referat mbo
DESCRIPTION
mati batang otakTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kematian didefinisikan sebagai berhentinya seluruh fungsi tubuh secara irreversible.
Sebelum ada teknologi modern, kematian terjadi ketika jantung berhenti berdetak dan
napas berhenti (1). Namun kemudian berbagai teknik ditemukan untuk mempertahankan
detak jantung dan pernapasan seperti teknik resusitasi jantung-paru dan penggunaan
ventilator. Sehingga fungsi vital tubuh dapat dipertahankan walaupun otak telah
mengalami kerusakan ireversibel dan tidak berfungsi. Oleh karena itu munculah persepsi
baru yaitu kematian tidak lagi didefinisikan sebagai hilangnya fungsi jantung dan paru
melainkan hilangnya fungsi otak (2).
Otak merupakan organ vital tubuh yang mengatur seluruh fungsi tubuh. Oleh karena itu
kematian pada otak bisa disamakan dengan kematian seluruh tubuh, walaupun mungkin
jaringan tubuh lainnya masih bertahan (1). Kematian otak dapat diartikan sebagai
hilangnya seluruh fungsi sereberum dan batang otak. Secara umum kematian otak
ditandai dengan koma irreversible, hilangnya refleks batang otak dan apnue. Kematian
otak harus didiagnosis secara akurat untuk menentukkan kapan pemberian bantuan hidup
dihentikan dan waktu pengambilan suatu organ jika pasien tersebut ingin mendonorkan
organ tersebut untuk transplantasi (3). Oleh karena itu penting bagi tenaga medis untuk
mengetahui dan mengerti cara mendiagnosis kematian otak karena ini adalah kriteria
utama untuk menentukkan kematian seseorang selain dari berhentinya fungsi jantung dan
paru.
1.2. Tujuan Penulisan
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang hal tersebut maka penulis mencoba
memaparkan tentang kematian otak yang penulis dapatkan dari berbagai sumber.
Penulisan makalah tinjauan pustaka ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
kematian otak secara singkat
1
1.3. Manfaat Penulisan
Pada penulisan makalah ini penulis berharap dapat memberikan pengetahuan
pada pembaca mengenai kematian otak secara lebih mendalam.
2
BAB II
ISI
2.1. Definisi
Kematian otak (Brain Death) adalah hilangnya seluruh fungsi otak secara irreversible,
termasuk batang otak (4). Terdapat 3 tanda penting pada kematian otak yaitu coma
unresponsif, hilangnya refleks batang otak dan apnu. Evaluasi kematian otak sebaiknya
sangat dipertimbangkan pada pasien yang menderita kerusakan otak berat yang
irreversibel Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks
batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat (3).
2.2. Etiologi
Penyebab dari kematian otak adalah kerusakan akut dan irreversible dari system saraf
pusat yang pada umumnya disebabkan oleh iskemia, trauma dan hipoksia. Selain itu
kerusakan otak yang luas dan permanen juga dapat disebabkan oleh infeksi dan tumor.
Kondisi medis yang rumit seperti ganguan elektrolit atau asam basa berat serta
intoksikasi obat berat harus dikoreksi terlebih dahulu agar hasil evaluasi kematian otak
akurat. Karena kondisi-kondisi merupakan penyebab koma dan henti napas yang
reversibel (1)
2.3. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan
intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat
mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati
nol, maka perfusi serebral akan terhenti yang kemudian akan menyebabkan kerusakan
sitotoksik permanen pada jaringan neuronal intrakranial (2)
3
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata
sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Penghentian aliran darah ke
otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10
detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang
kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang
terhenti untuk menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel
(5).
2.4. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis kematian otak adalah (6):
a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
Ditandai dengan hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi dan
dekortikasi
b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
c. Hilangnya refleks batang otak.
d. EEG datar.
