referat idah

26
Ensefalopati hepatik (EH) 1. Definisi Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hatiakut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. 15 2. Klasifikasi Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas: 7,9 1.EH akut (fulminant hepatic failure) , akibat kerusakan parenkim hati yang fulminan karena infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Perjalanan penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor pencetus. 2.EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal dengan konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan berkurangnya fungsi proteksi dan bersihan dari hati terhadap zat 1

Upload: idahrachman515

Post on 29-Sep-2015

236 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

:D

TRANSCRIPT

Ensefalopati hepatik (EH)1. Definisi

Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi pada penyakit hatiakut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya.152. Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, EH dibedakan atas:7,91. EH akut (fulminant hepatic failure), akibat kerusakan parenkim hati yang fulminan karena infeksi virus, obat-obatan, zat toksik dan perlemakan hati akut pada kehamilan. Perjalanan penyakitnya eksplosif dan tanpa faktor pencetus.

2. EH kronik (ensefalopati portosistemik), akibat peningkatan tekanan portal dengan konsekuensi adanya pintasan portal ke sistemik, menyebabkan berkurangnya fungsi proteksi dan bersihan dari hati terhadap zat toksik. Gejalanya tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi secara perlahan-lahan dan biasanya dicetuskan oleh faktor pencetus.

Klasifikasi lain membagi EH menjadi ensefalopati primer dan sekunder, yaitu:101. EH primer (endogen), disebabkan langsung oleh kerusakan hati yang difus atau nekrosis hati yang meluas.

2. EH sekunder (eksogen), disebabkan bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi disebabkan oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi seperti perdarahan saluran cerna dan gangguan elektrolit.

Klasifikasi EH menurut The Working Party on Hepatic Encephalopathy pada kongres dunia ke-11 dari Gastroenterology, Vienna (1998) dapat dilihat pada gambar 1.63. Faktor Pencetus

Beberapa faktor pencetus terjadinya EH dapat dibagi atas 4 kelompok:5,7,9,10 Kelompok produk nitrogen :

perdarahan gastrointestinal, hiperazoemia, konstipasi, diet tinggi protein, h.pylori, uremia

Kelompok obat : opiat, benzodiazepin, diuretik, sedatif, fenol

Kelompok ketidakseimbangan metabolik :

hipokalemia, alkalosis, hipoksia, hiponatremia, hiperkalemia, dehidrasi

Lain-lain :

infeksi (peritonitis bakterial spontan, sepsis), operasi/pembedahan, hepatopati, gagal ginjal, asam amino rantai pendek

4. Patogenesis

Patogenesis EH belum diketahui secara pasti. Sebagai konsep umum, dikemukakan EH terjadi akibat akumulasi sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam sirkulasi sistemik.5 Saat ini telah dipastikan bahwa terdapat perubahan multi organ perifer seiring perubahan komunikasi intrasel otak yang dihasilkan oleh perubahan dalam astrosit. Perubahan perifer, diantaranya terdapat pada:5a. Usus halus

Terdapat kontroversi tentang peranan Helycobacter pylori, yang menghasilkan amonium di lambung dalam patogenesis EH. Sebagian penelitian memperlihatkan prevalensi tinggi infeksi pada individu dengan hepatitis alkoholik yang mengalami EH sebagaimana individu dengan serosis dan ensefalopati kronik. Tetapi eradikasi H.pylori ini tidak mempengaruhi kadar amonium pada kelompok pasien ini dan berperan pada perkembangan EH.

b. Komunikasi sistemik portal

Diperlihatkan bahwa sebagian kelainan kongenital yang menyebabkan shunt portal-sistemik pada anak dapat muncul sebagai ensefalopati hepatik episodik, bahkan tanpa kelainan hepar sebelumnya. Pasien serosis dengan shunt portal-sistemik mudah berkembang menjadi EH dibandingkan pasien tanpa shunt portal-sistemik

c. Gagal hepar

Terdapat berbagai penelitian yang melaporkan bahwa gagal hepar merupakan penyebab utama EH, dimana terjadi penurunan kapasitas fungsi hepar yang berguna untuk detoksifikasi amonium, sehingga meningkatkan kadar plasma amoniak dan memberikan gejala klinis.

