ritmeanalisis kampung kota bandarharjo: geo ritme …
TRANSCRIPT
RITMEANALISIS KAMPUNG KOTA BANDARHARJO:
GEO RITME SEBAGAI REPRESENTASI ULANG ILMU GEOGRAFI ATAS
PERMUKIMAN KUMUH
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Disusun Oleh :
Rosyid Adiatma
156322002
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
RITMEANALISIS KAMPUNG KOTA BANDARHARJO:
GEO RITME SEBAGAI REPRESENTASI ULANG ILMU GEOGRAFI ATAS
PERMUKIMAN KUMUH
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Disusun Oleh :
Rosyid Adiatma
156322002
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
Kata Pengantar
Menempuh proses pembelajaran interdisiplin di Kajian Budaya,
meninggalkan kesan mendalam bagi saya, atas begitu banyaknya perjumpaan
ilmu, yang tentu tidak berhenti pada dirinya sendiri sebagai kebenaran.
Melaluinya, kebenaran bisa menjadi sangat problematis akhirnya, karena
darimana wacananya berasal, menimbulkan banyak pertanyaan.
Terlebih, menyangkut pengalaman hidup nyata yang dihidupi, bisa
kabur maknanya, saat ia dibingkai paksa, kategori yang dianggap biasa oleh
kebenaran suatu disiplin ilmu. Demikianlah mengenai kebenaran Ilmu
Geografi yang dulu sempat saya geluti, memperoleh pemaknaan baru atas
identitasnya melalui Kajian Budaya. Masalah metodisnya bisa memiliki celah
baru dalam menafsir pengalaman hidup, yang dulu menjumpai kejumudan,
karena menuruti konsistensi kategori baku.
Pembelajaran ini, menjadi mungkin atas bimbingan para pengajar di
IRB, terutama Dr. St. Sunardi, terimakasih atas proses pembelajaran selama
ini. Saya juga berterimakasih kepada Dr. Tri Y. Subagya, Prof. A. Supratiknya,
Dr. Katrin Bandel, Romo Baskara T. Wardaya, Romo Banar, Bu Devi, Bu Ita
dan Romo Budi atas masukannya.
Saya juga berterimakasih pada kawan-kawan seangkatan: Resi, Pita,
Arga, Aan, Mbak Dyah, Peiter, Romo Ando, Mas Wibi, Bruder Kornel dan Sera.
Terimakasih juga untuk teman-teman Pusdep, Mbak Vini, Cik Anne, Mas
Hans, Mbak Linda, Nita, Britto, Febri, Mas Umar, Vina, Mas Gogor, Mas Antok,
Mas Ben, Mas Noel, Kolis, Hugo, Damas, Mbah Wahono, Lisis, Mas Rendra,
Hari, Alam dan Mbak Novi atas diskusinya selama ini, juga Mas Mul, Mbak
Desy dan Mbak Dita.
Saya berterimakasih atas teman-teman seperjalanan dari Galur
Manggala, Rawat Hayat, Buku Lokuttara, Rumah Balas Budi, GSTG dan Perjal
Klaten, Ryan, Agus Conspirasy, Amirvl, Fajri, Aji Jonal, Bagas, Dani, Evan,
Rino, Romi, Aben, Satria, Hanung, Mail dan Herwidy.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
Ritmeanalisis Kampung Kota Bandarharjo:
Geo Ritme Sebagai Representasi Ulang Ilmu Geografi Atas Permukiman
Kumuh
Abstrak
Representasi Ilmu Geografi atas kampung kota sebagai permukiman
kumuh cukup bermasalah, karena ia dilihat hanya sebagai sebab pada dirinya
sendiri. Tanpa melihat faktor lain (komodifikasi ruang, politik, dan
globalisasi) sebagai jejaring yang turut membentuknya. Representasinya,
berkisar pada narasi peminoran yang abai terhadap polivokalitas
penghuninya. Ia hanya dikontraskan dengan permukiman normal (kelas
menengah), lalu dipersalahkan karena karena tidak sesuai, akhirnya karakter
penghuninya diturunkan dari situ. Melihat melalui latar ini, lantas Ilmu
Geografi mengukuhkan keabsahan penelitiannya, dengan dalih identitas
keilmuannya, yang merupakan suatu pembedanya dengan disiplin ilmu lain.
Ditambah dalih validitas penelitiannya, agar otoritatif dan legitimatif, ia
menggunakan teori yang belum cukup kritis terhadap masalah kampung
kota.
Penelitian ini dilakukan di Kampung Kota Bandarharjo, Kota
Semarang, karena ia dianggap penemuan baru dalam kajian kota secara
Geografi, bahwa proses kekumuhan mereka bertambah kumuh akibat banjir
rob. Penelitian ini sebagai representasi ulang atas representasi Ilmu Geografi
menggunakan ritmeanalisis, yang belum cukup kritis melihat penelitiannya,
karena masih berada di ruang pertama dan kedua yang belum kritis terhadap
masalah komodifikasi ruang. Tanpa kekritisan itu, polivokalitas penghuninya,
yang turut membentuk ruangnya belum terwadahi, sehingga penelitian
terdahulu belum cukup mampu melihat narasi penghuninya sebagai
perlawanan terhadap komodifikasi ruang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Rhythmanalysis City Kampong Bandarharjo
Geo Rhythm as Re-representation of Geography toward Slum Area
Abstract
Representation of Geography toward city kampong is problematic, as
slum area, because it was seen as causality in itself, without seeing other
factors (space commodification, politic, and globalization) as networks which
are contributed also to their existence. His representation goes around in
blaming city kampong which does not include polivocality of his dweller. In
His narration of city kampong, is only contrasted with normal settlement
(middle class), then blaming it as uncorfomity toward city. Then his character
narration derived by such mere condition. Through this setting, Geography
made himself valid which identity reason who is differentiated from another
science discipline as his own unique value for doing research. Reasoning
validity of his research, Geography also using theories which are contributed
for his authoritative and legitimative in city kampong only as slum,
correspond to his domminant discourse, because it is thought as the only
thruth which is actually less critical toward the real situation.
This research was held in City Kampong Bandarharjo of Semarang
City, because its setting, interpretated by Geography as newly proscess of
slum area which is getting worse by rob flood. This research using
rhythmanalysis as his means for re-representation of Geography toward city
kampong and posit last research into third space, without that, there wil be
unjustice representation, because his research still in first and second space
whithout narration of his dweller act according to himself, so the chance
seeing his dweller character as resistence toward space commodificaton shall
be gone by such less critical theory.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................................... i
Halaman Lembar Persetujuan ................................................................................................. iii
Halaman Pengesahan ................................................................................................................... iv
Halaman Pernyataan Keaslian Karya ..................................................................................... v
Lembar Persetujuan Publikasi ................................................................................................ vi
Kata Pengantar............................................................................................................................... vii
Abstrak............................................................................................................................................. viii
Daftar Isi ............................................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian .................................................................................................................. 11
E. Kajian Pustaka ........................................................................................................................... 11
E.1. Pandangan Umum Ilmu Geografi terhadap Kampung Kota ................ 11
E.2. Kritik Terhadap Ilmu Geografi Memandang Kampung Kota ............. 15
F. Kerangka Teoretis ................................................................................................................... 19
F.1. Ritme Kehidupan Kapitalisme dan Resistensinya ................................... 21
F.2.Reduksi Nilai Ruang (Komodifikasi) ................................................................ 22
F.3.Performativitas Ritme dan Ruang ..................................................................... 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
G. Metode Penelitian ................................................................................................................... 28
H. Sistematika Pembahasan .................................................................................................... 29
I. Kerangka Konseptual .............................................................................................................. 31
BAB II LATAR RITME KAMPUNG KOTA BANDARHARJO ........................... 32
A. Latar Sejarah Ruang ............................................................................................................... 34
A.1 Urbanisasi, Modernisasi dan Dekolonisasi ................................................... 34
A.2. Kapitalisme Kolonial dan Urbanisasi ............................................................. 37
A.3. Masalah Umum Perumahan ................................................................................ 41
B. Latar Konteks Ruang Masa Kini........................................................................................ 46
B.1. Wacana Dominan Kawasan Industri .............................................................. 47
B.2. Kampung Kota, Degradasi Lahan dan Kuasa .............................................. 52
BAB III GEO RITME KAMPUNG KOTA BANDARHARJO ................................. 54
A. Tempat .......................................................................................................................................... 54
B. Tubuh ............................................................................................................................................ 67
C. Mobilitas....................................................................................................................................... 76
D. Alam ............................................................................................................................................... 85
BAB IV RITMEANALISIS MENCARI LOKUS GEO RITME ................................ 95
A. Ritmeanalisis Tempat: Membongkar Komodifikasi Ruang ................................. 99
B. Ritmeanalisis Mobilitas: Kebebasan Pilihan Mobilitas....................................... 103
C. Ritmeanalisis Tubuh: Pernyataan Kuasa Performativitas Tubuh ................. 105
D. Ritmeanalisis Alam: Kondisi Selaras Waktu Alam ............................................... 108
E. Ritmeanalisis: Representasi Ulang Permukiman Kumuh ................................. 111
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 117
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 120
LAMPIRAN ............................................................................................................ 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Representasi Ilmu Geografi atas kampung kota, dikonstruk lewat
pembicaraan negatif melalui perbandingannya dengan permukiman normal.
Ia dilihat sebagai penurunan kualitas permukiman normal. Dari segi
keruangan, kampung kota dilihat sebagai sebab bagi banyak masalah
permukiman, di antaranya seperti: masalah lingkungan, kriminalitas,
pengangguran, kemiskinan dan apatisme.1 Di sisi lain, kampung kota belum
dilihat dari aspek polivokalitas para penghuninya, juga belum dilihat sebagai
akibat dari sebuah sistem yang turut membentuknya, seperti: kapitalisme,
politik dan globalisasi.
Dalam penelitian Ilmu Geografi, kampung kota dilihat sebagai
penurunan kualitas lingkungan permukiman normal, akibat keterbatasan
ruang dalam memenuhi permintaan pelbagai kegiatannya (kegiatan politik,
ekonomi, sosial dan budaya) pada suatu tata ruang kota.2 Ditambah
pertambahan penduduk dan perpindahan penduduk ke kota sebagai jalan
pemenuhan kebutuhan ekonomi, dijadikan faktor dominan pembentuk
1M.Gamal Rindarjono (2012), Slum: Kajian Permukiman Kumuh Dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.94-97 2Ibid.,hal.69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
kampung kota.3 Lebih dari itu, kampung kota dibicarakan sebagai
konsekuensi terhadap bertambahnya penduduk yang menyebabkan
peralihan fungsi lahan menjadi permukiman, sehingga mengakibatkan
semakin tingginya harga lahan.4 Tingginya harga lahan, menimbulkan
pengefektifan penggunaan lahan permukiman yang ada, dan diduga menjadi
sebab kepadatan bangunan sekaligus mengarahkan permukiman menuju
perkembangan permukiman yang negatif.5
Representasi Ilmu Geografi macam ini tidak terlepas dari paradigma
keilmuan yang diacu, dan bisa mengarah pada Kapitalisme-Neoliberal, boleh
jadi membentuk pandangan dunia yang pro Kapitalisme-Neoliberal terhadap
objek kajiannya. Kegiatan menafsir ruang dengan analisis spasialnya adalah
hal esensial dari Ilmu Geografi, untuk menyatakan hasil dan cara kerjanya.
Hal itulah yang memberi identitas pada Ilmu Geografi sebagai suatu disiplin
ilmu yang membedakannya dengan displin ilmu yang lain.6 Analisis spasial
ini, berarti menjadi identitas Geografi yang merupakan wacana dominan Ilmu
Geografi di Indonesia, serta memberinya legitimasi dan otoritas untuk
berbicara lebih lanjut terhadap suatu fenomena.
Pada kasus penelitian kampung kota, Ilmu Geografi dengan
memanfaatkan analisis spasial, disertai dengan teori-teori yang dipilihnya,
3 Ibid., 4Ibid., 5Ibid., 6.Geografi Sejarah dan Pemetaan, Diskusi penyusunan pedoman SIG untuk pemetaan Sejarah tanggal 19 April 2006 di Wisma Bahtera Cibogo Bogor, disampaikan oleh Hafid Setiadi, staf pengajar Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
mampu digunakan untuk mendeskripsikan objek yang ditelitinya dari “luar”.
Ditambah dengan kecanggihan temuan-temuan teknis baru metode
penelitian Ilmu Geografi, ia bisa lebih bersifat praktis dalam penerapan
tujuan penelitian Ilmu Geografi. Hasilnya, tercermin dalam pola-pola hasil
penelitian Ilmu Geografi yang hampir serupa dalam kajian perkotaan dan
kampung kota.
Cara kerja dari paradigma macam ini, ditunjukkan oleh Erni Suharini7,
dengan memandang kampung kota sebagai bentuk pertumbuhan penduduk
kota yang lebih cepat dan tidak seimbang,8 sehingga mengakibatkan tekanan
penggunaan lahan dengan ditandai penggunaan lahan yang tidak layak huni,
maka untuk mengatasinya perlu dilakukan perbaikan oleh pemerintah dan
agihan kampung kota nya perlu didata secara spasial, menggunakan
penginderaan jauh, agar lebih akurat diketahui persebarannya, serta mudah
untuk ditangani.9 Kerja penelitian yang hampir serupa, dilakukan oleh
Endina Putri Purwandari dan Aniati Murni Arymurthy.10
Kampung kota yang direpresentasikan oleh Ilmu Geografi dalam
penelitiannya sebagai masalah permukiman serta kondisi masyarakatnya
yang digambarkan sebagai tidak higienis, kriminal dan acuh secara politik.11
7Ani Suharini, Menemukenali Agihan Permukiman Kumuh di Perkotaan Melalui Interpretasi Penginderaan Jauh, Jurnal Geografi Vol.4 2 Juli 2007, Jurusan Geografi FIS UNNES 8 Ibid., 9Ibid.hal.77 10Analisis Topologi dan Populasi Penduduk Pemukiman Miskin Menggunakan Teknologi Remote Sensing, Jurnal Sistem Informasi MTI-UI.Vol.6.Nomor 1.ISSN 1412-8896 11 M.Gamal Rindarjono (2012), Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.68,69,105 dan 169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Berdampak pada penelitiannya yang sering tidak polivokal terhadap para
penghuninya, dan diajukan sebagai rekomendasi bagi Pemerintah untuk
melakukan penertiban kampung kota.12 Kondisi ini, bisa menjadi dalil, bagi
pengesahan tindak penggusuran oleh Pemerintah.
Wacana dominan seperti ini, bisa menghalangi penelitian Ilmu
Geografi untuk lebih peka terhadap masalah anti-kemanusiaan yang timbul
dari representasinya terhadap fenomena yang sedang ditelitinya, berkaitan
dengan ruang dan aspek polivokalitas para penghuninya. Melalui penelitian-
penelitian kampung kota seperti, Ilmu Geografi, sebenarnya boleh jadi
sedang memperantarai cara pandang Kapitalisme-Neoliberal, menyangkut
kehidupan seperti apa yang paling layak dan ideal di Indonesia. Meski
sebenarnya banyak alternatif teori yang bisa digunakan untuk melihat suatu
fenomena dengan lebih manusiawi melalui pelibatan begitu banyak faktor,
sehingga, representasinya terhadap suatu fenomena bisa lebih berkeadilan.
Misalnya menggunakan teori seperti yang dibangun oleh Edward Soja
dengan Ruang ketiganya13.
Soja menyatakan bahwa penelitian yang hanya sampai pada ruang
pertama, berarti berhenti pada kondisi nyata (fisik) keruangan sebagai
bentuk cerminan tertentu dari suatu kegiatan,14 sedang penelitian yang
sampai pada ruang ke-dua, berarti baru melakukan penafsiran secara ruang 12Ibid.,hal.15 dan Eni Suharini, Menemukenali Agihan Permukiman Kumuh di Perkotaan Melalui Interpretasi Penginderaan Jauh, Jurnal Geografi Vol.4 2 Juli 2007, Jurusan Geografi FIS UNNES. 13
Paula Saukko (2003), Doing Research in Cultural Studies, Sage Publication: London,hal.165 14 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
populer, sesuai politik diskursus intelektual yang berlaku atau dominan,
dengan mengidealkan suatu ruang, lalu menyalahkan yang lain.15 Ruang
pertama Soja, bila ditempatkan pada kasus penelitian kampung kota, berarti
ia hanya berhenti pada konten ruangnya, atau pada karakter fisik
permukimannya saja. Sedangkan dengan ruang ke-dua, berarti penafsiran
kampung kota berhenti pada teori marjinalisasi, yang belum kritis terhadap
kemungkinan lain pada kampung kota. Apabila penelitian sampai pada
penggunaan teori ruang ke-tiga, ia mampu memahami ruang dengan
melampuai bineritasnya, yang berarti, mengerti ruang secara nyata beserta
imaji yang turut membentuknya. Dengan kata lain, ruang diproduksi secara
material dan semiotik, menyangkut pelbagai perencanaan yang melingkupi
dan dibayangkan atas ruang, menyangkut: kebijakan politik, intelektual,
pengalaman hidup akar rumput yang mempersepsi ruang, pembagian ruang
dan ketidaksetaraan sosial.16 Pendek kata, persepsi ruang dari “bawah”
bukan dari “atas” secara materi saja.17
Ahli Geografi lain, David Harvey, membicarakan ruang kota sebagai
perjuangan kelas yang ditimbulkan oleh kapitalisme dan globalisasi yang
ditandai oleh perseteruan atas kontrol ruang dan distribusi sumberdaya.18
Levebre sebagai Ahli Geografi “serupa”, membicarakan ruang fisik sebagai
15 Ibid., 16Ibid., 17Ibid., 18Chris Barker (2015), Cultural Studies,Teori dan Praktik, Kreasi Wacana: Yogyakarta, hal.317
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
sejenis representasi dari sebentuk kuasa kultural dan sosial yang
mencerminkan perbedaan ekonomi serta sosial.19
Lebih jauh lagi, Lefebvre juga memberi jalan bagaimana
membicarakan para penghuni terhadap ruang yang ditinggalinya lewat
ritmeanalisis20 (rhythmanalysis),21 dengan membongkar kapitalisme sebagai
pembentuk ritme kehidupan seragam atau hal yang sudah dianggap
kebiasaan, baik, serta lazim dijalani masyarakat, seperti: pada aspek jam
kerjanya, mobilitasnya, waktu tidur dan bangunnya, kesehatannya, (aspek
tempat, mobilitas, tubuh dan alam) yang menjadi tidak lagi selaras dengan
waktu kosmis, juga penuh frustasi, karena waktu menjadi linear oleh
kapitalisme. Cara manusia dalam melakukan penyelarasan kembali ritme
untuk mengatasi keadaan frustasi macam itu, masih juga dibentuk dan
diarahkan demi keuntungan kapitalisme, melalui kesenangan waktu luang
lewat konsumsi, realitas bentukan media dan kehanyutan terhadap
teknologi22
19 Walter Prigge: Reading Urban Revolution, Space and Representatation dalam Kanishka Goonewardena dkk. Space, Difference and Everyday Life: Reading Henry Lefebvere, (2008), Routledge Taylor and Francis Group: New York 20 Ritmeanalisis adalah pengalihbahasaan rhythmanalysis sebagai sebuah istilah yang lahir dari Lefebvre, merupakan suatu disiplin ilmu yang sejajar dengan psikonalisis, maka penerjemahannya, dengan mengacu pada pedoman penerjemahan baku Pusat Bahasa, unsur kata serapan asing yang mengandung konsonan rh menjadi r biasa, dan akhiran –lysis menjadi lisis (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia oleh Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional tahun 2000) 21Henry Lefebvre (2004), Rhythmanalysis: Space,Time and Everydaylife, Continuum: London, hal.viii,17,23 dan 24-25 22 Tim Edensor (ed) (2010), Geographies of Rhythm: Nature, Place, Mobilities and Bodies, Ashgate, E-book: USA, hal.12 dan 13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Kehidupan para penghuni kampung kota melalui ritmeanalisis tidak
hanya bisa dilihat sebagai derivasi bentuk fisik bangunannya saja atau dilihat
sebagai faktor pada dirinya sendiri jika berbicara masalah kemiskinan, jenis
pekerjaan, pengangguran serta tabiat yang dianggap turunannya, seperti
yang diperlihatkan dalam penelitian di kampung kota Semarang Utara,
bahwa mereka suka nongkrong dan banyak, dijumpai di warung23, namun,
sebenarnya bisa dilihat sebagai resistensi terhadap ritme Kapitalisme-
Neoliberal dalam komodifikasinya.
Membicarakan kampung kota sebagai permukiman kumuh saja tidak
akan terlepas dari teks atau teori hegemonis nya, agar otoritatif dan
legitimatif. Teks ideologis atau teori hegemonisnya akan terlihat dari sikap
politis peneliti yang disadari atau tidak disadari dalam pemilihan teori
sebagai kerangka dalam membicarakan objek penelitiannya, eksplisit
maupun implisit. Hal itu terlihat seperti pada penggambaran kampung kota
sebagai permukiman kumuh di Semarang Utara, meskipun teori alternatifnya
telah disebutkan dalam kajian pustaka penelitiannya, memperlihatkan
pendapat J.Gans yang menyatakan bahwa: penamaan permukiman kumuh
sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas kepada golongan
bawah24 terlihat diabaikan. Teori ini dianggap hanya alternatif-alternatif
sebelum definisi permukiman kumuh ditetapkan berdasarkan paradigma
23 M.Gamal Rindarjono (2012), Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.96 24Ibid.,hal.63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
berpikir spasial Geografi.25 Penelitian kampung kota di Semarang Utara
dianggap sebagai penelitian baru atau terobosan dan ditengarai mampu
menambah khazanah pengetahuan di bidang permukiman kumuh secara
keilmuan Geografi, karena proses perkembangan kampung kotanya dianggap
sebagai permukiman kumuh yang semakin kumuh, karena proses
penggenangan yang terjadi akibat banjir rob daerah pesisir.26
Kota Semarang sebagai kota besar mengalami peningkatan kampung
kota dari tahun ke tahun secara signifikan seiring perkembangan
permukiman di Kota Semarang.27 Kecamatan Semarang Utara sebagai bagian
kota Semarang adalah wilayah pesisir yang sering mengalami penggenangan,
akibat pembangunan permukiman di daerah rawa, delta, laguna yang
sebenarnya merupakan tempat penampungan sementara luapan air di waktu
hujan. Dengan digunakannya bentuk lahan ini sebagai lokasi permukiman
baru, lebih-lebih kampung kota dengan pola yang tidak teratur, akan
menyulitkan pembuatan saluran drainase yang baik, sehingga membuat
penggenangan bisa lebih lama lagi.28
Sejak pencatatannya mulai tahun 1978 -2006, terjadi peningkatan
penggenangan, yang berakibat langsung terhadap menurunnya kualitas
permukiman, menuju proses kekumuhan. Fenomena ini mengakibatkan
perkembangan kampung kota di Semarang Utara terlihat spesifik dan sangat
25Ibid.hal.65 26Ibid.,hal.10-11 27 Ibid.,hal.6 28 Ibid.,hal.7-9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
menarik untuk dikaji,29 hal ini merupakan sebuah pengakuan eksplisit dan
sikap politis peneliti pada penelitiannya di kampung kota Kecamatan
Semarang Utara.
