referat kejangg
DESCRIPTION
adhanTRANSCRIPT
\
Tinjauan Pustaka
KEJANG DEMAM
Oleh: Adhan Piddini, S.Ked
I1A010065
Pembimbing:Prof. Dr. dr. Ruslan Muhyi, Sp. A(K)
SMF ILMU KESEHATAN JIWAFK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASINSEPTEMBER 2014
1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..4
BAB III PENUTUP 28
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering pada anak. Hal ini
terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian kejang dalam
16 tahun pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang berusia kurang
dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak mendapatkan
kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi.1
Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah kejang demam.
Kejang demam adalah kejang disertai demam (suhu ≥ 100.4° F atau 38°C), tanpa infeksi
sistem saraf2, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai 60 bulan. Kejang demam
terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak3, sehingga menjadi bentuk yang paling
umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan Ellenberg, menggunakan data dari National
Collaborative Perinatal Project dan ditetapkan bahwa kejang demam diklasifikasikan
sebagai simpleks atau kompleks. Kejang demam simpleks didefinisikan sebagai kejang
yang terjadi setelah demam, yang berlangsung selama kurang dari 15 menit, bersifat
kejang umum dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam kompleks
didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung lebih dari 15 menit, dan atau berulang
dalam waktu 24 jam. Anak yang mengalami kejang demam simpleks tidak terbukti
meningkat risiko kematiannya, hemiplegia/gejala sisia, atau keterbelakangan mental.
Sebuah konsensus pada tahun 1980 dari National Institutes of Health menyimpulkan
bahwa kejang demam simpleks memiliki prognosis yang sangat baik.3
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kejang
Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang
terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf diotak yang tidak
dapat dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure
bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku)
atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomenapsikologis lainnya. Kumpulan gejala
berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun
disebut sebagai epilepsi (ayan).Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan
serentak otot-otot yang tidak bias dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah
yang lebih sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu
manifestasi dari seizure.4,5,6,7
Kejang demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.4,5,6
Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan-batasan
sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya
terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi
tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.4,5 Anak yang pernah
kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Derajat
4
tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38ºC atau
lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang tidak diketahui.4 Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi usia kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang
demam. (konsensus)
Seperti yang didefinisikan oleh American Academy of Pediatrics (AAP), kejang
demam terjadi tanpa adanya infeksi intra -cranial, gangguan metabolik, atau riwayat
kejang demam, dan diklasifikasikan sebagai sederhana atau kompleks. Kejang demam
sederhana merupakan 65-90 persen dari kejang demam dan membutuhkan semua fitur
berikut: durasi kurang dari 15 menit, umum di alam, satu
terjadinya dalam waktu 24 jam, dan tidak ada masalah neurologis sebelumnya.20
B. Epidemiologi
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang
demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya
setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi/ namun, beberapa pasien masih
dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun.4
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang
angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.6
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan,
dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang
5
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23
bulan). Kejang demam sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki.6
C. Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah.6
Setelah kejang demam pertama kira kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih,
resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah
demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan
riwayat keluarga epilepsi.4,5,6
Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum
berumur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang
demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya
setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien
masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan
secara dominan autosomal sederhana.4
D. Klasifikasi
Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang
demam sederhana ( simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
6
(epilepsi triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif
epidemiologi membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya
kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan.6
Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FK UI-RSCM Jakarta, kriteria Livingston
tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang
demam sederhana ialah:5
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul setalah 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan
timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.5
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan,yaitu :
a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) yaitu kejang menyeluruh yang
berlangsung kurang dari 15, menit dan tidak berulang dalam 24 jam.
7
b. Kejang demam kompleks (Complex Febrile Seizure) yaitu kejang fokal (hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung lebih dari 15 menit dan atau
berulang dalam waktu singkat ( selama demam berlangsung).
Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam
atau kejang tanpa demam dalam keluarga.6,7
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat dilihat
pada tabel berikut 4:
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
E. Etiologi
Hingga kini belum diketahui secara pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.4,5,6
.
F. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang
8
anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.5
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38º C
sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi , kejang baru terjadi pada suhu 40ºC
atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.5
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
menimbulkan gejala sisa. Tetapi kadang kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15
menit) biasanya disertai terjadinya apne, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapni, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.5
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
9
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksemia sehingga meninggikan permeabilitas
kapiler dan timbul edem otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.5
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis diotak sehingga terjadi epilepsi.5
Gambar 1. Mekanisme terjadinya kejang demam
G. Manifestasi klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengn
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis, dan lain-
lain.4,5,6 Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral,
tonik, klonik, fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata
terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang
tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.4,5,6
10
Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak
kembali terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika
kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau
kejang menahun adalah kecil.6
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini
biasanya terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal.
Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ
lebih rendah ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan
mengalami komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang
demam diikuti terulangnya kejang tanpa demam.
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya kejang pada seorang anak yang mengalami
demam dan sebelumnya tidak ada riwayat epilepsi. Dari anamnesis ditanyakan lamanya
kejang (pada umur berapa munculnya), bagaimana terjadinya (mendadak, hilang timbul,
berupa serangan-serangan), lokasi (parsial atau generalisata) dan sifatnya (tonik, klonik),
apakah kejang didahului dengan demam, apakah ini yang petama kali kejang, apakah
11
pernah kejang tanpa demam terlebih dahulu dan ditanyakan apakah ada riwayat penyakit
serupa pada keluarga.(Pem fisik saraf). Pemeriksaan fisis dimulai dari tanda vital,
pemeriksaan generalis: kulit, kepala leher, thorax, abdomen dan ekstermitas),
pemeriksaan neurologis, kesadaran pada pasien masik dalam klasifikasi kejang apabila
kejang saat di rumah sakit dan riwayat kejang apabila kejang sebelum di rumah sakit tapi
tidak ada kejang di rumah sakit. pemeriksaan saraf kranialis, pemeriksaan refleks, dan
pemeriksaan motorik tidak ditemukan kelainan. 7
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan yang perlu dilakukan jika didapatkan
karakteristik khusus pada anak,1,2,3,4,5yaitu:
1. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan untuk
menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam pertama. Pada bayi-bayi
kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga pungsi lumbal harus dilakukan
pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari
18 bulan. Berdasar penelitian yang telah diterbitkan, cairan cerebrospinal yang abnormal
umumnya diperoleh pada anak dengan kejang demam yang:
Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk).
Mengalami komplek partial seizure.
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya).
Kejang saat tiba di IGD.
Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar
1 jam setelah kejang demam adalah normal.
12
Kejang pertama setelah usia 3 tahun.
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika tampak
tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi
sistem sarap pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi
antibiotikk sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti
itu pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk dilakukan.8
2. EEG
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi
sekali tanpa adanya defisit neurologis.2,3 Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa
EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya
dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam,
gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau
risiko epilepsi.2,3,4,5 EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat didaerah belakang
yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan
pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien
bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang.1 Saat ini pemeriksaan
EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.1,8
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit., kalsium, fosfor,
magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Namun,
13
glukosa darah harus diukur jika kejang lebih dari 15 menit dalam durasi atau sedang
berlangsung ketika pasien dinilai, dan jika pasien mengalami penurunan kesaadaran yang
mengikuti kejang. Glukosa darah juga dapat diperiksa di samping tempat tidur. 18
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar
sebagai pemeriksaan rutin.6,8
4. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan imaging (CT Scan atau MRI) dapat dindikasikan pada keadaan:
a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf otak VI, edema papil).6
Pencitraan otak tidak diindikasikan setelah kejang demam sederhana. Sebuah
com-puted tomography scan kepala harus dilakukan jika ada postictal sebuah
defisit neurologis bertahan selama lebih dari beberapa jam. Pilihan neu-roimaging harus
dipertimbangkan ketika ada gejala klinis gangguan neuro-logis seperti mikro atau mac
rocephaly, kelainan neurokutaneus, sudah ada defisit neurologis, atau ketika ada berulang
kejang demam kompleks, terutama di mana ada keraguan apakah kejang terjadi pada saat
demam. 19
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam
14
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia
yaitu jika memenuhi kriteria sebagai berikut 2:
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam
I. Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan
apakah penyebab dari kejang itu didalam atau diluar susunan saraf pusat (otak). Kelainan
didalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak dan
lain-lain.5 Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada
kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong
dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Infeksi
susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan
cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis
sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat
diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan
demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga
menyerupai kejang demam.4
J. FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM
15
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam,
usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu,
hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat
toksik, trauma kepala).13,14
1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di atas
38,3oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang
tersering pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan
penyebab terbanyak. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan
kejang. 14
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%,
sehingga meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. 14,15
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.
Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi
normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya
bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu. 14,15
16
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh
berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh
37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu
tubuh di atas 40oC. 14
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 14:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi
neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai
tahun-tahun pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan
tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase
yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan
organisasi.14
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk
asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor
GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi
lebih dominan dibanding inhibisi. 14,15
17
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam. 14,15
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan
otak fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini,
apabila anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi
bangkitan kejang. 14,15
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi
pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling
sering pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.14
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang
demam. Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan
sekitar 60-80%.13
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%.
Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam
maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih
banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.14
18
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan
diantaranya hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan
diantaranya trauma persalinan. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran
darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan
intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi persalinan diantaranya partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga
akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah
hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai
seperti demam.14
5. Faktor Paskanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat
penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang
menyerang lobus temporalis. Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera
kepala memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar 20,6%.14
19
Studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa kekurangan zat besi dan seng juga
dapat menjadi faktor risiko terjadinya kejang demam. Satu studi kejang demam
pada anak-anak India tiga bulan sampai lima tahun menunjukkan kadar zinc
serum rendah pada pasien dengan kejang dibandingkan dengan pasien demam
usia yang sama tanpa seizures.In studi lain, anak-anak dengan demam
kejang memiliki hampir dua kali kejadian defisiensi zat besi dibandingkan
dengan anak-anak demam yang tidak memiliki kejang.21
K. Perjalanan Penyakit
Beberapa hal yang harus dievaluasi adalah mortalitas, perkembangan mental dan
neurologis, berulangnya kejang demam dan risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari.
Mortalitas pada kejang demam sangat rendah, hanya rendah, hanya sekitar 0,64-0,74%.4
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Peneliti lain melakukan penelitian retrospektif dan melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis yang terbanyak ialah
hemiparesis, disusul diplegia, koreoatetosis atau rigiditas serebrasi. Kelainan ini biasanya
terjadi pada pasien dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal.
11% pasien kejang menunjukkan hiperaktivitas walaupun tidak diberi pengobatan
fenobarbital.4
Gangguan intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana.
Ellenberg dan Nelson melaporkan bahwa IQ pada 42 pasien kejang demam tidak berbeda
dibandingkan dengan saudara kandungnya yang tidak menderita kejang demam. IQ lebih
rendah ditemukan pada pasien kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami
komplikasi. Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam
20
diikuti terulangnya kejang tanpa demam. Angka kejadian kejang tanpa demam atau
epilepsi berbeda-beda tergantung kepada cara penelitian, pemilihan kasus dan definisi.
Sebagian peneliti melaporkan angka sekitar 2-5%.4
Livingston melakukan pengamatan selama 1 tahun lebih. Ia mendapatkan bahwa
diantara 201 pasien kejang demam sederhana hanya 6 (3%) yang menderita kejang tanpa
demam (epilepsi), sedangkan diantara 297 pasien yang digolongkan epilepsi yang
diprovokasi oleh demam 276(93%) menderita epilepsi. Prichard dan Mc Greal
mendapatkan angka epilepsi 2 % pada kejang demam sederhana dan 30% pada kejang
demam atipikal. Diindonesia, Lumbantobing melaporkan 5 (6,5%) diantara 83 pasien
kejang demam menjadi epilepsi.4
Angka kejadian epilepsi pada pasien kejang demam kira-kira 2-3 kali lebih banyak
dibandingkan populasi umum dan pada pasien kejang demam berulang kemungkinan
terjadinya epilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan dengan pasien yang tidak
mengalami berulangnya kejang demam. Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah:4
1) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan.
2) Adanya riwayat kejang tanpa demam (epilepsi) pada orangtua atau saudara
kandung.
3) Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit atau kejang fokal.
