revisi lap mhpt

Upload: ahmad-mundir

Post on 13-Jul-2015

492 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU

DISUSUN OLEH : AFRIZANDI HERMAWAN AHMAD MUNDIR BIMA PURNA PUTRA DIO FEBRO BRAHMANTYO EKO WAHYUDI 0910480006 0910480009 0910480028 0910480048 0910480054

UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN AGROEKOTEKNOLOGI MALANG 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan memberikan unsur-unsur yang

diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian sangat tergantung alam, gangguan iklim, hama dan penyakit. Agroekosistem (ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang monospesifik dengan kumpulan beberapa gulma. Ekosistem pertanian sangat peka akan kekeringan, frost, hama/penyakit sedangkan pada ekosistem alam dengan komunitas yang kompleks dan banyak spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap gangguan iklim dan makhluk perusak. Dalam agroekosistem, tanaman dipanen dan diambil dari lapangan untuk konsumsi manusia/ternak sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garam-garam dan kandungan unsur-unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain. Untuk memelihara agar keadaan produktivitas tetap tinggi kita menambah pupuk pada tanah pertanian itu. Secara fungsional agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis transfer enersi dan nutrisi terutama di grazing food chaindengan demikian hemeostasis kecil. Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem dan pemeliharaannya untuk mendapatkan hasil yang maksimum, maka menjadikannya mudah goyah dan peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan, frost, meledaknya hama dan penyakit dan sebagainya. 1.2 Tujuan Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengenal apa itu tanah, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), musuh alami dan hubungan

diantara masing-masing unsur tersebut pada lahan tanaman hortikultura. Dan diharapkan kita dapat mengambil keputusan dan tindakan lanjutan untuk tanaman sayuran yang dibudidayakan. 1.3 Manfaat a. Dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasikan serangga berdasarkan perannya di dalam suatu agroekosistem. b. Dapat melakukan analisis terhadap kondisi di suatu agroekosistem dan kemudian menentukan tindakan pengelolaan yang tepat terkait kondisi tersebut. c. Dapat memahami bagaimana cara kerja pestisida sistemik melalui simulasi pengangkutan oleh akar dan jaringan pengangkut tanaman. d. Dapat memahami alasan mengapa pengendalian hama penghisap dan pengunyah menggunakan pestisida sistemik. e. Mampu mengenal hama dan penyakit pada beberapa tanaman hortikultura. f. Mengenal musuh alami yang ada pada tanaman hortikultura.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroekosistem Agroekosistem adalah sebuah sistem lingkungan yang telah

dimodifikasi dan dikelola oleh manusia untuk kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain (Conway, 1987). Manusia, dalam hal ini sering disebut petani, melakukan intervensi terhadap system lingkungan dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarganya. Dalam perspektif yang lebih luas, masyarakat juga ikut mendukung intervensi semacam itu karena kepentingan yang lain, yakni untuk menghasilkan pangan dengan harga yang terjangkau bagi merekamereka yang tidak bekerja di sektor pertanian, seperti para pekerja di sektor-sektor industry di perkotaan. Agroekosistem berbeda dengan ekosistem alam (nature

ecosystem), karena dalam agroekosistem sumber energy tidak hanya terbatas pada sinar matahari, air dan nutrisi tanah, akan tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang sudah dikonsolidasikan oleh manusia, seperti pupuk, pestisida, teknologi dan lain sebagainya. Hal lain yang membedakan adalah tingkat keanekaragaman hayati pada agroekosistem cenderung rendah, didominasi oleh varietas-varietas yang seragam, serta kontrol dikendalikan oleh faktor eksternal, dalam hal ini manusia, bukan oleh feedback system sebagaimana yang terjadi pada ekosistem alam. Dengan demikian, dalam agroekosistem, manusia adalah faktor yang memegang peranan sangat penting, untuk tidak mengatakan sentral. Agroekosistem, ditopang oleh dua system yang saling berinteraksi dan pengaruh mempengaruhi yakni system natural dan system sosial. Beberapa komponen natural dalam agroekosistem antara lain meliputi faktor-faktor biofisik seperti tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan dan lain sebagainya yang satu sama lain berinteraksi dalam suatu mekanisme tertentu sehingga perubahan pada komponen yang satu akan berpengaruh