Representasi kampung kota semacam ini, mengabaikan faktor-faktor
lain yang lebih luas cakupannya (kekuatan politik, kultural, sosial,
kapitalisme dan globalisasi) yang turut membentuk, menggambarkan dan
membicarakan kampung kota. Pengabaiaannya, berakibat pada representasi
kampung kota dan para penghuninya, akan selalu jatuh dalam narasi
peminoran dan penyalahan, yang bisa abai terhadap pertanyaan seperti ini:30
Untuk siapakah kota? Siapa yang berhak memiliki gambaran dominan kota
dan akses terhadap representasi simbolis kota itu?.31
Representasi terbatas Ilmu Geografi, yang abai terhadap faktor-faktor
lain yang lebih luas cakupannya (kekuatan politik, kultural, sosial,
kapitalisme dan globalisasi), turut serta membentuk, menggambarkan dalam
membicarakan kampung kota. Pengabaiaannya, berakibat representasi
kampung kota dan para penghuninya berada dalam narasi peminoran dan
penyalahan.
Hal itulah akhirnya, yang mendorong penelitian mengenai
pengalaman ruang para penghuni kampung kota di Kecamatan Semarang
Utara, sebagaimana mereka menghayati ruang mereka dalam nuansa
29 Ibid.,hal.10-11 30Chris Barker (2015), Cultural Studies,Teori dan Praktik, Kreasi Wacana: Yogyakarta, hal.319 31 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
ekspansi komodifikasi kapitalisme, dan bertujuan untuk menantang
hegemoni paradigma Ilmu Geografi yang belum kritis terhadapnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penghuni kampung kota menghayati ruang mereka sendiri
bila dibaca dari ritme hidup yang dibentuk oleh komodifikasi melalui
aspek tempat, mobilitas, tubuh, dan alam melalui ritmeanalisis?
2. Bagaimana pendekatan Ilmu Geografi yang lebih berkeadilan dan
kritis terhadap komodifikasi Kapitalisme-Neoliberal dalam
memandang kampung kota ini?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui ritme hidup kampung kota, sebagai narasi yang belum
tersentuh penelitian Ilmu Geografi
2. Penelitian ini berperan sebagai aspek polivokal keruangan, juga ruang
representasional yang diabaikan, manakala membicarakan keruangan
kampung kota tanpa mengungkap kapitalisme sebagai faktor
dominannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi representasi ulang Ilmu Geografi atas kampung kota dalam
narasi resistensinya terhadap komodifikasi kapitalisme.
2. Mewujudkan pendekatan Ilmu Geografi yang lebih berkeadilan dan
kritis terhadap komodifikasi Kapitalisme-Neoliberal dalam
memandang kampung kota.
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka memberikan gambaran Ilmu Geografi secara umum,
mengenai persepektifnya dalam menyikapi kampung kota sebagai suatu
disiplin ilmu. Perspektif umum yang menjadi dominan pada Ilmu Geografi,
ditempatkan posisinya, sehingga titik lemahnya terlihat ketika melihat
memperlakukan kampung kota. Inilah yang menjadi jalan masuk bagi
ritmeanalisis.
E.1 Bahaya Pandangan Umum Ilmu Geografi Terhadap Kampung
Kota
Ilmu Geografi yang belum kritis terhadap komodifikasi kapitalisme
neoliberal, menyikapi kampung kota sebagai hal yang terjadi pada dirinya
sendiri, suatu versi reduktif dari permukiman normal. 32 Ia dibicarakan
32 M.Gamal Rindarjono (2012), Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
melalui perbandingan dirinya dengan permukiman normal dalam posisi yang
lebih inferior. Secara fisik, permukiman kumuh selalu diasosiasikan dengan
kepadatan tak lumrah suatu permukiman, sehingga diklaim penyebab
ketidakhigienisannya.33
Representasinya berkisar pada narasi perbandingan dengan
permukiman normal, akibat ketidakberdayaannya dalam memilih dan
menempati ruang. Mereka terpaksa mengolah dirinya dengan lahan
seadanya, sehingga mengakibatkan dirinya terjerumus ke arah negatif
perkembangan permukiman, yang akhirnya menyebabkan masalah bagi
pemerintah.34 Dari kondisi-kondisi fisik kampung kota yang dipandang
permukiman kumuh ini, lantas narasi karakter manusia penghuninya
diturunkan. Sebagai apatisme, penuh kriminalitas, solidaritas rendah dan
penuh konflik horisontal.35 Penjelasan terperincinya yakni: Perilaku
menyimpang (deviant behavior)/ kriminal (mabuk-mabukan, kenakalan
remaja, pelacuran, berjudi, pemakaian obat-obatan terlarang. Argumen dari
penelitian ini mengenai sebab perilaku menyimpang adalah, karena
pekerjaan mereka hanya di sektor informal (serabutan, pengasong,
pemulung, penjahit dan nelayan), yang membuat mereka mudah diajak
berbuat kriminal.36 Budaya Permukiman Kumuh (culture of the slums),
budaya permukiman kumuh didefinisikan sebagai hal yang melekat di
33Ibid.hal.105 dan 159 34Ibid.hal.68 35Ibid.hal.69 36 Ibid.,hal.95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
permukiman kumuh (Kampung Kota). Budaya itu meliputi: kehidupan
mereka berbentuk kelompok, mudah dijumpai di warung, tempat-tempat
nongkrong serta tempat meminjamkan uang, sebagai ciri khusus kehidupan
komunal tanpa privasi dari kehidupan mereka.37 Apatisme dan Isolasi
Dunia luar, kondisi ini dijelaskan sebagai stempel yang diberikan
masyarakat umum karena penampilan fisik dan kesulitan hidup penghuni
permukiman kumuh (Kampung Kota), yang tampak sebagai kodrat alamiah
(natural inferiority), juga dianggap makhluk yang rendah, sehingga berakibat
terhadap keterasingan sosial dari masyarakat luas dan keterlemparan
mereka dari lingkaran partisipasi dalam pembangunan masyarakat
perkotaan.38 Lebih lanjut, apatisme dan isolasi itu berasal dari kepercayaan
fatalistik mereka dari ketidakberdayaan diri mereka yang lemah bila
dibanding dengan kelas menengah.39Geografi pro Kapitalisme-Neoliberal
tidak melihat kapitalisme sebagai muasal 3 stigma yang disebut “ciri khusus”
bagi para penghuni kampung kota. Tiga stigma itu dilihat hanya pada dirinya
sendiri.
Penelitian ini, belum melihat kampung kota sebagai akibat dari
jejaring kompleks sistem, yang diperantarai banyak hal, seperti kapitalisme
yang melibatkan banyak agensi. Ruang sebenarnya bisa dilihat melalui relasi
kuasa dan kapitalisme, maka ia menjadi ladang padat kontestasi untuk
menentukan fungsi dan stigma ruang. Membicarakan ruang kampung kota
37 Ibid.,hal.96 38 Ibid.,hal.97 dalam Khudori:2002 yang dikuitp penulis dalam penelitiannya 39 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
dengan fokus tunggal permukiman kumuh saja akan menyebabkan kesulitan.
Ia akan terlihat sebagai pinggiran-pinggiran yang tersisih dari kontestasi
ruang karena kapitalisme. Lalu dengan pengabaian ini, representasi
terhadapnya akan terhenti pada stigma yang sudah terbangun lebih dahulu,
karena kekritisan teoritisnya belum terlahir. Kekritisan tersebut belum
tampil ke permukaan, oleh sebab keterbatasan perspekstif tentang ruangnya,
karena peneliti dituntut hanya bisa membicarakan kampung kota sebagai hal
yang sahih melalui legitimasi dan otoritas teori hegemonisnya.40 Hal itu,
tentu membatasi eksplorasinya dalam membicarakan manusia penghuninya
yang berhadap-hadapan langsung dengan kapitalisme, melalui hidupnya,
serta ikut terbentuk secara langsung atau tidak langsung melalui produksi
dan stigma ruang kapitalis.
Perspektif Ilmu Geografi yang lain dalam melakukan penarasian
terhadap kampung kota adalah, ia dipandang sebagai masalah primer-fisik
penduduk miskin, dan tidak terlalu masalah bagi orang sejahtera dengan
penghidupan mapan, karena mereka tidak kesulitan mendapatkan lahan
untuk bermukim, sedangkan untuk warga miskin ia harus menempati
daerah-derah kumuh karena keterbatasannya.41 Hal inilah yang akhirnya
dipandang sebagai masalah, karena keberadaan kampung kota sebagai
permukiman kumuh terus meningkat dan pemerintah perlu melakukan
perbaikan kualitas permukimannya, sehingga andil Ilmu Geografi untuk
40 Ibid.,hal.63 41Eni Suharini, Menemukenali Agihan Permukiman Kumuh di Perkotaan Melalui Interpretasi Penginderaan Jauh, Jurnal Geografi Vol.4 2 Juli 2007, Jurusan Geografi FIS UNNES, hal.77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
melancarkan niatan pemerintah ini, dengan menyediakan informasi atau
data persebaran permukiman kumuh.42 Data ini disajikan dalam bentuk peta,
agar lebih akurat, terperinci dan aktual di samping penggunaan teknologi
Geografi juga sangat diperlukan, melalui pengaplikasian penginderaan
jauh.43 Hal ini semakin mengindikasikan pelayanan Ilmu Geografi terhadap
nalar peminoran kampung kota sebagai permukiman kumuh dengan
pemanfaatan teknologi dalam penanganan kampung kota.
E.2 Kritik Terhadap Perspektif Umum Ilmu Geografi Dalam
Meneliti Kampung Kota
Perspektif Ilmu Geografi yang memandang minor kampung kota
secara keruangan sebagai hasil penurunan kualitas permukiman normal
diturunkan dari wacana dominan yang akhirnya membentuk cara kerjanya
sekaligus identitasnya. Ia bertindak sebagai cara kerja valid untuk berbicara
secara otoritatif. Kebenaran yang ditimbulkan dengan cara ini mengabaikan
banyak faktor seperti memandang permukiman sebagai akibat dari pelbagai
jejaring,tidak akan dianggap sahih. Terlebih lagi, bagaimana mereka
mengalami ruang sehingga membuat mereka merasa kerasan dan hidup,
akan terasa sulit untuk terwadahi dengan cara seperti itu, sebab dengan
hilangnya pengalaman mereka akan ruang dalam pembicaraan Ilmu Geografi,
42 Ibid.,hal.78 43 bid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
sebenarnya mengakibatkan distorsi hasil penelitian. Karena penelitian tanpa
melibatkan pengalaman ruang mereka sama saja dengan narasi sepihak yang
tidak adil. Bisa juga penelitian ini berdalih telah mengikuti cara kerja Ilmu
Geografi yang “benar” atau menganggap cara kerja di luar cara pandang
umum dianggap sebagai tipe Ilmu Geografi “lain” yang tidak berpautan sama
sekali dengan cara ini.
David Harvey melakukan kritik keras terhadap dalih macam ini dalam
Ilmu Geografi. Ia berpendapat bahwa kajian ruang yang memisahkan
kesadaran moral dengan kesahihan metodis dianggap abai terhadap
keadilan sosial yang seharusnya dimiliki sama setiap warga negara.44 Artinya
bahwa menarasikan minor kampung kota dalam Geografi tidak dianggap sah
begitu saja sebagai representasi, karena telah mengikuti “metode baku”, ia
juga harus punya sikap hormat kepada mereka dan sadar bahwa mereka pun
punya hak sama dalam prinsip keadilan sosial suatu negara.45 Ilmu Geografi
tidak boleh dibimbing nalar Kapitalisme-Neoliberal yang mendefinisi pusat –
pinggiran dan condong pada pusat sebagai standar kebaikan ruang bagi
semua manusia (termasuk permukiman kumuh yang dianggap pinggiran)
yang harusnya lebih mengacu pada keadilan sosial bukan pada determinasi
modal.46 Menyangkut pengalaman penghuni kampung kota sendiri terhadap
ruang mereka, dengan nalar Ilmu Geografi yang abai kapitalisme, akan ikut
44 David Harvey, (2009), Sosial Justice and The City, The University of Georgia: US, hal.9 45 Ibid.,hal.13-14 46 Ibid.,hal.16-17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
dipandang minor pula, tanpa sikap hormat.47 Untuk itu Harvey menawarkan
pengalaman ruang mereka dalam tiga kategori pengalaman ruang.48
Pengalaman ruang organik (organic space), pengalaman ruang secara
biologis, pengalaman perseptual (perceptual space) pengalaman ruang
melalui persepsi penghuni, pengalaman ruang simbolik (symbolic space)
pengalaman intuitif yang melampaui logika.49 Kategorisasi pengalaman ruang
oleh Harvey ini akan semakin berguna dan bercerita banyak bila
diintegrasikan dengan teori produksi ruang (terutama konsep ruang
representasional) dan pengalaman ruang (menggunakan ritmeanalisis)
Lefebvre.
Teori Production Of Space Lefebvre dapat digunakan untuk mengerti
ruang sebagai medan kontestasi beragam kekuatan kapitalisme, karena
ruang membantu dalam pelbagai cara mereproduksi sistem kapitalis,
struktur kelas di dalam sistem ekonomi50. Melihat kampung kota dengan
cara ini, berarti bisa membicarakannya melalui tiga pendekatan. 1. Praktik
ruang sebagai produksi dan reproduksi ruang, 2. Representasi ruang adalah
ruang sebagaimana yang dipahami oleh elit masyarakat seperti perencana
dan arsitek perkotaan yang dianggapnya sebagai “ruang yang benar” yang
digunakan sebagai cara mencapai dan memelihara dominasi.51 Hal itulah
47 Ibid.,hal.28 48 Ibid., 49 Ibid., 50 George Ritzer, (2012), Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal.525 51 Ibid.hal.526
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
yang mendorong program pembaruan kota yang dirancang secara teoretis
untuk meruntuhkan perumahan orang miskin yang bobrok menjadi lebih
baik dan lebih modern, akan tetapi pembaruan urban berubah menjadi
“pembersihan perkotaan”.52 Dengan demikian “praktik ruang” kaum miskin
diubah secara radikal oleh representasi ruang.53 Ruang ketiga adalah ruang
representasional, ruang sebagaimana dialami oleh penghuninya.54 Selajutnya,
ruang berubah menjadi ruang abstrak, tempat kapitalisme dan negara
beroperasi menjalankan praktik penindasan melalui kekuatan ekonomi-
politik dengan pelaksanaannya yang tersembunyi, sebagai misal
penggususran permukiman kaum miskin untuk proyek jalan raya,
permukiman modern yang begitu seturut dengan wacana pembangunan.55
Aktor-aktor kapitalisme, memainkan peranan penting dalam
pembentukan hegemoni kelas dominan yang turut membentuk representasi
ruang, termasuk akademisi, yang memroduksi pengetahuan karena tergerak
ideologi kapitalistik.56 Sehingga dalam hal ini pengetahuan berhubungan erat
dengan relasi kuasa yang sebenarnya juga bisa memroduksi pengetahuan
yang tidak hanya melayani kuasa, namun melahirkan antagonisme yang
berarti melawan kuasa dominan.57 Karena jika tidak melahirkan
52 Ibid., 53 Ibid., 54 Ibid., 55 Ibid.hal.527-528 56 Henri Lefebvre, (1991), Production of Space, Blackwell: UK, hal.10 57 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
antagonisme, pengetahuan yang ikut membentuk representasi simbolik dan
menentukan relasi sosial, bisa jadi terjebak dalam reproduksi kapitalisme.58
F. Kerangka Teoritis
Penelitian Ilmu Geografi terdahulu59 yang bertindak dalam
merepresentasikan kampung kota sebagai permukiman kumuh, belum
melihat kapitalisme sebagai faktor yang turut memengaruhi produksi ruang
permukiman kumuh, serta abai terhadap ruang representasi dari pemerintah
dan para perencana kota yang turut melengkapi representasi kampung kota.
Kondisi itu, bisa menjebak pada ketidakadilan representasi kampung kota.
Kampung kota yang dilihat sebagai permukiman kumuh, hanya akan dilihat
pada dirinya sendiri dan dianggap sebagai sebab bukan akibat, dari sistem
kapitalisme. Selanjutnya, ia akan tetap menjadi korban yang akan mengalami
penyalahan terus menerus. Dengan menggunakan teori produksi dan
reproduksi ruang oleh Lefebvre, kampung kota bisa dilihat sebagai akibat
representasi ruang oleh kekuatan ekonomi-politik.
Melalui teori ritmeanalisis kampung kota dapat dilihat melalui ruang
representasional, atau ruang sebagaimana mereka alami. Ruang
representasional para manusia penghuni kampung kota belum tersentuh,
sebab terbatasi spasialisasi tubuh mereka oleh ruang representasi
58 Ibid.,hal.32 59 M.Gamal Rindarjono (2012), Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
kapitalistik, yang terbangun dari produksi pengetahuan60 tentang mereka,
maka ritmeanalisis berusaha menjembatani keterbatasan itu.
Ritmeanalisis berikhtiar menemukan kembali ritme yang hilang
karena modernitas, sebab kehidupan manusia di masa lalu tidak mengenal
pengulangan mekanis, tapi pengulangan yang selalu terbarukan, pendek kata
sangat siklis. 61 Kini, kapitalisme yang melahirkan teknologi, menghancurkan
waktu siklis penuh kebaruan yang dialami manusia dan menggantinya
dengan waktu linear yang monoton,62 membaca kampung kota dengan cara
ini, bisa mengeluarkan pembacaan kampung kota secara inferior. Ia bisa
ditempatkan sebagai penyembuh ritme yang telah retak dari kehidupan
urban karena kapitalisme, tentang bagaimana ia berstrategi mengolah ruang
hidupnya yang disisihkan dari bentuk-bentuk standar kelayakan hidup
manusia seturut kapitalisme. Ia bisa dilakukan dengan melihat tanda-tanda
atau ciri penentu ritme dengan menangkap sekaligus tertangkap oleh rupa :
repetition and difference; mechanical and organic; discovery and creation;
cyclic and linear; continuous and discontinuous; quantitative and qualitative.63
Ritme yang selaras dan membuat kerasan64 disebut eurhythmia65 sedangkan
ritme yang tidak selaras dalam momen-momen tertentu dan membuat
60 Henri Lefebvre, (1991), Production of Space, Blackwell: UK, hal.10 61 Kanishka Goonewardena dkk, (2008), Space, Difference and Everyday Life: Reading Henry Lefebvere, Routledge Taylor and Francis Group: New York, hal.148 62 Ibid., 63 Ibid.,hal.149 64 Tim Edensor (ed), (2010), Geographies of Rhythm: Nature, Place, Mobilities and Bodies, Ashgate E-book: USA, hal.10 65Henry Lefebvre, (2004), Rhythmanalysis: Space, Time and Everydaylife, Continuum: London, hal.67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
frustasi dinamakan arrhythmia66, bersama jenis-jenis ritme tersebut, ia
membentuk satu narasi ritme yang berfondasi pengulangan dengan ruang-
waktu dan disebut polyrhythmia67 sedangkan bila ada kesamaan rupa ritme
dalam suatu ruang dengan ruang yang lain ia disebut isorhythmia 68.
Ritmeanalisis berusaha mengembalikan lagi kehidupan sehari-hari yang
penuh konflik akan waktu, kembali pada ritme manusia yang sekaligus
menyembuhkannya dari kepahitan hidup monoton kehidupan kapitalistik.
F.1 Ritme Kehidupan yang Diingini Kapitalisme dan
Kemungkinan Resistensinya
Ritmeanalisis digunakan untuk mengembangkan analisis yang lebih
kaya, dan menyeluruh menyangkut pengalaman manusia mengenai waktu
(ritme), yang dikaitkan dengan ruang sebagai lokusnya, untuk memahami
struktur dan proses pembentukannya, yang dipengaruhi banyak hal
berkenaan dengan pengulangaannya dalam kategori: mobilitas, alam, tempat
dan tubuh yang membentuk individu serta kelompok sosial tertentu.69
Ritme ini, dalam masyarakat kapitalis banyak dibentuk oleh
kapitalisme menyangkut ritme yang rutin dialami secara harian, mingguan
66 Ibid.,hal.31 67 Ibid.,hal.67 68 Op.cit., 69 Ibid.,hal.2-3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
atau temporal dalam suatu ruang, yang berjejaring dengan: masalah
globalisasi, informasi, ekonomi dan teknologi .70
Kapitalisme menginginkan semua jenis ritme melayani dirinya,
menyangkut ketepatan dan efektivitas waktu jam kerja, karena upah pekerja
ditentukan dari sana, pada gilirannya berimbas pada penggunaan
transportasi dan kecepatan lalu lintas juga masalah waktu libur yang
diselaraskan dengan kebutuhan kapitalisme seperti konsumsi dan wisata
untuk menyegarkan diri , agar bisa kembali bekerja [studi kasus kota London
(aspek mobilitas) ]71, Alam sebagai waktu siklis pengatur ritme tubuh
dihilangkan fungsinya menjadi waktu linear berakibat masalah insomnia,
karena jam kerja yang diingini lebih banyak oleh kapitalisme, [studi kasus
kota London (aspek tubuh dan alam) ]72, tempat yang mengalami gentrifikasi
karena kebutuhan turisme dan globalisasi [studi kasus di El Raval kota
Barcelona (aspek tempat)].73
F.2 Reduksi Nilai Ruang oleh Kapitalisme (Komodifikasi)
Kapitalisme tidak lagi terjadi dalam ruang, malahan ruang itu sendiri
sedang, dalam dan berada pada proses perkembangan kapitalisme, hal ini
70 Ibid., 71 Ibid.,.hal.99 72 Ibid.,hal.84 73 Ibid.,hal.22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
terjadi karena pertumbuhan kekuatan produksi kapitalisme.74 Produksi
ruang kapitalisme itulah yang akhirnya juga mempengaruhi relasi sosial,
sebab ruang adalah relasi sosial, ia berakar dari sana.75 Ruang kapitalistik
hasil proses kapitalisme, selalu didominasi dan dibentuk oleh para borjuis
untuk selanjutnya menentukan ruang abstraknya.76 Ruang abstrak
merupakan pantulan dari dunia bisnis baik nasional maupun internasional,
kuasa uang serta politik negara, diarahkan untuk memroduksi nilai lebih bagi
kapitalis.77 Nilai lebih itu berwujud segala yang menguntungkan kelancaran
proses kapitalisme dalam ruang, seperti jalan raya, bandar udara, jaringan
komunikasi, stasiun dll, yang berfungsi juga sebagai alat produksi bagi
kapitalis.78
Ruang sebagai nilai lebih bagi kapitalis, hendak menghilangkan fungsi
waktu pada ruang, kecuali dalam hal, pekerjaan, ia mereduksi waktu menjadi
hal-hal yang bertautan dengan pekerjaan saja, lalu waktu menjadi sebatas
jadwal dan hari kalender.79 Setelahnya, ruang yang dihilangkan dari waktu,
menjadi pabrik atau mesin bagi kapitalis sebagai: objek konsumsi dan
instrumen politik bagi homogenisasi ruang seturut kepentingan kapitalisme
dengan menciptakan hirarki ruang (pusat-pinggiran) mengesahkannya
74 ,Henry Lefebvre, (2009), State, Space, World, University of Minnesota Press: Minneapolis, hal.186 75 Ibid., 76 Ibid.,hal.187 77 Ibid., 78 Ibid., 79 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
dengan Undang-undang, kemudian mengisolasi kelas sosial serta
menciptakan pertentangannya.80
F.3 Ritme Kehidupan sebagai Praktik Wacana yang Menubuh
(Efek Performativitas Ritme yang Melahirkan Ruang)
Ritme hidup berciri repetitif, dan merupakan suatu tindak performatif
yang berefek performatif pula dalam pembentukan subjek dan ruangnya.