2.5. Langkah-Langkah Penentuan Kematian Otak
1. Identifikasi riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan untuk mengetahui
penyebab jelas dari disfungsi otak
Penentuan kematian otak membutuhkan identifikasi dari penyebab terdekat
dan koma irreversibel. Penentuan ini dapat melalui hasil anamesis,
pemeriksaan fisik, neuroimaging dan tes laboraturium. Penyebab potensial
hilangnya fungsi otak ireversibel adalah cedera kepala berat, intraserebelar
hipertensif hemoragik, perdarahan aneurisma subaraknoid, hipoksia-iskemia
otak dan kegagalan hati fulminant (3).
2. Eksklusi kondisi-kondisi yang mungkin mengacaukan pemeriksaan fungsi
kortikal atau batang otak (3).
Kondisi-kondisi yang dapat mengacaukan diagnosis klinis kematian otak
adalah sebagai berikut :
4
a. Shock atau hypotensi (tekanan sistolik < 100 mmHg atau mean arterial
pressure < 65 mmhg)
b. Hipotermia (temperature < 32o C)
c. Obat yang mempengaruhi fungsi neuromuscular dan test
electroencephalographic, seperti obat anestesi, obat neuroparalitic, obat
hipnotik , barbiturate, benzodiazepine dan alcohol
d. Penyakit yang memblokade fungsi neuromuscular seperti Gullian-barre
syndrome
e. Gangguan elektrolit dan endokrin yang berat seperti Ensefalopathy yang
disebabkan gagal hati, uremia dan koma hiperosmolar
3. Lakukan pemeriksaan neurologis. Komponen pemeriksaan tersebut ialah
sebagai berikut :
a. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk mengetahui apakah pasien dalam
keadaan koma. Koma unresponsive ditandai dengan tidak adanya respon
motorik terhadap stimulus nyeri. Stimulus nyeri diberikan adalah stimulus
nyeri standar seperti penekanan nervus supraorbita, sendi
temporomandibuler, pada manubrium sterni atau bantalan kuku pada jari.
Pada koma unresponsive tidak ditemukannya adanya respon motorik
seperti tidak adanya membuka atau bergeraknya mata, tidak ada gerakan
spontan, postur deserebrasi dan dekortikasi, kejang serta gemetaran
terhadapa ransangan nyeri tersebut (3).
Gambar 1 : tes rangsang nyeri
b. Pemeriksaan Refleks batang otak
Pada pasien mati otak reflex batang otak akan menghilang, berikut reflex-
refleks batang otak yang menghilang (7):
5
a) Refleks pupil (nervus kranialis III)
Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif baik
refleks cahaya langsung maupun reflex cahaya tidak langsung. Refleks
cahaya langsung adalah miosisnya pupil pada mata yang disenter.
Sedangkan refleks cahaya tidak langsung atau konsensual miosisnya
pupil pada mata yang tidak disenter (3). Ukuran pupil dapat midposisi
(4 mm) sampai dilatasi (9 mm) (2).
b) Refleks kornea (nervus kranialis III)
Pemeriksaan reflex kornea dilakukan dengan cara menyentuhkan ujung
kapas ke kornea. Reflex kornea negatif jika kedua mata tidak berkedip
saat kornea disentuh, sedangkan normalnya akan ada reflek berkedip (3)
(2).
c) Reflex oculochepalic (nervus kranialis III, IV dan VI)
Pemeriksaan reflex oculochepalic atau yang biasa dikenal dengan
respon doll’s eye ini dilakukan dengan menggerakkan kepala dengan
cepat 90o kearah kiri dan kanan dari posisi tengah. Pada pasien koma
yang tidak memiliki lesi di batang otak, normalnya mata akan
mengalami deviasi konjugasi kearah yang berlawanan. Sedangkan, pada
kematian otak tidak ada gerakan mata yang terlihat. Tes ini hanya dapat
dilakukan jika tidak terdapat trauma servikal (3) (2).
d) Reflex oculovestibuler (nervus kranialis III, IV dan VI)
Pemeriksaan reflex oculovestibuler dilakukan dengan memposisikan
kepala pada sudut 30o lalu mengirigasi liang telinga luar dengan 20-50
ml air dingin kemudian diobservasi. Pemeriksaan ini disebut dengan tes
kalori. Hasil tes ini negative jika setelah 1 menit diobservasi tidak
muncul gerakan mata. Pemeriksaan ini dilakukan pada kedua sisi liang
telinga dengan interval waktu 5 menit (3) (2).
