mbo (mati batang otak)
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakini saat detak
jantung dan pernafasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai tehnik ditemukan
untuk mempertahankan detak jantung dan pernafasan walaupun pasien telah mati,
sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan
bukan fungsi jantung dan paru.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959,
Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau koma ireversibel,
untuk mendeskripsikan keadaan ini dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma,
kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta menunjukan hasil
elektroesensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite adhoc di Harvard Medical
School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan koma ireversibel atau
kematian otak sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas, pergerakan dan pernafasan,
refleks batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya telah di identifikasi. Pada tahun
1976, The Conference of Medical Royal Colleges di inggris menyatakan bahwa kematian
otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang komplet dan ireversible.
Diagnosis mati batang otak (MBO) dan prtunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI
tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai komponen utama, komponen pertama terdiri
dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang
otak.
1.2. Tujuan
1. Memberikan informasi mengenai mati batang otak (MBO).
2. Menjelaskan tentang Mati Batang Otak (MBO).
1.3. Manfaat
1. Untuk memahami tentang Mati Batang Otak (MBO).
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Mati
Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerakan nafas spontan) ditambah
henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak
ireversible. Pada masa ini kematian klinis dapat diikuti dengan pemulihan semua
fungsi organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberikan terapi yang optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati
biologis merupakan proses nekrotitasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak
yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung,
ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversible serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan
batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan
kerusakan berat ireversible pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif,
tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini
harus dibedakan dari mati serebral yang hasil EEG nya tenang dan dari mati otak,
dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada
keadaan vegetatif mungkin terdapat siklus sadar-tidur.
2.2. Definisi Mati Batang Otak
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan
kematian otak dalam kata-kata sangat sulit. Pada panduan Australian and new zealand
intensive care society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak
didefinisikan sebagai berikut. “ Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk
pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversible, dan hilangnya respon refleks
batang otak dan fungsi pernafasan pusat secara ireversible, atau berhentinya aliran
darah intra kranial secara ireversible ”.
3
Menurut kriteria komite adhoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi
secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adnya resepsi dan respon terhadap
rangsang, tidak adanya pergerakan nafas, dan tidak adanya refleks-refleks, yaitu
respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji pergelangan kepala
dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks
menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam,
dan refleks terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yaitu EEG
yang isoelektris. Kedua tes tersebut diulangi 24 jam setelah tes pertama, dengan syarat
tanpa adanya hipotermia (suhu <32,20C) atau pemberian depresan sistem saraf pusat
seperti barbiturat.
Menurut Uniform Determination of Death Act, seseorang dinyatakan mati otak
apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversible dan
(2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak secara
ireversible. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut
jantung dan usaha nafas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi
otak dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa
absennya refleks-refleks.
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversible, termasuk batang
otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks
batang otak dan apnea.
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (pemeriksaan tes refleks batang otak dan
apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan
kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung
diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak
tidak dapat ditegakan.
2.3. Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks
batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan
kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran pada
dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik.
4
Penyebab umum kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial,
hipoksia, overdosis obat, tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan
bunuh diri.
2.4. Fisiologi Cardio Respiratory
2.4.1. Fisiologi Pernafasan
Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen,pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di
dalam tubuh. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas
dan membuang karbondioksida ke lingkungan. Sistem pernafasan terdiri dari
pada hidung, trakea, paru-paru, tulang rusuk, otot interkosta, bronkus,
bronkiol, alveolus dan diafragma. Udara disedot ke dalam paru-paru melalui
hidung dan trakea. Dinding trakea disokong oleh gelang rawan supaya
menjadi kuat dan sentiasa terbuka Trakea bercabang kepada bronkus kanan
dan bronkus kiri yang disambungkan kepada paru-paru. Kedua-dua bronkus
bercabang lagi kepada bronkiolus dan alveolus pada ujung
bronkiolus.Alveolus mempunyai penyesuaian berikut untuk memudahkan
pertukaran gas :
1. Diliputi Kapiler darah yang banyak
2. Dinding sel yang setebal Satu sel (Dinding sel yang tipis)
3. Permukaan yang luas dan lembab
Mekanisma ini terbahagi kepada tarikan nafas dan hembusan nafas, Ia
melibatkan perubahan kepada :
1. Otot Interkosta
2. Tulang rusuk
3. Diafragma
4. Isi pada rongga toraks
5. Tekanan udara di paru-paru
5
Pada saat akan inspirasi, Otot interkosta luar mengecut (Tulang rusuk
dinaikkan ke atas), otot diafragma mengecut (diafragma menjadikannya
leper), isi pada rongga toraks bertambah dan tekanan udara paru-paru
menjadi rendah , tekanan udara di luar yang lebih tinggi sehingga membuat
udara masuk kedalam paru-paru. Sedangkan pada saat ingin ekspirasi, Otot
interkosta luar mengendur (Tulang rusuk dmenurun ke bawah, otot
diafragma mengendur (diafragma melengkung ke atas), isi pada rongga
toraks berkurang dan tekanan udara paru-paru menjadi tinggi, tekanan udara
dalam paru-paru yang lebih tinggi sehingga membuat udara keluar.