Pendekatan performatif ini membongkar akan adanya sejenis representasi
dari suatu objek yang merupakan hal terberi dan telah ada begitu saja. J.L.
Austin melalui kritiknya terhadap bahasa, yang oleh kaum positivis dianggap
bisa mendeskripsikan dan merepresentasikan dunia, bagi Austin hal itu
omong kosong belaka, karena bahasa bersifat membentuk atau berefek
performatif.81 Alih-alih menggambarkan dunia, bahasa justru membentuk
dunia.82 Oleh Judith Butler, performativitas ini digunakan sebagai titik
berangkat bagi penelusuran pembentukan politis subjek, membongkar
“fakta” bahwa subjek sebagai hal yang terberi dan telah ada begitu saja.83
Tindak performatif, menghadirkan pelakunya melalui pengulangan
tindakan84, sedangkan dari tindak itu, subyek dilahirkan baik secara individu
80 Ibid.,hal.188 81 R.Michael Glass & Rose Reuben Redwood (ed), (2014), Performativity, Politics, and the Production of Social Space, Rouledge: New York, hal.4 82 Ibid.,6 83 Ibid.,hal.8 84 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
maupun kolektif melalui “pengulangannya lagi” secara politis (performative
act of political reiteration)85 namun pelaku tindakan performatif secara
politis itu tidak mendahului aksi tindakan itu, tapi terbentuk di dalamnya dan
melaluinya86, dengan kata lain subjek tidak ada begitu saja, tapi terbentuk
oleh efek performativitas tertentu dan wujud perilakunya adalah cerminan
dari perintah “aturan fiktif” (fiction regulatory).87
Ritme hidup yang dialami di Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara
adalah ruang ketiga bagi suatu kampung kota. Data yang diperoleh melalui
ritmeanalisis, adalah praktik wacana yang sudah menubuh serta bernilai
resistensi atas wacana Kapitalisme-Neoliberal yang. Ritme hidup yang
tercipta melalui pengulangan, namun dengan pengulangan yang tidak selalu
sama dalam siklusnya menciptakan identitas tertentu, serta sentral perannya
dalam performativitas sosial dan ruangnya.88
Performativitas ritme hidup (ruang ketiga) kampung kota
Bandarharjo adalah resistensi bagi ruang kedua, maupun ruang pertama
yang didominasi Kapitalisme-Neoliberal. Tubuh yang merupakan elemen
penting bagi ritme hidup di Bandarharjo adalah cara bicara yang sering tidak
dimengerti. Sebagai metode menjalankan praktik wacana yang menubuh89
anti Kapitalisme-Neoliberal dan performatif terhadap ruang mereka. Tanpa
melihat hal itu, identitas mereka akan selalu didefinisikan melalui ideologi 85 Ibid., 86 Ibid., 87 Ibid., 88 Ibid.,hal.14 89 Ibid.,hal.9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Kapitalisme-Neoliberal sebagai penghuni permukiman kumuh atau penjarah
lahan.
Identitas tidak begitu saja diperagakan dalam ruang (performed in
space), tapi merupakan sebuah implikasi dari produksi ruang sosial hasil
kontestasi proses performatif90, sehingga identitas tidak bisa dibayangkan
dari agensi sadar manusia, tapi lebih pada hal yang dibangun melalui “praktik
wacana menubuh-subyek” (discursive and bodily enactment of subjectivity),
efeknya menjadi ruang yang performatif.91
“Praktik wacana yang sudah menubuh” tertentu (spesific performance)
turut menghadirkan ruang performatif sebagai bentuk perlawanan terhadap
definisi dari relasi kuasa tertentu, sekaligus menunjukkan kegagalan rezim
pendisplinan dalam membentuk mereka sebagai subjek.92
Pendekatan performativitas digunakan dalam hal ini sebagai cara bagi
suatu ritme hidup menjadi performatif bagi subjek dan ruangnya dalam Ilmu
Geografi, untuk memindahkan perhatian pada representasi tekstual Ilmu
Geografi, kepada praktik wacana yang menubuh secara ketubuhan
(corporeality of embodied practices).93 Penekanan pada hal ini berdampak
pada kemungkinan untuk berwacana secara mandiri dan aktif melalui
praktik wacana dari tubuh melalui ritme (meliputi aspek tubuh, mobilitas,
tempat serta ritme alam). Atau justru praktik wacana yang menubuh (tindak
90 Ibid.,hal.15 91 Ibid., 92 Ibid.,hal.16 93 Ibid.,hal.17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
performatif subjek) sebagai bentuk keterlepasan dari sistem wacana
dominan yang mendefinisi.94
Performativitas, akhirnya dapat menjelaskan dengan jernih,
bagaimana ritme yang diingini Kapitalisme-Neoliberal sebenarnya didasari
oleh pembentukan terlebih dahulu subjek ritme, melalui tindakan
performatifnya Kapitalisme-Neoliberal (subjek tidak ada begitu saja),
sehingga ia bisa dilawan dengan melihat efek performatif ritme hidup
Kampung Kota Bandarharjo yang disisihkan Kapitalisme-Neoliberal melalui
dalih representasi dunia nyata, meliputi stigma penghuninya, namun,
identitas sosial sebenarnya adalah tindakan yang menyertai dirinya, melalui
ritme hidupnya serta efek performatifnya95, bukan sebagai hal yang terberi
pada latar Kapitalisme-Neoliberal.
Akhirnya, tindak performatif adalah sejenis ritme yang menjadi suatu
pernyataan kuasa dari suatu posisi tertentu subjek yang turut membawa
serta ruang melalui pengalaman itu, karena ruang terpengaruh efek
performatif juga oleh relasi kuasa96 pendek kata, ruang sebagai pengalaman
(yang ternarasi sebagai resistensi terhadap Kapitalisme-Neoliberal).
94 Ibid.,hal.18 95 Ibid.,hal.38 96Ibid.,hal.47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
G. Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan metode Etnografi yang memahami
kehidupan sosial sebagai hasil interaksi struktur dan agensi melalui praktik
kehidupan sehari-hari. Melihat bagaimana manusia merasai dalam konteks
komunitas dengan struktur yang lebih besar lagi, dan bagaimana mereka
mereka bernegosiasi.97 Etnografi memberikan orientasi atau seperangkat
analisis dalam merangkai sebentuk tindakan individu atau kelompok
termasuk di dalamnya hasrat, cita-cita ,harapan, dan kebiasaan yang
termanifestasikan dalam peran, posisi, atau status yang berkaitan dengan
yang lain dalam bentuknya yang subtil, menjadi semacam aturan tidak
tertulis, dan implisit serta belum tentu terartikulasi.98
Dalam penelitian ritme hidup para penghuni kampung kota ini,
menggunakan observasi partisipatoris yang melibatkan peneliti dalam
kehidupan sehari-hari mereka, dituntut reflektif dan menaruh hormat
terhadap kompleksitas kehidupan mereka.99 Sehingga dalam observasi
partisipatoris itulah ritmeanalisis dilakukan.
Ritmeanalisis dilakukan untuk menentukan penanda ritme dari
perkampung kota, melalui hal yang berulang pada setiap peristiwa atau
tanda dominan sebagai penanda ritmenya. Dalam keberulangan ritmenya,
ditangkap kebaruan dan kemewaktuannya dari segi kuantitas dan
97 Karen O’Reilly, (2012), Ethnographic Methods, Routledge: New York, hal.7-8 98 Ibid., 99 Ibid.,hal.17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kualitasnya, untuk menarasikan pantulan hubungan penghuni dengan
ruangnya. Sehingga, kegairahan yang menentukan dan tertentukan dari
strategi yang mereka jalani atau hasilkan dalam mengolah ruang hidup
sebagai ruang representasionalnya bisa terbentuki.
H. Sistematika Pembahasan Tesis
Penelitian ini dipaparkan dalam 5 bab. Bab I (Pendahuluan)
mempermasalahkan Ilmu Geografi dalam membicarakan kampung kota, yang
menurunkan karakter penghuninya secara stigmatis melalui kondisi fisik
permukimannya, pada dirinya sendiri (melihatnya sebagai sebab atau pokok
permasalahan) bukan sebagai akibat dari jejaring sistem akibat kapitalisme.
Representasi macam itu bermasalah, karena menjadi sikap yang bisa
menyetujui Kapitalisme-Neoliberal dalam memandang dunia dan tidak
polivokal, disertai pembelaan terhadap bentuk permukiman kelas menengah
sebagai normalitas dalam kehidupan kesehariaanya (ritme) dianggap sebagai
idealitas yang perlu dicapai atau diterapkan.
Pada Bab II, dibicarakan latar Kampung Kota Bandarharjo di Semarang
Utara, menyangkut sejarahnya, data objektif jumlah penduduk dan
karakteristik wilayahnya hingga wacana dominan konteks ruang
kekiniannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Bab III adalah data ritmenalisis (geo ritme) pengalaman ruang para
penghuninya di Kampung Kota Bandarharjo, Semarang Utara, menyangkut
tempat, mobilitas, tubuh dan alam.
Bab IV adalah Analisis pengalaman ruang melalui ritmeanalisis sebagai
narasi pembongkar ritme hidup kapitalistik juga kemungkinannya sebagai
penelitian Ilmu Geografi yang adil sekaligus kritis terhadap pandangan dunia
Kapitalisme-Neoliberal.
Bab V, adalah Penutup, yang berbicara mengenai kesimpulan
penelitian, serta bagaimana pengalaman ritmeanalisis dilakukan di lapangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
I. Kerangka Konseptual
Permu
Representasi Geografi yang abai
kapitalisme
Kampung Kota sebagai
Permukiman Kumuh
Ketidakadilan Representasi
Kampung Kota sebagai
Permukiman Kumuh
Ritmeanalisis untuk
memahami ruang
sebagaiamana dialami
Teori Produksi dan
Reproduksi Ruang oleh
Kapitalisme
Keadilan ruang
representasioanal
permukiman kumuh
Keadilan Representasi
Ruang
Praktik Geografi Ritme
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
BAB II
Latar Ritme: Kampung Kota Bandarharjo,
Kecamatan Semarang Utara
Penelitian Ritmeanalisis sebagai upaya dalam menemukan ritme
hidup yang resisten terhadap Kapitalisme-Neoliberal dilakukan di kampung
Kota Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara. Kampung Kota Bandarharjo
menjadi penting sebagai daerah penelitian, karena letaknya pada ruang
kedua selaku kampung kota yang direpresentasikan Ilmu Geografi sebagai
permukiman kumuh, hanya diturunkan dari ruang pertamanya.
Representasinya berkisar pada kampung kota yang menjadi kian kumuh,
karena banjir rob sehingga disebut sebagai permukiman kumuh dengan
proses pengumuhan yang semakin buruk, karena proses penggenangan yang
terjadi akibat banjir rob daerah pesisir.100
Perlakuan kampung kota (Kelurahan Bandarharjo) dengan cara ini,
terlebih terhadap kampung kota yang merupakan daerah Pelabuhan dan
Stasiun Kereta Api, yang berada di sebelah barat Pelabuhan Tanjung Mas
serta sebelah barat daya Stasiun Tawang, memiliki akar, sejak era kolonial.
Lanskap sebagai cerminan bagaimana ia dibicarakan, dibentuk, dan
diperlakukan menjadi penting, sebagai lokus penelitian, karena melalui
kapitalisme, ruang direduksi menjadi nilai tukar dan nilai lebih untuknya
100M.Gamal Rindarjono (2012), Slum: Kajian Permukiman Kumuh Dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.10-11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
saja.101 Puncaknya, melalui legalitas Undang-undang oleh suatu
pemerintahan, ada tindak penyeragaman ruang yang mendefinisi (sebagai
pusat-pinggiran) lalu menegasi juga kultur kelas sosial yang dianggap
pinggiran.102
A. Latar Sejarah Ruang
Perubahan kota di Indonesia pada pertengahan abad 20 merupakan
cerminan dari peristiwa penting yang berhubungan dengan urbanisasi,
modernisasi dan dekolonisasi dari penjajahan Belanda.103 Inovasi sebagai
mode modernisasi yang merupakan ciri modernisasi Barat, meliputi pelbagai
aspek seperti: ide mengenai bentuk baru organisasi sosial, serta citra yang
membuat basis baru bagi budaya, kondisi sosial dan relasinya.104 Inovasi itu
terwujud dalam konteks urban pada penanganan kesehatan, air bersih dan
sanitasi, perencanaan tata ruang kota dan desain perumahan umum,
pengatasan lalu lintas modern dan industrialisasi.105
101 Henry Lefebvre, (2009), State, Space,World, University of Minnesota Press: Minneapolis, hal.188 102 Ibid.,hal.189 103 Freek Colombijn dan Joost Cote (ed), (2015), Cars, Conduit, and Kampongs: The Modernization of Indonesian City, 1920-1960, Brill: Leiden, hal.1 104 Ibid., 105 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
A.1 Urbanisasi, Modernitas, dan Dekolonisasi sebagai Latar
Depan Perlakukan terhadap Kampung Kota
Kelurahan Bandarharjo sebagai daerah penelitian yang dekat dengan
kawasan industri dan pelabuhan, serta perkeretaapian, memiliki sejarah
panjang sejak era kolonialisme Belanda. Dalam konteks kolonial, kondisi ini
dipengaruhi oleh konsentrasi massa yang besar akibat kondisi ekonomi yang
baru, karena ekspansi kapitalis.106 Situasi ini, diperantarai oleh kekuatan
asing kolonial dan bukan rakyat itu sendiri, yang membawa efek berupa
pengukuhan kuasa kolonial dengan melakukan pembedaan terhadap kondisi
setempat, hal ini merupakan sebentuk praktik kuasa ruang penjajah
Belanda.107 Modernisasi membawa hal tak terelakkan berupa “kenormalan”
hidup baru yang harus dipenuhi, seperti perubahan dalam memperlakukan
desain rumah dan arsitektural kota, beserta regulasinya.108 Kondisi itu
membaawa pengaruh pada cara memperlakukan kampung kota, yanag
terlihat pada wacana kontruksi serta pengembangan kampung kota.109
Kampung kota, oleh kolonial selalu dijadikan arena atau target
modernisasi, dengan alasan, membawa keteraturan pada hal yang kacau.110
Ia adalah sasaran peliyanan demi kukuhnya kuasa kolonial melalui definisi
106 Ibid., 107 Ibid.,hal.2 108 Ibid.,hal.3 109 Ibid., 110 Ibid.,dan hal.5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
baik-buruk ruang, meliyankan kampung kota sebagai hal tak modern, bau,
tidak higienis dan penyebab penyakit seperti kolera111.
Lantas, karakter penghuninya diturunkan dari kondisi ruangnya,
sebagai orang tak beradab, yang kurang pendidikan oleh H.F.Tillemma,
seorang pembaharu kota dari pihak Belanda, dan menganggap ini sebagai
situasi asing dan berbahaya bagi penjajah yang tinggal di sekitarnya,
sehingga ia merasa berhak untuk memaksakan dari atas, kehidupan yang
dianggapnya lebih baik tentang bagaimana menghuni suatu kampung112.
Thomas Karsten seorang arsitek dan perencana kota kolonial yang lain,
berpendapat bahwa kota modern harus dikenali melalui kerangka kelas
sosial dan rasial, yang akan terlihat melalui besarannya pada: lingkup zonasi,
kualitas perumahan, dan perbedaan kapasitas sosial-ekonominya.113Kondisi
itu, teregulasi di Semarang tahun 1914 melalui arsitektur modernnya:
meliputi instalasi listrik, lampu lalu lintas, betonisasi jalan, mesin-mesin
modern, telegraf, material-material bangunan modern dari baja, yang
menjadi kerangka didaktis dari kolonial bagi pribumi yang masih
menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan rumahnya.114
Upaya modernisasi oleh kolonial ini, difungsikan sebagai pendisplinan
perilaku objek jajahannya, dengan memberikan standar baru yang
111 Ibid.,hal.5 112 Ibid.,hal 5-6 113
Ibid.,hal.6 114 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
ditentukan dari atas untuk dicapai, sehingga subordinasi penguasa kolonial
tetap berjalan.115 Lalu, modernisasi kota dan para penghuninya, akhirnya
menjadi praktik kuasa kolonial yang mengambil bentuk sebagai aktivitas
pedagogis bagi pribumi dalam kerangka pernyataan kehadiran pihak
penjajah, yang lebih legitimatif dalam menentukan hidup mereka.116 Pihak
kolonial menganggap kampung kota, tidak memenuhi prinsip kesamaan
dengan modernitas kolonial, maka mereka layak untuk disingkirkan dari
lanskap kota yang dianggap modern.117
Pada wacana modernitas itu, pihak kolonial dengan sengaja
menajamkan masalah rasial dan perbedaan ekonomi, bahwa pribumi dengan
kampungnya dianggap masih tradisional dan belum hidup higienis,
dikontraskan dengan penjajah Belanda yang sudah higienis sejahtera dan
modern.118 Citra-citra itu semakin ditimpangkan agar menumbuhkan rasa
inferioritas pribumi terhadap mereka, sehingga pada gilirannya, mereka akan
berusaha menepis anggapan penjajah dengan mengikuti gaya hidup mereka,
misalnya terlihat pada pembangunan perumahan baru di Sompok dan Mlaten
Semarang sebagai kesempatan yang diberikan oleh penjajah agar pribumi
berada dalam posisi setara dengan penjajah.119
115 Ibid.,hal.7 116 Ibid., 117 Ibid., 118
Ibid.,hal.11 dan 18 119 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Pembangunan perumahan di Sompok dan Mlaten Semarang yang
dilaksanakan di antara tahun 1920 dan 1923, diperuntukkan bagi pribumi
kelas menengah rendahan, yang bekerja sebagai pelayan publik di
pemerintahan kolonial, dengan menyediakan kebiasaan baru modern seturut
kolonial, lewat pemberian desain rumah bersekat yang tidak sama dengan
rumah tradisional jawa yang tanpa sekat, sehingga memberikan kultur
privasi yang selaras kehidupan penjajah.120
Semarang adalah salah satu kota pertama yang menjadi kotamadya,
akibat desentralisasi pemerintahan kolonial yang terjadi tahun 1903.121
Sebagai kota baru yang punya otonomi, Semarang menghadapi banyak
masalah kesehatan seperti kolera, akibat bertambahnya komunitas Jawa
yang masuk ke Semarang dan menetap di kampung kota, dan menurut
pemerintahan kolonial, kondisi ini harus segera diatasi dengan melakukan
perbaikan kampung kota.122
A.2 Kapitalisme Kolonial dan Urbanisasi
Pada tahun 1930-an ada peningkatan 41% jumlah kaum urban yang
masuk Semarang, karena pengembangan jalur rel kereta api yang
120 Ibid.,hal.19 121 Ibid.,hal.172 122 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
menghubungkan Semarang dengan Cirebon.123 Sejak tahun 1918, kebutuhan
pekerja untuk proyek itu meningkat setelah Netherland-Indies Spoonweg
(NIS) dijual ke Staatsspoorweg (SS) karena masalah korupsi dan kesalahan
manajemen.124 Pekerja biasanya datang dari kampung setempat juga orang-
orang Cina yang mengerjakan bongkar- muat barang di Stasiun.125
Perkembangan lain yang turut meningkatkan urbanisasi adalah,
berdirinya perusahaan-perusahaan Cina setelah Belanda mengizinkan orang
Cina berusaha sejak tahun 1855, lantas banyak orang Cina mulai mendirikan
usahanya seperti pabrik gula oleh Liem Kiem Ling, industri Opium oleh Tjan
San Go (yang perjuangkan izin usaha ke pemerintah kolonial) dan Major Oei
Tiong Ham.126
Pada Tahun 1919, pada masa Perang Dunia I, Belanda yang
mengeluarkan banyak biaya perang harus rela juga mengalami masalah
finansial di tanah jajahannya, Semarang yang kala itu sedang berlimpah
kesejahteraan karena perusahaan kereta apinya, akhirnya ikut menanggung
penurunan keuntungan, yang berdampak pada penurunan standar hidup.127
Di tengah depresi ekonomi itulah, persaingan ekonomi menjadi semakin
ketat dan mengakibatkan pribumi berjuang mendapatkan pekerjaan yang
lain di luar sektor perkeretaapian dan industri gula, namun masih tetap
123 Arief Akhyat, (2006), The Ideology of Kampung: A Preliminary Research on Coastal City Semarang, Jurnal Humaniora, Vol.18 No.1 Februari 2006, hal.15 124 Ibid., 125 Ibid., 126 Ibid., 127 Ibid.,16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
tinggal di kampung kota dekat Stasiun Kereta Api dan Pelabuhan128. Kondisi
inilah yang mendesak warga kampung kota dalam kebuntuannya melakukan
kriminalitas dan prostitusi di sekitar pelabuhan dan stasiun.129
Sebelumnya, pada dekade lebih awal tahun 1850-1890, oleh
pemerintahan Belanda, pusat-pusat industri seperti pabrik gula ditempatkan
di pantai utara Jawa (Jepara, Rembang dan Semarang).130 Bekerjasama
dengan Bupati, Demang dan Mantri, Belanda merekrut pekerja kasar atau
kuli untuk memenuhi kebutuhan industrial mereka, karena membutuhkan
banyak kuli pribumi, untuk mengejar target pembuatan jaringan telpon
sebagai penunjang pemerintahan kolonial yang sedang berkembang pesat.131
Perekrutan pribumi sebagai kuli adalah sebentuk subordinasi Belanda
terhadap pribumi sebagai praktik kolonial mereka, hal itu merupakan upaya
memecah belah pihak pribumi melalui perekrutan yang menonjolkan hirarki
sosial, serta untuk meredam kesadaran perlawanan rakyat, karena motor
perlawanan yang banyak dijiwai semangat religius dari para Haji,
didisplinkan melalui kewajibannya menyediakan pekerjaan bagi rakyat,
dengan membantu mengirimkan mereka sebagai kuli, lewat Mantri dan
Demang mereka.132
128 Ibid.,17 129 Ibid., 130 Ibid., 131 Ibid., 132 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Perekrutan kuli secara kultural ini, tidak menjadikan mereka layak
diperhitungkan dalam kontrak kerja pemerintahan kolonial, tanggungajawab
mereka ada pada pengirim mereka, sehingga para kuli lah yang paling rentan
terhadap kesewenangan pemerintah kolonial dalam keputusan
memperkerjakan atau tidak memperkerjakan mereka lagi.133 Mereka
dianggap sebagai pekerja kodrat asal dan tidak ada urusannya dengan
kontrak kerja.134
Para kuli ini, sebagai perantau, tinggal di kampung-kampung sekitar
pelabuhan dan stasiun, di Tegalwareng dan Srondol.135 Ketika malam,
