laporan kasus manajemen pasien henti jantung di …

23
LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI RUMAH SAKIT Oleh: Oleh : dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH 2019

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI RUMAH SAKIT

Oleh:

Oleh :

dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An

DEPARTEMEN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH

2019

Page 2: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................3

2.1 Henti Jantung ........................................................................................3

2.2 Faktor Predisposisi ................................................................................3

2.3 Tanda dan Gejala Henti Jantung ...........................................................4

2.4 Patofisiologi Henti Jantung ...................................................................5

2.5 Manajemen Henti Jantung di Rumah Sakit ...........................................7

BAB III LAPORAN KASUS ..............................................................................15

BAB IV DISKUSI KASUS .................................................................................18

BAB V SIMPULAN ...........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................20

Page 3: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

iii

ABSTRACT

A 49-year-old male patient with initial diagnosis of dyspnea syndrome, grade I

hypertension, chronic hyponatremia. On May 6, 2019 the patient experienced a

decrease in consciousness accompanied by dsypnea, GCS E1V1M1. After doing

the evaluation, there are rhonki heard both lung fields accompanied by a decrease

in pulmonary vesicular sound. The patient experiences pulmonary edema suspect

pulmonary embolism and it causes respiratory failure. Then ETT is installed to

secure the airway, 5 minutes after the installation of ETT, the patient suffer cardiac

arrest. CPR is carried out for 5 cycles and the administration of 3 ampules of

adrenaline. After evaluation, the pulse rate was 130x / minute, Blood Pressure 90 /

50 mmHg. Then do bagging manually with the frequency of breath 18-20x / minute.

ABSTRAK

Pasien laki-laki 49 tahun dengan diagnosis awal sindrom dyspnea, hipertensi grade

I, hiponatremia kronis. Pada tanggal 6 mei 2019 pasien mengalami penurunan

kesadaran disertai dengan sesak, GCS E1V1M1. Setelah dievaluasi, terdengar

rhonki padai kedua lapang paru disertai dengan penurunan suara vesikuler paru.

Pasien mengalami edema paru suspect emboli paru dan pasien mengalami gagal

nafas. Kemudian dilakukan pemasangan ETT untuk mengamankan jalan nafas, 5

menit setelah pemasangan intubasi ETT pasien mengalami cardiac arrest.

Dilakukan RJP sebanyak 5 siklus dan pemberian adrenalin 3 ampul. Setelah

dievaluasi didapatkan denyut nadi 130x/menit, Tekanan Darah 90/50mmHg.

Kemudian dilakukan bagging manual dengan frekuensi nafas 18-20x/menit.

Page 4: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

Kematian mendadak merupakan salah satu penyebab utama kematian untuk

saat ini. Berdasarkan data WHO dijelasakan bahwa sebagian besar penyebab

kematian mendadak dilatarbelakangi oleh penyakit kardiovaskuler dan penyebab

utamanya adalah penyakit jantung coroner. Penyakit jantung coroner dapat

menyebabkan kegagalan fungsi jantung, sehingga pasien akan mengalami

penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan kualitas hidup, dan rentang

hidup memendek. (Maron, 2011)

Saat pasien memiliki riwayat jantung coroner salah satu kondisi yang dapat

terjadi adalah henti jantung. Henti jantung (Cardiac Arrest) merupakan suatu

keadaan dimana fungsi jantung hilang secara tiba-tiba dan mendadak, kondisi

tersebut dapat terjadi kepada orang yang didiagnosa dengan penyakit jantung

ataupun tidak, ini ditandai dengan hasil Ventricular Fibrilation pada saat

pemeriksaan EKG. Waktu kejadiannya juga tidak dapat diprediksi, terjadi sangat

cepat begitu gejala dan tanda tampak. (Maron, 2011)

Selain disebabkan oleh penyakit jantung coroner, henti jantung juga dapat

disebabkan karena kelainan jantung itu sendiri seperti, ventrikel fibrilasi, kelainan

vaskuler, trauma dada, dan penyebab lainnya. Henti jantung biasanya terjadi

beberapa menit setelah henti nafas, pada umumnya saat terjadi henti nafas denyut

jantung dan pembuluh darah masih ada sampai 30 menit.