e) Sensasi facial dan respons motorik fasial (aferen nervus kranialis V dan
efferent nervus kranialis VII)
Tidak adanya pergerakan otot fasial terhadap stimulus nyeri.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan melakukan penekanan dalam
pada condilus sendi temporomandibular atau penekanan dalam pada
6
peninggian supraorbita. Hasilnya negative jika tidak didapatkan
pergerakan otot wajah atau meringis (3) (2).
f) Gag reflex dan Refleks faring (nervus kranialis IX dan X)
Pemeriksaan gag reflek dilakukan dengan memberikan stimulasi pada
faring posterior dengan spatel lidah jika positif maka akan timbul
refleks muntah, sebaliknya jika negative tidak timbul refleks muntah .
Sedangkan pemeriksaan reflex faring dilakukan dengan melihat apakah
ada respon batuk saat memasukkan kateter suction ke trakea. Hasilnya
negative jika tidak didapatkan adanya respon batuk (3) (2).
Gambar 2. Pemeriksaan Refleks Batang Otak
Manifestasi berikut terkadang tampak namun tidak boleh diinterpretasikan
sebagai bukti adanya fungsi batang otak (8):
a. Kedutan pada wajah. Gerakan semi ritmik pada wajah yang
disebabkan oleh deinervasi saraf wajah.
b. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi
patologis
c. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan
punggung, ekspansi interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)
d. Berkeringat, kemerahan, takikardi
e. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau
peningkatan mendadak tekanan darah
7
f. Babinski Abnormal. Respon fleksi pada sendi panggul, lutu dan
pergelangan kaki pada stimulasi kaki
4. Tes Apnue
Secara umum, tes apnue merupakan tahap akhir dalam menentukkan kematian
otak. Tes ini dilakukan setelah koma irreversible dan hilang reflex batang otak
ditegakkan Sebelum dilakukan tes apnue, tenaga medis harus memastikan
bahwa pasien dalam kondisi berikut ini (8) :
a. Suhu inti ≥ 36,5oC atau 97,7 o F
b. PaCO2 : 35-45 mmHg
c. PaO2 normal. Hal ini dapat dilakukan dengan pre-oksigenasi minimal
10 menit dengan oksigen 100 % sehingga PaO2 > 200 mmHg
d. Normotension : berikan cairan atau jika perlu vasopressor hingga
tekanan sistolik ≥ 100 mmHg atau mean arterial pressure ≥ 65 mmHg
Setelah keadaan-keadaan diatas terpenuhi tes apnue dapat dilakukan. Berikut
langkah-langkah tes apnue (8):
a. Sambungkan pulse oxymetri pada pasien dan lepaskan ventilator dari
pasien
b. Berikan O2 100 % ke dalam trakea dengan cara meletakkan kanula
setinggi carina.
c. Observasi secara seksama apakah ada gerakan pernapasan yaitu berupa
gerakan abdomen atau dada yang dapat menghasilkan volum tidal
ayang adekuat.
d. Periksa PO2, PCO2 dan pH setelah kira-kira 8 menit kemudian
sambungkan lagi ventilator pada pasien
e. Menentukkan hasil tes apnue :
i. Hasil Positif jika selama observasi tidak ditemukan gerakan
pernapasan dan PO2 arteri ≥ 60 mmHg atau PCO2 meningkat 20
mmHg diatas normal. Hal ini mendukung diagnosis kematian
otak.
8
ii. Hasil Negatif jika selama observasi terdapat gerakan pernapasan
dan PO2 arteri < 60 mmHg dan peningkatan PCO2 < 20 mmHg.
Hal ini tidak mendukung diagnosis kematian otak
Gambar 3 : Tes Apnue
5. Tes Atropin
Tes atropin dilakukan untuk mengetahui aktivitas parasimpatis pada aktivitas
jantung pada pasien kematian otak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menginjeksikan 2 mg atropine pada pasien kemudian EKG pasien dimonitoring
terus-menerus selama 10 menit. Hasil tes atropine negative jika denyut jantung
tidak meningkat lebih dari 3 % dari perekaman EKG sebelumnya (2).