mereka biasa mengambil warung sebagai tempat berbagi kehidupan sosial
dan kultural mereka.136
Populasi mereka kian bertambah di Semarang, dari 30.000 orang
tahun 1850 menjadi 101.000 orang pada tahun 1914, seiring berkembangnya
pelabuhan Kleine Harbor dan kanal pelabuhan baru bernama Kali Baru. 137
Pembangunan perusahaan listrik tahun 1909-1913 yang menggunakan
pembangkit listrik dari sungai Tuntang, serta bertambahnya jumlah
pelayanan stasiun dan pelabuhan terhadap kurang lebih 48 pabrik gula, juga
turut berpengaruh.138
133 133 Ibid.,hal.18 134 Ibid., 135 Ibid., 136 Ibid., 137 Ibid., 138 Ibid.,hal.19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
A.3 Masalah Perumahan Umum (Masalah Jam Kerja dan Status
Sosial)
Kemajuan teknologi kolonial yang menyaratkan pemutakhiran
manajemen pada industri-industri yang berkembang di kota Semarang,
mengakibatkan perbedaan status pekerja, yang selanjutnya menentukan
ketidakadilan pada upah serta jam kerja.139 Tenaga bongkar muat pada
pelabuhan akan berbeda jam kerja dan upah mereka, dengan para petugas
administrasi pelabuhan. Para tenaga bongkar muat bekerja 10-14 jam per
hari dengan sedikit istirahat, sedangkan para petugas administrasi bekerja 7
jam sehari dengan banyak istirahat.140 Para pekerja juga fluktuatif dalam
pekerjaan mereka, tergantung masa panen (Juni-September) pada pabrik
gula, sedangkan pelabuhan sangat tergantung pada kuota ekspor yang
dikirimkan.141 Kondisi inilah yang memengaruhi bagaimana cara mereka
tinggal, karena pendapatan mereka kurang dari f.5, sedangkan untuk
membayar sewa permukiman layak huni, mereka harus membayar 3 sen per
malam, sehingga mereka berstrategi dalam kondisi seperti itu dengan tidur/
tinggal di perahu, tidur terbuka di sekitar tembok pelabuhan, atau tinggal di
kampung kota dengan gubuk berukuran panjang 8 meter, lebar 3 meter dan
tinggi 1,7 meter yang menampung 23 pekerja.142
139 Ibid., 140 Ibid., 141 Ibid., 142 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Selama musim hujan, kampung tergenang hujan, ketika musim panas,
kampung sangat panas dan berdebu, lalu berakibat penyakit kolera, typhoid,
influenza, malaria dan tuberkolosis. Selain itu, air bersih juga menjadi
masalah meski banyak menara air yang dibangun di daerah Genuk,
Tegalwareng, Candi dan Ungaran.143 Mereka baru bisa mengakses air dari
sungai untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Puncaknya adalah pada
tahun 1912 menurut H.F.Tilema, banyak penduduk kampung kota meninggal
dunia karena kolera saat banjir muson.144
Permukiman di kampung kota memang sangat padat, namun mereka
tidak punya pilihan, karena secara politik mereka lemah dan tidak bisa
menuntut hak mereka, baru pada tahun 1927 Boedi Oetomo membantu
dengan membemberkan kondisi-kondisi mereka di kampung pelabuhan juga
kampung rel, dan menuntut pemerintah melakukan perbaikan kualitas
kehidupan beserta tempat tinggal mereka.145
Merespon keadaan itu, sejak tahun 1915-1921 persatuan para pekerja
bernama Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera dan Vereeniging voor
Spoor-en Tremwegpersoneel (VSTP) yang dipimpin oleh Pieter Bergsma dan
Kadarisman sangat gencar dalam menyatukan buruh untuk memperjuangkan
143 Ibid., 144 Ibid., 145 Ibid.,hal.20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
haknya dalam masalah jam kerja, upah serta jaminan hukum bagi status
pekerja mereka.146
Perkembangan teknologi percetakan waktu itu, mengakibatkan
pengorganisasian buruh menjadi semakin berdampak luas, dari gerakan
lokal kampung hingga ke kota besar di sekitarnya, sepanjang rel kereta:
Demak, Pati, Purwodadi, Salatiga, Boyolali, Madiun, Nganjuk, Pekalongan,
Brebes dan Tegal.147 Hal ini bisa terjadi, atas peran Semaoen, dari Sarekat
Islam yang meradikalkan gerakannya, melalui pembentukan Partai Komunis
Indonesia, dan menjadi kekuatan utama pada tahun 1923, dengan melakukan
pengorganisasian pemogokan buruh, ditambah perjuangannya melalui
tulisan-tulisannya di Sinar Hindia, ia menjadi ancaman serius bagi
pemerintahan kolonial, sehingga berakibat pemenjaraannya.148
Apa selanjutnya, tanggapan pemerintah kolonial dalam mengatasi
permasalahan permukiman yang dihadapi para buruh ini?. Higienitas
menempati daftar prioritas tertinggi kolonial, setelah mengetahui ilmu
pengetahuan tentangnya sebagai pengatas masalah wabah kolera dan
typhoid, sehingga mengubah perumahan umum yang mereka bangun dengan
menggunakan material yang berbeda dari pribumi, yaitu: mengganti atap
rumbia dengan genting, serta ventilasi yang cukup.149
146 Ibid., 147Ibid.,hal.21-23 148 Ibid., 149 Op.cit.,hal.173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Tahun 1916-1922, pemerintah kolonial membangun perumahan
umum sejumlah 519 di Sompok, termasuk menggunakan lahan yang sudah
menjadi kampung Kintelan dan Lempongsari.150 Namun mempunyai harga
sewa yang sangat mahal tergantung ukuran dan tipe rumah, tipe II seharga
494 gulden, tipe IV 703 gulden dan tipe V 773 gulden per tahun.151
Pada tahun 1924, Pemerintah kolonial di Semarang melalui NV
Volkhouisvesting mulai membangun perumahan umum yang lebih murah
dengan biaya sewa per bulan 3-35 gulden per bulan, dan telah terjual
sejumlah 580 unit.152
Kebijakan desentralisasi kolonial, membuat Kota Semarang tidak lagi
menerima dukungan finansial dari Batavia, sehingga mereka harus
memikirkan urusan finansial mereka sendiri, dengan cara, menjual lahan
publik kepada pihak swasta untuk mendapatkan dana dan pajak, untuk
urusan pembangunan perumahan umum mereka.153 Perumahan umum yang
mereka bangun sebenarnya hanya murni urusan ekonomi dan demi
kepentingan kolonial saja, perumahan sengaja dibangun demi hegemoni
serta melindungi kolonial dari tertular penyakit pribumi dengan sanitasi dan
higienitas seperti yang terjadi di Sompok dan Blimbing.154
150 Ibid., 151 Ibid., 152 Ibid., 153 Ibid.,hal.180 154 Ibid.,181
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Perumahan-perumahan umum kolonial ini juga berfungsi sebagai
sindiran, atas kampung kota, sebagai hal tidak modern dari pribumi,
sedangkan perumahan-perumahan kolonial selalu digambarkan sebagai
gerbang modernitas yang ditampilkan dalam majalah Oedaja dan brosur-
brosur turisme, yang bahkan menciptakan pada diri pribumi secara personal
merasa telah menjadi modern.155 Selain itu, perumahan juga diperuntukkan
terutama bagi pelayan publik pemerintah kolonial, yang dicetak demi
kefektifan kerja berdasarkan pemerintahan kolonial, sehingga harus
dipisahkan dari masyarakat agar steril dan netral darinya.156 Perumahan itu
hanya bisa disewa oleh kelas menengah dengan pendapatan sekitar 174
gulden, bahkan masih dikenakan biaya tambahan untuk listrik, kebersihan
dan perawatan rumah.157
Pada era penjajahan Jepang, perumahan umum di Sompok (Lamper
Sari) dan Mlaten menjadi tempat penawanan orang-orang Belanda dan
mengalami penurunan kualitas yang luar biasa, karena dua ruangan bisa
dihuni sampai 25 tawanan sehingga menyebabkan banyak kematian, dan
setelah Jepang menyerah, perumahan itu pada tahun 1958 diambil alih oleh
militer.158
155 Ibid.,hal.182-3 156 Ibid., 157 Ibid.,hal.185 158 Ibid.,188-90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
B. Latar Konteks Ruang Masa Kini
Kawasan Industri adalah wacana dominan dalam membicarakan
ruang di Semarang, hal-hal lain dalam praktik ruang di Semarang akan lemah
posisinya, di level wacana maupun legalitasnya, sehingga keberpihakan pada
praktik ruang Kapitalisme-Neoliberal akan sangat besar. Semarang memiliki
11 kawasan industri besar, yakni: kawasan industri Wijaya Kusuma, Tambak
Aji, Bukit Semarang Baru, Candi, Simongan, Setya Budi, Tanjung Emas,
Terboyo, Genuk, Nyonya Meneer dan Penggaron.159
B.1 Kawasan Industri Semarang sebagai Wacana Ruang Dominan
Keberpihakan pada penggunaan ruang beserta perlakuannya terlihat
dari wacana yang dianut serta penelitian yang dilakukan dalam
membicarakan dan memperlakukan ruang. Pada penanganan masalah
kampung kota yang bernalar Kapitalisme-Neoliberal, wacana penggunaan
ruangnya bisa saja sangat antagonis dengan rakyatnya sendiri, namun bisa
begitu apologis terhadap dampak produksi ruang kapitalisme (banjir,
kemacetan, kerusakan jalan karena kelas jalan dan beban angkutan tidak
sesuai). 160 Perlakuan sistematis dan nalar Kapitalisme-Neoliberal ini pada
gilirannya membentuk bagaimana kampung kota, diperlakukan, bahkan sah
untuk melakukan tindakan apapun terhadapnya dengan alasan legalitas,
salah satunya diperantarai dan diperkuat pandangan dunia yang salah
159 Arifandi Djayanegara, (2013), Skripsi, Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Besar di kota Semarang, Jurusan Geografi Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang: Semarang, hal.90 160Ibid,.hal.6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
satunya lahir dari penelitian pada displin-disiplin ilmu tertentu. Ilmu
Geografi misalnya, dalam wacananya boleh jadi berpihak pada produksi
ruang kapitalisme dalam penelitiannya tentang Evaluasi Kesesuaian Lahan
untuk Kawasan Industri Besar di Kota Semarang.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian lokasi suatu
industri, karena pemilihan lokasi yang tidak sesuai akan berpengaruh pada
keberlangsungannya, sehingga kesesuaian lahannya bisa mengakomodasi
kepetingan investor dan pengembangan industri, selain itu, pemilihan lokasi
yang tidak sesuai bagi industri akan mendatangkan perebutan serta konflik
ruang pada kawasan industrinya dan menimbulkan ketidakamanan usaha.161
Hasil akhir penelitiannya bagi kawasan industri, diperoleh kesesuaian, baik
secara legalitas (Perda Kota Semarang No.14 tahun 2011 Tentang Tata
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun2013-2031) maupun
secara planologi162 yang boleh jadi, bisa berarti itu adalah dukungan bagi
produksi ruang Kapitalisme-Neoliberal.
B.2. Kampung Kota, Degradasi Lahan dan Kuasa Penanganannya
Wacana dalam membicarakan dan memperlakukan kampung kota
yang termasuk dalam kawasan pelabuhan dan stasiun kereta api (kawasan
industri) sejak era kolonial belum terlalu banyak berubah hingga konteks
161 Ibid.,hal.2&6 162 Ibid.,hal.147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
masa kini. Kampung kota adalah akibat urbanisasi dan perambahan wilayah
yang berkonotasi negatif, sebagai sebuah fenomena atas dirinya sendiri. Ia
disebut sebagai pergeseran daerah pinggiran yang mencaplok daerah pusat
yang berupa kawasan industri, hal ini dianggap menyebabkan pergeseran
ruang, dari ruang pinggiran menjadi urban, dari sosio -ekonomi formal
menjadi sosio-ekonomi informal, yang akhirnya menjadikan kota “tanpa
batas”, kota yang semakin menggelembung penuh kekacauan ruang, karena
pertumbuhan permukiman kampung kota yang dianggap tidak tertata.163
Indikator yang digunakan dalam menilai adalah, perubahan struktur internal
kota, perubahan penggunaan lahan, serta perubahan karakteristik ruang dan
kenampakannya.164
Di Kecamatan Semarang Utara, yang termasuk daerah administratif
Kota Semarang, dimana kampung Kota Bandarharjo terletak, merupakan
daerah yang begitu pekat ketidakteraturan populasi yang akhirnya
berpengaruh terhadap kenampakan permukimannya dan menjadi penyebab
akut bagi degradasi lahan yang membahayakan.165
Pembicaraan dan perlakuan yang mungkin adalah, Ia menjadi target
operasi bagi pemusatan kembali kota, menuju kota teratur rapi, yang
terkontrol.166 Sebab Kampung Kota bandarharjo yang terletak di Semarang
Utara sebenarnya adalah kawasan sedimentasi dari sungai-sungai seperti: 163 Bambang Setioko, (2010), The Metamorphosis of Coastal City, Case Study of Semarang Metropolitan, Journal of Coastal Development, Vol.13 No.3 Juni 2010, hal148-149 164 Ibid., 165 Ibid.,hal.154 166 Ibid.,hal.155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Kali Kripik, Garang dan Krejo yang sering mengalami penurunan lahan serta
sering dilanda banjir rob pantai utara.167
Pemusatan kota sebagai orientasi dan nalar berpikir para Ilmuwan
dalam memperlakukan Kampung Kota Bandarharjo sebenarnya bisa malah
mengikuti logika Kapitalisme-Neoliberal, dengan memusuhi rakyat, tanpa
melihat kapitalisme sebagai latar besarnya serta tanggung jawab pemerintah
yang seharusnya diberikan terhadap rakyatnya, daripada hanya memusuhi,
dan ingin melihat ruang sebagai teratur belaka.
Perambahan ruang pinggiran ke ruang pusat, yakni daerah Semarang
Utara dianggap menyebabkan banyak ketidakseimbangan pada pelbagai
faktor yang menentukan ketidaksejahteraan kota, hal ini, karena para
pemukim kampung kota miskin, sehingga menjadikannya tanggungan bagi
pemerintah, sebab mereka baru bisa memenuhi kebutuhan saja, belum cukup
bisa untuk menjamin kehidupan mereka di hari depan, karena bekerja di
sektor informal.168
Permukiman kampung kota yang dikategorikan tidak standar,
menempati lahan yang tidak seharusnya, menjadi kawasan tidak sehat, juga
dikaitkan dengan ilegalitas penggunaannya serta penampakan kemiskinan,
167 Ibid.,hal.154-55 168 Muhammad Agung Ridlo, (2014), The Life Pattern of The Poor Society in Semarang City –Indonesia State, International Journal of Business, Economic and Law, Vol.4 Issue 3 Juni, hal.27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
krisis keamanan, kualitas pendidikan rendah, lalu menjadi indikator buruk
dalam kategori sosial-ekonomi.169
Pembicaraan yang selanjutnya berkembang seturut isu ilegalitas
adalah perubahan “status” pengghuni kampung kota dari kawasan kumuh
(slum) menjadi penyerobot tanah (squatter), karena menempati kawasan
ilegal yang bahkan tidak ditetapkan bagi pemerintah sebagai tempat tinggal,
seperti kawasan rel kereta api, sepanjang sungai, dekat pasar dan terminal
lama.170 Kondisi ini diperburuk dengan penyebutan bahwa tempat yang
mereka tinggali tidak manusiawi secara fisik, terbuat dari bahan-bahan bekas
seperti seng bekas, papan plastik, sebuah kondisi yang dianggap tidak seturut
rencana ruang pemerintah,171 terlebih mengenai wacana dominan ruangnya
sebagai kawasan industri.172
Pembicaraan melalui penggambaran ini, tidak peka terhadap
penyisihan oleh sistem Kapitalisme-Neoliberal, dimana korban dari sistem
ini semakin berlipat kesalahannya dengan menarasikannya sebagai
tersangka, lalu mendiskreditkan bahan tempat tinggal mereka, sehingga akan
wajar bila kondisi ruang macam ini harus segera diselesaikan, karena tidak
manusiawi, lewat penanganan kampung kota yang terstruktur rapi, dengan
target dan efek target yang jelas, yakni: pemutakhiran data terus menerus-
menerus terhadap para pemukim dan penjarah lahan, lalu memutuskan
169 Ibid.,hal.27 170 Ibid.,hal.30 171 Ibid., 172 Loc.cit.,hal.6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
penanganan sesuai lokasi permukiman kampung kota.173 Penanganan
permukiman kampung kota yang sah dan legal harus melalui dan perlu
sesuai dengan metode planologi (tata ruang sesuai kondisi alamnya),
propaganda penanganan sosialisasi harus dimulai dari lingkung individu
paling kecil formal maupun non-formal, penanganan melalui konstruk
(manusia, ekonomi, lingkungan juga legalitas), kelanjutan dan
pengembangan program yang mencapai taraf perasaan terhadap tindak
lanjut penanganannya, membentuk dan menargetkan organisasi sosial
sebagai pendukung program, serta mengintegrasikan penanganan
permukiman kampung kota dengan rencana jangka panjang tata ruang kota
yang disetujui oleh pemerintah.174
173
Ibid.,hal.35 174 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
BAB III
GEO RITME KAMPUNG KOTA BANDARHARJO
Geo ritme175 Kampung Kota Bandarharjo adalah cara melihat dan
memahami ruang yang dihuni oleh orang-orangnya melalui ritme yang
mereka jalani. Ruang yang dilihat lewat ritme adalah ruang yang hidup, atau
ruang yang dihidupi melalui ritmenya, berkenaan dengan kenyamanan dan
ketidaknyamanannya dalam setiap perulangannya. Ritme itu terjadi dalam 4
aspek, meliputi: tempat, tubuh, mobilitas dan alam yang diketahui melalui
ritmeanalisis.
A. Tempat
Kampung Kota Bandarharjo terletak 100 meter sebelah utara dari
jalan arteri Yos Sudarso dan 400 meter arah barat dari pelabuhan Tanjung
Emas. Ia tidak terlalu jauh dari “pusat” kota, namun memasukinya adalah
pengalaman lain. Jalanan kampungnya tidak begitu besar, namun rapi dengan
paving berjajar. Rumah-rumah berderet, bercat warna mencolok, lengkap
dengan kusen pintu dan jendela dengan kaca tak tembus atau kadang juga
dengan kaca transparan berwarna jernih, agar rumah tetap terang.
Menyusuri jalanan perkampungannya, akan terlihat dipenuhi
“perkakas” seperti sepeda, pasir, bambu atau besi untuk konstruksi tembok
175 Geo ritme mengacu pada pembahasan ruang dengan titik berat ritmenya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
rumah, tiang penyangga atau sisa material bangunan, sisa material itu
datang dari renovasi masjid kampung.
Gambar 1. Situasi tenang Kampung Kota Bandarharjo (kiri), dan kondisi jalanannya yang dipenuhi material bangunan (kanan)
Sumber: Dokumentasi penelitian
Kondisi jalanan mereka setelah banjir rob, seringkali tersendat oleh
truk, yang sering berlalu lalang untuk mengantarkan material bangunan. Lalu
lalang semacam itu sering terjadi, sebab banyak bangunan yang rusak karena
proses amblasan tanah dan banjir. Jika masih memungkinkan untuk
dibangun, mereka akan menguruk halaman mereka dan meninggikannya,
tanpa membangun kembali pondasi mereka, namun, bila tidak
memungkinkan, mereka akan mencari lahan baru di sekitarnya untuk
membangun rumah kecil baru mereka.
Hari itu, masjid mereka mengalami amblasan yang begitu parah,
akibat terkena banjir rob terus menerus hingga mereka memutuskan untuk
membangun kembali masjid mereka di sebelahnya, di gang yang lebih kecil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Gambar2. Truk pengangkut material (kiri) dan mobil yang biasa melintas dan menyendat sementara mobilitas
Sumber: Dokumentasi penelitian
Kondisi semacam itu menjadikan harga hunian menjadi murah di
Bandarharjo, akhirnya situasi itu menarik orang-orang yang mencari hunian
murah juga turut tinggal di Kampung Kota Bandarharjo. Mereka biasa
membawa serta mobilnya, sehinnga seringkali mengakibatkan jalanan penuh
dan sedikit tersendat. Tak jarang, hal itu berakibat antrean para pengendara
di belakang mereka, ketika mereka berangkat kerja, atau seusai waktu pulang
kerja dan ketika mereka harus bepergian. Parkir mobil mereka pun tak
jarang memakan sepertiga jalan kecil mereka, sehingga keleluasaan mobilitas
mereka tersendat. Di satu sisi, ruang mereka dikecam, di satu sisi, ruang
mereka begitu menguntungkan bagi pihak lain.
Saling maklum, saling mengerti tanpa menggerutu, pemakaian jalan
bisa tetap berlangsung, mereka berlaku seperti lampu lalu lintas yang
menghentikan sejenak, tapi tak menghalangi terlalu lama. Jalanan mereka
adalah lahan panjang atau bahkan melingkar luas, tempat berlalu-lalang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
siapa saja, termasuk para pedagang keliling. Ragamnya banyak, dari penjaja
bakso, bakpao, sate, batagor dan bubur ayam.
Ibu Tin176 dan Mas Fa’i terbiasa berkeliling di Bandarharjo dengan
gerobaknya masing-masing, Mas Fa’i dengan gerobak bercat biru hasil
modifikasi becak, lalu ditambahkan kotak aluminium dengan kaca sebagai
tempat bakpao, plus seperangkat sistem suara; membuatnya tak perlu
memanggil pelanggan untuk bakpaonya, sedangkan Ibu Tin, mendorong
dengan santai gerobaknya, berpakaian rapi dengan batik berwarna coklat
sebagai penandanya, berias, lalu menaikkan sedikit volume suaranya,
menarik para pembelinya, dengan suara khasnya.
Gambar 3. Para pedagang yang menjaja dengan tubuh bebas, tanpa merasa terancam di ruang asing (Bandarharjo)
Sumber: Dokumentasi penelitian
Di jalananan, pada saat waktu yang sama, kereta mini beroperasi
setiap sore untuk mengangkut anak-anak yang ingin berimaji berkeliling
176 Semua nama adalah samaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
kampung dengan kendaraan roda empat. Biasanya mereka akan merengek
atau bahkan menangis demi memperoleh kesempatan itu. Ibunya yang
memerhatikan anaknya itu, meneriaki kereta mininya untuk berhenti, juga
memintanya untuk menunggu anak yang lain, dengan suara lantang dan
setengah memaksa, lalu sambil tertawa dan sesekali menasehati sopirnya
agar lebih sabar, dengan bercanda.
