referat ilmu penyakit kulit & kelamin
DESCRIPTION
Referat PsikodermatologiTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Apa itu psikodermatologi? Disebut juga psikokutaneus, adalah cabang
ilmu subspesialisasi yang masih kurang diapresiasi karena relatif masih baru yakni
kurang lebih baru sepuluh tahun namun hal yang perlu diperhatikan ada pada
interaksi antara dermatologi dan psikiatri. Lebih sederhananya, hal tersebut adalah
interaksi antara pikiran dan kulit. Lebih dari sepertiga pasien yang berobat dengan
gangguan kulit memiliki masalah kejiwaan yang mendasari keadaan kulit mereka.
Meskipun tingginya prevalensi masalah psikodermatologi ini dalam praktek
sehari-hari, namun hal tersebut masih belum well-recognized atau dipahami betul
oleh kebanyakan dokter. Menurut survei dari para dokter di Washington State
menunjukkan bahwa hanya 18 % dari dermatologis dan 21 % dari psikiater
melaporkan pemahaman yang jelas dari psikodermatologi. Selain itu, hanya 42 %
dermatologis dan 22 % dari psikiater yang menanggapi survei tersebut, dilaporkan
"sangat nyaman" dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan psikokutaneous.
Dengan demikian, tampak ada kurangnya pemahaman dan keyakinan antara
dermatologis dan psikiater dalam membahas, mendiagnosis, dan mengobati pasien
psikodermatologi. Ketika banyak dermatologis mendengar kata psikodermatologi,
pikiran pertama yang mungkin muncul adalah pasien aneh yang datang ke klinik
dengan mengeluh kutu merayap keluar dari kulitnya. Meskipun hal tersebut
adalah memang bagian dari psikodermatologi, istilah psikodermatologi sendiri
sebenarnya mencakup spektrum yang luas, contohnya dari mulai stres yang dapat
memperburuk penyakit eksim. Karena spektrum dan bahasan dari istilah ini jauh
dan lebar, timbul suatu dorongan untuk membuat penggolongan untuk istilah
psikodermatologi. Kita dapat mengkategorikan gangguan psiko-kutaneous ke
dalam kategori yang berbeda terhdap kondisi psikodermatologi dan gangguan
kejiwaan yang mendasari yang dapat memperburuk kondisi kulit.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kategorisasi Psikodermatologi
Psikodermatologi membahas interaksi antara pikiran dan kulit. Psikiatri
lebih fokus pada "internal" penyakit yang tak kasat mata dan dermatologi
difokuskan pada penyakit yang kasat mata. Menghubungkan 2 disiplin ilmu
tersebut adalah interaksi yang kompleks antara neuroendokrin dan sistem
kekebalan tubuh yang telah digambarkan sebagai NICS (Neuro-immuno-
cutaneous system). Interaksi antara kulit sistem saraf dan kekebalan tubuh
telah dijelaskan oleh pelepasan mediator dari NICS. NICS juga dilaporkan
turut berperan buruk dalam perjalanan beberapa penyakit inflamasi kulit dan
kondisi kejiwaan. Pada lebih dari sepertiga pasien dermatologi, manajemen
yang efektif dari kulit kondisi melibatkan pertimbangan faktor-faktor
psikologis yang terkait. Dermatologi telah menekankan perlunya konsultasi
kejiwaan pada umumnya, dan faktor psikologis dapat menjadi perhatian
khusus dalam kondisi dermatologi keras kronis seperti eksim, prurigo, dan
psoriasis.
Di antara banyak kondisi, psikodermatologi digolongkan menjadi 4
subkategori: gangguan psiko-fisiologis, gangguan kejiwaan primer, gangguan
kejiwaan sekunder, dan gangguan sensoris kulit. Masing-masing dari macam
gangguan ini nantinya akan dibahas secara individu. Antara subkategori
2
penyakit psikodermatologi satu dengan lainnya tidak saling eksklusif.
Misalnya, jerawat dapat dipicu oleh stress dan kondisi psiko-fisiologis.
Jerawat juga dapat menyebabkan kecemasan sosial dan depresi karena cacat
pada kulit penderitanya, yang akan dikategorikan sebagai kondisi kejiwaan
sekunder.
Gambar 1. Diagram Venn yang menunjukkan overlap antara dermatologi dan
psikiatri.