Henti Jantung dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan RJP

(Resusitasi Jantung Paru) dan defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung

normal. Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10

persen pada tiap menit yang berjalan tanpa RJP dan defibrilasi. Inti dari penanganan

Resusitasi Jantung Paru adalah kemampuan untuk bisa mendeteksi dan bereaksi

secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin mengembalikan denyut jantung ke

kondisi normal untuk mencegah terjadinya kematian otak dan kematian permanen.

Page 5: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di United Kingdom keselamatan

seseorang yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dan dilakukan RJP

mencapai 3%-16,3%. Sedangkan jika dilakukan di dalam rumah sakit angka

keselamatannya mencapai 18% pada dewasa dan 36% pada pediatri. Di Amerika

dari insiden sebesar 359.400 pada 2013 yang mengalami henti jantung di luar

rumah sakit, dilakukan RJP 40,1% dan angka keselamatan sebesar 9,5%. Untuk

henti jantung yang terjadi di rumah sakit sebesar 209.000 dilakuakn RJP 23,9% Di

Indonesia, melakukan RJP pada pasien yang sudah henti nadi dan henti napas dapat

meningkatkan harapan hidup sebesar 10,5%. Angka keselamatan pasien ditentukan

oleh kualitas RJP. Kualitas RJP selama resusitasi memiliki akibat yang signifikan

pada keselamatan pasien. Hal ini disebabkan karena RJP hanya memberikan aliran

darah ke otak sebesar 10%-30% dan ke jantung 30-40%. Selain kualitas, pada

penanganan dengan RJP, kemampuan klinisi akan mempengaruhi dalam

menurunkan komplikasi (Peter, AM et al. 2013).

Penanganan secara cepat dapat diwujudkan jika terdapat tenaga medis di

rumah sakit yang memilki kemampuan dalam melakukan mata rantai survival saat

henti jantung terjadi. Masalah inilah yang kemudian memunculkan terbentuknya

tim reaksi cepat dalam penanganan henti jantung segera yang disebut Code Blue.

Code Blue merupakan kode panggilan yang menandakan adanya kondisi

kegawatdaruratan pasien (henti nafas dan henti jantung). Kode ini sudah digunakan

sejak tahun 2010 dalam guideline AHA, dan diperkuat dengan guideline AHA

2015. Tahapan pelaksanaan pengawasan kegawatdaruratan adalah yang pertama

adalah pengenalan tanda awal keadaan kondisi kritis akut (Early Warning System

Score), yang kedua adalah panggilan Code Blue. Selanjutnya adalah tindakan RJP

(Resusitasi Jantung Paru), lalu pengelolaan pasien pasca RJP, dan diakhiri dengan

laporan dan evaluasi Code Blue. (AHA, 2015)

Page 6: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Henti Jantung

Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-

tiba dan mendadak, bias terjadi pada seseorang yang menderita penyakit jantung

ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak dapat diperkirakan, dan terjadi sangat cepat

begitu gejala tampak. Cardiac Arrest seringkali berakibat fatal jika langkah yang

tepat tidak segera dilakukan. (Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010)

2.2 Faktor Predisposisi

Faktor risiko cardiac arrest adalah: Laki-laki usia 40 tahun atau lebih,

memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan

orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin

tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor

risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi,hiperkholesterolemia dan merokok

memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac arrest.

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan

mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:

a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab

lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab

tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam

jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung

adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien

dengan penyakit jantung atherosclerotic.

b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya

karena tekanan darah tinggi, kelainan katup jantung) membuat seseorang

cenderung untuk terkena cardiac arrest.

c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena

beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia)

justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest.