a. Pernafasan Eksternal
Ketika kita menghirup udara dari lingkungan luar, udara tersebut akan
masuk ke dalam paru-paru. Udara masuk yang mengandung oksigen
tersebut akan diikat darah lewat difusi. Pada saat yang sama, darah yang
mengandung karbondioksida akan dilepaskan. Proses pertukaran oksigen
(O2) dan karbondioksida (CO2) antara udara dan darah dalam paru-paru
dinamakan pernapasan eksternal.
Saat sel darah merah (eritrosit) masuk ke dalam kapiler paru-paru,
sebagian besar CO2 yang diangkut berbentuk ion bikarbonat (HCO- 3) .
Dengan bantuan enzim karbonat anhidrase, karbondioksida (CO2) air
(H2O) yang tinggal sedikit dalam darah akan segera berdifusi keluar.
Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut.
Seketika itu juga, hemoglobin tereduksi (yang disimbolkan HHb)
melepaskan ion-ion hidrogen (H+) sehingga hemoglobin (Hb)-nya juga
ikut terlepas. Kemudian, hemoglobin akan berikatan dengan oksigen (O2)
menjadi oksihemoglobin (disingkat HbO2).
Proses difusi dapat terjadi pada paru-paru (alveolus), karena
adaperbedaan tekanan parsial antara udara dan darah dalam alveolus.
Tekanan parsial membuat konsentrasi oksigen dan karbondioksida pada
darah dan udara berbeda.
Tekanan parsial oksigen yang kita hirup akan lebih besar dibandingkan
tekanan parsial oksigen pada alveolus paru-paru. Dengan kata lain,
konsentrasi oksigen pada udara lebih tinggi daripada konsentrasi oksigen
6
pada darah. Oleh karena itu, oksigen dari udara akan berdifusi menuju
darah pada alveolus paru-paru.
Sementara itu, tekanan parsial karbondioksida dalam darah lebih besar
dibandingkan tekanan parsial karbondioksida pada udara. Sehingga,
konsentrasi karbondioksida pada darah akan lebih kecil di bandingkan
konsentrasi karbondioksida pada udara. Akibatnya, karbondioksida pada
darah berdifusi menuju udara dan akan dibawa keluar tubuh lewat hidung.
b. Pernafasan Internal
Berbeda dengan pernapasan eksternal, proses terjadinya pertukaran gas
pada pernapasan internal berlangsung di dalam jaringan tubuh. Proses
pertukaran oksigen dalam darah dan karbondioksida tersebut berlangsung
dalam respirasi seluler.
Setelah oksihemoglobin (HbO2) dalam paru-paru terbentuk, oksigen
akan lepas, dan selanjutnya menuju cairan jaringan tubuh. Oksigen
tersebut akan digunakan dalam proses metabolisme sel. Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut.
Proses masuknya oksigen ke dalam cairan jaringan tubuh juga melalui
proses difusi. Proses difusi ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan
parsial oksigen dan karbondioksida antara darah dan cairan jaringan.
Tekanan parsial oksigen dalcairan jaringan, lebih rendah dibandingkan
oksigen yang berada dalam darah. Artinya konsentrasi oksigen dalam
cairan jaringan lebih rendah. Oleh karena itu, oksigen dalam darah
mengalir menuju cairan jaringan.
Sementara itu, tekanan karbondioksida pada darah lebih rendah
daripada cairan jaringan. Akibatnya, karbondioksida yang terkandung
dalam sel-sel tubuh berdifusi ke dalam darah. Karbondioksida yang
diangkut oleh darah, sebagian kecilnya akan berikatan bersama
hemoglobin membentuk karboksi hemoglobin (HbCO2).
Namun, sebagian besar karbondioksida tersebut masuk ke dalam
plasma darah dan bergabung dengan air menjadi asam karbonat (H2CO3).