Bila hanya satu faktor risiko kemungkinan timbulnya epilepsi adalah 2-3, sedangkan
apabila terdapat 2 dari 3 faktor diatas, kemungkinan menjadi epilepsi adalah 13%.
Epilepsi yang terjadi setelah kejang demam dapat bermacam-macam, yang paling sering
adalah epilepsi motor umum yaitu kira-kira 50%. Kejang demam yang lama biasanya
21
diikuti oleh epilepsi parsial kompleks. Sebanyak 30-35% pasien mengalami berulangnya
kejang demam. Sebagian besar hanya berulang 2- 3 kali kecuali pada 9-17% kasus yang
berulang lebih dari 3 kali. Setengahnya berulang dalam 6 bulan pertama dan 75%
berulang dalam 1 tahun. Nelson dan Ellenberg melaporkan berulangnya kejang demam
pada 35% diantara 1706 pasien. Berulangnya kejang demam lebih sering bila serangan
pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun yaitu sebanyak 50%. Bila kejang
demam pertama terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko berulangnya kejang adalah
28%. Berulangnya kejang multipel juga lebih sering terjadi pada bayi. Anak dengan
perkembangan abnormal atau mempunyai riwayat epilepsi dalam keluarga juga lebih
sering tmengalami berulangnya kejang demam.4
L. Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, dan pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam.5,6
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi
terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan dan
fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan
pemberian antipiretik.2,310
22
Obat yang paling cepat untuk menghilangkan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai
dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan intrvena dan dalam waktu 5 menit
apabila diberikan intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg. Apabila kejang tidak berhenti dapat diberikan diazepam lagi dengan
dosis dan cara yang sama. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam
intrarektal dengan dosis 0,5-0,75mg/kgBB atau sebanyak 5 mg pada anak dengan berat
badan kurang dari 10kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Bila kejang tidak
berhenti diberikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-
lahan dengan kecpatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/kg/menit. Dosis
selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
Dalam waktu 30-60 menit kadar diazepam dalam otak sudah menurun dan pasien
dapat kejang kembali. Oleh karena itu setelah kejang berhenti harus diberikan obat
dengan masa kerja yang lama misalnya valproat atau fenobarbital. Fenobarbital diberikan
secara intramuskular dengan loading dose. Dosis awal 10-20 mg/kg dan dosis selanjutnya
4-8 mg/kg/hari. Diberikan 24 jam setelah dosis awal.
Fenobarbital dosis tinggi intravena dapat menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi,
letargi dan somnolen, sehingga pemberian harus dipantau dengan ketat. Diazepam juga
mempunyai efek samping hipotensi dan depresi pernafasan,sebab itu setelah pemberian
fenobarbital dosis tinggi jangan diberikan diazepam. 2,3,8,9
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
23
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk meyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama,. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
mengalami meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering
manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbar harus dilakukan pada bayi
berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab.1,2,3
3. Pengobatan profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam.
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan).
Profilaksis intermittent
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien.
Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian
sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan
fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik karena
penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg
untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,50 C atau lebih. Diazepam
dapat pula diberikan oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis pada
24
waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.1,2,3,8,9
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif
karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek
sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti
infeksi sistem saraf pusat.11
Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari ( rumatan)
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi
dikemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus dengan fenobarbital 4-5 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan
dosis 15-40 mg/kgBB/hari.1 Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria ( termasuk poin 1
atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan ( misalnya serebrl palsy atau mikrosefal).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti oleh kelainan
neurologis sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multipel dalam satu episode demam.
25
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermittent yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.1,3
Beberapa obat telah dievaluasi dalam pencegahan berulang kejang demam sederhana.
