referat tia - felicia reynata

35
BAB I PENDAHULUAN Transient Ischemic Attack (TIA) didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara yang secara umum berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus sereberal, medulla spinalis maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan. 1 Sebanyak 200,000-500,000 TIA didiagnosa per tahunnya di Amerika Serikat (AS). 2,3 Dimana pasien dengan TIA yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) diperkirakan sebanyak 1 dari 1000 populasi warga AS. 4 TIA memiliki risiko jangka pendek yang tinggi untuk stroke, dan diperkirakan sebanyak 15% dari stroke yang telah terdiagnosa diawali dengan TIA. Secara internasional, kemungkinan terjadinya TIA ialah sebesar 0.42 per 1000 populasi warga negara maju. 5 Mengingat cukup tingginya angka kejadian TIA, maka penting diketahui bagaimana pemeriksaan dan tatalaksana awal pada pasien dengan TIA. Selain angka kejadiannya yang tinggi, pasien dengan TIA juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya stroke, dimana sekitar 10-15% pasien dengan TIA mengalami serangan stroke dalam 90 hari setelah onset TIA. 7 Untuk menghindari terjadinya stroke maka perlu diketahui bagaimana penanganan yang baik untuk pasien dengan TIA. Pada tulisan ini penulis akan membandingkan 3 guideline yang dapat digunakan untuk panduan dalam 1

Upload: fellyfaried

Post on 26-Dec-2015

211 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Transient ischaemic attack

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Transient Ischemic Attack (TIA) didefinisikan sebagai disfungsi neurologis

sementara yang secara umum berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus

sereberal, medulla spinalis maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya

infark dari jaringan. 1

Sebanyak 200,000-500,000 TIA didiagnosa per tahunnya di Amerika Serikat

(AS). 2,3 Dimana pasien dengan TIA yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)

diperkirakan sebanyak 1 dari 1000 populasi warga AS. 4 TIA memiliki risiko jangka

pendek yang tinggi untuk stroke, dan diperkirakan sebanyak 15% dari stroke yang

telah terdiagnosa diawali dengan TIA. Secara internasional, kemungkinan terjadinya

TIA ialah sebesar 0.42 per 1000 populasi warga negara maju. 5

Mengingat cukup tingginya angka kejadian TIA, maka penting diketahui

bagaimana pemeriksaan dan tatalaksana awal pada pasien dengan TIA. Selain angka

kejadiannya yang tinggi, pasien dengan TIA juga memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk terjadinya stroke, dimana sekitar 10-15% pasien dengan TIA mengalami

serangan stroke dalam 90 hari setelah onset TIA.7 Untuk menghindari terjadinya

stroke maka perlu diketahui bagaimana penanganan yang baik untuk pasien dengan

TIA.

Pada tulisan ini penulis akan membandingkan 3 guideline yang dapat

digunakan untuk panduan dalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksana awal pada

pasien dengan TIA.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Transient Ischemic Attack

Didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara yang secara umum

berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus sereberal, medulla spinalis

maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan. 1

Patogenesis dari terjadinya TIA terjadi oleh karena berkurangnya aliran

darah serebral dibawah 20-30 ml 100 g/menit yang mengakibatkan timbulnya

gejala neurologis. Infark dapat terjadi sebagai akibat dari derajat penurunan

aliran darah dan durasi dari berkurangnya aliran darah serebral. Jika aliran

darah dapat kembali kepada area dari otak dengan durasi waktu yang cepat,

maka gejala iskemi dapat kembali menjadi normal.

Penyebab berkurangnya aliran darah serebral dapat diakibatkan oleh

berkurangnya aliran yang mengalir pada pembuluh darah atau karena adanya

hambatan pada pembuluh darah akibat adanya emboli.

Gambar 1. Patogenesis TIA

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh TIA dapat diklasifikasikan

berdasarkan lokasi terjadinya. Jika TIA terjadi pada daerah anterior, maka

akan timbul gejala seperti hemiparesis, gangguan hemisensorik, disfasia,

kebutaan monocular (amaurosis fugax). Jika terjadi pada bagian posterior,

maka akan menimbulkan gejala berupa hilangnya kesadaran, gangguan

motorik atau sensorik anggota gerak tubuh, kebutaan binocular, vertigo,

tinnitus, diplopia, ataupun disartria.6

2

Gambar 2. Gejala TIA berdasarkan sirkulasi yang terlibat

Presentasi dan lokalisasi dari TIA penting untuk diketahui. Penting untuk

membedakan apakah gejala yang dimiliki pasien terjadi karena gangguan dari

distribusi pembuluh darah karotis atau vertebrobasilar. 8

Tabel 1. Distribusi gejala stroke/TIA

2.2. Diagnosis and Initial Management of Transient Ischaemic Attack 9

2.2.1. Mengenali tanda dan gejala, dan mendiagnosa TIA secara cepat dan tepat

Pasien dengan disfungsi neurologis transien sering tidak menyadari

pentingnya gejala yang mereka alami dan menunda mencari pertolongan

medis. Meskipun demikian, sifat transien dari gejala TIA tidak mengurangi

kepentingannya untuk mendapat tatalaksana sesegera mungkin.