Gambar 4. Kereta mini merupakan pusat penggerak ritme, pada mobilitas sore di Bandarharjo
Sumber: Dokumentasi penelitian
Mas Pras sebagai sopir cukup maklum dengan situasi macam itu,
kadang diam, atau dengan sedikit candaan, balas berpura-pura untuk lekas
pergi menuju rute berikutnya. Situasi itu sering terjadi, dalam sebuah kereta
mini yang sebenarnya hanya merupakan modifikasi dari sepeda motor niaga
sebagai lokomotifnya, dengan satu tambahan gerbong dari besi yang dilas,
layaknya sebuah truk yang bergandeng. Bercat penuh warna, penuh gambar
anime yang disukai anak-anak disertai gambar idola di bagian belakangnya,
mungkin saja imaji atau barangkali kelakar mereka sebagai pengendara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kereta mini mempersamakan diri mereka layaknya pembalap Rossi yang
juara dunia 7 kali dalam gelaran Moto GP. Bunyi klakson modifikasinya
sangat khas, dengan tambahan seperangkat suara yang setiap waktu
memperdengarkan lagu dangdut koplo, beradu keras dengan fungsinya
sebagai pewaktu bagi penumpang untuk segera naik, sebab tidak naik atau
terlambat naik adalah hal yang sangat disayangkan, karena kehilangan
kesempatan untuk berkeliling kota.
Saat mau berangkat atau setengah berjalan, sambil menunggu
penumpang yang lain, Pak Mar yang berusia setengah baya, berdiri di
samping kereta mininya sebagai kernek, meminta bayaran ibu-ibu yang
sedang berdesakan penuh semangat sambil memeriksa atau menasehati anak
mereka agar duduk yang baik, karena mereka akan segera berangkat. Suatu
hal yang sebenarnya, lebih dikarenakan antusiasime dan ketidaksabaran si
anak mereka yang mengundang kekhawatiran. Ibunya khawatir kalau-kalau
anaknya, terjatuh saat berdesakan atau ketika mereka mulai memanjat-
manjat naik dan memaksa berdiri sendiri agar leluasa melihat jalanan di
depan mereka.
Pak Mar biasa meminta uang sejumlah Rp.3.000 sebagai ganti biaya
angkut, sambil sesekali membantu menaikkan para penumpang yang
ketinggalan kereta mini, sebab kecepatan keretanya yang lambat, membuat
banyak orang terlena untuk tidak segera naik, dan menyengaja terlambat
waktu sambil tetap menjaga gendongan anak mereka. Ibu Win tertatih,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
berupaya untuk naik, untung dibantu uluran tangan Pak Mar, sehingga, meski
tidak bisa duduk senyaman ibu-ibu lain yang sudah datang duluan, Ibu Win
masih kebagian sedikit tempat duduk.
Peristiwa itu sebenarnya adalah rekreasi kecil bagi para orang tua
yang letih usai pulang kerja di sore hari, terutama bagi para ibu. Hal yang
biasa mereka lakukan usai mandi, berdandan, mengenakan busana terbaik
mereka, lalu menemani anak-anak mereka disertai sukacita serta hasrat yang
sama, yaitu: mengelilingi kampung atau bahkan kota mereka dengan sedikit
biaya yang tak terlalu menguras kantong.
Kondisi jalanan yang sering dilalui truk maupun kereta mini ini adalah
jalanan yang dipenuhi tempat duduk umum dengan ketenangan menyergap,
jauh dari nuansa kota besar. Semacam benteng kokoh namun tetap terbuka.
Ruang mereka membawa sejenis penangkal kebisingan kota. Mereka
“terbiasa” dengan ketenangan semacam itu, dengan begitu tenang pula
mereka bisa duduk dengan berjongkok seakan itu adalah “teras rumah”,
tempat untuk memantau jalanan dari rumah mereka yang berhalaman, jalan
kecil umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Gambar 5. Jalanan dalam keriuhan (kiri) dan kedekatan (kanan) sebagai akibat perjumpaan, akhirnya membentuk ruang publik mereka
Sumber: Dokumentasi penelitian
Di jalan kecil itu, menemui seseorang saat sedang berjalan,
menggendong anak, berkendara, mengantar anak sekolah atau ketika
menjemputnya, adalah tema-tema kecil yang biasa terjadi. Mereka berhenti,
sambil tetap duduk di atas motornya, berbincang serius entah itu masalah
penting atau hanya kegembiraan, karena tak terduga bertemu teman akrab.
Tanpa peduli di depan halaman rumah siapa mereka melangsungkannya.
Hari itu Ibu Nar bertemu dengan seseorang yang kelihatannya
penting, seseorang yang barangkali adalah teman dari suaminya, sepertinya
ada urusan genting yang segera harus dibicarakan, mereka tinggal tidak
berjauhan sebenanrnya, hanya karena berpapasan dan teringat beberapa
perkara penting, mereka lalu tidak segan lekas membahasnya sambil
berjongkok di pinggir jalan.
Di samping jalan Bu Nar yang sedang mengobrol, setiap sore Bu Ning
dan anak-anaknya, berkumpul di teras mereka, untuk mengobrol, juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
memandikan anak mereka. Kakak tertua mereka Sindi, bergantian mengurus
adik mereka, tatkala Bu Ning ganti mandi. Sindi terkadang membantu para
tetangganya yang datang memintanya. Tatkala mereka merasa rambut
mereka sudah harus dicat hitam karena masalah usia atau sekedar
mencabuti satu per satu rambut mereka yang putih. Selain hal itu, para
tetangga juga sering berkunjung, iseng-iseng dengan setengah berteriak
meminta izin untuk ikut menumpang menonton televisi sambil
beercengkerama sembari menunggui tuan rumah melipat baju atau
menyuapi makan anak mereka dan membantu anaknya yang paling kecil
untuk belajar.
Gambar 6. Jalanan sebagai “teras” rumah komunal
Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Jalanan, mereka sulap menjadi memiliki beragam fungsi atas
perjumpaan mereka, sehingga tak heran akhirnya, jika jalan yang menjadi
jantung beragam aktivitas itu dipenuhi kursi-kursi bekas, atau kursi yang
mereka hibahkan dari rumah mereka sendiri. Jika ada warga yang menjadi
pedagang makanan dengan membuka warung makan, seperti Bu Yumi (buka
pagi hingga sore), atau Mbok Jum (buka warung dari sore hingga malam
hari). Tempat duduk itu juga tak apa dimanfaatkan oleh keduanya, sebagai
tempat duduk pembeli.
Gambar 7. Warung makan sebagairuang perjumpaan manusiawi
Sumber: Dokumentasi penelitian
Suasana santai serta berdesak-desakan dan penuh sukacita, biasa
terlihat di Warung Mbok Jum, namun sembari masih tetap memberi sela bagi
pengunjung lain, agar tetap merasakan kenyamanan duduk tatkala
menikmati santapannya.
Di warung Mbok Jum, mencari makan dengan memakannya langsung
di tempat, atau sekedar membelinya lalu dibawa ke rumah tidak semata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
transaksional, namun hal itu adalah hiburan sederhana yang terisi dengan
riuh informasi atau bahkan pesanan, bila ia kebetulan seorang penyuplai gas
3 kilogram-an misalnya. Tak jarang pula, Mbok Jum juga mengajukan
permintaan bantuan untuk mengambilkan pesanan es batu ke penjual es
langganan kepada si pelanggan tadi, lantaran tukang becak andalannya
sedang ada pekerjaan lain.
Pembeli yang makan di warung Mbok Jum, mengikuti saja menu yang
kebetulan ada di sana, tanpa berpikir panjang tentang niatan sebelumnya,
saat belum sampai di warung, karena ragamnya bisa berbeda dengan hari
sebelumnya, namun memiliki variasi menu pengganti yang menggiurkan dan
di luar ekspetasi.
Menu di warung Mbok Jum bergantian mulai dari ayam opor dalam
bungkusan kecil atau sekedar nasi sayur atau mi instan rebus, dengan
tambahan lauk melimpah, seperti sate jamur, gembus, usus, hati, keong, telur
puyuh, hingga yang paling istimewa adalah sate cumi, yang bisa dinikmati
dengan harga Rp.3.000-5.000 setiap tusuknya. Semua menu itu bergantung
dari ketersediaan bahan makanaan yang tersedia di pasar waktu itu.
Di sis lain, Bandarharjo memiliki cuaca yang sangat panas, sehingga
membuat mereka begitu gemar mencari minuman es, bahkan di malam
haripun tak mengubah kebiasaan minum mereka. Sekedar es teh cukup bagi
mereka untuk keseharian, jika situasi lebih panas sehingga membutuhkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
kenikmatan ekstra, mereka biasa memesan es sirup merah merek Prambors
yang begitu digemari di warung Mbok Jum.
Lontaran-lontaran candaan tak jarang mewarnai setiap perjumpaan di
warung Mbok Jum ketika malam, bahkan kepada seseorang yang baru
mereka kenal pun tak banyak berubah.
Ketika pembeli baru merasa porsi makan yang diberikan terlampau
besar, mereka mengeluh kepada Mbok Jum, tetapi Mbok Jum akan menjawab
dengan candaan, “Jika makanananmu itu tak habis kau makan, aku akan
membantu menghabiskannya,” kelakar Mbok Jum, sehingga memancing tawa
di antara mereka berdua.
Di kala banjir, situasi serupa tak banyak berubah, mereka menyiasati
dengan menggunakan sepatu bot tinggi yang terbuat dari bahan anti-air,
sehingga aktivitas mereka tak terganggu, ketika banjir rob tiba. Warung
Mbok Jum yang berada di pinggir jalan pelabuhan pasti ikut terendam air,
setinggi mata kaki hingga lutut orang dewasa, tergantung intesitasnya,
namun para pengunjung sudah terbiasa, dengan kondisi itu sehingga ketika
mereka makan di warung Mbok Jum, mereka tinggal menaikkan satu atau
bahkan kedua kaki mereka di atas kursi kayu panjang untuk menghindari
genangan air di bawah kaki mereka, saat makan.
Pengalaman persentuhan para penghuni Kampung Kota Bandarharjo
dengan tempat mereka, menjadikan penyeragaman fungsi tempat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
datangnya dari “atas”, tampak sebagai kekurangan. Manusia sebagai faktor
yang mampu mengolah ruangnya diabaikan. Bukan secara fisik saja mereka
mengolah, melainkan mengolahnya melalui pelbagai respon ketika mereka
menghadapi ruang, yang sebenarnya terbentuk dari pantulan antar
perjumpaan mereka sendiri. Dengan begitu, ruang fungsional bisa segera
berubah seturut jenis perjumpaan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
B. Tubuh
Tubuh dalam suatu ruang, seringkali ditentukan oleh ritme dominan,
dan tidak memberikan kemerdekaan tubuh, saat ritme berlainan dirasakan.
Bandarharjo adalah ruang, dimana ritme beragam dirasakan tubuh dan
memiliki kemerdekaannya sendiri tanpa menegasi.
Pagi sekitar pukul 07.30, Mbak Reni dan Bu Eni terlihat berpapasan.
Bu Eni berpakaian rapi, mengenakan kemeja biru formal dengan celana
panjang warna ungu. Sambil menenteng tas kain berwarna biru, yang
mungkin berisi perlengkapan kerja atau bekal makannya, ia berjalan dengan
laju terukur, bersemangat tapi tidak tergesa, meskipun ia hendak pergi ke
pabrik tekstil tempatnya bekerja. Jarak tempuh ke tempatnya bekerja, biasa
ditempuhnya dengan 15 menit berjalan kaki, sedangkan Mbak Reni, dengan
belitan selendang jarit, sambil menggendong anaknya, melangkah dengan
ayunan kaki dan lambaian tangan yang tegas, dan panjang, ingin segera
bergegas pulang.
Maklum, karena sejak pagi, ia sebenarnya sudah belanja, untuk
kebutuhan sehari-harinya, lantaran anaknya rewel, ia harus membelikan lagi
kudapan kesukaannya, dan harus segera kembali untuk merampungkan
pekerjaan rumah yang tertunda karena harus membelikan kudapan ke
warung. Anaknya langsung saja merebut plastik transparan yang
membungkusnya, ia berpikir akan segera menikmatinya sendiri setelah
sampai di rumah nanti dengan segera. Ritme cepat jalan Mbak Reni,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
sebenarnya turut membuatnya khawatir, anaknya terhentak dan terlepas
dari gendongannya, sehingga sambil berjalan, satu tanggannya erat
memegangi pinggul anaknya. Searah dengan perjalanan Mbak Reni,
kebetulan ada Bu Yati dan Bu Ratih yang tak sengaja berpapasan. Bu Yati
yang kebetulan usai mengantar cucunya yang masih Sekolah Dasar dengan
sepeda, melihat Bu Ratih. Tanpa pikir panjang, Bu Ratih langsung turun dari
sepedanya, menyambar Mbak Ratih dan saling bertanya kabar, sambil tetap
menenteng es teh plastik, yang ia beli di warung dekat sekolah cucunya, serta
menyedotnya sesekali, di sela-sela obrolan.
Gambar 8. Dua ritme yang tak saling mendominasi. Mbak Reni dan Bu Eni (kiri) Bu Yati dan Bu Ratih (kanan) Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Pada situasi alam yang cukup panas di Bandarharjo. Para
penghuninya dengan tubuhnya, dapat beradapatasi terhadap kondisi-kondisi
alam yang menyulitkan dirinya melalui respon alami tubuhnya yang
terampil. Situasi itu berdampak, menjadikan ruangnya bersahabat dengan
kondisinya.
Waktu beranjak siang di Bandarharjo, Nita dan Revi baru saja pulang
sekolah. Jam 10.00 adalah waktu pulang baginya, cukup pagi sebenarnya, tapi
itu karena mereka berdua masih kelas 2 Sekolah Dasar. Meskipun masih pagi,
di jam itu, cuaca terik di Bandarharjo sudah cukup menyulitkan mereka.
Kondisi itu biasa membuat Nita dan Revi mengambil rute pulang melalui
gang-gang sempit di sekitaran Bandarharjo, sebab gang-gang sempit di sana
lebih teduh terhadap cuaca, teduh, karena terhalang tinggi bangunan di
sekitarnya. Dari sekolah, mereka berjalan hanya dengan melewati tepi-
tepinya saja, berharap bayangan rumah- rumah mampu mengurangi teriknya
cuaca.
Gambar 9. Adaptasi spontans saat menghadapi cuaca panas (Nita dan Revi) Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Tidak seperti orang dewasa yang sudah bersiap-siap menghadapi
cuaca dengan menggunakan payung, mereka menghadapinya dengan
spontan, sembari tetap mengayunkan kaki, mencari celah bayangan yang
meneduhkan. Lalu sambil bercakap-cakap, Revi menaikkan tas punggungnya
setinggi kepala, sambil tetap menahan dengan tangannya yang sedikit
terangkat, lalu menekuknya sejajar kepala. Dengan melakukan hal itu, Revi
sudah merasa cukup menghalau terik.
Lain halnya dengan Bu Sum dan Bu Pin, mereka berdua memilih
berinteraksi, ketika terik. Bu Pin datang dengan santai ke rumah Bu Sum,
melihat Bu Sum sudah di luar rumah, tanpa segan, Bu Pin duduk dengan
tenang menyesuaikan. “Lebih menggembirakan di luar rumah, melihat
suasana jalanan di depan rumah mereka, daripada di dalam tidak ada apa-
apa”, kata Bu Sum kepada Bu Pin. Mereka berdua duduk lesehan beralaskan
emperan rumah bahkan jalanan, meneduh di bawah bayangan rumah
mereka.
Gambar 10. Adaptasi saat panas Bu Pin dan Bu Sum (kiri), cara Pak Jatman (tengah) menghadapi genangan air dan tubuh bebas Bu Nar (kanan) Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Di seberang jalan, Ibu Pin dan Bu Sum, ada Bu Nar yang sedang duduk
berjongkok, menemui teman suaminya yang ada keperluan mendadak.
Mereka berempat berada di jalan, tapi tidak abai terhadap kondisi jalan,
sesekali menghindari lalu lintas, memindahkan pijakan kaki mereka, itu
lumrah, tak akan ada teriakan memaki dari pejalan lain, karena hal itu. Saat
hari mulai hujan deras, dan air laut pasang, banjir rob merendam dari arah
belakang hunian mereka, genangan banjirnya bertahan lama, karena sapuan
pasang yang terus menerus, genangannya bisa bertahan berbulan bulan di
Kampung Bandarharjo.
Pak Jatman adalah penghuni kampung yang letaknya paling ujung dan
berbatasan langsung dengan pelabuhan, sehingga hampir setiap harinya ia
memutuskan mengenakan sepatu bot anti-air untuk menjalankan aktivitas
hariannya (juga untuk bekerja di pelabuhan), dibalut topi, kemeja lengan
panjang lengkap dengan celana panjang menutupi tubuhnya, serta bekal air
minum yang disimpannya dalam botol air mineral bekas, sebab Pak Jatman
tahu akan bekerja seharian, secara serabutan di pelabuhan. Ia akan
membantu apa saja di pelabuhan, saat ada pemuatan barang atau
penurunnya. Ia berjalan cepat, penuh energi mondar-mandir dari rumahnya
ke pelabuhan, melewati jalanan kampung Bandarharjo, kadang ia membawa
pulang sekarung barang-barang yang mungkin ia dapatkan di pelabuhan
yang bisa dimanfaatkan kembali di rumahnya, atau membawa sepikulan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
penuh daun-daun di atas tubuhnya tanpa alat bantu, untuk makanan
kambing di rumahnya.
Ritme dominan, seringkali menuntut istirahat pada tubuh yang
mengalaminya, sehingga, abai terhadap perjumpaan. Lain halnya di
Bandarharjo, para penghuni yang mengalami ritme dominan pada tubuhnya,
tidak menurutinya, malahan menggunakan waktu pulang kerjanya sebagai
perjumpaan yang menggairahkan tanpa kelelahan.
Sore adalah waktu tubuh rehat, setelah bekerja. Bu Eni sudah pulang
kerja dari pabriknya, waktunya bersamaan dengan penjual keliling yang lalu
lalang bebas, di Kampung Kota Bandarharjo. Keriuhan berkumpul adik-adik
kecil dengan kakaknya yang menggendongnya, bersama ibunya, membuat Bu
Eni terpanggil mendekat, ia sering ditawari naik kereta juga, tapi dia sudah
tidak punya anak kecil lagi, sehingga duduk sebentar dan mengobrol cukup
baginya, bersama anak-anak dan ibu-ibunya, ketika menanti kereta mini. Bu
Eni melihat tetangga-tetangganya, sudah berbusana rapi dengan model baju
terkini lengkap dengan riasannya, lalu membandingkan dengan dirinya yang
masih belum mandi, membuatnya tidak betah dan segera ingin melakukan
hal yang sama. Kadang, Bu Eni tak bisa melihat antusiasme yang sedemikian
semarak, jika ia memutuskan untuk pulang mendekati petang. Karena, tanpa
mengetahui ia akan bertemu siapa nanti, biasanya ia akan diajak untuk
belanja atau mengobrol di kursi depan warung tempatnya belanja hingga
waktu tiba-tiba sudah petang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Gambar 11. Keriuhan sore (kiri) yang menjadikan waktu pulang Bu Eni (kanan) menjadi perjumpaan, dan tidak sekedar jadi rutinitas waktu kronologis Sumber: Dokumentasi penelitian
Waktu menjelang petang, jalanan dipenuhi anak-anak, meski jam itu
adalah jam sibuk bagi banyak orang untuk pulang kerja, membeli makan ke
warung dan tumpah ruah orang yang ingin pergi ke rumah tetangga. Kondisi
macam itu malah anak-anak manfaatkan, meski orangtua mereka sudah
menyuruh untuk tidak selalu bermain dan belajar ketika petang tiba, mereka
tidak bisa menahan diri untuk masuk keriuhan. Anak-anak biasa berkumpul
di jalan sebelum berangkat mengaji ke masjid, juga setelah usai mengaji. Nita
dan Revi juga ikut di dalamnya. Mereka bermain petak umpet, berkejaran
dengan berlari atau dengan sepeda, juga bermain permainan tradisional atau
sekedar duduk berjongkok saling mengelilingi lalu berbincang.
Hal itu adalah penyegaran total, setelah di siang hari mereka harus
merasakan panasnya cuaca ketika pulang sekolah dan hanya punya tas
mereka untuk sedikit menghalangi panasnya matahari. Tidak berhenti di situ,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
keriuhan yang mereka gerakkan, diisi dengan keisengan yang sesekali
memberikan mereka ide-ide nakal untuk bermain di bawah mobil yang
terparkir di jalan, atau kadang, jika mereka mengetahui siapa pemiliknya,
serta melihat mobil tua itu tidak terkunci, mereka akan memasukinya,
berimaji sopir atau sekedar bersembunyi dari teman-teman mereka. Rendi
dan Rizki adalah yang memulai ulah nakal itu dengan serius, mengecek
segala rupa barang untuk mengemudi, mengecek sabuk pengaman, setir dan
menanyai teman-teman yang duduk di belakang mereka, seakan penumpang.
Mengetahui tingkah Rendi dan Rizki, tak jarang warga di sekitar mobil itu
mengingatkan, meskipun hanya sesekali saja, lebih sering mereka malah
menikmati keriuhan kedua bocah itu dan teman-temannya. Tetapi bagi Rendi
dan Rizki sendiri, peringatan itu bukan apa-apa, mereka hanya takut bila
mereka akan diadukan kepada kedua orang tua mereka.. Selebihnya, mereka
asik membanting pintu mobil keras-keras, mengagetkan orang-orang di
sekitarnya, lalu bersembunyi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambar 12. Petang hari, adalah waktu penyegaran total penuh perjumpaan dari aktivitas seharian Sumber: Dokumentasi penelitian
Tubuh para penghuni, di hadapan ritme dominan masih memiliki
kebebasan, punya pilihan dan anutan tersendiri yang menentukan
kegairahan dan keengganannya. Bukan dari afirmasi maupun negasi dari
ritme dominan, untuk selanjutnya menentukan bentuk yang menyetujui
maupun melawannya. Kerangkanya adalah: berada di dalam maupun di luar
ritme dominan adalah pilihan bebas yang selalu mengandung konsekuensi
untung-rugi, tapi bisa diatasi dengan pelbagai respon yang melibatkan
perjumpaan-perjumpaan antar penghuni di setiap ruangnya hingga
melahirkan titik temu baru pada tubuh mereka dan berpengaruh pada
ketidakbergairahan atau vitalitas mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
C. Mobilitas
Mobilitas ritme Bandarharjo berada di dalam maupun di luar ritme
dominan yang menuntut pengulangan yang rutin, namun mobilitas di sana
tetap memiliki faktor yang mampu membuyarkan dominasinya, menjadi
ritme mereka sendiri, yang bisa diatur dan sesuaikan.