Page 7: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

4

Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan

yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam

darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan aritmia

yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak

normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang

QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan

dewasa muda.

e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri

koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa

muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas

fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila

dijumpai kelainan tadi.

f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya

cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan

pada organ jantung.

2.3 Tanda dan Gejala Henti Jantung

Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila dijumpai gejala-gejala seperti

berikut ini, yaitu: pasien tidak sadar, tidak bergerak, tampak pucat dan sianosis,

henti nafas, denyut nadi arteri besar tidak teraba, dan pupil dilatasi. Diagnosis pasti

adalah tidak terabanya denyut arteri besar, misalnya pada arteri karotis yang diraba

pada leher atau femoralis yang diraba pada lipatan paha.

Pada bayi dan anak-anak, perabaan pada arteri karotis dapat menimbulkan

tekanan/desakan pada jalan nafas, oleh karena itu perabaan denyut nadi dilakukan

pada arteri brakhialis, arteri femoralis atau aorta abdominalis atau adanya denyutan

ventrikel di daerah precordial.

Walaupun dilatasi pupil merupakan salah satu gambaran henti jantung,

tetapi jangan ditunggu sampai tampak adanya gambaran dilatasi pupil ini, karena

untuk terjadinya dilatasi pupil diperlukan waktu (walaupun sangat pendek).

(Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010)

Page 8: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

5

2.4 Patofisiologi Henti Jantung

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.

Beberapa sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal,

dan keadaan ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut

terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang

dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF),

Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan

Asistol (AHA, 2015).

Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular

fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan

menyebabkan jantung kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara

adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan

sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain

termasuk miokardium jantung .

Gambar 1. EKG ventricular fibrilasi

Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh

kontraksi ventrikel dimana jantung berdenyut > 120 denyut/menit dengan GRS

kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks

tunggal) atau polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik

amplitudo dan bentuknya) (Koplan, 2009).

Page 9: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

6

Gambar 2. EKG Ventricular Tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana

tidak terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac

output. Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik

jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem

elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol

primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial

(Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Koplan, 2009).

Gambar 3. EKG asystole

Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical

Activity (PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa

diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat,

dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau

menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Koplan, 2009).

Page 10: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

7

Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang

mendasarinya. Namun pada umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah

sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.

Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.

Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai

oksigen, termasuk otak. Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,

menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.

Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit

dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Koplan, 2009).

2.5 Manajemen Henti Jantung di Rumah Sakit

Penanganan pasien henti jantung di rumah sakit sedikit berbeda dengan

penanganan hanti jantung di luar rumah sakit, hal itu terkait dengan ketersediaan

alat-alat emergency dan tenaga medis terlatih.

Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan

tindakan CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke

paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada.

Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak(1-8 tahun), dan dewasa

(8 tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi. Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai

kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak

bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien

(Krisanty, et al. 2009).

a) Menentukan ketiadaan respon/Kebersihan Jalan Nafas (airway):

(1). Periksa ketiadaan respon dengan menepuk atau menggoyangkan pasien

sambil bersuara keras “Apakah anda baik-baik saja?”

(2). Apabila pasien tidak berespon, minta petugas yang saat itu bersama kita

untuk mengaktifkan code blue dan mengambil peralatan emergency.

Page 11: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

8

(3). Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil posisi

sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai trauma leher dan

kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila sangat perlu saja.

Rasionalisasi: posisi ini memungkinkan pemberi bantuan dapat

memberikan bantuan nafas dan kompresi dada tanpa berubah posisi.

(4). Buka jalan nafas

(a). Head-tilt/chin-lift maneuver: letakkan salah satu tangan di kening

pasien, tekan kening ke arah belakang dengan menggunakan

telapak tangan untuk mendongakkan kepala pasien. Kemudian

letakkan jari-jari dari tangan yang lainnya di dagu korban pada

bagian yang bertulang, dan angkat rahang ke depan sampai gigi

mengatub. Rasionalisasi: tindakan ini akan membebaskan jalan

nafas dari sumbatan oleh lidah.