d. Otot

Penurunan masa otot pasien serosis dapat mencetuskan terjadinya EH. Atrofi otot tidak hanya disebabkan kelainan hepar dan status nutrisi pasien, tetapi juga akibat peningkatan sebagian sitokin seperti TNF- yang akan mengaktifkan faktor transkripsi seperti NK-a yang mengakibatkan penurunan sintesis miosin. Atrofi otot ini berhubungan dengan rendahnya kapasitas metabolik untuk mendetoksifikasi amonium dan glutamin, dan menyebabkan perkembangan kearah EH.Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah yang melewati sawar darah otak.7 Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Beberapa studi lain juga mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar 1 berikut :

Perubahan di otak, diantaranya :5 a. Osmotik

Sebagian penelitian memperlihatkan adanya perubahan osmotik pada pasien dengan edem serebri dan insufisiensi hepar. Otak yang edem, akan meningkatkan tekanan intraserebral dan menyebabkan herniasi yang dapat menyebabkan kematian. Glutamin dihasilkan dari detoksifikasi amonium dalam astrosit, sebagai osmol organik yang dapat menyebabkan edem dalam astrosit. Diamati bahwa saluran air aquaphorin-4 mengendalikan air ke dalam sel. Terdapat juga bukti bahwa otak beradaptasi terhadap perubahan selama kelainan hepar kronik. Determinasi langsung dan tak langsung osmol organik dengan memakai spektroskopi pada pencitraan resonansi memperlihatkan kehilangan myo-inositol, taurin, dan gliseril-fosfokolin, yang osmol-nya dipakai oleh astrosit untuk pengaturan osmolalitas intrasel. Perubahan ini membuat otak lebih rentan terhadap perubahan osmotik kedua.

b. Komunikasi aksonal

Terdapat bukti, pentingnya astrosit dalam mempertahankan fungsi neuron normal. Pada EH tidak ada perubahan morfologi di neuron. Sedangkan, sel Alzheimer tipe II (astrosit) memperlihatkan kelainan : dimana terjadi penurunan aktifitas transporter (glutamat), meningkatkan ekspresi reseptor benzodiazepin dan meningkatkan aktifitas monoamin oksidase (MAO). Sebagai akibatnya terjadi perubahan dalam komunikasi metabolik antara astrosit dan sel lain. Sebagai contoh, astrosit menghasilkan neurosteroid yang mengaktifkan reseptor GABA dan reseptor benzodiazepin endogen.c. Komunikasi endotel dengan astrosit : aliran darah otak dan EHPasien dengan EH memiliki fluktuasi dalam perfusi serebral. Sebagian hewan eksperimental memperlihatkan peningkatan perfusi serebral pada keadaan tingginya kadar amonium. Hal ini diaktifkan oleh sinyal intraserebral yang dibangkitkan sesudah sintesis glutamin dalam astrosit. Hipotermia dan edem serebri dapat juga memiliki peranan penting dalam rendahnya perfusi serebral yang diperlihatkan pada hewan cobad. Hipotesis lain : 2,5,7,9(1) Amonium

Sesudah detoksifikasi amonium oleh astrosit sebagian perubahan neurokimia terjadi. Terdapat berbagai faktor yang berinteraksi dengan amonium, menyebabkan perubahan dalam astrosit (hiponatremia, peningkatan sitokin, perubahan dalam ligand astrosit), yang menghasilkan substrat anatomi dan sinergisme neurokimia yang dapat meningkatkan perkembagan EH. Tetapi, tingginya kadar amonium tidak berhubungan dengan beratnya ensefalopati. Di otak, amoniak dimetabolisme oleh astrosit menjadi glutamin. Glutamin kemudian disimpan dalam sel, menyebabkan pembengkakan sel. Amoniak secara in vitro dapat mengubah loncatan perpindahan pada membran sel saraf dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Terjadi peningkatan permeabilitas sawar darah otak tanpa rusaknya tight junction, mengakibatkan edema serebri yang bisa berlanjut ke peningkatan TIK.(2) Toksisitas sinergismeMenurut hipotesis ini terdapat neurotoksin yang bersinergi dengan amoniak seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus, akan menghambat pompa Na-K ATPase. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenilamin dapat menekan aktivitas otak dan enzim monoamin oksidase, laktat-dehidrogenase, suksinat dehidrogenase dan prolin oksidase yang berpotensiasi dengan zat toksik lain seperti amoniak, mengakibatkan terjadinya koma hepatikum.