Saat fajar (04.00-05.00), jalanan sudah dipenuhi lalu lalang pedagang
yang tidak terlampau banyak menuju pasar, dengan dibantu tukang becak
untuk membawakan dagangannya guna dijual ke pasar, yang terletak hanya
200 meter sebelah selatan kampung kota Bandarharjo. Sebuah pasar yang
tidak berlokasi khusus pada suatu area, melainkan hanya berada di
sepanjang persimpangan jalan kampung, maupun jalan tikus ke pelabuhan
atau pabrik.
Pagi itu, Pak Sopyan tengah mengayuh pedal becaknya, bolak-balik
Kampung Bandarharjo-pasar, mungkin sudah 4 hingga 5 kali. Ia biasa
melakukannya untuk mengantarkan barang dagangan dari para pedagang ke
pasar, yang bisa berupa sayur mayur, daging ayam, hingga barang-barang
kebutuhan pokok yang cukup berat seperti tabung gas dan galon air mineral.
Setelah agak siang, Pak Sopyan ganti membawakan dagangan dari para
pedagang grosir yang dibeli dari pasar, untuk dibawa kembali ke
Bandarharjo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Gambar 13. Fajar hari, adalah waktu memulai pekerjaan lebih awal, dan berarti bisa mengakhiri pekerjaan lebih awal pula Sumber: Dokumentasi penelitian
Pukul 06.00-07.00 pagi adalah waktu bagi mobilitas masif para
pekerja pelabuhan, pabrik tekstil serta para pelajar. Mereka biasa berjalan
kaki, mengendarai sepeda, sepeda motor atau dibonceng jika kebetulan
mereka bertemu kawan yang searah dan dekat dengan tempat tujuan
mereka. Kebetulan, Pak Jatman melewatkan peralatannya untuk bekerja di
pelabuhan, sehingga ia memutuskan pulang sebentar untuk mengambilnya.
Di tengah jalan, ia sempat mendengar sapaan Mas Afif yang terburu
mengantar istrinya bekerja ke pabrik tekstil, sapaan itu, mengalihkannya
seketika dari tujuannya pulang dan menoleh ke arah Mas Afif. Hal yang biasa
mereka lakukan, meski mobilitas mereka, mengharuskan mereka untuk
segera berangkat bekerja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Gambar 14. Mobilitas yang cepat, masih menyisakan peluang saling berinteraksi Sumber: Dokumentasi penelitian
Pada jam-jam berikutnya (07.30-08.00) adalah waktu bagi para
pekerja sektor swasta di sekitar pelabuhan untuk berangkat bekerja, seperti
penjaga toko grosir sembako, penjaga kios pulsa, pedagang toko busana juga
penjual warung makan dekat pelabuhan serta penjual es kelapa muda).
Mereka lebih santai dengan pakaian non-formal, namun tetap rapi. Riska
tampak kesiangan hari itu, untuk bekerja di toko busana juragannya,
tempatnya tidak jauh dari pelabuhan, sejajar dengan kios-kios lain yang
dipakai sebagai toko grosir, namun selagi dalam perjalanan berangkat, ia
masih sempat mampir ke warung untuk membeli sesuatu..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Gambar 15. Mobilitas cepat, namun masih cukup waktu untuk kegiatan lain Sumber: Dokumentasi penelitian
Pukul 10.00 hingga 12.00 adalah waktu lengang bagi lalu lalang
kampung kota Bandarharjo, tampak sepi tanpa banyak mobilitas, sekali
waktu diisi para penganggur yang berjalan gontai dan setengah bingung,
berjalan dengan tempo yang tidak teratur dan seperti enggan berjalan.
Jefri adalah seorang pengannggur, ia sering berjalan kaki mencari
teman untuk mengobrol, sambil sesekali mencari tempat duduk untuk
mengistirahatkan kaki sejenak. Biasanya ia berjalan menuju warung, untuk
duduk di terasnya. Membeli camilan sambil menyulut rokok, lalu berjalan lagi
mencari kerumunan, entah warung lain yang banyak dipenuhi orang
berkumpul atau tukang tambal ban yang sedang mengerjakan ban bocor
pelanggan di sebelah warung langganannya.
Jefri tak sendiri, mereka yang setengah baya hingga usia tua pun ada,
melakukan hal serupa, sama seperti yang dilakukannya. Pada diri orang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
orang muda sebaya Jefri, ritme mobilitas penganggur ini, dipenuhi dengan
pergi ke suatu tempat bersama para temannya dengan berpakaian rapi,
mengisi waktu luang mereka untuk berkumpul di seberang Jalan Yos Sudarso
untuk membicarakan balapan liar, atau untuk sekadar nongkrong di tengah
kota dekat stasiun.
Gambar 16. Mobilitas penganggur (Jefri)(kiri) di waktu lengang dan sekitaran rumah, sebagai jangkauan wilayah penganggur paruh baya (kanan) Sumber: Dokumentasi penelitian
Pada diri orang tua, mobilitasnya hanya mondar-mandir pada jarak
pendek di depan rumahnya sesekali menyapa tetangga, bila kebetulan di
rumah, lalu sedikit membuka pembicaraan, sebelum kembali ke depan atau
dalam rumah lagi. Pak Kusno biasa melakukan hal itu, bahkan pada
seseorang yang merupakan pendatang di Bandarharjo, dengan tidak
didahului perkenalan, Pak Kusno, langsung membuka pembicaraan tentang
ingatan masa mudanya di Bandarharjo yang sering berkunjung ke pasar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
malam dan berbagi banyak ketakjubannya di sana, setelah selesai, sambil
masih tersenyum teringat kenangan lampaunya, ia masuk ke dalam
rumahnya yang masih berlantai tanah.
Pada siang harinya (12.00-14.00) giliran mobilitas pulang anak
sekolah, saat itu, jalanan akan dipenuhi dengan sepeda juga sepeda motor.
Ketika para pelajar pulang sekolah, mereka berbaur dengan perbedaan
seragam yang menonjol, sambil menjaga ritme pulang penuh obrolan, canda,
kadang makian sebagai tanda kedekatan, saat-saat pulang mereka diselingi
pula mobil atau truk yang melintas, membelah mereka, menjadikan mereka
kocar-kacir. Di saat yang bersamaan Bu Wawik, pemilik kos yang
menyediakan kamar sewa bagi para pekerja pelabuhan sekitar, kebetulan
meninjau kos berpapasan dengan barisan pulang para pelajar serta truk yang
mengangkut material bagi renovasi masjid yang sesekali menyendat
mobilitas ketika melintas.
Gambar 17. Lalu lalang truk pengangkut material bangunan yang menyendat sementara mobilitas Bandarharjo Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Selanjutnya, usai sekolah, para anak kecil banyak berlalu lalang penuh
kecerian untuk memancing atau sekedar berlarian maupun sambil naik
sepeda bercanda dengan teman sebaya mereka dalam kelompok yang tidak
begitu besar. Setelah itu, waktu sore hari
(15.00-16.00) adalah waktu puncak permainan mereka, dengan naik
kereta mini yang mengitari kampung atau naik odong-odong. Angga dan
teman-temannya yang masih berusia 5-7 tahun mengejar-mengejar kereta
mini yang sudah penuh pelanggan sebagai kesenangan mereka dengan
menggandengi tangan Ibunya, sembari menariknya ke ke kiri dan ke kanan,
bersama adiknya. Berbeda dengan Angga, bagi anak-anak yang lebih kecil,
mereka lebih senang mengejar odong-odong dengan disertai sedikit
rengekan juga tangisan agar orang tua mereka mengizinkan mereka naik
odong-odong.
Memasuki sore menjelang petang (17.00-18.00) mobilitas para ibu
muda atau para nenek, banyak yang menggendong anak atau cucu mereka
untuk melihat keramaian sore, berkumpul di mana orang-orang berkumpul,
seakan-akan itu adalah pasar malam bagi mereka. Sambil membeli lauk bagi
makan malam mereka, akhirnya Ibu Tris pulang dengan menenteng barang
bawaan yang dimasukkan tas kresek kecil berwarna hitam, lalu diselingi
banyak anak-anak kecil dengan sepeda untuk belajar mengaji di masjid
setempat. Waktu itu, dipenuhi pula oleh para pekerja yang telah
menyelesaiakan jam kerjanya sejak pagi, kadang ia pulang sedikit malam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
untuk mengobrol dengan temannya di warung sambil membeli makanan
untuk keluarganya di rumah, tampak akrab saat pulang bersama, di antara
riuhnya lalu lalang itu adalah Bu Eni dan Mbak Reni, ketidaksengajaan yang
mempertemukan mereka di lain waktu, setelah hampir bertemu setiap Bu
Eni sedang berangkat ke pabrik.
Gambar 18.. Mobilitas perjumpaan di tengah komodifikasi waktu177 Sumber: Dokumentasi penelitian
Setelah petang, lalu lalang berganti dengan para pencari makan di
warung-warung sekitar, untuk makan di tempat atau dibawa pulang bersama
anak atau keluarganya. Mobilitas berangsur-angsur surut ketika malam tiba,
terlebih ketika waktu telah menunjukkan pukul (21.00-22.00) lalu lalang
akhirnya beristirahat.
177 Ibu Tris (kanan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Ritme mobilitas di Bandarharjo berjalan beriringan dengan ritme
dominan. Saat berada di dalamnya, bentuknya tidak tunggal, diwarnai
dengan kebebasan yang tercipta dengan perjumpaan yang di dalamnya, bisa
ditentukan secara pribadi. Berada di luar mobilitas dominan, ia bisa menjadi
ruang baru bagi persinggahan. Pendek kata, mobilitasnya tidak sepenuhnya
mandiri dari mobilitas dominan, tetapi ia masih memegang faktor kunci yang
bebas dari dominasi.
Gambar 19.. Ketenangan malam yang menandai akhir mobilitas Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
D. Alam
Hari belum pagi benar di Kampung Kota Bandarharjo, namun Pak Ran
sudah mengantarkan barang dagangan Bu Tari ke pasar. Setelah usai, ia
masih sempat mengobrol di sekitaran pasar, bersama sesama kawannya yang
juga tukang becak di pertigaan pasar itu, karena hari masih fajar, Pak Ran
masih punya banyak waktu untuk mengobrol dan berkumpul dengan teman-
temannya, sembari menunggu permintaan mengangkut belanjaan. Pak Ran
yang kini sudah cukup tua, terbiasa berangkat lebih pagi, baginya itu
memberikan jeda waktu yang cukup untuk beristirahat, juga agar tidak
tergesa-gesa dalam bekerja. Mengawali di waktu yang lebih pagi bagi Pak
Ran, membuatnya bisa memilih pulang lebih cepat dan menggunakan
waktunya setiba di rumah untuk beristirahat.
Gambar 20.Waktu alam adalah irama awal ritme di Bandarharjo Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Waktu, bagi warga di Kampung Kota Bandarharjo adalah waktu
seturut alam, tidak hanya menuruti waktu kronologis yang sudah ditentukan,
tapi memiliki kebebasan untuk menjalankan yang mana.
Mbak Reni terlihat terburu-buru pulang ke rumah, sembari
menggendong anaknya, padahal hari masih pagi. Waktu baru menunjukkan
pukul 07.30, Mbak Reni kebetulan berpapasan dengan Bu Eni yang kebetulan
juga berjalan kaki untuk segera berangkat kerja ke pabrik. Mbak Reni adalah
Ibu Rumah Tangga, seorang ibu muda yang beranak satu. Pukul 7.30
sebenarnya adalah waktu menjemur pakaian yang menumpuk di rumah hal
itu rutin dilakukaannya,, karena Mbak Reni lah yang berkewajiban mencuci
semua pakaian penghuni di rumahnya, sehingga harus terburu-buru pulang
saat itu, usai membelikan jajanan kesukaan anaknya dari warung, maklum
anaknya sejak pagi rewel, karena permintaannya belum terpenuhi.
Waktu adalah jamak di Bandarharjo, bukan rutinitas tunggal yang
sudah ditentukan, sekalipun itu tidak sama dengan waktu mayoritas orang
bekerja, tetaplah itu hidup yang berkebebasan.
Gambar 21.. Aktivitas rumah tetangga setara dengan waktu bekerja Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Mas Taslim, adalah tetangga Pak Jatman, yang sama-sama bekerja di
pelabuhan. Memasuki sore hari, Mas Taslim terlihat berjalan terburu-buru
kembali ke tempat kerja, setelah siangnya, sambil bekerja serabutan, ia
mengumpulkan seikat besar tanaman untuk pakan ternak di rumahnya, dan
ia akan kembali pulang lagi saat bongkar-muat di pelabuhan sudah
berkurang saat malam hari, namun pembagian waktu kerja itu tak tentu
baginya, bia kapal yang perlu dibongkar-muat tiba-tiba datang, tak jarang ia
harus pulang tengah malam, bahkan bisa berlangsung hingga 2 hari ke depan.
Aktivitas warga Bandarharjo bergantung waktu alam, rutinitas waktu
kronologisnya berada di bawah waktu alam, sehingga waktu hariannya
secara kronologis dikendalikan waktu alam.
Gambar 22.. Waktu alam menjadi pedoman waktu kronologis kerja yang tak rutin Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Bu Eni adalah seorang pekerja di pabrik tekstil yang letaknya tak
berjauhan dengan Kampung Kota Bandarharjo. Dia berangkat kerja setiap
hari Senin-Jumat. Kadang Sabtu pun juga masuk, bila mendapatkan jatah
untuk lembur wajib. Ia pulang sekitar sore hari jam 17.00 sampai 19.00,
dengan berjalan kaki, sambil sekalian membeli lauk untuk makan malam.
Pulang baginya bukanlah tentang kembali pulang seusai bekerja yang tanpa
makna, melainkan rekreasi melalui banyak perjumpaannya di jalan,
berjumpa dengan sesama tetangga yang sama-sama mencari lauk, bercakap-
cakap, sambil sesekali duduk melihat kecerian dan keseruan antrian para
warga yang ingin naik kereta mini. Hal yang menyenangkan bagi Bu Eni,
ketika pulang bila ada tetangganya yang kebetulan berarah sama, seperti
disambut setelah seharian bekerja rasanya. Berangsur-berangsur, ritme
Bandarharjo menurun, seiring waktu semakin malam. Memasuki jam 22.00,
jalanan kampung sudah sepi, para warga sudah beristirahat.
Gambar 23. Waktu kronologis menjadi sekunder, karena waktu alam dihidupi Sumber: Dokumentasi penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Di hari libur, situasi semacam itu, tidak tampak di Kampung Kota
Bandarharjo. Suasana terlihat begitu lengang sejak pagi, tidak ada aktivitas
penuh gairah. Tidak banyak lalu lalang orang dewasa untuk bepergian saat
hari libur, kelihatannya hanya anak-anak yang tampak menikmatinya.
Mereka biasanya akan bersepedaan dengan teman-teman mereka di
sekitaran kampung, atau kadang mereka juga bersepeda sampai sekolah.
Iseng ingin melihat sekolah mereka saat hari libur, juga karena terbersit
kerinduan untuk bersekolah kembali, tidak tahan rasanya untuk berjeda
meski sebentar. Sekolah, bagi Revi selalu menawarkan hal yang
menyenangkan, sedangkan hari libur, seperti mau membatasi
kesenangannya. Revi biasanya sudah membuat janji dengan teman-temannya
untuk bersepeda, mereka akan bergegas berangkat mengenakan sepatu serta
baju olahraganya atau sekedar baju bebas. Aktivitas Revi dan teman-
temannya membuat hari libur tampak sebagai sambilan yang menarik,
apalagi Bagus dan kawannya biasa mengajaki teman-teman Revi ikut
memancing di pelabuhan, di sana mereka akan bertemu banyak orang
dewasa yang juga memancing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Gambar 24. Hari libur adalah kesibukan mencari aktivitas pengganti yang serupa hari biasa Sumber: Dokumentasi penelitian
Hari libur di Bandarharjo, adalah waktu bagi penampakkan sisi lain
ruang dan diri mereka, semacam seruan untuk memperhatikan diri, karena
waktu lengang membuat mereka berpikir kembali terhadap apa yang harus
dilakukan untuk mengisi hari, karena ketiadaan pendorong berupa gairah,
membuat mereka merasakan kemalasan. Kenangan akan hari-hari penuh
aktivitas padat namun kaya perjumpaan yang menggairahkan, akhirnya
membayangi mereka, mendorong, lalu mendesak agar segera bergegas
kembali bekerja di hari Senin,
Alam di Bandarharjo kurang bersahabat, cuaca di sana begitu panas,
bahkan ketika belum memasuki waktu siang hari. Menghadapi hal itu, warga
Bandarharjo lebih memilih beraktivitas di dalam rumah, jika harus
beraktivitas di luar, mereka melakukannya di tempat yang teduh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Hari yang terik untuk Ibu Win, ketika dia harus mencari kebutuhan
dapur untuk keperluan masak siang ini.warung tempatnya membeli tidak
begitu jauh dari rumahnya, bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5
menit, namun ketika ia pergi, harus menggunakan payung. Baginya, lima
menit sudah cukup membuatnya merasa kepanasan dan tidak nyaman. Revi
dan temannya pun merasakan hal serupa, usai pulang sekolah jam 10.00
pagi, menyusuri jalanan di Bandarharjo sudah cukup panas, tapi mereka
tinggal menggunakan tas mereka untuk menutupi kepala mereka guna
menghalau panas matahari. Lain halnya dengan Bu Sum dan Bu Pin, ketika
menghadapi panas terik, mereka malah memilih duduk lesehan di bawah
keteduhan bayangan, mungkin tetap tinggal di dalam rumah malah
membuatnya merasa lebih panas.
Meski cuaca panas di Bandarharjo menyulitkan warganya,mereka
punya cara mencipta keadaan baru yang solutif, seakan keadaan yang
menyulitkan itu menajdi tidak terlalu berarti. Tak jauh berbeda dengan
musim hujan di sana. Hujan ringan hingga intensitas sedang sangat
menyejukkan suasana Banjarharjo yang sedang riuh menjadi tenang, namun
bila hujan sangat deras, banyak aktivitas tersendat dan banjir genangan
melanda.
Siang hari menjelang sore, suasana panas masih terasa di
Bandarharjo, sebelum akhirnya gerimis turun membawa kesejukan. Hari itu
adalah hari Senin, waktu berkumpul anak-anak di jalanan sambil menunggu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
waktu datangnya kereta mini, ia juga adalah waktu peralihan, dari jam kerja
menuju kesenggangan di kampung kota Bandarjarjo. Jalanannya akan
dipenuhi lalu lalang orang pulang kerja, anak-anak bermain, serta pedagang
keliling. Pendek kata, itu adalah waktu puncak di Bandarharjo dengan segala
gairahnya. Hujan ringan yang mendadak turun langsung menghempas debu,
menjadikan jalanan tampak bersih, temperatur menurun drastis, angin yang
dibawanya menyejukkan. Seketika, jalanan yang ramai menjadi kalang kabut,
sibuk mencari tempat teduh, akhirnya keriuhan senyap, menjadi ketenangan.
Mennyaksikan kondisi itu, orang-orang tampak puas, sambil duduk di teras
atau di dalam rumah, mensyukuri hujan yang sempat terjadi, lalu telah reda
Kondisi itu begitu memberi pengaruh signifikan pada kenyamanan
penghuni Bandarharjo, mengingat ketika laut sedang pasang dan hujan yang
turun tak kunjung reda, mengakibatkan banjir rob yang berdampak
penggenangan air cukup lama di sana.
Bu Marni yang merupakan pemilik warung di Bandarharjo, memiliki
satu warung kaki lima di pinggir Jalan Yos Sudarso. Ketika hujan turun tanpa
henti, warungnya pasti tergenang air setinggi tumit hingga betis.
Genangannya belum tentu akan hilang semalaman, dan hal itu sudah
dialaminya bertahun-tahun. Berdiri adalah mode yang harus dijalaninya
sepanjang waktu, ketika harus melayani pelanggannya. Melayani dengan
berdiri dan kaki terendam air tentulah sangat menyulitkan, mobilitas
terganggu, dan kaki menjadi kedinginan sepanjang malam. Akhirnya, Bu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Marni memilih untuk menggunakan sepatu bot plastik anti-air, yang sering
digunakan petani untuk bekerja. Mengenakannya, membantu dirinya
terbebas genangan air yang membuatnya dingin dan membuatnya lincah
bergerak untuk mengambilkan dan membuatkan makanan pesanan
pelanggan, tanpa terintangi genangan air. Sesekali kakinya merasakan letih
juga, mengenakan sepatu bot itu, karena beratnya ayunan kaki yang harus
ditahan saat berjalan, sehingga ia duduk di atas kursi atau mencari jalan yang
tak terkena genangan untuk melepas sepatunya dan sejenak beristirahat.
Akhirnya, penghuni kampung kota Bandarharjo hidup dengan
memiliki ritme kerja rutin yang serupa kota besar, namun bisa juga tak
memilikinya, tetapi itu bukan hal yang dirasakan bertentangan dan saling
menegasi dengan waktu alami. Ritme kerja yang membentuk waktu
kronologis dan sebaliknya, masih tetap berada dalam waktu alami, dan dari
situlah alam masih di alami menurut siklusnya. Membentuk hidup mereka
seturut alam, masuk pada aspek yang memberikan mereka gairah serta masa
istirahatnya, dalam siklus silih berganti, beserta segala adaptasi dan
penciptaan ruangnya, sehingga hidup tetap nyaman dijalani, meski berjumpa
keterbatasannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Gambar 25. Cuaca panas yang menyulitkan berubah sejuk ketika gerimis, hingga akhirnya menimbulkan genangan178 Sumber: Dokumentasi penelitian
178
Siklus alam yang sangat berpengaruh pada para penghuni Bandarharjo yang membawa keengganan hingga pengatasannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
BAB IV
Ritmeanalisis: Upaya Mencari Lokus Geo Ritme
Representasi kampung kota oleh Ilmu Geografi cukup bermasalah,
karena melihat kampung kota sebagai sebab pada dirinya, tanpa
mengaitkannya dengan faktor dominan yang turut membentuknya, yaitu:
ekonomi neoliberal. Representasi macam itu terjadi, ketika penelitian Ilmu
Geografi harus berbicara secara sahih dengan didukung paradigma dominan
yang otoritatif maupun legitimatif, melalui teori hegemonisnya tentang
kampung kota. Penyimpangan terhadap teori hegemonisnya, menyebabkan
kesahihan penelitian Ilmu Geografi, dan berakibat tidak diterimanya
representasi Ilmu Geografi sebagai hasil penelitian yang otoritatif dan
legitimatif dalam membicarakan kampung kota di Indonesia.
