referat trauma maksilofasial tht tia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Patah tulang wajah terjadi karena berbagai alasan yang berkaitan dengan
partisipasi olahraga: kontak antara pemain (misalnya, kepala, tangan, siku),
kontak dengan peralatan (misalnya, bola, pucks, setang), atau kontak dengan
lingkungan, hambatan, atau bermain permukaan (misalnya, gulat tikar, peralatan
senam, tiang gawang, pohon). Meskipun cedera wajah yang berhubungan dengan
olahraga yang kecil, potensi kerusakan yang serius tetap ada. Seorang dokter yang
memeriksa luka harus cepat menilai pasien secara konsisten dan metodis,
memungkinkan untuk diagnosis dan pengobatan yang tepat, sementara
mempertimbangkan tuntutan fisik olahraga, serta mengembalikan atlet untuk
bermain. (1)
Fraktur tulang wajah memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus
mempertimbangkan mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika
menilai pasien. (1)
Kekuatan yang diperlukan untuk menghasilkan fraktur tulang wajah
adalah sebagai berikut: (1)
Fraktur hidung - 30 g
Fraktur zygoma - 50 g
Fraktur mandibula (sudut) - 70 g
Fraktur area frontal - 80 g
Fraktur maksila (garis tengah) - 100 g
Fraktur mandibula (garis tengah) - 100 g
Fraktur rim supraorbital - 200 g
1
BAB II
ANATOMI MAKSILOFASIAL
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 1 Anatomi tulang wajah(3)
Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian: (2)
Upper face - tulang frontal dan sinus frontal.
Midface - tulang hidung, tulang ethmoid, tulang zigoma dan tulang
maksila.
Lower face - tulang mandibula.
II.1. Tulang Frontalis dan Orbita
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 2 Anatomi Tulang Frontalis(3)
2
Tulang frontalis terletak di bagian depan kepala / tengkorak dan sesuai
dengan daerah yang dikenal sebagai dahi. Fungsi utama dari tulang frontal
perlindungan otak dan membentuk wajah. Tulang-tulang frontal terdiri dari dua
bagian: bagian vertikal dikenal sebagai squama frontalis dan bagian horizontal,
yang dikenal sebagai pars orbital. Bagian vertikal sesuai dengan dahi sementara
bagian horizontal berkorelasi dengan atap rongga orbital (mata) dan hidung. (3)
Batas-batas area orbital: (2)
Batas orbital superior dibentuk oleh tulang frontal.
Batas orbital lateral dibentuk oleh proses frontal zygoma, proses
zygomatic tulang frontal dan sayap yang lebih besar dari tulang sphenoid.
Batas orbital inferior dibentuk oleh rahang atas dan zygoma tersebut.
Batas orbital medial dibentuk oleh proses frontal rahang atas, tulang
lakrimalis, proses sudut dan orbital tulang frontal dan tulang ethmoid.
Dasar orbital dibentuk oleh atap sinus maksilaris.
Bagian dari, tulang sphenoid palatina dan ethmoid membentuk puncak
orbital.
II.2. Tulang Hidung
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 3 Anatomi Tulang Hidung(3)
Tulang hidung terdiri dari dua tulang yang terletak di dekat tengah wajah
yang bertemu untuk membentuk jembatan hidung. Tulang-tulang bervariasi dalam
3
ukuran dari individu ke individu. Setiap tulang hidung terdiri dari dua permukaan,
permukaan luar dan dalam, dan empat perbatasan. Fungsi-fungsi tulang hidung
dalam membentuk hidung dan pembentukan jembatan hidung. Selanjutnya, tulang
hidung menyentuh empat tulang lain, yaitu tulang frontal, tulang ethmoid, tulang
maksila, dan tulang hidung yang berlawanan. (3)
III.3. Tulang Etmoid
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 4 Anatomi Tulang Etmoid(12)
Tulang ethmoid adalah tulang berbentuk persegi atau kubus yang terletak
di bagian atas hidung dan di antara dua soket mata. Ini tulang ringan terbuat dari
tulang spons dan seperti sphenoid, merupakan salah satu tulang yang membentuk
struktur rongga mata. Fungsi utama dari tulang ethmoid adalah perlindungan
organ-organ vital di wilayah dan dukungan dari hidung dan orbita (rongga mata). (3)
III.4. Tulang Zigoma dan Arkus Zigoma
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 5 Anatomi Tulang Zigoma(3)
4
Zygoma membentuk bagian lateral tepi orbita inferior, serta tepi lateral
dan dinding lateral orbita. Selain itu, membentuk lengkungan zygoma anterior.
