingga

mengakibatkan berkurangnya produksi ATP dan disfungsi dari membran pompa

Na-K yang sangat bergantung kepada ATP. Kehilangan berikutnya dari integritas

selular menimbulkan pelepasan glutamate, yang menyebabkan cedera eksitotoksik

[15] yang sebahagian besar diperantarai oleh reseptor N-methyl-D-aspartate

Page 8: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

(NMDA) [16]. Neurotransmiter lainnya yang mengurangi eksitotoksisitas

glutamate , seperti glycine dan g-aminobutyric acid (GABA) yang berkurang

secara bersamaan [17]. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate mengawali

masuknya kalsium ke dalam ruang intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler

mengatifkan rangakaian second messengers, yang akan mengamplifikasi cedera

dengan meningkatkan permeabilitas kalisum dan pelepasan glutamate [18].

Peningkatan kalsium intaseluler juga meningkatkan radikal bebas dengan

menganggu rantai respirasi mitokohondria [18,19]. Selama reperfusi,

eksitotoksisitas dapat di tingkatkan dengan menyediakan oksigen sebagai subtrak

untuk beberapa reaksi oksidasi enzimatik yang memproduksi radikal bebas dalam

memprakarsai disfungsi mitokondria [20].

Jenis oksigen reaktif ini diketahui mampu menyebabkan kerusakan

melalui lemak peroksidase, oksidasi protein dan fragmentasi DNA, yang mana

semuanya dapat menyebabkan kematian sel [21]. Kompleksitas dari kaskade

cedera ini tidak hanya terbatas dari proses di atas. Deskripsi yang lebih detail dari

mekanisme cedera neuron yang berhubungan dengan iskemia global disediakan

dalam beberapa tinjauan [22-25]. Kaskade cedera ini diawali dengan hipoksia dan

reperfusi, namun hal tersebut dapat berlangsung selama beberapa jam sampai

beberapa hari setelah paparan awal.

Beberapa penelitian klinis telah menguji coba terapi yang mengarahkan

kepada langkah spesifik dari kaskade cedera, dan telah gagal menunjukkan

outcome yang menguntungkan [12,13]. Sebaliknya, beberapa uji acak saat ini

menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik berkaitan dengan peningkatan

keselamatan hidup dan outcome fungsional akibat henti jantung. Meskipun

mekanisme yang mendasari efek neuroprotektif dari hipotermia masih belum

dipahami sepenuhnya, beragam hipotesis telah diusulkan [26]. Kemampuan

hipotermia dalam mempengaruhi beragam hal dari kaskade injuri berkontribusi

secara signifikan terhadap kesuksesan terapi tersebut sebagai sebuah intervensi.

Efek ini termasuk memperlambat kecepatan insial dari deplesi ATP [27,28],

mengurangi pelepasan neurotransmitter eksitotoksik [29], mengubah aktivitas

messenger intraseluler [30], membatasi pemecahan sawar darah otak [31],

mengurangi respon inflamasi [32], merubah ekspresi gen dan sintesa protein

Page 9: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

[33,34], mengurangi kalsium intraselular, dan merupakan pengaturan reseptor

glutamate [35].

Cedera neurologis dan manifestasi klinis

Iskemia serebral global selama henti jantung menyebabkan cedera yang

heterogen pada otak. Proyeksi neuron skala besar dari korteks serebral, sel

purkinje serebral dan area CA-1 pada hipokampus merupakan area yang paling

rentan terkena [36]. Area subkortikal , seperti batang otak, thalamus, dan

hipotalamus lebih tahan terhadap cedera daripada korteks [37,38]. Jika kompleks

talamuskortikal atau region kortikal bilateral yang ekstensif mengalami cedera,

dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran [39]. Gangguan dalam hal

kesadaran masih merupakan masalah neurologis yang paling dominan dalam masa

pasca resusitasi awal. Tinjauan terhadap pertimbangan neuroanatomi dan fisiologi

dari koma yang berhubungan dengan cedera otak setelah henti jantung baru-baru

ini dipublikasikan oleh Hoesch dan teman-teman pada tahun 2008 [40]. Area

lainnya yang rawan untuk mengalami cedera iskemia termasuk ganglia basalis dan

serebellum, yang dapat menyebabkan gangguan pergerakan dan diskoordinasi

yang sering terjadi setelah henti jantung. Batang otak dapat tahan terhadap global

iskemia dalam derajat yang lebih besar. Hal ini termanifestasikan dengan

terpeliharanya saraf kranial dan refleks sensoris dan motorik. Gangguan yang

signifikan dari korteks dan thalamus dengan pemeliharaan yang relatif dari batang

otak menyebabkan terjadinya kondisi vegetatif dan koma.

Evaluasi Neurologis

Evaluasi klinis pada pasien yang selamat dari henti jantung pada artikel ini

berfokus pada pasien yang masih tidak respon atau mengikuti perintah verbal

setelah kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (RSOC).

Dengan pengecualian dari beberapa penelitian baru-baru ini, seluruh observasi

tersebut dilakukan pada pasien yang tidak mendapatkan penatalaksanaan dengan

hipotermia terapeutik ringan [42-45]. Karena kebanyakan mereka yang selamat

dari henti jantung tidak mendapatkan penatalaksanaan dengan hipotermia

terapeutik, penting juga untuk meninjau evaluasi pasien yang selamat yang tidak

Page 10: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

diterapi dengan hipotermia. Evaluasi neurologis yang lengkap harus dilakukan

setelah terjadinya ROSC. Penting juga untuk mengekslusikan faktor-faktor yang

mungkin mengaburkan pemeriksaan neurologis, seperti medikasi dengan obat-

obat sedatif dan paralitik, obat-obat yang digunakan sebelum henti jantung, atau

hipoperfusi serebaral yang sedang berlangsung, kejang atau ensefalopati post-

ictal, gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik. Evaluasi harus menilai status

mental dengan mendokumentasikan kemampuan pasien untuk bangun dan

berinteraksi secara penuh dengan pemeriksa.