Gangguan psiko-fisiologis
Ini adalah gangguan kulit murni yang tampaknya dipeburuk oleh stres
dan/atau faktor emosional. Contoh yang paling umum adalah psoriasis,
eksim, dan hiperhidrosis. Griesemer dkk telah melakukan survei terhadap
4.576 subjek dan bertanya apakah pemicu emosional memperburuk keadaan
kulit mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemicu emosional bervariasi
dengan kondisi kulit yang berbeda, mulai dari 0% untuk nevus dan 100%
untuk hiperhidrosis.
3
Gangguan Jiwa Primer
Kondisi dimana gangguan kejiwaan menyebabkan tanda-tanda self-induce
dan gejala pada kulit. Tidak ada lesi kulit primer. Kategori ini adalah
gangguan psikodermatologi paling khas yang mendapat perhatian
dermatologis. Beberapa contoh dari gangguan kejiwaan utama termasuk
trikotilomania, waham parasitosis, dan neurotic excoriations.
Gangguan Jiwa Sekunder
Gangguan ini adalah kondisi kejiwaan, seperti depresi, kecemasan, dan fobia
sosial yang merupakan konsekuensi dari penyakit kulit. Beberapa gangguan
kulit, seperti jerawat dan alopecia areata, meskipun tidak mengancam jiwa,
tetapi memiliki dampak psikososial yang berat pada kualitas hidup pasien.
Gangguan Sensory Cutaneous
Ini adalah sensasi kulit yang tidak normal pada pasien tanpa lesi kulit primer
atau identifikasi diagnosis yang bertanggung jawab untuk sensasi abnormal
4
yang dirasakan. Berbeda jenis sensasi mungkin termasuk gatal, rasa terbakar,
menggigit, menyengat atau merayap.
2.2 Gangguan Jiwa Yang Mendasari
Gangguan Psikokutaneus dapat dikategorikan dengan gangguan kejiwaan
yang mendasari yang memberikan kontribusi untuk kondisi kulit. Beberapa
dermatologis merasa kurang nyaman dalam membuat diagnosis psikiatri pada
pasien mereka. Untungnya, ada hanya beberapa diagnosis psikiatri yang secara
signifikan dapat berdampak kulit. Kondisi ini juga biasanya cukup terlihat dan
sulit untuk diabaikan. Empat poin paling penting dalam gangguan kejiwaan
yang umum terlihat dalam dampak dermatologis adalah kecemasan, depresi,
gangguan obsesif-kompulsif (OCD), dan psikosis.
Kecemasan
Kecemasan ditandai dengan kekhawatiran yang berlebihan atas peristiwa atau
kegiatan yang sulit dikendalikan pasien. Gejala terkait mungkin termasuk
sering buang air kecil, sesak napas, gelisah, lekas marah, kelelahan, kesulitan
berkonsentrasi, ketegangan otot dan gangguan tidur. Ketika seorang pasien
datang dengan keluhan "tertekan" atau "tegang", penting untuk menelusuri
gangguan kecemasan yang mendasari keluhan tersebut.
Depresi
Depresi ditandai dengan mood depresi, yang mungkin dikaitkan dengan
hilangnya minat atau kesenangan. Terkait gejala depresi mungkin termasuk
perubahan selera makan, perubahan dalam tidur, kelelahan, psikomotor
retardasi atau agitasi, perasaan putus asa, tidak berdaya dan tidak berharga,
kesulitan berkonsentrasi, dan pikiran berulang tentang kematian atau ide-ide
tentang kematian, bunuh diri. Gejala-gejala depresi ini biasanya
menyebabkan penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
5
Obsesive-Compulsive Disorder
OCD ditandai dengan obsesi dan dorongan yang kuat. Obsesi mengacu pada
pikiran yang terus-menerus dan mengganggu yang menyebabkan banyak
kesulitan yang dirasakan sebagai hal asing dan tidak pantas
bagi pasien. Biasanya, pasien mencoba untuk menekan pikiran yang tidak
diinginkan melalui ritual atau perilaku lainnya. Dorongan didefinisikan
sebagai perilaku repetitif atau tindakan fisik bahwa orang tersebut merasa
didorong untuk melakukan dengan atau tanpa obsesi. Sebuah tanda terkait
dari OCD, adalah bahwa pasien memiliki wawasan ketidaktepatan akan
obsesi dan dorongannya. Jika pasien tidak memiliki tilikan/insight sama
sekali akan hal ini, diagnosis yang berbeda seperti gangguan waham atau
psikosis harus dipertimbangkan.
