referat laryngopharyngeal reflux.docx

41
REFERAT LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG DISUSUN OLEH: DINDA VALUPI NURFITRIANI (406138079) PEMBIMBING: dr. H.R.Krisnabudhi, Sp.THT-KL KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT-KL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PERIODE 7 JULI 2014 – 9 AGUSTUS 2014

Upload: dindavalupi

Post on 19-Dec-2015

233 views

Category:

Documents


59 download

TRANSCRIPT

Dinda Valupi Nurfitriani4

Dinda Valupi Nurfitriani(406138079)REFERAT

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGASPROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERANBAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KLRUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONG

DISUSUN OLEH:DINDA VALUPI NURFITRIANI(406138079)

PEMBIMBING:dr. H.R.Krisnabudhi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT THT-KLRUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIBINONGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARAPERIODE 7 JULI 2014 9 AGUSTUS 2014

BAB IPENDAHULUAN

Refluks menurut literatur adalah aliran balik. Kata ini diambil dari bahasa latin yaitu re yang bermakna balik atau kembali dan fluere yang artinya mengalir. Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta saluran pencernaan atas. LPR dapat menyebabkan iritasi dan perubahan pada laring.Pada tahun 1996, diperkenalkan istilah penyakit refluks laring faring (LPR) untuk penyakit ini. Amerika Serikat beranggapan LPR merupakan bentuk lain dari Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) karena pada pasien LPR tidak perlu ditemukan gejala spesifik GERD seperti rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Lebih jauh lagi pada kebanyakan pasien dengan LPR refluks asam di esofagus bagian bawah normal dan pasien LPR tidak didiagnosis sebagai GERD. Walaupun penyebab kedua penyakit tersebut sama, LPR harus dibedakan dari GERD. Pasien dengan LPR biasanya mempunyai keluhan di daerah kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan keluhan klasik seperti esofagitis dan rasa panas di dada (heartburn). Perbedaan ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan pengobatan yang agak berbeda. Dikenal berbagai istilah LPR seperti GERD supraesofagus, GERD atipikal, komplikasi ekstra esofagus dari GERD, refluks laryngeal, gastrofaringeal refluks, refluks supraesofageal dan refluks ekstraesofageal. Sekarang LPR dianggap sebagai penyakit yang berbeda dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda pula. Inflamasi jaringan laring yang disebabkan LPR mudah rusak karena intubasi sehingga mempermudah progesifitas menjadi granuloma dan dapat berubah menjadi stenosis subglotik. Dalam menentukan diagnosis LPR perlu dilakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan penunjang seperti laringoskopi fleksibel, pH dan lain-lain. Pengobatan LPR meliputi kombinasi diet, modifikasi perilaku, antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor (PPI) dan tindakan bedah.1

BAB IIEMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING DAN LARING

2.1. Embriologi faring dan laringFaring, laring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakea menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan alur kearah kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. Bagian yang paling proksimal dari tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago,otot dan sebagian besar pita suara (korda vokalis) berbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya.2Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan perkembangan arkus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari aparatus brankialis.2

2.2. Anatomi faring2.2.1. Anatomi faringFaring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini muali dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke 6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Kedepan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): 1. Selaput lendir; 2. Fasia faringobasiler; 3. Pembungkus otot; 4. Sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagia atas: 1. Nasofaring; 2. Orofaring; 3. Laringofaring. Unsur-unsur faring meliputi: 1. Mukosa; 2. Palut lendir (mucous blanket); 3. Otot.32.2.2. Vaskularisasi faringFaring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a. maksila interna yakni cabang palatina superior.32.2.3. Persarafan faringPersarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari nervus glosofaring dan serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang dipersarafi langsung olaeh cabang nervus glosofaring (n.IX).32.3. Anatomi laring2.3.1. Anatomi laringLaring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan. 4 Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adams apple atau jakun. 4 Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra servikal oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. 4

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamen serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.4

Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah: 1.kartilago; 2.ligamentum; 3.otot-otot.4

2.3.2. Kartilago laringKartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : Kelompok kartilago mayor, terdiri dari: 1. Kartilago Tiroidea (1 buah); 2. Kartilago Krikoidea (1 buah); 3. Kartilago Aritenoidea (2 buah). Kelompok kartilago minor, terdiri dari : 1.Kartilago Kornikulata Santorini (2 buah); 2. Kartilago Kuneiforme Wrisberg (2 buah); 3. Kartilago Epiglotis (1 buah)