Evaluasi dari batang otak termasuk menilai fungsi saraf kranialis dan

refleks, yang paling penting adalah refleks cahaya pupil, refleks kornea, refleks

terhadap stimulasi yang berbahaya, refleks batuk dan muntah, dan adanya

pernapasan spontan. Pada pasien koma, pemeriksaan motorik dan sensorik

bergantung pada respon pasien terhadap stimulasi yang berbahaya, yang dapat

memiliki makna tersendiri (menghindari stimulus), reflektif (posisi ekstensor atau

fleksor), atau tidak ada sama sekali. Hal tersebut juga sangat membantu dalam

mencatat respon otonom seperti pola pernapasan, ketidakstabilan temperatur dan

variabilitas laju jantung dan tekanan darah. Uji diagnostik mungkin dilakukan

untuk meningkatkan penilaian neurologis pada pasien ini. Uji diagnostik yang

telah diteliti dengan baik termasuk elektoensefalografi (EEG), somatosensory

evoked potentials (SSEP) saraf median, uji serum untuk meningkatkan enolase

neuron yang spesifik, dan neuroimaging [43]. Baru-baru ini, American Academy

of Neurology mempublikasikan tinjauan berdasarkan bukti (evidence-based) dan

menghasilkan parameter praktis terhadap prediksi dari outcome yang buruk pada

pasien selamat yang mengalami koma akibat henti jantung [43].

Parameter praktis ini menjelaskan indikator spesifik dari outcome yang

buruk dari pemeriksaan langsung : tidak adanya respon pupil terhadap cahaya dan

tidak adanya refleks kornea dan ektensor atau tidak ada respon motorik terhadap

nyeri setelah observasi selama tiga hari (level A), dan status epileptikus mioklonik

(level B). Berdasarkan uji neuroelektrofisiologi, hilangnya respon dari kortikal

secara bilateral (N20 potensial) dalam rekaman somatosensory evoked potential

(SSEPs) juga memprediksikan outcome yang buruk (level B).. Serum enolase

neuron yang spesifik lebih besar dari 22 mg/L juga spesifik menunjukkan

Page 11: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

outcome yang buruk (level B). Prognosis neurologis tidak dapat hanya ditentukan

oleh kondisi RJP saja. Meskipun neuroimaging (pencitraan neurologi) mungkin

membantu dalam mengelompokkan cedera otak struktural, peranannya dalam

memprediksikan outcome pada pasien yang selamat dari henti jantung masih

belum pasti [43]. Data dari prediksi outcome yang telah ditunjukkan

mempengaruhi dalam pengambilan keputusan oleh dokter dan keluarga mengenai

keputusan dalam menarik bantuan hidup pada pasien dengan outcome yang buruk

setelah dilakukan resusitasi akibat henti jantung [46].

Uji neuroprotektif setelah henti jantung

Petunjuk uji klinis terkontrol yang secara utama mentargetkan rentang

cedera otak setelah henti jantung dari Brain Resuscitation Clinical Trial (BRCT)

(uji coba klinis resusitasi otak) terhadap barbiturate pada tahun 1986 [47].

Thiopental barbiturate adalah agen pertama yang digunakan dalam uji coba klinis

terkontrol. Thiopental mengurangi metabolisme, pembentukan edema, dan

tekanan intrakranial (TIK), aktivitas kejang dan kerusakan oleh iskemia fokal atau

iskemia sebahagian [47]. Meskipun sukses pada model primata dengan iskemia

global [50] dan sukses pada penelitian awal terhadap manusia [51], namun obat

tersebut gagal menunjukkan keuntungan terapeutik di bandingkan plasebo pada

uji coba pertama BRCT 1. Uji BRCT 1 juga memperkenankan tambahan

pengobatan glukokortikoid terhadap agen penelitian (thiopental dan plasebo)

tergantung kebijaksanaan dokter yang menanggani. Dosis pengobatan

glukokortikoid tidak menunjukkan keuntungan tambahan [52]. Penelitian lanjutan

(BRCT 2) menemukan tidak ada keuntungan dalam pengobatan dengan obat

penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker (CCB)) lidoflazine [53].

Berdasarkan pengamatan bahwa nimodipine mengurangi kematian pada defisit

iskemia berat pada perdarahan subarachnoid, uji klinis menggunakan nimodipine

telah dilakukan [54,55]. Penelitian ini menemukan tidak ada perbedaan mortalitas

atau outcome lainnya antara pengobatan dengan nimodipine dan pengobatan

dengan plasebo selama 1 tahun [54]. Pengamatan berikut ini dilakukan oleh

Longstreh dan kawan-kawan [56] bahwa hiperglikemia berkaitan dengan proses

penyembuhan yang buruk setelah henti jantung, uji coba acak terkontrol yang

Page 12: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

dilakukan pada grup yang sama tidak menemukan perbedaan outcome antara

pasien yang diresusitasi dengan larutan yang mengandung glukosa (5% glukosa)

atau tidak mengandung (0,45% NaCl). Uji coba klinis terkontrol lainnya

menemukan tidak ada outcome yang menguntungkan dengan magnesium

intravena, meskpipun efek antiaritmianya dan kemampuan untuk memblokir

neurotransmitter eksitator [57]. Penelitian selanjutnya yang mengkombinasikan

magnesium dengan diazepam, sebuah penghambat cedera neuroeksitotoksik, juga

melaporkan outcome yang tidak berbeda dengan penatalaksanaan dengan plasebo

[58]. Kebanyakan dari agen ini menunjukkan keuntungan preklinik pada model

hewan terhadap iskemia fokal dan global atau keuntungan klinis dalam penelitian

terhadap manusia terhadap penelitian neurologis lainnya. Dengan catatan

pengecualian dalam penelitian terhadap manusia, tidak satupun dari percobaan ini

menunjukkan outcome neurologis atau fungsional yang menguntungkan.

Kegagalan uji klinis tersebut menyediakan tilikan kritis mengenai

epidemiologi, patofisiologi, modeling preklinis, dan desain uji klinis yang dapat

berkontribusi terhadap suksesnya uji coba baru-baru ini dalam hal hipotermia.