Psikosis
Psikosis didefinisikan oleh ide-ide palsu atau khayalan pada yang menetap
pada pasien. Dalam waham murni, pasien tidak memiliki tilikan atau insight
bahwa pikiran atau idenya adalah salah. Menurut definisi, pasien dengan
waham tidak dapat mengutarakan keyakinannya. Pasien dengan OCD
mungkin menyerupai pasien gangguan waham karena preokupasi dengan
kondisi kulit mereka. Namun, perbedaannya adalah bahwa pasien OCD
memiliki wawasan yang lebih bersifat irrasional dari pikiran dan perilaku
mereka.
2.3 Kegunaan Psikologik Kulit
Stimulasi kulit tertentu merupakan kebutuhan dasar setiap organisme. Sebagai
contoh yang dapat dikemukakan, bahwa neonatus menghisap dan menjilat.
Pelukan atau usapan mengakibatkan emosi normal. Pada daerah erogen emosi
akan berlebih, misalnya: perasaan pada sentuhan dan perubahan suhu,
sebaliknya juga rasa pruritus atau nyeri.
6
PRURITUS
Pruritus merupakan hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila
gradasi berubah, maka mungkin tidak akan timbul pruritus, tetapi rasa nyeri.
Sensitivitas pruritus bervariasi, bergantung pada perbedaan perseorangan dan
regio yang terkena. Garukan memperingan rasa gatal, karena merubah impuls
aferen pada korpus spinalis. Keadaan emosional penderita dapat
mempengaruhi ambang rangsang apresiasi sadar terhadap pruritus. Gosokan
merupakan stimulasi kutan. Respon terhadap stimuli dari lingkungan
merupakan varietas pelbagai reaksi, misalnya vasokonstriksi dan vasodilatasi
arteriolar.
Respon psikologik
Respon psikologik pada pruritus bergantung pada berat pruritus dan dan status
emosional penderita. Bila stimulasi pruritus berlangsung sering, lama, dan
tanpa diketahui penyebabnya, maka akan timbul perasaan takut, tegang, dan
cemas. Lambat laun dapat timbul perubahan pada personalitas penderita.
Manifestasi klinik
Manifestasi klinis dari pruritus adlah tanda-tanda garukan dan ekskoriasi. Pada
garukan akut dapat timbul urtika, sedangkan pada garukan kronik dapat timbul
perdarahan kutan dan likenifikasi. Garukan dengan kuku menyebabkan
ekskoriasi linear pada kulit dan laserasi pada kukunya sendiri. Keringanan
perasaan gatal dengan garukan hanya akan ada, bila kausa pruritus tidak
terletak di alat sentral.
Kausa
Pruritus dapat disebabkan oleh faktor eksogen atau endogen.
a. Kausa eksogen, misalnya dermatitis kontak (pakaian, logam, benda
asing), rangsangan oleh ektoparasit (serangga, tungau skabies,
pedikulus, larva migrans), atau faktor lingkungan, yang membuat kulit
lembab atau kering.
7
b. Kausa endogen, misalnya reaksi obat atau penyakit. Sebagai contoh
dapat disebut diskriasia darah, limfoma keganasan alat dalam, dan
kelainan hepar atau ginjal. Acapkali kausa secara klinis pada
permulaan belum diketahui.
Pruritus primer
Pruritus primer berarti pruritus tanpa adanya penyakit dermatologik atau
alat dalam dan dapat bersifat lokalisata atau generalisata. Pruritus primer
mungkin bersifat psikogenik, artinya disebabkan oleh komponen
psikogenik, yang meberi stimulasi pada itch center. Hal tersebut dapat
terjadi pada penderita dengan ciri bawaan (trait) perasaan malu, perasaan
bersalah, eksebhisionisme, atau masokisme.
PENGARUH SOMATO-PSIKIS
Lesi-lesi yang merupakan cacat (disfigurasi) terutama pada muka,
merupakan trauma psikologik pada penderita, misalnya akne yang berat
atau pada luka kecelakaan. Pada anak, dermatitis atopik atau prurigo yang
terinfeksi sekunder dapat merupakan trauma pula. Penderita akan menjadi
introspektif, menyendiri, tetapi ada juga penderita yang tidak kooperatif
dan agresif. Disini akan dibicarakan dua kelainan, yakni delusio parasiter
dan fobia.
1. Delusio parasiter
Delusio terhadap parasitosis terutama terdapat pada wanita, berusia
diatas 40 tahun walaupun kadang-kadang juga terdapat pada anak
muda. Penderita yakin benar bahwa pada kulitnya terdapat infestasi
oleh parasit sehingga timbul perasaan bersalah dan ketakutan.