(3) Neurotransmiter palsu Penurunan asam amino rantai cabang dapat merubah masuknya asam amino ke dalam otak, yang menjadi prekursor neurotransmiter palsu yang merubah sintesis glutamin, seperti oktapamin dan feletanolamin yang lebih lemah dari dopamin dan norepinefrin . Pengalaman klinis dengan menambahkan asam amino merupakan terapi yang baik karena asam amino memiliki efek langsung ke otot, meningkatkan detoksifikasi amonium. Jalur neurotransmisi lain terlibat dalam perkembangan EH adalah serotonin (5-HT), opiat dan katekolamin. Faktor tambahan lain yang dapat menyebabkan episode EH rekuren adalah status nutrisi khususnya pada penderita alkoholik yang mengalami defisiensi vitamin dan mikronutrien, seperti kekurangan Zinc yang merupakan kofaktor dalam siklus urea. Isu lain adalah kolonisasi H.pylori di lambung yang menghasilkan urease.

(4) Benzodiazepin endogen

Amoniak yang meningkat akan menghambat aktivitas otak menyebabkan meningkatnya efek GABA yang menghambat transmisi impuls disertai dengan adanya suatu substansi yang menyerupai benzodiazepin.

5. Gambaran klinis

Dari perspektif neurologi, terdapat beberapa gejala dan tanda EH, yaitu:2,9,111. Perubahan status mental.

Pasien memperlihatkan perubahan perilaku ringan (stadium I) yang kadang teramati oleh anggota keluarga. Misalnya pasien kesulitan dalam melakukan perhitungan matematis yang sederhana, perubahan siklus bangun-tidur yang ditandai dengan kesulitan memulai tidur di malam hari dan mengantuk di siang hari. Bila ensefalopati berlanjut, pasien akan terlihat letargi dan cenderung somnolen (stadium II). Pada stadium III, kesadaran pasien stupor dan menjadi koma pada stadium IV dengan derajat respon yang bervariasi terhadap rangsangan nyeri. Klasifikasi ini dikenal dengan West Haven Classification.

2. Kelainan pada neuromuskular

a) Asterixis

Asteriksis adalah tanda klasik dari EH, meskipun bisa juga terlihat pada ensefalopati metabolik lainnya (seperti pada uremia, retensi CO2 dan hipomagnesia). Pada mulanya digambarkan sebagai gerakan palmar flapping yang terjadi tiba-tiba saat tangan dikembangkan pada posisi dorsofleksi pada pergelangan tangan. Asterixis juga sering terjadi pada otot-otot kaki, lidah, dagu. Patogenesis asterixis ini belum diketahui secara pasti, diduga disebabkan oleh gangguan fungsi ganglia basal dan talamus.b) Gangguan traktus kortikospinal

Pada pasien EH stadium yang berat, dapat dijumpai reflek babinski bilateral dan klonus.c) Edema serebri

Seperti pada kelainan neurologi lainnya, edema serebri dapat tidak terdeteksi hingga terjadi suatu peningkatan TIK yang jelas. Oleh karena itu penting untuk memantau reflek pupil dan reflek okulovestibuler pada gagal hati akut. Pada sirosis hepatis, edema serebri ringan tidak terdiagnosis secara klinis.d) Gejala ekstrapiramidal

Pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, dapat mengalami hipokinesia, rigiditas dan tremor postural seperti pada penyakit Parkinson.e) Degenerasi hepatoserebral.

