referat dbd 5
DESCRIPTION
referat dbd 5TRANSCRIPT
IX. Diagnosis
Untuk mendiagnosis infeksi virus dengue tahap yang diupayakan sama dengan upaya
yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit lain, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan dapat juga dilengkapi dengan pemeriksaan radiologi.
Pada anamnesis, keluhan utama yang pasti muncul pada penderita infeksi demam
berdarah adalah febris. Perlu digali lebih lanjut sudah berapa lama febris muncul, berapa
derajat suhu tertinggi saat febris, kontinuitas febris, pola febris, apakah disertai menggigil,
pada anak apakah disertai kejang, dan apakah sudah dilakukan upaya untuk menurunkan
febris.
Demam yang muncul pada infeksi virus dengue biasanya berlangsung selama 2-7
hari, yang juga disertai oleh lebih dari dua manifestasi berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbita,
mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif), dan
leukopenia. Disamping hal tersebut, untuk memastikan apakah pasien telah masuk ke tahap
penyakit yang lebih lanjut perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik berupa pengukuran tanda
vital, tanda anemis, nyeri tekan abdomen, hepatosplenomegali, dan pada kasus yang berat
auskultasi paru dan pemeriksaan asites dilakukan juga. Sangat perlu juga dilakukan
pemeriksaan apakah ada tanda tanda syok pada pasien.
Pada pemerikssan laboratorium, pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk
menampis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus
dengue ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini
tes serologis yang mendeteksi adanya sntibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total
IgM maupun IgG-lebih banyak. Parameter laboratoris yang dapa diperiksa antara lain:
Leukosit. Dapat normal atau menurun mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif disertai adanya limfosit plasma biru.
Trombosit. Umumnya trombositopenia pada hari ke 3-8
Hematokrit. Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit yang umumnya dimulai pada hari ke-3
Protein/albumin. Dapat terjadi penurunan karena terjadi kebocoran plasma
1
Imunoserologi. Dilakukan pemeriksaan IgM (deteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari) dan IgG (pada infeksi primer
terdeteksi mulai hari ke 14 dan pada hari ke 2 pada infeksi sekunder) terhadap
dengue.
NS1. Antigen NS1 dapat dideteksi mulai dari hari pertama demam sampai dengan
hari ke delapan. Spesifisitas uji NS1 adalah 100% namun sensitivitasnya berkisar 63-
93,4% sehingga hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
Pada pemeriksaan radiologi, foto dada, didapatkan gambaran efusi pleura apabila
terjadi perembesan plasma yang hebat. Modalitas USG juga dapat digunakan untuk
mendeteksi efusi pleuran dan asites.
Berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 diagnosis DBD ditegakan apabila terdapat
semua hal dibawah ini:
Gambar 8. Kriteria WHO
Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, dan biasanya bifasik
Terdapat satu atau lebih tanda perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis atau melena
Trombositopenia (<100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma sebagai berikut: peningkatan
hematokrit lebih dari 20% dibandingkan dengan standar sesuai dengan usia dan jenis
kelamin; penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
nilai hematokrit sebelumnya; tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoalbuminemia.
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
derajat penyakit sebagai berikut:
2
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda: nyeri kepala, nyeri retro
orbita, mialgia, artralgia
Serologi D
engue positif
DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif
DBD II Gejala diatas ditambah perdarahan spontan
DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin
dan lembab serta gelisah)
DBD IV Syok berat disertai tekanan darah dan nadi tak terukur
X. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leptospirosis.