Pada pasien dengan gejala neurologis yang timbul mendadak maka dapat

digunakan alat bantu diagnosa yang sudah tervalidasi seperti Face Arm Speech

Test (FAST) untuk skrining diluar rumah sakit agar dapat mengetahui adanya

stroke atau TIA.

3

Tabel 2. Face Arm Speech Test

Pada pasien yang masuk ke UGD dengan suspek stroke atau TIA maka

diagnosa harus dapat ditegakkan secara cepat dengan menggunakan alat bantu

berupa sistem skoring yang sudah tervalidasi seperti Recognition of Stroke in

the Emergency Room (ROSIER).

Gambar 3. Recognition of Stroke in the Emergency Room

4

2.2.2. Pemeriksaan dan tatalaksana awal TIA

TIA merupakan prediktor yang penting untuk mengetahui kemungkinan

adanya stroke. Semua pasien yang pernah atau diperkirakan memiliki riwayat

TIA harus diperiksa sesegera mungkin terhadap risiko terjadinya stroke. Hal

ini dapat dilakukan dengan menggunakan ABCD2 Scoring System.

Tabel 3. The ABCD2 Score

Skor ≥ 4 menandakan adanya risiko tinggi terjadinya stroke dalam waktu

7 hari kedepan (4% risiko mengalami stroke dalam 7 hari), sementara skor ≤ 3

menandakan risiko yang lebih rendah untuk terjadi stroke. Namun, perlu

diperhatikan bahwa sistem skoring seperti ABCD2 mengeksklusi beberapa

populasi pasien yang mungkin memiliki risiko tinggi seperti TIA berulang,

atau sedang dalam terapi antikoagulan, yang mungkin juga memerlukan

tatalaksana yang segera.

Pasien dengan TIA crescendo (≥ 2 dalam 1 minggu) harus diberiksan

tatalaksana seperti memiliki risiko tinggi terkena stroke meskipun skor ≤ 3.

Pasien dengan riwayat TIA namun datang lebih dari 1 minggu setelah gejala

hilang diberikan tatalaksana seperti memiliki risiko yang rendah untuk terkena

stroke.

Semua pasien dengan suspek TIA harus mendapatkan pengobatan berupa

aspirin 300 mg/hari. Pasien harus mendapatkan assessment dari spesialis dan

dimulai dalam jangka waktu 24 jam pada pasien dengan risiko tinggi terkena

5

stroke, untuk pasien dengan risiko lebih rendah dapat dimulai sesegera

mungkin, sebaiknya dalam jangka waktu 1 minggu setelah timbul gejala.

Untuk tatalaksana akut pada pasien, maka dapat dilakukan langkah

berikut:

Pastikan tidak ada gejala neurologis residual (eksklusi stroke)

Lakukan pemeriksaan gula darah, profil lipif, fungsi ginjal, dan

trombosit. Lakukan pemeriksaan EKG untuk eksklusi adanya fibrilasi

atrium.

Mulailah terapi aspirin (kecuali jika terdapat kontraindikasi)

Pastikan apakah TIA yang dialami pasien memiliki risiko tinggi atau

rendah terhadap terjadinya stroke, hal ini pentin untuk menentukan

apakah pasien butuh pemeriksaan oleh spesialis dalam 24 jam

pertama atau dapat dilakukan dalam 1 minggu kedepan.

Setelah pasien dikonsultasikan kepada spesialis, maka akan dilakukan

pemeriksaan yang meliputi:

Konfirmasi diagnosa

Pemeriksaan faktor risiko, gaya hidup, dan pencegahan sekunder

Tatalaksana farmakologis awal

Tindakan pencitraan baik untuk otak maupun carotid, dan intervensi

karotis dalam 2 minggu.

2.2.3. Pemeriksaan radiologis pada pasien dengan TIA

Tidak semua pasien dengan TIA membutuhkan pemeriksaan radiologis

terhadap otak dengan segera, pasien membutuhkan assessment oleh spesialis

sebelum diputuskan untuk melakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan

radiologis direkomendasikan saat:

Daerah vaskular yang terlibat tidak jelas (anterior atau posterior) dan

pasien dipertimbangkan untuk carotid endarterectomy

Patologi penyebab gejala neurologis dari pasien tidak dapat

dipastikan, diagnosa banding dapat meliputi migraine, epilepsi

ataupun tumor otak.

Adanya perdarahan intraserebral perlu untuk dieksklusi, contohnya

pada pasien dengan terapi antikoagulan jangka panjang.

Pasien dengan suspek TIA harus diperiksa oleh spesialis sebelum dibuat

keputusan untuk melakukan pemeriksaan radiologis.