Di permukaan lateral, tulang zygoma memiliki 3 prosesus. Prosesus inferior, yaitu
prosesus yang cekung, sebelah medial membentuk artikulasi prosesus zygomatic
dengan maksila, membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Sebelah superior
membentuk prosesus frontal yang berartikulasi dengan tulang frontal.(4)
Prosesus posterior, sebuah prosesus temporal yang berartikulasi dengan
prosesus zygoma dari tulang temporal untuk membentuk lengkung/arkus zygoma.
Pada permukaan medial zygoma adalah lempeng orbital halus yang membentuk
dasar lateral dan dinding lateral orbita. Prosesus ini berartikulasi dengan sayap
dari tulang sphenoid di sebelah posterior. (4)
Dari posterior ke tepi lateral dan sedikit ke inferior menuju sutura
frontozygomatic adalah batas dari tuberkulum Whitnall, dimana ligamentum
palpebral lateralis menempel. Di medial permukaan orbital yang halus terdapat
foramen, yang mengirimkan saraf zygomaticofacial dan zygomaticotemporal
untuk masing-masing lubang pada permukaan lateral. Foramen zygomaticofacial
terletak tepat di lateral ke tepi lateral orbital pada persimpangan prosesus frontal
dan maksila. Foramen zygomaticotemporal terletak pada permukaan cekung
posterior rim orbital lateralis. (4)
III.5. Tulang Maksila
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 6 Anatomi Tulang Maksila(4)
5
Maksila terdiri dari dua tulang terpisah yang menyatu secara kolektif.
Maksila, sering dikenal sebagai tulang kumis karena bentuknya, terletak di atas
mandibula dan di bawah orbita. Fungsi maksila adalah untuk memberikan
perlindungan wajah, mendukung orbita, tempat melekatnya gigi bagian atas, dan
membentuk dasar hidung. (3)
Rahang atas dibagi menjadi komponen-komponen berikut: tubuh, prosesus
zygomaticus, prosesus frontal, prosesus alveolar, prosesus palatina, foramen
infraorbital, dan sinus maksilaris. Prosesus alveolar dikenal sebagai
lengkung/arkus maksila dan merupakan bagian dari maksila yang menjadi tempat
melekatnya gigi bagian atas. (3)
III.6. Tulang Mandibula
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
A. B.
Gambar. 7 Anatomi Tulang Mandibula. A) tampak dari superior. B) tampak dari posterior. (4)
Mandibula adalah tulang yang membentuk huruf U. Tulang ini adalah
satu-satunya tulang yang dapat bergerak di kerangka wajah, dan karena
merupakan tempat melekatnya gigi bawah, gerak adalah penting untuk proses
mengunyah. Hal ini dibentuk oleh pengerasan intramembranosus. Mandibula
terdiri dari 2 hemi-mandibula yang bergabung di garis tengah oleh simfisis
vertikal. Hemi-mandibula menyatu membentuk satu tulang pada usia 2 tahun.
Setiap hemi-mandibula terdiri dari badan horizontal dengan ekstensi posterior
vertikal disebut ramus. (4)
6
III.7. Perdarahan dan Persarafan(2)
Cabang darah arteri karotis eksternal memperdarahi wajah.
Saraf wajah memasok otot-otot ekspresi wajah.
Mata, maksila dan bawah cabang dari sensasi pasokan saraf trigeminal
pada kulit wajah.