Oleh enzim anhidrase, asam karbonat akan segera terurai menjadi dua ion,
yakni ion hidrogen (H+) dan ion bikarbonat (HCO-) Persamaan reaksinya
sebagai berikut.
7
CO2 yang diangkut darah ini tidak semuanya dibebaskan ke luar
tubuh oleh paru-paru, akan tetapi hanya 10%-nya saja. Sisanya yang
berupa ion-ion bikarbonat yang tetap berada dalam darah. Ion-ion
bikarbonat di dalam darah berfungsi sebagai bu. er atau larutan
penyangga. Lebih tepatnya, ion tersebut berperan penting dalam menjaga
stabilitas pH (derajat keasaman) darah.
c. Pengaturan Kimiawi Pernafasan
Tujuan akhir pernafasan adalah untuk mempertahankan konsentrasi
oksigen, karbonsida, dan ion hidrogen yang sesuai dalam jaringan.
Untungnya, aktifitas pernafasan sangat rensponsif terhadap perubahan
masing-masing konsentrasi tersebut. Kelebihan karbon dioksida atau
kelebihan hidrogen dalam darah terutama bekerja langsung pada pusa
pernafasan itu sendiri, menyebabkan kekuatan sinyal motorik inspirasi
dan inspirasi ke otot-otot pernafasan sangat meningkat. Oksigen,
sebaliknya tidak memiliki efek langsung yang bermakna terhadap pusat
pernafasan di otak dalam pengaturan pernafasan. Justru, oksigen bekerja
hampir seluruhnya pada kemoreseptor perifer yang terletak di badan-
badan karotis dan aorta dan kemudian mentransfususikan semua sinyal
syaraf yang sesuai ke pusat pernafasan untuk mengatur pernafasan.
System Kemoreseptor perifer untuk mengatur aktivitas pernafasan-peran
oksigen dalam pengaturan pernafasan Selain pengaturan aktifitas
pernafasan oleh pusat pernafasan itu sendiri, masih ada mekanisme lain
yang tersedia untuk mengatur pernafasan. Mekanisme ini adalah system
kemoreseptor perifer. Reseptor kimia saraf khusus, yang disebut
kemoreseptor, terletak di beberapa area diluar otak. Reseptor ini
khususnya penting untuk mendeteksi perubahan oksigen dalam darah,
walaupun reseptor itu juga sedikit berespon terhadap perubahan
konsentrasi karbon dioksida dan ion hidrogen. Kemoreseptor
mentransmisikan sinyal syaraf ke pusat pernafasan diotak untuk
membantu mengatur aktifitas pernafasan. Sebagian besar kemoreseptor
terletak dibadan karotis. Namun, dalam jumlah yang sedikit terletak juga
dibadan aorta, dan dalam jumlah yang sedikit terletak ditempat lain yang
berkaitan dengan arteri-arteri lainnya dari region toraks dan region
8
abdomen tubuh. Badan karotis terletak bilateral pada percabangan arteri
karotis komunis. Serabut saraf aferen berjalan melalui nerfus Hering ke
nervus Glosofanringeus dan kemudian ke area pernafasan dorsal di
medulla. Badan aorta terletak disepanjang arkus aorta, serabut saraf
arferennya berjalan mlalui nervus fagus, juga ke area pernafasan dorsal
medulla. Tiap-tiap badan kemoreseptor ini menerima suplai darah khusus
miliknya sendiri melalui arteri kecil secara langsung dari arteri besar
yang berdekatan. Darah yang mengalir melalui badan-badan ini bersifat
ekstrim, yaitu 20x berat badannya sendiri setiap menit. Oleh karena itu,
presentase pemindahan oksigen dari darah yang mengalir sebetulnya nol.
Hal ini berarti bahwa kemoreseptor setiap saat terekspos dengan darah
arteri bukan dengan vena, dan PO2 arteri.
Perangsangan kemoreseptor akibat penurunan oksigen arteri. Bila
konsentrasi oksigen darah arteri menurun dibawah normal, kemoreseptor
menjadi sangat terangsang. Kecepatan impuls terutama sensitive pada
perubahan Po 2 arteri dalam kisaran antara 60 turun sampai 30 mmHg,
yaitu kisaran saturasi hemoglobin dengan penurunan oksigen yang cepat.