6

MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dianggap baik untuk

pasien dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan radiologis, dan

harus dilakukan:

Pada 24 jam setelah onset gejala, jika skor ABCD2 ≥ 4 atau dengan TIA

crescendo

Dalam 1 minggu setelah onset dari gejala, jika skor ABCD2 ≤ 3

Jika MRI dikontraindikasikan contohnya pada pasien dengan

pacemaker, aneurysm clips, ataupun katup jantung buatan, maka CT-Scan

dapat digunakan.

2.3. Clinical Guidelines for Stroke and TIA Management: A Quick Guide for

General Practice 10

2.3.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal

Semua pasien dengan suspek TIA harus diperiksa secara lengkap,

meliputi riwayat penyakit secara lengkap, pemeriksaan fisik lengkap,

prognosis. Dapat dilakukan dengan menggunakan skor ABCD2 dan

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis,

dan EKG)

Jika pasien dianggap memiliki risiko tinggi (ABCD2 >3 dan/atau

ditemukan adanya fibrilasi atrial, gejala dari sirkulasi karotis ataupun TIA yang

bersifat crescendo) maka harus dilakukan pemeriksaan radiologis otak secara

cepat, dalam jangka waktu 24 jam. Pemeriksaan karotid juga harus dilakukan

secara cepat jika pasien memiliki gejala sirkulasi anterior yang merupakan

kandidat untuk dilakukan revaskularisasi carotid. Pada kondisi akses yang

terbatas terhadap pemeriksaan ini, maka harus dilakukan rujukan dalam jangka

waktu 24 jam.

Pasien yang dianggap memiliki risiko rendah (skor ABCD2 <4) tanpa

fibrilasi atrial, atau gangguan sirkulasi carotid yang datang lebih dari 1 minggu

setalah gejala terakhir harus melakukan pemeriksaan radiologis otak dan

karotis secepat mungkin, diusahakan dalam jangka waktu 48 jam.

Pemeriksaan penunjang berikut harus dilakukan pada pasien dengan

suspek TIA: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, laju endap darah, fungsi

ginjal, profil lipid, kadar glukosa, dan EKG.

7

Pemeriksaan lanjut terhadap otak, jantung dan arteri karotis harus

dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak dapat ditentukan

adanya penyebab iskemik, pada pasien dengan riwayat TIA >1 dan pada pasien

yang mungkin melakukan pembedahan karotis.

2.3.2. Pemeriksaan radiologis

Semua pasien dengan suspek stroke harus melakukan pemeriksaan CT

atau MRI secara segera dalam jangka wajtu 24 jam. Pasien yang merupakan

kandidat dari terapi trombolisis harus melakukan imaging otak secara segera.

Semua pasien dengan gejala dari gangguan karotis yang memungkinkan

untuk menjadi kandidat revaskularisasi karotis harus melakukan imaging

karotis.

Pemeriksaan lebih lanjut terhadap jantung ataupun pencitraan daerah

karotis seharusnya dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak

diperkirakan mengalami defisit neurologis akibat gangguan iskemik, pasien

dengan riwayat TIA berulang, dan pasien yang memungkinkan untuk

dilakukan operasi karotid.

2.3.3. Investigasi

Pemeriksaan berikut harus dilakukan pada pasien dengan suspek stroke:

pemeriksaan darah lengkap, EKG, elektrolit, fungsi renal, pemeriksaan lipid,

LED dan/atau CRP dan kadar glukosa.

Pada pasien tertentu memungkinkan dilakukan pemeriksaan tambahan

seperti rontgen thorax, skrining vaskulitis, skrining protrombin. Pemeriksaan

berikut harus dilakukan sesegera mungkin sebagai prosedur kegawatdaruratan

medis pada pasien tertentu.

Pada terapi antitrombolitik, aspirin harus diberikan secara segera setelah

onset dari gejala, diusahakan dalam 48 jam pertama jika CT/MRI menunjukan

tidak ada perdarahan. Dosis awal berkisar 150-300 mg. Dosis kemudian dapat

dikurang menjadi 100 mg/hari.

2.3.4. Pencegahan sekunder

a. Modifikasi pola hidup

8

Semua pasien dengan stroke harus diperiksa dan diberikan infromasi

mengenai faktor risiko yang dimiliki terhadap stroke dan juga harus

diberikan informasi mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk

memodifikasi faktor risiko yang telah terdeteksi. Hal ini dapat

dilaksanakan dengan cara, melakukan terapi untuk menghentikan

kebiasaan merokok pasien, memperbaiki pola makan pasien dengan diet

rendah lemak dan garam tetapi kaya akan buah-buahan dan sayur-

sayuran, meningkatkan aktivitas (olahraga) secara rutin, dan

menghindari konsumsi alkohol dalam jumlah besar (tidak lebih dari 2

gelas/ hari)

b. Ketaatan dalam mengkonsumsi obat

Pasien harus diberikan informasi yang cukup agar dapat

mengkonsumsi obat sesuai yang telah diresepkan secara teratur. Hal ini

dapat dicapai dengan berbagai cara, misalnya dengan menyarankan

pasien untuk membuat pengingat pribadi, atau diingatkan dengan

bantuan anggota keluarga yang lain.

c. Penurunan tekanan darah

Semua pasien dengan stroke maupun TIA, normotensi ataupun

hipertensi, harus mendapatkan terapi untuk menurukan tekanan darah,

kecuali ada kontraindikasi adanya hipotensi simtomatik.