7
BAB III
TRAUMA MAKSILOFASIAL
III.1. Definisi
Trauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang
yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang atau
gigitan manusia, atau luka bakar.(5) Cedera Maksilofasial dapat menjadi kompleks
dan melibatkan multi-spesialisasi. Cedera dapat melibatkan jaringan kulit dan
jaringan lunak serta mengakibatkan patah tulang. Masalah psikologis akut dan
jangka panjang dapat diakibatkan dari trauma maxillofacial dan cacat tubuh. (2)
III.2. Etiologi
Kecelakaan mobil adalah penyebab utama trauma rahang atas, serta
partisipasi dalam olahraga, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya. Atlet
mungkin mempertahankan cedera wajah dari bertabrakan dengan pemain lain
(seperti dalam sepak bola atau rugby), dari kontak langsung dengan peralatan
(pemukul bisbol, tongkat hoki, tiang gawang, paralel bar, dll), atau dari kontak
dengan benda lain yang berhubungan dengan olahraga (bola sepak, hoki pucks,
ski, dll) orang yang paling berisiko adalah atlet, siapa pun yang mengendarai
kendaraan atau naik dalam satu, dan mereka yang hidup di peternakan, melakukan
pekerjaan yang berbahaya, atau terlibat dalam jenis perilaku agresif. (5)
Hewan adalah penyebab umum trauma maksilofasial. Kuda dan hewan
ternak lainnya yang besar dapat menyebabkan cedera parah di wajah dan rahang
dari tendangan atau gigitan. Selain itu, beberapa anjing peliharaan yang besar bisa
menggigit cukup keras untuk fraktur tulang wajah anak kecil. (5)
Kekerasan domestik dan pelecehan juga merupakan penyebab umum dari
cedera wajah pada anak-anak dan remaja. (5)
8
III.3. Gejala dan Tanda
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti: (6)
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, abrasi, laserasi dan avulsi);
emfisema subkutis;
rasa nyeri;
terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara
perabaan;
epistaksis (anterior dan posterior);
adanya obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematoma pada
septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum;
gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, pergeseran
posisi bola mata, abrasi kornea, epifora, ekimosis pada konjungtiva,
periorbita;
gangguan saraf sensoris berupa anesthesia atau hipestesia dari ketiga
cabang saraf otak kelima;
gangguan saraf motorik terdapatnya parese atau paresis dari satu atau
semua saraf otak cabang ketujuh; terdapat krepitasi tulang hidung, maksila
dan mandibula;
trismus;
maloklusi;
terdapat fraktur gigi atau terlepasnya gigi tersebut;
kebocoran cairan otak (leakage); dan terdapat tanda infeksi jaringan lunak
pada daerah hematoma.
Gejala-gejala seperti yang disebutkan diatas, mengharuskan kita melakukan
pemeriksaan yang lebih lengkap, konsultasi ke bagian lain yang terkait,
9
penanggulangan sumbatan jalan nafas secepatnya serta mengatasi syok.
Pemeriksaan fisik secara sistematis akan membantu menegakkan diagnosis yang
tepat. (6)
III.4. Perawatan Awal
Perawatan awal bergantung pada keparahan cedera. Perawatan awal
berupa evaluasi umum secara cepat dari tanda-tanda vital pasien dan bila perlu
pelaksanaan tindakan-tindakan dasar penyokong hidup. Pemeliharaan jalan nafas
merupakan prioritas pertama dan dapat memerlukan penghisapan rongga mulut
dan hidung untuk mengeluarkan darah atau debris lainnya. Bila pasien dalam
keadaan koma atau bila fraktur mandibula mengakibatkan dasar mulut menjadi
tidak stabil disertai prolaps lidah kedalam faring, maka suatu jalan nafas oral
mungkin diperlukan. Jika untuk alasan apapun, suatu jalan nafas oral ternyata
tidak memuaskan dan ventilasi trakea merupakan keharusan maka intubasi
endotrakea merupakan metode terpilih. Trakeostomi darurat perlu dihindarkan
bila mana mungkin, oleh karena prosedur ini penuh bahaya jika operator tidak
benar-benar mengenal anatomi dan telah berpengalaman dalam teknik bedah ini. (7)
Prioritas kedua dalam penatalaksanaan awal pasien trauma adalah
pemeliharaan curah jantung yang memadai. Penyebab tersering dari curah jantung
yang tidak adekuat pada pasien trauma adalah syok hipovolemik. Keadaan ini