Uji klinis dalam hal hipotermia dan henti jantung

Induksi hipotermia sebagai terapi untuk cedera otak akut dijelaskan pada

tahun 1940 an oleh fay [59]. Pada tahun 1950, Bigelow dan kawan-kwan [60]

melaporkan kegunaan dari hipotermia selama bedah jantung. Setelah beberapa

dekade berikutnya Rosomoff [61] mendesain pedoman model penelitian

eksperimental dari hipotermia terapeutik terhadap cedera otak. Pada tahun 1980,

peneliti di Pittsburgh [24,25] dan Miami [26,62] melakukan pendekatan terhadap

induksi hipotermia untuk cedera otak setelah henti jantung dengan cara yang lebih

sistematis. Hal ini mengawali penelitian preklinik yang luas yang menunjukan

keuntungan fungsional dan kelangsungan hidup pada hewan pengerat [63,64] dan

model hewan sejenis anjing [65,66]. Penelitian klinis pertama pada manusia

terhadap induksi hipotermia pada pasien yang selamat dari henti jantung yang

terjadi di luar rumah sakit dilakukan oleh Bernard dan kawan-kwan [67] pada

tahun 1997. Dalam penelitian dengan tuntunan yang aman dan yang dikerjakan

ini, hipotermia diinduksi pada 22 pasien menggunakan permukaan pendingin

Page 13: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

dengan bungkusan es dan diawasi selama 12 jam di ICU. Pada tahun 1998,

Yanagawa dan kawan-kawan [68] melaporkan sebuah penelitian terhadap 13

pasien yang selamat dari henti jantung yang didinginkan denga target suhu adalah

33oC selama 48 jam menggunakan selimut pendingin dan alat konveksi

penghilang panas melalui evaporasi alkohol. Kedua penelitian menyarankan

keuntungan terapetik yang potensial dari hipotermia terhadap henti jantung dan

membuka jalan untuk percobaan definitif.

Penelitian hipotermia di Australia

Di Australia penelitian dilakukan oleh Bernard dan kawan-kawan [49]

mendaftarkan pasien koma setelah resusitasi berhasil dengan irama jantung awal

adalah fibrilasi ventrikel. Penelitian ini secara acak dilakukan pada 77 pasien yang

menerima keadaan hipotermia atau normotermia menggunakan metodologi

pertukaran hari. Pengobatan hipotermia melibatkan 43 pasien dan normotermia

melibatkan 34 pasien. Paramedis di lapangan menginisiasikan hipotermia dini

dengan memberikan bungkusan es yang dingin pada bagian kepala dan badan

pasien. Pada saat pasien tiba di rumah sakit, pendinginan yang nyata dilakukan

dengan mengaplikasikan bungkusan es disekitar kepala, leher, tubuh dan tungkai

untuk mengurangi temperatur inti sampai 33oC, dan dimonitor dengan

menggunakan termometer timpani atau kandung kemih. Target suhu

dipertahankan selama 12 jam dan pasien disedasi dan dilumpuhkan dengan bolus

berulang dari midazolam dan vecuronium seperlunya untuk mencegah mengigil.

Pasien secara aktif dihangatkan ulang dengan selimut yang berisi udara yang

dihangatkan dimulai pada saat 18 jam setelah pasien tiba di rumah sakit, dengan

tetap melanjutkan sedasi dan blokade neuromuskular untuk menekan proses

mengigil. Protokol sedasi dan paralisis yang serupa diterapkan pada pasien yang

terdaftar dalam kelompok normotermia, namun target temperatur inti

dipertahankan pada suhu 37oC. Penghangatan yang pasif digunakan pada pasien

ini jika terdapat hipotermia spontan ringan saat pasien tiba. Penentuan dari

outcome yang utama adalah tempat pasien dipulangkan : rumah, fasilitas

rehabilitasi, atau fasilitias perawatan jangka panjang. Dipulangkan ke rumah atau

fasilitas rehabilitasi dianggap sebagai outcome yang baik, sedangkan mortalitas di

Page 14: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

rumah sakit atau pemulangangan pasien ke fasilitas perawatan jangka panjang

dianggap sebagai outcome yang buruk. Deretan outcome neurologis tidak

dianalisa sebagai ukuran outcome. Peneliti menemukan bahwa 21(49%) dari 43

pasien yang diobati dengan hipotermia memiliki outcome yang baik dibandingkan

dengan 9(26%) dari 34 pasien pada grup normotermia (risiko relatif [RR]

outcome yang baik, 1,85 ; interval kepercayaan (confidence interval)(CI), 0,97-

3,49;). Mortalitas saat dipulangkan adalah 51% (22 dari 43) pada kelompok

hipotermia dan 68% (23 dari 34) pada kelompok normotermia (RR, 0,76;95% CI,

0,52-1,10;).

Penelitian di Eropa : Hipotermia setelah henti jantung

Penelitian yang lebih besar dan berpusat di Eropa dilakukan oleh

kelompok Hypothermia After Cardica Arrest (HACA) [48]. Penelitian tersebut

menyaring dari 2551 subjek yang potensial dan melibatkan 273. Penelitian

tersebut mengacak pasien dalam menginduksi hiopotermia yang dimulai setelah

kedatangan pasien di rumah sakit versus normothermia standar setelah resusitasi.

Terdapat 135 pasien yang mendapatkan prosedur hipotermia dan 138 pasien

dengan prosedur normothermia. Pasien dengan kelompok yang didinginkan pada

temperature target 32oC sampai 34oC. Hipotermia didapatkan dengan pendingin

eksternal oleh matras dan selimut yang mengirimkan udara dingin pada tubuh.

Tujuannya adalah untuk mencapai target temperatur dalam waktu 4 jam setelah

resusitasi. Temperature inti dimonitor dengan thermometer kandung kemih dan

dipertahankan pada rentang target suhu tersebut selama 24 jam. Pasien

dihangatkan kembali secara pasif dalam waktu di atas 8 jam. Sedasi dengan

midazolam dan paralisis dengan vecuronium digunakan untuk mencegah

peningkatan temperature akibat proses mengigil. Lima puluh lima (55%) dari 136

pasien pada kelompok hipotermia memiliki outcome neurologis yang baik dalam

waktu 6 bulan dibandingkan dengan 54(395) dari 137 pada kelompok

normothermia (RR, 1,40: 95% CI, 1.08-1.81). Dalam waktu 6 bulan, terdapat 56

kematian pada 137 peserta 941%) pada kelompok hipotermia dan 76 kematian

diantara 138 pasien (55%) dari kelompok normotermia (RR 0,74; 95% CI, 0,58-

0,95).