Terapi penurunan tekanan darah yang baru harus dimulai sebelum

pasien dipulangkan dari rumah sakit.

d. Terapi antiplatelet

Terapi antiplatelet jangka panjang harus diberikan kepada pasien

dengan stroke iskemik atau TIA yang tidak diberikan terapi

antikoagulan.

Aspirin dosis rendah dan dipyridamole atau clopidogrel dapat

diberikan pada pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dengan melihat

faktor komorbid dari pasien.

9

Aspirin sebagai terapi tunggal dapat digunakan, terutama pada

pasien yang tidak dapat mentolerir aspirin yang dikombinasikan dengan

dipyridamole atau clopidogrel.

Kombinasi aspirin dan clopidogrel tidak disarankan untuk

pencegahan sekunder penyakit serebrovaskular pada pasien yang tidak

memiliki penyakit jantung koroner atau pemasangangan stent coroner.

e. Terapi antikoagulan

Terapi antikoagulan sebagai pencegahan sekunder pada pasien

dengan stroke iskemik atau TIA dari penyebab arterial tidak dapat

digunakan secara rutin.

Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang

sebaiknya digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan

fibrilasi atrial atau stroke kardioemboli.

Pada pasien stroke, keputusan untuk memulai terapi antikoagulan

dapat ditunda hingga 2 minggu, namun sebaiknya dilaksakan sebelum

pasien dipulangkan dari rumah sakit.

Pada pasien dengan TIA maka terapi antikoagulasi harus dimulai

setelah CT atau MRI mengekslusi adanya perdarahan intrakranial.

f. Penurunan kadar kolesterol

Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua

pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan

secara rutin pada stroke hemoragik.

g. Terapi bedah carotid

Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid

endarterectomy harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya

dalam 2 minggu setelah onset dari gejala.

h. Terapi diabetes

Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan

tatalaksana sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana

diabetes.

i. Hormone replacement therapy

HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan

untuk memulai kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau

10

TIA sebaiknya didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan

dengan menimbang secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari

terapi tersebut.

j. Kontrasepsi oral

Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia

subur dengan riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan

buruknya terapi, dan sebaiknya disarankan untuk menggunakan

kontrasepsi non-hormonal.

2.4. Diagnosis and Initial Management of Acute stroke and Transient Ischaemic

Attack 11

2.4.1. Mengenali dan mendiagnosa secara cepat

Pada pasien dengan gejala akut gangguan neurologis, maka alat ukur

seperti FAST (Face Arm Speech Test) harus dilakukan diluar rumah sakit

untuk skrinning diagnosa stroke ataupun TIA)

Hipoglikemi harus segera dieksklusi sebagai penyebab dari gejala

neurologis yang timbul.

Pasien yang datang ke UGD degan suspek stroke atau TIA harus dapat

didiagnosa secara cepat menggunakan ROSIER (Recognition of Stroke in the

Emergency Room)

2.4.2. Pemeriksaan pasien suspek TIA dan identifikasi faktor risiko terhadap stroke

Pasien dengan suspek TIA (tidak ada gejala neurologis saat pemeriksaan

dalam jangka waktu 24 jam) harus segera diperiksa secara cepat akan risiko

serangan stroke lanjut dengan menggunakan sistem skoring ABCD2.

Pasien dengan risiko tinggi stroke (skor ABCD2 >4) harus mendapatkan

terapi:

Aspirin (300 mg/hari) yang dimulai sedini mungkin

Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala dalam 24 jam setelah

onset

Pencegahan sekunder harus diperkenalkan sedini mungkin, dengan

mencari faktor risiko

Pasien dengan TIA crescendo (2 atau lebih TIA dalam 1 minggu) harus

mendapatkan tatalaksana seperti pasien dengan risiko tinggi untuk terkena

stroke, meskipun pasien memiliki skor ABCD2 <3.

11

Pasien dengan suspek TIA dengan skor ABCD2 < 3 sebaiknya mendapatkan

terapi:

Aspirin (300 mg/ hari)

Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala secepatnya, dalam

jangka waktu 1 minggu

Pencegahan sekunder seperti mencari dan mengatasi faktor risiko

Pasien dengan TIA namun tidak segera datang ke (> 1 minggu setelah

gejala hilang) harus diberikan tatalaksana seperti pasien memiliki risiko

rendah terhadap stroke.