Gambar 2.1Tulang dan kartilago laring tampak lateral4

2.3.3. Ligamen dan membran laringLigamen dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu: A. Ligamen ekstrinsik , terdiri dari : 1. Membran tirohioid; 2. Ligamen tirohioid; 3. Ligamentum tiroepiglotis; 4. Ligamen hioepiglotis; 5. Ligamen krikotrakeal.4

Gambar 2.2Ligamen ekstrinsik.4B. Ligamen intrinsik, terdiri dari : 1. Membran quadrangular; 2. Ligamen vestibular; 3. Konus elastikus; 4. Ligamen krikotiroid media; 5. Ligamen vokalis.4

Gambar 2.3Ligamen intrinsik.4

2.3.4. Otot - otot laringOtototot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Otot-otot ekstrinsik ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan. Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3 dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea.4Otot-otot ekstrinsik terdiri atas: 1. Otot-otot suprahioid ( M. Stilohioideus M. Milohioideus, M. Geniohioideus M. Digastrikus, M Genioglosus M. Hioglosus); 2. Otot-otot infrahioid ( M. Omohioideus, M. Sternokleidomastoideus, M. Tirohiodeus).4 Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah : 1. Otot-otot adduktor (Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik , M. Krikotiroideus, M. Krikotiroideus lateral); 2. Otot-otot abduktor (M. Krikoaritenoideus posterior); 3. Otot-otot tensor (M. Tiroaritenoideus, M. Vokalis, M. Krikotiroideus).4 Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, M. tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.4

2.3.5. Vaskularisasi laringLaring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior. Arteri Laringeus Superior berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis. Arteri Laringeus Inferior berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus Inferior. Darah vena yang dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan inferior ke V. Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.5,11

2.3.6. Persarafan laringLaring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.5Nn. Laringeus Superior meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang dua, yaitu : 1.Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati; 2. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m. Konstriktor inferior.4N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren) berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan : 1. Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea; 2. Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea.5

2.4. Fisiologi faringFungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi. Dalam fungsi menelan terdapat 3 fase yaitu 1. Fase oral; 2. Fase faringal; 3. Fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal yaitu waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan mula-mula melibatkan M.salpingofaring dan M.palatofaring. kemudian M.elevator veli palatini bersama-sama M.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring M.elevator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.3

2.5. Fisiologi laringLaring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :7 1. Fungsi Fonasi; 2. Fungsi Proteksi; 3. Fungsi Respirasi; 4. Fungsi Sirkulasi; 5. Fungsi Fiksasi; 6. Fungsi Menelan; 7. Fungsi Batuk; 8. Fungsi Ekspektorasi;; 9. Fungsi Emosi.5,112.5.1. Fungsi fonasiPembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk : 1. Teori Myoelastik Aerodinamik; 2. Teori Neuromuskular.5Teori Myoelastik Aerodinamik; Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.5

Teori Neuromuskular; Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).5

2.5.2. Fungsi proteksiBenda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.5

2.5.3. Fungsi respirasiPada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus posterior terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rimaglotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflek, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.5

2.5.4. Fungsi sirkulasiPembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.5

2.5.5. Fungsi fiksasiBerhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.5

2.5.6. Fungsi menelanTerdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat berlangsungnya proses menelan, yaitu : Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.5Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.5

2.5.7. Fungsi batukBentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring.5

2.5.8. Fungsi ekspektorasiDengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.5

2.5.9. Fungsi emosiPerubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.5

BAB IIILARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

3.1. Definisi laryngopharyngeal refluxKata reflux secara literatur adalah aliran balik. Reflux adalah keadaan dimana asam lambung bergerak retrograd ke esofagus. Banyak pasien mengeluh rasa terbakar pada dada dan regurgitasi yang mana berhubungan dengan inflamasi pada esofagus karena iritasi dari asam dan enzim pencernaan. Ketika asam lambung dan enzim pencernaan sampai ke esofagus dan masuk ke laringofaring inilah yang disebut laryngopharyngeal reflux.6Laryngopharyngeal reflux mirip dengan GERD, tapi gejala yang ditimbulkan sering berbeda dengan gejala tipikal pada GERD. Laryngopharyngeal reflux sering disebut juga silent reflux.7