Penderita memiliki personalitas yang obsesional, berarti khayalan tetap
menghantuinya. Keadaannya lebih berat daripaa fobia. Pada penderita
muda dapat disertai skizofrenia, pada orang tua depresi involusional.
8
Pengobatannya sulit dan penyakit dapat menetap selama bertahun-
tahun.
2. Fobia
Fobia adalah perasaan takut yang spesifik dan neurotik. Penyakit
merupakan simbol konflik neurologik dan akan menghasilkan
kecemasan (anxiety). Kecemasan bersifat obsesif kompulsif.
Contohnya adalah akarofobia dan sifilofobia.
Akarofobia adalah perasaan takut terkena penyakit pada hewan atau
benda kecil tertentu, misalnya tungau, cacing, atau jarum pentul.
Sifilofobia pada umumnya disertai perasaan bersalah dalam bidang
seksual (sexual guilt). Yang aneh ialah, pada penderita yang benar-
benar menderita sifilis biasanya tidak mempunyai perasaan tersebut.
Ada kalanya sifilofobia terdapat pada penderita dengan permulaan
skizofrenia.
KELAINAN PSIKO-KUTAN
Pada kelainan psiko-kutan yang merupakan etiologi primer adalah
emosi. Dalam golongan ini termasuk pergerakan kompulsif. Eksoriasi
neurotik, dermatitis artefisialis, hiperhidrosis, trikotilomania.
1. Pergerakan kompulsif
Dalam pergerakan-pergerakan kompulsif (seperti “terpaksa”)
termasuk beberapa manipulasi mekanik, misalnya:
a. Menjilat bibir (lip licking), sehingga pada kulit perioral
tampak penebalan, sisik dan krusta, serta
hiperpigmentasi.
b. Menggali dengan kuku jari tangan atau menggosok
dengan tangan
c. Mengorek kulit kepala hingga timbul nodul (pickerous
nodulus)
d. Menggigit atau menggerogoti kulit
9
2. Ekskoriasi neurotik
Pada beberapa bagian badan, terutama di muka, lengan atas, dan
punggung tampak ekskoriasi dengan krusta hemoragik atau
supuratif serta sikatriks. Lesi-lesi tersebut ternyata dibuat penderita
sendiri dengan cara menggaruknya. Kebiasaan ini merupakan tic,
misalnya berlangsung setiap hendak tidur selama beberapa menit
sampai sejam.
3. Dermatitis artifisialis
Dermatitis artefisialis dibuat oleh penderita sendiri, misalnya
dengan zat kimia, secara fisis, atau mekanis. Lokalisasi terutama
yang dapat dijangkau oleh tangan penderita sendiri. Dermatitis
mempunyai tepi angular dan timbul dalam waktu relatif cepat
sebab dibuat secara artifisial. Pengobatannya berupa pendekatan
secara psikiatrik. Penderita tidak dapat ditanya secara terus terang
(konfrontatif), sebab hal tersebut akan menimbulkan homeostatis
emosional. Homeostatis berarti pemeliharaan status yang ada
menjadi mantap dengan mengadakan koordinasi proses-poses
fisiologik.
4. Hiperhidrosis lokalisata dengan sumber emosional
Hal tersebut terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, dan regio
aksilaris tanpa ada stimulus suhu (termal). Keadaan demikian dapat
disertai komplikasi, yakni infeksi bakterial atau fungus dan terjadi
reaksi hiperkeratotik.
5. Trikotilomania
Trikotilomania timbul karena penderita setiap kali menarik rambut
pada salah satu area, misalnya rambut kepala, alis, kelopak mata,
ketiak, atau daerah pubis. Pada anak, rambut yang tertarik
kemudian dimakan. Adapula penderita yang memainkan rambut
yang digulung, diantara jari-jari tangan.
10
2.4 Menghubungkan Antara Dermatologi dan Psikiatri
Pasien psikodermatologi seringkali memberikan tantangan tersedniri bagi
dokter yang menanganinya. Hal ini tidak lain karena sulitnya penggalian
keluhan utama dari anamnesis sehingga menimbulkan frustrasi dan terkadang
juga banyak ketidaksepahaman antara gejala klinis dengan kriteria diagnosis
sehingga lebih menyulitkan dokter untuk mengambil keputusan diagnosis apa
yang tepat untuk pasien tersebut. Menurut jurnal dari Frontline Medical
Communication ada beberapa cara yang mungkin dapat menghindari frustrasi
yaitu :
Empati
Dengan melihat situasi dari sudut pandang pasien, dokter dapat lebih
memahami pasien dan mempersiapkan nasihat pada waktu pengobatan. Hal
ini penting untuk tidak bingung untuk memberikan empati atau simpati, yang
berarti kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain. Berbeda dengan
simpati, empati tidak terlalu dalam memberikan perhatian terhadap keadaan
emosional atau setuju dengan sudut pandang pasien.