XI. Terapi
Pada umumnya masa krisis DBD adalah hari ke 3 sampai ke 5 demam Oleh karena itu
peranan anamnese yang cermat sangat penting26. Prinsip utama terapi pada demam dengue
adalah terapi suportif karena tidak ada terapi yang spesifik. Angka kematian dapat ditekan
hingga kurang dari 1% dengan terapi suportif. Dalam penanganan kasus demam berdarah
dengue pemeliharaan volume cairan dalam sirkulasi merupakan hal yang terpenting.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam bersama dengan Divisi Penyakit Tropik
dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa. Protokol
penanganan terdiri dari 5 kategori.
a) Protokol 1 digunakan untuk petunjuk dalam pemberian penanganan pada penderita
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga digunakan
sebagai indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit, bila: Hb, Ht, trombosit normal atau trombosit
berkisar antasa 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol
atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
pasien semakin memburuk segera kembali ke Unik Gawat Darurat.; Hb, Ht normal
3
tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat; Hb, Ht, dan trombosit <100.000
dianjurkan untuk dirawat.
b) Protokol 2 digunakan untuk pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan
dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid harian
dengan perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut: 1500+(20x(BB dalam Kg-
20). Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam.
c) Protokol 3 dilaksanakan pada kasus DBD dengan peningkatan Ht>20%. Hal ini
menunjukan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %. Penanganan awal
keadaan ini adalah dengan memberikan infus kristaloid sebanyak 6-7ml/kgBb/jam.
Kemudian dilakukan pemantauan setelah 3-4 jam setelah pemberian cairan. Apabila
Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, dan prodiksi urin meningkat
maka pemberian cairan dikurangi hingga 5ml/KgBb/jam. Kemudan 2 jam kemudian
dilakukan pemeriksaan ulang apabila hasilnya semakin membaik, infus dikurangi
hingga 3ml/KgBb/jam. Bila keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan 24-48
jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal tidak ada perbaikan
keadaan, maka jumlah cairan ditingkatkan menjadi 10ml/KgBb/jam, kemudian
dievaluasi bila belum ada perbaikan cairan ditingkatkan lagi menjadi 15ml/KgBb/jam
lalu dievaluasi ulang. Bila keadaan membaik jumlah cairan diturunkan menjadi
5ml/KgBb/jam dan mengikuti tahapan lanjutan pada protokol 3.
d) Protokol 4 dilakukan untuk penatalakasanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
Tanda perdarahan spontan tersebut adalah epistaksis yang tidak terkendali,
hematemesis, melena, hematokezia, hematuria, perdarahan otak atau perdarahanyang
tersembunyi dengan kehilangan darah sebanyak 4-5ml/KgBb/jam. Pada keadaan
seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan sama dengan pada keadaan
protokol 3 namun pemantauan tekanan darah, nadi, pernafasan dan urin harus
dilakukan sesering mungkin serta mewaspadai Hb, Ht, dan trombosit serta
hemoglobin agar tidak mengalami perburukan lebih lanjut. Pemeriksaan lab dilakukan
setiap 4-6 jam.
e) Protokol 5 dilakukan untuk penanganan sindrom syok dengue pada dewasa. Bila
menemukan kasus SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan
harus segera diatasi. Oleh sebab itu pergantian cairan harus sesegera mungkin
dilaksanakan. Angka kematian SSD sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan
dengan DBD tanpa renjatan. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama.
Selain resusitasi cairan penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan
4
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, hemostasis, analisis
gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase
awal cairan kristaloid yang diberikan adalah 10-20ml/KgBb dan dievaluasi setelah 15-
30 menit. Bila renjatan teratasi (ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik
100mmHg dab tekanan nadi lebih dari 20mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali
per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta
diuresis 0,5-1ml/KgBb/jam) cairan dikurangi menjadi 7 ml/KgBb/jam. Bila dalam
waktu 1-2 jam keadaan tetap stabil pemberian cairan diturunkan menjadi 5
ml/KgBb/jam kemudian 3 ml/KgBb/jam. Bila 1-2hari keadaan tetap baik maka
pemberian cairan harus segera dihentikan. Pengawasan dini kemungkinan terjadinya
renjatan ulang harus dilakukan selama 48 jam setelah renjatan pertama teratasi.
Gambar 9. Terapi Dengue Fever
XII. Prognosis
5
Secara umum infeksi dari virus dengue dan akibatnya dapat ditanggulangi dengan
cukup baik asalkan penanganan dan perbaikan kondisi dilakukan sesegera mungkin dan
dengan langkah yang tepat. Kematian terjadi apabila pasien tidak mendapatkan penanganan
hingga menimbulkan sindrom syok dengue dan berakhir pada kematian. Prognosis penderita
tergantung dari beberapa factor :
Lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat atau tidaknya penanganan.
Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam pertama setelah
pemberian infuse dimulai.
Panas selama renjatan.
Tanda-tanda serebral.
XIII. Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus
bisa mengakibatkan penyakit. Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata
meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus. Sampai
sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian demam berdarah dengue adalah
dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan.
Ae. aegypti berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti
wadah plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. Nyamuk
ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada
tempat-tempat air bersih tergenang. Pencegahan dilakukan dengan langkah 3m :
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang biak nyamuk
6
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
Gambar 10. Kampanye anti DBD
Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh
larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa mencegah kembang biak nyamuk selama beberapa
minggu, tapi pemberiannya harus diulang beberapa waktu tertentu. di tempat yang sudah
terjangkit demam berdarah dengue dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging, tapi
efeknya hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di
Samping itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya
nyamuk dewasa.
Untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari
sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela,
menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan.10
7
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New
Edition. Geneva: World Health Organization; 2009.
2. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Departemen Kesehatan RI; 2003.
3. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.
4. Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-borne
Flaviviruses: Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis and Potential
candidates of Future Emerging Diseases. Vet Microbiol. 2010;Vol 140:271-80.
5. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue dan
Dengue Syndrome Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol 134:46-9.
6. Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection. Postgraduate
Medical Journal. 2004;Vol 80:p. 588-601.
8
7. Sutaryo., 2004. Dengue, Fakultas Kedokteran UGM, Medika, Yogyakarta.
8. Soedarmo, Sumarmo SP., Garna, Herry., Hadinegoro, Sri, Rezeki S., Satari, Nindra I.,
2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed). IDAI, Jakarta.
9. Wahono TD., dkk., Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-
bpp.com
10. Demam Berdarah Dengue. Available at ; www.medicastore.com
11. Monath, T.P. (1994) Dengue: the risk to developed and developing countries. Proc.
Natl. Acad. Sci. USA 91, 2395-2400.
12. WHO. Variable endemicity for DF/DHF in countries of SEA Region.
http://www.searo.who.int/en/Section10/Section332_1100.htm
13. Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb Haemost
2009; 102: 1042-1049
14. Avirutnan P, Punyadee N, Noisakran S, et al. Vascular leakage in severe Dengue
15. Virus infections: a potential role for the nonstructural viral protein NS-1 and
complement. J. Infect.Dis. 2006; 193: 1078-1088.
16. Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan Faktor
Risiko Penularan. Aspirator. 2(2):110-119. Diunduh dari
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/download/2951/2136 .
Diakses pada tanggal 29 Januari 2015
17. Gubler, D.J., Kuno, G., Sather, G.E., Velez, M. and Oliver, A. (1984). Mosquito cell
cultures and specific monoclonal antbodies in surveillance for dengue viruses. Am. J.
Trop. Med. Hyg. 33, 158-165.
18. U.S.D.T. International Travel and TransportationTrends. Washington D. C.: Bureau
of Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation; 2006.
19. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever
Threat Spreading in the Americas. New York: Natural Resources Defense Council
Issue Paper; 2009.
20. U.S.D.T. International Travel and Transportation Trends. Washington D. C.: Bureau
of Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation; 2006.
21. Roose A. Hubungan Sosiodemografi danLingkungan dengan Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2008.
9
22. Smith, G. W. and Wright, P.J. (1985) Synthesis of proteins and glycoproteins in
dengue type 2 virus infected Vero and Aedes albopictus cells. J. Gen. Virol. 66, 559-
571.
23. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap,
pelatihan bagi dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam pada tata
laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
1999.
24. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc ; 2002 [cited 2015];
Available from: www.pediatrikcom/buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
25. Widoyono., 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Erlangga Medical series: Jakarta, 59-67.
26. Nimmannitya S : Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever: Pearl and Pitfalls in
Diagnosis and Management, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine,
Mahidol University, Bangkok.
10