referat ulin
DESCRIPTION
JIWATRANSCRIPT
Referat
Hubungan Asma dan Skizofrenia
Oleh
Ira Maya Randa NIM. I4A011015
Muhammad Sahal Imaddudin NIM. I4A011036
Rizki Yopita Soraya NIM. I4A011092
Pembimbing
dr. H. Yulizar, Sp.KJ, MM
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran UNLAM/RSUD Ulin
Banjarmasin
September, 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5
Definisi Asma ...........................................................................................5
Epidemiologi Asma ..................................................................................5
Faktor Risiko Asma ..................................................................................6
Patogenesis Asma .....................................................................................6
Definisi Stres ............................................................................................8
Pengertian Stresor .....................................................................................10
Skizofrenia.................................................................................................11
Pengaruh Stres Terhadap Asma dan Terjadinya Skizofrenia....................14
BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan ...............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. Asma juga merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang
ditandai oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan
sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang
sesuai. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan
morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah
sesuai.1,2
Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta
individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi asma, terutama di negara-negara maju dan berkembang. di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan kenaikan prevalensi
asma sangat mencolok.
Stres merupakan respon tubuh dengan stresor psikososial (tekanan mental
atau beban kehidupan). Di dalam kehidupan sehari-hari stres dapat timbul dari
beberapa sumber, diantaranya adalah dari dalam diri sendiri, dari keluarga,
komunitas, dan pekerjaan. Stres dapat terjadi pada setiap orang karena merupakan
bagian dari kehidupan manusia. Secara umum stres sebenarnya memberikan
pengertian gangguan psikosomatik, sehingga tidak jarang dalam praktek
3
kedokteran istilah stres cenderung digunakan sebagai suatu diagnosis. Oleh karna
itu perlu dipahami betul pengertian tentang stres dalam kaitannya dengan
gangguan psikosomatik.3,4
Asma dapat dipengaruhi oleh stres, kesedihan,kecemasan, seperti halnya
pengaruh zat-zat alergen atau iritan, infeksi dan olah raga. Stres muncul ketika
tuntutan dari lingkungan melebihi kemampuan adaptasi individu atau Stres adalah
reaksi tubuh yang tidak spesifik karena ada kebutuhan tubuh yang terganggu.
Pertimbangan terbaru dalam bidang Psikoneuroimunologi (PNI) menghubungkan
antara stres psikososial dengan sistem saraf pusat berpengaruh pada perubahan
fungsi endokrin dan imun yang secara biologi diduga memicu penyakit asma. 2,4
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASMA
2.1.1. Definisi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan
yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan
pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang
bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk
terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya
inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan
maupun dengan atau tanpa pengobatan.1
2.1.2 Epidemiologi Asma
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan masa
menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak
lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih
tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%.
5
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini
jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orangdan
diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun
2025.
2.1.3 Faktor Risiko Asma
Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
faktor) dan factor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktiviti / hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan / predisposisi asma, untuk
berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala
asma yang menetap. Beberapa hal / kondisi yang termasuk dalam faktor
lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga. 1
2.1.4. Patogenesis Asma
Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada
saluran pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan
hiperesponsif. Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran
nafas. Terdapat sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal
paru normal. Inflamasi ini sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan dan
sudah terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak antara inflamasi mukosa dengan
6
munculnya disfungsi paru belum diketahui, pada asma episodik tanpa gejalapun
inflamasi telah ada.
Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil
teraktivasi, sel mast, makrofag, dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran
pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui
penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit T subset T helper-2(Th-2)
yang berperan dalam patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-
3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF). Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling
berinteraksi, sehingga menimbulkan proses inflamasi yang kompleks, yang
menyebabkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai mediator
inflamasi dan berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran
pernapasan, sebagai salah satu penyebab hipereaktiviti saluran pernapasan. Hal ini
diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi otot polos bronkus, sel
goblet, dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang menyebabkan
penyempitan saluran pernapasan.1,5
Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran
pernapasan sebagai manifestasi kombinasi spasme/kontraksi otot polos bronkus,
edema mukosa, sumbatan mukus, akibat inflamasi pada saluran pernapasan.