pada keberadaan komponen yang lain. Misalnya saja, perubahan iklim yang mengarah pada tingkat kekeringan tertentu akan berpengaruh pada ketersediaan air di dalam tanah, yang pada gilirannya juga akan memberikan pengaruh pada sebaran tumbuhan dan hewan yang ada di atasnya. Demikian juga dengan system sosial, beberapa komponen sosial seperti demografi, organisasi sosial, ekonomi, institusi politik dan system kepercayaan adalah hal-hal yang saling memberikan pengaruh pada terbentuknya karakter tertentu, daya tahan, stabilitas dan tingkat kemajuan (Rambo, 1983). Sementara itu, interaksi antara system sosial dan system natural dalam sebuah agroekosistem juga saling memberikan pengaruh. Perubahan pada system natural akan berpengaruh pada system sosial, dan sebaliknya perubahan dalam system sosial juga akan memberikan pengaruh pada system natural. Contoh menarik untuk hal ini adalah laporan Jacobson dan Adams (1953) tentang kemunduran kebudayaan Mesopotamia yang diyakini terjadi akibat meningkatnya kadar garam pada kanal-kanal irigasi mereka; dan laporan Drew (1983) tentang

meningkatnya kerusakan ekosistem

pegunungan di

Eropa sejak

dipergunakannya alat-alat pertanian dari logam di sana. Menurut Amien (1997) agroekosistem merupakan sekelompok wilayah yang keadaan fisik lingkungannya hampir sama dimana keragaan tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda nyata. Menurut (Pedigo, 1996 : 335) ekosistem pertanian

(agroekosistem) memiliki keanekaragaman biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam, sehingga tidak stabil dan ini memacu terjadinya peningkatan populasi hama. Agroekosistem merupakan salah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang dikelola semaksimal mungkin untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai kebutuhan manusia Perbedaaan ekosistem alami dan ekosistem buatan (agroekosistem) dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut : Tabel 4.1 Karakteristik Ekosistem Alami Dan Ekosistem Buatan Manusia (Agroekosistem)

Komponen

Ekosistem Alami

Ekosistem Buatan (Agroekosistem)

Abiotik Erosi Serasah Daya serap Temperatur tanah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Rendah Rendah Tinggi

Biotik Aktivitas organisme Diversitas Tanaman Diversitas genetika Sumber : Mahrub (1999 : 28) Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah

2.2 Metode Sampel Metode pengambilan sampel dalam pembahasan ini adalah cara atau teknik untuk memperoleh data tentang kepadatan populasi serangga yang diamati. Ukuran kepadatan populasi suatu serangga yang tepat

adalah dalam bentuk jumlah individu per suatu satuan luas permukaan tanah. Data ini dapat digunakan untuk menghitung berapa jumlah individu yang ada pada suatu daerah atau wilayah pengamatan. Sampel atau contoh dalam pengertian statistik merupakan bagian suatu populasi. Populasi hama pada suatu tempat merupakan seluruh

individu hama yang menempati tempat tertentu artinya sampel merupakan wakil dari populasi yang diamati. Permasalahan penting yang sering

dihadapi dalam pengambilan sampel adalah menentukan jumlah anggota sampel dengan tepat sehingga dapat mewakili keseluruhan anggota populasi. Jika terjadi kesalahan penentuan jumlah sampel maka data yang

diperoleh tidak dapat digunakan untuk menduga sifat populasi (Untung, 2003 : 93). Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama atau organisme lain yang diamati. Ada 2 (dua) syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yaitu : Praktis, artinya metode yang dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama; Valid (dapat dipercaya), artinya metode yang dilakukan harus menghasilkan data yang dapat mewakili atau

menggambarkan secara benar tentang sifat populasi yang sesungguhnya (Untung, 2003 : 94). Pola pengambilan sampel dapat mengikuti pola Diagonal, Zigzag dan Lajur tanaman (Sistematik) seperti terlihat pada Gambar 4.3 berikut ini. Rumpun tanaman yang ada di pinggiran plot pengamatan jangan dijadikan sebagai sampel, yaitu sekitar 3-5 baris dari tepi lahan (plot pengamatan). (A) (B) (C)