Terus digunakan fenobarbital, primidone (Mysoline), dan asam valproat (Depakene) telah
terbukti efektif dalam mengurangi kekambuhan kejang demam sederhana. Namun, obat
ini tidak dianjurkan karena terkait efek samping, beban kepatuhan jangka panjang, dan
kurangnya data yang menunjukkan penurunan risiko epilepsi masa depan dengan
pencegahan berulang kejang demam sederhana. 23
Penggunaan intermiten antipiretik atau anti -convulsants pada awal demam tidak
dianjurkan. Tidak ada penelitian yang menunjukkan penurunan berulang pada kejang
demam sederhana ketika antipiretik diberikan pada awal demam. Dalam acak, terkontrol
plasebo, percobaan double-blind, tidak ada penurunan demam kejang kekambuhan
diamati dengan pemberian dijadwalkan dosis maksimal acetaminophen atau ibuprofen.24
Meskipun penggunaan intermiten diazepam oral pada awal demam yang efektif
dalam mengurangi kekambuhan kejang demam sederhana, AAP tidak merekomendasikan
hal ini karena efek samping potensial dan karena banyak kejang demam berulang terjadi
sebelum demam. Jika kecemasan orangtua tinggi, diazepam oral yang diberikan pada
awal demam anak dapat dipertimbangkan. Selain itu, penggunaan diazepam rektal untuk
digunakan di rumah dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam
berkepanjangan dan pada mereka yang berisiko tertinggi mengalami kekambuhan 25
26
ALGORITMA PENGOBATAN MEDIKAMENTOSA SAAT KEJANG 11
27
prehospital
28
29
hospital
Rumatan:
Bila :
1. Kejang >15 menit
2. Adanya kelainan neurologis sebelum/sesudah kejang, misalnya hemiparesis
(cerebral palsy,retardasi mental, hidrosefalus)
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila
a. Kejang berulang2x/lebih dalam 24 jam
b. Kejang demem terjadi pada bayi <12 bulan
5. Kejang demam ≥4x perbulan
a. 15-40mg/hari dlm 2-3 dosis
b. 3-mg/kg/hari dlm 1-2 dosis
1 tahun bebas kejang
Dihentikan bertahap, 1-2 bulan
M. Rujukan
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut:
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia
c. Usia dibawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis
30
N. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian.2,3 Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian
0,46% dan 0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara
25%-50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.2
Berdasarkan kepustakaan lainnya, risiko berulangnya kejang apabila terjadi demam
lagi kira-kira 40-50%. Angka kejadian berulangnya kejang meningkat apabila onsetnya
kurang dari umur 19 bulan, riwayat kejang dalam keluarga positif, terdapat kelainan
neurologis ( meskipun minimal), kejang awal gambarannya unilateral, kejang berhenti
lebih dari 30 menit atau berulang karena penyakit yang sama.4
Apabila melihat kepada umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennox-Buchtal
(1973) mendapatkan:
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50% dan pria 33%.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat
kejang adalah 25%.
Berdasarkan penelitian Livingston didapati golongan kejang demam sederhana hanya
2,9 % yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
ternyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak
sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor:
a. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga.
31
b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam.
c. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1
atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3%
saja (Consensus Statement on Febrile Seizure, 1981).
Dokter berperan penting dalam meyakinkan keluarga tentang prognosis baik
setelah kejang demam. Kekhawatiran utama yang akan diatasi mencakup risiko
morbiditas neurologis (termasuk epilepsi), kematian, dan kekambuhan kejang. Orang tua
harus diyakinkan bahwa anak-anak tanpa masalah perkembangan yang mendasari tidak
memiliki efek neurologis yang muungkin berlangsung dari kejang demam. Sebuah studi
berbasis populasi di Inggris yang mencakup 381 anak-anak dengan kejang demam
melaporkan bahwa orang-orang dengan kejang demam setara dengan orang lain secara
akademis, intelektual, dan perilaku ketika dinilai pada usia 10 tahun.22
O. Pencegahan
Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian besar
kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dulu digunakan obat anti
kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang
demam. Tetapi hal ini sekarang sudah jarang dilakukan.
Kepada anak-anak yang cenderung mengalami kejang demam, pada saat menderita
demam, bisa diberikan diazepam ( baik yang melalui mulut maupun melalui rektal).
BAB III
32
PENUTUP
3.1 Simpulan
Simpulan yang dapat diperoleh melalui penulisan tinjauan kepustakaan ini yaitu:
1. Kejang demam adalah suatu bengkitan kejang yang terjadi akibat kenaikan suhu
rectal lebih dari 38o C tanpa adanya kelainan primer intrakranial, anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang 1
bulan tidak termasuk kejang demam.
2. kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan,yaitu :
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) yaitu kejang menyeluruh yang
berlangsung kurang dari 15, menit dan tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam kompleks( Complex Febrile Seizure) yaitu kejang fokal (hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung lebih dari 15 menit dan atau
berulang dalam waktu singkat ( selama demam berlangsung).
Kejang demam Plus, yaitu kejang demam menetap sejak umur >6 tahun, kejang
demam disertai kejang tanpa demam, kejang sangan sering kurang lebih 15 kali
dalam setahun, kejang hilang umur 12 tahun.
3. Indikasi fungsi lumbal yaitu bayi kurang 12 bulan sangat dianjurkan, bayi antara
12-18 bulan dianjurkan, bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan.
4. Faktor resiko kejang berulang yaitu usia kurnang dari 12 bulan, ada riwayat
keluarga yang kejang demam, temperatur yang rendah saat kejang, jarak demam
dan kejang pendek.
33
5. Prognosis, kejadian kecacatan komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan,
perkembangan mental dan neourologis normal, kelainan neurologis biasanya pada
kejang lama dan berulang.
.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia
Medical Association. 2010.
2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW
Department of Health. 2009.
3. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With
a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394
4. S, Soetomenggolo; Taslim; Ismail,S. Buku Ajar Neurologis Anak. Cetakan
Kedua. BP. IDAI. Jakarta: 2000; Hal 244-251.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 2. Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian IKA FK UI. Jakarta: 1985; Hal 847-855.
6. Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal
434-437.
7. Ruslan M., (2009), Pemeriksaaan fisis saraf pada anak. pustaka banua,
Banjarmasin.
8. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi 15.
EGC. Jakarta: 1999;
9. Pusponegoro, H.D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 210-211.
35
10. Committee on Quality Improvement and Subcommitte on Febrile Seizure.
Practice Parameter: Long Term Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizure. Pediatrics. 1999; 103:1307-1309.
11. Sastroasmoro, S, dkk, Panduan Pelayanan Medis Departmen Ilmu Penyakit Anak.
Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal
252
12. Soetomenggolo, T.S., (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI,
Jakarta. (1)
13. Kusuma, D. Yuana I.vv (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan
Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro,
Semarang, Jawa Tengah
14. Fuadi, F. (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis),
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah
15. Bahtera, T. (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP,
Jawa Tengah (9)
16. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures,
British Columbia Medical Assosiation.
17. Mangunatmadja, I., Widodo, D.P., (2011), Simposium dan Workshop Tata
Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia Cabang Kalimantan Barat.
18. Practice parameter: A guideline for dis-continuing antiepileptic drugs in seizure-
free patients—Summary statement. Report of the Quality Standards Sub-
committee of the American Academy of Neurology. Neurology 1996;47:600-602.
19. Waruiru C, Appleton R. Febrile seizures: An update. Arch Dis Child
2004;89:751-756
36
20. American Academy of Pediatrics Steering Com-mittee on Quality
Improvement and Management, Subcommittee on Febrile Seizures. Febrile
seizures: clinical practice guideline for the long-term manage -ment of the
child with simple febrile seizures. Pediatrics. 2008;121(6):1281-1286.
21. Hartfield DS, Tan J, Yager JY, et al. The association between iron
deficiency and febrile seizures in child -hood. Clin Pediatr (Phila).
2009;48(4):420-426.
22. Verity CM, Greenwood R, Golding J. Long-term intel -lectual and behavioral
outcomes of children with febrile convulsions. N Engl J Med.
2008;338(24):1723-1728.
23. American Academy of Pediatrics Steering Com-mittee on Quality
Improvement and Management, Subcommittee on Febrile Seizures. Febrile
seizures: clinical practice guideline for the long-term manage -ment of the
child with simple febrile seizures. Pediatrics. 2008;121(6):1281-1286.
24. Strengell T, Uhari M, Tarkka R, et al. Antipyretic agents for preventing
recurrences of febrile seizures: ran -domized controlled trial. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2009;163(9):799-804.
25. Vestergaard M, Pedersen CB, Sidenius P, Olsen J, Chris -tensen J. The long-
term risk of epilepsy after febrile seizures in susceptible subgroups. Am J
Epidemiol. 2007;165(8):911-918.
.
37