Memenuhi prasyarat dasar itulah, Ilmu Geografi lantas
merepresentasikan kampung kota secara negatif, sebaga penurunan
permukiman normal, secara keruangan, lalu menurunkan karakter
penghuninya dari sana. Penurunan kualitas permukiman normal pada
kampung kota dibicarakan sebagai kejejalan bangunan fisik kampung kota,
akibat kemampuan praktik ruang mereka yang terbatas. Perpindahan
penduduk ke kota, sebagai jalan ekonomi mereka, ditengarahi telah
memperpadat ruang kota, sehingga kemampuan ekonomi mereka yang
terbatas, membuat mereka menjarah lahan kota dan menjadikannya ruang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
yang tidak layak huni. Ruang sebenarnya bukan hanya suatu latar bagi
ekonomi neoliberal, melainkan ekonomi neoliberal terjadi di dalam dan
melalui ruang, menyangkut relasi kuasa dan otoritas pemroduksi ruang, baik
secara nyata maupun imajinya lewat representasinya [menurunkan stigma
pusat-pinggiran, lalu kelas sosial (elit-rendahan hingga pertentangan kelas)
(kuasa mendefinisi dan mengobyekkan pada lingkup sosial sampai
penguasa)] kemudian menentukan siapa yang berhak atau tidak menempati
ruang. Melalui nalar ini, sebenarnya Ilmu Geografi mampu untuk tidak
melihat kampung kota sebagai sebab dari dirinya sendiri, tetapi ada relasi
kuasa yang membentuknya, termasuk disiplin ilmu yang boleh jadi menjurus
penyetujuan ekonomi neoliberal, sehingga bisa berandil dalam menentukan
siapa yang berhak dan tidak berhak menghuni suatu ruang.
Masalah turunan yang selanjutnya datang dari representasi yang tidak
kritis terhadap kapitalisme ini adalah narasi mengenai penghuni kampung
kota. Narasi penghuninya (sebagaian buruk, seperti: kriminal dan acuh
secara politis), diturunkan sepihak, sebagai konsekuensi logis dari
representasi minor kampung kota. Dengan kata lain, ia adalah karakter
terberi dari sifat keruangannya yang merupakan penurunan kualitas dari
permukiman normal (yang dimaksud adalah permukiman kelas menengah).
Pembicaraan seperti itu, tentu abai terhadap pengalaman ruang para
penghuni sendiri, dalam mengalami ruangnya, lepas dari representasi Ilmu
Geografi yang belum kritis terhadap komodifikasi ruang. Pengabaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
terhadap pengalaman ruang para penghuninya sebagaimana mereka
mengalaminya, bisa menjurus pada sikap tidak manusiawi disiplin Ilmu
Geografi, karena di hadapan komodifikasi ruang, Ilmu Geografi belum
melahirkan antagonisme terhadapan peminoran warga kampung kota
sebagai korban yang disisihkan dari hak ruangnya, karena komodifikasinya.
Ruang yang disesuaikan dengan kepentingannya saja dan dinilai hanya
melalui nilai tukar dan nilai tambah bagi keberlangsungan mereka
(komodifikasi).
Representasi Ilmu Geografi dengan cara ini, sebenarnya baru sampai
pada ruang pertama179, yang baru menyentuh praktik ruangnya saja. Belum
sampai pada ruang kedua yang mempertimbangkan secara kritis mengenai
paradigma dominan sebagai landasan representasinya, juga ruang ketiga,
sebagai pengalaman ruang oleh penghuninya, sebagaimana mereka alami.
Keterbatasan penembusan lapisan ruang itulah yang menjurus ketidakadilan
representasi, karena masih mendefinisi dari atas, bukan mengerti dari bawah
beserta relasi kuasa yang menudukkannya.
Komodifikasi menundukkan ruang seturut nilai tukar dan nilai
tambahnya serta menguntungkan (ruang tidak dipandang dalam kapasitas
manusiawinya, melalui interaksi, juga relasi antar-manusia yang melahirkan
karakter ruang), menudukkan penghuni ruang melalui ritme ciptaannya (jam
kerja, jam tidur–bangunnya, sibuk-senggang, liburan–kerja, menjadi
179 David Harvey, (2009), Sosial Justice and The City, The University of Georgia: US, hal.9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
pedoman jam transportasi) menjadi linear seturut kepentingan dirinya
(misal:liburan dihabiskan dengan konsumsi wisata, sama saja nilai tambah
dari kesenggangan manusia diambil komodifikasi, tanpa menyisakan untuk
diri manusia sendiri, di luar kapitalisme). Kehidupan berubah linear sebagai
akibat komodifikasi, tidak lagi siklis seturut alam, sehingga mengakibatkan
frustrasi.
Penundukan itulah yang mampu mendorong kekritisan Ilmu Geografi
dengan bantuan ritmeanlisis, untuk melihat narasi penghuni kampung kota
Berangkat dari hal-hal itulah, persoalan ketidakadilan representasi
Ilmu Geografi dipertajam dengan rumusan masalah: bagaimana penghuni
kampung kota menghayati ruang mereka sendiri bila dibaca dari ritme hidup
yang dibentuk kapitalisme melalui aspek tempat, mobilitas, tubuh, dan alam
melalui ritmeanalisis?, serta bagaimana pendekatan Ilmu Geografi yang lebih
berkeadilan dan kritis terhadap kapitalisme dalam memandang kampung
kota ini?
Menjawab pertanyaan rumusan masalah pertama, dilakukan melalui
analisis data ritmeanalisis di Bab III, yang dilakukan di Kampung Kota
Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara. Masing-masing aspek ritmeanalisis
(tempat, mobilitas, tubuh dan alam) dibongkar narasinya, lewat kegiatan
yang mereka lakukan sebagai bentuk polivokalitas penelitian ini,
dikontraskan dengan hal yang diingini kapitalisme pada keempat aspek ini
(tempat, mobilitas, tubuh dan alam) demi keuntungan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
A. Ritmeanalisis Tempat: Membongkar Komodifikasi Ruang
Ritmeanalisis digunakan untuk mengembangkan analisis yang lebih
kaya, dan menyeluruh menyangkut pengalaman manusia mengenai waktu
(ritme). Terkait dengan ruang sebagai lokusnya, ia digunakan untuk
memahami struktur dan proses pembentukannya, yang dipengaruhi banyak
hal berkenaan dengan pengulangaannya dalam kategori: mobilitas, alam,
tempat dan tubuh yang membentuk individu serta kelompok sosial
tertentu.180 Ritme ini, dalam masyarakat kapitalis banyak dibentuk oleh
komodifikasi menyangkut ritme yang rutin dialami secara harian, mingguan
atau temporal dalam suatu ruang, yang berjejaring dengan: masalah
globalisasi, informasi, ekonomi dan teknologi .181
Membicarakan Kampung Kota Bandarharjo sebagai praktik ruang di
Semarang akan lemah posisinya, di level wacana maupun legalitasnya,
mengingat praktik ruang yang “seharusnya” ada di sana adalah Kawasan
Industri Kota Semarang (Tanjung Emas) bersama 10 Kawasan Industri lain
(Kawasan Industri Wijaya Kusuma, Tambak Aji, Bukit Semarang Baru, Candi,
Simongan, Setya Budi, Terboyo, Genuk, Nyonya Meneer dan Penggaron),182
dan telah sesuai dengan Perda Kota Semarang No.14 tahun 2011 Tentang
Tata Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun2013-2031,
180 Henry Lefebvre, (2004), Rhythmanalysis: Space,Time and Everydaylife, Continuum: London, hal.2-3 181 Ibid., 182 Arifandi Djayanegara, (2013), Skripsi, Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Besar di Kota Semarang, Jurusan Geografi Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang: Semarang, hal.90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
sehingga keberpihakannya pada praktik komodifikasi ruang akan lebih
besar.
Kampung Kota Bandarharjo memiliki banyak bangunan yang semakin
hari makin turun dari permukaan tanah, karena proses amblasan yang
terjadi dan banjir rob. Kondisi itulah yang menyebabkan lalu lalang truk
pengangkut material, bolak-balik ke Bandarharjo, mengirimi material
bangunan, untuk membangun rumah. Lalu lalang truk pada jalanan
Bandarharjo yang kecil, menciptakan ritme arrhythmia183 yang berupa
continuous-discontinuous184 ,sedikit menghambat lalu lintas di sana. Ritme
serupa (arrhythmia yang berupa continuous-discontinuous) terjadi ketika
mobil melintas, hal itu sekaligus menunjukan bahwa ruang Bandarharjo yang
dikecam oleh beberapa pihak, pun bisa menguntungkan pihak lain dalam
mencari hunian murah.
Ketika sore, jalanan Bandarharjo akan dipenuhi ritme eurhythmia185,
Pedagang keliling yang bebas menjajakan dagangannya (bakso, bakpao, sate ,
bubur ayam), akan bergantian melintas, dengan caranya yang khas
menawarkan dagangannya, ia adalah rupa ritme repetition and difference186.
Hal lain yang hampir serupa adalah kereta mini yang melintas mengelilingi
183 Ritme yang membuat tidak kerasan 184 Ritme yang terus berlangsung (lalu lalang truk) tetapi bisa menghentikan ritme lain yang berlangsung (lalu lalng kendara para penghuni) 185 yaitu: ritme yang harmonis, nyaman dan membuat betah 186 Berulang lalu lalang pedagangnya, tapi berbeda barang dagangannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
(mechanical and organic)187 Bandarharjo, suatu situasi yang dinanti banyak
orang (eurhythmia) bersamaan dengan ritme istirahat dan rekreasi
(mechanical and organic) mereka usai bekerja dan kegiatan lain (cyclic and
linear). Mereka tumpah ruah di jalanan, antara orang tua dan anak-anak
mereka, beserta para warga lain yang sekedar ingin berkumpul (discovery
and creation188).
Selain hal itu, jalanan punya peran sentral bagi banyak ritme
(polyrhythmia) di Bandarharjo, baik yang membuat kerasan (eurhythmia)
atau tidak (arrhythmia). Salah satunya fungsi jalanan menjadi ruang publik
akibat perjumpaan spontan mereka di jalan (discovery and creation) sehingga
mereka bisa berhenti begitu saja dan mengobrol dengan santai (eurhythmia).
Perjumpaan yang spontan, penuh interaksi akhirnya mengubah fungsi jalan
menjadi ruang publik, sehingga untuk mengakomodasinya, jalanan menjadi
penuh dengan kursi berjajar di pinggirnya. Perjumpaan-perjumpaan itu
akhirnya mengalami semacam “pembakuan” ketika mereka bertemu di
warung (penuh interaksi ,misal :candaan dan permintaan tolong pemesanan)
(discovery and creation), dengan tempat yang lebih permanen (eurhythmia).
Bahkan ketika ritme berubah menjadi arrhythmia karena genangan air banjir
187 Mengacu pada persamaan dan perbedaan yang menciptakan ritme, sebuah pemahaman ritme yang dibangun oleh Lefebvre melalui ritmeanalisis 188 Suatu ritme selalu mengandung dualitas “ persamaan” dan “perbedaan” dalam pengulangannya sebagai kesatuan, pada aspek discovery-creation, ia repetitif, tapi mengandung pemaknaan yang merasuk dalam hidup para penghuni dan sentral perannya, serta tidak berhenti pada wujud luar yang mekanis dan terberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
rob dan hujan deras (cyclic and linear), mereka beradaptasi dengan
mengenakan sepatu bot anti-air.
Komodifikasi mereduksi ruang menjadi nilai tukar dan nilai tambah
yang berguna bagi dirinya, lalu menjadikan para penghuni ruangnya sebagai
instrumen bagi reproduksi kapitalisme, dengan mengarahkan jenis interaksi
mereka ke dalam ruang seturut jam kerja saja (mengingat jam kerja adalah
cara kapitalisme beroperasi secara dominan yang menurunkan ritme
turunan dari sana).
Perlakuan kapitalis macam itu, menebalkan interaksi manusia dengan
ruang pada ruang-ruang terbatas sesuai ritme kerjanya, yang diarahkan pada
konsumsi. Ruang sebagai nilai lebih bagi kapitalis (komodifikasi),
menghilangkan fungsi waktu pada ruang, kecuali dalam hal pekerjaan, 189
Komodifikasi mereduksi waktu menjadi hal-hal yang bertautan dengan
pekerjaan saja, lalu waktu menjadi sebatas jadwal dan hari kalender.190
Setelahnya, ruang yang dihilangkan dari waktu, menjadi pabrik atau mesin
bagi komodifikasi, ia berubah sebagai objek konsumsi.
Orang-orang Bandarharjo, memperlakukan ruang bukan sebagai latar
belaka, mereka turut mencipta aktif ruang mereka dengan interaksi manusia
tanpa batas ruang, pendek kata tidak membedakan secara khusus sesuai
189 Henry Lefebvre, (2009), State, Space, World, University of Minnesota Press: Minneapolis, hal.186 Ibid.,hal.186
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
tujuan komodifikasi. Jalanan bukan semata-mata untuk kelancaran
komodifikasi ruang, melainkan ia malah menjadi ruang publik akibat cara
mereka hadir pada ruang (jalanan) mereka, bahkan bagi para penghuni yang
berada pada ritme terkomodifikasi, karena waktu pulang kerja mereka (saat
sore hari) bisa menjadi rekreasi, bersamaan dengan para penghuni yang
tumpah ruah akibat kereta mini.
B. Ritmeanalisis Mobilitas: Kebebasan Pilihan Mobilitas
Komodifikasi menginginkan semua jenis ritme melayani dirinya,
menyangkut ketepatan dan efektivitas waktu jam kerja, karena upah pekerja
ditentukan dari sana.191 Pada gilirannya berimbas pada penggunaan
transportasi dan kecepatan lalu lintas, juga masalah waktu libur yang
diselaraskan dengan komodifikasi seperti konsumsi dan wisata untuk
menyegarkan diri , agar bisa kembali bekerja.192
Mobilitas di Kampung Kota Bandarharjo, berada di dalam maupun di
luar ritme termodifikasi. Pertemuan kedua ritme tidak saling berbenturan,
tetapi saling bernegosiasi bahkan saling mengakomodasi, manakala ia
dirasakan sebagai ritme dalam mobilitas termodifikasi yang melelahkan.
191 Henry Lefebvre, (2004), Rhythmanalysis: Space,Time and Everydaylife, Continuum: London, hal.99 192 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pak Sopyan adalah seorang pengayuh becak, ia harus berangkat kerja
lebih awal (arrhythmia), setiap fajar (repetition and difference; mechanical
and organic;)193, untuk mengantarkan dagangan para pedagang pasar, yang
beroperasi sebelum ritme dominan (ritme kerja termodifikasi) dimulai, guna
mencukupi kebutuhan para pekerja pada ritme itu. Bagi Pak Sopyan, meski ia
berada di dalam ritme termodifikasi, ia tetap bebas memutuskan waktu
bekerja (discovery and creation), berangkat lebih pagi di usianya yang senja
adalah pilihan tepat194, karena Pak Sopyan bisa beristirahat setelahnya, pada
pukul 09.00-10.00, ia sudah bisa berada di rumah195 (eurhythmia). Mobilitas
serupa dialami Riska dan Pak Jatman. Riska adalah pekerja sektor swasta,
meskipun ia terlambat waktu (mechanical and organic), ia masih bisa
berbelanja ke warung dulu (eurhythmia), sebelum bekerja, sedangkan Pak
Jatman, bisa pulang sebentar di tengah jam kerja (mechanical and organic);
(eurhythmia), untuk mengambil ketinggalan barang.
Komodifikasi waktu, di jam produktif (10.00-12.00), Kampung
Bandarharjo, tak luput dari mobilitas arrhythmia, karena seeorang tidak
masuk dalam ritme termodifikasi, seperti yang dialami Jefri. Ia belum
bekerja, dan terlihat mondar-mandir di jalanan mencari kawan untuk
mengatasi ketidaknyamanan dirinya (mechanical and organic). Jefri akan
193 Ia adalah ritme repetitif mekanis sebagai waktu kerja, tetapi organis terhadap waktu alam 194 bukan semata mengejar waktu memenuhi kebutuhan para pekerja pada ritme kapitalis saja, tapi masih bisa melebihkan waktu dengan itu, sehingga masih bisa berkumpul dan mengobrol dengan teman sesama pengayuh becak 195 Berada di luar ritme kapitalis, bebas memutuskan dan bisa beristirahat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
sangat terbantu ketika bisa duduk di warung, lalu diajak berbicara, atau
berinteraksi dengan siapapun di jalan dan duduk lama.
Pada waktu sore hingga petang hari, ketika ritme kerja berakhir. Di
Kampung Kota Bandarharjo ritme itu tidak berhenti dengan istirahat, tetapi
berpautan, saling mengisi dengan kegairahan. Bu Eni adalah pekerja pabrik
tekstil, sore hingga petang hari adalah waktu pulang baginya, ia terlihat
kecapekan (arrhythmia), tapi ia akan sangat senang (eurhythmia) ketika
pulang dan berpapasan dengan para tetangganya yang riuh menanti kereta
mini, jika ia pulang agak terlambat karena mencari lauk, ia pun masih bisa
berpapasan dengan para ibu lain yang sama-sama mencari lauk seperti
dirinya dan bisa pulang bersama (discovery and creation).
C. Ritmeanalisis Tubuh: Pernyataan Kuasa Performativitas Tubuh
Identitas tidak begitu saja diperagakan dalam ruang (performed in
space), tapi merupakan sebuah implikasi dari produksi ruang sosial hasil
kontestasi proses performatif196, sehingga identitas tidak bisa dibayangkan
dari agensi sadar manusia, tapi lebih pada hal yang dibangun melalui “praktik
wacana menubuh-subyek” (discursive and bodily enactment of subjectivity),
efeknya menjadi ruang yang performatif.197
196 R. Michael Glass & Rose Reuben Redwood (ed), (2014), Performativity, Politics, and the Production of Social Space, Rouledge: New York, hal.15 197 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Praktik wacana yang sudah menubuh” tertentu (spesific performance)
turut menghadirkan ruang performatif sebagai bentuk perlawanan terhadap
definisi dari relasi kuasa tertentu, sekaligus menunjukkan kegagalan rezim
pendisplinan dalam membentuk mereka sebagai subjek.198
Pendekatan performativitas digunakan dalam hal ini sebagai cara bagi
suatu ritme hidup menjadi performatif bagi subjek dan ruangnya dalam Ilmu
Geografi, untuk memindahkan perhatian pada representasi tekstual Ilmu
Geografi, kepada praktik wacana yang menubuh secara ketubuhan
(corporeality of embodied practices).199 Penekanan pada hal ini berdampak
pada kemungkinan untuk berwacana secara mandiri dan aktif melalui
praktik wacana dari tubuh.
Tubuh, dalam suatu ruang seringkali ditentukan oleh ritme dominan,
dan tidak memberikan kemerdekaan tubuh, saat ritme berlainan
dirasakan.200 Lain halnya di Kampung Kota Bandarharjo, dimana ruang
dengan ritme beragam bisa dirasakan tubuh dan memiliki kemerdekaannya
sendiri tanpa menegasi.
Mbak Reni tidak berada dalam ritme termodifikasi (continuous and
discontinuous) seperti Bu Eni, tapi pada jam yang sama ketika Bu Eni tergesa
untuk berangkat, Mbak Reni juga tergesa untuk pulang, mengerjakan
pekerjaan rumah tangganya (eurhythmia). Ritme Mbak Eni adalah suatu 198 Ibid.,hal.16 199 Ibid.,hal.17 200 Tim Edensor (ed), (2010), Geographies of Rhythm: Nature, Place, Mobilities and Bodies, Ashgate E-book: USA, hal.84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
tindak performatif tubuh yang memiliki kemerdekaan, menjadikannya suatu
pernyataan yang menegaskan bahwa tubuh di Kampung Kota Bandarharjo,
tidak hanya dibentuk secara tunggal oleh ritme dan ruang kapitalis di mana
ruang dominan Kota Semarang, disahkan sebagai kota industri.
Pernyataannya tidak menegasi dengan perlawanan, tapi hanya perlu
melakukan kegiatan yang menggairahkannya201 di tengah ritme
termodifikasi, tanpa ketergesaannya, Mbak Reni pastilah resah, karena ia
tidak berkegiatan seperti Bu Eni yang menjadi contoh ideal di ritme
termodifikasi.
Ruang di Kampung Kota bandarharjo begitu sempit dan bercuaca
sangat panas (arryhthmia). Menyiasati hal itu, mereka tinggal meneduh di
bawah bayangan rumah (seperti Bu Pin dan Bu Sum), mengenakan payung
untuk bepergian seperti Bu Win, atau tinggal beradaptasi dengan respon
spontan tubuh seperti Revi dan kawannya, dengan menaikkan tas ke ujung
kepala untuk menghalau panas202.
Dalam ruang sempit dan panas, tubuh mereka masih berinteraksi,
mencipta ruang publik dalam setiap percakapan dengan tubuh yang bebas,
santai juga spontan203 (eurhythmia). Hal itu terjadi ketika Bu Yati dan Bu
Ratih yang kebetulan bertemu seusai mengantar cucunya dari sekolah dan
201 Mengerjakan pekerjaan rumah tangga; barangkali hal yang diremehkan masyarakat kapitalis, karena tidak bernilai tukar. Kenyataannya, Mbak Reni begitu bersemangat pulang untuk melakukannya. Apabila tidak menggairahkan, untuk apa tergesa pulang? 202 Bersamaan membentuk ritme dalam rupa (cyclic-linear juga discovery-creation) 203
Bersamaan membentuk ritme dalam rupa (cyclic-linear juga continous-discontinous) karena tidak terjadi setiap saat, hanya dalam spontanitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
langsung turun dari sepedanya, dan langsung mengobrol di jalanan. Kondisi
serupa, juga dialami Bu Nar ketika bertemu teman suaminya dan harus
membicarakan hal penting, sehingga langsung berjongkok berdua di jalanan
untuk membahasnya.
Tubuh mereka saangat bebas, berada di dalam maupun di luar ritme
kapitalis komodifikasi waktu, ia tetap bisa lincah mencari titik temu, sehingga
menggairahkan tubuh serta selaras dengan ritme siklis alam. Hal itu
ditunjukkan oleh tubuh Mbak Eni, saat sore hingga petang hari yang letih,
sepulang dari pabrik , namun bergairah dengan perjumpaan dengan tubuh-
tubuh lain, tatkala sore itu mereka menanti kereta mini, bersama dengan
tubuh-tubuh yang antusias mengajak anak-anak mereka ke sana, usai mandi,
merias diri serta berbalut busana kekinian. Malamnya, pada pukul 22.00,
tubuh mereka beristirahat , sehingga jalanan sudah tampak sunyi tanpa
aktivitas.