3.2. Epidemilogi laryngopharyngeal reflux

Kira-kira 10% orang Amerika sering merasakan rasa terbakar pada dada. Dan sekitar 30-50% jarang merasakannya. Rasa terbakar pada dada terjadi karena inflamasi pada laring dan paling sering terjadi pada gastroesophageal reflux disease (GER, GERD). Dan sekitar 10-50% pasien dengan keluhan pada laring disebabkan oleh GER. 6

3.3. Etiologi laryngopharyngeal reflux

Pada ujung bawah esofagus terdapat sebuah otot yang seperti cincin yang disebut spincter. Secara normal, spincter tersebut dapat menahan asam lambung atau makanan dalam lambung tidak kembali ke esofagus. Tapi pada laryngopharyngeal reflux, spincter tersebut tidak berfungsi dengan baik, sehingga asam lambung atau makanan dalam lambung dapat kembali naik ke faring atau laring, atau bahkan ke saluran pernafasan. Hal ini dapat menyebabkan inflamasi pada area tersebut yang mana tidak terlindungi terhadap paparan dari asam lambung. Silent reflux sering terjadi pada bayi karena spincter pada bayi belum terbentuk, esofagus pada bayi lebih pendek dan juga bayi lebih sering berbaring.7

laryngopharyngeal reflux dapat juga terjadi karena adanya refluks secara retrograd dari asam lambung atau isinya seperti pepsin ke saluran esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi.13.4. Patofisiologi laryngopharyngeal reflux

Patofisiologi laryngopharyngeal reflux sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan instrinsik seperti esofagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis karena cairan refluks ini, yaitu: 1.Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan refluks yang mengandung asam dan pepsin. Byrne6 menyimpulkan bahwa cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung. Aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya; 2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan perubahan patologis pada kondisi laring. Bukti lain juga menyebutkan bahwa rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam lambung juga akan menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal eferen sehingga terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja tidak ditemukan inflamasi di daerah laring.1

Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari patofisiologi laryngopharyngeal reflux. Yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic anhydrase. Enzim ini akan menetralisir asam pada cairan refluks. Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim ini tinggi. Terdapat hubungan yang jelas antara kadar pepsin di epitel laring dengan penurunan kadar protein yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan squamous epithelial stress protein. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan enzim ini 64% ketika dilakukan biopsi jaringan laring.13.5. Diagnosis laryngopharyngeal refluxWalaupun silent reflux lebih sulit di diagnosa daripada GERD. Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan kombinasi antara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.7Silent reflux dapat ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering digunakan untuk menegakkan diagnosis.1

3.5.1. Anamnesis

Gejala laryngopharyngeal reflux sedikit berbeda dengan gejala klasik GERD yang sering ditemukan pada pasien gastroenterologik seperti rasa terbakar pada dada (heart burn), regurgitasi, dan esophangitis. Pada pasien dengan laryngopharyngeal reflux sering ditemukan suara serak (hoarseness), globus pharyngeus (sensasi seperti ada benjolan di tenggorok), disfagia, batuk dan chronic throat clearing. Gastroenterologis menggolongkan pasien yang tidak memilki gejala gastrointestinal sebagai atypical refluxers.6

Tabel 3.5.1. Gejala dan kondisi laring yang terkait laryngopharyngeal reflux6GEJALA DAN KONDISI LARING YANG BERKAITAN DENGAN LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

Gejala Kondisi

Disponia kronikRefluks laringitis

Disponia intermitenStenosis subglottic

Vocal fatigueKarsinoma laring

Perubahan suaraCedera endotrakeal intubasi

Chronic throat clearingUlkus kontak dan granuloma

Produksi mukus berlebihan ditenggorokanStenosis glottic posterior

Post nasal dripFiksasi kartilago arytenoid

Batuk kronikParoxysmal laryngospasm

Disfagia Paradoxical vocal fold movement

Globus Globus pharyngeus

Obstruksi saluran nafas intermitenNodul vocal

Obstruksi saluran nafas kronikDegenerasi polypoid

Laryngomalacia

Pachydermia laryngis

Leukoplakia rekuren

Sindrom kematian bayi mendadak

Tabel 3.5.2. perbedaan GERD dan LPR6PERBEDAAN GERD DENGAN LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)