6. Pemeriksaan konfirmasi jika terdapat indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks
batang otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien
dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas
kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan
klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes
konfirmatif (2).
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain (9):
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, dan radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila
9
tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi
bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature,
bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon)
b. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus
c. Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak
ditegakkan oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada
awal sistolik tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating
flow, mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high
vascular resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
besar.
7. Dokumentasi
Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang otak,
bukan saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut (10).
Semua tahap penentuan kematian otak harus didokumentasikan dengan jelas di
rekam medis.. Hal-hal yang harus didokumentasikan adalah (11) :
a. Etiologi
b. Koma irreversible
c. Tidak adanya respon motorik terhadap nyeri
d. Tidak adanya refleks batang otak selama dua waktu pemeriksaan yang
terpisah minimal 6 jam
e. Tidak adanya respirasi dengan PCO2 ≥ 60 mmHg
f. Hasil dari tes konfirmasi yang digunakan
10
Gambar 3 : contoh dokumentasi kematian otak
8. Penghentian bantuan cardio-respiratory
Setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup
harus segera dihentikan. Dalam hal pasien merupakan donor organ, terapi
bantuan hidup diteruskan sampai organ yang dibutuhkan diambil (10).
11
2.6. Faktor Perancu
Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak,
sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti
hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan
konfirmatif direkomendasikan (8):
a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat
b. Kelainan pada mata sebelumnya sebelumnya seperti kornea yang edem dan
kering serta trauma pada mata yang berat
c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,
antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade
neuromuskular
d. penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otak merupakan organ vital tubuh yang mengatur seluruh fungsi tubuh. Oleh karena itu
kematian pada otak bisa disamakan dengan kematian seluruh tubuh, walaupun mungkin
jaringan tubuh lainnya masih bertahan. Kematian otak dapat diartikan sebagai hilangnya
seluruh fungsi sereberum dan batang otak. Secara umum kematian otak ditandai dengan
koma irreversible, hilangnya refleks batang otak dan apnue. Diagnosis kematian otak
dapat dilakuakn secara primer dengan pemeriksaan fisik, namun jika terdapat factor
perancu seperti trauma servikal berat, kelainan pupil, toksisitas obat sedative dan
penyakit paru berat dapat digunakan tes konfirmasi untuk memastikan diagnosa
kematian otak.
3.2. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi klinis
diharapkan dapat memahami keadaan kematian otak dan dapat menegakkan diagnosis
kematian otak secara tepat bila kita menemukan kasus ini.
13
Daftar Pustaka
1. Jan, Mohammed M. Brain death criteria, The neurological determination of death.. 2008, Neurosciences, pp. 350-355.
2. Machado, Calixto. Diagnosis Brain Death. NCBI. [Online] 2010. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3093212/.
3. Goila, Ajay Kumar and Pawar, Mridula. The Diagnosis of Brain Death. NCBI. [Online] 2009. [Cited: Oktober 26, 2014.] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2772257/.
4. Hamid, Abdul, et al.Brain death. 2006, Malaysian Medical Council, pp. 1-20.
5. Guyton, AC and Hall, JE. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal dan metabolisme otak. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC, 1996, pp. 975-983.
6. Nakagawa, Thomas A Determination of Brain Death.. 2012.
7. Wijdicks, , Eelco F.M., et al Evidence-based guideline update: Determining brain death in adults.. 2009, American Academy of Neurology, pp. 1911-1918.
8. Wijdicks, Eelco F.M.Pratice Parameter Determining Brain Death in Adult. 1995, American Academy Neurology Journal, pp. 1-5.
9. young, Bryan G, et al. Brief Review : The role of ancillary test in neurogical determination of death. 2006, Canadian Journal of Anesthesia.
10. Menkes RI. Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor . Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 . 2014.
11. anonym. Guidelines For Determining Brain Death. s.l., New York, United state : New York State Department Of Health, 2011.
14