Page 15: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Mengikuti dua penelitian ini, Internasional Liaison Committee on

resuscitation (ILCOR) dan American heart Association menerbitkan pernyataan

ilmiah sementara dengan rekomendasi penggunaan hipotermia terapetik pada

pasien henti jantung yang selamat yang mengalami koma [69]. Hal ini kemudian

diikuti pada tahun 2005 oleh Pedoman American Heart Association untuk RJP

dan pelayanan kegawatdaruratan kardiovaskular, yang mencakup rekomendasi

pengobatan berikut [70,71]: Pasien dewasa yang tidak sadar diresusitasi setelah

mengalami henti jantung diluar rumah sakit harus didinginkan pada suhu 32oC

sampai 34 o C (89,6 oF – 93,2 o F) selama 12 sampai 24 jam saat irama awal adalah

fibrilasi ventrikel (Kelas IIa) Terapi yang serupa mungkin menguntungkan untuk

pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit atau mengalami henti jantung

di luar rumah sakit berkaitan dengan irama jantung awal bukan fibrilasi ventrikel

(kelas IIb).

Dampak klinis dari hipotermia terapetik

Untuk penilaian lebih lanjut terhadap dampak hipotermia terhadap

outcome neurologis, tinjauan sistematik pada hipotermia untuk neuroproteksi

setelah henti jantung dijalankan oleh Holzer dan kawan-kawan [72]. Tinjauan ini

mengevaluasi tiga uji klinis terkontrol terhadap dewasa yang selamat dari henti

jantung yang diterapi dengan hipotermia selama 6 jam saat tiba pada unit gawat

darurat. Sebagai tambahan terhadap penelitian Bernard dan kawan-kawan [49]

dan percobaan oleh HACA [48], penelitian yang dikerjakan oleh Hachimi-Idrissi

dan kawan-kawan [73] dimasukkan. Penelitian ini memasukkan 30 pasien yang

selamat dari henti jantung dan mengalami koma dengan irama awal adalah asistol

dan pulseless electrical activity (PEA) yang telah diacak untuk mencapai target

suhu kandung kemih yaitu 34oC seacara maksimum dalam waktu 4 jam

menggunakan peralatan berupa helm yang mengandung larutan aqueous gliserol.

Kajian meta analisis dari tiga penelitian, menggunakan sebuah metodologi tujuan

dalam pengobatan, menunjukkan proses penyembuhan neurologis yang baik lebih

sering terjadi pada kelompok hipotermia (RR, 1.68; 95% CI, 1,29-2,07) [72].

Pengamatan ini menerjemahkan jumlah yang dibutuhkan dalam menanggani 6

pasien, bahkan setelah mengontrol beberapa variabel, seperti usia, gender, durasi

Page 16: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

henti jantung, waktu RJP, dan tehnik RJP. Pada tahun 2006, sebuah metaanalisis

oleh Cheung dan kawan-kawan [74] menambahkan penelitian lainnya dari tiga

penelitian di atas untuk total 436 pasien, dengan 232 didinginkan mencapai suhu

inti antara 32oC sampai 34oC. Analisa mereka menunjukkan bahwa hipotermia

ringan mengurangi mortalitas di rumah sakit (risiko relatif [RR] 0,75 ; 95% CI,

0,62-0,92) dan mengurangi inisiden dari outcome neurologis yang buruk (RR

0,74; 95% CI; 0,62-0,84). Hal ini menunjukkan jumlah yang dibutuhkan untuk

mengobati adalah 7 pasien untuk menyelamatkan 1 nyawa, dan 5 pasien untuk

meningkatkan outcome neurologis. Mereka tidak menemukan bukti efek samping

sebagai keterbatasan dalam pengobatan.

Pengalaman dalam hal uji coba post-klinis

Setelah penyelesaian uji coba hipotermia terapetik di Eropa, European

Resuscitation Council Hypotermia After Cardiac Arrest Registry (ERC HACA-R)

dibentuk untuk mengawasi perkembangan dalam hal praktik medis setelah

rekomendasi ILCOR terhadap hipotermia pada henti jantung dipublikasikan [75].

Data terhadap 650 pasien henti jantung dengan berhasil kembalinya sirkulasi

darah spontan dari 19 lokasi di Eropa di masukkan antara bulan Maret 2003 dan

Juni 2005. Keputusan untuk mendinginkan pasien dilakukan oleh dokter yang

menanggani pada 462 (79%) pasien. Metode pendinginan pada 347 (59%)

dilakukan dengan peralatan endovascular, dan cairan dingin. Efek yang

menguntungankan dari hipotermia ini pada uji klinis direfleksikan pada hasil

daftar hasil ini. Mereka yang memiliki outcome yang tidak baik , 55% nya berasal

dari kelompok yang diterapi dengan hipotermia dibandingkan dengan 68%

kelompok yang tidak diterapi dengan hipotermia (P = .02). Pasien yang meninggal

selama rawat inap di rumah sakit, 43 berasal dari kelompok yang diterapi dengan

hipotermia dibandingkan dengan 68% dari kelompok yang tidak diterapi dengan

hipotermia (P < .001). Peristiwa yang merugikan dilaporkan adalah minimal

dengan 15 (3%) episode perdarahan dan 28 pasien (6%) dengan satu episode

aritmia dalam waktu 7 hari setelah didinginkan. Tidak ada kejadian fatal yang

disebabkan oleh proses pendinginan yang dilaporkan [75]. Data registrasi ini

Page 17: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

menunjukkan bahwa hipotermia terapetik dapat dilakukan dan dapat digunakan

secara aman dan efektif diluar dari uji acak klinis.

Waktu Pendinginan dan Penghangatan Ulang

Waktu yang terbaik untuk memulai hipotermia setelah resusitasi dan

durasi optimal dilakukan hipotermia belum ditentukan. Hal tersebut cukup masuk

akal untuk mempercayai bahwa keuntungan akan lebih besar jika hipotermia

diawali sesegera mungkin setelah resusitasi. Pada penelitian di Eropa, interval

antara resusitasi dan pencapaian target suhu memiliki jarak antar kuartil yaitu 4

sampai 16 jam, dengan rata-rata sekitar 8 jam [48,69,76]. Meskipun beberapa

mengalami keterlambatan, hipotermia masih memberikan keuntungan.

Penghangatan ulang harus dilakukan perlahan untuk menghindari perburukan

cedera neurologis, vasodilatasi mendadak, dan syok [77,78]. Penelitian yang

dilakukan di Eropa menghangatkan ulang poasien secara pasif di atas 8 jam

setelah 24 jam dalam kondisi hipotermia, sementara penelitian di Australia

melaporkan penghantan ulang aktif selama 6 jam menggunakan selimut berisi

udara panas, dimulai 18 jam setelah ROSC [48,49]. Penelitian preklinik telah

menunjukkan penundaan pendinginan menghilangkan efek yang menguntungkan

dari hipotermia [79], dan efek yang menguntungkannya mungkin meningkat

bahkan jika hal tersebut diawali dalam masa resusitasi selama kondisi henti

jantung [80,81] atau sesegera mungkin setelah resusitasi spontan kembali [82].