Efek karbondioksida dan konsentrasi ion hydrogen pada aktifitas
kemoreseptor. Peningkatan konsentrasi karbondioksida atau konsentrasi
ion hidrogen juga mengeksitasi kemo reseptor dan dengan cara ini, secara
tidak langsung meningkatkan aktifitas pernafasan. Namun, efek langsung
dari kedua faktor ini pada pusat pernafasannya sendiri jauh lebih kuat
daripada efek tidak langsung yang diperantarai kemoreseptor (kurang
lebih tujuh kali lebih kuat) sehingga untuk tujuan praktisnya, efek tidak
langsung karbondioksida dan ion hydrogen melalui kemoreseptor ini
tidak perlu dipikirkan. Ternyata terdapat satu perbedaan antara pengaruh
karbondioksida perifer dengan karbondioksida sentral: perangsangan
melalui kemoreseptor perifer timbul lima kali lebih cepat daripada
perangsangan sentral, sehingga kemungkinan kemoreseptor perifer
terutama penting dalm meningkatkan kecepatan respons terhadap
karbondioksida pada saat latihan fisik dimulai.
Mekanisme dasar perangsangan kemoreseptor akibat kekurangan
oksigen. Belum diketahuisecara pasti bagaimana Po2 yang rendah
mengeksitasi ujung-ujung syaraf dalam badan karotis dan badan aorta.
9
Tetapi badan-badan ini mempunyai banyak macam sel mirip kelenjar
yang sangat karakteristik,disebut sel glomus, yang bersinaps secara
langsung maupun tidak langsung dengan ujung-ujung syaraf. Beberapa
peneliti menduga bahwa sel glomus ini mungkin berfungsi sebagai
kemoreseptor dan kemudian merangsang ujung-ujung syaraf. Tetapi
peneliti lain menduga bahwa ujung-ujung saraf itu sendiri secara
langsung sensitif terhadap PO2 yang rendah.
Pengaruh PO2 arteri yang rendah terhadap perangsangan
ventilasi alveolus ketika karbon dioksida arteri dan konsentrasi ion
hidrogen normal, rangsang ventilasi yang diakibatkan oleh efek oksigen
yang rendah pada kemoseptor yang aktif. Pada tekanan yang lebih rendah
dari 100 mm Hg, ventilasi akan berlangsung kira-kira menjadi dua kali
lipat bila Po 2 arteri turun sampai 60 mm Hg dan dapat meningkat
sebanyak lima kali lipat pada Po 2 yang sangat rendah.
Pernafasan pada oksigen rendah yang kronik merangsang
pernafasan yang lebih dalam lagi fenomena aklimatisasi, terjadinya
aklimatisasi adalah bahwa dalam waktu 2 atau 3 hari, pusat pernafasan di
batang otak kehilangan sekitar empat perlima sensivitasnya terhadap
perubahan Po 2 dan ion hidrogen. Oleh karena itu, ventilasi
penghembusan karbon dioksida yang terlalu banyak yang normalnya
akan menghambat peningkatan pernafasan gagal terjadi, dan oksigen
yang rendah dapat merangsang sistem pernafasan untuk mencapai nilai
ventilasi alveolus yang jauh lebih tinggi daripada dalam kondisi akut.
Berbeda dengan peningkatan 70 persen peningkatan ventilasi
yangmungkin terjadi setelah kontak terhadap oksigen yang rendah akut,
ventilasi alveolus seringkali meningkat 400 sampe 500 persen setelah 2
sampai 3 hari dalam keadaan oksigen rendah, hal ini sangat membantu
dalam mensuplai oksigen tambahan bagi pendaki gunung.
Pengaturan pernafasan selama latihan fisik, pada latihan fisik yang
berat, pemakaian oksigen dan pembentukan karbon dioksida dapat
meningkat sampai 20 kali lipat.Po 2, Pco 2 dan Ph arteri tetap hampir
mendekati normal. Hal ini masih dipertanyakan karena Pco 2, Ph dan Po
2 arteri memperlihatkan bahwa tidak satu pun dari ketiga nilai ini
berubah secara bermakna selama latihan fisik, sehingga tidak satu pun
10
menjadi cukup abnormal untuk merangsang pernafasan. Otak, ketika
mentransmisikan impuls motorik ke otot yang berlatih dianggap
mentransmisikan impuls kolateral ke batang otak pada saat yang sama
untuk mengesitasi pusat pernafasan. Hal ini analog dengan perangsangan
pusat vasomotor di batang otak salama latihan fisik yang mengakibatkan
peningkatan total yang cukup besar mulai terjadi segera setelah latihan
fisik di mulai, sebelum semua bahan kimiawi darah memiliki waktu
untuk berubah. Kemungkinan sebagian besar peningkatan pernafasan
diakibatkan oleh sinyal neurogenik yang ditransmisikan secara langsung
ke dalam pusat pernafasan batang otak pada waktu bersamaan dengan
sinyal yang menuju otot-otot tubuh untuk menimbulkan kontraksi otot.