(b). Jaw-thrust maneuver: pegang sudut dari rahang bawah pasien pada

masing-masing sisinya dengan kedua tangan, angkat mandibula ke

atas sehingga kepala mendongak. Rasionalisasi: teknik ini adalah

metode yang paling aman untuk membuka jalan nafas pada korban

yang dicurigai mengalami trauma leher.

Jika pada pasien terdapat sumbatan jalan nafas berupa cairan baik itu air

liur, maupun perdarahan maka dapat dilakukan suction untuk

membersihkan jalan nafas (airway). Dilakukan pemasangan intubasi agar

pernafasan adekuat.

b). Pernafasan (Breathing)

(1). Dekatkan telinga ke mulut dan hidung pasien, sementara pandangan

kita arahkan ke dada pasien, perhatikan apakah ada pergerakan naik

turun dada dan rasakan adanya udara yang berhembus selama expirasi.

(Lakukan 5-10 detik). Jika pasien bernafas, posisikan korban ke posisi

Page 12: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

9

recovery (posisi tengkurap, kepala menoleh ke samping). Rasionalisasi:

untuk memastikan ada atau tidaknya pernafasan spontan.

(2). Jika ternyata tidak ada, berikan bantuan pernafasan dengan

menggunakan amfubag. Selama memberikan bantuan pernafasan

pastikan jalan nafas pasien terbuka dan tidak ada udara yang terbuang

keluar. Berikan bantuan pernafasan sebanyak dua kali (masing-

masing selama 2-4 detik). Rasionalisasi: pemberian bantuan

pernafasan yang adekuat diindikasikan dengan dada terlihat

mengembang dan mengempis, terasa adanya udara yang keluar dari

jalan nafas dan terdengar adanya udara yang keluar saat expirasi.

c). Circulation

Pastikan ada atau tidaknya denyut nadi, sementara tetap

mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan head tilt-chin lift yaitu

satu tangan pada dahi pasien, tangan yang lain meraba denyut nadi pada

arteri carotis dan femoral selama 5 sampai 10 detik. Jika denyut nadi

tidak teraba, mulai dengan CPR.

2.5.1 Cardio Pulmonary Resusitation (CPR)

Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan hidup

dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan jantung sampai ke

kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke kondisi

normal (Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A., 2010). Adapun langkah-langkah CPR

adalah sebagai berikut;

(1) Berlutut sedekat mungkin dengan dada pasien. Letakkan bagian pangkal dari

salah satu tangan pada daerah tengah bawah dari sternum (2 jari ke arah cranial

dari procecus xyphoideus). Jari-jari bisa saling menjalin atau dikeataskan

menjauhi dada. Rasionalisasi: tumpuan tangan penolong harus berada di

Page 13: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

10

sternum, sehingga tekanan yang diberikan akan terpusat di sternum, yang mana

akan mengurangi resiko patah tulang rusuk.

(2). Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi pundak berada tegak

lurus dengan kedua tangan, dengan cepat dan bertenaga tekan bagian tengah

bawah dari sternum pasien ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)

(3). Lepaskan tekanan ke dada dan biarkan dada kembali ke posisi normal.

Lamanya pelepasan tekanan harus sama dengan lamanya pemberian tekanan.

Tangan jangan diangkat dari dada pasien atau berubah posisi. Rasionalisasi:

pelepasan tekanan ke dada akan memberikan kesempatan darah mengalir ke

jantung.

(4). Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali kompresi dada.

Evaluasi ritme jantung.