Pada pasien dengan pintasan portosistemik yang berlangsung lama, dapat mengalami degenerasi hepatoserebral berupa acquired hepatolenticular degeneration. Gejala ekstrapiramidal dan serebelar yang terutama terlihat, bersamaan dengan gejala paraparesis spastis, perubahan mood dan demensia.f) Gangguan respirasi.

Merkaptan, suatu produk dari metabolisme bakteri usus dihubungkan dengan bau nafas yang busuk (fetor hepatikus). Bisa juga dijumpai hiperventilasi akibat stimulasi pusat pernafasan yang diinduksi oleh glutamat.

Selain klasifikasi menurut West Haven Classification diatas, klasifikasi yang dibuat oleh Trey et al (1966) juga sering digunakan. Trey et al memasukan hasil rekaman elektroensefalografi (EEG) sebagai salah satu kriteria. Klasifikasi tersebut adalah :121. Stadium 1 (prodromal)

a. Terjadi perubahan mental, berupa (1) kepandaian menurun, (2) tidur terganggu atau tidak teratur, (3) euforia dan kadangkala depresi, (4) kebingungan yang ringan dan berfluktuasi, (5) bereaksi lambat, (6) bicara tidak jelas, dan (7) suara monoton.

b. Tremor ada, tapi sedikit

c. Tidak ada perubahan pada rekaman EEG

2. Stadium 2 (impending koma atau prekoma)

a. Perubahan mental sama dengan stadium 1, tapi lebih nyata

b. Terdapat flapping tremor. Kadang dapat terjadi tremor pada kelopak mata yang tertutup, pada bibir yang dikatupkan dan pada lidah yang dijulurkan.

c. Pada EEG terlihat kelainan berupa perlambatan gelombang otak

3. Stadium 3 (stupor)

a. Mulai tampak seperti tidur, tetapi kadang masih ada reaksi. Berbicara inkoheren dan kekacauan pikiran makin nyata.

b. Flapping tremor biasanya ada bila pasien masih bisa kooperatif

c. EEG abnormal

4. Stadium 4 (koma dalam)

a. Terlihat seperti orang tidur yang dalam dan nyenyak. Bisa atau tidak bereaksi terhadap rangsangan

b. Tremor tidak ada

c. EEG abnormal5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang:5,12,131. Tentukan stadium dari EH, yang merupakan kombinasi dari penilaian perubahan derajat kesadaran, perubahan perilaku dan gangguan neuromuskular

2. Pemeriksaan kadar amoniak darah. Ini penting diperiksa pada pasien dengan gagal hati akut. Kadar > 200g/dL mengindikasikan risiko tinggi terjadinya herniasi serebral

3. Pemeriksaan/tes neuropsikologi. Pasien sirosis hati sering memperlihatkan gangguan kognitif tanpa disertai defisit neurologis yang jelas. Skor ensefalopati hepatik psikometri (PHES) seperti Number Connection test A dan B, line drawing, digital symbols dan points following dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan tersebut, terutama fokus pada waktu untuk bereaksi dan ketepatan, konstruksi visual, konsentrasi, atensi dan memori.

4. Pemeriksaan neurofisiologi (EEG). Pada EEG akan terlihat perlambatan yang progresif berupa aktivitas lambat simetris yang bermula di lead frontal dan menyebar ke posterior sesuai dengan makin dalamnya penurunan kesadaran. Perubahan ini khas namun tidak spesifik, dapat membantu dalam mengidentifikasi kelainan difus namun tidak cukup dalam mendiagnosis gagal hati

5. Pemeriksaan imajing otak. CT scan atau MRI kepala hanya membantu dalam menyingkirkan lesi struktural. Namun pada EH stadium lanjut, pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya edema serebri.

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel 1). Stadium EH dibagi menjadigrade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 1.