biasanya berespons dengan penggantian volume dan tindakan hemostatik yang
tepat. Setelah stabilitas tercapai maka menyusul tindakan-tindakan resusitatif
awal, dilakukan pemeriksaan kepala dan leher secara sistematis.(7)
III.5. Diagnosis
Seperti cedera pada system organ lain, maka evaluasi awal pada trauma
kepala dan leher memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan
akurat. Riwayat peristiwa trauma harus termasuk dalam cedera serta deskripsi
rinci mengenai keadaan sekeliling pada saat insiden terjadi. Detail seperti apakah
pasien mengenakan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan, dapat memberi
petunjuk mengenai tipe cedera yang harus dicari.(7)
10
Pemeriksaan fisik harus dilakukan segera mungkin oleh karena
pembengkakakn akan menyamarkan deformitas tulang ataupun tulang rawan. Hal
pertama yang perlu diamati adalah status kesadaran pasien, oleh karena adanya
cedera otak merupakan prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien setelah
fungsi kardiovaskular dan pernapasan menjadi stabil. Jaringan lunak yang
menutup kepala dan leher perlu diinspeksi secara cermat dan menyeluruh guna
mencari laserasi, termasuk bagian dalan telinga, hidung dan mulut. Mobilitas
wajah perlu perhatian khusus, karena ada tidaknya paralisis saraf ketujuh dapat
sangat penting artinya dalam penatalaksanaan pasien selanjutnya. Semua luka
perlu dieksplorasi cukup dalam untuk menentukan apakah cedera tulang atau
tulang menjadi terpapar atau apakah terdapat benda asing dalam luka. Pemeriksa
mempalpasi seluruh kepala dan leher, mulai dari puncak kepala dan bergerak ke
bawah untuk mencari fraktur yang tergeser ataupun struktur gerak yang abnormal. (7)
Gambar. 8 Pemeriksaan Palpasi pada trauma muka. a) palpasi struktur tulang dan kartilago hidung.
b) palpasi zigoma. c-e) palpasi rahang atas. f) palpasi mandibula. g-h) palpasi orbita superior dan
inferior.
11
Pemeriksaan radiografi dan pemeriksaan lainnya dapat membantu
mencapai diagnosis yang akurat setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. X-ray dan CT scan dapat memberikan lokasi fraktur yang akurat.
Pengambilan gambar spesifik tergantung pada daerah fraktur yang dicurigai. (7,2)
III.6. Jenis - Jenis Fraktur
III.6.1 Fraktur Tulang Hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung. Diagnosis
fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung
bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya
pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan adanya
robekan pada mukosa septum, hematoma septum,dislokasi atau deviasi septum. (6)
Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinus paramasal posisi
Water dan juga bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan untuk melihat
fraktur hidung atau kemungkinan fraktur penyerta lain. (6)
1. Fraktur hidung sederhana
Jika hanya fraktur tulang hidung saja, dapat dilakukan reposisi fraktur
tersebut dalam analgesia local. Akan tetapi pada anak - anak atau orang dewasa
yang tidak kooperatif tindakan penanggulangan memerlukan anestesi umum.
Analgesia local dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1:1000%.(6)
Tampon kapas yang berisi obat analgesia local ini dipasang masing-
masing 3 buah, pada setiap hidung. Tanpon pertama diletakkan pada meatus
superior tepat dibawah tulag hidung, tampon kedua diletakkan antara konka media
dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen
sphenopalatina, tampon ketiga diletakkan antara konka inferior dengan septum
nasi. Kadang-kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray
beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi dan efek
12
vasokonstriksi yang baik. (6)
Penatalaksanaan
Teknik reduksi tertutup. Jenis fraktur tersering menimbulkan depresi pada
satu tulang hidung disertai pergeseran pyramid hidung ke sisi satunya. Elevasi
tulang hidung yang mengalami depresi tersebut dengan suatu elevator yang pipih,
diikuti dengan penggeseran pyramid kembali ke posisi semula biasanya dapat
dilakukan tanpa kesulitan. Tindakan reduksi ini dikerjakan 1-2 jam sesudah
trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang mungkin terjadi sangat sedikit.