Terdapat kebutuhan dalam menerjemahkan penelitian pre klinis ini ke dalam

penelitian manusia untuk membantu menentukan onset optimal dan durasi

hipotermia terapeutik dan kecepatan dari proses pendinginan dan penghangatan

ulang itu sendiri.

Komplikasi Hipotermia

Komplikasi potensial dari induksi hipotermia ringan mencakupan

insufisiensi ginjal, perdarahan, sepsis dan pancreatitis; bagaimanapun, komplikasi

ini telah diamati dalam kelompok kontrol. Penelitian oleh Bernard dan kawan-

kawan [49] dan kelompok HACA [48] melaporkan tidak ada perbedaan yang

signifikan secara statisktik terhadap komplikasi antara kelompok-kelompok

Page 18: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

percobaan tersebut. Pada penelitian yang dilakukan oleh HACA, terdapat

kecenderungan kearah peningkatan perdarahan dan sepsis pada kelompok

hipotermia, namun hal tersebut tidak begitu signifikan secara statistik. Dalam

peneltian oleh Bernard dan kawan-kawan [49], kelompok hipotermia memiliki

kecenderungan terhadap indeks kardiak yang lebih rendah, resistensi vaskular

sistemik yang lebih tinggi dan lebih hiperglikemia. Proporsi dari pasien dengan

komplikasi adalah tinggi pada kedua kelompok: 70% pada kelompok

normotermia dan 73% pada kelompok hipotermia. Hipokalemia relatif dan

asidosis metabolik adalah gangguan metabolik yang potensial yang berhubungan

dengan hipotermia [83]. Pengawasan ketat dan koreksi yang sesuai pada kondisi

ini adalah penting, dengan pemahaman bahwa potassium meningkatkan fase

penghangatan sebagaimana perpindahannya ke ruang ekstraselular. Dari

perspektif neurologis, kejang telah dicatat pada pasien normotermia dan pasien

yang diterapi dengan hipotermia, dan kemungkinan besar adalah komplikasi

sekunder terhadap cedera iskemia global yang terus terjadi selama henti jantung

dan reperfusi [84,85]. Oleh sebab itu disarankan untuk memiliki ambang yang

rendah dalam melaksanakan tindakan elektroensefalografi (EEG) pada pasien

yang dicurigai mengalami kejang, khususnya pada mereka yang mengalami

paralisis atau dalam keadaan sedasi berat, karena hal ini dapat menyamarkan

manifestasi klinik.

Efek hipotermia terapetik pada fungsi kognitif dan outcome

neurofisiologis baru-baru ini juga dipelajari pada sejumlah pasien pada penelitian

HACA [48,86]. Pada penelitian kohort ini, pemeriksaan neuropsikologis

dilakukan pada 45 dari 47 pasien yang sadar setelah henti jantung (27 adalah

kelompok pasien hipotermia dan 18 adalah kelompok normotermia) 3 bulan

setelah cedera. Pemeriksa menemukan tidak adanya perbedaan dalam variabel

demografi, tekanan atau keterlambatan yang berkaitan dengan resusitasi. Mereka

juha menemukan tidak terdapatnya perbedaan pada setiap fungsi kognitif yang

diuji, dengan 67% pasien dalam kelompok hipotermia dan 44% pasien dalam

kelompok normotermia adalah secara kognitif utuh dan hanya memiliki gangguan

yang sangat ringan. Defisit kognitif berat ditemukan pada 15% pada kelompok

hipotermia dan 28% pada kelompok normotermia [86]. Penelitian ini

Page 19: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

menunjukkan bahwa penggunaan hipotermia terapetik tidak berhubungan dengan

penurunan fungsi kognitif atau defisit neurofisiologis pada sejumlah pesien yang

diteliti.

Penatalaksanaan saat menggigil

Menggigil adalah respon terhadap hipotermia yang dapat menyebabkan

gangguan signifikan terhadap terapi oleh pembangkitan panas yang menyebabkan

peningkatan suhi inti dan meningkatnya konsumsi oksigen [69,76]. Menggigil

adalah kondisi yang paling menonjol selama induksi, meskipun lebih banyak

perhatian yang dibutuhkan untuk disediakan dalam menggunakan sedatif atau

paralitik selama periode ini. Penelitian yang dilakukan oleh Eropa dan Autralia

menggunakan vecuronium sebagai agen paralitik dan midazolam intravena untuk

sedasi [48,49]. Penggunaan sedasi dan paralisis membutuhkan dukungan

ventilaski mekanik secara penuh, bagaimanapun pasien dalam kondisi koma dan

kemungkinan membutuhkan bantuan ventilasi pada level ini. Evaluasi neurologis

yang detail penting sebelum mengawali proses paralisis dan sedasi, dan hal

tersebut harus diulang saat obat-obatan telah dihentikan, mengingat pasien akan

membersihkan agen ini dalam batas waktu yang bervariasi. Meskipun tidak

terdapat perbandingan penelitian yang secara formal membandingkan derajat

menggigil dengan metode yang berbeda dalam menginduksi hipotermia,

sebahagian pasien tercatat mengalami mengigil dengan sistem pendinginan

permukaan yang cepat [87]. Agen lainnya yang telah efektif dalam mengontrol

menggigil adalah meperidine [88-90] dan buspirone, yang memiliki khasiat yang

sinergis dengan meperidine; bagaimanapun, efek samping dari profil obat yang

terakhir membuatnya menjadi kandidat yang buruk untuk digunakan pada pasien

yang mengalami gangguan neurologis [91]. Pada penelitian lainnya kombinasi

dari dexmedetomidine dan meperdine juga menunjukkan penurunan ambang

menggigil [92].

Page 20: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Metode untuk mendapatkan kondisi hipotermia

Proses pendinginan dapat diterima secara ekstrenal ataupun internal, dan

metode bervariasi dari tehnik yang sederhana menggunakan kantung es atau

lavase es, sampai ke peralatan yang di desain secara spesifik untuk menginduksi,

mempertahankan dan mengembalikan kondisi hipotermia. Teknologi yang

digunakan untuk menginduksi hipotermia baru-baru ini telah ditinjau [93].