GERDLPR

Gejala

Rasa terbakar pada dada dan/ atau regurgitasi+++++

Suara serak, disfagia dan globus+++++

Temuan

Esofagitis endoskopik+++++

Inflamasi laring+++++

Hasil diagnosis

Biopsi esofagus+++++

Abnormal radiografi esofagus++-

Abnormal monitoring Ph esofagus+++++

Abnormal monitoring Ph faring-+++

Pola refluks

Posisi supinasi (berbaring)+++++

Posisi berdiri+++++

Respon pengobatan

Diet dan modifikasi gaya hidup+++

Antagonis histamin 2+++++

Pump proton inhibitor+++++++

Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu ada kecurigaan akan LPR. Gejala lain yang sering dikeluhkan pasien adalah rasa seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation), mendehem (throat clearing), batuk dan suara serak. Gejala lain seperti nyeri tenggorok, penumpukan dahak di tenggorok, obstruksi jalan nafas intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis dan disfagia dapat timbul. Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang paling nyata dan utama.Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan kondisi lain seperti keeadaan alergi dan kebiasaan merokok.1Gerakan paradoks pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan keluhan pada kasus asma 78%. Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada pasien LPR seperti rasa seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini membantu penegakan diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang dengan keluhan yang tidak pasti. Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92% ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditengarai sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang sekresi lambung. Belfasky (2002) menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk 51% dan rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%. Skor RSI adalah 0-45 dengan skor 13 curiga LPR.1

3.5.2. Pemeriksaan fisik

Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.1,6

Gambar 3.5.2.1. Hipertrofi komissura Posterior 6Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR. Dapat juga terjadi hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat berkembang menjadi hiperkeratosis epitel pada komissura posterior. Granuloma (gambar 2) dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.1

Gambar 3.5.2.2. Granuloma 6Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai dari nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS 7 dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga dapat dengan baik memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.1,6Tabel 3.5.2.1. Reflux Finding Score

Edem subglotik (Pseudosulkus vokalis - gambar 3) ditemui pada 90% kasus, adalah udem subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai laring posterior.1,6

Gambar 3.5.2.3. Pseudosulkus vokalis 6Obliterasi ventrikel (gambar 4) ditemukan pada 80% kasus. Dinilai menjadi parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu memendek. Sedangkan pada keadaan komplit ditemukan pita suara asli dan palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel.1,6

Gambar 3.5.2.4. Obliterasi ventrikel 6Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR yang tidak spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas sumber cahaya, monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi kadang-kadang sulit terlihat. Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya ada pembengkakan ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat jika ditemukan pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4 (gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita suara.2 Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4 (obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika komissura posterior terlihat seperti kumis, nilai 2 (gradasi sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga seperti membentuk garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang mungkin ditemukan adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi.1,63.5.3. Pemeriksaan penunjang Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.1Monitor pH 24 jam di faringoesofageal pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double probe pH monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan di bawah sehingga dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil negatif palsu sekitar 20%. Hal ini dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan supresi asam.1,6,7,8,9Pemeriksaan Endoskopi dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar barret dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.1,7Pemeriksaan videostroboskopi , pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan lambat.1Pemeriksaan Histopatologik, pada biopsi laring ditemukan gambaran hiperplasia epitel skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini dapat berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta penumpukan fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik di daerah submukosa.1Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium Pemeriksaan ini dapat melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di esofagus, hiatus hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter esofagus bawah.1 kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks yang intermiten. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan jika pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis ke arah GERD, disfungsi esofagus atau diagnosis yang belum pasti.1,9Pemeriksaan laringoskopi langsung memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsi.13.6. TatalaksanaMeliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi.1,6,7,8,9,10