Sesudah waktu tersebut, tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah
terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estektomi. (6)
Sesudah fraktur hidung dikembalikan keadaan semula, dilakukan
pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat
ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan
berhenti, sesudah pemasangan tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar
(gips) dilakukan dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti
huruf “T” dan dipertahankan hingga 10-14 hari. (6)
Gambar. 9 Reduksi tertutup fraktur os nasal menggunakan forcep Walsham (kiri) dan
cunam Ash (kanan) (6)
2. Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang
hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga
13
hidung. Cedera berat tidak hanya memerlukan reduksi terbuka namun juga
berbagai teknik fiksasi seperti pemasangan kawat langsung, penyangga eksternal,
atau bahkan transfiksasi dengan kawat stainless steel dan pemasangan lempeng
plumbum. (6,7)
3. Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks
Jika nasal pyramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat
akan menimbukan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila
dan frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prosesus frontalis os maksila
dan prosesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal pyramid yang terletak diantara
kedua bola mata akan terdorong kebelakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid,
fraktur nasomaksila dan fraktur nasoorbita. (6)
Klasifikasi nasoorbitoetmoid kompleks: (6)
Tipe I: mengenai satu sisi noncomminuted fragmen sentral tanpa robeknya
tendo kantus media.
Tipe II: mengenai fragmen sentral tanpa robeknya tendo kantus media.
Tipe III: mengenai kerusakan fragmen sentral berat dengan robeknya
tendo kantus media.
Fraktur nasoorbitoetmoid kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki
dengan cara sederhana menggunakan tampon hidung atau fiksasi dari luar.
Apabila terjadi kerusakan duktus naso-lakrimalis akan menyebabkan airmata
selalu keluar. Tindakan ini memerlukan penanganan yang lebih hati-hati dan teliti.
Rekonstruksi dilakukan dengan menggunakan kawat (stainless steel) atau plate &
screw. Pada fraktur tersebut diatas, memerlukan tindakan rekonstruksi kantus
media. (6)
III.6.2. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma
1. Fraktur zigoma
14
Tulang zygoma merupakan bagian dari dasar dan dinding lateral orbita dan
arkus zygoma merupakan fitur penting dalam struktur dan penampilan wajah.
Kompleks malar mengacu pada zygoma dan tulang rahang atas (dan karena itu
merupakan bagian dari dasar orbita dan dinding lateral orbita). Hal ini memainkan
peran kunci dalam struktur dan fungsi skeleton wajah. Selain memberikan
dukungan pada wajah secara umum, tulang zigoma merupakan insersi untuk otot
masseter dan melindungi otot temporalis dan proses koronoideus. Cedera yang
menimbulkan fraktur zigoma biasanya akibat suatu benturan pada korpus zigoma
atau tonjolan malar. Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang
dapat diraba pada lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3)
hipestesia pada pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau
(6) pergeseran bola mata ke bawah. (8,7)
Penatalaksanaan
Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite).
Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuar
sayatan kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator
melengkung dimasukkan di belakang tuberositas tersebutdan dengan sedikit
tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi
ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik. (6)
Reduksi terbuka dari tulang zigoma. Tulang zigoma yang patah tidak bisa
diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi
terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul diatas
zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi permulaan pada
reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita,
dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi dibawah palpebra inferior untuk
mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dilakukan
secara hati.hati karena dapat merusak bola mata. (6)
2. Fraktur arkus zigoma
15
Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul
rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus.
Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap
prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi
dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi. (6)
Penatalaksanaan
Terdapatnya fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat
dari arkusdapat ditanggulangi dengan melakikan elevasi arkus zigoma tersebut.
Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya
dipasang kawat baja atau miniplate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi
pada reduksi terbuka dilakukan di atasarkus zigoma, diteruskan kebawah sampai
kebagian zigoma di preaurikuler. Tindakan reduksi didaerah ini dapat merusak
cabang frontalis dari nervus fasialis,sehingga harus dilakukan tindakan proteksi. (6)
III.6.3. Fraktur tulang maksila
Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat, dan
dicirikan oleh (1) mobilitas atau pergeseran palatum, (2) mobilitas hidung yang
menyertai palatum, (3) epistaxis atau (4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian
sepertiga tengah wajah. (7)
Sebagian besar pemahaman tentang pola propagasi fraktur pada trauma
midface berasal dari karya Rene Le Fort. Pada tahun 1901, ia melaporkan
karyanya pada tengkorak mayat yang mengalami tumpul kekuatan berbagai
besaran dan arah. Dia menyimpulkan bahwa pola diprediksi patah tulang
mengikuti jenis tertentu cedera. Tiga jenis dominan digambarkan, yaitu: (9)
Fraktur maksila Le Fort I
Le Fort I/fraktur Guerin (horizontal) bisa terjadi akibat kekuatan dari
cedera mengarah rendah di tepi alveolar maksila ke arah bawah. Fraktur
meluas dari septum hidung ke rima piriformis lateralis, berjalan horizontal
di atas apeks gigi, melintasi bawah persimpangan zygomaticomaxillary,
16
dan melintasi persimpangan pterygomaxillary untuk mengganggu lempeng
pterygoideus.
Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan
menggerakkan dengan jari pada saat pemeriksaan secara palpasi. Garis
fraktur yang mengarah vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah,
membagi muka menjadi dua bagian (palatal split)
Fraktur maksila Le Fort II
Le Fort II fraktur (piramida) bisa terjadi akibat pukulan ke bawah atau
pertengahan maksila. Fraktur ini memiliki bentuk piramida dan
memanjang dari tulang hidung pada atau di bawah sutura nasofrontal
melalui prosesus frontal maksila, melalui tulang lakrimalis dan dasar
inferior orbita dan rima melalui atau dekat foramen orbital inferior, dan
melalui dinding sinus maksilaris anterior, kemudian berjalan di bawah
zygoma, menyeberangi fisura pterygomaxillary, dan melalui lempeng
pterygoideus.
Fraktur maksila Le Fort III
Le Fort III fraktur (melintang), disebut juga craniofacial dysjunctions,
dapat memberi dampak terhadap tulang hidung atau maksila bagian atas.
Fraktur ini mulai pada sutura nasofrontal dan frontomaxillary dan meluas
ke posterior sepanjang dinding medial orbita melalui alur nasolacrimal dan
tulang ethmoid. Di posterior tulang sphenoid tebal biasanya mencegah
kelanjutan dari patah tulang ke kanal optik. Sebaliknya, fraktur berlanjut
sepanjang dasar orbita sepanjang fisura orbital inferior dan berlanjut
kearah superior lateral melalui dinding lateral orbital, melalui
persimpangan zygomaticofrontal dan arkus zygomatic. Di dalam nasal,
sebuah cabang dari fraktur meluas melalui dasar lempeng tegak lurus dari
ethmoid, melalui vomer, dan melalui pertemuan dari lempeng
pterygoideus ke dasar sphenoid.
Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan
17
dishface. Fraktue maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi
intracranial seperti pengeluaran cairan otak melalui atap sek etmoid dan lamina
kribiformis. (6)
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 10 Klasifikasi Fraktur Maksila menurut Le Fort (13)
System klasifikasi yang baru menggunakan system penyangga tulang
muka vertical dan horizontal yang pada kepustakaan disebut vertical buttresses
dan horizontal beams. Penyangga vertical muka terdiri dari zigomatiko-maksila
(lateral), nasomaksila (medial) dan pterigomaksila (posterior). Horizontal beams
adalah alveolus, dasar orbita dan rim orbita dan supraorbita. (6)
Gambar. 11 Vertical buttresses dan horizontal beams(6)
Penatalaksanaan
Prinsip dasar dalam penatalaksanaan adalah fiksasi fragmen-fragmen
fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan teknik
pemasangan kawat secara langsung atau memakai kawat penyangga internal. Plat
tulang yang kecil juga dapat dipakai untuk immobilisasi segmen - segmen fraktur
sebagai pengganti kawat pengikat. Bila dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi
interna mamakai kawat tidak memberi reduksi atau fiksasi yang memuaskan,
18
maka mungkin dapat digunakan alat fiksasi eksternal untuk membuat traksi lateral
atau anterior juga jika diperlukan. (7)
III.6.4. Fraktur tulang orbita
Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita
terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur
tulang orbita dan fraktur maksilla sangat sering terjadi akibat ketidak hati-hatian
dalam mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan
kendaraan yang sesuai, tidak meminum alcohol atau obat yang mengganggu
kesadaran sangat penting intuk dihindarkan. Fraktur orbita ini memberika gejala-
gejala: (6)
1. Enoftalmos
2. Exoftalmos
3. Diplopia
Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa dengan teliti dan
dilakukan rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya
dikerjakan oleh dokter spesialis mata
4. Asimetri pada muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture
dari dasar orbita. Kelainan ini sangat spesifik terdapat pada fraktur yang
meliputi pinggir orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi
zigoma.