Hubungan timbal balik antara faktor kimiawi dan faktor saraf
dalam mengatur pernafasan selama latihan fisik, sinyal saraf langsung
merangsang pusat pernafasan dalam tingkat yang hampir sesuai dengan
penyediaan kebutuhan oksigen tambahan yang dibutuhkan selama latihan
fisik, dan membuang karbon dioksida ekstra.pada saat latihan fisik
dimulai, ventilasi alveolus dengan segera meningkat tanpa didahului
peningkatan Pco 2 arteri. Kenyataanya peningkatan ventilasi alveolus ini
biasanya cukup besar sehingga pada awalnya menurunkan Pco 2 arteri di
bawah normal. Ventilasi mendahului peningkatan pembentukan karbon
dioksida dalam darah, sehingga otak mengadakan suatu rangsangan
³antisipasi´ pernafasan pada permulaan latihan, menghasilkan ventilasi
alveolus ekstra bahkan sebelum dibutuhkan. Setelah kira-kira 30 sampai
40 detik, jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke dalam darah dari
otot aktif hampir sama dengan peningkatan kecepatan ventilasi dan, Pco
2 arteri kembali normal bahkan ketika latihan berlangsung. Faktor
neurogenetik menggeser kurva ke arah atas sekitar 20 kali lipat, sehingga
ventilasi hampir bersesuaian dengan kecepatan pelepasan karbon
dioksida, dengan demikian dapat mempertahankan Pco2 arteri untuk
mendekati nilai normalnya.
Faktor neurogenetik untuk mengatur ventilasi selama latihan
kemungkinan merupakan respon yang dipelajari, kemampuan otak
untuk menggeser kurva respons ventilasi selama latihan fisik merupakan
respons yang dipelajari. Artinya, dengan periode latihan yang berulang-
11
ulang,otak secara progresif menjadi lebih mampu untuk menghasilkan
berbagai sinyal otak yang sesuai, yang dibutuhkan untuk
mempertahankan Pco 2 darah pada nilai normalnya. Terdapat alasan
untuk mempercayai bahwa korteks serebral terlibat dalam pembelajaran
ini, karena berbagai penelitian yang melakukan blockade terhadap
respons yang dipelajari.
2.4.2. Fisiologi Jantung
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah
(disebut diastol). Selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah
keluar dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua Atrium mengendur dan
kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan. Darah
yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak karbondioksida (darah
kotor) dari seluruh tubuh mengalir melalui dua vena terbesar (vena kava)
menuju ke dalam Atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan
mendorong darah ke dalam ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan akan
dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke
paru-paru. Darah akan mengalir melalu pembuluh yang sangat kecil (kapiler)
yang mengelilingi kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan
melepaskan karbondioksida yang selanjutnya dihembuskan. Darah yang kaya
akan oksigen (darah bersih) mengalir di dalam vena pulmonalis menuju ke
serambi kiri. Peredaran darah di antara bagian kanan jantung, paru-paru dan
atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner. Darah dalam atrium kiri akan
didorong menuju ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah
bersih ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar dalam
tubuh). Darah kaya oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-
paru.
Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh
potensial aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung
berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang
ditimbulkan sendiri, suatu sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Terdapat
dua jenis khusus sel otot jantung yaitu 99% sel otot jantung kontraktil yang
melakukan kerja mekanis, yaitu memompa. Sel – sel pekerja ini dalam
keadaan normal tidak menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya,
12
sebagian kecil sel sisanya adalah, sel otoritmik, tidak berkontraksi tetapi
mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang
bertanggungjawab untuk kontraksi sel – sel pekerja.
Kontraksi otot jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel
otoritmik. Penyebab pergeseran potensial membran ke ambang masih belum
diketahui. Secara umum diperkirakan bahwa hal itu terjadi karena penurunan
siklis fluks pasif K+ keluar yang langsung bersamaan dengan kebocoran
lambat Na+ ke dalam. Di sel – sel otoritmik jantung, antara potensial -
potensial aksi permeabilitas K+ tidak menetap seperti di sel saraf dan sel otot
rangka. Permeabilitas membran terhadap K+ menurun antara potensial -
potensial aksi, karena saluran K+ diinaktifkan, yang mengurangi aliran
keluar ion kalium positif mengikuti penurunan gradien konsentrasi
mereka.Karena influks pasif Na+ dalam jumlah kecil tidak berubah, bagian
dalam secara bertahap mengalami depolarisasi dan bergeser ke arah
ambang.Setelah ambang tercapai, terjadi fase naik dari potensial aksi sebagai
respon terhadap pengaktifan saluran Ca2+ dan influks Ca2+ kemudian; fase
ini berbeda dari otot rangka, dengan influks Na+ bukan Ca2+ yang
mengubah potensial aksi ke arah positif. Fase turun disebabkan seperti
biasanya, oleh efluks K+ yang terjadi karena terjadi peningkatan
permeabilitas K+ akibat pengaktifan saluran K+.Setelah potensial aksi usai,
inaktivasi saluran – saluran K+ ini akan mengawali depolarisasi berikutnya.