Gambar 4.3. Pola Pengambilan Sampel mengikuti Pola (A) Diagonal, (B) Zigzag dan (C) Lajur Tanaman (Sistematik) Sumber : Untung (2003 : 105). Untung (2003 : 98) menyatakan ada 3 metode pokok pengambilan sampel yaitu metode mutlak (absolut), metode nisbi (relatif) dan indeks populasi. 1. Metode Mutlak (Absolut), yaitu data yang didapat merupakan angka pendugaan kepadatan populasi dalam bentuk jumlah individu per satuan

unit permukaan tanah atau habitat serangga yang kita amati. Pelaksanaan sampling lebih dahulu ditetapkan unit sampel berupa satuan luas permukaan tanah (1 X 1 m2 ) kemudian semua individu serangga yang ada dalam unit sampel yang kita amati dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Untuk suatu petak pengamatan biasanya diambil beberapa unit sampel, lalu dihitung rat-rata kepadatan populasi dari petak pengamatan tersebut. Apabila perhitungan populasi dilakukan pada pertanaman yang teratur dalam baris dan kolom maka dengan menggunakan unit sampel berupa satu tanaman/pohon atau rumpun dapat diperoleh jumlah populasi serangga untuk satu wilayah pengamatan. Misalnya tanaman padi yang ditanam dengan jarak tanam 25 X 25 cm, maka dalam 1 m2 luas tanah terdapat 16 rumpun padi, jika pada setiap rumpun ditemukan 10 ekor wereng maka dapat diperkirakan untuk luasan 1 m2 permukaan tanah

terdapat 160 ekor wereng. Kelebihan metode mutlak adalah memiliki ketelitian yang tinggi, tetapi memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang cukup banyak untuk menghitung serangga yang terkumpul. 2. Metode Nisbi (Relatif), yaitu data penduga populasi yang diperoleh sulit untuk dikonversi dalam unit permukaan tanah karena banyaknya faktor yang mempengaruhi angka penduga tersebut. Cara pengambilan sampel dengan alat perangkap serangga seperti lampu perangkap (light trap) atau perangkap jebakan (pitfal trap) akan memperoleh angka yang sulit untuk dikonversikan pada unit permukaan tanah. Dibandingkan dengan metode mutlak, metode nisbi merupakan metode yang lebih mudah dan praktis karena umumnya individu serangga lebih mudah tertangkap dan dihitung. Kekurangannya adalah dari segi ketelitian statistik metode ini termasuk rendah. Hal ini karena dipengaruhi banyak faktor seperti keadaan lingkungan sekitar, alat perangkap, keadaan dan kemampuan pengamat, waktu pengumpulan serangga dan lain-lain. Metode nisbi tidak dianjurkan untuk studi ekologi serangga yang memerlukan ketelitian tinggi.

3. Metode Indeks Populasi, yaitu yang diukur dan dihitung adalah bekas yang ditinggalkan oleh serangga seperti kotoran, kokon dan sarang. Misalnya kita mengamati tikus maka yang dihitung adalah jumlah liang. Indeks populasi yang sering digunakan adalah kerusakan atau akibat serangan hama pada tanaman, biasanya angka tersebut disebut intensitas kerusakan atau serangan 2.3 Jenis-jenis Perangkap a. Yellow trap Jebakan ini didasari sifat serangga yang menyukai warna kuning mencolok. Musababnya warna itu mirip warna kelopak bunga yang sedang mekar sempurna. Permukaannya dilumuri lem sehingga serangga yang hinggap bakal lengket sampai ajal menjemputnya. Perangkap kuning ampuh memikat hama golongan aphid, kutu, dan tungau. Itu juga dijadikan indikator populasi hama di sekitarnya. Saat jumlah hama yang tertangkap perangkap melebihi ambang yang ditentukan, misalnya 50 individu kutu putih/hari, maka saat itu perlu dilakukan penanggulangan serius dengan pestisida kimia maupun biologis. Umumnya perangkap berbentuk lembaran triplek, fiber, atau karton tebal berukuran 15 x 15 cm2 dan dilumuri vaselin, oli, atau minyak jelantah dengan kepadatan 60100 perangkap/ha.

Gambar 1. Yellow trap b. Lampu Serangga nokturnal menjadikan cahaya dominan di suatu tempat sebagai panduan utama. Mereka akan terbang mendekat begitu melihat cahaya, baik berasal dari lampu maupun nyala api. Di tempat terang itu mereka bertemu lawan jenis lalu kawin untuk meneruskan generasinya.