5. Gangguan saraf sensoris
Hipestesia dan anesthesia dari saraf sensoris nervus infraorbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila
pada fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis
infra orbitalis. Selanjutnya gangguan fungsi nervus infra orbita sangat
mungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita. Bila
19
timbuk anesthesia untuk waktu yang lama harus dilakukan eksplorasi dan
dekompresi nervus infra orbitalis.
III.6.5. Fraktur tulang mandibula
Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh
kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Penyebab cedera dapat karena
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh, cedera industri atau cedera olahraga
tetapi jumlah relatif masing-masing bervariasi antara negara dan daerah. Di bawah
usia 25, jumlah trauma gigi sehingga kehilangan gigi lebih banyak dari karies atau
gum disease. Dalam hal kekerasan, laki-laki muda yang paling berisiko dengan
alkohol merupakan faktor memberatkan. Perempuan dan anak-anak jauh lebih
sedikit beresiko, tetapi bisa dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada dominan
laki-laki sekitar 3:1 pada orang dewasa dan 3:2 pada anak-anak. (6,10)
Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya
riwayat kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala sebagai berikut: (6)
1. Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi pada kulit yang meliputi
mandibula
2. Rasa nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior
3. Anesthesia dapat terjadi pada salh satu sisi bibir bawah, pada gusi atau
pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak
4. Maloklusi
5. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
6. Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah, dll
7. Gangguan jalan nafas. Kerusakan hebat pada mandibula menyebabkan
perubahan posisi, trismus, hematoma, edema pada jaringan lunak yang
kalau terjadi obtruksi hebat dari jalan nafas harus dilakukan trakeostomi.
8. Dan lain-lain
20
Dingman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis.
Mandibula dibagi menjadi tujuh regio, yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus,
prosesus koronoid, prosesus kondilar dan prosesus alveolar. (6)
QuickTime™ and a decompressor
are needed to see this picture.
Gambar. 12 Regio Mandibula (14)
Penatalaksanaan
Penangulangan fraktur mandibula ini tergantung pada lokasi fraktur,
luasnya fraktur dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur dapat ditentukan dengan
pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat dengan foto polos pada posisi
posteroanterior, lateral, Towne, lateral oblik, kiri dan kanan. Jikalau diperlukan
pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer. (6)
Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum
pembidaian mandibula dengan geligi utuh terhadap maksila dengan geligi yang
utuh juga. Lengkung geligi atas biasanya diikatkan pada lengking geligi bawah
memakai batang - batang lengkung ligasi dengan kawat. Batang - batang lengkung
ini memiliki kait kecil yang dapat menerima simpai kawat atau elastis guna
mengikatkan lengkung geligi atas dengan lengkung geligi bawah. Fraktur
mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan
pemasangan kawat ataupun plat secara langsung pada fragmen-fragmen guna
mencapai stabilitas, disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-
21
batang lengkung. Tindakan ini meninggikan tingkat kenyamanan pasien, hygiene
mulut, bicara, jalan nafas, dan pemberian makanan. Antibiotika harus diberikan
sejak saat fraktur sampai mukoperiosteum menyembuh dan fraktur menjadi stabil. (7)
Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan
hygiene mulut dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian terapi
antibiotika yang telah dijelaskan diatas, serta analgesik, demikian juga tindakan
stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil. (7)
III.7. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas;
sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder akibat tatalaksana yang
tidak tepat; kerusakan saraf yang berakibat hilangnya sensasi, pergerakan wajah,
penghidu, perasa dan penglihatan; sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan
berat badan; fraktur mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan
pendarahan. (11)
III.8. Prognosis
Reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur wajah menghasilkan kepuasan
dalam tampilan fisik wajah dan pengembalian fungsi.
Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya
yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah jarang
menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat. Cedera jaringan lunak yang
luas atau avulsi dan fraktur comminuted jauh lebih sulit penanganannya dan
mungkin memiliki hasil yng buruk. Pendarahan hebat dari cedera masif pada
midface dapat berakibat kematian. Obstruksi jalan nafas, jika tidak terdeteksi dan
ditangani dengan benar, dapat dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi. (11)
22
BAB IV
KESIMPULAN
Daerah maksilofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Upper face
(tulang frontal dan sinus frontal), Midface (tulang hidung, tulang ethmoid,
tulang zigoma dan tulang maksila) dan Lower face (tulang mandibula).