2.4.3. Pencitraaan pada pasien dengan suspek TIA atau stroke tanpa kecacatan

Semua pasien dengan gejala stroke akut memerlukan pemeriksaan

pencitraan sedini mungkin terhadap otak, namun belum banyak penelitian

yang merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien

dengan gejala yang telah sembuh pada saat pemeriksaan. Pada bagian ini akan

dibahas rekomendasi pasien suspek TIA mana saja yang memerlukan

pemeriksaan pencitraan dan jenis pencitraan apa yang terbaik.

Pasien suspek TIA yaitu mereka yang tanda dan gejalanya sudah hilang

sempurna dalam waktu 24 jam harus diperiksa oleh spesialis selambat-

lambatnya 1 minggu setelah onset. Pasien dengan suspek TIA yang memiliki

risiko tinggi untuk terkena stroke (skor ABCD2 >4) atau dengan TIA crescendo

dimana daerah vaskular yang terlibat tidak dapat diketahui secara pasti harus

melakukan pencitraan, dimana pemeriksaan MRI lebih direkomendasikan.

Pasien dengan suspek TIA namun memiliki risiko terkena stroke yang

relatif rendah (skor ABCD2 <4) dimana daerah vaskular yang terlibat sulit

ditentukan harus melakukan pencitraan, dimana MRI lebih direkomendasikan.

Pasen dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan pencitraan

dengan segera, sebaiknya melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan

diffusion-weighted MRI atau jika terdapat kontraindikasi, dapat digunakan CT-

Scan.

Pemeriksaan pencitraan otak sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada

pasien dengan stroke akut jika terdapat kondisi dibawah ini :

Indikasi untuk terapi trombolisis atau antikoagulan

Pasien sedang dalam terapi antikoagulan

Diketahuinya ada kecenderungan terjadinya perdarahan

12

Penurunan kesadaran (GCS <13)

Gejala yang progresif atau fluktuatif yang sulit ditentukan penyebabnya

Adanya papilledema, kaku kuduk, atau demam

Adanya nyeri kepala berat pada saat onset dari gejala stroke

2.4.4. Terapi farmakologis

a. Terapi antitrombolitik dikombinasikan dengan alteplase

Trombolisis dengan alteplase. Alteplase direkomendasikan untuk

tatalaksana stroke iskemik akut saat digunakan oleh tenaga medis yang

terlatih dan berpengalaman pada tatalaksana stroke akut. Hanya boleh

diberikan pada pusat kesehatan dengan staff yang telah terlatih dan akses

untuk imaging secara cepat.

b. Terapi aspirin dan antikoagulan

Semua pasien dengan stoke akut yang telah mendapat pemeriksaan

radiologis, dan dinyatakan tidak memiliki perdarahan intraserebral,

sebaiknya mendapat terapi berikut sedini mungkin, dalam 24 jam pertama

setelah onset :

Aspirin 300 mg per oral jika pasien tidak memiliki disfagia

Aspirin 300 mg sup atau per NGT jika pasien disfagia

Aspirin 300 mg harus diteruskan selama setidaknya 2 minggu setelah

onset dari gejala stroke, dan pada saat itu pemberian antirombolitik

jangka panjang sebaiknya dimulai. Pada pasien yang telah memenuhi

indikasi untuk pulang kurang dari 2 minggu dapat memulai terapi jangka

panjang lebih dini dari 2 minggu.

Jika pasien memiliki riwayat dispepsia, maka obat golongan PPI harus

ditambahkan pada pemberian aspirin. Pasien dengan stroke iskemik akut

yang alergi terhadap aspirin harus diberikan antiplatelet alternatif lainnya.

Terapi antikoagulan sebaiknya tidak digunakan untuk tatalaksana rutin pada

stroke akut.

c. Terapi statin

13

Pemberian statin tidak disarankan untuk diberikan secara dini, namun

jika pasien dengan stroke telah mendapatkan terapi statin secara rutin, maka

terapi statin sebaiknya tetap diteruskan.

2.4.5. Pemeliharaan dan perbaikan homeostasis

a. Pemberian oksigen

Pasien dengan stroke harus diberikan oksigen tambahan apabila saturasi

oksigen menurun hingga < 95%. Pemberian oksigen secara rutin tidak

direkomendasikan pada pasien dengan stroke akut yang tidak hipoksia.

b. Kontrol gula darah

Pasien dengan stroke akut harus diberikan tatalaksana untuk menjaga

konsentrasi gula darah antara 4 – 11 mmol/ liter. Pemberian insulin secara

optimal harus diberikan pada semua pasien dewasa dengan diabetes yang

memiliki risiko tinggi infark miokard atau stroke.

c. Pemantauan tekanan darah

Pemberian obat-obatan anti hipertensi hanya direkomendasikan apabila

ada salah satu dari kondisi hipertensi emergensi dibawah ini:

Ensefalopati hipertensi

Nefropati hipertensi

Gagal jantung hipertensi

Diseksi aorta

Pre-eklamsia/eklamsia

Perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistol > 200 mmHg

Penurunan darah hingga 185/110 mmHg atau kurang sebaiknya

dipertimbangkan pada pasien yang menjadi kandidat untuk diberikan terapi

trombolisis.