Page 14: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

11

Gambar 4. Algoritma Cardiac Arrest pada dewasa (AHA, 2018)

Page 15: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

12

Gambar 5. Algoritma Lingkaran Cardiac Arrest pada dewasa (AHA, 2018)

2.5.2 Pengelolaan Pasien Pasca Henti Jantung di ICU

Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan

kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yaitu

terabanya nadi karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan

pengelolaan secara menyeluruh pada pasien henti jantung. Pengelolaan pasca

henti jantung dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya

hemodinamik, bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal

multi organ dan brain injury.

Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih

kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.

Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali

sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus

Page 16: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

13

diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke

tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan

homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi,

kejang dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologi yang lebih buruk.

Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome

yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard

dan patologi penyebab henti jantung yang menetap. (Kilgannon , JH 2008)

(1) Pengolaan Oksigenasi dan Ventilasi

Panduan AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen inspirasi

ditritrasi deng memlihara satorasi oksiken arteri (SaO2) lebih dari 94% dan

PaO2 sekitar 100 mmHg.Inisiasi bantuan ventilasi mekanik dianjurkan dengan

volume ventilation dengan volume tidal 6-8 mL/kg predicted body weight, laju

napas 10-14 kali/menit dengan memlihara Pa CO2 35-40 mmHg, atau lebih baik

dipantau dengan alat capnometer untuk memelihara end tidal CO2 dalam batas

normal. Oleh karena pasien-pasien pasca henti jantung mempunyai risiko terjadinya

acute respiratory distress syndrome, dan menghindari terjadinya ventilator-induced

lung injury maka plateau pressure dijaga kurang atau sama dengan 30 cmH2O.

(Peberdy, MA et al. 2010)

(2) Optimasi Hemodinamik

Pengelolaan hemodinamik diutamakan dengan perbaikan volume

intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekwat, mengoptimalkan pasokan oksigen,

mengidentifikasi dan mengobati penyebab henti jantung. Pada sindrom pasca henti

jantung akan terjadi hipovolemi akibat peningkatan permiabilitas kapiler, oleh

karena itu resusitasi cairan dengan kristaloid dapat dimulai. Target tekanan

vena sentral (central venous pressure/CVP) dilaporkan tidak dapat menilai status

volume bila emboli paru, tension pneumothraks, tamponade jantung atau infark

miokard kanan sebagai penyebab henti jantung. (Jones, et al. 2010)

Page 17: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

14

Akhir-akhir ini metode untuk menilai kecukupan volume intravaskular

adalah perubahan diameter vena cava inferior yang dinilai dengan

ultrasonografi, pulse pressure variation atau systolic pressure variation.

Namun demikian, keluaran urin lebih dari 1 ml/kg berat badan/ jam dapat

merupakan target resusitasi.

Tekanan perfusi yang adekuat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata

(mean artery pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini

dilaporkan dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat, sedangkan

bila MAP lebih dari 100 mmHg akan mempunyai efek merugikan. Untuk menilai

kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat diperiksa kadar laktat darah

dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2).

Apabila dengan resusitasi cairan, pemberian obat vasopresor dan

inotropik gagal dalam menjaga tekanan perfusi dan pasokan oksigen, maka bantuan

mekanik hemodinamik dapat dipertimbangkan seperti pemasangan intra-aortic

balloon pump (IABP) atau left ventricular assist device (LVAD), meskipun alat-

alat ini tidak dianjurkan digunakan secara rutin.

(3) Pengendalian Suhu

(4) Pengendalian Kadar Gula Darah

(5) Pengendalian Kejang

Page 18: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

15

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : MN

No. RM : 19010063

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 49 tahun

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Jl. Nangka Utara Gg. Sawo No.2 Br. Tangguntiti Desa

Tonja Denut

Diagnosis : Sindrom dyspnea, Hipertensi grade I, Hiponatremia

kronis

MRS : 3 Mei 2019

3.2 Anamnesis

Pasien datang mengeluh nyeri perut dirasakan sejak 1 minggu, saat ini

dikatakan membaik. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan baik.