Sumbatan saluran pernapasan menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas,
terperangkapnya udara, dan distensi paru yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan
yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak sesuainya
ventilasi dengan perfusi. Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance
7
paru, sehingga terjadi peningkatan kerja/aktivitas pernapasan. Peningkatan
tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran
pernapasan yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan
penutupan dini saluran pernapasan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pnemotoraks.1
2.2 STRES
2.2.1 Definisi Stres
Secara umum stres sebenarnya memberikan pengertian gangguan
psikosomatik, sehingga tidak jarang dalam praktek kedokteran istilah stres
cenderung digunakan sebagai suatu diagnosis. Oleh karna itu perlu dipahami betul
pengertian tentang stres dalam kaitannya dengan gangguan psikosomatik.3,4
Sebenarnya istilah stres bisa diartikan sebagai stres fisis maupun stres
psikis. Tetapi secara umum dan populer yang dimaksud stres diartikan sebagai
stres psikis. Selanjutnya yang dimaksud dengan stres ialah stres psikis.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran, menurut Hans Selye – seorang ahli
fisiologi dan pakar stres – yang dimaksud dengan stres ialah suatu respon tubuh
yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Jadi merupakan respon
automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan
perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisis
yang optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut sebagai general
adaptation syndrome.
Respons tubuh terhadap perubahan-perubahan tersebut dapat dibagi
menjadi 3 fase yaitu:
8
1. alarm reaction (reaksi peringatan). Pada fase ini tubuh dapat mengatasi
stresor (perubahan) dengan baik.
2. the stage of resistance (reaksi pertahanan). Reaksi terhadap stresor sudah
mencapai/melampaui tahap kemampuan tubuh. Pada keadaan ini sudah
dapat timbul gejala-gejala psikis dan somatik.
3. stage of exhaustion (reaksi kelelahan). Pada fase ini gejala-gejala
psikosomatik tampak dengan jelas
menurut perngertian tersebut di atas tampak bahwa reaksi psikis dan
somatik akan muncul pada tahap di mana respons terhadap situasi stres sudah
mencapai/melampaui titik pertahanan tubuh. Dari sudut pandang psikologis stres
didefinisikan sebagai suatu keadaan internal yang disebabkan oleh situasi
lingkungan atau sosial yang potensial berbahaya, memberikan tantangan,
menimbulkan perubahan-perubahan atau memerlukan mekanisme pertahanan
seseorang.
Baik dari sudut pandang kedokteran maupun psikologis, dalam keadaan
stres terjadi perubahan-perubahan psikis, fisiologis, biokemis dan lain-lain reaksi
tubuh di samping adanya proses adaptasi. Pada saat perubahan itu sudah
mengganggu fungsi psikis dan somatik, timbul keadaan yang disebut distres, yang
secara klinis merupakan gangguan psikosomatik. Untuk istilah stres yang
digunakan kalangan medis untuk diagnosis akan lebih tepat bila dipakai istilah
distres atau dengan menyebutkan gangguan psikosomatik tertentu.
Dalam keadaan demikian seseorang akan dibawa atau datang ke dokter
dengan manifestasi gangguan fisis seperti sakit dada, berdebar-debar, sakit kepala,
9
sakit ulu hati, dan lain-lain. Setelah melakukan pemeriksaan yang terkadang
berlebihan, baik atas inisiatif dokter maupun pasien sendiri baru kemudian
diketahui bahwa pasien tersebut sebenarnya mengalami stres (baca distres).
2.2.2 Pengertian Stresor
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang. Karena adanya stresor
terpaksa seseorang harus menyesuaikan diri untuk menanggulangi stresor yang
timbul. Dengan perkataan lain jelaslah bahwa stresor ialah suatu keadaan yang
dapat menimbulkan stres. 3,4
Jenis-jenis stresor dapat dikelompokkan sebagai berikut: masalah
perkawinan, masalah keluarga, masalah hubungan interpersonal, masalah
pekerjaan, lingkungan hidup, masalah hukum, keuangan, perkembangan, penyakit
fisis, dan lain-lain.
Adapula yang membagi stresor menjadi:
1. stresor fisis seperti panas, dingin, suara bisisng dan sebagainya.
2. stresor sosial seperti keadaan sosial, ekonomi, politik, pekerjaan, karir,
masalah keluarga, hubungan interpersonal, dan lain-lain.
3. stresor psikis misalnya frustrasi, rendah diri, perasaan berdosa, masa depan
yang tidak jelas dan sebagainya.