Sel – sel jantung yang mampu mengalami otortmisitas ditemukan pada nodus
SA, nodus AV, berkas His dan serat purkinje.
Sebuah potensial aksi yang dimulai di nodus SA pertama kali akan
menyebar ke atrium melalui jalur antar atrium dan jalur antar nodus lalu ke
nodus AV. Karena konduksi nodus AV lambat maka terjadi perlambatan
sekitar 0,1 detik sebelum eksitasi menyebar ke ventrikel. Dari nodus AV,
potensial aksi akan diteruskan ke berkas His sebelah kiri lalu kanan dan
terakhir adalah ke sel purkinje.
Potensial aksi yang timbulkan di nodus SA akan menghasilkan
gelombang depolarisasi yang akan menyebar ke sel kontraktil melalui gap
junction.
Kontraksi otot jantung dilihat dari segi biokimia, otot terdiri dari aktin,
miosin, dan tropomiosin. Aktin, G aktin monomerik menyusun protein otot
13
sebanyak 25 % berdasarkan beratnya. Pada kekuatan ion fisiologik dan
dengan adanya ion Mg2+ akan membentuk F aktin. Miosin, turut menyusun
55 % protein otot berdasarkan berat dan bentuk filamen tebal. Miosin
merupakan heksamer asimetrik yang terdiri 1 pasang rantai berat dan 2
pasang rantai ringan. Troponin ada 3 jenis yaitu troponin T yang terikat pada
tropomiosin, troponin I yang menghambat interaksi F aktin miosin dan
troponin C yang mengikat kalsium.
Mekanisme kontraksi otot, adanya eksitasi pada miosit akan
menyebabkan peningkatan kadar Ca2+ di intraseluler.Eksitasi akan
menyebabkan Ca2+ msk dari ECM ke intrasel melalui L type channels lalu
Ca2+ tersebut akan berikatan dengan reseptor ryanodin- sensitive reseptor di
Sarkoplasmik retikulum dan akan dihasilkan lebih banyak lagi Ca 2+ ( CICR
= Ca2+ induced Ca2+ release). Kalsium yang masuk akan berikatan dengan
troponin C dan dengan adanya energi dari ATP akan menyebabkan kepala
miosin lepas dari aktin dan dengan ATP berikutnya akan menyebabkan
terdorongnya aktin ke bagian dalam ( M line ). Proses ini terjadi berulang –
ulang dan akhirnya terjadi kontraksi otot.
Sumber ATP untuk kontraksi berasal dari anaerob glikolisis,
glikogenolisis, kreatin fosfat, dan fosforilasi oksidatif. SumberATP pertama
sekali adalah cadangan ATP, setelah itu menggunakan kreatin fosfat diikuti
dengan glikolisis anaerob, lalu glikolisis aerob dan akhirnya lipolisis.
2.5. Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat
tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK
meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS)
mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi.
Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata
sekitar 50 sampai 60 milimeter per 100 gram otak permenit. Untuk seluruh otak kira-
kira beratnya 1200-1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran
darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dala waktu 5
sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel
otak yang kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah
ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang
14
bersifat ireversible. Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh
kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah
konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen.
Peningkatan karbon dioksida maupun hidrogen akan meningkatkan aliran darah
serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatan aliran darah
serebral.
Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran
oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara
reversible atau ireversible. Percobaan pada binatang menunjikan aliran darah otak
dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23ml/100mg/menit (normal
55ml/100mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas
23ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak
dibawah 8-9ml/100mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung lamanya.
Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak antara 8-23ml/100mg/menit.
Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat secara parsial, maka
daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekuranghan oksigen. Daerah
tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati (1) tekanan perfusi yang
rendah, (2) PO2 turun, (3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan pengaturan
vasomotor dalam daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik
itu dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada
perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah
perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah
iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan pengaturan
vasomotor. Disitu akan berkembang proses degrenerasi yang ireversible. Semua
pembuluh darah di bagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehingga berada
dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih dapat diperbaiki, oleh karena sel-sel
otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama.