Mengeluh badan lemas dan kaku tidak dirasakan. Kontrol BAK adekuat, BAB

berwarna coklat, mual (+), muntah dikatakan ada, namun saat ini sudah

membaik. Demam tidak ada, batuk tidak ada. Riwayat kanker nasofaring sejak

5 tahun, sudah kemoterapi dan radiasi di Surabaya 5 tahun yang lalu. Hipertensi

dikatakan ada minum obat teratur (amplodipine 5mg). Gangguan pendengaran

(+).

3.3 Pemeriksaan Fisik

BB : 55 kg, TB : 155 cm, BMI : 22,89 kg/m2, Suhu aksila : 36,5oC

Anemis -/-, Icterus -/-, Reflex pupil +/+, Oedema palpebrae -/-

Tonsil T1/T1, Pharing normal, Lidah normal, Bibir normal

Thoraks : Simetris

Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Page 19: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

16

Pulmo : Suara nafas Vesikuler (+++|+++), Rhonki (

−−−|

−−−), Wheezing (

−−−|

−−−)

Abdomen : Distensi (-), Meteorismus (-), Peristaltik normal, Ascites (-), Nyeri

tekan (+), lokasi epigastric VAS 1/10

3.4 Pemeriksaan Penunjang

• Darah Lengkap (3/5/19, 11.59 WITA)

WBC 5,84x10µ/µL (4,1-11,0), HGB 13,92 g/dL (12,0-16,0), HCT 39,77%

(41,0-53,0), PLT 222,50x10µ/µL (140-440)

• Kimia Klinik (3/5/19, 11.59 WITA)

SGOT 47,0 U/L (11,00-27,00), SGPT 20,0 U/L (11,0-34,0), BUN 9,50

mg/dL (8,00-23,00), Serum Kreatinin 1,25 (0,50-0,90), Alb 5,30 g/dL (3,40-

4,80), GDS 117 mg/dL (70-140), bilirubin total 2,24 mg/dL (0,30-1,10),

bilirubin direk 0,65 mg/dL (0,00-0,30), bilirubin indirek 1,59 mg/dL

• Analisa Gas Darah (6/5/19, 09.34 WITA)

pH 7,38 (7,35-7,45), pCO2 15,7 mmHg (35,00-45,00), pO2 51,7 mmHg

(80,00-100,00), BEecf -16,0 (-2-2), HCO3- 9,10 mmol/L (22,00-26,00),

TCO2 9,60 mmol/L (24,00-30,00), SO2c 87,3% (95%-100%)

• Elektrolit (6/5/19, 09.34 WITA)

K 4,23 mmol/L (3,50-5,10), Na 121 mmol/L (136-145), Cl 97 mmol/L (94-

110)

• HbA1C dan D-Dimer (6/5/19, 13.38 WITA)

HbA1C 5,4% (4,8%-5,9%), D-Dimer 0,98 FEU/mL (<0,5)

• Foto Thoraks PA (3/5/19, 13.17 WITA)

Kesan : Cor dan pulmo tak tampak kelainan

3.5 Manajemen Pasien Henti Jantung

Pada tanggal 6 Mei pukul 19.30 merespon code blue (<3 menit)

Evaluasi awal :

A : Gargling, jalan nafas tidak bersih

B : RR: 40x/menit, Rhonki +/+, Wheezing -/-

C : HR : 80x/menit, TD : 80/40 mmHg, SpO2 : 95%

Page 20: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

17

D : Unresponsive

Dilakukan intubasi dengan ETT (Endo Tracheal Tube) No. 7,5 dan regimen

Fentanyl 100mcg, Rocuronium 50mg, Midazolam 5mg. Kedalaman ETT 22.

Lima menit setelah intubasi HR : 0, Nadi karotis tidak teraba, dilakukan RJP

dan pemberian Adrenalin 3 ampul. Setelah 5 siklus dilakukan evaluasi ulang.