10
2.3 Skizofrenia
2.3.1 Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
pertimbangan pengaruh genetik, fisik, sosial dan budaya.7
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pemikiran dan persepsi, serta oleh efek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
conciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.7
2.3.2 Faktor Penyebab
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa
seseorang menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak. Ternyata dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal.8
Untuk mengetahui penyebab yang asli dan yang bukan perlu diketahui dua istilah:
1. Sebab yang memberikan predisposisi adalah faktor yang menyebabkan
seseorang menjadi rentan atau peka terhadap suatu gangguan jiwa
(genetik, fisik atau latar belakang keluarga atau sosial).
2. Sebab yang menimbulkan langsung atau pencetus adalah faktor traumatis
langsung menyebabkan gangguan jiwa (kehilangan harta pekerjaan atau
kematian, cedera berat, perceraian dan lain-lain).
Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa dibedakan atas :
11
1. Sebab biologik
2. Sebab psikologik
3. Sebab sosiogenik
4. Metode Diatesis-Stress
Model Diatesis-Stress
Satu model untuk intergrasi faktor biologis, faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diathesis-stress. Model ini menggambarkan bahwa
seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diathesis) yang bila
dikenai pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diathesis stress yang paling umum
dapat biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan dapat
biologis (contohnya: infeksi) maupun psikologis (contoh situasi keluarga yang
penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar biologis untuk suatu
diathesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan
zat, stress psikologis, dan trauma.9
1. Stress
Stress psikososial dan stress perkembangan yang terjadi secara terus
menerus akan mendukung timbulnya gejala psikotik dengan manifestasi;
kemiskinan, kebodohan, pengangguran, isolasi sosial, dan perasaan kehilangan.
Menurut Singgih (1989), beberapa penyebab gangguan mental dapat ditimbulkan
sebagai berikut :8
- Prasangka orang tua yang menetap, penolakan atau shock yang dialami
pada masa anak.
12
- Ketidaksanggupan memuasakan keinginan dasar dalam pengertian
kelakuan yang dapat diterima umum.
- Kelelahan yang luar biasa, kecemasan, anxietas, kejemuan
- Masa-masa perubahan fisiologis yang hebat : Pubertas dan menopause
- Tekanan-tekanan yang timbul karena keadaan ekonomi, politik dan
sosial yang terganggu
- Keadaan iklim yang mempengaruhi Exhaustion dan Toxema
- Penyakit kronis misalnya : sifilis, AIDS
- Trauma kepala dan vertebra
- Kontaminasi zat toksik
- Shock emosional yang hebat : ketakutan, kematian tiba-tiba orang
yang dicintai.
2. Penyalahgunaan obat-obatan
Peniruan yang maladaptif yang digunakan individu untuk menghadapi
strsesor melalui obat-obatan yang memiliki sifat adiksi (efek ketergantungan)
seperti Cocaine, amphetamine menyebabkan gangguan persepsi, gangguan proses
berfikir, dan gangguan motorik.8
3. Psikodinamik
Menurut Sigmund Freud adanya gangguan tugas pekembangan pada masa
anak terutama dalam hal berhubungan dengan orang lain sering menyebabkan
frustasi, konflik, dan perasaan takut, respon orang tua yang maladaptif pada anak
13
akan meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdrawl.8
2.4 Pengaruh Stres Terhadap Asma dan Terjadinya Skizofrenia
Asma dapat dipengaruhi oleh stres, kecemasan, kesedihan, seperti halnya
pengaruh zat-zat iritan atau alergen, olah raga dan infeksi. Stres muncul ketika
tuntutan atau ajakan dari lingkungan melebihi kemampuan adaptasi individu atau
kemampuan untuk melawan. Pertimbangan terbaru dalam bidang
Psikoneuroimunologi (PNI) menghubungkan antara stres psikososial, sistem saraf
pusat, perubahan dalam fungsi imun dan endokrin menghasilkan jalur biologi
yang masuk akal diduga dimana stres berdampak pada tanda - tanda asma.2,6
Gambar 1: Hubungan stress dan asma.2