Tekhnologi mencakup peragam peralatan pendingin luar dan kateter pendingin

intravaskular. Peralatan pendingin luar dapat dibagi menjadi pendingin otak

regional dan pendinginan keseluruhan yang melibatkan hampir seluruh tubuh

dengan respon suhu sistemik. Beberapa peneltian telah dilakukan untuk

membandingkan keefektifan dari tekhnologi terbaru sebagai standar pendingin

luar. Salah satu penelitian prospektif membandingkan bantalan khusus untuk

pendingin luar [94] dan penelitian retrospektif lainnya menggunakan kateter

pendingin endovascular. [95] menemukan stabilitas yang signifikan dalam

mempertahankan suhu dalam rentang terapeutik. Kedua penelitian, bagaimanapun

tidak menyediakan laju pendinginan pasti yang lebih cepat dibandingkan proses

pendinginan luar standar. Dengan tidak adanya penelitian pasti yang menunjukkan

metode terbaik dalam menginduksi hipotermia, keputusan terhadap rata-rata

pendinginan tergantung dari tim yang menanggani. Faktor-faktor dalam

mempertimbangkan penggunaan metode untuk mencapai kondisi hipotermia dan

hubungannya dengan teknologi adalah sebagai berikut : tempat diinisiasikannya

hipotermia (di lapangan, IGD, atau ICU), kapasitas penolong pertama dalam

menginisiasi hipotermia, kecepatan induksi dan stabilitas temperature selama

pengobatan, kemampuan untuk mengontrol penghangatan ulang, portabilitas dari

olat, efek merugikan yang spesifik, apakah peralatan tersebut menghambat

ketentuan pelayanan dalam keadaan lingkungan pelayanan kritis, dan biaya.

Kemampuan terhadap infus dengan cairan intravena dingin dalam

mengurangi suhu inti memberikan kesempatan yang baru dalam menginduksi

hipotermia. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa infuse cairan dingin

aman dan dapat dilakukan untuk mengurangi suhu inti setelah resusitasi dari henti

jantung. Bernard dan kawan-kawan [96] memberikan infusa 20 mL/kg larutan

Ringel laktat dingin ( 4 oC) untuk pasien yang selamat dari henti jantung, dengan

Page 21: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

pengurangan suhu inti rata-rata dari 35,5oC sampai 33,8oC. Pemeriksa melaporkan

tidak ada komplikasi hemodinamik, ginjal atau asam basa. Tidak ada pasien yang

mengalami edema pulmonal. Kim dan kawan-kawan [97] menunjukkan bahwa

infusa 2 L normal saline pada suhu 4oC pada 17 pasien yang salemat yang

mengalami henti jantung diluar rumah sakit adalah aman dan efektif dalam

mengurangi suhu tubuh secara cepat sebanyak 1,4oC dalam waktu 30 menit

setelah diinisiasi dengan pemberian infus. Infus yang cepat tidak mempengaruhi

ejeksi fraksi atau meningkatkan tekanan vena sentral, tekanan pulmonal atau

tekanan pengisian atrium kiri. Infus intravena dari saline yang dingin adalah

efektif dalam mengurangi suhu inti, namun tidak seefektif dalam proses

pemeliharaannya sepanjang waktu; oleh sebab itu metode cadangakan dalam

mempertahankan kondisi hipotermia dibutuhkan. Penelitian yang melibatkan 134

pasien oleh Polderman dan kawan-kawab [98] memeriksa efek kombinasi dari

sirkulasi air dari selimut pendingin dan infuse intravena sebanyak 2,3 L (rata-rata)

dari 4oC saline di atas 50 menit. Mereka mencatat bahwa pengurangan rata-rata

dari suhu inti dari 36,9oC dengan batasnya mencapai 32,9oC selama 1 jam.

Penelitian ini menunjukan bahwa induksi dan pemeliharaan hipotermia dengan

maksud mengkombinasikan infusa cairan dingin dan selimut pendingin berisi air-

es adalah cepat, aman dan manjur.

Hipotermia terapetik dan prognosis neurologis

Parameter praktis baru-baru ini yang dikeluarkan oleh American Academy

of Neurology fokus pada prediski outcome yang buruk pada pasien yang tidak

diterapi dengan hipotermia [43]. Meskipun publikasi ini adalah merupakan salah

satu klarifikasi dari kesimpulan yang penting, aspek kritis dalam pelayanan

terhadap pasien ini masih belum dipecahkan. Apakah cara yang terbaik untuk

menilai cedera otak selama periode awal ketika hal tersebut masih diterima untuk

dilakukan pengobatan dengan hipotermia? Apakah parameter neurologis yang

dapat menentukan pasien manakah yang kemungkinan paling mendapat

keuntungan dari terapi? Apakah indikator prognostik yang didiskusikan pada

parameter praktis diterapkan pada pasien yang diterapi dengan hipotermia? Untuk

pasien yang diterapi dengan hipotermia, penelitian-penelitian yang muncul

Page 22: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

mengenai indikator prognostik telah fokus pada marker biokimia dan Evoked

Potential. Penelitian yang lebih dalam dari uji coba HACA membandingkan dua

marker serum, neuron-spesific enolase (NSE) dan S-100b, pada 34 pasien

hipotermik dan 32 pasien nomotermik setelah henti jantung [99]. NSE adalah

enzim spesifik terhadap neuron dan sel neuroektodermal yang tidak biasanya

ditemukan pada serum. Enzim itu memiliki waktu paruh kira-kira 24 jam. Protein

W-100 b adalah protein pengikat kalsium yang ditemukan secara dominan pada

sel astroglia dan sel Schwann. Protein tersebut memiliki sebuah waktu paruh

serum berkisar 0,5 jam. Peneliti melaporkan bahwa konsentrasi NSE lebih rendah

pada pasien yang diterapi dengan hipotermia, namun tidak ada perbedaan dengan

level S-100b. Angka keselamatan hidup, pulihnya kesadaran dan outcome yang

baik berhubungan secara signifikan dengan berkurangnya kadar NSE dalam

waktu 24 dan 48 jam. Meskipun peneliti mengidentifikasikan batas nilai dari

konsentrasi NSE yang merupakan nilai prediktif dari outcome yang buruk, nilai

ini berbeda secara signifikan antara kelompok hipotermia dan kelompok

normotermia [99].