Tetapi sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel
dengan pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri)
merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan
leukosit. Akhirnya sel-sel akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai
dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
15
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan
aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan zinc
neuron, aktifasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria.
2.6. Kriteria Mati Batang Otak
Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé
(koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya
kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram (EEG)
yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite Adhoc pada Fakultas Kedokteran
Harvard meninjau kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai
koma ireversibel atau kematian otak, yaitu adalah tidak adanya respon terhadap
stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan koma yang
penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai
24 jam.
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak
sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan
tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris
pada tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak
dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap
dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya
perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat
dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981 komisi
presiden untuk studi masalah etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang
perilaku menerbitkan pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan
tes konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan
merekomendasikan periode 24jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan
kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat untuk menentukan kematian otak.
Akhir-akhir ini, Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti
dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini
secara spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan
tes konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam
praktek.Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode
terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya.
16
2.6.1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria
Harvard”, kunci diagnosis tersebut adalah:
Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive
coma).
Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
EEG datar.
Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian
2.6.2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang
disarankan mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan
Chou mengusulkan “Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang
dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan
aktivitas EEG karena masih dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan
untuk konfirmasi, elemen kunci kriteria Minnesota adalah:
Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya
refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye
movement, hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya
refleks tonus leher.
Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam.
Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah
sebagai berikut:
Hilangnya fungsi serebral.
Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan.
Bersifat ireversibel.
17
Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan
spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh
rangsang visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin
saja ada. EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan
banyak lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral
Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG
datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt
selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa
tidak adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak.
Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan
hipotermia dan intoksikasi obat-obatan hipnotik-sedatif.
Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi
pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular,
orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus
noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek,
apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak
melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama
15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama
beberapa menit untuk memastikan bahwa PCO 2 arteri meningkat di atas
ambang untuk merangsang pernapasan spontan.
Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak
hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan
bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan
komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan tidak
ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk
memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi
serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna
menyebabkan terjadinya kematian otak.
2.7. Penetapan Diagnosa Mati Batang Otak
Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan
kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan
dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes
18
neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi
ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan
dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu.
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain
yang perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes
refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak
ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan
kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan.Pemeriksaan
neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami kematian otak atau
tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi.
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami
kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi:
Penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya
gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin.
Tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau
sama dengan 32 o C.
Tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler.
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang
mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom
dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan
diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi.
Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten
dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan
pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien
diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari
kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas.
Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial
primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah
pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung,
hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia serebri yang
jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak maka penegakan
diagnosis akan memakan waktu lebih lama.
19
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis
kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien
tidak responsif dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau
lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun.
Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi
tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan
fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level
serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau
benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi
harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler
apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle relaxant).
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien
direkomendasikan harus di atas 35oC sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu,
harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi
arteri. Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal berikut:
Evaluasi kasus koma
Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien
Penilaian klinis awal refleks batang otak
Periode interval observasi
o Sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
o Usia lebih dari 2 bulan - < 1 tahun, periode interval observasi 24 jam
o Usia lebih dari 1 tahun - < 18 tahun, periode interval observasi 12 jam
o Usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
Penilaian klinis ulang refleks batang otak
Tes apnea
Pemeriksaan konfirmatif apabila terdapat indikasi
Persiapan akomodasi yang sesuai
Sertifikasi kematian batang otak
Penghentian penyokong kardiorespirasi
2.7.1. Evaluasi Kasus koma
Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus koma
ireversibel beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera kepala berat,
20
perdarahan intraserebral hipertensif, perdarahan subarachnoid, jejas otak
hipoksik-iskemik, dan kegagalan hepatik fulminan adalah merupakan
penyebab potensial hilangnya fungsi otak yang bersifat ireversibel. Dokter
perlu menilai tingkat dan reversibilitas koma, serta potensi berbagai kerusakan
organ. Dokter juga harus menyingkirkan berbagai faktor perancu, seperti
intoksikasi obat, blokade neuromuskular, hipotermia, atau kelainan metabolik
lain yang dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi reversible.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap
stimulus nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi
temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari Koma dalam adalah tidak
adanya respon motorik cerebral terhadap rangsang nyeri pada seluruh
ekstremitas (nail-bed pressure) dan penekanan di supraorbital. 19 Yang harus
diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon motorik
“Lazarus sign” yang dapat terjadi secara spontan selama tes apnea, seringkali
pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal. Agen
penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan kelemahan motorik yang
cukup lama.