Gambar 1 menggambarkan model kerja stres dan asma. . Ini menyoroti
pentingnya kedua eksposur sosial dan fisik dalam eksaserbasi gejala. Premis dasar
dari model adalah bahwa stres psikologis bekerja dengan mengubah besarnya
respon inflamasi saluran napas yang iritasi, alergi, dan infeksi membawa pada
14
orang dengan asma. Penting untuk dicatat bahwa model menunjukkan bahwa stres
sendiri tidak mampu memodifikasi fungsi kekebalan tubuh dengan cara yang
mengarah ke gejala asma. Sebaliknya, stres dipandang sebagai suatu proses yang
menonjolkan respons peradangan saluran napas untuk memicu lingkungan dan,
dengan demikian, meningkatkan frekuensi, durasi dan keparahan gejala pasien.2
Sistem imun tubuh terdiri dari sistem imun alamiah atau non spesifik dan
didapat atau spesifik. Jalur biologi bagaimana stres berpengaruh pada respons
imun saat serangan asma meliputi aksis Hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA),
aksis sympathetic-adrenal medullary (SAM) dan lengan dari sistem saraf otonom
yaitu sympathetic nervous system (SNS) dan parasympathetic nervous system
(PNS). Epinefrin dan norepinefrin mempunyai efek pada sel natural killer (NK)
dan penurunan regulasi interferon (IFN)-?, hal tersebut diinterpretasikan sebagai
deviasi imun kearah T-helper (Th)-2. Pergeseran Th-1 ke Th-2 selama stres
penting pada asma sebab dapat menaikkan respons humoral terhadap alergen yang
memudahkan inflamasi dan obstruksi jalan napas.
Studi terbaru menyatakan bahwa respons emosional yang negatif
mengganggu pengaturan sistem HPA. Pergeseran di dalam irama sirkadian
kortisol juga ditemukan diantara orang-orang dalam situasi penuh tekanan. Stres
kronik akan menginduksi suatu keadaan hiporesponsif aksis HPA dimana sekresi
kortisol dikurangi, menuju ke peningkatan sekresi sitokin inflamasi yang diatur
lawan oleh kortisol. Kortisol mempunyai efek menghambat pada sistem imun.
Stres yang menyebabkan perubahan aktiviti HPA dapat memperburuk
perjalanan asma dari pada resistensi glukokortikoid. Paparan terhadap kortisol
15
dosis tinggi dapat menyimpangkan system imun kearah respon berlebihan Th-2
sitokin.
Stresor mempunyai kemampuan untuk mengaktifkan SNS. Stimulasi SNS
menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dan norepinefrin. Reseptor adrenergik
berada pada sel T dan B, reseptor tersebut dapat mengatur bentuk respons humoral
yang terlibat dalam asma meliputi pelepasan interleukin (IL)-4, IL-5 dan IL-13
mengikuti paparan alergen, pelepasan histamin oleh aktivasi sel mast, perekrutan
eosinofil dan aktivasi eosinofil di jalan napas.
Aktivasi PNS akan menyebabkan pelepasan neurotransmiter asetilkolin
yang menyebabkan bronkokonstriksi dan sekresi mukus.Untuk mempengaruhi
proses inflamasi di saluran napas, stresor harus dinilai sebagai hal yang
mengancam dan tidak dapat diatasi. Setelah periode yang panjang paparan
hormon stres, reseptor terhadap molekul tersebut akan menurunkan regulasinya,
menyebabkan pengurangan regulasi respons inflamasi terhadap paparan asma, hal
ini bermanifestasi terhadap produksi berlebihan Th-2 sitokin dan perekrutan
eosinofil, dimana kedua hal tersebut diketahui menyebabkan peningkatan gejala
asma.2,6
Telah disebutkan diatas bahwa secara molekuler memang terdapat
hubungan antara stress dan terjadinya asma. Dari tinjauan psikologi, terjadinya
asma akibat stress merupakan salah satu penyakit psikosomatis yaitu penyakit
fisik yang dipengaruhi oleh faktor psikologis.
Pada psikosomatis penyakit-penyakit fisik dan kegagalan sistem syaraf
tadi terus berlangsung, walaupun tanpa ada stimulus atau perangsang khusus yang
16
jelas ada kaitan antara tubuh dan jiwa, seperti pada perasaan/ emosi-emosi yang
mempunyai latar belakang komponen mental dan komponen jasmaniah. Jadi, ada
interdependensi (saling ketergantungan) diantara proses-proses mental dengan
fungsi – fungsi somatic (jasmani, fisik). Dalam hal ini ada kegagalan pada sistem
syaraf dan sistem fisik untuk menyalurkan peringan kecemasan dan gangguan
mental.