3.6.1. Modifikasi diet dan gaya hidup Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar terapi berjalan maksimal. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR. Pasien akan mengalami pengurangan keluhan dengan perubahan diet dan gaya hidup sehat. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti makanan berlemak, gorengan, kopi, soda,alkohol, mint, coklat buahan dan jus yang asam, cuka, mustard dan tomat. Pola diet bebas asam atau rendah asam (A strict low acid or acid free) dalam penelitian ada manfaat yang nyata pada perbaikan RSI dan RFS pada populasi yang diteliti. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring 10-20cm dan mengurangi stress. Modifikasi gaya hidup dan pola diet berperan penting dalam proses penyembuhan. Jika merokok dianjurkan berhenti karena akan merangsang refluks. Hindari pakaian yang terlalu sempit terutama celana, korset dan ikat pinggang. Hindari olahraga seperti angkat berat, berenang, jogging dan yoga setelah makan. Tinggikan kepala jika ada gejala refluks nokturnal seperti suara serak, tidak nyaman di tenggorok, dan batuk di pagi hari. Batasi konsumsi daging merah, mentega, keju, telur dan bahan mengandung kafein. Hindari selalu makanan gorengan, makanan tinggi lemak, bawang, tomat, buahan dan jus yang asam, soda, bir, alkohol, mint dan coklat.1,6,8,9,10

3.6.2. Medikamentosa

Proton Pump Inhibitor (PPI) atau penghambat pompa proton merupakan terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks. Cara kerja PPI dengan menurunkan kadar ion hidrogen cairan refluks tetapi tidak dapat menurunkan jumlah dan durasi refluks. PPI dapat menurunkan refluks asam lambung sampai lebih dari 80%. Akan tetapi efektifitas obat terhadap LPR tidak seoptimal efektifitasnya pada kasus GERD. Akan tetapi pengobatan PPI ternyata cukup efektif dengan catatan harus menggunakan dosis yang lebih tinggi dan pengobatan lebih lama dibandingkan GERD. Rekomendasi dosis adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Salah satu kepustakaan menyebutkan rentang waktu pengobatan dapat sampai 6 bulan atau lebih dengan menggunakan PPI 2 kali sehari untuk memperbaiki laring yang cedera. Dalam penelitian sebelumnya Omeprazole disebut sebagai derivat PPI yang ampuh ternyata akhir-akhir ini Lansoprazole dan Pantoprazole dianggap lebih maksimal dalam menekan asam lambung. Ditemukan terdapat perbaikan bermakna nilai gejala/keluhan (RSI) dengan pemberian terapi Lansoprazole 2x30 mg perhari pada 8 minggu I dan II terapi akan tetapi pada 8 minggu III tidak terlihat perbaikan pada RSI. Kemudian zat proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin. Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan. McGlashan23 melakukan uji terapi pada pasien LPR dengan memberikan suspense cairan alginate disamping proton pump inhibitor, ternyata terdapat perbaikan yang nyata pada RSI dan RFS pada objek uji. Cairan alginate ini telah digunakan bertahun tahun untuk mengobati gejala refluks. Cairan ini efektif membuat tahanan mekanik yang berfungsi sebagai anti refluks pada daerah fundus gaster. Sehingga akan mengurangi efek cairan refluks jika sampai ke laring.1,6,8,9,10

3.6.3. Terapi pembedahan Tujuan terapi pembedahan adalah memperbaiki penahan/ barier pada daerah pertemuan esofagus dan gaster sehingga dapat menccegah refluks seluruh isi gaster ke arah esofagus. Keadaan ini dianjurkan pada pasien yang harus terus menerus minum obat atau dengan dosis yang makin lama makin tinggi untuk menekan asam lambung. Sekarang ini tindakan yang sering dilakukan adalah funduplikasi laparoskopi yang kurang invasif. Akan tetapi tindakan ini bukannya tanpa komplikasi, perlu dokter yang berpengalaman dan mengerti mengenai anatomi esofagus serta menguasai teknik funduplikasi konvensional agar angka komplikasi dapat ditekan. Sehingga operasi ini bukan pilihan pertama pada kasus LPR.1,6,7,8,93.8. PrognosisAngka keberhasilan dari terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2 kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.13.7. Komplikasi Asam lambung yang masuk kedalam tenggorok dan laring dapat menyebabkan iritasi jangka panjang dan kerusakan daerah tersebut. Tanpa diobati, laryngopharyngeal reflux dapat berakibat serius. Pada bayi dan anak-anak, laryngopharyngeal reflux dapat mengakibatkan: 1.penyempit pada area di bawah pita suara ; 2. Ulkus kontak; 3. Infeksi telinga rekuren karena gangguan fungsi dari tuba Eustachius; 4. Efusi cairan pada telinga tengah. Pada orang dewasa, laryngopharyngeal reflux dapat menyebabkan skar pada tenggorok dan pita suara. Dan dapat juga meningkatkan resiko kanker pada area tersebut, merusak paru dan mengiritasi paru seperti asma, emfisema dan bronkitis.7