Sebelum ada penerangan buatan manusia, cahaya terang itu hanya berasal dari bulan. Saat terang bulan, serangga keluar dan beramairamai kawin. Hasilnya, populasi serangga meningkat ketika bulan memasuki bulan mati, yaitu periode 510 hari sesudah purnama. Hama dari golongan serangga di kebun pun mempunyai sifat yang sama. Maka dari itu pekebun membuat perangkap lampu. Serangga bakal terbang mengitarinya sampai akhirnya jatuh atau masuk jebakan berupa air atau lem yang diletakkan di bawah lampu. Perangkap ini bisa mengendalikan hama dari golongan aphid, kupu-kupu, ngengat, atau kumbang. Sebanyak 1020 perangkap/ha diletakkan 2540 cm lebih tinggi daripada tanaman. c. Feromon Jebakan itu dibuat dengan memanfaatkan kebutuhan komunikasi serangga pengganggu tanaman. Komunikasi itu dilakukan dengan hormon bernama feromon. Itu berguna untuk menunjukkan adanya makanan, memikat pejantan, menandai jejak, membatasi wilayah teritorial, atau memisahkan kelas pekerja, tentara, dan ratu. Yang sekarang banyak digunakan adalah feromon untuk menarik pasangan.

Zat yang baunya mirip feromon betina disebut bahan atraktan yang dipasang pada perangkap yang ditempatkan di kebun. Serangga jantan akan tertarik dan masuk ke perangkap yang sudah diberi air atau lem. Makhluk sial yang tertipu itu pun menemui ajalnya. Sejak 2 tahun

terakhir perangkap itu popular digunakan untuk memerangi lalat buah yang menjadi momok di perkebunan buah-buahan skala sedang sampai luas. Atraktan yang paling banyak dipakai adalah metil eugenol. Lahan 1 ha cukup dipasangi 810 perangkap karena aroma tajamnya dapat tercium dari jarak cukup jauh. d. Pitfall trap Perangkap ini menggunakan cawan jebak yang dibenamkan dalam tanahdengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan formalin 4% setinggi 1,5-2 cm dan ditetesi sedikit larutan deterjen, kemudiandipasang pelindung pada bagian atasnya (atap) untuk melindungi dari hujan.Perangkap diambil setelah satu minggu dipasang.

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Fungsi untuk meletakkan yellow sticky trap untuk menangkap serangga

No Alat 1 2 Ajir Sweep net

3

Aspirator

untuk mengambil serangga yang berukuran kecil

4

Yellow sticky trap

untuk memerangkap serangga

5

Gelas air mineral

untuk tempat detergen

6

Roll film

untuk tempat serangga

7

Buku

kunci Untuk mengidentifikasi serangga

determinasi serangga 8 Buku penyakit 3.1.2 No 1 2 3 4 Bahan Bahan Air Detergen Alkohol Kapas Fungsi untuk memerangkap serangga untuk menurunkan tekanan permukaan air untuk mengawetkan serangga Untuk meletakkan serangga yang telah diberi alkohol identifikasi Untuk mengidentifikasi penyakit

3.2 Tempat dan Waktu 3.2.1 Tempat

Lokasi pengamatan dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Desa Ngijo Kecamatan Karangploso. Lokasi identifikasi dilakukan di laboratorium 3.2.2 Waktu Pengamatan dan wawancara dilakukan tanggal 13 oktober 2011. Identifikasi dilakukan 2 minggu setelah pengambilan sampel

3.3 Cara Kerja 3.3.1 Metode Yellow Sticky Trap Siapkan alat dan bahan

Memasang perangkap (yellow sticky trap) pada kayu

Meletakkan perangkap di satu lahan pada 4 titik Mengambil serangga yang terperangkap di yellow sticky trap Mengawetkan serangga dengan alkohol Identifikasi Hasil 3.3.2 Metode Pit Fall

Siapkan alat dan bahan

Mencampur air dengan detergen Meletakkan perangkap (pit fall) di bawah yellow sticky trap, sejajar permukaan tanah

Mengawetkan serangga dengan alkohol

Identifikasi

Hasil 3.3.3 Metode Wawancara Metode wawancara yang dilakukan adalah wawancara secara langsung ke narasumber

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi Serangga 4.1.1 Berdasarkan serangga yang tertangkap menggunakan sweepnet a. Kepik Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hemiptera (Anonymous,2011) Peran : Hama b. Walang sangit Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hemiptera (Anonymous,2011) Peran : Hama c. Belalang Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Orthoptera (Anonymous,2011) Peran : Hama d. Kumbang kubah spot o Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera (Anonymous,2011)