Konflik-konflik psikis atau psikologis dan kecemasan bisa menjadi sebab
timbulnya bermacam-macam penyakit jasmani atau bakhan bisa menjadi
penyebab semakin beratnya suatu penyakit jasmani yang telah ada. Sebagai
contoh : karena rasa takut yang hebat, detak jantung jadi sangat cepat, dan ada
kelelahan ekstrim dari reaksi asthenis (kelemahan) pada badan yang lemah.
kedua-duanya adalah benar-benar gejala fisiologis atau jasmaniah yang
diidentifikasikan sebagai akibat dari konflik-konflik emosional yang sifatnya
psikologis.
Gangguan psikosomatik biasanya digolongkan menurut organ yang
terkena, yaitu:
1. Gangguan kulit misalnya neurodermatitis dan hiperhidrosis (kulit kering).
2. Gangguan pernafasan misalnya asma bronchial, hiperventilasi (bernafas
sangat cepat seringkali menjadi pingsan).
3. Gangguan kardiovaskular misalnya migraine dan tekanan darah tinggi
(hipertensi).
4. Gangguan gastrointestinal misalnya luka lambung.
17
Stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah
membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator
terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu.
Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif
individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang
mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan
sebagainya.
4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi
yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.
Dengan demikian, dapat terlihat jelas adanya stress dapat menyebabkan
terjadinya asma (murni akibat penyakit sebagai trigger), atau sebaliknya adanya
stress maka asma akan menjadi salah satu mekanisme kompensasi stress berupa
psikosomatis.
Lebih jauhnya lagi adanya stress yang berkelanjutan selain akan semakin
memperparah kondisi kesehatan seseorang penderita asma, stress akan
memperparah kondisi psikologi dari seseorang, maka akan menyebabkan
terjadinya penyakit gangguan jiwa berupa skizofrenia
BAB III
18
KESIMPULAN
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan
yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan
pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang
bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk
terutama malam hari atau dini hari/subuh.
Dari sudut pandang ilmu kedokteran, menurut Hans Selye – seorang ahli
fisiologi dan pakar stres – yang dimaksud dengan stres ialah suatu respon tubuh
yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Jadi merupakan respon
automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan
perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisis
yang optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut sebagai general
adaptation syndrome.
Stres yang menyebabkan perubahan aktiviti HPA dapat memperburuk
perjalanan asma dari pada resistensi glukokortikoid. Paparan terhadap kortisol
dosis tinggi dapat menyimpangkan system imun kearah respon berlebihan Th-2
sitokin.
Stresor mempunyai kemampuan untuk mengaktifkan SNS. Stimulasi SNS
menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dan norepinefrin. Reseptor adrenergik
berada pada sel T dan B, reseptor tersebut dapat mengatur bentuk respons humoral
19
yang terlibat dalam asma meliputi pelepasan interleukin (IL)-4, IL-5 dan IL-13
mengikuti paparan alergen, pelepasan histamin oleh aktivasi sel mast, perekrutan
eosinofil dan aktivasi eosinofil di jalan napas.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis danpenatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
2. Stress and Inflammation in Exacerbations of Asthma. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2077080/ . Pada tanggal 28 Juli 2014.
3. Mangindaan L. Gangguan kepribadian. Buku Ajar Psikiatri. Edisi kedua. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2013.ms.310-16.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. Hal 387-97
5. Pocket guide for asthma management and prevention (for adults and children older than 5 years). GINA (Global Initiative for Asthma) (2010). http://www.ginaasthma.org
6. Peran stress pada serangan asma. http://fk.uns.ac.id/index.php/penelitiandosen/detail/32/peran-stres-pada-serangan-asma. Diakses pada tanggal 28 Juli 2014.
7. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. PT.Nuh Jaya. Jakarta. 2003.
8. Iyus Yosep. Faktor Penyebab dan Proses Terjadinya Gangguan Jiwa. Available at : http://resources.unpad.ac.id/unpad
9. Harold l. Kaplan, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. Sinopsis Psikiatri jilid satu. Jakarta : Binarupa Aksara, 2010. Hal : 699-744
21