Manajemen Harapan
Penting bagi dokter untuk menyampaikan informasi tentang bagaimana
keadaan sesungguhnya dari penyakit yang diderita pasien tentang bagaimana
rencana perawatan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Menghindari
memberikan harapan palsu kepada pasien juga menjadi hal yang sangat
penting mengingat dampak psikologis yang akan terjadi pada pasien. Jadi cara
terbaik adalah memberikan edukasi di awal pembicaraan tentang bagaimana
kondisi pasien sesungguhnya, risiko pengobatan, dan prognosis pengobatan,
dengan begitu akan lebih mudah bagi kita untuk mengontrol kepatuhan pasien
meminum obat dan mempererat hubungan dokter-pasien.
11
2.5 Cara pendekatan pasien psikodermatologi
Kondisi psiko-fisiologis
Pengurangan stres adalah pendekatan umum untuk merawat pasien dengan
kondisi psikofisiologis, seperti eksim, hipertrikosis, dan jerawat. Stres tidak dapat
dihindari dalam kehidupan sehari-hari dan dapat disebabkan oleh hubungan,
pekerjaan, anak-anak, kematian anggota keluarga, atau bahkan kematian hewan
peliharaan.
Namun, dari penelitian didapatkan bahwa terdapat beberapa solusi untuk
membantu pasien menemukan cara untuk mengendalikan stres mereka untuk
mencegah memburuknya kondisi kulit mereka. Pilihan tersebut termasuk
farmakologis dan perawatan non-farmakologis. Sebagai contoh, jika seorang
pasien memiliki gangguan kecemasan yang mendasari pencetus kondisi kulit, lini
pertama pengobatan farmakologis adalah untuk mencoba obat anti ansietas,
seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Perawatan nonfarmakologis
meliputi terapi perilaku kognitif atau latihan relaksasi, seperti meditasi atau yoga.
Pasien dapat menangani stres lebih baik ketika mereka menerapkan gaya hidup
hidup seimbang yang meliputi olahraga, hubungan yang sehat dengan teman dan
keluarga, dan karier yang memuaskan.
Kondisi Psikiatri Primer
Pasien dengan kondisi kejiwaan utama bisa menjadi yang paling
menantang untuk mengelola. Secara khusus, pasien dengan delusio parasitofobia
perlu didekati secara berbeda karena mereka memiliki kebutuhan khusus dan tidak
memiliki wawasan tentang kondisi mereka. Menunjukkan empati terhadap delusi
pasien tidak berarti setuju dengan mereka. Berpura-pura setuju dengan mereka
dapat memperkuat ide terpaku atau perilaku. Namun, penting untuk mengakui
gejala dan membiarkan mereka tahu bahwa Anda akan bekerja dengan mereka
untuk menemukan penyebabnya, meskipun mungkin tidak ada kondisi kulit
intrinsik.
12
Kondisi Psikiatri Sekunder
Pendekatan yang paling efektif untuk pasien dengan kondisi kulit yang
menyebabkan gangguan kejiwaan seperti kecemasan atau depresi adalah dengan
menghilangkan gangguan kulit menggunakan pengobatan agresif. Meskipun
kelainan kulit kronis yang tidak mengancam jiwa, namun dapat memberikan
dampak negatif pada psikososial, fisik, pekerjaan, dan kualitas hidup pasien.
Sebagai contoh, pasien dengan vitiligo telah menderita stigma sosial yang parah
dalam budaya tertentu. Di India, wanita dengan vitiligo sering didiskriminasi
dalam suatu pernikahan, dan mereka sering disebut sebagai penderita kusta putih.
Dengan memperlakukan gangguan kulit secara agresif, kondisi kejiwaan sekunder
lebih meningkat. Langkah berikutnya dalam mengobati pasien dengan kejiwaan
sekunder kondisi adalah manajemen harapan.