2.4.6. Nutrisi dan hidrasi

a. Penilaian kemampuan menelan

Pada saat tiba di rumah sakit maka kemampuan menelan harus

diperiksa apakah dapat berfungsi dengan baik sebelum diberikan makanan,

cairan maupun obat-obatan per oral.

14

Jika ditemukan adanya masalah menelah, maka harus diperiksa oleh

spesialis dalam jangka waktu 24-72 jam.

Pasien dengan suspek aspirasi atau membutuhkan pemasangan NGT

atau modifikasi diet selama 3 hari harus diperiksa ulang dan dikonsultasikan

mengenai dietnya.

Pasien dengan stroke akut yang tidak dapat memenuhi kebutuhan

nutrisi dan cairan secara oral harus dipasangkan NGT selambat-lambatnya

setelah 24 jam.

b. Suplementasi nutrisi oral

Semua pasien yang diraway dirumah sakit harus di skrining untuk

adanya malnutrisi dan faktor risiko untuk malnutrisi, dimana skrining

tersebut sebaiknya diulang setiap minggu. Skrining yang dilakukan meliputi,

BMI dan persentase dari unintentional weight loss harus diperiksa, dan dapat

menggunakan alat ukut The Malnutrition Screening Tool (MUST). Saat

skrining, harus diperhatikan adanya disfagia, kondisi kesehatan rongga

mulut, dan kemampuan pasien untuk makan sendiri.

c. Mobilisasi dini dan posisi yang optimal untuk pasien stroke akut

Mobilisasi dini dianggap sebagai elemen yang penting dalam

tatalaksana stroke akut. Posisi duduk dapat membantu menjaga saturasi

oksigen dan mengurangi adanya risiko pneumonia hipostatik.

Pasien dengan stroke akut sebaiknya dimobilisasikan sedini mungkin

setelah kondisi klinis pasien memungkinkan, dan sebaiknya diposisikan

dalam posisi duduk sedini mungkin.

d. Menghindari risiko pneumonia aspirasi

Pnemumonia aspirasi ialah komplikasi dari stroke yang dikaitkan

dengan meningkatnya kematian dan prognosis yang buruk. Pada pasien

dengan disfagia, makanan dan cairan harus diberikan dalam bentuk yang

dapat ditelan tanpa menimbulkan aspirasi.

2.5. Perbandingan Guideline

2.5.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal

Pada guideline pertama dan ketiga dicantumkan bagaimana cara

mendeteksi adanya pasien dengan suspek stroke atau TIA, namun pada

guideline kedua tidak dicantumkan.

15

Pada guideline pertama dan ketiga, diberikan petunjuk bagaimana

untuk melakukan skrining secara cepat akan kemungkinan adanya stroke

atau TIA yaitu dengan menggunakan Face Arm Speech Test (FAST).

Pertanyaan dalam FAST cukup sederhana, sehingga memungkinkan

untuk dilakukan diluar rumah sakit, dan bahkan dapat disosialikan kepada

orang awam. Pertanyaan yang terdapat dalam FAST meliputi,

Apakah orang tersebut dapat tersenyum, apakah terlihat mulut atau

mata yang tampak seperti terjatuh?

Apakah orang tersebut dapat mengangkat kedua tangannya?

Apakah orang tersebut dapat berbicara dengan jelas dan mengerti apa

yang diucapkan orang lain?

Pada guideline pertama dan ketiga juga dijelaskan untuk menggunakan

Recognition of Stroke in the Emergency Room (ROSIER) ketika pasien yang

dicurigai terkena stroke atau TIA tiba di rumah sakit.

Dalam kuesioner tersebut berisi tanggal pemeriksaan, tanggal dari

onset gejala. Kemudian berisi juga skor GCS dari pasien, tekanan darah, dan

kadar gula darah sewaktu. Dilanjutkan dengan pertanyaan seperti apakah

terdapat kehilangan kesdaran? Apakah terdapat kejang?

Setelah itu dilanjukan dengan memeriksa adanya onset akut dari gejala

neurologis seperti:

Kelemahan wajah sesisi

Kelemahan tangan sesisi

Kelemahan tungkai sesisi

Gangguan berbicara

Gangguan lapangan pandang

Setiap pertanyaan memiliki skor dan total skor dapat bervariasi mulai

dari -2 hingga +5, pasien dianggap tidak memiliki stroke jika skor < 0.

Setelah dapat dipastikan adanya diagnosa TIA maka perlu dinilai faktor

risiko stroke yang mungkin dimiliki oleh pasien. Ketiga guideline tersebut

merekomendasikan penggunaan skor ABCD2 untuk memeriksa kemungkinan

pasien mengalami stroke.