Trauma maksilofasial mengacu pada setiap cedera pada wajah atau rahang
yang disebabkan oleh kekuatan fisik, terdapatnya benda asing, binatang
atau gigitan manusia, atau luka bakar.
Pada perawatan awal, pemeliharaan jalan nafas merupakan prioritas
pertama dan prioritas kedua adalah pemeliharaan curah jantung yang
memadai.
Pada trauma muka paling sering terjadi adalah fraktur hidung.
Fraktur zigoma dapat dicirikan oleh (1) deformitas yang dapat diraba pada
lingkar bawah orbita, (2) diplopia saat melirik keatas, (3) hipestesia pada
pipi, (4) pendataran sisi lateral pipi, (5) ekimosis periorbita, atau (6)
pergeseran bola mata ke bawah.
Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat.
Pola fraktur maksila diklasifikasikan menurut klasifikasi Le Fort, tiga jenis
dominan digambarkan.
Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita
terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor.
Fraktur mandibula ini paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh
kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Yang paling sering
mengalami fraktur adalah prosesus kondilar.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah aspirasi; gangguan jalan nafas;
sikatrik/bekas luka; deformitas fasial permanen sekunder; kerusakan saraf;
sinusitis kronis; infeksi; malnutrisi; penurunan berat badan; fraktur
mengalami nonunion atau malunion; maloklusi; dan pendarahan
Fraktur wajah hebat sering berhubungan dengan cedera tubuh lainnya
yang dapat membahayakan nyawa. Fraktur yang berkekuatan rendah
jarang menimbulakan kematian jika ditangani dengan tepat.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Facial Fractures. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/84613-
overview#a0199. Pada tanggal 17 Juli 2011, pukul 10.00 WIB.
2. Maxillofacial Injuries. Diunduh dari:
http://www.patient.co.uk/doctor/Maxillofacial-Injuries.htm. Pada tanggal 16
Juli 2011, pukul 20.00 WIB.
3. Skull Bones Cranial and Facial Bones. Diunduh dari:
http://www.learnbones.com/skull-cranial-and-facial-bones-anatomy. Pada
tanggal 16 Juli 2011, pukul 21.00 WIB.
4. Facial Bone Anatomy. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/835401-overview#showall. Pada
tanggal 16 Juli 2011, pukul 21.00 WIB.
5. Maxillofacial Trauma. Diunduh dari:
http://www.healthline.com/galecontent/maxillofacial-trauma/2#causes. Pada
tanggal 16 Juli 2011, pukul 20.00 WIB.
6. Munir M, Widiarni D, Trimartani. Trauma Muka. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007.
h. 199-207.
7. Wilson KS.Trauma Rahang-Wajah. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Editor: Adams GL, Boies LR, Higler PA. Edisi ke 6. EGC. 1997. h. 509-521.
8. Zygomatic Arch and Orbital Fractures. Diunduh dari:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40025215. Pada tanggal 16 Juli 2011,
pukul 22.00 WIB.
9. Maxillary and Le Fort Fractures. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview#a0104. Pada
tanggal 16 Juli 2011, pukul 22.00 WIB.
10. Mandibular Fractures. Diundug dari:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40025216/. Pada tanggal 16 Juli 2011,
pukul 22.00 WIB.
24
11. Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/434875-overview#a25. Pada tanggal
16 Juli 2011, pukul 22.00 WIB.
12. Bones Of The Skull. Diunduh dari:
http://aftabphysio.blogspot.com/2010/09/bones-of-skull.html. Pada tanggal 17
Juli 2011, pukul 11.00 WIB.
13. Le Fort Fracture. Diunduh dari: http://loverockmd.com/?p=881. Pada tanggal
17 Juli 2011, pukul 12.00 WIB.
14. Mandible. Diunduh dari:
http://prepgmedicos.redstetho.com/forum/viewtopic.php?f=36&t=8178. Pada
tanggal 17 Juli 2011, pukul 12.00 WIB.
25