Peran : Hama

e. Capung Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Odonata (Anonymous,2011) Peran : Musuh alami f. Lalat Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Diptera (Anonymous,2011) Peran : Hama g. Belalang sembah Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Mantodea (Anonymous,2011) Peran : Musuh alami Praktikum hama tanaman hortikultura h. Ulat bulu Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera (Anonymous,2011) Peran : Hama Jumlah 2

i. Kumbang kubah spot o Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera (Anonymous,2011) Peran : Hama Jumlah 1 j. Belalang Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Orthoptera (Anonymous,2011) Peran : Hama Jumlah 7 4.1.2 Berdasarkan serangga yang tertangkap oleh yellow trap dan pitfall a. Yellowtrap 1. Lalat Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Diptera (Anonymous,2011) Peran : Hama Jumlah 4 2. Kumbang-kumbangan Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera (Anonymous,2011)

Peran : Hama

Jumlah 1 3. Lebah Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hymenoptera (Anonymous,2011) Peran : Musuh alami Jumlah 11

b. Pitfall 1. Semut Kingdom Filum Kelas Ordo : Animalia : Arthropoda : Insecta : Hymenoptera (Anonymous,2011) Jumlah 1

4.2 Klasifikasi Penyakit a. Daun buncis karat (Uromyces phaseoli typica Earth) Kingdom Phylum Class Order Family Genus : Fungi : Basidiomycota : Urediniomycetes : Uredinales : Pucciniaceae : Uromyces

Spesies

: Uromyces phaseoli typica Earth (Anonymous,2011)

b. Busuk daun selada (Bremia lactucae Regel) Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Chromalveolata : Heterokontophyta : Oomycetes : Peronosporales : Peronosporaceae : Bremia : B. lactucae (Anonymous,2011) c. Antraknosa mentimun (Colleotorium lagenarium) Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Fungi : Ascomycota : Pezizomycotina : Sordariomycetes : Glomerellales : Glomerellaceae : Colletotrichum : C. Lagenarium (Anonymous,2011) d. Penyakit bercak daun bersudut markisa (Pseudomonas lachrymans) Kingdom Filum Kelas Ordo : Bacteria : Proteobacteria : Gammaproteobacteria : Pseudomonadales

e. Penyakit bercak daun coklat tomat (Alternaria solani) Kingdom Phylum : Fungi : Ascomycota

Class Order

: Dothideomycetes : Pleosporales

f. Penyakit busuk buah terong (Phytoptora spp) Kingdom Filum Kelas Ordo :Chromalveolata :Heterokontophyta : Oomycetes : Peronosporales

4.3 Analisis Data Pengamatan Dari data hasil pengamatan diketahui bahwa serangga yang diambil dengan sweepnet berjumlah 10 macam spesies serangga dan setelah di identifikasi terdapat beberapa ordo yang ditemukan seperti, hemiptera, coleoptera, orthoptera, odonata, diptera. Dan dari ordo-ordo tersebut setelah diidentifikasi ditemukan hama sejumlah 7 ekor dan musuh alami sejumlah 3 ekor. Sedangkan dari data pengamatan yang dilakukan terhadap yellow trap dan pitfall ditemukan 4 macam spesies yang masih bisa diidentifikasi dan dari spesies tersebut setelah dilakukan identifikasi diketahui ordonya dan peran dalam agroekosistem tersebut yaitu, diptera yang berperan sebagai hama, coleoptera yang berperan sebagai hama, hymenoptera sebagai musuh alami. Dan dari data hasil pengamatan terhadap penyakit yang ditemukan dan telah diidentifikasi ditemukan beberapa penyakit yang menyerang tanaman hortikultura, yaitu: Daun buncis karat (Uromyces phaseoli typica Earth),Busuk daun selada, Antraknosa mentimun (Colleotorium

lagenarium), Penyakit bercak daun bersudut markisa (Pseudomonas lachrymans) ,Penyakit busuk buah terong (Phytoptora spp), Penyakit

bercak daun coklat tomat (Alternaria solani) dan Penyakit becak daun cabai (Cercospora capsici).