Pemeriksaan dengan menggunakan skor ABCD2 dikalkulasikan

berdasarkan:

Age (Usia) : >60 tahun = 1 poin

16

Blood pressure at presentation (>140/90 mmHg = 1 poin)

Clinical features : Kelemahan sesisi = 2 poin, Gangguan bicara tanpa

kelemahan = 1 poin

Duration of symptoms : >60 menit = 2 poin, 10-59 menit= 1 poin

Diabetes = 1 poin

Interpretasi dari skor pada ketiga guideline didapatkan sama yaitu, skor

> 4 diartikan bahwa pasien memiliki risiko tinggi untuk stroke, dan skor <4

diartikan sebagai pasien dengan risiko stroke rendah.

2.5.2. Indikasi pemeriksaan radiologis

Guideline 1 menyatakan bahwa tidak semua pasien dengan TIA

memerlukan pemeriksaan radiologis secara segera, dan hanya

direkomendasikan untuk dilakukan secepatnya pada kondisi tertentu, seperti

adanya ketidakjelasan dari daerah yang terlibat (sirkulasi anterior atau

posterior) berdasarkan gejala klinis, atau pada pasien yang dipertimbangkan

untuk dilakukan tindakan carotid endarterectomy.

Pemeriksaan juga direkomendasikan jika penyebab gejala neurologis

pada pasien tidak dapat dipastikan, dengan diagnosa banding meliputi migrain,

epilepsi, atau tumor otak. Pencitraan direkomendasikan jika ingin

mengeksklusi perdarahan intraserebral sebagai penyebab dari gejala

neurologis yang ada. Pasien dengan suspek TIA harus diperiksa oleh spesialis

sebelum dibuat keputusan untuk melakukan pemeriksaan radiologis.

Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih direkomendasikan dan

dianggap sebagai yang terbaik untuk pemeriksaan pada pasien suspek TIA dan

harus dilakukan selambat-lambatnya 24 jam setelah onset gejala, jika skor

ABCD2 ≥ 4 atau dengan TIA crescendo, dan selambat-lambatnya dalam 1

minggu setelah onset dari gejala, jika skor ABCD2 ≤ 3

Guideline 2 menyatakan bahwa semua pasien dengan suspek stroke

harus melakukan pemeriksaan CT atau MRI secara segera dalam jangka waktu

24 jam. Namun tidak terdapat pernyataan mengenai pemeriksaan pencitraan

pada pasien dengan suspek TIA.

Sementara itu, pasien yang merupakan kandidat dari terapi trombolisis

harus melakukan imaging otak secara segera dan sesuai dengan guideline

pertama, dinyatakan juga bahwa semua pasien dengan gejala dari gangguan

17

karotis yang memungkinkan untuk menjadi kandidat revaskularisasi karotis

harus melakukan imaging karotis.

Berdasarkan guideline 3, dikatakan bahwa pasien dengan TIA yang

perlu melakukan pemeriksaan pencitraan terhadap otak adalah pasien dengan

suspek TIA yang memiliki risiko tinggi untuk terkena stroke (skor ABCD2 >4)

atau dengan TIA crescendo ataupu TIA dengan risiko stroke rendah (skor

ABCD2 <4) dimana daerah vaskular yang terlibat tidak dapat dipastikan secara

klinis.

Pada kondisi ini, pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih

direkomendasikan, namun dapat juga menggunakan pemeriksaan CT-Scan.

Pada pasien dengan kondisi-kondisi diatas, pencitraan dapat dilakukan hingga

maksimal 7 hari setelah onset.

2.5.3. Terapi farmakologis

Berdasarkan ketiga guideline, maka terapi awal untuk pasien dengan TIA

adalah aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin. Pada guideline 2

dinyatakan dosis dapat berkisar 150-300 mg untuk awalnya, dan dapat

dikurangi menjadi 100 mg/hari.

Guideline 1 dan 3 didapatkan petunjuk lebih spesifik mengenai

tatalaksana awal, dimana tatalaksana yang diberiksan dibedakan berdasarkan

skor ABCD2 dari pasien.

Pasien dengan skor ABCD2 > 4 dan TIA crescendo sebaiknya

mendapatkan terapi berupa aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin dan

harus dilakukan pemeriksaan dan investigasi oleh spesialis dalam 24 jam dari

onset gejala, serta lakukan pencegahan sekunder setelah diagnosa dapat

ditegakkan, dan segera lakukan pemeriksaan faktor risiko pada pasien.

Sementara itu untuk pasien dengan skor ABCD2 <3 atau yang datang

setelah 1 minggu dari onset gejala, dengan gejala yang telah hilang, dapat

memulai terapi aspirin 300mg/hari, namun pemeriksaan lainnya dapat

dilakukan hingga selambat-lambatnya dalam 7 hari.