BAB IVRESUME

Refluks Laring Faring/ Laryngopharyngeal Reflux (LPR) dapat didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju faring dan laring serta saluran pencernaan atas. Prevalensi pria dibandingkan wanita yaitu 11 : 9 dan meningkat pada usia lebih dari 44 tahun. Penyebab LPR adalah refluks retrograd dari asam lambung atau isinya pepsin ke saluran esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung sehingga terjadi kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas mendehem dan batuk kronis akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi. Mekanisme proteksi laring adalah enzim carbonic anhydrase dan squamous epithelial stress protein Sep70 yang ternyata kadarnya menurun pada pasien LPR. Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms Index/RSI) dan pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Skor RSI pada kecurigaan LPR adalah skor 13 dan skor RFS 7. Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di poliklinik. Penatalaksanaan LPR meliputi medikamentosa dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet serta secara bedah dengan operasi funduplikasi. Penjelasan kepada pasien mengenai pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR . Proton Pump Inhibitor (PPI) terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam menangani kasus refluks disamping modifikasi gaya hidup.Rekomendasi dosis PPI adalah 2 kali dosis GERD dengan rentang waktu 3 sampai 6 bulan. Derivat PPI yang ampuh adalah Lansoprazol dan Pantoprazole yang dianggap lebih maksimal dalam menekan asam lambung. Dapat juga dikombinasikan dengan zat proteksi mukosa, sukralfat misalnya dapat digunakan untuk melindungi mukosa dari cedera akibat asam dan pepsin. Pemeriksaan sedianya dilakukan rutin setiap 3 bulan yang berguna memantau gejala atau mencari penyebab lain jika tidak terjadi perbaikan.1,6,7,8,9,10

DAFTAR PUSTAKA

1. Irfandy D. Laryngopharyngeal reflux. Padang : Fakultas Kedokteran Universitas ANDALAS. Available at: http://repository.unand.ac.id/17718/1/laryngopharingeal%20reflux.pdf 2. Cohen James. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES, buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Alih bahasa : wijaya C. Jakarta: EGC. 1997. hal. 369-377.3. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorokan. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, et al. Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher, buku ajar ilmu kesehatan. Edisi 6. Jakarta: FKUI. 2011. hal. 212-216.4. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and Physiology of Larynx. In: Snow JB, Ballenjer JJ. Otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. BC Decker.2003: p 1090-1109.5. Sofyan F. Embriologi, Anatomi, Fisiologi Laring. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011. Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi%20dan%20anatomi%20laring.pdf 6. Koufman JA, Belafsky PC. Infectious and inflammatory disease of larynx. In: Snow JB, Ballenjer JJ. Otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. BC Decker. 2003: p.1185-1217.7. Anonymous. Laryngopharyngeal reflux. WedMD medical reference. Available at : http://www.webmd.com/heartburn-gerd/guide/laryngopharyngeal-reflux-silent-reflux8. Toros AB, Toros SZ. Laryngopharyngeal reflux. Journal of medical update. Turkey. 2013. Available at: http://www.jmedupdates.org/Port_Doc/JMU_2013/JMU_2013003/JMU_2013003009.pdf9. Handa KK. Laryngopharyngeal reflux. In: Indian jurnal of Otorhinolaryngology head and neck surgery. Vol 57. 2005. p267-269 Available at : http://medind.nic.in/ibd/t05/i3/ibdt05i3p267.pdf10. Lee Akst. Laryngopharyngeal reflux and vocal difficulty. In : Loyola Medicine. Available at : http://www.stritch.luc.edu/depts/otolaryn/patient_ed/pdf/dr.%20akst%20reflux.pdf11. Hermani bambang, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, et al. Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher, buku ajar ilmu kesehatan. Edisi 6. Jakarta: FKUI. 2011: hal. 231-236.

23Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KLRumah Sakit Umum Daerah CibinongFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 7 Juli 9 Agustus 2014