A : Clear, terintubasi

B : RR : 18-20x/menit dengan bagging manual

C : HR : 130x/menit, TD : 90/50mmHg, SpO2 : 93%

D : Unresponsive

Assesment : Impending Respiratory Failure

Planning : Pasien dikembalikan ke DPJP

Page 21: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

18

BAB IV

DISKUSI KASUS

Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-

tiba dan mendadak, bias terjadi pada seseorang yang menderita penyakit jantung

ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak dapat diperkirakan, dan terjadi sangat cepat

begitu gejala tampak. Cardiac Arrest seringkali berakibat fatal jika langkah yang

tepat tidak segera dilakukan.

Pada kasus ini, pasien mengalami cardiac arrest lima menit setelah

pemasangan intubasi ETT, kemudian dilakukan RJP sebanyak 5 siklus dan

pemberian adrenalin 3 ampul. Setelah dievaluasi didapatkan denyut nadi

130x/menit, Tekanan Darah 90/50mmHg. Kemudian dilakukan bagging manual

dengan frekuensi nafas 18-20x/menit. Sebelum terjadinya cardiac arrest pada

pasien, terjadi penurunan kesadaran disertai dengan sesak, GCS E1V1M1. Setelah

dievaluasi, terdengar rhonki padai kedua lapang paru disertai dengan penurunan

suara vesikuler paru. Pasien mengalami edema paru suspect emboli paru dan pasien

mengalami gagal nafas.

Page 22: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

19

BAB V

SIMPULAN

Henti jantung merupakan kegawatdaruratan di rumah sakit, yang

memerlukan tindakan cepat dan tepat agar pasien selamat. Perlu kerjasama yang

baik antara petugas kesehatan sehingga penanganan pasien optimal. Evaluasi awal

sangat penting untuk mengetahui kondisi pasien saat henti jantung, baik itu jalan

nafas, pernafasan, dan sirkulasi. Setelah respon negatif tindakan resusitasi harus

dilakukan sambil evaluasi ulang pasien, jika masih tidak ada respon maka

pemberian obat-obatan dapat dilakukan. Manajemen pasien pasca henti jantung

juga perlu dilakukan baik itu terapi cairan dan lain-lain.

Page 23: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PASIEN HENTI JANTUNG DI …

20

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association.2015. Guidelines 2015 CPR and ECC. America

American Heart Association.2018. Guidelines 2015 CPR and ECC. America

Mangku, G., dan Senapathi, T.G.A. 2010. Ilmu Anestesi Dan Reanimasi. Jakarta:

PT Macana Jaya Cemerlang.

Maron,D.J., Grundy,S.M., Ridker,P.M. & Pearson,T.A. 2009. The Prevention Of

Coronary Heart Disease, Fuster,V., Alexander, R.W., O'Rourke, R.A. (Ed).

Hurst's The Heart.11th Ed.Vol1.New York: Mc Graw-Hill, 1093- 105.

Kilgannon JH, Roberts BW, Reihl LR et al. 2008. Early arterial hypotensin is

common in the post cardiac arrest syndrome and associated with increased in

hospital mortality. Resuscitation

Koplan, B. A., & Stevenson, W. G. 2009. Ventricular tachycardia and sudden

cardiac death. Mayo Clinic proceedings, 84(3), 289–297.

Krisanty. et al. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat, Jakarta : Trans Info

Media

Peberdy MA, Callaway CW, et al. 2010. Post Cardiac Arrest Care. American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency

Cardiovascular Care. Circulation

Peter, AM et al. 2013. CPR Quality: Improving Cardiac Resucitation Outcomes

Both Inside and Outside The Hospital. A Consensus Statement From The

American Heart Association. pp: 1-4 )(CPR and First Aid. 2013. Emergency

Cardiovascular Care.

Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S et al. 2010. Lactate clearance vs

central venous oxygen saturation as goals of early sepsis therapy: a

randomized clinical trial. JAMA