4.4 Hasil Wawancara Responden yang kami wawancarai adalah Bapak Turiman, 50 tahun. Beliau merupakan buruh tani dari lahan milik Bapak Adnan. Lahan tersebut terletak di Desa Ngijo Kecamatan Karangploso. Lahan seluas 1 ha tersebut ditanami padi secara terus menerus selama kurang lebih 3 tahun. Dalam budidaya padi tersebut, beliau menggunakan pupuk Urea (2 kuintal) dan ZA (1 kuintal) untuk mendukung pertumbuhan padinya. Organisme pengganggu tanaman (OPT) yang menyerang tanaman padi Bapak Turiman diantaranya ialah, walang sangit, tikus, busuk batang padi. Untuk mengendalikan serangga (hama dan musuh alami), beliau menggunakan pestisida kimia yakni score, matador, dan desis. Sedangkan untuk mengendalikan hama tikus, beliau menggunakan racun tikus yaitu klerah. Menurut penjelasan beliau hasil produksi padi tiap tahunnya selalu menurun meskipun praktek budidaya selalu sama tiap musimnya.

4.5 Pengambilan Keputusan a. Petani Dalam pengendalian serangga khususnya hama, petani tidak bisa membedakan serangga yang hama ataupun musuh alami. Petani menganggap semua serangga yang ada di lahan padinya adalah hama. Oleh karena itu, pada saat pengendalian serangga dengan

menggunakan pestisida semua serangga yang ada dibasmi, baik itu hama maupun musuh alami. b. Rekomendasi Penggunaan sebenarnya pestisida secara intensif dan tidak bijaksana

dapat membunuh musuh alami yang seharusnya dapat

menekan populasi hama secara alami. Selain itu, aplikasi pestisida yang tidak bijaksana justru menyebabkan keseimbangan agroekosistem

terganggu karena ledakan hama akibat resurjensi dan resistensi yang ditimbulkan karena pemakaian pestisida secara terus menerus. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan, terkait kondisi agroekosistem di lahan bapak Turiman adalah: Untuk mengendalikan populasi hama tanpa merusak lingkungan alternatif yang paling tepat adalah mengoptimalkan potensi musuh alami. Dan sebelum melakukan upaya pengendalian dengan pestisida sebaiknya dilakukan pemantauan untuk mengetahui jumlah hama dan musuh alami yang ada pada area tersebut. Jadi, pada prinsipnya pestisida digunakan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian serangan hama. Selain itu untuk membudidayakan tanaman sehat perlu adanya asupan unsur hara yang seimbang, jadi aplikasi pupuk organik menjadi sangat penting karena selain menyediakan unsur hara kompleks bagi tanaman, bahan organik juga mampu memperbaiki sifat tanah

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan, kami

menyimpulkan bahwa kondisi agroekosistem di lahan Bapak Turiman tidak seimbang, salah satu indiakatornya adalah banyaknya hama yang tidak diimbangi dengan keberadaan musuh alami. Salah satu penyebab kondisi tersebut adalah penggunaan pestisida secara rutin tanpa memantau kondisi agroekosistemnya terlebih dahulu. Dalam skala plot, aplikasi tersebut dapat membunuh musuh alami hama dan organisme non target lainnya, selain itu aplikasi pestisida juga menyebabkan kondisi lingkungan menjadi tercemar. Hal inilah yang menyebakan keseimbangan

agroekosistem di wilayah tersebut menjadi tidak sehat.

5.2 Saran Sebaiknya materi praktikum harus terkonsep agar praktikum dapat berjalan dengan baik. Dalam praktikum sebaiknya juga dijelaskan cara pengendalian dari OPT yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA Amien I. 1997. Karakterisasi dan Analisis Zone Agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Anonymous, 2011. jenis perangkap http://omkicau1.files.wordpress.com/2011/02/perangkaphama.pdf diunduh tanggal 19 desember 2011 Anonymous, 2011. Klasifikasi Uromyces phaseoli typica Earth http://wiki.bugwood.org/Uromyces_appendiculatus diunduh tanggal 19 desember 2011 Anonymous, 2011. Klasifikasi http://en.wikipedia.org/wiki/Bremia_lactucae desember 2011 diunduh Bremia_lactucae tanggal 19

Anonymous, 2011. Klasifikasi Colletotrichum lagenarium http://en.wikipedia.org/wiki/Colletotrichum_lagenarium diunduh tanggal 19 desember 2011 Conway, G.R. 1987. The properties of agroecosystems. Agric. Syst. 24:95-117. Pedigo, L. P. 1996. Entomology and Pest Management. 2 nd Ed. Prentice Hall Upper Saddle River, NJ 07458. 679 p. Untung, K, 2003. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

LAMPIRAN