Efek hipotermia terhadap SSEPs dipelajari sebelumnya pada pasien yang

tidak mengalami henti jantung, karena SSEP sering digunakan dalam pengawasan

intra-operatif pada pasien yang diterapi dengan hipotermia selama menjalani

prosedur pembedahan saraf [72]. Lebar potensial dari saraf median kortikal (N20)

tidak berpengaruh, namun masa laten lebih panjang pada pasien hipotermik

dibandingkan dengan pasien normotermik. Penelitian lanjutan oleh uji coba

HACA di Eropa memeriksa keakuratan prognosis terhadap SSEP pada 57 pasien

24 sampai 28 jam setelah henti jantung [100]. Tiga puluh pasien yang diterapi

dengan hipotermia, dan masa laten N20 menjadi lebih lama pada seluruh pasien

ini. Sebelas pasien tidak mengalami respon N20 (Tiga pasien hipotermik dan 8

pasien normotermik ), tidak ada satupun dari mereka yang kembali sadar.

Meskipun jumlah pasiennya kecil, penelitian ini menunjukkan bahwa SSEP yang

dilakukan dalam waktu 24 sampai 28 jam setelah henti jantung menguatkan

spesifisitasnya sebagai outcome yang buruk, bahkan pada pasien yang mengalami

hipotermia [100]. Kemampuan untuk memprediksikan outcome yang buruk

Page 23: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

setelah hipotermia terapetik dengan menggunakan SSEPs butuh untuk

dikonfirmasi dalam penelitian yang lebih besar dengan desain prospektif.

Meningkatkan pengawasan fungsi neural pada pasien yang selamat dari

henti jantung

Hipotermia terapeutik menunjukkan bahwa cedera otak setelah henti

jantung dapat diperbaiki. Implementasi hipotermia sebagai terapi otak langsung

mungkin diperlambat oleh ketidaksediaan monitor yang dapat

menginterpretasikan fungsi otak secara nyata. Penurunan suhu yang ditetapkan

secara empiris diamati dari kandung kemih atau jantung; efek aktual pada otak

sebagai organ target tidak diawasi secara langsung. Hal tersebut sangat berbeda

dengan ketersediaan dan kemudahan interpretasi fungsi jantung dengan

menggunakan EKG atau fungsi paru dengan menggunakan pulse oximetry di ICU.

Sementara ketersediaan, alat uji neurologis, seperti EEG dan SSEP, terbatas pada

pusat dengan para ahli yang memiliki keahlian khusus di bidang

neuroelektrofisiologi. Pentingnya cedera otak dan kebutuhan terhadap

penerjemahan dari uji ini memerlukan kerjasama yang baik dengan pakar

neurologis atau spesialis saraf. Untuk meningkatkan secara nyata pelayanan

terhadap pasien ini , tehnologi harus dikembangkan untuk mengizinkan mereka

yang bukan ahli saraf dan pekerja kesehatan lainnya untuk mengevaluasi evolusi

dari cedera otak tersebut. Meskupun demikian, tehnologi SSEP dan EEG butuh

disederhanakan, diotomatisasi, dan diukur dengan suatu cara sehingga lebih

mudah diinterpretasi. Baru-baru ini, kemampuan dari EEG kuantitatif dalam

melacak pemulihan otak dengan terapi hipotermia telah diinvestigasi dalam

penelitian yang dilakukan pada binatang [101,102] dan pada masuia [103,105].

Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk menentukan apakah indikator prognosis

memberikan nilai akurat pada pasien yang diterapi dengan hipotermia. Baru-baru

ini, banyak yang telah memusatkan minat pada SSEP untuk menilai prognosis

pada pasien yang diterapi dengan kondisi normotermia dan hipotermia setelah

henti jantung, dan menyarankan kebutuhan untuk mengadaptasi dan

menyederhanakan tehnologi ini utnuk aplikasi yang lebih luas.

Page 24: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Tindakan neuroprotektif lainnya di ICU

Perfusi serebral

Hipotensi setelah ROSC dapat memperburuk iskemia serebral, dan hal

tersebut harus dihindari [70]. Disfungsi mikrovaskular dan kegagalan autoregulasi

merupakan dua faktor utama yang menganggu perfusi serebral setelah henti

jantung. Identifikasi tombrus dari mikrovaskular serebral setelah kejadian henti

jantung telah menunjukkan kemungkinan keuntungan dari terapi trombolitik, dan

hal ini telah diuji dalam uji klinis [106,107]. Perfusi serebral dapat mengalami

gangguan lebih lanjut dengan berubahnya autoregulasi dari pembuluh darah

serebral, yang telah dijelaskan sebagai tidak adanya fase akut atau bergeser ke

kanan pada pasien yang selamat dari henti jantung [108]. Implikasi klinis dari

penemuan ini adalah bahwa tekanan arteri rata-rata pasien atau mean arterial

blood pressure (MAP) mungkin dibutuhkan untuk dipertahankan pada level yang

lebih tinggi untuk memastikan aliran darah otak yang adekuat [108]. Meskipun,

terdapat sedikit data yang menyatakan bahwa target tekanan darah optimal untuk

memeliharan perfusi otak pasca henti jantung. Salah satu penelitian

mengindikasikan bahwa MAP lebih besar dari 65 mmHg, yang mampu

mendukung perfusi koroner yang adekuat, mungkin tidak cukup untuk

menyediakan suplai darah otak yang adekuat, kecuali terapi lain yang di desain

untuk menurunkan permintaan metabolic otak diimplementasikan (contohnya

sedasi, hipotermia)[108]. MAP sebesar 80 hingga 100 mm Hg dinyatakan

bermanfaat, paling kurang dalam 24 jam pertama setelah henti jantung [109].

Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial

Biasanya , TIK tidak meningkat setelah henti jantung [110], namun

tekanan intra kranial yang tinggi dapat mengganggu aliran darah, dan herniasi

serebri dapat menyebabkan kerusakan otak serta kematian. Pada pasien yang

mengalami koma dengan kejadian peningkatan tekanan intrakranial, seperti tanda-

tanda klinis adanya herniasi atau edema serebri pada CT scan, pengawasan

terhadap TIK mungkin bermanfaat dalam mengarahkan terapi dalam

Page 25: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

mengoptimalisasikan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi otak [111].

Hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia dapat memperburuk kerusakan otak dan

harus dihindari [70]. Pada kondisi dimana tidak adanya peningkatan tekanan

intrakranial yang sedang berlangsung, profilaksis dan hiperventilasi jangka

panjang dapat memperburuk luas jangkauan dari cedera otak [70,221]. Oleh sebab

itu, disarankan pada pasien koma untuk dilakukan ventilasi secara mekanis untuk

mendapatkan keadaan normocapnia [70].

Penatalaksanaan Demam

Demam dapat memperburuk cedera otak sekunder setelah henti jantung.

Setiap derajatnya diatas 37oC berhubungan dengan peningkatan risiko terhadap

kecacatan berat, koma dan kondisi vegetatif yang persisten [113]. Bukti bahwa

peningkatan temperature dapat memperburuk outcome menjadikan kebutuhan

untuk melakukan hipotermia terapeutok setelah henti jantung menjadi lebih

penting. Pada pasien yang tidak dipertimbangkan sebagai kandidat untuk

hipotermia terapeutik sebagai sebuah mekanisme untuk memproteksi otak,

antipiretik dan tindakan pendinginginan invasif atau permukaan harus digunakan

secara agresif untuk memastikan bahwa suhu tubuh di bawah 38 oC

Penatalaksanaan Hiperglikemia

Hiperglikemia setelah cedera otak iskemi telah dikaitkan dengan

perburukan outcome [56,114]. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa

kontrol glukosa yang ketat pada pasien kritis dapat mengawali terjadinya outcome

yang lebih baik [115]. Penelitian saat ini menemukan hubungan yang kuar antara

level gula darah pada waktu 12 jam setelah kembalinya sirkulasi spontan (RSOC)

dan perbaikan neurologis di atas 6 bulan (Losert dan kawan-kawan, 2008)(116).

Outcome neurologis yang baik tercatat tidak hanya pada rentang glukosa 67

sampai 115 mg/dl, namun juga pada mereka dengan rentang kadar glukosa dari

116 sampai 143 mg/dk [116]. Sebagaimana diperlukan lebih banyak uji coba

klinis untuk mengklarifikasi pengaruh dari kontrol glukosa ini, penting juga untuk

menyadari bahwa juga terdapat efek yang merugikan dari hipoglikemia pada saat

kita mengontrol kadar glukosa darah pada pasien yang selamat dari henti jantung

Page 26: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

Mengontrol Kejang

Kejang dan mioklonus biasa terjadi setelah henti jantung [117] dan

munculnya status epileptikus merupakan dugaan kuat akan terjadinya kematian

[118}. Kejang dapat mengganggu pemulihan otak karena dapat meningkatkan

beban metabolik dan meningkatkan tekanan intrakranial. Kejang juga dapat

memperlambat pulihnya kesadaran setelah resusitasi. Obat-obat antiepileptik

profilaksis umumnya tidak diberikan; bagaimanapun jika aktivitas kejang terus

berkembang pada pasien, maka hal tersebut harus diterapi dengan medikasi

antiepilepsi standar [117]. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada setiap pasien

yang dicurigai mengalami kejang, dan harus dipertimbangkan apakah pasien

gagal untu dipulihkan kesadarannya setelah resusitasi untuk mengekslusikan

status epileptikus non konvulsif.

Kesimpulan

Cedera otak masih merupakan penyebab utama kecacatan setelah henti

jantung, meskipun telah adanya kemajuan dalam terapi dalam perawatan intensif

dan terapi kardiovaskular beberapa dekade yang lalu. Pelayanan terhadap pasien

dapat menjadi suatu tantangan, dan hal tersebut membutuhkan usaha yang besar

dari sumber daya medis serta biaya. Sebagai tambahan beberapa uji klinis

mengenai strategi neuroprotektif yang menunjukkan sesuatu yang menjanjikan

dalam penelitian preklinis namun memberikan hasil yang mengecewakan dalam

uji klinis.. Hipotermia terapeutik emergensi sebagai tindakan neuroprotektif yang

sukses pada pasien selamat dari henti jantung yang mengalami koma dengan tipe

irama fibrilasi ventrikel menunjukkan manfaat dalam hal keselamatan hidup dan

pengukuran outcome fungsional telah menciptakan antusiasme baru untuk

perbaikan cedera otak pada pasien-pasien ini.

Beberapa tantangan dan ketidakpastian terus berlangsung mengenai

hipotermia terapuetik, termasuk pemahaman dasar terhadap keuntungan dari

mekanisme, kedalaman yang optimal dari hipotermia, waktu mengawali terapi,

durasi pengobatan, dan mekanisme terbaik dalam memperoleh kondisi hipotermia

Page 27: Penatalaksanaan Cedera Kepala Setelah Resusitasi Dari Henti Jantung

(pendinginan internal atau eksternal), dan ketersediaan indikator langsung untuk

respon otak terhadap hipotermia. Pertanyaan ini butuh untuk dijawab oleh serial

uji klinis dalam skala yang lebih besar dan laporan data registrasi. Penerapan

rekomendasi American Heart Association dan ILCOR untuk menginisiasi

hipotermia sesegera mungkin setelah resusitasi dari henti jantung tipe fibrilasi

ventrikel pada pasien diluar rumah sakit masih lambat, bahkan pada pusat

akademi medis. Dengan jumlah yang dibutuhkan untu melakukan terapi pada

sekitar enam orang untuk mendapatkan keselamatan hidup dan manfaat

fungsional, hipotermia membuktikan mampu menjadi terapi yang sangat penting

dan sehat untuk pasien yang selamat dari henti jantung. Rumah sakit mungkin

harus menetapkan protokol dan sistem hipotermia untuk meningkatkan kepatuhan

terhadap rekomendasi pengobatan.

DaftarPustaka

- Guyton and Hall. 2008. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Jakarta:

PenerbitBukuKedokteran.

- Jones and Bartlett. 2014. Anatomy and Physiology of the Cardiovascular System.

http://samples.jbpub.com/9781449652609/99069_ch05_6101.pdf.

- British Heart Foundation. 2008. Cardiac Arrest.

http://www.nwas.nhs.uk/media/229797/BHF%20Cardiac%20Arrest.pdf

- Irdi, Cardiac Arrest, available at: http://www.irwanashari.com/2009/09/

cardiac-arrest.html.

- American Heart Association. 2014. Cardiac Arrest. www.heart.org