Sensory Cutaneous
Ketika seorang pasien merasakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit, seperti
gatal-gatal, terbakar, atau menyengat, etiologi organik untuk gejala-gejala ini
harus disingkirkan (neuropati perifer). Oleh karena itu, pasien mungkin perlu
evaluasi perawatan primer atau neurologi untuk memastikan tidak ada kondisi
yang mendasari untuk mendapatkan perawatan, seperti diabetes. Dengan asumsi
tidak ada kondisi medis yang menyebabkan gejala ini, dan pasien memiliki
gangguan sensoris kulit murni, beberapa jurnal menyarankan strategi berikut.
Salah satu pendekatan untuk pasien dengan gangguan sensorik kulit adalah untuk
memeriksa pasien untuk kondisi kejiwaan komorbid, seperti depresi atau
kecemasan..Telah terbukti bahwa pasien dengan depresi dan kecemasan umumnya
mengalami sensasi secara berlebihan. Oleh karena itu, dasar pengobatan kondisi
psikotik ini dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan. Pada pasien yang tidak
memiliki komorbiditas dengan kondisi kejiwaan, antihistamin
atau antidepresan trisiklik dapat digunakan kepada pasien tersebut. Obat-obat ini
adalah merupakan drugs of choice, telah melalui metode "trial and error" dan
bekerja baik terutama untuk gejala seperti terbakar, tersengat atau terasa tergigit.
13
Jika pasien tidak dapat mentolerir obat-obat ini atau ada sedikit kemanjuran,
percobaan SSRI mungkin bermanfaat.
14
BAB III
KESIMPULAN
Psikodermatologi telah berkembang sebagai subspesialisasi baru yang muncul
dari psikiatri dan dermatologi. Sayangnya, hubungan antara penyakit kulit dan
jiwa lebih sering dianggap remeh. Lebih dari sekedar cacat kosmetik, gangguan
dermatologi yang dikaitkan dengan berbagai masalah psikopatologis yang dapat
mempengaruhi pasien, keluarganya, dan masyarakat secara bersama-sama.
Peningkatan pemahaman tentang isu-isu, pendekatan biopsikososial, dan
penghubung antara dokter perawatan primer, psikiater dan dematologis bisa
sangat berguna dan sangat bermanfaat terhadap keberlangsungan terapi. Manfaat
dari perawatan pasien yang kompleks bersama dengan psikiater sangat dianjurkan.
Penciptaan unit terpisah antara psikodermatologi dan penelitian multi-center
tentang hubungan kulit dan jiwa dalam bentuk prospektif studi kasus-terkontrol
dan percobaan terapeutik multi-site dapat memberikan wawasan yang lebih
dalam, menarik, dan menyenangkan di bidang kedokteran.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, etc. 2008. Fitzpatrick Dermatology in
General Medicine. USA: McGraw-Hill, Seventh edition, pp 362-366.
2. Stulberg DL, Wolfrey J. 2004. Pityriasis Rosea. USA: American Family
Physician, Volume 69, pp 87-92.
3. Gonzales LM, Allen R, Janniger CK, Schwartz RA. 2005. Pityriasis
Rosea: An Important Papulosquamous Disorder. USA: International
Journal of Dermatology, volume 44, pp 757-764.
4. Browning JC. 2009. An Update on Pityriasis Rosea and Other Similiar
Childhood Exanthems. USA: Current Opinion in Pediatrics, volume 21,
pp 481-485.
5. Barakbah J, Pohan SS, Sukanto H, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: RSUD Dr.
Sutomo, hal 91-93.
6. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ke 6,
hal: 197.
7. Chuch A, L, ee A, Zawar V, etc. 2005. Pityriasis Rosea- An Update.
Indian J Dermatol Venereol Leprol, volume 71 issue 5, pp 311-315
8. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. 2010. Rook’s Textbook of
Dermatology. UK: Wiley-Blackwell, eighth edition, pp 1566-1569
9. Hunter J, Savin J, Dahl M. 2002. Clinical dermatology. Blackwell: third
edition, pp 63-64
10. Zaidi Z, Lanigan SW. 2010. Dermatology in Clinical Practice. Springer,
pp 195-196
11. Mallory SB, Bree A, Chern P. 2005. Illustrated Manual of Pediatric
Dermatology Diagnosis and Management. Taylor & Francis, pp 38-39
12. James WD, Berger TG, Elston DM. 2011. Andrews Disease of the Skin
Clinical Dermatology. Saunders Elesevier: eleventh edition, pp 204-205.
16
13. Wolf K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. McGraw-Hill: Sixth Edition, pp 122-124.
17