Gambar 1. Tes Rangsang Nyeri
2.7.2. Penilaian Klinis Refleks Batang Otak
Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks
pada mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak,
pasien kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla
oblongata adalah bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa
jam dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh,
dan selama periode tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada
kasus yang jarang dimana terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada,
21
ditemukan tekanan darah normal, respon batuk setelah suction trakhea, dan
takhikardia setelah pemberian 1 mg atropine.
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak
oleh minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa
jam. Tiga temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam,
hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes
apnea) secara khas dilakukan setelah evaluasi refleks batang otak yang kedua.
Hilangnya refleks batang otak:
Pupil:
a) Tidak terdapat respon terhadap cahaya atau refleks cahaya negatif
b) Ukuran: midposisi (4 mm) sampai dilatasi (9 mm)
Gerakan bola mata /gerakan okular:
a) Refleks oculocephalic negatif
Pengujian dilakukan hanya apabila secara nyata tidak terdapat retak atau
ketidakstabilan vertebrae cervical atau basis kranii.
b) Tidak terdapat penyimpangan atau deviasi gerakan bola mata terhadap
irigasi 50 ml air dingin pada setiap telinga. Membrana timpani harus tetap
utuh, pengamatan 1 menit setelah suntikan, dengan interval tiap telinga
minimal 5 menit.
Respon motorik facial dan sensorik facial:
a) Refleks kornea negatif
b) Jaw reflex negatif (optional)
c) Tidak terdapat respon menyeringai terhadap rangsang tekanan dalam
pada kuku, supraorbita, atau temporomandibular joint.
Refleks trakea dan faring:
a) Tidak terdapat respon terhadap rangsangan di faring bagian posterior
b) Tidak terdapat respon terhadap pengisapan trakeobronkial
(tracheobronchial suctioning).
22
Tes A pnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang
otak yang kedua dilakukan. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi
prasyarat terpenuhi, yaitu:
a. Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7 °F
b. Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
c. PaCO 2 normal (PaCO 2 arterial ≥ 40 mmHg)
d. PaO 2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO 2 arterial ≥ 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
b. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul
setinggi carina)
c. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
d. Ukur PaO 2 , PaCO 2 , dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian
ventilator disambungkan kembali.
e. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO 2 ≥ 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO 2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes
apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian
batang otak).
f. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
g. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik
turun sampai < 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal
sesuai usia pada pasien < 18 tahun), atau pulse-oxymeter
mengindikasikan adanya desaturasi oksigen yang bermakna, atau terjadi
aritmia kardial.
Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
Apabila PaCO2 ≥ 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 ≥ 20 mmHg di
atas nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
Apabila PaCO2 < 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg
diatas nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan
dan perlu dilakukan tes konfirmasi.
23
2.7.3. Pemeriksaan Konfirmatif Jika Terdapat Indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak
diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan
refleks batang otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa
pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium,
instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya
pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu
dilakukan tes konfirmatif. Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan
sangat tergantung pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan,
kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif
yang biasa dilakukan antara lain:
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, dan radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi
bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi.
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit.
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau
vasculature, bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon).
d. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus.
e. Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik
tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow,
mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high vascular
resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang besar.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
24
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan
pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang definisi
kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru, dimana
kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis. Kematian otak kebanyakan
diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan intrakranial. Kriteria untuk
kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak didefinisikan sebagai
hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan
penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea.
Pada pasien, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan
kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak
bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang
otak. Jika kematian otak telah didiagnosis berdasarkan kriteria klinis dasar diatas, dokter
dan keluarga harus sadar bahwa kematian otak sama dengan kematian pasien.
3.2. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi klinis
diharapkan dapat memahami keadaan mati batang otak dan dapat menegakkan diagnosis
mati batang otak secara tepat sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus
ini kita dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
25
Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi klinis dasar. Jakarta Dian Rakyat.2004.
Hal.280
Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran, Edisi 11. Jakarta.EGC. 2007. Hal 107-
119, 495-538
Dorland, W.A.N. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta. EGC. 2002
Wilson LM. Sistem saraf dalam Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 2.
Jakarta. EGC.1994. Hal.902.
Jawetz, Melnick & Adelberg . Mikrobiologi kedokteran, Edisi 20, EGC Jakarta, 1996