6. Penatalaksanaan

Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan EH adalah: 7,91. Mengobati penyakit dasar

2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus

3. Mengurangi dan mencegah pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak dengan cara mengurangi asupan protein, pemberian asam amino rantai cabang, pemberian laktulosa dan antibiotika dan pembersihan saluran cerna bagian bawah

4. Upaya suportif jka ditemukan komplikasi seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna dan gangguan keseimbangan elektrolit

5. Memperbaiki eliminasi amoniak. Zink adalah kofaktor semua reaksi pada siklus urea. Pasien dengan sirosis dan defisiensi zink mengalami perbaikan dalam mensintesis urea setelah suplementasi zink. Pemberian suplemen jangka panjang sangat bermanfaat pada pasien dengan ensefalopati kronik ringan

6. Memperbaiki abnormalitas dari neurotransmiter.7. Tatalaksana FarmakologisPenurunan kadar amonia merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam tatalaksana EH. Beberapa modalitas untuk menurunkan kadar amonia dilakukan dengan penggunaan laktulosa, antibiotik, L-Ornithine L-Aspartate, probiotik, dan berbagai terapi potensial lainnya.8. Prognosis

Prognosis tergantung pada keparahan EH/gagal hati dan lamanya /waktu. Pasien dengan gagal hati berat 30% meninggal karena EH. Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau gagal hati fulminan, 80% akan berakhir dengan kematian.14

DAFTAR PUSTAKA1. Wright WL, Encephalopathy. In : Handbook of neurocritical care. 10th Ed. New Jersey. Humana Press, 2004 : 19-30 2. Posner JB, Saper CB, Schiff ND, Plum F. Multifocal, diffuse, and metabolic brain disease causing delirium, stupor, or coma. In: Plum and Posner Diagnosis of Stupor and Coma. 4th ed. Oxford: Oxford University Press, 2007: 224-240

3. Dhiman RK, Saraswat VA, Sharma BK, Sarin SK, Chawla YK, Butterwoth E et al. 2010. Minimal hepatic encephalopathy: consensus statement of a working party of the Indian National Association for Study of the Liver. Journal of Gastroenterology and Hepatology 25 (2010) 10291041.4. Tarigan P. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi ke-1. Jakarta: Jayabadi, 2007: 407-419

5. Lizardi-Cervera J, Almeda P, Guevara L, Uribe M. hepatic encephalopathy : a review in Annals of Hepatology 2003; 2(3): July-September: 122-1306. Prakash R, Mullen KD. 2010 Mechanisms, diagnosis and management of hepatic encephalopathy. Nat. Rev. Gastroenterol. Hepatol. 7, 5155257. Zubir N. Koma Hepatikum. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 499-451

8. Lemberg A, Fernandez MA. 2009. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine and oxidative stress. Annals of Hepatology; 8 (2) : April-June: 95-102

9. Blei AT, Weissenborn K. Hepatic Rncephalophaty. In: Billler J et al eds. The Interface of Neurology & Internal Medicine. Philadelphia: Wolter Kluwer Lippicont Williams and Wilkins, 2008: 281-289

10. Komolmit P, Davies M. Hepatic Encephalopathy.In: Management of severe liver disease. Leeds: The Medicine Publishing Company Ltd, 1999: 77-79

11. Ferenci P, Lockwood A, Mullen K, Tarter R, Weissenborn K, Blei AT. 2002. Hepatic encephalopathy-definition, nomenclature, diagnosis, and quantification : final report of the working party at the 11th world congresses of gastroenterology, Vienna, 1998. Hepatology : 716-722

12. Hadi S. Koma Hepatikum.1995. Dalam : Gastroenterologi. Edisi ke-6. Bandung : Penerbit Alumni : 447-460

13. Nirdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiadi S editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006: 443-4446

14. Irawan C, Abdullah M, Tarigan TJE, Marbun MB, Rinaldi I, Chen K et al. Ensefalopati Hepatik. Dalam: Irawan C, Tarigan THE, Marbun MB editor. Panduan tatalaksana kegawatdaruratan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi ke-1. Jakarta: Internal Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009: 44-47

Gambar 1. Klasifikasi ensefalopati hepatikum

Episodic HE (precipitated, spontaneous, recurrent); persistent HE

(mild,severe,,treatment dependent); minimal HE

1PAGE 16