Guideline 2 selain memaparkan mengenai terapi awal, memaparkan juga

untuk terapi lanjutan yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi

risiko terjadinya stroke, meliputi:

18

a. Penurunan tekanan darah yang harus diberikan pada pasien baik

normotensi atau hipertensi, dan harus sudah dimulai sebelum pasien

dipulangkan dari rumah sakit

b. Terapi antiplatelet

Terapi harus diberikan untuk jangka panjang bagi pasien TIA yang

tidak menerima terapi antikoagulan. Dapat digunakan aspirin saja, atau

aspirin dikombinasikan dengan dipyridamole atau clopidogrel.

c. Terapi antikoagulan

Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang

sebaiknya digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan

fibrilasi atrial atau stroke kardioemboli. Pada pasien dengan TIA maka

terapi antikoagulan harus dimulai setelah CT atau MRI mengekslusi

adanya perdarahan intrakranial.

d. Penurunan kadar kolesterol

Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua pasien

dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan secara

rutin pada stroke hemoragik.

e. Terapi bedah carotid

Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid

endarterectomy harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya

dalam 2 minggu setelah onset dari gejala.

f. Terapi diabetes

Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan

tatalaksana sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana

diabetes.

g. Hormone replacement therapy

HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan untuk

memulai kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau TIA

sebaiknya didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan

dengan menimbang secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari

terapi tersebut.

h. Kontrasepsi oral

19

Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia subur

dengan riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan

buruknya terapi, dan sebaiknya disarankan untuk menggunakan

kontrasepsi non-hormonal.

20

BAB III

KESIMPULAN

TIA merupakan disfungsi neurologis sementara yang secara umum

berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus serebelar, medulla spinalis,

maupun iskemi retinal, dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan.

TIA dapat terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah serebral dibawah 20-

30 ml/100g/menit, yang diakibatkan oleh adanya penurunan aliran darah serebral

yang kemudian kembali sebelum ada infark dari jaringan, maupun adanya emboli.

Meskipun TIA memiliki gejala yang bersifat transien, dan tidak menimbulkan

defisit neurologis yang menetap, pasien dengan TIA tetap penting untuk mendapatkan

tatalaksana sesegera mungkin, oleh karena terdapat faktor risiko untuk terjadinya

stroke.

Berdasarkan guideline yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa

tahap pertama untuk mengenali dan mendiagnosa TIA dapat dilakukan dengan

skrining diluar rumah sakit dengan menggunakan metode Face Arm Speech Test

(FAST), kemudian pada UGD dapat digunakan sistem skoring Recognition of Stroke

in the Emergency Room (ROSIER).

Setelah didapatkan diagnosa maka pasien sebaiknya menerima terapi aspirin

sedini mungkin, diikuti dengan pemeriksaan terhadap faktor risiko yang dimiliki

pasien dengan menggunakan sistem skoring ABCD2. Setelah mendapat skor, tentukan

apakah pasien memiliki skor yang tinggi atau rendah, segera konsultasikan kepada

spesialis dan lakukan pencitraan terhadap otak maupun daerah carotid dalam 24 jam

pertama jika pasien memiliki skor >4.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan

darah lengkap, kadar glukosa, profil lipid, fungsi ginjal, EKG, CT-Scan/MRI sesuai

indikasi. Setelah diagnosa TIA dapat ditegakkan dan faktor risiko untuk pasien telah

diketahui, maka pasien diberikan tatalaksana pencegahan sekunder untuk terjadinya

stroke.

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Albers GW, Caplan LR, Easton JD, Fayad PB, Mohr JP, Saver JL, et al.

Transient ishemic attack : proposal for a new definition. N Engl J Med 2002;

347(21): 1713-6.

2. Kleindorfer D, Panagos P, Pancioli A, et al. Incidence and short-term

prognosis of transien ischemic attack in a population-based study. Stroke

2005; 36(4): 720-3.

3. Johston SC, Fayad PB, Gorelick PB, Hanley DF, Shwayder P, VanHusen D, et

al. Prevalence and knowledge of transient ischemic attack among US adults.

Neurology 2003; 60(9): 1429-34.

4. Edlow JA, Kim S, Pelletrier AJ, Camargo CA. National study on emergency

department visits for transient ischemic attack, 1992-2001. Acad Emerg Med

2006; 13(6): 666-72.

5. Truelsen T, Begg S, Mathers C. World Heath Organization. The global burden

of cerebrovascular disease. Global Burden of Disease 2000.

6. Lindsay K, Bone I, Fuller G. Neurology and Neurosurgery Illustrated.3rd ed.

Philadelphia: Chucrchill Livingstone; 1997: p.242

7. Johnston SC. Transient ischemic attack: an update. Stroke 2007; 17(2).

8. Weiner WJ, Goetz CG, Shin RK. Neurology for the non-neurologist. 6 th ed.

Philadelphia: Lippincott; 2010: p.113.

9. PJ Tyrell. Diagnosis and initial management of transient ischemic attack:

concise guidance to good practice series. Royal College of Physicians 2010.

10. Walker R, Hill M, Harley J. Diagnosis and initial management of acute stroke

and transient ischemic attack. National Institute for Health and Clinical

Excellence 2008.

11. Clinical Guideline for Stroke and TIA Management: a quick guide for general

practice. Stroke Foundation 2010.

22