D. Ritmeanalisis Alam: Kondisi Selaras Waktu Alam
Komodifikasi ruang hanya menginginkan waktu linear, dari ritme
yang dibentuk untuk keuntungannya, sehingga berakibat ketidakselarasan
waktu dengan alam204. Kondisi itu berakibat insomnia dan frustasi, karena
waktu biologis yang berperan penting menjaga kondisi tubuh sudah hilang,
204
Tim Edensor (ed), (2010), Geographies of Rhythm: Nature, Place, Mobilities and Bodies, Ashgate E-book: USA, hal.84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
ketenangan alaminya harus diganti dengan kenikmatan konsumtif205 (nilai
lebih bagi kapitalis). Pak Ran, Mas Taslim dan Pak Jatman, mereka bekerja
mendahului waktu yang sudah termodifikasi, untuk membantu mencukupi
kebutuhan mereka di waktu produktif kapitalis. Mereka tampak berjalan dan
mengayuh dengan antusias dan semangat (eurhythmia), meski dari sisi
komodifikasi, mereka terlihat mendahului waktu206, namun ia tetap
menggunakan waktu biologis mereka, kekurangan juga kelebihannya, bagi
mereka sendiri dengan bebas menikmatinya, melalui istirahat di rumah atau
berinteraksi dengan rekan sejawat mereka. Keselarasan waktu siklis alam
Pak Jatman dalam keserabutan waktu kerja kronologisnya, adalah bukti bagi
pemberian kesan awal dan akhir yang dilahirkan dari dirinya sendiri. Waktu
yang linear, tidak memberikan rasa awal dan akhir dari diri manusia itu
sendiri, tapi dari luar, sehingga merenggut kebebasan diri dan
kesehatannya.207
Kondisi panas dan genangan banjir yang kerap mereka rasakan,
membuat mereka peka dan tergantung dengan alam. Mereka akan
merasakannya sebagai hal meresahkan [saat banjir dan panas(arrhythmia)]
atau saat hujan ringan datang, yang membawa kesejukan,208 akhirnya
205
Ibid.,hal.99 206 Sebenarnya sesuai ritme harian biologis mereka yang setiap harinya bangun di waktu fajar, terlebih sebagai seorang muslim itu biasa 207 Frustasi dan insomnia karena awal dan akhir waktu tak bisa dirasakan secara biologis
208 Tidak sampai mendatangkan banjir dan meredakan panas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
berpengaruh pada kondisi yang menenangkan bagi tubuh dan ritme di
Kampung Kota Bandarharjo. Dengan hubungan saling berpengaruh ini, ia
berposisi pada ruang yang dihidupi dirinya sendiri, bukan pada ruang
terkomodifikasi, karena ruang terkomodifikasi seoalah mampu
menghilangkan alam sebagai faktor penentu ruang, dan menggantikan
hubungannya dengan hubungan konsumsi. Kesejukan dan ketenangan
sebagai kondisi (pengalaman ruang dengan alam Bandarharjo), tidak bisa
digantikan dengan sebuah peristiwa209 sebagai konsumsi, dengan asumsi
bahwa kebahagiaan (kesejukan dan ketenangan) bukan peristiwa, tetapi
kondisi diri yang tercipta akibat masih adanya hubungan dengan waktu
siklis.
Ritmeanalisis membukakan pengalaman ruang sebagaimana para
penghuni Kampung Kota Bandarharjo menghayatinya. Pengalaman ruang
mereka adalah pengalaman yang belum tersentuh Ilmu Geografi arus utama
yang belum kritis, karena pengalaman ruang mereka membawa resistensi
terhadap ritme yang terkomodifikasi. Ritmeanalisis akhirnya, adalah peluang
bagi pendekatan Ilmu Geografi yang lebih berkeadilan bagi kampung kota.
Sebuah kerangka kerja yang diperlukan bagi kekritisan Ilmu Geografi
terhadap pada penelitian kampung kota, sehingga mampu memberikan
representasi ulang permukiman kumuh sebagai kampung kota.
209 Diasumsikan bahwa kesenagan konsumtif adalah peristiwa, karena landasan pengalaman, atau prasyaratnya adalah nilai tukar, bukan hal mendasar seperti kondisi penunjang kebahagiaan adalah kondisi kesaling hubungan dengan waktu alam yang jauh lebih mendasar dan bukan dihasilkan karena mampu bertransaksi melalui nilai tukar dengan alam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
E. Ritmeanalisis: Representasi Ulang Ilmu Geografi atas
Permukiman Kumuh
Wacana dominan dalam membicarakan dan memperlakukan
kampung kota sebagai permukiman kumuh yang termasuk dalam kawasan
pelabuhan dan stasiun kereta api (kawasan industri) sejak era kolonial
belum terlalu banyak berubah hingga konteks masa kini. Kampung kota
adalah akibat urbanisasi dan perambahan wilayah yang berkonotasi negatif,
sebagai sebuah fenomena atas dirinya sendiri. Ia disebut sebagai pergeseran
daerah pinggiran yang mencaplok daerah pusat yang berupa kawasan
industri, hal ini dianggap menyebabkan pergeseran ruang, dari ruang
pinggiran menjadi urban, dari sosio -ekonomi formal menjadi sosio-ekonomi
informal, yang akhirnya menjadikan kota “tanpa batas”, kota yang semakin
menggelembung penuh kekacauan ruang karena pertumbuhan permukiman
kampung kota yang dianggap tidak tertata.210 Indikator yang digunakan
dalam menilai adalah perubahan struktur internal kota, perubahan
penggunaan lahan, serta perubahan karakteristik ruang dan
kenampakannya.211
Wacana dominan seperti itu adalah latar belakang bagi penelitian
Ilmu Geografi dalam membicarakan kampung kota, baik secara umum
210 Bambang Setioko, (2010), The Metamorphosis of Coastal City, Case Study of Semarang Metropolitan, Journal of Coastal Development, Vol.13 No.3 Juni 2010, hal148-149 211 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
maupun khusus (Kampung Kota Bandarharjo). Melalui wacana keilmuannya
yang belum kritis, ia berbicara dengan sahih seturut teori yang mendukung
wacana itu, sehingga otoritatif dan legitimatif. Akhirnya bisa memperkukuh
identitas keilmuannya212 yang meneliti dengan metode keruangannya.213
Kampung Kota Bandarharjo sebagai titik berangkat penelitian ini,
menjadi sentral perannya, karena Ilmu Geografi melalui penelitiannya,
menemukan khazanah kebaruan keilmuan, dalam bidang permukiman
kumuh214 (Kampung Kota), yaitu: permukiman kumuh yang semakin kumuh
karena proses banjir rob yang dinilainya “khas” dari Kampung Kota
Bandarharjo.215 Kemudian menurunkan “ciri-ciri” penghuni permukiman
kumuh216 (Kampung Kota) dari sana, sebagai: perilaku menyimpang
(deviant behavior)/ kriminal (mabuk-mabukan, kenakalan remaja,
pelacuran, berjudi, pemakaian obat-obatan terlarang. Argumen dari
penelitian ini mengenai sebab perilaku menyimpang adalah, karena
pekerjaan mereka hanya di sektor informal (serabutan, pengasong,
pemulung, penjahit dan nelayan), yang membuat mereka mudah diajak
berbuat kriminal.217 Mereka dianggap memiliki budaya permukiman
kumuh (culture of the slums), budaya permukiman kumuh didefinisikan
sebagai hal yang melekat di permukiman kumuh (Kampung Kota). Budaya itu
212
M.Gamal Rindarjono (2012), Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial, Media Perkasa: Yogyakarta, hal.65 213
Argumen kesahihan sebagai pembeda dengan disiplin ilmu lain 214 Kampung Kota dipandang sebagai Permukiman Kumuh 215 Ibid.,hal.10-11 216 Ibid.,hal.94 217 Ibid.,hal.95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
meliputi: kehidupan mereka bebrbentuk kelompok, mudah dijumpai di
warung, tempat-tempat nongkrong serta tempat meminjamkan uang, sebagai
ciri khusus kehidupan komunal tanpa privasi dari kehidupan mereka.218
Mereka dianggap memiliki apatisme dan isolasi dunia luar. Kondisi ini
dijelaskan sebagai stempel yang diberikan masyarakat umum karena
penampilan fisik dan kesulitan hidup penghuni permukiman kumuh
(Kampung Kota), yang tampak sebagai kodrat alamiah (natural inferiority),
juga dianggap makhluk yang rendah, sehingga berakibat terhadap
keterasingan sosial dari masyarakat luas dan keterlemparan mereka dari
lingkaran partisipasi dalam pembangunan masyarakat perkotaan.219 Lebih
lanjut, apatisme dan isolasi itu berasal dari kepercayaan fatalistik mereka
dari ketidakberdayaan diri mereka yang lemah bila dibanding dengan kelas
menengah.220Ilmu Geografi arus utama yang belum kritis tidak melihat
ekonomi neoliberal sebagai muasal 3 stigma yang disebut “ciri khusus” bagi
para penghuni kampung kota. Tiga stigma itu dilihat hanya pada dirinya
sendiri.
Membicarakan ruang Kampung Kota sebagai permukiman kumuh saja
akan terlihat sebagai pinggiran-pinggiran yang tersisih dari kontestasi ruang
karena sistem ekonomi neoliberal. Lalu dengan pengabaian ini, representasi
218 Ibid.,hal.96 219 Ibid.,hal.97 dalam Khudori:2002 yang dikuitp penulis dalam penelitiannya 220 Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
terhadapnya akan terhenti pada stigma yang sudah terbangun lebih dahulu,
karena kekritisan teoritisnya belum terlahir. Kekritisan tersebut belum
tampil ke permukaan, oleh sebab keterbatasan perspekstif tentang ruangnya,
karena peneliti dituntut hanya bisa membicarakan kampung kota sebagai hal
yang sahih melalui legitimasi dan otoritas teori hegemonisnya.221 Hal itu,
tentu membatasi eksplorasinya dalam membicarakan manusia penghuninya
yang berhadap-hadapan langsung dengan komodifikasi, melalui hidupnya,
serta ikut terbentuk secara langsung atau tidak langsung melalui produksi
dan stigma ruang terkomodifikasi.
Cara semacam itu, ditentang oleh Ahli Geografi David Harvey. Ia
berpendapat bahwa kajian ruang yang memisahkan kesadaran moral dengan
kesahihan metodis dianggap abai terhadap keadilan sosial yang seharusnya
dimiliki sama setiap warga negara.222 Artinya, bahwa menarasikan minor
kampung kota dalam Ilmu Geografi tidak dianggap sah begitu saja sebagai
representasi, karena telah mengikuti “metode baku”, ia juga harus punya
sikap hormat kepada mereka dan sadar bahwa mereka pun punya hak sama
dalam prinsip keadilan sosial suatu negara.223
Ilmu Geografi yang masih belum kritis, mendefinisi pusat –pinggiran
dan condong pada pusat sebagai standar kebaikan ruang bagi semua manusia
(termasuk permukiman kumuh yang dianggap pinggiran) yang harusnya 221 Ibid.,hal.63 (teori yang dipilih adalah Herbert J.Gans yang menyatakan bahwa permukiman kumuh adalah tanda yang diberikan dari golongan atas yang sudah mapan pada golongan bawah yang belum mapan (dalam konotasi negatif bukan resistensi) 222 David Harvey, (2009), Sosial Justice and The City, University of Georgia: US, hal.9 223 Ibid.,hal.13-14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
lebih mengacu pada keadilan sosial bukan pada determinasi modal.224
Menyangkut pengalaman penghuni kampung kota sendiri terhadap ruang
mereka, dengan nalar Ilmu Geografi yang abai kapitalisme, akan ikut
dipandang minor pula, tanpa sikap hormat.225
Mengatasi celah (pengalaman penghuni yang belum tersentuh) yang
masih abai terhadap kapitalisme itu, Ahli Geografi yang lain, Lefebvre
menawarkan Ruang Representasional sebagai lapis ke-3 setelah tiga lapis
ruang; Praktik Ruang226 dan Representasi Ruang.227
Ruang reprsentasional itulah yang menjadi harapan bagi Ilmu
Geografi228, karena pengalaman penghuni ruang itu terwadahi, tidak hanya
dinarasikan dari atas. Menyangkut ekonomi neoliberal, pengalaman itu bisa
disejajarkan, bahkan dikontraskan sejauh apa yang diingini komodifikasi dari
pengalaman itu, dalam relasi resistensi atau afirmasi yang melahirkan
antagonisme displin ilmu, sehingga tidak terjebak pada reproduksi
pengetahuan yang mendukung pada komodifikasi ruang.
Sejauh pertanyaan rumusan masalah kedua dinyatakan, akhirnya
ritmeanalisis penduduk Kampung Kota Bandarharjo, membawa pendekatan
yang adil terhadap representasi ulang Ilmu Geografi yang belum kritis
224 Ibid.,hal.16-17 225 Ibid.,hal.28 226 Cara be”ruang” hidup secara fisik sebagai jejaring dari kapitalisme 227 Cara ruang (dari praktik ruang) direpresentasikan sehingga menentukan bagaimana ia diperlakukan termasuk akademisi (termasuk Ilmu Geografi yang Pro Kapitalisme-Neoliberal) 228 Henri Lefebvre, (1991), Production of Space, Blackwell: UK, hal.10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
terhadap ekonomi neoliberal terhadap permasalahan kampung kota. Ia
dilihat bukan pada dirinya sendiri, seharusnya dilihat dari pengaruh ekonomi
neoliberal. Sistem yang ingin mereproduksi dirinya terus-menerus, sehingga
menguntungkan sepihak melalui reproduksi ruang dan subyek ruang ke
dalam relasi terkomodifikasi, yang direduksi sebagai hanya nilai tukar dan
nilai tambah (baik dalam ruang, mobilitas, tubuh dan alam).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
BAB V
PENUTUP
Membicarakan kampung kota sebagai objek penelitian Ilmu Geografi,
menggunakan ritmeanalisis, mampu mengubah kebenaran disiplin ilmunya
yang belum kritis terhadap ekonomi neoliberal, menjadi lebih manusiawi.
Pengalaman manusia dalan ruang (kampung kota) yang belum terwadahi,
atau hanya diturunkan dari stigmanya saja secara negatif, (dari “kebenaran-
metodis” Ilmu Geografi arus utama), bisa mendapatkan solusi. Keterbatasan
penembusan lapisan ruang itulah yang bisa menjurus ketidakadilan
representasi, karena masih mendefinisi dari atas, bukan mengerti dari bawah
beserta relasi kuasa yang menudukkannya.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab pendahuluan, bahwa Ilmu
Geografi arus utama, penelitiannya baru sampai pada ruang pertama, berarti
berhenti pada kondisi nyata (fisik) keruangan sebagai bentuk cerminan
tertentu dari suatu kegiatan, sedang penelitian yang sampai pada ruang ke-
dua, berarti baru melakukan penafsiran secara ruang populer, sesuai politik
diskursus intelektual yang berlaku atau dominan, dengan mengidealkan
suatu ruang, lalu menyalahkan yang lain. Ruang pertama, bila ditempatkan
pada kasus penelitian kampung kota, berarti ia hanya berhenti pada konten
ruangnya, atau pada karakter fisik permukimannya saja. Sedangkan dengan
ruang ke-dua, berarti penafsiran kampung kota berhenti pada teori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
marjinalisasi, yang belum kritis terhadap kemungkinan lain pada kampung
kota. Apabila penelitian sampai pada penggunaan teori ruang ke-tiga, ia
mampu memahami ruang dengan melampuai bineritasnya.
Ritmeanalisis, hadir melengkapi ruang ketiga yang belum tersentuh
Ilmu Geografi arus utama, dengan terlebih dahulu menempatkannya pada
komodifikasi ruang. Selanjutnya, ia dikembangkan dengan melihat terlebih
dahulu kampung kota sebagai lokus yang yang berpotensi resisten terhadap
komodifikasi ruang, pada aspek: tempat, tubuh, mobilitas dan alam, karena
kampung kota tidak dilihat sebagai sebab dari dirinya sendiri, tapi sebagai
efek sistem ekonomi neoliberal. Ritmeanalisis pada gilirannya ditempatkan
dalam menampung aktivitas para penghuninya sebagai performativitas,
seturut ritme yang dibawakannya. Performativitas yang dibawakan melalui
ruang, selanjutnya membentuk diri mereka sebagai subyek yang mandiri,
terlepas dari komodifikasi, meskipun mereka juga hidup di dalamnya.
Penempatan kampung kota dengan ritmeanalisis sebagai
performativitas para penghuni kampung kota, akhirnya mampu
mengeluarkan wacana Ilmu Geografi arus utama, dari keterjebakan disiplin
ilmu, ketika ia ingin berbicara valid mengenai kampung kota, karena terbatas
dengan wacana dominannya. Kondisi itu, berpotensi menjadi representasi
ulang Ilmu Geografi atas kampung kota sebagai permukiman kumuh, yang
selalu disalahkan, dan disisihkan, bahkan bisa dihilangkan, karena mereka
sendiri adalah dampak dari sistem ekonomi neoliberal. Anehnya, mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
sendiri justru bisa menjadi penyembuh dari sistem itu, melalui ritme yang
mereka bawakan. Dari temuan data di Bab III, warga Bandarharjo memiliki
negosiasi yang luwes dalam menyikapi komodifikasi ruang. Negosiasinya
tidak selalu melawan dominasi, melainkan menggunakannya balik, atau tetap
berada di dalamnya namun menemukan celah melalui perjumpaan pada
ritme yang berbeda. Seakan membuyarkan ketunggalan ritme dari suatu
komodifikasi dan meragamkannya dengan suntikan vitalitas pada setiap
pertemuannya. Proses penelitian ritmeanalisis ini melibatkan diri peneliti
sepenuhnya, untuk menangkap pola tak sadar dari performativitas warga
Bandarharjo yang mungkin tak mereka pahami secara keseluruhan. Cerita-
cerita nya didapatkan peneliti sendiri, ketika menyaksikan, bahkan ikut
terlibat dalam kegiatannya. Pada hal-hal yang tak “lumrah” mengenai pola
dan sikap tubuh, pertama sekali didokumentasikan terlebih dahulu, lalu,
penjelasannya didapatkan dengan bertanya kepada warga yang berada di
sekitarnya, saat berada di warung, pinggir jalan atau gosip jalanan, baik
formal maupun informal, sengaja atau tidak sengaja saat mendengarnya.
Cara mereka berelasi antar sesama begitu dekat dan menyentuh, bahkan
pada orang baru atau asing. Kadang tanpa halangan, sedikit resisten bila
pertanyaan-pertanyaan menyangkut isu minor, mereka bisa jadi sangat
sensitif. Pengalaman ruang bagi mereka, tidak terlepas dari perjumpaan
sesama warga, menjadikan setiap titik tempat pertemuan menjadi ruang
publik yang benar dihidupi, bukan ruang publik sebagai sematan dari atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Daftar Pustaka
Akhyat, Arief. 2006. The Ideology of Kampung: A Preliminary Research on Coastal City Semarang. Jurnal Humaniora. Vol.18 No.1 Februari 2006
Arymurthy dan Aniati Murni, Analisis Topologi dan Populasi Penduduk Pemukiman Miskin Menggunakan Teknologi Remote Sensing. Jurnal Sistem Informasi MTI-UI.Vol.6.Nomor 1.ISSN 1412-8896
Barker, Chris. 2015. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Colombijn, Freek dan Cote, Joost (ed). 2015. Cars, Conduit, and Kampongs: The Modernization of Indonesian City, 1920-1960. Brill: Leiden
Djayanegara, Arifandi. 2013. Skripsi. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Besar di Kota Semarang. Jurusan Geografi Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang: Semarang
Edensor, Tim (ed). 2010. Geographies of Rhythm: Nature, Place, Mobilities and Bodies. Ashgate E-book: USA
Glass, R.Michael & Redwood, Rose Reuben (ed). 2014. Performativity, Politics, and the Production of Social Space. Routledge: New York
Goonewardena, Kanishka dkk. 2008. Space, Difference and Everyday Life: Reading Henry Lefebvere. Routledge Taylor and Francis Group: New York
Harvey, David. 2009. Sosial Justice and The City. The University of Georgia: US
Lefebvre, Henri. 2009. State, Space, World. University of Minnesota Press: Minneapolis
Lefebvre, Henri. 2004. Rhythmanalysis: Space, Time and Everydaylife. Continuum: London
Lefebvre, Henri. 1991. Production of Space. Blackwell: UK
O’Reilly, Karen. 2012. Ethnographic Methods. Routledge: New York
Ridlo, Muhammad Agung. 2014. The Life Pattern of The Poor Society in Semarang City –Indonesia State. International Journal of Business, Economic and Law. Vol.4 Issue 3 Juni
Rindarjono, M.Gamal. 2012. Slum Kajian Permukiman Kumuh dalam Perspektif Spasial. Media Perkasa: Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies. Sage Publication: London
Setiadi, Hafid. 2006. Geografi Sejarah dan PemetaanDiskusi penyusunan pedoman SIG untuk pemetaan Sejarah tanggal 19 April 2006 di Wisma Bahtera Cibogo Bogor, disampaikan oleh Hafid Setiadi, staf pengajar Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia
Setioko, Bambang. 2010. The Metamorphosis of Coastal City, Case Study of Semarang Metropolitan Journal of Coastal Development. Vol.13 No.3 Juni 2010
Suharini, Erni. Menemukenali Agihan Permukiman Kumuh di Perkotaan Melalui Interpretasi Penginderaan Jauh .Jurnal Geografi Vol.4 2 Juli 2007. Jurusan Geografi FIS UNNES
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Lampiran
Desain Riset
Pengambilan Data: pengambilan data dilakukan dengan observasi pada
penanda ritme penghuni kampung kota, serta melihat tampakan-tampakan
sebagai penanda strategi ruang hidup mereka. Lalu, wawancara menyangkut
kerangka rhythmanalysis dalam keseharian mereka, dalam aspek tempat,
mobilitas, tubuh, serta alam.
Jenis Data: peristiwa atau tanda juga yang menunjukan ritme, waktu yang
menunjukan perulangan pada peristiwa atau tanda juga tempat yang
menunjukkan ritme, tampakan-tampakan penunjuk strategi ruang hidup
mereka yang: arrhythmic, eurhythmic dan polyrhythmic menyangkut
mobilitas, alam, tubuh dan tempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Instrumen Pengambilan Data Rhythmanalysis
1. Tempat Jalan, bangunan dll (besar-kecil) Keterangan Pengulangan
Eurhythmia/ Arrhythmia Taman ( yang menjadi “alun-alun”)
(Pagi, Siang,Sore,Malam) Gedung ( jenis, besar-kecil “alun-alun” gedung)
Hari Biasa/ Libur Posisi dari kota,
2. Mobilitas Lalu lalang (sekolah, kerja, main, mancing dll) Keterangan Pengulangan
Eurhythmia/ Arrhythmia Lalu lalang (jenis transportasi, tujuan), suara
(Pagi, Siang,Sore,Malam) Gairah/energi/ kecepatan ,
Hari Biasa/ Libur
3. Tubuh Kehidupan diurnal/ nokturnal/insomnia
Mabuk, Judi, Ronda, Balap liar, Teknologi, Religi Keterangan Pengulangan
Eurhythmia/ Arrhythmia Jam Kerja, Penganggur, konsumsi
(Pagi, Siang,Sore,Malam) Gedung ( jenis, besar-kecil “alun-alun” gedung)
Hari Biasa/ Libur Posisi dari kota,
4. Alam Banjir, panas, hujan Keterangan Pengulangan
Eurhythmia/ Arrhythmia Akibat (senang, susah)
(Pagi, Siang,Sore,Malam) Hari Biasa/ Libur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Keterangan tambahan
Eurhythmia/ Arrhythmia dilihat dalam pengulangannya menyangkut jenisnya: mechanical and organic , repetition and difference, discovery and creation, cyclic and linear, continuous and discontinuous, quantitative and qualitative. Bila perlu ditambahkan wawancara untuk pendalaman jenis ritme yang dialami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI